Anda di halaman 1dari 357

mewhe re

o
S We Know

“This could be the end of everything”

ICHIG0U
OPPOSITE|1

Pages
UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................... 2
Prologue: .................................................................................................................. 3
The Youngest Salim. .............................................................................................. 20
Sang Badai Bertemu Pelangi. ................................................................................ 32
One Year Anniversary. ........................................................................................... 44
Jealousy, Jealousy................................................................................................... 60
Bagian dari Salim. .................................................................................................. 90
Pasar, Pukis dan Papip. ........................................................................................104
The Exorcism of Mikha ........................................................................................ 119
Bungsunya Papi & Mami .....................................................................................142
Timosaurus becoming parents. ............................................................................154
Midnight Thoughts. .............................................................................................165
Munculnya Iblis Kecil. ..........................................................................................174
Persaingan Sengit. ................................................................................................195
Playdate. ................................................................................................................ 211
Dua bayi yang sakit. ............................................................................................ 225
Coming Home. .................................................................................................... 232
Kale’s Birthday Party. ...........................................................................................251
A Cold War. .......................................................................................................... 266
Froggy Frog Promise ........................................................................................... 282
Blood Are Thicker Than Water. ...........................................................................291
The Worst Nightmare. ......................................................................................... 307
Feelin blue.............................................................................................................318
Us Againts The World. ........................................................................................ 327
A Goodbye Kiss. ................................................................................................... 340
Pilihan terbaik. ..................................................................................................... 350

1 | Somewhere only we know.


OPPOSITE|2

UCAPAN TERIMAKASIH

Ichigou disini! Sebelumnya aku mau minta maaf sebesar-besarnya karena


kurang tanggung jawab dalam sistem PDF ini, aku beneran gak profesionnal
seperti kata anon. Kalian readersku beneran baik banget! Aku mau banyak
berterima kasih sama kalian.

Salah satu alasan kenapa aku mau bikin PDF karena aku beneran sesayang
itu sama cinta pertamaku, Gamik. Banyak struggle dalam penulisan PDF ini
karena kerjaanku yang tiba-tiba hectic sampai aku sering drop berulang kali.
Mungkin di dalam cerita ini banyak yang gak sesuai sama ekspetasi seperti—
Vincent-Kahfanya kurang screentime, atau penggambaran tokoh lain yang kurang
jelas. Aku benar-benar minta maaf karena fokuksu hanya keluarga kecil Gamik…
Aku ingin nulis banyak tapi waktuku terbatas dan yang aku tuangkan hanya
terlintas itu aja, jadi aku benar-benar minta maaf kalau gak sesuai ekspetasi, ya!<3

Terakhir, Aku benar-benar banyak makasih sama readers yang benar-benar baik
sama aku, selalu support dan tegur kalau aku salah. Maaf kalau aku banyak
kurangnya, dan bikin kalian gak nyaman. Hope u guys enjoy this ride,

xoxo,

ICHI<3

2 | Somewhere only we know.


OPPOSITE|3

Prologue:
Dia, Mikhailan Shaka.

“Hadirnya bagai pelangi, mampu menghapus gelapnya badai yang


menyelimuti.”

Kala itu bumi bagaikan tempat berpijak yang paling


sulit untuk dilalui sebab penghuninya memiliki jiwa
penasaran yang tinggi dan lidah setajam belati. Segala hal
yang mungkin terkesan—sedikit tak normal akan jadi buah
bicara, tak peduli sakitnya hati manusia lain ketika jadi
korban dari setiap untaian kalimat yang terlontar dari sosok
lain yang siap memaki.

Satu dari sekian banyaknya jiwa yang jadi korban


ungkapan jahat tersebut ialah Mieke, perempuan muda yang
harus menanggung beban beratnya sendiri. Pergaulan bebas
dan cinta yang dikabuti nafsu menyeretnya hingga kesini—
kehamilan tak terduga yang ia alami karena bermain gelap
dengan Arkha, laki-laki yang ia cintai sejak duduk di bangku
SMA.

“Mik, kamu tau kan aku mau nikah sama Rima? Tolong
gugurin anak ini. Apa kata orang nanti?”

3 | Somewhere only we know.


OPPOSITE|4

Rima dan Mieke itu bak pinang dibelah dua, meskipun


tak ada ikatan darah, namun keduanya bersahabat dengan
sangat baik sejak duduk dibangku SMA. Hingga suatu hari,
sosok yang Mieke sayangi mampu menusuknya dari
belakang. Rima, membuat Arkha jatuh hingga buat laki-laki
itu ucap janji suci.

“Kha, anak ini akan aku jaga sampe aku mati—tolong,


kalau mau pergi, biarin aku hidup tenang sama sosok pengganti
kamu ini.”

Janjinya itu, mampu membuat Arkha merasakan sesak


di dalam hati, meskipun rasanya sudah tak lagi sama seperti
dulu. Arkha tinggalkan Mieke untuk jatuh sendiri.

****

Seiring bulan berganti, sosok mungil itu lahir bersama


kuasa tuhan yang nampaknya tak henti membuat manusia
terlonjak kaget; anak yang selama ini diprediksi sebagai
perempuan, lahir sebagai anak laki-laki manis dengan bulu
mata lentik, rambutnya lebat, dan kulitnya yang semerah
tomat. Kelahiran sosok itu nampaknya mampu menghapus
segala badai besar dalam malangnya hidup seorang Mieke.
Kening kecil yang berkerut karena sibuk menangis ia kecup
sekali. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga si kecil

4 | Somewhere only we know.


OPPOSITE|5

dengan sepenuh hati; hingga titik darah penghabisan,


meskipun jalan yang dilalui begitu sakit dan berat.

“Namanya Mikha, Mikhailan Shaka, si manis yang murah hati.


Selamat datang ke dunia manisku, bunda janji akan terus jaga Mikha
dengan sepenuh hati.”

****

Mikhailan Shaka itu tumbuh jadi sosok yang manis


dan patuh; meskipun banyak rengek manja yang kerap kali
buat sang ibu pening di kepala. Si manis tumbuh dengan
banyak kehangatan dan kasih sayang yang tak hentinya ia
rasakan dari sang bunda, meskipun tak memiliki figure ayah
di sisinya.

“Mikha kenapa nangis, sayang?”

“Hiks—ndaa, Mikha mau ikut hali yayah di sekolah. Tapi


Mikha nda punya yayah!”

Mieke mengusap air mata berderai yang basahi wajah


anaknya. Pipi berisinya dikecup beberapa kali. “Ssst, besok
Mikha bolos ya, Nak? Kita rayain hari yayah sama bunda. Kita
mam ecim yang banyak ya?”

Tangis Mikha kecil mulai berhenti, terganti dengan


anggukan penuh semangat dan tawa girang dari sosok yang
Mieke rengkuh erat. Janji yang ia buat lima tahun lalu

5 | Somewhere only we know.


OPPOSITE|6

nampaknya ia pegang kuat dan tepati sepenuh hati; sosok


kecil itu tak pernah merasakan kekosongan barang sedetik,
Mieke membanjirinya dengan penuh perhatian, menjaganya
dengan segenap jiwa raga. Senyumnya terpatri di wajah;
berharap bisa terus menyayangi belahan jiwanya hingga
akhir hayat.

****

Di umurnya yang keenam, untuk pertama kalinya


seorang Mikhailan Shaka dapat satu kalimat pedas dari sang
sahabat, Kahfa. Katanya, ia cengeng dan pesek. Itu semua
karena ia tak punya Ayah. Racauan asal seorang anak
berumur enam tahun yang kadang diluar nalar.

Mikha, memilih untuk menangis sendirian di taman


sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Pemandangan
minimarket yang begitu banyak cabangnya di sekitar
daerahnya itu membuat isak tangisnya semakin kuat—
teringat akan sang ibu yang selalu mengajaknya ke tempat
tersebut seusai pulang sekolah.

“Fafa jahat! Mikha nda suka Fafa! hiks,” Tangan


kanannya tak henti mengusak wajahnya sendiri. Matanya ia
tutup, terbayang wajah sang ibu di kepalanya. Tak peduli
panas matahari yang menyengat.

6 | Somewhere only we know.


OPPOSITE|7

Detik setelahnya, suasana terik tersebut berubah jadi


terasa lebih sejuk, apalagi dibagian dahinya, dingin mulai
menjalar, membuat si manis mengangkat kepala, mencari
jawaban dari dingin yang tiba-tiba menyapa.

“Kamu capa?” Ujarnya, dengan sorot bingung dan


hidung memerah akibat menangis.

Sosok laki-laki yang bertubuh mungil persis seperti


dirinya hanya menatapnya datar, tanganya terulur untuk
menempelkan satu eskrim termahal di kotanya—yang
bahkan, Ibunya tak mampu memberi meski ia merengek
begitu hebat.

“Stop crying, you can’t get what you want if you keep crying
like that.” Dengan raut bingung, Mikha kecil mulai
memiringkan kepalanya ke kanan. Tak paham dengan
bahasa yang menurutnya asing barusan.

“Aku nda ngerti. Tapi hiks—ecimnya bole buat aku


nda?” Bibirnya mengerucut, bahunya sedikit bergetar,
membuat sosok laki-laki kecil di depannya mengerjapkan
mata; heran ada anak seunik itu.

“You want it?”

7 | Somewhere only we know.


OPPOSITE|8

“Aku nda ngerti!” Dengan jengah ia mulai berdiri,


menghentakkan kakinya berulang kali, menatap nyalang
anak laki-laki di depannya.

Tanpa menjawab, bocah laki-laki di depannya itu


mulai membuka bungkusan kardus eskrim di tangan,
sendok kecil yang tersampir di kanan box ia sodorkan,
seolah memerintah Mikha untuk segera makan.

“Aciiih,”

Sebelum Mikha kecil menyuap satu sendok ke dalam


mulut, dirinya dibuat kaget dengan presensi gadis kecil yang
tiba-tiba saja datang dari belakang, menarik lengan laki-laki
di hadapannya.

“Do not talk with stranger! Im gonna tell your dad about
this!”

Seruan itu seolah diabaikan begitu saja karena laki-laki


kecil itu lebih tertarik untuk menekan hidung Mikha—yang
semerah tomat dengan telunjuknya beberapa detik.

“Cutie pie.”

Tak lama, punggung kecil itu mulai menjauh,


bersamaan dengan sautan tak terjawab dari gadis kecil yang
tak henti meneriaki namanya. Dengan perasaan senang
dalam hati, Mikha kecil mulai menyuap eskrimnya dengan

8 | Somewhere only we know.


OPPOSITE|9

bersemangat, melupakan masalah kecil yang membuatnya


menangis hebat. Manik bulatnya tak henti menatap
punggung kecil yang semakin jauh.

“Astaga Mikha, nda cariin Mikha kemana-mana gak


taunya Mikha disini? Ngapain nak?’ Mieke dengan perasaan
takut setengah mati mulai mengangkat tubuh buah hatinya,
mendekapnya erat dan mengecup pipinya berkali-kali.

“Halo? Mikha mana ya? Kok ndanya tanya gak


dijawab? Ini ecimnya dari siapa?”

Pandangan Mikha beralih sebentar, kembali fokus


pada minimarket di depan taman; tempat dimana malaikat
penolongnya itu masuk, bersamaan dengan gadis kecil yang
mengikutinya dari belakang. Gigi kelincinya mulai nampak,
ia sematkan senyum termanis karena terbayang wajah tadi.

“Ieeeel!”

Mieke berkerut bingung lihat seruan spontan sang


anak. “Siapa itu nak?”

Pertanyaan itu layaknya satu teka-teki yang tak


terjawab bahkan hingga seminggu kemudian. Anak semata
wayangnya tak henti menyebutkan nama tersebut tanpa
tahu siapa sosok dibaliknya. Pikirnya sempat terbengkalai,
takut Mikha jadi anak dengan mata batin yang terbuka.

9 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 10

“Iyeeel! Don’t leave me alone! You shouldn’t gave that ice cream to some
stranger!”

****

Di ulang tahunnya yang ke-12, tepatnya umur dimana


Mikha itu hendak masuk ke jenjang yang lebih tinggi yaitu
Sekolah Menengah Pertama, ia mulai penasaran dengan
sosok ayah yang tak pernah muncul. Sepanjang hidupnya,
sang ibu sibuk menghujanjinya kasih sayang, buat dirinya
lupa akan presensi sang Ayah yang hingga detik ini tak
nampak batang hidungnya.

“Ini foto Ayahnya Mikha, ganteng ya?” Ujar Mieke,


dengan senyum hangat sembari merengkuh erat tubuh
anaknya di sofa coklat sederhana favorit keduanya.

Mikha mencebikkan bibirnya, “Biasa aja kali, kayak


orang kampung pada umumnya.”

Foto usang itu ditarik kasar, ditelaah lebih jauh. Kalau


dilihat lebih lamat, ia begitu bersyukur karena tak sedikitpun
kebagian rupa yang berhasil buatnya datang ke dunia. Kecuali
hidung pesek yang buatnya mendengus sebal.

“Bunda yang kecakepan buat dia—eh bun, jangan


kasih liat foto Ayah ke Kahfa ya! Nanti dia tau idung pesek
Mikha dari siapa.”

10 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 11

Mata Mieke mengerjap beberapa kali, bukan karena


permintaan aneh anaknya tentunya, namun sebutan ‘Ayah’
dari sang anak.

“Mikha panggil dia apa?”

“…..Ayah?” Ia menegakkan tubuhnya, kembali fokus


pada foto usang tersebut.

“Gimana pun juga, Mikha gak mungkin bisa lahir ke


dunia ini dan ketemu sama bunda kalau orang ini gak ada.
Mana nurunin idung pesek lagi!” Imbuhnya dengan dengus
kasar di akhir.

Mikha, mungkin gak pernah sadar kalau saja


ucapannya hari itu tak henti buat Ibunya merasa haru.
Tangis tiap malamnya terasa terobati, ia tak gagal dalam
membesarkan sang anak sendiri, meski banyak caci dan
maki baik dari keluarga sendiri maupun lingkungan
sekitarnya. Ketakutannya akan Mikha butuh sosok ayah di
hidupnya itu perlahan memudar kala ia lihat Mikhanya
memang tulus bahagia tanpa bayang-bayang dan figur tegas
seorang Ayah. Keduanya hidup dengan penuh rasa syukur
dan bahagia, layaknya memiliki keluarga utuh, meskipun tak
ada sosok yang memipin.

11 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 12

Merasa terlalu bahagia bersama sang anak, Mungkin


Mieke lupa bagaimana Mikhanya nanti apabila tak punya
figur seorang ibu lagi di sisi? Karena jodoh dan maut rahasia
abadi sang langit dan bumi.

****

Menginjak usianya yang ke-13 tahun, Mikha harus


menelan pil pahit dalam hidupnya,

Ia kehilangan pusat dunianya, sang ibu tercinta.

Pekarangan depan rumahnya sudah dipenuhi manusia


yang berlalu-lalang, mengucapkan bela sungkawa sedalam-
dalamnya. Suara isak tangis dan doa yang terpanjat
menggema keseluruh ruangan. Hanya ada satu sosok yang
sibuk menatap jenazah sang wanita dibalik peti dengan
lurus, tanpa isak tangis maupun raut sedih, dirinya sendiri.

Kilas balik dimana rengekan manjanya jadi akhir


pertemuan antara ia dan sang ibu membuat sakit dihatinya
semakin dalam. Anak yang bahkan usianya belum matang
itu tak henti menyalahkan dirinya sendiri di dalam hati. Ia
benci akan presensi diri dan sifat manjanya yang jadi
boomerang bagi dirinya sendiri.

12 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 13

“Bunda lama banget! Mikha mau pulang! Capek! Mana ujan lagi, nanti
Mikha ketinggalan main warnet sama Kahfa!”

“Sabar dong anak nda, ini bundanya ngebut ya? Biar cepet sampe sana.
Nanti bunda bikinin mie rebus biar capeknya ilang, ya?”

Begitu sambungan terputus, yang Mikha ingat


hanyalah hujan yang turun semakin deras, petir ikut
bersautan bersamaan dengan kilatan yang mampu
menyilaukan mata. Mikha itu tak benci hujan, justru hujan
adalah favoritnya, ia sering menghabiskan waktunya
dibawah rintikan air yang turun ke bumi bersama sang ibu.
Namun detik dimana ia mendengar suara tabrakan keras
dua kendaraan dan satu lengkingan suara perempuan, ia
mulai benci akan adanya hujan. Ia benci segala hal tentang
petir, rintik air dan kilatan tersebut. Tubuhnya bergetar
bukan main, semuanya begitu gelap hingga begitu sadar, ia
sudah berada di rumah, dengan jenazah sang bunda di
hadapan dan puluhan orang berlalu-lalang mengucapkan
belasungkawa.

“Mik, kalo mau nangis gapapa tau, jangan dipendem


sendiri.” Suara lembut Kahfa mulai menyapa, membuat ia
semakin menggigit kuat bibir bawahnya. Ia mengangguk
pelan, mengiyakan segala ucapan sahabatnya barusan.

13 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 14

“Mik, orang-orang mulai pada pulang, kita juga yuk?


Naik sepeda gua dah, gua yang bonceng.”

“E-enggak fa, duluan aja. Bundanya Mikha takut


hantu. Biarin aja Mikha disini dulu sampe bunda gak takut
lagi. Salahnya Mikha yang tadi nyuruh bunda buru-buru.”
Ucapan datar dan tatapan kosong yang dilontarkan Mikha
barusan agaknya mengenai titik terlemah hati Kahfa, ia
sudah menahannya sedari tadi, namun air matanya luruh
begitu dengar penuturan Mikha barusan. Membuat orang
yang tersisa sedikit terpaku bingung, kenapa bocah itu tiba-
tiba menangis hebat.

“M-mikha! B-bukan salah lu. I-ini namanya takdir! K-


kan diajarin sama Pak S-sapri, kalo manusia bakalan
meninggal!”

Suara tersendat milik Kahfa membuat ibunya yang


berdiri tepat dibelakang mulai mengusap halus
punggungnya.

“Aa, ayo pulang sama bunda, biar Mikhanya disini dulu ya


a? Jangan dimarahin atuh temennya.” Alunan suara lembut milik
Ibu dari Kahfa membuat Mikha menengok,
tenggorokannya tercekat. Rindu akan suara lembut milik
Ibunya semakin membuncah.

14 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 15

“Kahfa pulang aja duluan, temenin bundanya Kahfa.


Mikha mau sama bundanya Mikha. Main warnetnya besok aja
ya, Fa?”

Bukannya mereda, tangis Kahfa kala itu semakin


deras, bocah laki-laki yang biasanya sombong setengah mati
itu tak ada harganya lagi. Cairan keluar dari mata dan
hidung, rasa sedih tak tebendung. Buat bundanya ikut
menggeleng dan merengkuh tubuhnya kuat dan pamit pada
sosok yang masih terpaku menatap pigura yang berisikan
foto sang ibu dengan kosong. Tak sadar, jika hadirnya
tinggalah sendiri.

****

Yang tersisa sekarang hanyalah Mikha seorang diri,


menatap gundukan tanah yang dipenuhi bunga dan pigura
dengan sosok yang tersenyum cantik di dalamnya.
Kerongkongannya terasa perih, hatinya bergitu ngilu
membayangkan hari-harinya tanpa sang bunda.

“B-bun, Mikha belum minta maaf sama bunda. Boleh


gak bunda bangun dulu sebentar? Biarin Mikha peluk bunda
dan minta maaf di kaki B-bunda?”

Suara gagak dan angin bertiup menyapa, membuat


Mikha meremat kuat tanah merah yang berada di

15 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 16

hadapannya. “A-ah iya, Bunda udah gak bisa jawab. Yaudah


bun, Mikha minta maaf ya? Mikha banyak salah sama
bunda, Mikha gatau harus bilang apa lagi—tapi Mikha tau
bunda itu selalu nangis kalau Mikha lagi sakit, bunda nangis
kalau Mikha marah karena merasa gagal. Tapi, menurut
Mikha bunda gak pernah gagal. Mikha gak butuh Ayah bun.
Mikha bangga punya bunda.”

“—bunda itu masih bisa denger kan walau gak bisa


jawab?” Imbuhnya dengan airmata yang mulai menggenang
di pelupuk.

Tangis yang ia tahan sedari tadi mulai luruh, benteng


pertahanannya mulai runtuh begitu ia tak dengar seuntai
jawaban dan alunan suara lembut milik Mieke, sang Ibu.
“Istirahat yang tenang ya Bun, Mikha disini akan jadi anak
baik dan gak akan ngerengek lagi. Mikha janji akan simpen
semuanya sendiri, biar gak nyusahin orang lagi. Bunda bobo
yang nyenyak ya? Beban bunda sekarang udah gak ada lagi.
Makasih bun, udah ngelahirin Mikha k-ke dunia ini.”
Bahunya bergetar hebat, tangis pilu buat hatinya ikut sesak
dan tak mampu ucapkan sepatah kalimat lagi.

Mikha mulai menenggelamkan kepalanya, kembali


terbayang paras cantik dan sapuan halus di kepala yang
biasa ia terima dari sang Ibu. Pundaknya bergetar hebat, ia

16 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 17

tak henti menyalahkan dirinya sendiri. Mungkin jika ia


hidup sebagai anak baik dan tak pernah merengek,
bundanya akan tetap disini dan hidup tenang bersamanya.

****

Beribu sekon berlalu, langit pun mulai menampilkan


semburat senja yang menandakan hari mulai gelap. Mikha
yang masih terduduk sendiri di pinggir makam mulai
berdiri begitu ia lihat seorang laki-laki dewasa yang datang
menghampiri, matanya mengerjap bingung, merasa tak
asing pada sosok tersebut.

“Mikha?” Bariton berat menyapa, membuat Mikha


merasa merinding seluruh badan.

Laki-laki itu memilih untuk berjongkok disamping


Mikha dengan segaris senyum yang dipaksakan. Fokus
menatap pigura di hadapan.

“Mikha tau gak waktu Mikha lahir, bunda janji apa


sama tuhan?” Kali ini Mikha mulai menengok, menatap
sosok asing tersebut dengan tatapan sendu. Wajah pria yang
mulai berkerut dibagian mata mulai mengeluarkan air di
pelupuk. Masih fokus menyorot pigura ditengah gundukan
tanah di hadapan.

17 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 18

“Bunda janji mau menjaga Mikha dengan baik, mau Mikha


tumbuh jadi anak yang penuh dengan kasih sayang, dia janji bakal
mengusahakan segalanya buat Mikha asalkan tuhan jangan ambil
Mikha sebelum dia yang pergi duluan dari dunia ini.” Rentetan
kalimat panjang barusan nampaknya tepat menusuk hati
Mikha telak. Bibir bawah yang sedari tadi digigit kuat mulai
bergetar, kedua matanya kembali memanas begitu dengar
ucapan laki-laki asing tersebut.

“Jadi, ini semua bukan salah Mikha ya, Nak? Bunda


lagi tepatin janjinya sama tuhan, bahwa ia mau jaga Mikha
dengan baik bahkan kalau itu harus mengorbankan dirinya
sendiri.”

Sapuan halus di punggung mulai terasa, buat tangis


Mikha semakin naik, ia tumpahkan segalanya detik itu juga,
bersama dengan sang Ayah yang tak henti mengucapkan
kalimat maaf. Rasa sakit dan sesak rasanya bersatu
memenuhi relung hati, begiupun penyesalan di ujung.

“Maafin ayah ya nak, karena datang terlambat? Maaf, Mikha


harus punya ayah pengecut seperti ini.”

Namun, nasi telah menjadi bubur. Meskipun dapat


keluarga utuh; seorang Ayah, ibu bahkan adik. Mikha
tetap merasakan kekosongan dalam dirinya. Sebaik apapun
Arkha terhadap dirinya, Mikha tak pernah merasakan kasih
18 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 19

sayang dan ketulusan layaknya sang Ibu. Pribadi hangat dan


ceria itu perlahan mulai berubah jadi sosok yang mampu
menyembunyikan kekosongan dalam dirinya begitu apik.
Mikha si ceria yang dikenal semua orang itu bukanlah
Mikha yang asli.

Ia butuh sosok tulus yang menyayanginya dengan


sepenuh hati; mengisi jiwa kosongnya dengan cinta yang
mampu ia rasakan sendiri.

Sang pelangi tak akan muncul apabila badai besar belum


datang menghampiri, kan?

19 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 20

The Youngest Salim.


“Kelahiranya bagai badai besar yang membuat orang disekitar merasakan
pengaruhnya.”

Jika dunia ini memiliki Walton Family sebagai urutan


teratas sebagai keluarga terkaya di dunia, Maka Indonesia
memiliki Salim sebagai urutan pertama keluarga
konglomerat terkaya di negara yang penuh kekayaan alam
dan budayanya. Belum ada yang dapat menggeser harta
kekayaan Salim hingga detik ini. Keluarga yang dikenal
dengan “pengaruhnya” yang besar itu memiliki pribadi yang
berbeda-beda dimata masyarakat.

Anak pertama dari Sakhayang Salim—Samuel, adalah


pribadi yang tegas dan terkenal tak kenal ampun. Ia jadi
pemegang saham utama kala itu, dan tentunya kedua
anaknya selalu jadi sorotan, Zavier dan Zevanya. Rakyat tak
henti merasa kagum pada kedua anak yang terpaut usia 4
tahun tersebut. Samuel dan Rasendriya sukses
membesarkan anaknya menjadi anak dengan tutur kata yang
sopan dan beretika baik dimata masyarakat. Kedua anaknya
bak pangeran dan putri yang di didik secara khusus, mampu

20 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 21

terlihat elegan dan cerdas. Bagai tak tersentuh, layaknya


sang ayah.

Anak kedua dari Sakhayang Salim adalah Sarah,


perempuan yang terkenal memiliki aura yang membuat
orang-orang disekitarnya merasa terintimidasi. Ia
merupakan perempuan yang dikenal dengan sifat yang
keras, keinginannya wajib terpenuhi, segala hal ia capai
dengan mudah meskipun caranya kotor—bersama sang
pasangan yang merupakan sosok penting dari Asia Timur,
Valino lee; anak semata wayang kedutaan besar Korea
Selatan yang memiliki cabang bisnis property menyebar
hingga ke pelosok negeri. Sarah dan Valino dikaruniai
seorang anak laki-laki tampan yang menarik perhatian
publik sejak kelahirnnya ke bumi; Vincent Axellano Salim.
Sosok laki-laki yang dibesarkan dengan penuh bekal
kecerdasan dan pengaruh kuat dibelakangnya. Ia tumbuh
jadi anak yang mampu menyembunyikan segala emosinya
dan tak kalah mengintimidasi. What Vincent want, he will get it.
Just like his parents raise him.

Terakhir, si bungsu Salim adalah Gandhyan; sosok


yang dicintai rakyat karena sifat hangat dan lucu. Berbeda
dengan kedua saudaranya, Gandhy merupakan sosok yang
lebih fleksibel, dekat dengan masyarkat, sering diundang ke

21 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 22

acara tv sebagai juru bicara dari Salim. Namun dibalik itu


semua, ia merupakan sosok licik yang mampu bertempur
dalam diam, geraknya tak terlihat. Ia mungkin dikenal
hangat dan ramah, namun ambisinya itu lebih besar dari
kedua kakaknya. Setelah kehilangan anak pertamanya,
pribadi Gandhy semakin keras, sosoknya bagai tak kenal
kasih dan ampun. Namun, semuanya berubah begitu tuhan
kirimkan sebuah anugerah terindah ditengah badai yang
menerpa hidupnya,

“Selamat bapak, anak yang Ibu Gantari kandung adalah


seorang laki-laki.”

Layaknya harta yang ia selalu jaga dan sayangi,


Gandhy tak henti menaruh perhatiannya pada si bungsu
yang ia simpan rapat pada dunia. Kali ini, ia tak boleh
kehilangan putra laki-lakinya, lagi.

****

Setahun berlalu, negara sakura jadi pilihan tetap untuk


Gandhy dan keluarga kecilnya untuk berlindung. Sejak
kematian anak pertamanya; Denver, Gandhy banyak belajar
bahwasanya ia tak akan menunjukkan titik lemahnya lagi
pada dunia. Laki-laki mungil yang sedang duduk manis di
dalam stroller—menatapnya dengan penuh binar, punggung
tangan kecilnya dikecup sekali.
22 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 23

“Hi baby, you must be happy ya born as Salim?” Bayi laki-


laki itu tersenyum lebar hingga memekik. Seolah paham
dengan ucapan ayahnya.

Putri kecil yang berusia empat tahun menatap adiknya


lurus, bingung kenapa sang adik mampu membuat Ayahnya
bertutur selembut itu.

“Why you look so happy, Pi?” Ujarnya, dengan satu


alis yang menukik.

Gandhy masih tak acuh, ia sibuk meggelitik perut


anak laki-lakinya. “Because of your little brother of course,”

“But you never look so happy when you look at me?”


Pertanyaan Grisella itu agaknya membuat Gandhy mulai
melirik, kaget akan pertanyaan spontan anak perempuannya.

“Who said that? Dan siapa yang mengajarkan kamu


untuk berbicara seperti itu sama Papimu? You know what?
That’s a not a good things. I’ve never teach you to behave
like that.”

Kala itu, Grisella kecil terdiam seribu bahasa, tatapan


nyalang ia lemparkan untuk bayi yang menatapnya penuh
binar—tanpa dosa. Perlahan lengan kecilnya ditarik sang
Ibu untuk menjauh.

23 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 24

“Do not talk with your dad like that! If you feel that
Iel could beat you, then show your best! Get your daddy’s
attention. Do not nagging like that!”

Cengkraman tangannya pada sang ibu menguat, detik


itu juga Grisella berjanji tak akan kalah selangkahpun dari
sang adik. Kasih sayang tetap ia beri, namun untuk urusan
ini, ia tak akan tersaingi.

She loves him, so much. But she can’t lose everybody’s attention just
because of those little guy.

****

Menginjak usianya yang ke-enam, Gamaliel dan


Grisella dibawa pulang ke tanah air. Gandhy dan Gantari
sudah bertekad bulat untuk membawa anak laki-lakinya itu
ke tanah air untuk bertemu dengan keluarga besarnya.
Dalam perjalanan menuju rumah kakeknya itu Grisella
berkali-kali mengingatkan adiknya untuk berpostur tegak
dan tak boleh mengisap jempol, kebiasaan buruk yang
Gamaliel lakukan setiap harinya.

“Kakak, could you please tell me who’s the girl in the horse?”
Matanya fokus pada anak perempuan yang sibuk berkuda
bersama laki-laki berwajah asia dibelakangnya.

24 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 25

“In bahasa please,” Sarkas sang kakak meskipun


dengan lembut.

“K-kakak, siapa anak perempuan yang berkuda itu? C-


could, I mean—bisakah kamu bantu aku ingat namanya
siapa?”

Grisella tersenyum lucu, puncak kepala adiknya di


usak halus. “Yang berkuda itu namanya Anya,
dibelakangnya ada Vincent. Dan yang berdiri tegak
dibelakang Om Samuel itu Mas Vier.” Si kecil megangguk
paham, terlalu fokus mrnghafal kembali wajah dan nama
para sepupunya.

Mata sabit milik Gamaliel mengerjap kala sang laki-


laki berwajah asia mendekat, diikuti dengan gadis berambut
ikal dibelakangnya.

“Hi! You must be Iel, right? Hajime mashite, Vincent


Axellano des!” Ujarnya dengan gesture hormat di akhir.

“H-hey! Where did you learn that? You never told


me, Vincy!” Anya menatap sosok laki-laki berwajah asia
disampingnya, tak terima dengan kekalahan telak yang baru
saja terjadi.

Gamaliel menatap keduanya bingung, sepanjang ia


hidup, dirinya itu tak pernah menemukan interaksi manusia

25 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 26

lain di sekitarnya. Ayahnya itu kelewat overprotektif.


Sehingga teman saja ia tak punya.

“Hi, Iel! Im Anya, your biggest fans since you’re born


on this world, lets be a good siblings!” Mata hilang akibat
senyumnya yang terlalu lebar, membuat Gamaliel
menyambut hangat uluran tangannya.

Vincent menatap Anya bingung, kali ini saudara


perempuannya itu benar-benar kelewat berlebihan.

Tanpa banyak basa basi, ketiganya memilih untuk


berlari kearah kandang kuda yang berada di pojok kanan
lapangan. Vincent jadi pemandu dan Anya jadi teman yang
setia menggengam erat tangan Gamaliel sepanjang jalan.
Untuk pertama kalinya, anak bungsu Gandhy Salim itu
bahkan lupa untuk mengemut jempolnya karena saking
takutnya berinteraksi dengan manusia lain—Zevanya dan
Vincent, merupakan dua sosok yang ia jadikan panutan
untuk jalani hidupnya kedepan. Ucapan ayahnya kembali
memenuhi relung pikiranya, bahwa saudara diatas
segalanya.

Hari demi hari berlalu, kala itu Zevanya dan Vincent


mengajak si bungsu untuk ikut ke salah satu minimarket
terbesar di daerah Jakarta Timur, Anya tak henti
membanggakan usaha retail yang dibangun Ayahnya sedari
26 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 27

tadi. Vincent dan Gamaliel hanya jadi pendengar yang baik


sembari sepasang manik menelusuri isi minimarket tersebut.

“Iel! Jangan kemana-mana ya! I wanna show Vincent


where’s the toilet.” Pinta Anya sambil buru-buru menarik
lengan Vincent.

Namun, Gamaliel kecil yang mulai bosan


melangkahkan kakinya keluar minimarket. Netranya
langsung jatuh terfokus pada taman kecil yang berada tepat
di depan minimarket tersebut. Kakinya ia bawa melangkah,
merasa tertarik dengan segala jenis wahana sederhana yang
tak ia temukan di Jepang sebelumnya. Eskrim mahal di
tangan yang ia sengaja simpan untuk dimakan bersama
kedua saudaranya itu digenggam erat, agar tak jatuh.

Namun, fokusnya pecah kala ia dengar satu isak tangis


bocah laki-laki yang letaknya berada di bangku belakang
dekat perosotan. Berkat tingginya rasa penasaran, akhirnya
ia mampu berdiri tepat di depan anak itu, menatapnya datar.

“Fafa jahat! Mikha nda suka Fafa! Hiks!” Ujarnya sendu.

Entah dorongan darimana, tangan kecil milik


Gamaliel mulai menaruh sekotak eskrim itu di pucuk kepala
sang bocah. Berharap laki-laki seumurnya itu berhenti

27 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 28

menangis, karena ajaran keras dari Ayahnya itu selalu


terpatri dalam pikiran,

“Anak laki-laki itu harus kuat, Gamaliel, You will never get what
you want if you’re being like this. Kamu itu anugerah bagi Papi. Your name
was explained it all! Be a good boy and stop crying! Boys didn’t cry like that!”

Nampaknya, sikapnya barusan itu terasa tak sia-sia,


karena si laki-laki mungil itu mulai mendangak, mata bulat
dengan penuh binarnya itu membuat seorang Gamaliel kecil
terkesima. Bingung kenapa ada mata seindah itu. Hidung
merahnya juga terlihat lucu, kecil dan kembang kempis.

“Kamu capa?” Suara nyaring itu mengalun, menyapa


indera pendengarannya. Tak henti membuatnya terkesima
lucu menatap si pemilik gigi kelinci di hadapannya.

Sejatinya, Gamaliel Ossa Salim itu juga satu dari


sekian banyak anak yang dipenuhi rengek manja jika
keinginannya tak terpenuhi, namun begitu ia lihat sosok
laki-laki yang sejenis dengannya itu membuat hatinya
melemah, ia tahu rasanya jika keinginannya itu tak tepenuh.
Kata Ayahnya, tangis tak akan membuatnya mendapatkan
hal yang ia ingin—jadi satu eskrim di genggamannya itu ia
beri untuk si manis.

28 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 29

Meskipun peretemuan mereka hanya sesaat, Gamaliel kecil kala itu


tak pernah absen untuk mengingat sosok manis yang ia tolong kala itu.

****

Gamaliel paham betul kehadirannya di bumi ini


layaknya badai besar yang seharusnya di hindari. Hal itu ia
ketahui sejak duduk dibangku SMA—dua tahun lalu
tepatnya. Sang Ayah menjelaskan kenapa ia harus tinggal di
negara yang jauh dari keluarga besarnya meskipun sang
kakek begitu amat menyayanginya.

Sakhayang—sang kakek, merupakan sosok jenius


dibalik berkembangnya Salim Group. Ia begitu pandai
dalam menguasai pasar dan paham betul jenis targetnya. Hal
itu tentunya mampu membuat matanya setajam silet, ia
mampu memilah mana cucu terbaik yang mampu
meneruskan usahanya nanti. Zavier, mungkin jadi kandidat
paling kuat. Namun itu semua berubah begitu Gamaliel
lahir dan tak henti-henti membuatnya terkesima.

Gamaliel itu layaknya belati bermata dua yang mampu


menusuk siapapun yang berani menghalangi jalannya; persis
seperti Sakhayang di masa mudanya. Ia hangat seperti
Gandhy, namun kecerdasannya itu tak ada yang mampu
tandingi. Seperti saat ini contohnya, Gamaliel itu bagai tak
terpisah dengan sang Kakak. Setelah setahun lalu kakaknya
29 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 30

pergi dan memutuskan untuk ikut tinggal di tanah air, ia


bagaikan angin yang kehilangan arah. Ia paham
kapasitasnya, sang Ayah tak akan mungkin memenuhi
keinginan kuatnya untuk ikut tinggal, jadi ia gunakan cara
lain agar kemauannya itu terpenuhi.

“Hi kakek, this is Iel. How are you?”

“Ah, Iel. Cucuukku sayang, Im good. How’s Japan,


Nak?”

“Good, I get a straight A, but im lonely in here, Kek.


Could you please give me something?”

“Sure, Iel mau apa? Coba bilang sama Kakek.”

“I wanna live in Indonesia, could you please told my dad to let


me live in there, Kek? Please, I beg you.”

Gandhian Salim, mungkin tak pernah sadar, jenis


singa apa yang ia besarkan hingga mampu menerkamnya
seperti ini. Gandhy, sukses buat anaknya jadi pribadi yang
mampu membuat segala keinginannya terpenuhi, just like the
other Salim but lowkey version.

Mungkin caranya tak sekeras Vincent, tak se-


gamblang Anya dan tak sematang Vier, namun diamnya itu
mampu membuat lawannya tak berkutik. Gamaliel adalah
versi baru Salim yang senang menggunakan cara bawah

30 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 31

tanahnya untuk segala hal yang ingin ia miliki. Sekali lagi,


Gandhy sukses bentuk karakter sang anak persis dengan
dirinya.

Pribadi kerasnya itu justru terbentuk karena ia selalu


sendiri, emosi yang seharusnya meluap mampu ia tahan
segenap hati. Tuntutan keras dari sang Ayah mampu
membuatnya jadi pribadi idealis yang tak butuh sentuhan
afeksi dari sosok manusia lain.

Badai itu benar-benar hidup dan entah kapan pelangi datang


untuk hapus gelapnya.

31 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 32

Sang Badai Bertemu Pelangi.


“Dua sosok bertolak belakang yang bertemu dan isi kurangnya masing-
masing.”

January, 2026.

Tiga tahun sudah Gama dan Mikha melewati suka-


dukanya bersama. Sejak hubungannya kembali terjalin,
Kedua insan itu sepakat untuk tinggal di atap yang sama;
balas tahun-tahun sebelumnya yang dipisahkan oleh waktu
dan keadaan. Tiap tahunnya, hubungan antar keduanya
terasa lebih lengket dan intens. Namun, sayangnya tak
pernah terbesit untuk menuju ke jenjang yang lebih serius.

Satu dunia layaknya tahu bahwa cucu bungsu Salim


begitu memuja kekasih hatinya. Mikha itu diperlakukan
begitu halus;dijaga sepenuh hati—hadirnya lebih berharga
dari beratus triliun harta yang keluarganya miliki. Kata
orang, Mikha itu adalah salah satu jenis manusia yang
memiliki keberuntungan besar. Dapat Gamaliel itu layaknya
jackpot. Selain tampan, ia memiliki aura kepemimpinan yang
kuat, berwibawa dan banyak buat publik tercengang akan
perstasinya.

32 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 33

Dunia mungkin punya prespsi sendiri, Gamaliel Salim


begitu memuja kekasihnya. Kendati demikian, apabila
mereka lihat lebih dekat, mungkin presepsi tersebut akan
berganti. Mikha itu jauh mencintai Gama; bahkan jika
dibandingkan dengan dirinya sendiri. Banyak hal yang harus
direlakan begitu dua insan itu kembali memadu kasih.
Harta, Keluarga, Latar belakang hingga opini publik mampu
buat Mikha berkali-kali merasa sakit di hati. Pernikahan—
seperti yang Juan dan Putra lakukan, nampaknya akan jadi
mimpinya semata, karena ia begitu tahu bahwa dunia tak
dapat menerimanya se-terbuka itu. Pikirnya, asalkan
bersama Gama, semuanya akan terasa lebih baik. Jadi,
pernikahan itu bukan sesuatu hal yang wajib dilakukan. Segala
opini yang sibuk memenuhi kepalanya itu ditepis kuat, ia tak
ingin bahagianya hancur hanya karena keinginan ‘kecilnya’
semata.

Pernikahan itu biarlah jadi impian kecil yang ia selalu semogakan.

Asalkan Putra tak dengar pembelaannya barusan.


Karena mungkin, rambutnya akan rontok dijambak habis
akibat alasan bodoh untuk tenangkan risau di hati.

****

3 January 2026.

33 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 34

Hari ini, tepat tiga tahun keduanya kembali merajut


kasih. Singapura jadi tujuan utama mereka untuk singgah
dan habiskan hari pentingnya kali ini. Tak tanggung-
tanggung, Tahun ketiga ini mereka bawa para kelima
sahabatnya untuk ikut merayakan, karena tema anniversary
tahun ini adalah “Nonton Konser Coldplay.”, Mikha memang
bukan penggemar garis keras band beraliran pop-rock
tersebut, akan tetapi, lagu Fix You milik Coldplay itu
layaknya jadi satu lagu yang mampu ingatkan perisitiwa
berharga dalam hidupnya; dimana sang kekasih memintanya
untuk hidup bersama.

“Et demi apapun gua kagak paham lagunya. Ini si Kol


pay gak mau ngundang dj tessa aja apa yak?” Ujar Muklis,
yang memilih jongkok dan berkeluh kesah di tempat. Jidat
lebarnya jadi sasaran empuk kemarahan Putra.

“Lu diem ya njing, Mulut lu bau Pulo Gadung.


COLD-PLAY, COLDPLAY! BUKAN KOL PAY,
TOLOL!” Laki-laki yang kesabarannya setipis kapas itu
mulai menatap nyalang sang suami—yang sibuk mengelus-
elus dengan sabar kaki mulusnya.

“Si Gama tolol juga sih, bocah udik kayak lu diajak.”


Imbuhnya, sambil menatap lurus punggung kokoh yang

34 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 35

berada di depannya, sibuk memeluk kekasih manisnya dari


belakang.

Kelima sosok itu berada tepat di depan panggung,


Gama sebisa mungkin mengamankan kekasih manisnya
dalam pelukan—agar tak tergencet dan tetap merasa
nyaman. Beda hal dengan si Manis, justru hal tersebut jadi
kesempatan emas bagi Mikha untuk sesekali curi satu
kecupan dan pelukan hangat dari sang kekasih.

Lagu demi lagu mulai berganti. Tiap lagu memang


indah dan punya makna tersirat di dalamnya, namun lagu
terakhir yang akan dinyanyikan begitu buat hati Mikha
menggebu; tak sabar dengan performance berikutnya.
Mikha bisa rasakan pelukan dari sang kekasih semakin erat.
Ceruk lehernya mampu rasakan deru nafas Gama yang buat
dirinya merasa geli. Satu kecupan Gama daratkan disana,
berusaha hilangkan groginya begitu intro dari lagu Coldplay
mulai terdengar.

Seluruh penonton begitu tersentak kala seisi venue


secara tiba-tiba mulai gelap gulita. Sinar lampu padam,
begitupun dengan speaker dan alat lainnya yang secara
spontan berhenti. Gama bisa rasakan cengkraman si manis
mengerat karena panik. Netra lucu milik Mikha sibuk
bergulir, cari akar masalah mengapa hal tersebut bisa terjadi.

35 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 36

Juan dan Julia jadi dua sosok yang menambah kadar resah si
manis; katanya takut seisi penonton disini jadi tumbal
proyek karena venue ini rumornya mau diperluas. Tentu
saja Mikha dan segala otak lugunya percaya dan mulai
mengeratkan pelukannya pada sang kekasih.

“Gama, kalo emang kita jadi tumbal proyek, terus si Juwiw gimana?
Masa jadi yatim piatu kayak aku?” Pertanyaan ngawur itu tak
terjawab, Gama sembunyikan senyumnya dibalik ceruk leher sang
kekasih. Merasa gemas akan perilaku polosnya.

Seisi venue kembali dibuat bingung begitu tiba-tiba


saja sinar lampu kembali menyala, menyorot Chris sang
vokalis yang menatap lurus kearah dua pasangan yang sibuk
berbagi kehangatannya dalam dekapan; Gama dan Mikha.
Matanya beri sinyal yang Gama tangkap. Perlahan, intro
lagu Fix You milik Coldplay mulai terdengar, Mikha teramat
sadar bahwa kekasihnya itu kembali mengeratkan
pelukannya.

Seketika, tubuh milik Mikha menegang kala layar


besar di belakang Chris mulai menampilkan foto miliknya
dan Gama sewaktu pertama kali merajut kasih. Seisi venue
juga dibuat terkejut begitu Chris mulai menanyikan bait
awal Fix You.

36 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 37

“When you try your best but you don’t suceed…” Foto milik
si manis terpampang dengan jelas di layar; beserta caption
yang buat dirinya menahan segala rasa haru yang
membuncah. Para penonton mulai berteriak riuh begitu
paham kemana maksud dan tujuan hal diluar dugaan ini
terjadi. Mikha jadi satu sosok mengapa para penonton
menaruh perhatian lebih terhadapnya.

“I can cleary rembember the moment when I lost him, it’s hurt like hell. My
world was collapse, I lost the love of my life.”

Kilas balik dimana ia dan Gama harus terpisah


membuat hatinya kembali merasakan sesak yang ia ingat
dengan jelas beberapa tahun lalu. Dunia seakan terus
memberinya pukulan keras begitu kehilangan cinta sejatinya.
Bumi bukan lagi tempat indah untuk berpijak, rasanya
banyak duri tajam di sepanjang jalan. Gama seakan
menariknya lagi kedunia, begitu pipi kanannya dikecup
dengan penuh kelembutan.

“Lights will guide you home……and ignite, your bone.”

Foto kebersamaannya bersama Gama dan keluarga


intinya akhir-akhir ini terpampang jelas. Kalau saja Gama
tak merengkuhnya erat mungkin Mikha akan jatuh,
dengkulnya ikut dingin menegang kala caption dibawah
foto-foto tersebut membuatnya semakin ringkih.
37 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 38

“I don’t believe in love, but since he came to my life, I do believe that love is
exist, he is the real definition of love and home.”

“Mikha?” Suara rendah milik Gama buat Mikha


perlahan menengok, menatap netra sepekat jelaga yang
menatapnya penuh cinta.

“Happy anniversary, baby. Aku gak bisa jabarin kata


lain selain aku sayang banget sama kamu. I love you with all
of my heart, you are the part of me that will forever live in
me. Kalau aku kehilangan kamu, aku sama aja kehilangan
diri aku sendiri.” Tangan milik Mikha diusap halus sebelum
Gama merogoh sakunya.

“—I have my wonderful three years with you, tapi


rasanya gak akan lengkap kalau kita ada di lingkaran itu aja,
tanpa arah yang jelas. Kamu terlalu berharga buat aku,
Mikha. Tanpa hadirnya kamu, mungkin aku gaakan bisa jadi
Gamaliel yang sehebat ini, kamu itu bagai buku panduan
yang selalu bantu aku ajari hal-hal kecil dalam hidup—”

Gamaliel menarik nafasnya panjang, dahi si manis


dikecup sekali. Keduanya bersitatap sesaat hingga akhirnya
Gama tuntun arah pandangnya kembali ke depan, dimana
telunjuk dan ibu jari milik Gama menyodorkan satu cincin
putih dengan hiasan sapphire kecil di tengah.

38 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 39

“I wanna be with you for the rest of my life, So, w-


will you marry me, Miki?” Bisiknya dengan getar di akhir.

Kalau saja tak ada lautan manusia di seklilingnya,


mungkin Mikha akan memeluk tubuh sang kekasih erat dan
menenggelamkan dirinya disana, menangis hebat dan
salurkan cintanya lewat pelukan hangat. Bibir bawahnya
semakin digigit kuat. Ia membeku sesaat akibat rentetan
kalimat panjang sang kekasih, mimpinya itu jadi nyata.

Fokusnya teralih begitu lihat layar besar yang


menampilkan video sang Ayah dari Gamaliel ikut berikan
sepatah kata. Sang istri juga ikut duduk diam disampingnya;
dengan mata yang terlihat sembab dan hidung sedikit
memerah akibat menangis. Tapi sebisa mungkin
disembunyikan dengan raut datar.

“Haloo anak bungsunya Papi, ini pasti Mikha lagi di


Jepang ya? Cari patung haciko yang bikin kita nangis waktu
nonton bareng?” Ujarnya sembari sesekali fokus ke
belakang kamera, menatap anak bungsu—aslinya yang sibuk
menitah dari belakang bahwa tujuannya itu “Singapore”
bukan “Jepang”.

“Oh ok, Sorry, maksudnya Singapore. Mikha anakku


yang paling gemes, terimakasih sudah datang ke hidup kami,
terimakasih ya sudah banyak ajari kami tentang cinta dan
39 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 40

kesederhanaan. Mik, kamu mau jadi anak papi beneran gak?


Kalau mau, terima ya anak si Darso ini—aduh, aduh apasih
kamu Mi? Kok nyubit aku?” Ucapa Gandhy terputus kala
sang istri mulai mencubit lengan kanan atas milik Gandhy
kuat.

“Kamu ini selalu bercanda kelewat batas! Gak lucu!” Sang


istri menatapnya nyalang dan segera mematikan video
tersebut. Hal tersebut tentunya buat seisi venue tertawa.

Begitu video tersebut terhenti, netra hazel milik


Mikha kembali berkeliling, menatap lamat lautan manusia
yang menatapnya penuh binar bahagia. Ia memang salah
satu dari sekian banyaknya manusia beruntung karena dapat
perlakuan khusus seperti ini. Hidupnya sebelum bertemu
Gama itu—begitu sakit. Meskipun punya dua sahabat yang
selalu setia menemani, Mikha tetap haus akan kasih sayang
tulus yang sering ibunya berikan dulu. Jiwanya bagaikan
kosong tak terisi, meskipun bahagia terus ia pancarkan untuk
sembunyikan sepi. Kehadiran Gama dan keluarga intinya buat
dirinya kembali rasakan afeksi yang tak pernah ia rasakan
sejak kematian ibunya. Ia kembali dihujani cinta dan kasih
sayang oleh sang kekasih.

40 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 41

Suara isak tangis kecil Julia dan Muklis buat dirinya


kembali tersadar, beberapa seruan untuk menerima
pertanyaan sang kekasih mulai terdengar.

“Mikha?”

“Kok bengong, sayang?” Suara lembut Gama buat


dirinya terperanjat, matanya mengerjap lucu begitu sadar.
Tubuh rampingnya berbalik, menghadap kearah sang
kekasih, tanganya mengalung kuat, kepalanya mendangak,
menatap lurus dua bola mata berbentuk sabit yang
menatapnya hangat.

“I will.” Rasa malunya seolah hilang begitu saja begitu


senyuman manis tampil, birai tebal milik Gama dikecup
beberapa detik dengan netra tertutup, salurkan rasa
bahagianya disana.

Sang kekasih tentu ikut merasakan bahagia yang tak


bisa diungkap dengan kata. Birai tipis yang bersentuhan
dengan miliknya mulai dilumat, di depan ribuan orang.
Pinggang ramping milik Mikha direngkuh semakin dekat,
buat seluruh orang disana bertepuk tangan.

Tanpa Mikha tau, Gama memang sudah menyiapkan


ini dari lama. Niatnya untuk rajut hubungan yang lebih
serius begitu kuat kala ia merasakan sendiri jika hubungan

41 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 42

diantara keduanya itu semakin berkembang. Keduanya


semakin dewasa dan tau cara menyikapi masalah dengan
baik. Komunikasi antar keduanya juga semakin intens, tak
lagi sama seperti dulu. Tak hanya Mikha, Gama selalu
merasa beruntung miliki si manis disisinya. Mikha itu
layaknya pelangi yang datang setelah badai besar, ia begitu
berwarna, bersinar dan indah. Hadirnya mampu buat orang
disekeliling merasa terpukau dan bahagia. Gama tak ingin
kehilangan dunianya, lagi.∞

Hari itu, selamanya akan jadi hari yang punya banyak


kenangan di dalamnya. Kedua sosok yang memiliki latar
belakang hingga sifat bak bertolak belakang menyatu dalam
ikatan cinta dan janji suci yang terkenang abadi. Manusia itu
selalu punya harap besar untuk hidupnya ke depan; sama
halnya dengan kedua insan yang sibuk berbagi cintanya
tersebut.

Pada akhirnya sang pelangi datang dan hapus gelap sang badai besar.

●●●

“Brengsek, G-gua nih laki l-men. G-gak boleh nangis gara-


gara beginian!”

“I f-feel you, Klis.” Ujar Julia sembari membuang


ingusnya kuat.

42 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 43

“B-betewe, gua nangis gara-gara tau bos gua harus bayar


berapa buat acara lamaran beginian doang. Kayaknya lu gak
bisa peel me, Jul.”

Lagi dan lagi, Muklis jadi sosok yang buat suasana


haru jadi terkesan konyol.

“Bangsat. Mending lu tutup mulut lu, sebelum gua


tutup usia lu.”

Dan Putra akan selalu jadi sosok yang lelah untuk hadapi
tingkah si Aneh Muklis.

43 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 44

One Year Anniversary.


“Mikha emang gak punya harta, tapi punya Gama.”

Kecupan basah pada pipi berisi milik Mikha


membuatnya terpaksa harus berpisah pada bunga tidurnya.
Matanya mengerjap beberapa kali, dahinya berkerut kesal
berkat tau siapa pelaku yang berani hujani wajah bulatnya
dengan kecupan basah.

“Hnggg! Gama! Diem gak?!” Pintanya, dengan tangan


kanan terangkat; hendak tutupi wajah si tampan agar
berhenti mengusiknya.

“Gama dieeeem! Akunya masih ngantuk.”

Gamaliel menatap sang laki-laki manis yang ia nikahi


tepat setahun lalu lamat. Paras indah milik Mikha tak
pernah absen buatnya jatuh cinta. Tubuh yang ia kukung
dari atas itu buat senyumnya tak berhenti terpatri. Telapak
tangan yang memenuhi isi wajahnya mulai dikecup kupu-
kupu. Menghadirkan rasa geli bagi si empu tangan.

“Gama ih udaah, aku minta ampuuun. Boleh ya aku


bobo? Pleaseee.”

Rengekan manja yang keluar dari bilah bibir si manis


membuat Gama terkekeh geli. Telapak tangan yang sibuk

44 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 45

tutupi wajahnya perlahan ia tarik menjauh, kembali hujani


wajah si manis dengan kecup basah.

“Mmmmch, gemees aku tuh gemes.”

“Pipinya bulet-bulet kayak gembloong.”

Pada akhirnya Mikha menyerah, menerima segala


kecup basah yang tak kunjung berhenti. Meskipun terasa
menyebalkan, dirinya akan jauh lebih kesal apabila Gama-
nya tak melakukan aktivitas ini di pagi hari.

“Bangun dong sayang, aku udah siapin a special


breakfast just for you,” Bisikian suara rendah masuk dengan
sopan melalui telinga kanan milik Mikha,. Kedua
maniknyamengerjap hebat begitu ingat tanggal berapa hari
ini.

Segaris senyum dari wajah tampan milik Gamaliel


kembali tercipta kala si manis membulatkan mata dan
mengalungkan tangan pada lehernya. Terlihat berkali lipat
lebih lucu begitu ia sembahkan senyum termanisnya.

“Udah inget?”

“Happy one year anniversary, baby. I love you so so so so


much. Mmmmwah." Hanya ucapan singkat dan satu kecupan
di sudut bibir, mampu buat Mikha kembali merasakan rasa
bahagia begitu hebat.

45 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 46

Sejak empat tahun terakhir, ia selalu bangun dengan


ciuman hangat dan pengakuan cinta dari belahan jiwanya.
Rasa kosong yang dulu sibuk menggerogoti hati kerap
berubah jadi rasa hangat dan bahagia karena kembali
merasakan bagaimana dicintai orang lain. Jiwa kosongnya
berhenti mengisi begitu Gamaliel datang kembali. Dan
Mikha, tak akan sia-siakan kebahagiaanya untuk kedua kali.

****

Sarapan special yang dimaksud Gama pagi ini adalah


kue lopis dan nasi uduk dengan telur balado buatan Ibu
kosnya dulu, Munaroh. Hingga detik ini, mereka tak dapat
menemukan nasi uduk lain yang rasanya mampu
menandingi nasi uduk buatan tangan Munaroh. Begitu
wangi, gurih dan pulen.

“Aaaaaa,” Gama yang netranya terfokus pada laptop


tipis miliknya mulai membuka mulut, mengharap satu
sendok masuk untu penuhi mulutnya.

Mikha dengan sabar mulai menyendok satu nasi uduk


yang sengaja dimakan sepiring berdua, ia yakin Gama-nya
itu tak akan habis apabila makan sendiri.

46 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 47

“Kalo lagi makan tuh taruh dulu kerjaanya.”


Sarkasnya, sembari menyendokkan satu lauk kedalam mulut
Gama.

“Hehe, kan biar disuapin kamuu.”

“Paling bisa ya lu, gemblooong.”

Masih dengan suara keyboard dan netra yang terfokus


pada layar, Gama layangkan satu pertanyaan yang buat
Mikhanya gelagapan, bingung harus menjawab apa.

“Did you like the present, Miki?”

Mikha kembali teringat dengan jelas, dimana dua hari


lalu tiba-tiba saja Gama mengajaknya untuk pergi ke daerah
Jakarta Utara, menaiki satu kapal yacht dengan interior
dalam kapal yang mewah dan chef handal yang ikut
menemani tour singkat mereka kala itu. Dirinya dibuat
terkejut di akhir, karena baru mengetahui fakta dimana
kapal tersebut dibeli atas namanya, dari Gama untuk Mikha;
hadiah satu tahun pernikahan.

“Sayang? Kok bengong? Gak suka ya?” Punggung


tangan milik Mikha diusap halus, menarik dirinya kembali
ke dunia.

“Suka dong! Nanti kita ajak Juwiw naik kapal, yuk?”


Suara kekehan mengudara, pertanyaan konyol dari Mikha

47 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 48

itu ditanggapi dengan satu kecupan gemas di pipi. Pagi itu,


Mikha sukses buat Gama merasa lega karena ternyata, si
manis menyukai pemberian yang ia siapkan khusus dari jauh
hari. Tanpa tahu alasan dibaliknya.

****

“Satu tahun pernikahan, Gamaliel Salim hadiahkan satu


yacht mewah untuk sang suami.”

Headline berita terpampang jelas, memenuhi ruang


layar milik ponsel yang setia Mikha genggam. Begitu selesai
sarapan, Gama dan Mikha kembali pada rutinitasnya
masing-masing; bergelut dengan pekerjaan yang mereka
miliki. Meskipun suaminya punya harta bergelimang, Mikha
tak ingin jadi sosok yang hanya duduk dan habiskan
uangnya di rumah—bosan katanya.

Aktivitas pagi yang Mikha sering lakukan adalah


duduk di meja kerjanya dan scroll timeline twitter. Pagi itu,
nama sang suami kembali jadi trending nomor dua di twitter
Indonesia.

“Buset, gua yakin orang kampung kayak Mikha dikasih


kapal bukannya seneng malah bingung dipake buat apaan wkwk.”

“GAMALIEL SALIM EMG IDAMAN KITA


SEMUA ANJINGG.”

48 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 49

“Yang untung si Mikha doang, Gamalielnya mah beban dapet


spek babu.”

“Terus si Mikha ngasi apaan? Ngasih lobang doang ye wak


wkwk, canda lobang.”

“Kalo mereka cerai, gua gak heran dah, kasian si Mikha


dihujat mulu.”

“Paling bener cere, emang gaada pantes-pantesnya si udik jadi


mantu Salim.”

Begitu jemarinya siap untuk kembali scroll komentar


pedas kebawah, ponselnya ditarik paksa dari depan,
disembunyikan kedalam kantung oleh si laki-laki manis
bertubuh gempal yang baru saja datang.

“Bacain twitter lagi kan lu? Dibilang kagak guna,


masih aje.” Seruan tengil Kahfa buat Mikha mengerjap,
kaget akan presensi manusia lain yang tak diundang.

“Apaansi lu, Met? Balikin ah handphone gua.”

“Mau sampe kapan lu simpen sendiri? Kasi tau Gama,


dongo.”

Mikha mungkin mampu sembunyikan sedihnya


dengan berbagai macam topeng bahagia yang mampu ia
lakoni dengan baik. Namun, Kahfa akan jadi sosok pertama
yang sadar bahwa sosok lembut itu sedang berada dalam
49 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 50

zona amannya; berusaha sembunyi dari dunia yang fana dan


tutupi segalanya dengan senyuman manis—sosok naif yang
selalu gantungkan kebahagiaanya pada manusia lain.

“Kagak penting, orang gua cuma baca doang, gak


masukin ke hati.” Mikha masih berusaha acuh sembari
berusaha meraih ponselnya.

“Kagak penting, kagak penting tapi ujungnya lu sakit hati.”

“Lu udah nikah, yang udah lalu gausah diulang lagi,


kalo ada yang ganjel omongin. Jangan diem doang bisa lu.”
Tatapan nyalang sengaja ia layangkan pada Mikha, agar si
manis itu sadar.

Mikha menghela nafasnya panjang, “Gini ya Fa, ada


hal yang seharusnya gua ceritain dan yang enggak. Gua
paling tau Gama itu gimana, cara dia respon masalah gua,
cara dia jagain gua. Hal-hal kecil kayak gini bakalan jadi
gede kalo dia dan bokapnya tau.”

“Kalo lu bilang gua sakit hati, ya emang sakit. Tapi


lebih sakit lagi kalo liat Gama malem-malem nangisin gua
sendirian. Merasa gak layak bisa balik lagi sama gua—ah
anjing lah kalo dibayangin. Dia tuh sensitif anaknya, intinya
gua tau lah kapasitas diri gua sendiri.” Imbuhnya, kedua

50 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 51

netra bulatnya tatap lurus sang sahabat dan berusaha


tenang.

Lihat Kahfa yang sukses melongo, ia jadikan


kesempatan untuk kembali rebut ponselnya. Satu seringai
senyum mengejek mulai nampak begitu ia dapatkan ponsel
tersebut.

“Lagian gua sama lu beda, mungkin lu bisa ngambil


keputusan buat mutusin hubungan lu sama Vincent gitu
aja—ninggalin semua resiko yang bikin lu keliatan keren
dan berani. Tapi gue tanya dah, Fa.”

Kahfa mulai susah meneguk ludahnya kala ia paham


kemana arah ucapan Mikha.

“Lu bahagia?” Satu pertanyaan dari sosok manis


yang menatapnya lurus mampu bungkam seorang Kahfa
Ananta dengan seribu bahasa.

Kahfa, mungkin lupa niat awalnya untuk buka pikiran


sahabatnya. Justru malah Mikha yang buka pikirannya
hingga mampu buatnya diam tanpa suara.

“Kalo jadi temen ngewenya Vincent doang sampe mati


apa lu sanggup? Gua tau si met, harga diri lu kagak serendah
itu.”

51 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 52

“Bukan gua lah yang murahan, kan dia yang butuh.”


Kali ini Kahfa gak bisa diam, ia tak ingin kalah terus.

“Tapi niat lu ladenin terus tuh biar apa? Biar lu bisa


terus keep in touch sama dia?”

Lagi-lagi satu pertanyaan yang keluar dari bilah bibir


Mikha sukses buat dirinya mulai ragu dan menanyakan
presensi dirinya sendiri.

****

Di lain sisi tentu lain cerita, Gamaliel menatap lurus bangunan


kecil dan kendaraan yang padati ibukota dibalik ruang kerjanya.
Pikirannya terbagi, membayangkan cara apalagi yang harus ia
tempuh agar Mikhanya ini aman dari dunia kejam yang kerap kali
buat dirinya ingin menunjukan sisi aslinya pada publik.

“Bos, Mikha bentar lagi sampe.” Informasi singkat dari


Muklis seakan menariknya kembali ke dunia.

“Klis,”

“Santai bos, santai. Mikha tuh kagak cerita sama lu karena—


ya pasti dia paham luar kepala lu tuh orangnya gimane. Namanya
berhubungan mah kagak seratus persen dibuka banget. Ada hal-hal
yang kudu lu simpen sendiri juga bos, biar masalah kagak runyem.”
Jelasnya begitu ia lihat raut resah milik sang tuan muda.
52 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 53

“Gitu ya? Tapi gue tetep pengen denger dari sisinya, Klis.”

“Ya kalo gitu elu tanya baik-baik, janji ke dia kalo lu gak akan
macem-macem. Cuma pengen tau aja rasanya jadi doi.”

Gama mula berdiri, buka jas miliknya dan menggulung


kemejanya sampai lengan. Merasa sebentar lagi suami manisnya itu
akan tiba.

“Thanks, Klis. Lo boleh balik, biar gue tungguin Mikha


sendiri aja.”

Sebelum pergi, Muklis tepuk bahu Gama beberapa kali,


berikan semangat kecil disana. “Bos, gua yakin Mikha pasti bahagia
sama lu—lu gausah banyak mikirin hal kagak penting. Kalo Mikha
merasa gak nyaman pasti dia cerita dah sama lu, yakin gua.”

Agaknya masalah komentar publik dan reaksi Mikha ini selalu


jadi satu keresahan yang buat Gama merasa takut akan ditinggalkan
lagi. Ia tak akan pernah maafkan dirinya sendiri jika Mikhanya pergi
lagi. Namun disisi lain, ia tahu Mikha akan merasa risih jika Gama
terlalu terpaku pada pikiran negatif yang sebenarnya tak terjadi.

“AYAAAAAANG” Suara nyaring dan pintu yang sengaja


dibanting buat fokus Gama kembali datang. Senyum terbaik ia
tampilkan begitu sang kekasih mulai lari dan buka tangannya
lebar—hendak memeluk dirinya.

53 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 54

Nasib Muklis? Udah biasa liat yang begini—liat yang versi


telanjang juga pernah.

“How was your day? Are you happy?” Satu kecupan Gama
layangkan pada kening sang kekasih yang sibuk memeluknya erat
dan endus tipis ceruk lehernya.

“Happy! Happy! Soalnya aku abis bikin Kahfa skak mat!”


Ujarnya rian.

“Kamu ngapain dia?” Senyuman lebar Gama berikan di akhir,


buat si manis ikut tersenyum.

“Dia bilang, aku jangan suka bacain komenan di twitter


ataupun instagram—‘stop sakitin diri sendiri, Mik. Kasih tau Gama
segalanya.’ gitu katanya.”

Gama mulai pusatkan fokusnya hanya pada si manis begitu


percakapan ini dibuka.

“Terus, kamu jawab apa?”

Helaan nafas panjang dari Mikha buat Gama mulai resah,


jemarinya dengan ringan mulai menarik punggungg tangan Mikha,
mengusapnya halus disana.

“Ya aku gak bego—kamu tuh pasti tau ‘kan aku sering diginiin
tanpa aku cerita?”

54 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 55

Hening, Gama sibuk pikirkan alasan apa yang harus ia beri


agar kekasihnya tak merasa terkekang ataupun terbebani.

“Aku tau, tapi aku tunggu kamu cerita sayang, aku gak mau
nantinya kamu merasa aku berlebihan. Aku mau kamu nyaman,
maaf kalau cara aku salah, ya?” Punggung tangan milik Mikha
dikecup lama. Buat si manis merasa melebur meskipun perlakuan
manis itu kerap ia dapatkan setiap hari.

Gama begitu terkejut kala dengan tiba-tiba Mikha peluk erat


kembali dirinya, posisinya juga berpindah menglaung pada
pangkuan Gama.

“Makasih sayaang! Selalu ngutamain diri aku dulu—


kebahagiaan aku. Happy anniversary, selamat satu tahun
pernikahan. Kamu selalu bilang kalo kamu beruntung dapet aku.
Tapi, aku malah merasa sebaliknya. Aku merasa beruntung banget
punya kamu jadi suami aku.” Pelukannya semakin mengerat
sebelum akhirnya ia beri kecupan di pipi kanan milik Gama.

“Aku emang gak punya harta, tapi aku punya Gama buat lawan
dunia!” Ujarnya bangga.

Mikha mungkin gak sadar kalau saja ucapannya barusan itu


mampu buat si gagah yang selama ini selalu hadapi segala
masalahnya dengan sikap datar dan tenang itu mulai merasakan haru
di hati. Kedua bola matanya terasa panas begitu ia dengar penuturan

55 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 56

Mikha barusan. Mikha itu benar-benar jadi satu sosok yang buat
hidup Gama terasa lebih berwarna. Harta miliknya tak seberapa jika
ia harus kehilangan lagi sosok tersebur.

Perlahan, pelukannya mulai terurai, Mikha mulai mendangak


dan beri satu kecupan pada rahang tegas milik Gama.

Keduanya terdiam beberapa saat, sibuk selami netra indah


masing-masing dengan senyuman terpatri di bibir. Siapapun
manusia yang lihat posisi keduanya sekarang mungkin akan paham
cinta diantaranya terasa begitu kuat. Seperti Muklis contohya—yang
hadirnya seperti bayangan; tak terlihat.

“Gamaa!”

“Iya, sayangg?”

“Mam gemblong, yuk?”

Pipi kanan milik Mikha dikecup lama, berikan kesan


mendalam bagi si manis.

“Ayoooo!”

Malam satu tahun pernikahan itu ditutup dengan kedua insan


yang berbagi hangatnya dekapan sambil tatapi bangunan tinggi dan
riuhnya ibukota. Begitu sederhana namun maknanya mendalam
karena keduanya saling berbagi cerita dan cintanya disana.

56 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 57

Mikha emang gak punya yacht, pesawat bahkan pulau untuk Gama.Tapi
hadirnya di dunia ini, udah jadi kado paling berkesan buat si bungsu Salim.

●●●

Kahfa menyesap rokoknya kuat. Udara dingin kala itu jadi


salah satu alasannya untuk memantik satu batang tembakau yang
kerap kali buat penatnya berkurang.

Mungkin dirinya kelewat percaya diri begitu ia katakan pada


dunia bahwa ia adalah sosok paling “keren” di bumi karena berhasil
tinggalkan begitu saja cinta sejatinya—tanpa perlu berjuang lagi, agar
dirinya tak kembali sakit.

“Smoking will kill you, Fa.” Bariton rendah menyapa, mengalun


lembut masuk dengan sopan ke indra pendengaran milik Kahfa.

Vincent secara spontan muncul, ikut duduk dibagian rooftop


café yang sudah resmi jadi milik Kahfa dan Mikha.

“Nah,” Kahfa menjetikkan rokoknya, kembali menyesap kuat


dan hembuskan asapnya tepat di wajah milik Vincent yang
menatapnya lamat.

“Loving you,” Tubuhnya sengaja dimajukan beberapa senti


begitu Vincent duduk tepat disamping. Bibirnya mendekat pada
telinga kiri Vincent.

“Loving you was kills me inside.” Bisikan halus itu mampu buat
Vincent menatap lurus sang mantan kekasih. Meskipun keduanya
57 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 58

sudah resmi berpisah sejak beberapa tahun lalu, ada sensasi


tersendiri tiap Kahfa mengucapkan sebait kata cinta untuknya, sakit
dan begitu sesak di dada.

Sebatang rokok yang diapit oleh birai tipis milik Kahfa


perlahan direnggut, Vincent ambil sebatang tembakau itu untuk
disesap. Dahinya berkerut, bibirnya jadi fokus seorang Kahfa
Ananta, karena terlihat begitu sexy dari sini.

Kepalanya mendangak, asap miliknya ia kepulkan di udara,


buang segalanya disana.

“And losing you was kills me, Fafa.” Mata setajang elang mulai
menatap lurus si manis yang sibuk terdiam. Suasana terasa tegang,
dirinya begitu terhanyut dengan perkataan Mikha tadi siang hingga
berani ucapkan kalimat seperti barusan.

“Gua bercanda,”

“Gak bercanda juga gapapa.”

“Loving me was a kind of sin, lo salah kalo jatuh sama pengecut kayak
gue.” Imbuhnya, dengan tatapan yang beralih pada langit.

“Oh shut up, we’re all know that lu satu-satunya yang


berjuang.”

“Gue cuma sibuk ngumpet dan sayang sama lu, meanwhile you
really down so bad for me, doing anything just to make me happy—and that
kills me, knowing the facts we’re ending up like this—”
58 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 59

Vincent kembali menaruh fokusnya pada Kahfa, kedua alisnya


tertaut. Entah hawa darimana yang buat segalanya jadi begitu serius
seperti ini.

“I’ve never fight for you, semua hal yang lo sebutin barusan itu it’s
just a bare minimum. Harusnya gue berjuang lebih buat lo.”

Kahfa menghela nafasnya panjang, mematikan rokoknya dan


mulai berdiri.

“Seriously stop it, V. Jijik juga gua dengernya lama-lama.”

“Come on, wanna grab some dinner?” Tanganya terulur untuk ajak
Vincent pergi.

Semburat senyum cerah muncul, buat hati Kahfa ikut


menghangat.

“Sure,”

Di tempat yang berbeda, tiap insan punya caranya masing-


masing untuk sampaikan kasihnya—meskipun tak lagi bersatu.

“Mungkin lu bisa ngambil keputusan buat mutusin


hubungan lu sama Vincent gitu aja—ninggalin semua resiko
yang bikin lu keliatan keren dan berani. Tapi gua tanya dah,
Fa. Lu bahagia?”

59 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 60

Jealousy, Jealousy.
“Got a pretty face, a pretty boyfriend too
I wanna be you so bad, and I don't even know you.”

“Si Gama, PT-nya boti ye, Mik?” Satu pertanyaan yang keluar
dari bilah bibir tipis milik Kahfa buat Mikha berkerut bingung,
karena entah darimana asalnya, Kahfa dapat menarik kesimpulan itu
secara spontan.

“Totally agree, gue liatnya juga gitu sih, actually.” Kali ini giliran
Julia—wanita yang sekarang sudah berbuntut dua ikut
menambahkan.

“Terus kalo boti kenape? Urusannya sama lu semua apaan?”


Untaian sinis Putra buat keduanya telan ludahnya susah, mulai takut
sabda kasarnya Putra keluar lagi.

“Ya terakhir gua ke apartnya si Mikha sih gua liat-liat tu orang


touchy abis ye, Aiko aja lewat.”

“True! Terakhir gue inget banget pas Juan minta joinan gym
bareng Iel, and you know what? He touch my man’s butt. What tha fuc—
” Birai tipis milik Julia hampir saja mengumpat sebelum akhirnya
matanya bertemu pandang dengan netra bulat sang anak yang
menatapnya penuh binar.

60 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 61

“Ups, I mean fudgy brownie..” Imbuhnya, sembari tersenyum


lebar dan elus puncak kepala anak laki-lakinya, Junior. Berharap
sosok mungil berusia tiga tahun itu tak kelepasan dan mengadukan
hal tersebut pada sang suami, karena satu dunia pun tahu bahwa
Juan jadi semakin “taat” pada tuhannya setelah menikah.

“Eh demi ape si sampe nyolekin pantat?” Kahfa makin


terbawa dalam cerita, Caramel Machiatto miliknya disesap kuat
sambil fokus dengarkan kisah singkat yang Julia sibuk jabarkan
dengan menggebu-gebu.

Sejak memasuki umurnya yang ke-27 Gama memang tak


memiliki waktu se-fleksibel dulu lagi. Rutinitas lari yang biasa ia
lakukan satu jam penuh di pagi hari, sebelum melakukan aktivitas
hariannya mulai tak pernah ia lakukan lagi karena waktunya yang
terbatas—apalagi suami manisnya itu terbilang “kelebihan hormon”
jadi, pagi harinya dihabiskan dengan pergulatan panas sebelum
berangkat kerja. Namun, belakangan ini Gama mulai merasa
tubuhnya tak se-fit dulu lagi. Ia jadi mudah lelah dan cepat ngantuk.
Jadi, cara pintas untuk dapatkan tubuh yang sebugar dulu lagi adalah
memanggil Personal Trainer ke apartmentnya di weekend dan
habiskan beberapa jam untuk olahraga.

Mikha tentu kenal dengan laki-laki yang dipanggil Gama


untuk jadi Personal Trainernya. Namanya Rakhu, laki-laki bertubuh
atletis namun ramping bukan main. Memiliki pantat sintal dan dada

61 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 62

yang terlihat ‘besar’. Namun, Mikha tak pernah sekalipun merasa


iri—karena Gama pun tak pernah menaruh sedikitpun matanya pada
sosok tersebut, hanya dianggap sebagai teman dan guru.

“Sejauh ini si aman-aman aja sama Gama, dia gak pernah tuh
cerita di colek-colek apalagi pantatnya.” Mikha dengan percaya
dirinya mulai membuka kembali obrolan tersebut.

“Gak pernah cerita ‘kan? Bukan gak pernah dicolek?” Julia


dengan celotehan asalnya sukses buat Putra menginjak kaki
jenjangnya hingga ia memekik.

“AAAKH!W-what? That’s true, right?” Jawabnya sembari


mengelus kakinya yang berdenyut.

“Ya emang si Juan aja kali kebanyakan gerak, makanya


pantatnya kecolek. Gausah namba-nambahin orang pikiran dah lu.”

“Eh tapi bener Put. Kata Vincent, si Gama pernah ngajakin


dia joinan juga kan tuh. Lu tau ape? Tuh si bule dodol diremek
anjing toketnya?”

Sontak pernyataan dari Kahfa barusan buat ketiganya


membulatkan netranya masing-masing. Telebih Mikha, yang
merasakan jantungnya ikut berdebar, gak kebayang bagaimana dada
putih mulus bidang milik Gama harus diremas-remas manusia lain
selain dirinya.

62 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 63

“B-bercanda gak sih, Fa?” Julia dengan bibir bergetar mulai


tatap Mikha takut.

Netra milik Putra mulai bergulir, sadar dengan raut wajah


milik Mikha yang mulai pucat pasi. Tubuh kecilnya mulai berdiri,
tangannya buat satu kepalan dan mendorong halus pucak kepala
kedua temannya masing-masing—berharap kadar kebodohan
diantara keduanya sedikit berkurang. “Ya itu ‘kan Vincent dongo,
bukan Gama! Mana berani dia grepe-grepe Gam—” Ucapnya
terputus kala Mikha ikut berdiri, tatap lamat ketiga sosok
sahabatnya.

Kalau diingat kembali, Rakhu itu merupakan Personal Trainer


yang Vincent rekomendasikan untuk Gama. Dia gak pernah
nyangka bahwa sosok itu dengan berani melakukan hal gila tersebut.

“Boti brengsek!” Begitu satu umpatan keluar dari bilah


bibirnya, Mikha langsung berbalik. Tinggalkan tiga sahabatnya yang
menatapnya diam dengan mulut yang terbuka. Bingung dengan
langkah apa yang akan terjadi selanjutnya, karena ketiganya yakin
Mikha akan buat satu gebrakan yang—diluar nalar.

“Gws, Iel. Harusnya gue gak ngomong gitu gak ‘sih?”

“Lebih gws lagi si Rakhu, lawannya kagak waras—”

“Lu berdua yang gak waras. Udah tau si Mikha sensian malah
dipanas-panasin. Bingung gua, kenapa lu berdua bisa jadi sarjana.”

63 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 64

****

Sejak berita terakhir yang Mikha dapat bahwasanya Personal


Trainer milik Gama adalah seorang penggoda ulung—Mikha
semakin jaga laki-lakinya itu ketat. Gama, tak boleh melakukan sesi
olahraganya sebelum ia bangun di pagi hari. Ia akan ikut memantau
dari sudut ruangan, takut-takut tikus kecil itu berulah.

Seperti minggu pagi di bulan ini, Mikha dengan mata bengkak


dan rambut jigrak yang menandakan ia benar-benar baru saja
bangun dari bunga tidurnya—menatap Gama dan Rakhu nyalang
dari sudut ruangan. Tanganya melipat di dada, bibirnya mencebik
kesal—meskipun malah terlihat gemas bukan main.

“Relax, ini tangan lo lurusin aja yah, Yel.” Jemari lentik milik
Rakhu mulai telusuri urat-urat yang nampak pada lengan atas milik
Gama. Suaranya sengaja dibuat lembut. Hawa semakin terasa panas
begitu Mikha tangkap otot milik Gama di pencet-pencet genit.

Nyatanya, ungkapan Kahfa dn Julia itu benar adanya, Rakhu


adalah jenis penggoda ulung yang tak kenal takut. Memangnya apa
manfaat dari pencet-pencet otot milik Gama?

Kaki milik Mikha mulai menghentak, buat kaget dua sosok


yang fokus tadi. Gama menatapnya dengan netra yang membulat
lucu. Keringat yang membanjiri pelipisnya biasanya buat nafsu

64 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 65

Mikha naik, namun tidak kali ini. Rasa kesal begitu menghujami hati
begitu ia lihat Gama-nya seperti tak sadar akan apa-apa.

“Kenapa sayang?” Suara berat mengalun lembut, buat Mikha


semakin kesal karena Gama benar-benar terlihat tenang. Tak terusik
dengan kejadian yang baru saja terjadi.

“Hey?”

“Sini-sini, aku peluk dulu.” Tangannya terbuka lebar, harap


Mikhanya segera datang dan peluk dirinya erat.

Hal itu tentu terjadi, meskipun Mikha datang dengan raut


kesal yang buat dirinya berkerut bingung.

“Uuuh kenapa sayang? Baru bangun ya?” Mikha mulai


memeluk erat sang suami, ikut duduk diatas pangkuannya dan
mengalungkan tangannya di leher milik Gama, sembunyikan
wajahnya disana meskipun sedikit basah akibat keringat yang
mengalir.

“Sorry ya Rak, pending bentar. I need to talk with my baby, first.”


Ujarnya, buat Rakhu mundur beberapa langkah—meskipun
terkesan canggung.

Mikha mulai angkat kepalanya, netranya bergulir tatap Rakhu


yang sembunyikan semburat kesal akibat aktivitasnya terganggu.

“Wangi bayi banget sih kamu? Mau sarapan apa bayiii?”

65 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 66

Ide liciknya mulai muncul dengan spontan, rasa jail dalam


dirinya begitu menggebu—ingin lihat lawannya itu semakin kesal
akibat diabaikan.

“Mau sarapan ini,” Netra hazel miliknya beralih pada bibir


tebal milik Gama. Sedetik kemudian bibir tersebut dilumat spontan,
buat sang suami ikut terkejut karena aksi nekatnya yang tiba-tiba.

Ciumannya semakin dalam kala Mikha mulai memiringkan


kepalanya—ke kanan dan kiri, tak lupa dorong kepala Gama
semakin dekat agar ciumannya terasa lebih intens.

Tangannya menjamah bagian lengan atas milik Gama, diusap


halus dan diremat kuat, berulang kali bermain disana—hilangkan
jejak kotor, buat suasana makin panas dan sosok lain yang tinggal
ikut merasakan hawa diantara keduanya.

Gama yang masih tak mengerti maksud dan tujuan si manis,


mulai putus ciuman diantara keduanya. Jemarinya bergerak lembut
menghapus jejak saliva di bibir Mikha. Satu kecupan di sudut bibir
jadi penutup, buat Mikha tersenyum menang.

“Jangan nakal yaa? Akunya gym sebentar, boleh?” Tanganya


bergerak menyugar surai acak biru milik Mikha, merapihkannya
sedikit. Yang ia tangkap hanyalah sinyal kelebihan hormon milik si
manis—tak tau arti dibalik ciuman panas tadi.

66 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 67

Anggukan lucu dan pelukan erat jadi jawaban si manis.


Dibalik pelukannya, netra cantiknya itu tatap Rakhu yang letaknya
berada di belakang Gama dengan lurus. Raut tak suka dan sinis yang
Mikha tangkap dari wajahnya buat ia yakin akan satu hal,
bahwasanya Personal Trainer yang setia membimbing sang suami 2
bulan ke belakang ini menaruh rasa lebih.

Rakhu mengepalkan tanganya kuat, tatapan lurus dan nyalang


ia berikan begitu ia tangkap seringai senyum mengejek dari wajah
manis milik Mikha. Tak hanya Mikha, Rakhu juga bertekad untuk
balas kekalahan telaknya. Rakhu mungkin gak tau bencana apa yang
akan datang nanti karena sudah menganggap remeh bayi besar milik sang
traineenya.

****

“PAPIIIIIP” Sapaan nyaring yang begitu manja buat Gandhy


membuka tangannya lebar. Kepergiannya selama beberapa bulan ke
Amsterdam buat dirinya rindu bukan main pada sang menantu.

“Duh, duh anak Papi, apa kabarnya, Nak?” Tubuh ramping


milik Mikha direngkuh, beri tanda sayang melalui sapuan halus pada
punggung.

“Baik,” Kali ini Gamaliel datang secara spontan, dengan raut


datar dan tarik perlahan si manis, ia ganti dengan tubuhnya untuk
peluk asal sang Ayah.

67 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 68

“Apasih! Kamu nih ganggu Papi dan anak Papi! Sana-sana,


bau keringat kamu tuh!” Ujarnya sembari menarik tangan Mikha
untuk pergi dan menutup hidungnya—agar menambah kesan kalau
Gama benar-benar bau.

Langkah keduanya terhenti kala Gandhy menangkap sosok


asing yang berdiri di depan ruangan gym di apartment milik kedua
anaknya. Tatap laki-laki asing itu dengan bingung, menelisik dari
atas sampai bawah.

Rakhu tentunya sadar, sebisa mungkin groginya ia buang.


Kakinya dibawa mendekat kearah Gandhy dan Mika, tubuhnya
bungkuk 90 derajat kala sampai tepat di depan Gandhy.

“Hi om, my name is Rakhu. Im Gamaliel’s Personal Trainee. Nice to


meet you!”

Sapaan riangnya itu buat Gandhy berkerut bingung. Gandhy


memang sosok lembut dan halus didepan publik dan tentu saja
bungu kesayangannya—Mikha. Namun, ia bukanlah sosok laki-laki
baik yang menyapa manusia asing dengan hangat.

Mikha yang sudah hafal luar kepala dengan sang mertua,


menahan tawanya puas. Rakhu jelas kembali kalah, Gandhian Salim
tak akan peduli pada persensi seorang PT.

68 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 69

“Pi, come on. Just try to be nice to other people.” Suara anaknya
yang semakin dekat, buat Gandhy melongok ke belakang, tatap
Gama dengan ikut berkerut.

“Apasih? Kamu tuh gak diajak! Ayo Mik, kita makan saja, Papi
bawa nasi padang Pagi Sore itu lho yang Papi bilang enak.”
Pergelangan sang menantu kembali ditarik, dibawa menjauh ke meja
makan. Tinggalkan dua manusia yang melempar senyumnya
masing-masing.

“Sorry ya, Rak. Gandhy Salim yang lo liat di TV it’s fucking


fake. This is the real him—ya just like the others brats who owns this
country.” Gamaliel mendekat, menepuk bahu milik Rakhu beberapa
kali, yang efeknya buat si ramping berdebar.

“Ya, cuma bayi gue tuh yang bisa ambil hatinya. Emang
anaknya gemes banget sih. Siapa coba yang gak jatuh cinta kalau
bentukannya kayak Mikha?” Ujarnya dengan bangga dan kekehan
di akhir.

Mungkin Rakhu belum sadar akan satu hal; Gamaliel itu


hangat ke semua orang, hingga tak sekali dua kali banyak manusia
yang jatuh hati—namun hatinya jelas hanya berseru untuk
Mikhailan Shaka.

“Se-special itu ya cowok lo?”

69 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 70

“Very, very special. Bokap gue tuh—sayang banget sama dia. My


dad will probably give this damn country just for him, if he ask.”

“Wow, that’s so—deep. Gue pikir orang tua lo bakalan yang


gak suka gitu sama dia.”

“Awalnya sih Mami gue berat nerima dia, tapi sekarang?


Bahkan Mami gue telfon gue cuma pengen tau mantunya itu lagi
apa—karena terlalu gengsi nanya sendiri, haha.” Ujarnya, dengan
netra yang terfokus pada punggung sempit milik Mikha yang mulai
menjauh bersama dengan sang Ayah.

“Udah ah, lo belom makan kan? Ikut gue sama yang lain
makan aja. Tenang gausah takut dicuekin—ada gue kok.”

Rakhu mulai menyunggingkan senyumnya, berusaha terlihat


baik di depan Gama. Jiwa-jiwa dalam dirinya itu masih belum
pantang menyerah. Menurutnya yang lebih tepat itu ungkapan
tentang, siapa yang tak jatuh cinta kalau Gamaliel hadir tepat di depan
mata?

****

“Papi nih keterlaluan! Masa cuma Mikha yang dibeliin?” Suara


berat milik Gama menyapa, menatap nyalang Ayahnya yang sibuk
buka kotak nasi padangnya bersama sang menantu.

“Lho, nanti kalo makan nasi padang kamu masak ugd lagi. Ya
kan, Mik?” Ujarnya mengejek, buat Mikha ikut terkekeh jahil.

70 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 71

“Not funny, dad.”

“Ya orang kamu memang gak diajak kok. Sini Mik, kita makan
sambil nonton spongebob.”

“Beneran Pi, this ain’t joke anymore. Not funny. Ada tamu disini,
where is your attitude?!” Ketiga sosok disana mulai tersentak kala
Gamaliel menaikkan satu oktaf suaranya. Lelah setelah berolahraga
nampaknya buat perasaanya berkali lipat lebih sensitif karena
perilaku ayahnya kali ini.

Lihat adanya celah, Rakhu mulai masuk untuk ambil


kesempatan. Senyumnya terpatri.

“Yel relax. Lo ada stock veggies gak? I can made you some caesar
salad.” Suara lembutnya mengalun, buat ketiga sosok disana ikut
menengok, terlebih si manis yang berada tepat di samping Gandhy.

Gama hendak menjawab sebelum akhirnya secara spontan si


manis berjalan mendekat dan tarik sang suami.

“Gak!”

“Gama makan berdua sama gua. Lu biar gua pesenin makanan


aja.” Netranya terfokus pada ponsel, mulai cari makanan secara
online.

Geraknya terhenti begitu Gama lepas cengkraman kuatnya,


berjalan mendekat kearah Rakhu.

71 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 72

“Gak, gausah. Makan aja sama Papimu itu, aku sama Rakhu
turun aja, makan di mcd samping.” Tubuhnya dibawa menjauh,
bersaamaan dengan Rakhu. Yang akhirnya buat kaki Mikha
menghentak kuat.

“Ayang! Aku ikuut!” Seruannya tak digubris.

“Gama! Aku ikut mau juga!”

Seruannya nampak tak terdengar begitu Gama dengan


santainya berjalan kearah luar bersamaan dengan Rakhu yang
berada disampingnya, tinggalkan Mikha bersamaan dengan
kekalahaan telak yang baru saja terjadi.

Gandhy mulai melangkah, mendekati sang menantu yang


mencebik kesal lihat punggung Gama yang mulai hilang dibalik
pintu, tinggalkan dirinya sendiri dengan rasa berasalah.

“PAPI SIH” Mikha berbalik, tinggalkan mertuanya sendiri di


ruang makan, dengan sejuta rasa bingung. Kalau begini—ya emang
cuma Gandhy yang bisa disalahin.

****

Kemenangan pertama dari Rakhu nampaknya tak bertahan


lama begitu keduanya kembali pulang ke apartment megah milik
Gamaliel. Laki-laki yang tadi sedingin kulkas kembali berubah
sehangat matahari begitu kembali.

72 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 73

“Maaf ya? Maaf ya tadi aku ikut marah sama kamu?” Pipi
kanan milik Mikha dihujani kecup kupu-kupu, buat si manis yang
duduk di pangkuannya mencebik lucu.

“Mik, kan Papi bilang, anak temen Papi banyak loh, Nak.
Jangan mau sama laki-laki yang emosinya saja gak jelas seperti Iel.”
Bariton berat milik Gandhy buat Gama menengok, menatapnya
nyalang layaknya musuh yang sudah lama ingin habis dibantai.

“Papi diem ya, Papi tuh gak diajak!” Suara nyaring milik Mikha
buat Gandhy diam seribu kata. Bungsunya itu kelihatan masih
marah karena ulahnya tadi. Buat Gama tersenyum bangga kali ini,
karena untuk pertama kalinya, Ayahnya itu kalah akan dirinya.

“Loh, masih ngambek? Hayo kan udah Papi kasih yang Mikha
mau.”

Gama kembali menengok, tatap Ayahnya dengan raut


bingung.

“Turutin apa? Mikha mau apa emang?”

“Aventador Papi yang merah,”

Sontak jawaban dari Gandhy buat Gama bulatkan matanya,


terkejut bukan main mengetahui fakta bahwa baru kali ini Mikha
minta sebuah materi sebagai hadiah.

“Bener, yang?”

73 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 74

“Huum, mau aventadornya Papi. Keren, aku suka warnanya.”

Jawaban yang keluar dari bilah bibir Mikha itu nampaknya


buat sosok lain di ruangan itu mengepal kuat. Gamaliel, jadi
menantu kesayangan Gandhy Salim dan Aventador merah adalah
impiannya. Alasan ‘hanya suka warnanya’ adalah salah satu
ungkapan terbodoh yang ia pernah dengar—terlalu tampak
kampungannya.

Netra hazel milik Mikha bergulir, tatap lurus Rakhu yang


berdiri tepat di ujung sofa. Senyumnya tersembunyi, karena lagi-lagi
kemenangan menghampiri dirinya. Sorot matanya seolah
mengatakan,

Cuma makan MCD gausah sok keras, gua bisa dapet segalanya kalo
minta.

****

Seminggu berlalu begitu cepat layaknya air yang terus mengalir


hingga sampai ke muaranya. Hari dimana Rakhu harus menemani
Gama kembali datang. Pantulan dirinya yang nampak pada cermin
panjang miliknya buat ia tersenyum bangga. Tubuh ramping,
bokong sintal dan bagian tubuh atas yang terlihat proporsional
buatnya bangga. Meskipun minggu lalu, ia kalah telak akibat laki-
aki manis yang kacaukan agendanya.

74 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 75

Satu suara notifikasi buat fokusnya buyar. Dahinya berkerut


hingga alisnya teraut begitu liat satu informasi yang buat dirinya
seketika panas bukan main.

Iyeeeel<3

Rak, can u come at 11.00?

Sorry banget, Mikha lagi sakit. I need to make sure he’s gonna be alright kalo
gue tinggal sebentar.

Ponsel mahal miliknya dibanting kearah kasur, semakin kesini,


Rakhu makin yakin bahwa Mikha itu sengaja melakukan hal-hal
ganjil seperti ini; langkahnya mulai terendus.

Mikhailan Shaka itu sudah kelewat batas. Segala hal yang


dimilikinya itu harusnya gak terjadi semudah itu. Ia terlalu
‘beruntung’ punya dunia yang berputar hanya untuknya. Rasa iri dan
dengki begitu besar penuhi relung hati seorang Rakhu. Meskipun
telah diberi aba-aba, dia gak akan berhenti.

You.

Sorry Yel, I can’t. Gue udah di jalan.

Delivered.

****

Begitu pesan masuk dari Rakhu muncul, Gama dengan


terpaksa mulai mengganti pakaiannya dengan yang biasa ia

75 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 76

gunakan untuk latihan. Sesekali kakinya akan dengan cepat hampiri


si manis jikalau Mikha memanggil dirinya.

“Ayaang, mau minum.” Suara serak yang terdengar lirih buat


Gama buru-buru keluar dari ruang wardobe kecil miliknya, dengan
langkah cepat dan cekatan, satu air mineral sampai juga pada sang
suami.

“Pelan-pelan ya, Miki.” Pucuk kepala milik si manis diusap


halus.

“Aku boleh ikut kamu ke ruang gym gak?”

“No sayang, kamu lagi sakit.”

“Mau ikut, gamau ditinggal kamu.”

“Miki? Nurut ya,”


“Please?” Netra bulat yang sengaja dibuat sendu buat hati
Gama melemah.

Suara helaan napas panjang terdengar, buat Mikha tersenyum


kecil. Gimanapun juga Gama pastinya akan kalah dengan kemauan
kuat dirinya.

“Yaudah iya, tapi sambil boboan ya?”

“Iya, janjiii.”

“Yaudah sini, gendong ya?”

76 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 77

Tangan Mikha terbuka lebar, siap menerima perintah Gama


dengan patuh.

****

Setengah jam penuh berada diruang gym yang berada di lantai


bawah apatmentnya nampaknya buat Mikha terasa pengap di dalam.
Bukan—bukan karena dirinya sedang tidak fit, namun berkat
performa sang suami hari ini. Terlihat begitu bugar dan panas.
Apalagi semenjak rambutnya bertambah panjang.

“Aaah, h-hah.” Suara deru nafas dan desahan akibat angkat


beban yang begitu berat buat netra Mikha bergulir, tatap sang
Personal Trainer yang sama merahnya dengan wajah miliknya
sekarang.

“Y-yel, I think we need to take some rest for awhile…” Bibir


bawahnya Rakhu gigit kuat kala ia lihat Gamaliel mendangak,
tatapnya dengan keringat membanjiri pelipis dan baju yang begitu
basah akibat keringat.

“H-hah, really? Okay, Rak.”

“G-gue ke kamar mandi dulu, ya?”

“Sure, take your time, Rakhu.”

Begitu Rakhu sukses keluar dengan langkah yang di percepat,


Gamaliel segera berdiri dari tempat, tatap lamat si manis yang
menatapnya dari sudut ruangan.
77 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 78

“Hey? Kok duduk?” Gama mengecup kening milik Mikha


lembut, buat si manis semakin berdebar. Apalagi wangi maskulin
yang bercampur dengan bau keringatnya yang terkesan—sexy.

Pipi milik si manis diusap, ibu jarinya beralih pada birai tipis
milik Mikha. Ditekan lembut hingga birainya sedikit terbuka.

“Why, baby?” Gelengan ia dapatkan sebagai jawaban, buat


dirinya terkekeh seketika.

Gama semakin mendekatkan dirinya pada si manis, pundak


milik Mikha diputar kebelakang—dimana ada kaca besar yang
menampilkan dirinya dan Gama yang berada tepat dibelakangnya.

“Your face is turning red, sayang.” Bisiknya halus, dengan netra


yang fokus tatap manik kembar Mikha dari kaca.

Mikha tentunya dengan nafsu yang sudah berada di puncak


semakin merinding kala jermari milik Gama mulai mengelus halus
perutnya dibalik kaus. Timbulkan efek kupu-kupu terbang penuhi
perutnya.

“Mik?” Kepalanya mendangak begitu namanya disebut.


Obsidian segelap jelaga itu ia tatap lamat, tangkap sinyalnya dari
sana. Keduanya bersitatap sesaat sebelum akhirnya fokus Mikha
jatuh pada bibir tebal milik Gama.

“Liat apa sayang?” Sudut bibirnya dikecup.

78 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 79

Dengan berani, Mikha mulai majukan wajahnya, kecup


singkat birai milik Gama sekali, dua kali dan yang ketiga—sebelum
akhirnya Gama dengan inisiatifnya mulai menyesap birai tipis si
manis. Ranum yang jadi candu tersendiri sejak beberapa tahun
terakhir.

Bibir keduanya tak henti saling sesap bagian atas dan bawah
yang lama-lama berubah jadi lumatan panas dan lidah yang ikut
bermain, saling melilit dengan netra yang masih saling tatap—
berikan efek debaran yang berkali lipat.

Ciumannya terputus kala Gama angkat tubuh Mikha ala


bridal, rubah posisinya dengan sama-sama duduk menghadap kaca
gym yang penuhi ruangan tersebut. Dengan nafas yang menderu,
keduanya saling tatap diri masing-masing melalui pantulan tersebut.

Mikha mulai membuang pandanganya kebagian kanan kala


Gama kecup basah lehernya, sesap kuat leher jenjang tersebut
hingga timbul tanda kemerahan.

“H-hah, ayang.”

“Sst—jangan berisik sayang. Nanti Rakhu denger. Suka ya


kamu kalau ada yang liatin?” Jemari panjangnya aktif usap halus
pinggang ramping si manis, buat Mikha segera jambak perlahan
rambut belakang miliknya.

79 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 80

“A-aahh, m-mau dibuka bajunya,” Jemari lentik milik Mikha


mulai angkat kaus putih miliknya, desahnya semakin kuat, tak peduli
perintah Gama barusan.

“Hey? Kok malah makin kenceng?”

Bibir milik Mikha terasa kelu, hanya satu gelengan yang dapat
ia berikan.

“Orang tuh kalau lagi sakit tidur, kenapa bayi aku malah sensitif
ya?” Tanganya mulai cengkram bagian dagu Mikha, kembali arahkan
kepala tersebut kearah kaca. Kembali bersitatap melalui pantulan
diri. Bisa ia rasakan deru nafsu hangat sang suami menyapa leher
jenjangnya.

Nafsu milik Mikha makin tersulut kala Gama singkap kasar


bajunya, nampakkan tubuh seputih porselen miliknya dan puting
yang sudah menegang.

“Gigit bajunya. Jangan berisik, and be a good baby ya?”

Perintah milik Gama layaknya lelucon semata kala Mikha


mengabaikannya. Ia tuntun jemari milik Gama untuk sentuh bagian
putingnya, titah jemari itu untuk remas dadanya kuat.

“Ngghh—hahh, remes-remes yang kenceng, yaaangh.”

“Mikha,” Sedari awal, Gama itu sudah notice, kalau si manis ini
tersulut nafsu. Namun gak nyangka—Mikha bakal sebold ini diruang
terbuka.
80 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 81

“Hnnngh—aah enak,”

Desahan kuat yang keluar dari bilah bibir Mikha nampaknya


jadi tanda bahwa laki-laki manis itu semakin berani untuk berbuat
hal tak senonoh di ruangan tersebut, tak peduli presensi manusia
lain yang bisa saja akan datang dan tangkap basah perilaku
keduanya.

“Mikha,”

“Stop calling my name and please fuck me hard, Mr. Ossa.” Tatapan
nyalang dan menantang mulai Mikha lemparkan tepat di depan
pantulan kaca, buat Gama kembali mengapit kuat dagu dan
sekitaran pipinya.

“What did you said, baby?”

“Fuck—” Dengan sengaja, ia mulai gesekkan bagian


bokongnya mengenai bagian selatan yang sudah berdiri tegak milik
Gama.

“Me—” Tubuhnya berbalik, tangannya mengalung, sorot


sayunya tatap bergantian bibir dan mata sang suami.

“Hard, Mr.Ossa,” Hingga sampai di kalimat terakhir, Mikha


sesap kuat bibir milik Gama, dilumat dengan penuh nafsu,
bergantian atas dan bawah. Jemarinya dorong tengkuk sang kekasih
agar ciumannya lebih dalam.

81 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 82

Dalam ciuman panasnya, Mikha tersenyum penuh


kemenangan kala sentuhan dari sang suami mulai menjelajah ke
bagian bokong. Remat kuat bongkahan sintal tersebut hingga buat
sang empu memekik.

“A-angh, lagi.” Ciumannya terlepas, buat Gama tatap netranya


sebentar dan kembali jelajahi bagian leher, beri noktah merah
disana.

“Minta yang bener.” Satu kecupan di sudut bibir jadi penutup,


netranya kembali terfokus pada manik hazel yang tak henti
menatapnya berani dengan penuh nafsu.

“Gama, Mikha mau diremet yang kuat kayak tadi, mau dientot sampe
gak bisa jalan.”

Kalimat kotor yang datangnya dari bibir si manis buat libido


Gama semakin naik, hotpants hitam yang melekat pada bokong
sintal sang kekasih kembali diremat kuat.

“Stand up baby, let’s do it quick, sebelum Rakhu balik.”

“Please be a good baby, ya? Jangan berisik sayang.” Begitu


satu anggukan ia dapatkan, Gama mulai tuntun Mikha untuk berdiri,
lepaskan celana yang tutupi bagian bawahnya. Begitu sukses
terbuka, senyum Gama kembali nampak, tatap Mikha dengan sorot
sayu dan kecupan singkat di bagian rahang.

82 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 83

“Udah basah aja ya?” Kepala penis milik si manis disentuh,


tepat dibagian lubang kencingnya diusap-usap—dimainkan hingga
buat sang empu mengadah—seisi ruangan jadi saksi bahwasanya
nikmat Mikha sedikit tertahan karena suaranya yang tak boleh
terlalu keras.

Kaki yang sedikit bergetar Gama angkat, dituntun untuk


mengalung pada bagian pinggang miliknya.

“A-anghh, mau cium! Mau cium!” Mikha memekik nikmat


kala dua jemari Gama sukses keluar masuk pada bagian lubang yang
sudah berkedut miliknya.

Seruan dari Mikha layaknya perintah wajib yang harus diikuti,


lumatan kasar serta bibir bawah yang digigit kuat buat Mikha
merasakan hawa semakin panas disekeliling.

Seolah beri akses, Mikha buka perlahan mulutnya, biarkan


Gama absen tiap inci bagian mulutnya. Matanya menutup—
berbeda dengan sang dominan yang tatap sayu wajah keenakan
miliknya.

Ciuman keduanya terlepas kala Mikha merasakan penisnya


ikut berkedut, ingin keluarkan cairan cintanya.

“Gama?”

“Yes baby?”

“Mau keluar, boleh?”


83 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 84

Birainya dikecup singkat, satu gelengan ia dapatkan. “No,


sayang. Please wait for me, ya?”

“Nggh—please? Mau keluar yang,” Pertanyaan milik Mikha tak


digubris, Gama angkat kembali tubuh tamping tersebut, satu tangan
lainnya berusaha buka celananya, keluarkan penis tegang yang
sembunyi.

Mikha makin mengalung kuat kala ia rasakan penis milik


Gama bergesekan dengan bokong miliknya. Dengan sengaja, Gama
gesekkan kepala penisnya pada sekitaran lubang miliknya, buat
nafsu dalam dirinya memuncak.

“Nggh—aaangh.”

“Enak ya? Suka ya kamu diginiin?” Mikha mengangguk,


matanya sibuk memejam dan nikmati sentuhan sang dominan.

Rahangnya kembali dikecup sekali, bawa Mikha kedalam


pelukannya semakin erat.

“P-please, I wanna cum.” Suara bergetar milik Mikha buat


Gamaliel segera memasukkan kepala penisnya kedalam lubang
berkedut miliknya.

“Fuck, you’re so tight, baby.” Mengingat hanya punya waktu


sedikit, Gama mulai rengkuh erat Mikha, hujaminya dengan
beberapa tusukan telak yang buat si manis terbang hingga ke langit
ke tujuh. Saling bersitatap—karena keduanya itu punya ketentuan

84 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 85

dimana harus menatap netra satu sama lain ketika sedang bercinta.
Sorot sayu penuh nafsu buat darah keduanya semakin berdesir.

“Show me your puppy face, Mikha.” Netra yang masih bertatapan


semakin siratkan nafsu memuncak kala Mikha julurkan lidahnya—
layaknya seekor anak anjing yang menurut. Tubuhnya bergerak naik
turun seiring dengan tempo cepat yang suaminya berikan. Penisnya
makin berkedut akibat tahan segala cairan yang akan keluar.

“Good puppy, keep doing that until I came, ya?” Rahang milik Gama
dijilat, kepala bulat milik Mikha menggeleng. Ia semakin eratkan
pelukannya, sembunyikan wajahnya dibalik leher milik Gama.

“Gama,”

“Iya, sayanghh?” Suara khas penyatuan antara dua kulit buat


suasana semakin panas.

Tanpa Gama tahu, senyum licik mulai terpatri di wajah si


manis—tatap nyalang sosok yang berdiri di depan pintu sedari tadi.
Tanpa Gama ketahui tentunya.

Wajah yang sembunyi dibalik ceruk leher mulai kembali


nampak di hadapan Gama, tatap sayu laki-laki yang sibuk kejar
pelepasannya.

Gerakan acak miliknya spontan berhenti begitu Mikha tuntun


dirinya untuk duduk. Tubuh ramping yang tadi sibuk mengalung
beralih fungsi jadi pihak yang ambil alih segala kendali, gerakan naik

85 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 86

turun dan sesekali memutar buat sang dominan sukses menutup


netranya—begitu puas dengan sesi bercintanya kali ini.

“Fuck, pinter banget sayang. Keep doing that.”

“Is that good?”

“Soo good, baby.”

“Then tell me, how bad do you love me?” Mikha alihkan
pandangannya pada sosok yang masih terdiam dengan netra
membulat—bingung harus melakukan apa di situasi seperti ini. Rasa
emosi makin membuncah kala Gamaliel usap halus punggung si
manis yang sibuk kejar pelepasannya.

“I fucking love you, sayang. I love you so bad—I can’t live without
you—aangh.”

Rakhu dapat lihat dengan jelas, Mikha disana tatapnya dengan


nyalang. Seringai senyum mengejek yang terpatri buat darah dalam
dirinya mendidih. Birai tipisnya bergerak buat gesture tanpa suara
seraya gerakkan tubuhnya naik turun diatas tubuh milik Gama.

“Back off, loser. He’s mine.”

Tiap insan di dunia ini, jika berada di tempat yang sama


mungkin akan lihat dengan jelas cinta yang begitu besar dari
Gamaliel untuk Mikha. Ia begitu memuja si manis—dilihat dari
erangan yang keluar dari birainya tentang seberapa hebat dan besar
pengaruh Mikha. Tak henti ucapkan rasa cintanya dan puji sosok
86 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 87

tersebut—apalagi ketika keduanya sampai pada puncak. “There’s no


one in this world could ever beat my baby.”

Termasuk Rakhu, langkahnya semakin mundur—Mikha itu


jelas bukan saingan yang tepat. Bercinta tepat di hadapanya? Tentu
cara gila yang dilakukan untuk buat orang lain mundur untuk dapatkan
belahan jiwanya.

Ungkapan cinta dari Gama juga jadi alasan kuat mengapa


dirinya bertekad bulat untuk akhiri segalanya—pasangan ini terlalu gila
untuk dipisahkan.

●●●

“Thanks, udah bikin suami gue badannya fit lagi. You did a
great job, Rakhu Jonathan.” Netra hazel milik Mikha menelisik
tubuhnya dari atas hingga ujung kaki. Entah sengaja atau tidak—
namun, Mikha gunakan baju dengan kerah longgar, tunjukan
banyak nokta merah di bagian selangka dan leher. Buat Rakhu
menyipit kesal.

“Yep, that’s my job.” Matanya memutar malas, kembali berrgulir


dan cari presensi Gamaliel.

“Lu cari siapa? Gama?”

“Of course? Gue harus pamitan??”

“Nanti gua sampein salam lu. Sorry ya, Gama tidur. Ngewe
sama gua emang butuh ekstra tenaga.”
87 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 88

“Sorry?” Kening milik Rakhu berkerut, kaget dengar


penuturan kotor yang keluar dari bilah bibir Mikha.

“Oh selain gatel, budek juga ya lu,”

Kakinya dibawa melangkah dekatkan wajahnya pada telinga


milik Rakhu.

“I said, back off, loser. He’s mine. Kasih tau Zevanya and Vincent
Axellano Salim to stop doing this shit.” Tubuh Rakhu menegang kala
nama Zevanya dan Vincent disebut. Netranya membulat, deru nafas
yang terasa disekitar leher buat bulu kuduknya meremang. Terkejut
bukan main bahwasanya Mikha tau fakta yang ia simpan rapat dari
awal kedatangannya.

Mikha melipat tangannya di dada, tatap kembali presensi diri


Rakhu dari atas hingga bawah dengan seringai senyum mengejek.

“Rakhu Jonathan, Mahasiswa abadi President University—pft,


bahkan gua yang lebih miskin dari lu bisa masuk UI dan lulus tepat waktu.”

“Lu pikir gua se-bego apa? Personal Trainer dadakan?


Dapetnya dari Vincent lagi. Gua gak setolol lu si Rak, sayangnya.”
Wajah manis yang biasanya menatap teduh manusia lain mulai tatap
dirinya dengan penuh hujat.

“Lagian Gama gak pernah sedikit pun nafsu sama lu. Lu tau
gak? Gua sama Gama sering ngomongin pantat implan lu, haha.”

88 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 89

Rakhu semakin melangkah mundur kala Mikha semakin maju


mengapitnya, tunjuk bahunya dengan kasar.

“Bilang ke tuan lu itu ya, Jing. Stop usik hidup gua sama Gama.
Gua gak akan ngadu—tapi, kalo gini terus caranya,” Langkahnya
terhenti, matanya menatap remeh sosok manusia di hadapannya.

“Gua bisa lampiasin amarah gua ke orang-orang yang gak punya masa
depan kayak lu.”

Mikha mulai merogoh saku celanannya, keluarkan satu kunci


mobil aventador merah milik sang Ayah mertua. Kunci tersebut ia
lempar asal ke belakang Rakhu, buat laki-laki itu memekik dan
memejamkan mata.

“Tuh mobil mahal buat lu—terserah mau dipake buat gaya atau dijual
lagi. Kuliah lu yang gak kelar-kelar itu, butuh banyak biaya ‘kan?”

Sekali lagi, Mikha itu bukan lawan yang ia mampu untuk


sandingi, Presepsi remeh Zevanya dan Vincent benar-benar
meleset jauh, Mikha dapat berdiri sendiri bahkan tanpa
Gamaliel tau keberadaan musuh dalam selimutnya.

89 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 90

Bagian dari Salim.


“Selamanya,tamu yang tak diundang tak akan pernah masuk jadi bagian.”

Sebulan berlalu, kejadian-kejadian kecil yang sukses


buat amarah Mikha terpantik buatnya tenang karena dapat
menyelesaikannya dengan baik, ia bahkan dapat membuat
ketiga sahabatnya tercengang, gak percaya kalau Mikha bisa
segitu garangnya buat lindungi Gama dari tikus kecil kayak
Rakhu.

“Ternyata itu orang suruhan si nyam-nyam? Anjinglah,”

“Tuhan Yesus, lindungi keluarga kecil hamba dari manusia-


manusia laknat kayak golongan Salim,”

“Bentar, itu si nyam-nyam doang apa Vincent juga ikutan?”

“Vincent emang brengsek, tapi dia gak sekontol itu ya Put,


sampe ngerusak rumah tangga orang. Approved by mantan.”

Mikha dengan sandiwaranya terus berlanjut bahkan


hingga di depan Kahfa dan dua sahabat lainnya, Putra dan
Juan. Hanya tuhan dan dirinya sendiri yang tahu kalau
Vincent dan masker abadinya itu tak pernah lepas. Satu-
satunya inti Salim yang dapat menerimanya dengan lapang
hanyalah keluarga dari sang suami. Sisanya hanyalah bualan
belaka.

90 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 91

“Hi Yel, you come?” Suara rendah laki-laki berumur 30-


an menyapa. Itu adalah Andrew, suami dari Zevanya yang
sibuk gendong anak pertamanya, Hazelio Dyxon Djatmika.

“Iya An, Hi baby? How are you?” Tangan kanan milik


Gama tak henti mengelus lengan kecil bocah berumur 4
tahun di hadapannya, senyum hangatnya terpatri—buat
laki-laki mungil di depannya tersipu malu. Seangkan tangan
kiri, setia genggam erat jemari lentik si manis.

“Uncle Yel!”

“Yes, Hazel? Uncle gendong mau ‘gak?”

Hazel menggeleng kuat, tatap Mikha yang berdiri


tepat disebelahnya dengan takut. “No—no, there’s a monster
beside you, uncle.”

Sontak jawaban dari Hazel buat ketiga sosok


didepannya terkejut. Membulatkan matanya kaget, tak
percaya dengan ucapan Hazel barusan.

“Hey! How can you talked like that, Z?”

Si kecil tak menjawab, sibuk gigiti bibirnya sendiri kala


matanya bersitatap dengan sang Ibu yang secara spontan
berdiri di belakang Gama.

91 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 92

“H-hi! Mikha and Ieeel! How are you?” Sapaan hangat


dan sapuan halus dipunggung membuat keduanya
menengok—seakan lupa dengan masalah kecil barusan.

“Good, good. Gimana Paris? It’s that good?”


Gamaliel balas sapuan punggung tersebut dengan pelukan
hangat.

“Gila, feels like heaven. Lagi high season sih disana,


asli! Lo harus kesana sih sama Mikha—sekalian bulan madu
yang kedua! Nanti biar gue deh yang sediain ticket and
accomodations.” Ujarnya ramah, buat Gama ikut
tersenyum.

“Gak deh, lagi sibuk-sibuknya cafe.” Mikha balas


sapaan ramah itu dengan raut malas, rada capek juga jadi
badut diantara keluarga brengsek ini. Apalagi mengingat Anya
baru saja datangkan satu tikus kecil kedalam rumah
tangganya.

Dalam diamnya, netra Anya menelusuri tubuh Mikha


dari atas hingga ke bawah. Bingung mengapa sosok udik itu
berani menginjak rumah kakeknya kembali. “Males atau
kenapa? Tenang aja Mik, I will give you two some
translator. Lagian Iel could speak French kok.” Ujarnya sarkas.

92 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 93

Tangan milik Mikha mengepal kuat kala ia rasakan


Gama menepuk bagian pahanya dua kali dari belakang.
Kode untuk segera tutup mulut dan biarkan sepupunya do
whatever she wants.

“Thankyou Nya, really. Tapi gue sama Mikha are not


in the mood for vacation.”

“Oh okay, Yel. Gue tau kok Mikha lagi sibuk jualan
jajanan pasar itu di cafenya, haha. Sumpah deh! Bagus
banget konsepnya.” Gamaliel hendak menjawab sebelum
akhirnya sang suami manisnya maju selangkah, peluk tubuh
Anya erat.

“Lebih bagus lagi kalo lu diem, muak banget gua liat


kelakuan lu.” Suara rendah yang berbisik tepat di telinganya
buat bulu kuduk Anya meremang. Namun, sedetik
kemudian kembali pada mode ‘tak mau kalahnya’.

“Know your limits, udik.” Ungkapnya dengan penuh


senyuman terpatri, tatap sepupunya yang tak mengetahui
ketegangan dianta keduanya.

Begitu pelukannya terlepas, Mikha buru-buru


menengok—tatap Gama dengan senyuman yang manis.
“Ayang! Aku cari Mami dulu ya!”

Berbincang dengan jelmaan setan itu buat energinya terkuras habis.

93 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 94

****

“Mi, Mikha keliatan udik gak ‘sih?” Satu pertanyaan yang keluar
dari bilah bibir Mikha buat Gantari membulatkan matanya secara
spontan, telusuri sang menantu dari pucuk kepala hingga kaki.

“Ya gitu, dulu.” Ujarnya dengan dingin dan datar.

“Sekarang iya gak, Mi?” Mikha tatap pakaiannya dari atas


hingga kebawah, kemeja hitam satin dengan leher yang dikalungi
dengan emas putih buat penampilanya nampak terkesan mewah
namun tak berlebihan—menurutnya.

Gantari nampaknya tangkap satu sinyal—menantunya ini


habis kena ungkapan tak enak. “Haduh, makanya gak usah dateng
kalau kamu gak percaya diri!”

Bibir Mikha mulai mengerucut, tatap ibu mertuanya dengan


raut sedih. “Mikha dipaksa tau Mi sama Gama. Marahin dong Mi,
Gamanya!”

“Enggak! Kamu nih manja banget. Kalau gamau kesini tuh


bilang sama Iel! Sudah gak usah merengut gitu! Jelek kamu tuh.”

“Mamiiiii!” Meskipun terlihat enggan menanggapi, Gantari


ikut membuka tanganya, terima dengan lapang manjanya sang
menantu yang sibuk mendusal manja dalam pelukannya.

“Mi, boleh gak Mikha ngelawan sama Gama?” Kepalanya


mendangak, tatap lurus Gantari yang enggan tatap wajahnya.
94 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 95

Ia berdiam sebentar, sesekali curi-curi pandang untuk liat raut


wajah sang menantu.

“Konteksnya apa?”

“Kalo Mikha gamau diatur-atur kayak gini, kadang tuh Gama


maksain Mikha harus deket sama Vincent, sama Anya. Mikha sih
mau Mi, cuma kan—” Ucapnya terputus kala Gantari tepuk-tepuk
punggung belakangnya.

“Gapapa, dikasih tau baik-baik, jangan dilawan. Kamu kan tau


titik lemahnya Iel. Lihat kamu nangis juga luluh anak itu.”

“Tapi Mi,”

“Mikha kadang pengen Gama tau tanpa harus Mikha yang repot
kasih tau, hehe.”

Gantari terdiam, napak tilas dimana ia juga orang asing yang


coba masuk kedalam keluarga ini kembali teringat. Sedikit goresan
dihati mulai terasa kembai.

“Dulu itu, Mami seperti kamu. Gak punya temen—disini,


semuanya adalah jajaran keluarga sukses yang terkenal sejak dahulu.
Keluarga Mami itu dipandang sebelah mata.”

Mikha sukses bulatkan netranya, yang ia tahu, “Gautama”


adalah jenis perusahaan tekstil terkenal yang sampai ke
mancanegara. Mustahil jika derajatnya tak setara dengan Salim.

95 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 96

“Jadi bagian dari keluarga ini berat, Nak. Kita dituntut untuk
sempurna dan pakai topeng kuat setiap saat agar diterima. Mami
sama Papi gak pernah ajak Mikha datang bukan karena gak sayang
Mikha—tapi kami jelas tau rasanya.”

Pucuk kepala Mikha diusap halus—hal yang gak pernah


Gantari tunjukan didepan siapapun, termasuk Mikha yang ikut
berdebar dan hatinya menghangat kala dapat afeksi tersebut.

“Mami ini suka sedih lihat Mikha, rasanya seperti lihat the old
verse Mami yang lugu, polos dan kelewat cinta sama Papimu itu.
Segalanya Mami telan sendiri—setidaknya punya Papi di dunia ini.”

“Begitu kehilangan Denver, Mami paham akan satu hal,”


Netra yang fokus pandangi langit malam mulai beralih, tatap lamat
manik kembar milik Mikha.

“Papimu itu—bukan orang yang sebaik itu. Mami juga bukan


orang baik, tapi Mami sebisa mungkin cintai dia sepenuh hati. Segala
jenis kecewa Mami telan sendiri. Tapi, Papimu itu persis seperti Iel.
Dia tipikal yang suka lari dan telan masalahnya sendiri. Kalau dia
kecewa, semuanya akan dijauhi—termasuk Mami. Dia jauhkan
Mami dari Iel, dari Grisella—karena takut kehilangan anaknya lagi.
Dia kehilangan rasa percayanya sama Mami.”

Helaan nafas panjang terdengar, rasanya perih begitu lihat ibu


mertuanya dapat rasakan sakit yang sama.

96 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 97

“Mami juga dituntut untuk lebih dekat dengan saudarnya yang


lain. Dia pikir, saudaranya bisa lindungi Mami dan anak-anaknya.
Tanpa tahu, kalau saudarnya itu—ya musuh dalam selimut. Bahkan
hingga detik ini, masih terasa kesenjangannya.”

“Makanya Mami minta sama Mikha untuk tetap beri Iel


kelembutan yang kamu punya, sayangi dia seperti biasanya. Jangan
biarkan sifatnya berubah jadi layaknya Salim yang lainnya. Mikha
harus tegas ya, Nak?”

Mikha, gak akan janji apa-apa, karena detik ini pun, ia mulai
merasa Gama-nya itu memang sudah punya sisi lain yang gak ia kenal lagi.

“Mikha gak janji, Mii. Tapi Mikha seneng banget punya Papi
dan Mami yang baik banget sama Mikha. Makasih Mamiiii,”

Kala itu, taman besar milik Sakhayang jadi saksi, bahwa Mikha
dan Gantari habiskan cerita singkatnya disana—duduk berdua,
tanpa ada yang menginterupsi. Sedikit Gantari tau, kalau Mikha
adalah anak kuat yang mampu pakai topengnya dengan rapat. Sama
halnya seperti dirinya waktu awal masuk kedalam keluarga
‘berpengaruh besar’ ini.

****

Wejangan snack malam hari ini adalah Garlic italian cheese bread.
Ini request dari Frey, laki-laki manis yang baru saja memutuskan
untuk menetap dan tinggal di Indonesia bersama sang anak, Kaleano

97 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 98

Keanzie Salim. Anak sulung Frey dan Zavier yang memiliki mata sipit
dan wajah yang mirip seperti Zavier—walaupun bukan anak
kandung.

“Is it good to live in England, Kale?” Suara lembut Anya


menyapa, buat beberapa anggota keluarga menengok, taruh
fokusnya pada sosok mungil yang sibuk remat jemari sang Papi—
takut.

“Go answer it in bahasa sayang.” Anak rambut yang tertiup


angin dengan lembut Frey rapihkan, buat penampilan anaknya
kembali sempurna.

“G-good. Dicana dingin—dicini panash.” Ujarnya lucu, buat para


tetua dan anggota lain tertawa. Termasuk Gama dan Mikha—
meskipun dipaksakan. Wajahnya tak bisa bohong kalau ia tak
menyukai anak kecil.

“It’s ‘S’ not ‘C’, baby.” Zavier dengan segala detail kecil yang
dirasa harus sempurna buat beberapa diantaranya tersentak.
Dominasi penuh dan aura intimidasinya keluar, buat Mikha juga
terkejut dengan sosok dingin tersebut.

Masalahnya, Kale itu baru berumur empat tahun, apa yang ia tuntut dari
anak yang baru sebesar kardus mie instant?

98 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 99

“Repeat it, ulangi.” Suara tegas Zavier buat Kale tatap Papinya
sendu. Frey tatap dengan sayang sang anak, yakinkan bahwa si kecil
bisa.

“Discini panas, Papa.” Netranya dengan takut tatap Vier dengan


alis yang tertaut—masih tak puas dengan jawaban si mungil.

“H-haha! Gapapa kali Mas, namanya anak kecil. Hazel juga


gak bisa ngomong ‘R’. Iya ‘kan sayang?” Anya berusaha
mendinginkan suasana dengan tatap anaknya hangat dan senyum
canggungnya.

Hazel yang senang jadi pusat perhatian mulai mengerjap lucu,


senyumnya lebar—sapa orang-orang yang menatapnya. “Ulaaarr
melingkarr diatas pagarrr, I can do it, Mommy!”

Sontak seisi meja makan terbungkam, bingung harus


melakukan apa. Karena yang dilakukan Anya ini adalah salah satu
jenis penghinaan yang buat kakaknya sendiri malu.

Satu tawa meluncur, buat beberapa mata tertuju pada sosok


manis disamping Gandhy dan Gamaliel.

“Pfffft, ngakak.” Mikha bener-bener gak bisa tahan lagi,


keluarga ini bener-bener komedi. Baginya, Salim itu ‘L’nya lawak.

Begitu semua mata tertuju padanya, Mikha mulai menunduk,


ucapkan maaf berulang kali. “Eh maaf-maaf, Hazel lucu banget

99 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 100

soalnya. Jarang-jarang ya anak kecil bisa bilang ‘R’ bilang ‘S’ aja
susah.”

Lagi-lagi celoteh asal Mikha buat yang lain menatapnya


dengan bola mata yang membulat, merasa tersentil akibat
ucapannya barusan. Akibat ucapannya, dua pihak merasa malu
bukan main.

“Yes uncle! Hazel can said ‘R’! Kale is not smart! He even can’t says
‘S”.” Celotehan ngawur dari anak seumurnya, buat Kale gigit
bibirnya kuat. Tatapan nyalang sang Papa sudah terasa membunuh
dirinya perlahan meskipun ada di seberang.

“Hazel, stop talking! Just eat your bread!”

“Bread! Hazel can say Bread! Kale, can you say ‘bread?’” Mungkin
Anya gak sadar, kalau anaknya itu benar-benar persis dengan
dirinya, haus akan perhatian dan selalu ingin jadi pusat dunia.

Sontak, snack penutup malam itu jadi terasa canggung dan


hambar akibat kejadian barusan. Suara tangis Kale pecah sejak
Hazel layangkan pertanyaan mematikan yang buat Papanya pergi
dari meja makan. Hanya satu orang yang makan dengan lahap dan
perasaan bahagia karena celoteh asal Hazel, Mikhailan Shaka yang
sibuk habiskan roti bawang putih miliknya dengan rasa bahagia
membuncah dalam hati.

100 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 101

Kalau gini ceritanya, ia rela diajak pergi makan malam dan


dipaksa untuk jadi bagian dari Salim.

●●●

Kejadian memalukan barusan, sukses buat Gama dan Mikha


berada disituasi tegang. Gama gak semarah itu, namun ada setitik
kecewa karena Mikha tak bisa kontrol ucapannya. Ungkapan “Kamu
beneran malu-maluin aku, Mik.” Buatnya pergi dan ingin tenangkan
diri sendiri.

“So why on earth, Mikhailan Shaka Salim doing in here?” Logat dan
suara yang khas layaknya bule kental buat Mikha menengok—tatap
hadir manusia lain dibagian lain rumah besar Sakhayang, ikut dirinya
untuk menatap macan putih yang terkurung dibalik kandang.

“Berlebihan gak ‘sih, kalo lu pake nama Salim dibelakang


nama gua?” Ujarnya polos, sembari tatap Vincent.

“Gak dong gak lebay, ‘kan emang lo udah bagian dari kami?”
Tubuhnya berdiri tepat disamping Mikha, menelisik tubuh Mikha
dari atas hingga bawah.

“Anyway, tadi gue denger, lo berantem sama Iel?”

Pertanyaan retoris Vincent buat Mikha menengok, tatap


Vincent dengan kerut bingung. “Tau dari?”

“Even dinding aja di rumah ini punya kuping. So, is that true?
Iel marah karena lo bikin dia malu tadi?”
101 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 102

Vincent mendekat, tatap puas wajah resah milik Mikha. Sekon


berikutnya, Vincent dibuat bingung dengan seringai senyum yang
nampak di wajah si manis.

“Pasangan yang pacaran—terus berantem, itu hal yang lumrah,”


Langkahnya dibawa mendekat, buat Vincent rasakan ketegangan.

“Apalagi pasangan yang udah nikah?” Imbuhnya.

Netranya menelisik balik Vincent dari kepala hingga kaki.

“Yang gak lumrah itu, orang yang gak tau diri—bikin hidup
mantannya ancur berkat kelakuan nyokap sama ‘mantan’
tunangannya, tapi sampe sekarang kalo sange nyarinya ya—eh you
know what I mean kan, V?”

“Oops, maksud gue Vinc?” Jarak diantara keduanya makin


menipis, aura intimidasi yang biasanya Vincent miliki entah pergi
kemana.

“Tau kan ya maksud gua si sampah yang gak tau diri itu
siapa?” Netranya bergulir pada ponsel yang tiba-tiba berbunyi milik
Vincent, tampakan nama “Love of my life” disana.

Suara kekehan milik Mikha mengudara. “You know what? Si


LOML lu itu belum tau kelakuan bejat ‘temen ngentotnya’ ini ke gua
gimana.”

“Mau gua kasih tau, atau stop usik hidup gua sama Gama?”

102 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 103

Mikha mulai mundur, kembali tatap Vincent dari atas hingga


bawah, seringai senyum nampak disana, remehkan Vincent yang
sebelumnya—tak pernah merasa diremehkan seperti ini..

103 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 104

Pasar, Pukis dan Papip.


“Tuhan tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya.”

Selain cintanya yang begitu besar pada sang belahan jiwa,


jikalau ditanya alasan Mikhailan Shaka begitu keras korbankan
kebahagiaanya untuk tetap bersama Gama adalah karena presensi
keluarga kecil yang buat dirinya kembali rasakan arti keluarga
sesungguhnya.

Pagi ini bukan ciuman basah ataupun kalimat cinta yang buat
Mikha bangun di pagi hari. Namun ketukan pintu dari kamar tamu
yang buatnya bangun dan siap jalani hari.

“Papiiii, jadi repot.” Suara serak khas orang bangun tidur buat
Gandhy usap pucuk kepala Mikha dengan sayang. Satu gelas
berisikan air putih ia sodorkan untuk Mikha minum.

“Bangun ya, Nak. Sudah jam delapan.” Mungkin Mikha lupa,


bahwa ia sedang berada di rumah besar yang punya banyak
peraturan—weekend yang biasanya buat dirinya bangun sekitar jam
2 siang harus berbeda kali ini. Jam delapan adalah waktu paling siang
untuk orang-orang di rumah ini bangun.

“Masih papi, bukan sudah,” Ungkapnya, usai selesai minum


segelas air tersebut.

“Gak baik loh bangun terlalu siang, nanti kepalanya pusing.”

104 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 105

“Iya papiii, Makasih udah bangunin Mikha.”

Gandhy mulai tuntun sang menantu untuk turun kebawah,


ikut sarapan dengan Gantari—Grisella tentu tak ada disini, karena
sejak menikah, kakak satu-satunya Gama itu ikut suami menetap di
Amerika.

“Gimana? Iel ada hubungi kamu?” Tanyanya dengan was-was,


tatap Mikha dengan raut resah.

“Telfon kok Pi semalem, minta maaf.” Mikha jelas bohong,


kejadian yang buat Gama dan dirinya bertengkar semalam itu—tak
berakhir baik. Gama biarkan Mikha ikut sang ibu untuk menginap
dirumahnya. Seakan tak peduli, meskipun niatnya baik, agar Mikha
jera dan tak ulangi kesalahannya lagi. Tak ingin masalah melebar, ia
beri Gama ruang untuk sendiri—seperti biasanya, Gama itu selalu
ingin sendiri jikalau berada dalam ketegangan seperti ini.

“Nanti Papi marahin anak itu! Berani-beraninya ninggalin


kamu sendiri.” Gandhy dengan telaten bukakan kursi untuk sang
menantu—buat Gantari yang duduk dihadapan ikut menggeleng,
sudah biasa dengan pemandangan ini.

“Biarin sih, Pi. Kamu tuh gak usah ikut campur masalah
rumah tangga orang! Kemarin anak perempuanmu hampir pisah
rumah sama suaminya apa kamu se-lebay ini?” Ungkap Gantari,
tatap nyalang sang suami.

105 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 106

“Maaf maksudmu anakku yang mana, Mi? Anakku cuma satu,


namanya Mikha. Mungkin yang kamu maksud itu anak kamu.”
Lelucon garing Gandhy buat Inem sang kepala pelayan dan Mikha
terkekeh. Beda sama Gantari yang sudah mencebik kesal.

“Gak lucu! Kamu tuh suka begitu loh! Kalau Iel atau Icel sakit
hati gimana?”

Gandhy menangkat pundaknya acuh. “Ya silahkan—toh


mereka bener anakmu bukan anakku.”

Lagi-lagi suara kekehan mengudara, buat Gantari kembali


menggelengkan kepala.

“Papi jangan iseng sama Mami.” Suara lembut milik Mikha


buat Gandhy menepuk dadanya, mendramatisir keadaan.

“Aduh! Jangan bela mamimu, Mik. Papi sakit hati,”

Sebelum Mikha hendak menjawab, Inem sang kepala pelayan


mulai mendekat, tuang teh jahe hangat ke masing-masing cangkir.

“Cuma Mas Mikha ‘nih yang bisa buat Bapak dan Ibu seperti
ini,”

Pundak milik Inem ditepuk sekali, buat Inem tatap lurus sang
majikan yang duduk tepat disebelah Mikha.

“Nem! Panggilnya jangan pakai Mas ya, Wong anak gemes gini
kok dipanggil mas. Panggil dia pangeran!”

106 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 107

Pagi itu, ruang makan milik keluarga Gandhy Salim dipenuhi


kekehan dan rutukan dari sang istri—sudah berapa kali Mikha
bersyukur bisa hadir ditengah keluarga ini?

****

“Lho, mau kemana kamu Mik?” Gandhy tatap bingung Mikha


yang sudah rapih dengan celana sweatpants dan kaus putih polos.

Manik kembar Mikha mengerjap, fokus pada tas belanjaan


yang sedang ia siapkan. “Mau ikut bi Inem ke pasar, beli bahan-
bahan buat di apart pii,”

“Ngapain, Nak? Nanti beli saja di supermarket. Papi temenin.


Pasar itu jorok, nanti Mikha jadi bau.”

“Ih! Gamau Papi, di pasar tuh lebih seger—lebih lengkap,


murah juga.”

“Enggak kok, supermarket lebih hig—”

“Ssst, Papi mau ikut gak? Kalau mau ayo. Kalo engga ya
jangan larang Mikha ya! Nanti Mikha pulang ‘nih.” Ancaman
ulungnya itu sukses buat Gandhy buru-buru ambil topi dan jaket
yang tersampir, siap mengikuti kemanapun Mikha pergi.
Langkahnya dengan cepat meninggalkan Inem dan Mikha—hendak
panaskan mobil diluar.

107 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 108

“Mas, mas. Itu anaknya bapak dua biji ndak ada lho yang bisa
buat bapak kayak gitu. Saya jadi inget mendiang mas Denver,” Inem
bka cerita hari, sembari cek kelengkapan catatan belanjanya.

“Emang Papi gimana bi ke Kak Denver?”

“Ya kayak ke Mas Mikha gini, apa saja dilakuin. Pas mas
Denver diculik—nyonya besar jadi pihak yang paling sakit. Anaknya
hilang, suaminya benci dia.”

“Sakit mas saya liatnya,”

Mikha menelan ludahnya susah, langkah kecil yang diambil


keduanya kearah depan buat keduanya saling berbagi cerita sedikit.

“Tapi, sebenarnya bapak itu sangat peduli sama Mas Iel,


mungkin ndak ada yang tau, kalau bapak pernah nangis karena harus
sembunyikan mas Iel dari publik. Hatinya tuh sakit loh mas anaknya
ndak bisa lihat dunia dengan tenang.”

“Waktu kecil, mas Iel pernah dibentak habis sama bapak


karena bicara sama orang asing, dia setakut itu kehilangan anaknya
lagi. Tapi begitu mas Ielnya tidur, dia minta maaf—maaf jadi ayah
yang ndak berguna.”

“Perih banget mas lihatnya tuh, apalagi Ibu—ibu tuh diam-


diam suka bela mas Iel sewaktu beliau kabur dan pilih tinggal sama
anaknya Sanusi. Itu pas kenal sama mas Mikha. Mas Iel benci sekali

108 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 109

sama ibuk, tapi dibelakang itu, Ibu juga banyak nahan sakit karena
dicaci habis sama keluarganya bapak. Gagal urus anak katanya.”

Rentetan cerita singkat yang baru saja keluar dari bilah bibir
Inem buat Mikha tersadar akan satu hal, dirinya dan Gama itu
memang sesulit itu untuk akhirnya berada pada di titik ini. Banyak
pengorbanan besar yang buat keduanya relakan demi bersatu.

Namun, semuanya terasa terbayar dengan segala kebahagiaan yang


mereka dapatkan.

****

“Bang, ayam satu ekor berapa?” Alunan suara lembut milik


Mikha tak digubris. Sang penjual ayam malah sibuk ambil foto
begitu liat presensi Gandhy Salim yang berada di pasar tradisional.

“Mpok! Potoin bentar Mpok, masyaAllah, Gandhy Salim ini, set


dah.” Gandhy, terpaksa harus pakai topeng hangatnya, masker
wajah yang tutupi hidung dang mulutnya dipegang kuat. Takut
virus-virus jahat menular.

“Mba, mas maaf ya, ndak usah pake pegang-pegang.” Suara


Inem dengan tegas peringatkan manusia lain untuk tak menyentuh
majikannya. Ia tahu, begitu sampai rumah pasti Gandhy akan
merasa hina dan marah.

109 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 110

“Wailah mpok! Nabi juga bukan. Sombong bener kagak boleh


pegang.” Suara nyaring perempuan yang notabenenya penjual sayur,
buat Inem pejamkan matanya. Tahan rasa kesal yang membuncah.

“Maaf ya buk, lagi musim virus. Lagian ibu juga gak pake
masker, bahaya.”

“Set dah santai aja, Mpok! Corona cuma settingan


pemerintah—ya pak ya?”

Gandhy dengan senyum yang tak terlihat dan berusaha


berwibawa gelengkan kepalanya. “Enggak ya bu, corona benar
adanya. Pakai maskaer ya bu, agar lebih aman.”

Bawa Gandhy untuk ikut berbelanja di pasar itu memang


kesalahan besar. Dimulai dari rute pertama mereka; yaitu sayur dan
buah. Mikha dan Inem tak berhasil dapatkan harga murah begitu
sang penjual lihat seorang Gandhy Salim blusukan ke pasar
tradisonal.

Begitupun rute kedua—daging sapi. Keduanya harus


merogoh kocek sebesar lima ratus ribu karena lagi-lagi, para penjual
naikkan harganya tinggi. Buat Mikha dan Inem tak selera berbelanja
lagi.

Mikha yang mulai kesal mengalihkan fokusnya pada ponsel,


ceritakan keluh kesahnya pada ruang chat milik Gama. Meskipun ia

110 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 111

tahu tak akan dibalas, namun setidaknya—ia tetap berikan Gama


kabar.

Suasana pasar semakin ramai kala mereka dengar Gandhy


Salim blusukan. Banyak pedagang bahkan rakyat umum yang
datang, penuhi titik tersebut, minta foto—bahkan ada yang minta
sedikit rezeki. Inem berikan sinyal melalui sorot matanya pada
Mikha—minta hubungi Darso sang supir untuk segera datang.
Namun begitu telefon tersambung, Mikha tiba-tiba terdorong
kerumunan masa yang buat dirinya terjatuh bahkan terinjak.

“Ah! Sakit pak! Sakit, disini ada orang tau!” Suara nyaring
miliknya seolah punya radar tersendiri. Gandhy yang dengar
pekikan tersebut segera tembus kerumanan, cari presensi anak
bungsu kesayangannya.

Netranya membulat tatkala lihat Mikha terjatuh dengan wajah


resah dan pegangi pergelangan kaki. Inem sang pembantu yang baru
saja sukses tembus kerumunan ikut bantu Mikha berdiri meskipun
tak berani.

“YaAlloh, Mas Mikha. Gimana ini pak? Kayaknya kesleo.”


Fokus kerumuanan tadi beralih begitu lihat presensi mantu Salim
yang berasal dari rakyat biasa.

111 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 112

Beberapa diantaranya sibuk mengambil potret Mikha yang


terjatuh dan sebar ke sosial media, beberapa diantaranya lagi sibuk
memuji afeksi yang Gandhy berikan terhadap sang mantu.

“Papi, kaki Mikha sakit! Nanti dimarahin Gama—gaboleh


nginep lagi kalau gak balik dalam keadaan sehat!” Air matanya
menggenang dipelupuk. Sudah dipastikan kakinya itu terkilir,
rasanya perih dan ngilu.

Gandhy tatap menantunya dengan cemas, netranya beralih


pada Inem—berikan perintah untuk segera telfon Darso dan
jemput tepat di depan pintu masuk. Dengan sigap, Gandhy mulai
jongkok. “Sini naik, Papi gendong aja, Nak.”

“Gamauu, berat. Maunya sama Gama, Pi. Sakit kakinya


Mikha.” Suaranya lirih, mampu buat Gandhy ikut merasakan resah
didalam hati.

“Gapapa, ayo. Itu dekat kok pintu masuknya.”

“Iya mas, Gapapa. Ayo Inem bantu juga,”

Mikha tatap keduanya resah, jujur dalam hatinya, ia hanya


ingin Gama-nya disini. Berikan sentuh hangat dan perhatian kecil.
Suasana hatinya sedari tadi sudah buruk. Apalagi laki-laki bertubuh
gempal yang buat dirinya jatuh dan terkilir hanya sibuk mengambil
potret dirinya dan Gandhy. Mau marah pun rasanya tak berguna.

112 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 113

Dengan gerak yang susah, ia mulai naik ke punggung sang


mertua, tanganya mengalung erat pada bagian leher. Mikha—gak
seberat itu, tapi buat pria berumur seperti Gandhy, agaknya ya
berasa juga.

Begitu sang menantu naik dan sembunyikan wajahnya dibalik


punggung, Gandhy tatap nyalang kerumunan yang menatapnya
dengan binar wajah senang—tanpa masker dan belas kasih
sedikitpun.

“Jadi begini perilaku masyarakat? Tidak menggunakan


masker—buat kerumunan. Tidak peduli dengan orang sekitar, tapi
kalau nyalahin pemerintah nomor satu ya?” Teguran keras dari
Gandhy nampaknya kena di hati, buat bising kerumunan tersebut
berubah jadi sunyi, tatap presensi diri sang pengusaha hebat yang
ikut dalam jajaran penting petinggi negara.

“Coba, mas. Ini mas yang tadi bikin anak saya jatuh kan, Mas
sudah vaksin belum?” Mikha semakin malu kala disebut,
pelukannya pada sang ayah mertua makin erat, sibuk tenggelamkan
wajahnya.

Laki-laki bertubuh gempal dengan kaus obolong


tercengang—dirinya menatap takut Gandhy. “B-belum pak.”

“Vaksin mas, Vaksin. Orang-orang ngeyel seperti mas ini yang


jadi beban negara.”

113 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 114

“Minggu depan saya balik lagi—buat ibu-ibu dan bapak-


bapak disini yang sudah vaksin nanti saya bagi-bagi uang. Asalkan
vaksin! jangan jadi parasit untuk orang lain!”

Sunyinya kerumunan kembali bising begitu dengar Gandhy


akan berbagi rejeki, kerumunan tersebut perlahan terurai begitu
Gandhy tinggalkan jalan tersebut, bersama Mikha di punggung dan
Inem di sampingnya.

Mikha gatau gimana rasanya punya sosok Ayah dari kecil,


Mikha jelas gatau peran ayah untuk hidupnya itu apa—karena ayah
kandungnya juga tak berikan apa-apa selain kenangan pahit dan
kekosongan. Tapi, presensi Gandhy sering buat dirinya terharu.
Mikha sering tanya pada malam, pada bintang dan bahkan pada sang
Ibu yang tak mungkin menjawab.

Apakah dia pantas dapat semua perhatian dan kasih sayang ini?

Karena sebelum kenal Gama dan Gandhy, dia gak tau rasanya
dicintai sepenuh hati oleh sosok laki-laki yang berperan penting
layaknya seorang ayah.

“Mik, mik ada kue sunkiss tuh!” Ujar Gandhy begitu lihat
tukang kue dekat pintu masuk.

Mikha yang sibuk tenggelamkan wajahnya akibat malu mulai


mendangak, cari tukang kue yang dimaksud.

“Pukis, Papi, bukan Sunkiss—sunkiss mah jeruk!”

114 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 115

“Sunkiss bukannya lagu si Afgan?” Raut wajahnya berubah


jadi sok serius—buat Mikha berpikir hebat.

“Itu sadis, Papi! Sadiss! Jauh banget dari sunkiss ke sadis!”


Seruan manja dari bilah bibir Mikha buat Gandhy terkekeh. Rasa
berat yang menggerayangi punggunnya tak terasa. Rasa sayang tulus
layaknya anak kandung benar-benar terjadi.

Banyak yang bilang, Mikha itu jadi menantu paling beruntung


karena dapat disayangi sebegitunya. Tak banyak yang tahu proses
panjang apa yang harus ia lewati demi dapat masa-masa bahagianya
ini. Mungkin, kalau satu dunia tau kisah hidupnya—tak akan ada
yang sanggup dan kuat untuk bertahan sampai disini. Mikha—sosok
berharga buat keluarga kecil Gandhy Salim. Hadirnya, banyak
berikan warna yang buat yang lain turut bahagia.

●●●

“Kamu nih! Kemana saja kamu baru datang? Mikha sakitnya


dari pagi, baru datang tengah malam!” Suara lantang Gandhy buat
Mikha mengerjapkan matanya, tidurnya terasa terusik dengan suara
lantang yang terdengar dari luar kamarnya.

“Udahlah Pi, gausah ikut campur kamu tuh! Kayak paling


sempurna aja pernikahanmu!” Gantari ikut menengahi, merasa
suasana makin tegang begitu ia lihat anak bungsunya tatap sang
Ayah nyalang.

115 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 116

“I told you thousand time, jangan ikut Mikha kalau dia mau pergi
ke tempat umum. This shits always happened when you’re doing this. Stop
spoilling him, dad.”

“Iel berterima kasih karena Papi ikut sayang sama Mikha,


but—seriously stop overacted! Mikha tuh juga laki-laki dewasa yang tahu
kapasitasnya sendiri. Cukup Iel, Pi yang manjain Mikha. Papi gak
usah berlebihan! Ini efeknya gak bagus juga buat Mikha. Dia jadi
semakin dihujat.”

Gandhy tetap terlihat santai, kedua alisnya bertautan, tatap


remeh sang anak. “Kamu nih marah sama Papi atau dirimu sendiri?
Be honest with yourself. Kamu merasa tidak bertanggung jawab ‘kan?”

“Papi sudah bilang, kalau belum bisa bina rumah tangga ya


jangan menikah! Emosi kamu saja belum stabil! Persis anak yang
baru puber. Apa-apa lari, Mikha dapat kamu itu ya jelas beban saja.”

Gantari mulai menarik lengan suaminya untuk berhenti, tak


ingin suaminya berbicara lebih jauh.

“Kamu itu dari dulu memang cerdas, tapi tanggung jawabnya


0. You’re not a gentleman.”

Tatapan nyalang sang ayah buat Gamaliel rasakan sesak di


dada, ucapan ayahnya itu tak sepenuhnya salah. Ia memang senang
lari dan tinggalkan masalahnya sendiri. Ucapan ayahnya, telak
mengenai hati.

116 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 117

Suara pintu yang dibuka buat Mikha kembali pura-pura


terhanyut dalam tidurnya. Kerongkongannya terasa tercekat perih
karena tahan tangisnya.

Kasur yang berdecit, menandakan ada manusia lain yang naik


semakin buat Mikha berdegup kencang. Meskipun dengan mata
tertutup, Mikha bisa rasakan ada manusia lain yang menatapnya
lekat yang entah kenapa rasanya tiba-tiba nyeri dihati.

“Mik,” Satu panggilan untuk Mikha, buatnya ingin buka


matanya meskipun tertahan.

“Aku, telat lagi ya?”

“Aku, lari lagi. Aku—” Ucapan Gama terputus kala tiba-tiba


ia rengkuh erat si manis.

Mikha bisa rasakan hangat dibagian dada—Gamanya itu


menangis terisak meskipun sebisa mungkin tahan suaranya agar tak
buat Mikha bangun.

Ini yang Mikha bilang part tak paling ia sukai, ia tahu Gama
akan tumpahkan segalanya ketika ia tidur—tak ingin tambah beban
Mikha. Rasanya, begitu sakit dan ngilu dengar isak tangis yang keluar
dari bilah bibir Gama. Padahal, ini hanya perihal kecil. Namun
Gama begitu sensitif begitu lihat Mikhanya terluka.

Setelah beberapa menit berada hangat dalam dekapan, Gama


mulai mengurai peluknya, kembali tegakkan tubuhnya. Kaki kiri

117 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 118

milik Mikha yang diperban ditatap lamat. Beberapa sekon kemudian


mulai elus halus bagian pergelangan kaki tersebut. Dikecup banyak
dan layangkan kata maaf.

Segala badai besar yang pernah lewat, rasanya terasa


terbayar begitu ia rasakan sebegitunya dicintai oleh orang-
orang disekelilingnya.

118 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 119

The Exorcism of Mikha


“Warning: This chapter including horror content, kalau takut skip aja ya.”

Masalah dalam hubungan rumah tangga, selalu beri pelajaran


berharga untuk para insan yang saling mencintai. Sejak kejadian
dimana Mikha terluka karena tak berada di jangkauannya, buat
Gama jadi lebih “Protektif.”. Tebakan bahwa Mikha gak boleh
nginep lagi dirumah mertuanya itu benar adanya. Ia tak lagi diberi
izin, kecuali Gama ikut bersamanya.

Minggu pagi ini, keduanya habiskan waktu di kasur, tonton


satu serial barat yang sedang Mikha ikuti—tentang hantu yang
menyukai pemilik apartmentnya. Mikha tak henti sembunyi dibalik
dada bidang Gama. Ia takut—namun penasaran bukan main dengan
scene selanjutnya.

“Jadi gimana sih, Yang? Itu dia suka sama si Austin gara-gara
mirip mantannya?” Mikha, dengan wajah yang sibuk sembunyi
mulai bertanya.

Keningnya dikecup sekali sebelum akhirnya Gama menjawab.


“No, sayang. Jadi dia suka sama si Austin karena dia gak dapet itu
dari mantannya. Dia mau punya pasangan kayak Austin, tapi sadar
diri juga dia udah mati. Jadi dia rasukin si Becca.”

119 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 120

“Setan paling nyusahin! Udah matinya bikin satu kota geger—


apart orang jadi gak laku, suka ngerasukin orang lagi. Najis-najis,
semoga dia reinkarnasinya jadi nyamuk biar cepet mati ditepokin
sama orang!” Untaian panjang Mikha buat keduanya bersitatap dan
terkekeh sebelum akhirnya tiba-tiba saja satu ruangan gelap gulita.

“IH ANJING KOK MATI LAMPU.” Suara teriakan Mikha


buat Gama rengkuhnya erat.

“Loh, iya ya. Apa ada maintenance ya? Sebentar—aku ambil


handphone dulu.” Gama hampir saja berdiri dari duduknya sebelum
akhirnya Mikha menariknya kuat.

“AYANG! JANGAN TINGGALIN AKU IH!” Suara


lantangnya buat Gama menggeleng, ini yang buat Gama larang
Mikha untuk tak nonton serial horror.

“Sayang? Handphone aku di kamar mandi, sebentar ya?”

“Enggak! Sini aja sampe nyala.”

“Mikha,”

“Enggak Gama! Gaboleh! Harus disini sama aku sampe maut


memisahkan,”

Nahkan lebaynya keluar.

120 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 121

“Aku sebentar doang sayang. Apa gak takut sampe maut


memisahkan lampunya mati terus?” Gama tanggapi ucapan ngawur
si manis.

“Takut tapi gapapa, yang penting kamu tetep sama aku!”

“Mikha, aku cuma sebentar.”

“Lagian ngapain sih taruh hp di kamar mandi?!”

Gama menghela nafasnya panjang, “Tadi siapa ya yang minta bikin


sextape di kamar mandi?”

Semburat merah penuhi pipinya, ingat akan beberapa jam


kebelakang dimana nafsu menguasai dirinya dan minta buat video
tak senonoh di kamar mandi.

“Kan, malu kan?” Pipi berisinya ditusuk-tusuk beberapa kali.

“Ih! Yaudah sana—tapi jangan lama-lama!”

“Iya, cintaku—sebentar ya.” Pipinya kembali dikecup singkat,


Mikha bisa rasakan gerak Gama yang mulai turun dan tinggalkan
kasur besarnya.

Begitu Gama pergi, tinggalah Mikha seorang. Dalam gelapnya


ruangan, Mikha masih bisa liat sedikit seisinya—berkat cahaya dari
luar. Rasa kesal menggerogoti hati karena tau berapa harga yang
dikeluarkan untuk unit ini. Rada gak worth it kalau apartment yang
harganya nyetuh milyar pertahun bisa mati lampu. Saking

121 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 122

kesalnya—rasa takutnya itu beneran hilang. Bibirnya sibuk


mencebik dan meracau kesal. Segala umpatan ia tujukan untuk staf
yang kayaknya gak berguna di situasi ini.

“Gama? Lama banget! Sepi tau!” Seruan Mikha tak terjawab.


Mikha juga gak terlalu ambil pusing. Dia hanya merasa—hawanya
semakin dingin jadi selimut yang tutupi tubuhnya semakin
direngkuh erat.

“Ada aku disini~” Sekujur tubuh Mikha spontan membeku


begitu ia dengar suara halus yang terdengar samar jauh. Saking
halusnya suara itu, Mikha gak yakin itu hanya fantasinya atau benar-
benar ada sosok lain yang menemaninya. Bibirnya bergetar—
hatinya kirimkan sinyal takut bukan main. Pikirannya menyuruhnya
untuk lari dan cari Gama, namun—

“Mau lari ya?” Suara itu kembali penuhi telinganya. Anehnya,


begitu suara itu hilang, lampu kembali nyala. Tapi, Mikha bener-
bener gapeduli lagi, mau nanti itu hantu tiba-tiba nampak di
depannya, dia beneran bodoamat. Selimutnya disingkap—sebisa
mungkin dia lari terbirit-birit hingga akhirnya nubruk tubuh tegap
yang siap memeluknya.

“Astaga sayang! Kenapa sih?” Gama disana, bersama dengan


ponsel yang berhasil ia temukan setelah beberapa menit cari.

122 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 123

“Gama lemot! Lampunya nyala baru balik!” Tubuhnya rengkuh


Gama erat.

Pucuk kepalanya Gama usap sayang, “Aneh deh yang, tadi tuh
aku cari di wastafel beberapa kali gak ada, akhirnya aku cari sekitar
bathub. Eh pas aku balik lagi, ada di wastafel?”

Dengar penjelasan Gama, Mikha kembali mengerjap—ingat


kejadian barusan. Sekujur tubuhnya kembali merinding bukan main.
Tapi sebisa mungkin, ia gak akan ceritakan ke Gama. Karena kalau
ia cerita—pasti gaboleh nonton serial tadi lagi. Iya, serial tadi lagi
puncak konfliknya. Gak mungkin kan ditinggal gitu aja?

Mikha emang diluar nalar.

****

Setelah kejadian mistis tadi malam, Mikha bener-bener coba


lupakan semuanya. Lagian itu juga mungkin hanya kehaluan
semata. Efek karena nonton film horror yang berlatar di
apartment—sama sepertinya. Paginya, tragedi mati lampu dan
bisikan setan itu benar-benar terlupakan.

Diatas kasur besar dan matahari pagi yang baru keluar, dua
laki-laki sibuk kejar pelepasannya—aktivitas pagi yang jarang
terlewat.

“Aaaangh—yang cepet,” Perintah dari Mikha gak digubris.


Gama tetap menghentaknya pelan. Sibuk kagumi wajah Mikha dari

123 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 124

atas, pahatan wajah sempurna dengan bibir yang sedikit terbuka dan
peluh yang basahi pelipis.

“I love you,” Gama keluarkan penisnya, lalu kembali tusuk


titik manis Mikha, buat si manis melenguh hebat.

“Aku keluarin dimana, sayang?” Tubuhnya sedikit turun,


kecupi pipi Mikha

“Nggh—mau dimulut.”

Kelopak mata Mikha mulai terbuka kala Gama cengkram


wajahnya, keduanya bersitatap dengan sorot nafsu tak terbendung.

“Emang mulutnya bisa bikin enak?” Cengkramannya makin


kuat, buat Mikha semakin nafsu dan melenguh.

Libido Gama semakin naik kala Mikha keluarkan kalimat


kotornya dan mengangguk manja.

“Bisa, nanti dijilat, dijepit aku masukin sampe tenggorokan—


sampe gabisa nafas karena keselek pejunya kamu.” Dengan sengaja,
Mikha julurkan lidahnya, ia jelas tahu titik lemah sang suami.

Nafsu keduanya makin memuncak kala Gama mulai


hentakkan kasar pinggangnya.

Wajah Mikha dituntun untuk menghadap ke kanan—tatap


cermin besar yang tunjukkan tubuh polos mereka. Berikan sengat
nafsu yang buat keduanya semakin melayang.

124 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 125

Mikha benar-benar sudah lupa dengan kejadian semalam,


sebelum akhirnya ia dibuat menegang kembali—bukan karena
nafsu, namun karena ia lihat dirinya berubah jadi sosok perempuan
dengan seringai senyum yang terlihat menyeramkan dari pantulan
kaca.

“AAAKH! STOP STOP!” Suara pekikan Mikha buat Gama


berhenti dan terkejut—hinga keluarkan penis dari lubang si manis.

“H-hah, kenapa sayang?” Ujar Gama, tersengal-sengal


sembari lihat wajah pucat milik Mikha.

“Hey?”

“Mikha?” Satu kecupan di pipi buat Mikha kembali tersadar


dan mengerjapkan matanya. Otaknya berusaha memproses kejadian
barusan. Ia jelas tak mungkin halu, karena dirinya sedang dipuncak
kenikmatan.

Nafsu keduanya benar-benar hilang entah kemana begitu


Mikha tiba-tiba saja diam, wajahnya pucat pasi.

“Gama,” Mikha tatap kosong sang suami, bingung dengan


kejadian barusan.

“Iya, sayang? Kenapa? Kok pucet banget mukanya.”

“Mau mandi aja,”

125 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 126

Gama yang tangkap sinyal aneh, tak mau ambil pusing.


Kening si manis dikecup, agar ia merasa tenang dan bisa ceritakan
semuanya perlahan.

“Iya, mandi ya kita?.” Begitu satu anggukan Gama dapatkan,


ia rengkuh tubuh Mikha dan diangkat koala menuju kamar mandi.
Berharap sang pujaan hati baik-baik saja.

****

Kejadian yang terjadi tadi pagi agaknya buat Gama sedikit


khawatir dan resah, sehingga ia putuskan ambil cuti dan jaga
Mikhanya dengan baik. Sejak tadi pagi, Mikha terlihat kosong dan
pucat, tak ingin lepas barang sedetik dari Gama.

“Sayang, aku ambil minum boleh gak?” Keduanya duduk di


sofa panjang yang letaknya di ruang tamu, bagi kehangatannya
disana.

Gelengan kepala dari Mikha buat Gama kecup pucuk kepala


si manis lama. Punggungnya diusap halus, agar lebih tenang.

Dari sisi Mikha sendiri, ia masih shock bukan main. Masih


teringat jelas wajah biru dan leher sang hantu yang terlihat jelas
bekas jeratan tali. Kembali memikirkan alasan kuat kenapa dirinya
tiba-tiba diganggu makhluk halus.

“Udah ya, besok-besok tuh jangan nonton hantu lagi. Kamu


jadi kayak gini kan.”

126 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 127

Lagi-lagi Gama hanya dapat anggukan lucu yang sibuk


mendusal manja. Liat Mikha yang kayak gapunya gairah hidup itu
beneran bikin Gama resah dan takut. Kejadian yang Mikha
ceritakan tadi pagi, tentunya buat dirinya juga merinding. Bingung
harus melakukan apa.

Suara ponsel yang berbunyi secara spontan milik Gama


seketika buat keduanya menengok. Dengan sigap, Gama ambil
ponsel tersebut dan lihat siapa peneleponnya.

“Eh, bentar ya sayang? Ini clientku ada yang telfon.”

“Gamauu! Kamunya disini aja!” Mikha tahan lengan Gama


erat, tak berinya ruang sedikit untuk pergi.

“5 menit, kalau ada kamu, akunya gak bisa fokus, Mikii.”

“Yaudah iya, bentar kan?”

Punggung tangan milik Mikha dikecup sekali. “Iya,


cintakuuu.”

Begitu dapat izin, Gama buru-buru angkat telepon tersebut


dan berbicara dalam bahasa Jepang—biasanya salah satu petinggi
yang buatnya harus angkat telepon se-urgent itu.

Mikha mengerjapkan matanya lucu, netranya fokus kearah


televisi yang tampilkan kartun kelinci luar angkasa. Ia benar-benar
dilarang untun tonton segala jenis serial maupun film yang berbau
horror. Gak hanya Mikha yang trauma—Gama juga ikut trauma
127 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 128

karena puncak kenikmatannya harus terhenti akibat makhluk halus


yang tak jelas darimana asal-usulnya.

Setelah beberapa menit terfokus pada televisi, Mikha rasakan


hawa disekitarnya semakin dingin. Ia tentunya tak berfikiran
negatif—mungkin akibat duduk tepat dibawah ac central yang tepat
berada diatas kepalanya.

Tak lama, Gama kembali datang dengan tatapan lurus dan


kembali duduk disampingnya. Mikha dengan manjanya kembali
mengalung, rengkuh erat tubuh Gama, kembali mendusalkan
kepalanya pada dada bidang sang suami.

Dahinya kembali berkerut kala ia cium bau hangus entah


darimana. “Gama, kamu ada nyalain kompor gak?” Kepalanya
menghadah, tatap lurus sang suami yang menatap datar kearah TV.

Gama menggeleng, seolah tak ingin terdistraksi pada satu


pertanyaan.

Tak ingin ambil pusing, Mikha ikut fokus pada tayangan tv di


hadapan, merasa semakin nyaman kala Gama mulai mengusap
pucuk kepalanya, meskipun tangannya terasa lebih dingin. Mulutnya
juga bergumam—lantukan lagu yang buat Mikha nyaman, meskipun
terkesan sedikit aneh.

“Hmmm, hmmm, hmmm…”

“Itu lagu apa deh, yang? Kok aku kayak pernah denger, ya?”

128 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 129

Keduanya bersitatap sesaat, Mikha liat dengan jelas suaminya


itu tersenyum miring, sambil terus mengusap kepalanya.

“Gaby, Tinggal kenangan.”

Entah karena lagu tersebut punya memori buruk yang


melegenda atau karena hawa yang terlalu dingin, Mikha semakin
merinding hingga bulu kuduknya meremang.

“O-oh, kamu juga tau lagu it—” Ucapannya terputus kala satu
pesan masuk dari ponselnya, buat ia melirik sebentar.

Gemblooong

Sayang maaf ya lama, aku ke kamar mandi bentar..

Perut aku sakit banget

I love you, baby.

Deg!

Detik itu juga rasanya jantung milik Mikha berhenti berdetak,


otaknya seolah kosong dan tubuhnya ikut membeku. Lidahnya
begitu kelu, bahkan kakinya terasa berat untuk digerakkan. Merasa
bingung langkah apa yang harus dilakukan. Kalau Gama sedang di
kamar mandi, lalu yang disampingnya ini siapa?

Dengan berusaha tetap tenang dan santai, Mikha mulai telan


ludahnya susah. Tubuhnya ditegakkan, bergerak turun dari sofa—
hendak tinggalkan makhluk yang menyerupai Gama disampingnya.

129 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 130

Meskipun tubuhnya bergetar dan kakiknya terasa berat—sebisa


mungkin Mikha kuatkan diri untuk tetap berdiri. Bibirnya ia gigit
kuat agar tak menangis saat itu juga.

“B-bentar, mau minum.” Ungkapnya cari alasan.

Begitu berhasil berdiri dan tinggalkan Gama “Palsu”


dibelakang, dirinya kembali dibuat berhenti bernapas karena suara
halus yang buatnya kembali membeku. Jantungnya benar-benar
berhenti berdetak. Kalau boleh, ia ingin berteriak dan panggil Gama
sekencang-kencangnya untuk datang dan selamatkan dirinya.

“Udah tau ya?~”

Detik selanjutnya, Mikha benar-benar tak bisa apa-apa lagi


selain berdiam diri di tempat, karena begitu menengok—sosok
wanita yang ia lihat tadi pagi berdiri disana dengan tegak. Seringai
senyum yang penuhi wajahnya buat pandangan Mikha mengabur
dan semuanya ikut gelap.

****

Suasana apartment milik Gama benar-benar kacau sore itu.


Semuanya berkumpul begitu dengar kabar Mikha kerasukan
makhluk halus—gak ada yang nyangka kejadian ini benar-benar
terjadi karena diluar nalar.

Mikha tanpa makhluk halus aja udah gila—ini lagi ketempelan.

130 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 131

Juan dan sang ayah yang merupakan pendeta tak henti-henti


pegang erat tubuh Mikha—bibirnya komat-kamit panjatkan doa.
Gemercik air suci ia jentikkan kearah wajah Mikha yang nampaknya
tak terusik.

“Demi tuhan Yesus dan Roh kudus ahahahaha, gue juga bisa
kali~~” Suara nyaring dan lengkingan tawa yang mengisi seisi
ruangan buat semua yang ada disana tercengang dan merinding.
Lebih luar biasa lagi begitu lihat Mikha minum kopi hitam
sebanyak satu liter yang disediakan khusus disampingnya—
ditenggak lancar, layaknya minum air putih.

Putra yang biasanya terlihat paling garang juga ikut ciut.


Hantu adalah ketakutan tersebesar dalam hidupnya. Tubuh
mungilnya sembunyi dibalik tubuh Muklis—suaminya.

Ayah dan Ibu dari Gama benar-benar kehabisan kata. Rambut


yang biasanya teratur dan rapih milik Mikha sudah tak jelas arahnya
kemana—berantakan akibat terus dijambak. Pipi berisi yang
biasanya jadi korban kegemesan sang ayah dan Gama sudah dipenuhi
cakar tipis yang buat meringis.

“HAAAAAH PANAS! PANAS!” Netra milik Mikha


membulat begitu Ayah Juan kembali cipratkan air suci kearah
wajahnya. Tangannya tak henti tarik baju Juan hingga longgar.

131 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 132

“Ya Tuhan, baju deus gua…” Ungkap Juan resah seraya tatap
setan yang berhasil rusak baju mahalnya.

“Kamu siapa? Sebut namamu!”

Setan yang hinggap ditubuh Mikha menengok, tatap Ayah


Juan nyalang dengan senyum lebar yang buat orang lain bergidik
ngeri. Jemarinya naik untuk tunjuk Gama lurus yang berada
dibelakang Juan.

“Gue…. Mikha. Mikha punyanya Gama, hihihihi~”

Seisi ruangan benar-benar terasa mencekam. Gama pijat


pelipisnya—pusing. Menyesali keputusannya untuk ke kamar mandi
dan biarkan ini semua terjadi. Satu-satunya sosok yang tak kenal
takut dan tatap hantu itu nyalang hanyalah Kahfa. Dirinya sudah
pernah bertemu makhluk yang lebih mematikan daripada hantu—
jadi, buat apa takut.

“Heh, setan. Gama tuh homo, sukanya sama laki. Pergi lu dari
badan temen gua. Udah mati, nyusahin lagi lu.” Sontak seisi ruangan
dibuat kaget dengan tutur kata Kahfa barusan. Kahfa dan Mikha—
memang sama-sama diluar nalar.

Sang hantu tatapnya nyalang. Giginya bergemelatuk tahan


segala emosi yang memuncak. “Mikha! gue Mikha! Bukan setan!”

Tatapannya bergulir pada sorot resah milik Gama. “Gama!


Mikha mau digendong! Mau sama Gama!”

132 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 133

Ayah dari Juan remat kuat pergelangan tangan Mikha,


netranya beri Juan sinyal untuk tekan jempol kaki milik Mikha.

“AAAAKH—GAMA! SAKIT! MIKHA SAKIT


KAKINYA!” Tak hanya Kahfa, Gamaliel nampaknya juga ikut
jengah dengan drama yang terjadi. Tubuhnya lelah—pikirannya pun
begitu. Kejadian ini sudah terjadi sejak jam satu siang lalu. Sampai
matahari hampir terbenam pun, setan yang singgah di tubuh Mikha
tetap betah.

Juan menengok, tatap Gama lurus dengan sorot resah.


“Inimah dia demen sama lu, Gam.”

Dengusan nafas kasar dan decakkan sebal jadi jawaban.


“Terus gimana? Please stop all of this—I need my baby back, Ju.”

Ayah Juan masih tak menyerah—mulutnya komat kamit


bacakan doa dan siramkan air suci, Mikha yang sudah setengah
basah masih tetap sama, terlihat hancur dan meraung-raung.

“STOP!”

Seluruh ruangan spontan mulai hening kala Gama menunduk


dan tatap nyalang Mikha yang jiwanya dihinggapi sosok lain.
“Pergi,”

Sosok didepannya menyeringai lebar, sangat berbeda dengan


sosok asli yang selalu beri senyum manis dan hangat. “Gak. Mau.”

“Yang harusnya pergi itu, Mikha~”


133 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 134

Makhluk jadi-jadian dalam tubuh Mikha mulai terlihat resah


kala Gama terus tatapnya lurus, tanpa getar sedikit pun. Jari-jari kecil
milik Mikha digigit—digerogoti hingga timbulkan luka gores.

Gama yang lihat itu semua semakin geram—tangan milik si


manis ditepis kasar hingga berhenti digigit. Hal tersebut juga buat
yang lain terkejut bukan main. “Fuck you, leave my baby alone. What did
he do to you?”

Suara lengkingan dan tawa buat seluruh manusia yang ada


disana meremang akibat suara yang tak dimiliki manusia pada
umumnya.

“Ini tempatku! Aku datang lebih dulu. Suruh dia jaga


ucapannya!”

Memori singkat yang buat Gama ingat kembali Mikhanya


berucap asal mengenai hantu—buatnya kembali memijat pelipis.
Mikha itu, memang suka asal dalam berucap.

“Maafkan dia, kita hidup berdampingan. Kadang nafsu dan


amarah buat kami kaum manusia jadi lupa diri dan tak jaga ucapan.”
Kali ini Ayah Juan angkat bicara, buat si hantu melotot dan tatapnya
nyalang.

“G-gak! Dia jahat! Dia gak pantas hidup!” Detik selanjutnya, seisi
ruangan dipenuhi dengan suara tangis terisak, drama lain dimulai.

134 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 135

Buat orang-orang yang datang tutup telinganya erat. Suaranya begitu


tak enak didengar dan bikin merinding.

“Gama! Mikha itu jahat hu~ Gama harusnya sama aku, hiks.”
Pundak bergetara dan kaki yang sengaja dihentak buat Gama benar-
benar lelah. Ia benar-benar rindu Mikhanya, ia tak henti salahkan
dirinya karena meninggalkan Mikha sebentar.

“Kamu mau apa?”

“Mau dipeluk Gama~”

“Tapi janji maafin Mikha ya? Mikha janji gak akan asal lagi
kalau bicara.”

Satu anggukan dan kedipan genit buat yang lain merinding,


antara geli dan takut.

Tatapan resah dan titahan untuk segera ikuti maunya dari


Ayah Juan buat Gama hela nafasnya panjang. Dengan terpaksa,
Gama mulai rengkuh tubuh Mikha—Gimanapun juga, ini cara satu-
satunya biar Mikha-nya kembali.

Sosok yang bersembunyi dalam tubuh Mikha rengkuh Gama


erat—sibuk endus wangi tubuh si tampan. Cuma Kahfa yang bilang
najis beberapa kali—beda sama yang lain, sibuk tatap takut dan
gemetar Gamaliel yang dengan berainya peluk makhluk astral.

Menit demi menit berlalu, Gama mulai rasakan beban pada


pundaknya mulai mereda—tak seberat tadi. Suara tangis isak
135 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 136

berubah hanya jadi beberapa isak sisaan. Buat Gama dan yang lain
tatap lekat sosok tersebut.

“GAM! GAMA! AKU LIAT SET—” Mikha dengan histeris


tatap Gama dihadapan dengan netra yang membulat. Namun,
bingung kala ia lihat dirinya dikerubungi orang-orang terdekat.

“Eh? Rame amat?” Dahinya berkerut bingung tatap presensi


manusia lain di apartment miliknya.

Mikha kembali tatap sekeliling, semuanya berantakan. Juan


dengan baju yang sudah longgar, bungkusan kuaci dan kopi hitam
satu liter semakin buat dirinya bingung bukan main.

“Ini ada apasih? Kok kayak abis ngeronda bawaanya,”

Suara helaan nafas keluar dari bilah bibir Juan. “Nah, udah
nih—beneran udah balik berarti.”

“Mik,” Suara berat Muklis menyapa, Mikha tatap Muklis


dengan mata yang menyipit. Kembali bingung kenapa leher milik
Muklis dikalungi bawang putih.

“Apaan?”

“Luwak kalo hidupnya di air keliatan apa?”

Satu pertanyaan ini gak cuma buat Mikha berkerut bingung—


semua orang pun ikut bingung dengan pertanyaan asal dari Muklis.
Apa korelasinya dengan Mikha yang baru sadar?

136 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 137

“Keliatan dongonya, kayak lu!” Jawabnya dengan kesal.

“Pix bos pix, udah balik nih anak.”

Tanpa banyak basa basi, Gama segera rengkuh Mikha erat—


diikuti dengan sang Ayah yang ikut memeluk, meskipun jadinya
terlihat berebut.

Sore itu, benar-benar jadi sore yang berkesan karena mereka


dihadapkan dengan jenis hantu perempuan yang ternyata menyukai
tuan rumahnya dan benci akan ucapan kurang ajar dari Mikha. Usai
drama panjang tersebut dilewati—mereka sepakat untuk gak cerita
apa-apa dulu ke Mikha. Karena kalau Mikha tau, urusannya akan
lebih panjang.

Hantu itu mungkin akan dibabat habis dan dicaci maki oleh
si manis.

●●●

Usai ketegangan yang terjadi di apartment milik Gama, Muklis


dan Putra pada akhirnya pulang tepat pukul 9 malam. Masih setia
dengan motor Aerox hitam gebar-geber yang digunakannya sejak
jadi mahasiswa baru.

“Yang, mau mampir kebon siri kagak? Tapi sepiring bedua ye,
mahal bet buset.” Suara Muklis yang ikut tertiup angin tak digubris,
Putra terlalu hanyut dengan alam bawah sadarnya.

137 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 138

“Woi, bengong aje lu kripik pete.” Dengkul milik Putra diketuk


sekali, buat dirinya sadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali.

Lampu merah dan padatnya lalulintas malam di pusat ibukota


buat Putra merenung sejenak. Netranya bergulir, tatap spion yang
mengarah ke wajah rupawan sang suami.

“Anjay, Cakep bet dah laki lu, yang. Mirip Nikolas Saputra.”
Muklis sisir tipis rambut depannya, buat Putra mendengus geli.

“Najis, Jefri Nikol lu mah.”

“Najong, boti.” Lagi-lagi Muklis dan racauan asalnya itu buat


orang-orang yang ikut menunggu lampu berubah jadi hijau
menengok. Beberapa diantaranya terkekeh—ada juga yang tatap
sinis tak suka.

“Sembarangan banget! Mampus lu kalo di somasi.”

“Somasi mah yang buat nempel,”

Putra layangkan satu toyoran dari belakang. “Isolasi, bangsat.”

“Jelek banget si jokes lu?!”

“Yang penting orangnye cakep, paripurna. Dapet spek


malaikat lagi macem lu.”

Putra terdiam, malas menanggapi kalimat dangdut tersebut.

“Yang,”

138 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 139

“Apaan lagi?!”

“Lu liat gak tadi si bos sama Mikah?” Netra Muklis bergulir,
tatap lampu yang berubah jadi hijau. Tangannya dengan sigap mulai
kembali nyalakan mesin dan bawa motornya menyusuri jalan.

“Liat,”

“Kenapa?”

Muklis kembali tatap Putra dari spion, senyumnya terpatri


disana.

“Lu tau kan ‘yak kita sama-sama takut setan?”

Dengar ucapan Muklis, Putra mulai putar bola matanya malas.


Ia jelas tau arahnya kemana. “Tau.”

“Ya, kalo—amit-amit. Amit-amit nih ya, elu kesurupan kaya si


Mikha tadi, maap banget gua gak akan meluk lu kayak si bos.”

“Boro-boro dah. Ada di tempat aja kagak bakal mau gua,”

“Ya terus?!”

Muklis telan ludahnya susah, raut wajahnya berubah jadi lebih


serius.

“Tapi gua janji, di momen lain—kalo lu sakit, kalo lu butuh


tempat buat nyender, kalo lu cari orang yang bakal belain lu buat
dan lawan dunia,”

139 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 140

Telunjuknya tunjuk dirinya sendiri dengan bangga. “Muklis bin


Sanusi bakal maju paling depaaan.”

“Geli, kontol.”

Mungkin Putra bisa sembunyiin senyum manisnya dibalik


punggung tegap milik Muklis, mungkin Putra bisa sembunyikan
degupan jantung yang seringkali terjadi ketika Muklis keluarkan
kalimat dangdutnya. Tapi Putra gak akan pernah bisa sembunyikan binar
matanya kalau ia begitu mencintai Muklis.

Lain pasangan tentu lain cerita, gak semuanya bisa rengkuh erat
pasangannya di moment tertentu. Tapi yang jelas, cinta yang tinggal itu gak
mungkin hilang begitu saja.

140 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 141

141 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 142

Bungsunya Papi & Mami


“Gimana rasanya begitu dicintai sepenuh hati?”

Dulu, sebelum kenal Gama, Mikha suka tanya dan berdialog


dengan dirinya sendiri, Bagaimana rasanya dicintai manusia lain?
Apakah sebahagia dulu—ketika ibunya masih hidup dan bernafas
disampingnya? Pertanyaan tersebut tak pernah terjawab setelah
akhirnya ia bertemu dengan sosok laki-laki yang begitu hangat—
Gamaliel Ossa.

Mikha ingat dengan jelas, waktu awal masuk jadi mahasiswa


baru, Gamaliel itu anak jurusan Manajemen yang keliatan paling
‘bersinar’ karena paling kinclong dan mulus. Meskipun mainnya
sama pentolan jamet kayak Muklis.

Hal pertama yang buat Mikha jatuh adalah ketika Gama


temani dirinya sampai lupa bahwa ia takut hujan. Hal kedua,
Gamaliel itu selalu beri senyum hangat dan tangan ringannya selalu
bantu Mikha kerjakan apapun—bahkan paku yang copot dikamar
kosannya. Hal ketiga yang buat Mikha jatuh cinta adalah seperti
yang dilakukan Gama seperti detik ini, dengan setia Gama elus halus
punggung Mikha agar tidur. Sejak kejadian mistis kemarin—ia
bertekad bulat untuk tak akan tidur sebelum Mikahnya tidur.

142 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 143

Mikha beberapa kali terkekeh begitu kepala Gama jatuh akibat


tahan kantuk. Dilihat dari posisi ini, Gama itu benar-benar berusaha
kuat terjaga. Kepalanya menggeleng, matanya terpaksa mengerjap
agar kantuknya hilang. Buat Mikha gemas dan akhirnya
mengalungkan tangannya—kecup rahangnya dari bawah.

“Ayang ngantuk?” Gama tatap Mikha sayu, dengan mata yang


sudah tunjukan lelahnya.

Kepalanya jatuh—tepat di ceruk leher Mikha, hirup harum


wangi bayi dari sana

“Banget, kamu kapan bobonya ya?” Daun telinga si manis


dikecup, menjalar pada pipi yang berisi sampai ke leher dan turun
ke selangka.

“Mmmh—bikin ngantuk makanya,” Paham kemana arah


ucapan Mikha, Gama jadi terkekeh.

“Nanti jadi aku yang ngantuknya ilang,”

Gama, satukan keningnya dengan si manis, tatap dalam netra


hazelnya. Berikan satu kecupan singkat di bibir.

“Apa ya aku jadinya tanpa kamu,”

“Apasih dangdut!”

Mikha bisa rasakan pinggangnya diusap halus, dibawa


mendekat untuk dipeluk.

143 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 144

“Jangan kemana-mana ya, Miki?”

“Aku tuh sayang banget, banget, banget sama kamu.” Mikha yang
sibuk sembunyikan wajahnya di dada bidang sang suami mencebik,
Gama itu beneran lebay.

“Mik?”

“Apa lagi?!”

“Kamu tau gak kenapa presiden Indonesia itu Joko Widodo?”

Mikha mulai berpikir—kali ini dia gamau keliatan bodoh,


Gama emang biasa buka obrolan random yang temanya agak berat.
Wajahnya diangkat, tatap Gama lekat.

“Soalnya tata infrastrukturnya bagus, memajukan tanah Papua


ter—” Mikha hendak melanjutkan ucapannya sebelum akhirnya
telunjuk Gama bertengger di depan bibirnya, menyuruhnya untuk
diam.

“Sssh—salah.”

Mikha mengerutkan dahinya bingung, perasaanya mulai tak


enak.

“Soalnya kalo presidennya aku, rakyatnya cuma ada satu—”

Gama dekatkan wajahnya pada Mikha, hujani dengan banyak


ciuman. “Kamu,”

144 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 145

“GAMA DANGDUT! ALAY KAYAK MUKLIS! NAKAL


KAMU!”

Iya, Mikha memang merasa begitu dicintai—meskipun


terkadang afeksi yang Gama beri buatnya merinding geli, namun
Gama itu benar-benar salurkan rasa tulus yang mampu buatnya ikut
terhanyut—Mikha gaakan bisa kalau kehilangan Gama.

****

Gak hanya Gama, bahkan Mikha juga turut rasakan gimana


bahagianya ketika keluarga Gama ikut mencintainya. Satu dunia
rasanya ikut tau gimana seorang ‘Gandhy Salim’ dan ‘Gantari
Gautama’ manjakan menantunya. Mikha itu layaknya anak sendiri
yang dijaga sepenuh hati—bahkan tahtanya melewati anaknya
sendiri.

“Yel! Kamu tuh apain Mikha lagi?” Satu teguran dari Ayahnya
buat Gama terkekeh, tangannya sibuk peluk Mikha dari belakang—
gigit pipinya kuat.

“Pi! Bantuin Mikha, sakit ini! Gamanya nakal!” Mikha dengan


sorot sendunya buat Gandhy segera dekati kedua anaknya—hendak
pisahkan rengkuhan kuat Gama dari si gemas Mikha.

“Ampun deh kamu tuh! Diapain sih anak Papi?!”

145 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 146

“Disayangi dan dicintai sepenuh hati! Mmmmch! Mwah! Mwah.”


Wajah milik Mikha dihujani kecupan meski sudah ditarik paksa sang
ayah.

“Papip bantuin Mikhaa!”

“Sini, sini, kamu gigit saja, Mik tangannya.”

“Gamaau!”

Gantari yang baru saja datang dari lantai atas langsung


menggelengkan kepalanya—bingung dengan karakter tegas dan
mengintimidasi dari suami dan anaknya yang entah pergi kemana.

Selalu seperti ini—seperti dua kepribadian jika dihadapkan


dengan Mikha.

Mikha yang lihat presensi Gantai langsung berdiri, dan terbirit


hampiri sang Ibu mertua, sembunyi dibelakang tubuhnya.

“Miiii! Gamanya tuh ngeselin!”

Gandhy dengan sigap segera mengalungkan lengannya pada


leher sang anak—diapit kuat. ‘Tenang Mik, udah Papi borgol ini
anak!”

“Pi, not funny—it hurts, Mik—bantuin aku,”

Gantari makin menggeleng kala ia lihat sang suami semakin


apit anaknya kuat—terdengar suara decakan dari bibirnya.

146 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 147

“Sudah! Kalian ini—jadi gak ke lokasi?!” Seruan keras dari


Gantari sukses buat keduanya terdiam.

“Ayo Mik, Kita saja duluan ke mobil.” Dengan langkah


angkuh, Mikha kaitkan lengannya pada sang ibu mertua—julurkan
lidahnya kearah Gama yang malah terlihat lucu. Tinggalkan kedua
laki-laki yang saling mengapit itu sendirian.

****

Sekali lagi—Mikha gak pernah habis ucap syukur dan


beruntung begitu dapat suami beserta paket lengkap keluarga inti
yang menerimanya. Mikha emang gak pernah masalahin ‘materi’
yang Gandhy, Gantari maupun Gamaliel beri. Hanya kadang—effort
dan hadiahnya itu benar-benar bikin manusia lain gak habis pikir.

“Pi, ini rumah siapa?” Satu pertanyaan meluncur kala Mikha,


Gama, Gandhy dan Gamaliel berdiri tepat didepan bangunan
megah namun terkesan modern—warnanya hitam monokrom dan
banyak aksen kayu.

“Pertanyaannya salah Mas, yang bener—ini komplek siapa.”


Bariton rendah milik pria berumur buat Mikha menengok. Mandor
yang bertugas disini tatapnya dengan senyum dan kekeh yang
dilayangkan berulang kali.

“Emang komplek siapa?” Netra Mika bergulir, seraya kakinya


melangkah—tengok kanan dan kiri. Apa bisa disebut komplek

147 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 148

kalau rumahnya Cuma 4 biji? Ya walaupun rumahnya megah semua


sih.

Gama peluk erat tubuhnya dari belakang, kecup pipi si manis


singkat. “Kompleknya kamu dong, Papi sama aku emang lagi cari
rumah yang kosong dan bisa langsung ditempatin—ya aku renov
sedikit sih. Cuma karena kecil—aku sekalian beli tanah dan
bangunan lainnya.”

Mikha telan ludahnya susah—masih gak nemu alesan Gama


dan Papinya cari rumah untuk apa. “Rumah buat siapa? Kan apart
kita masih ada.”

“Ya buat kamu, nanti kita tinggal disini,”

“Terus sisanya???!” Pertanyaan lantang tatapan nyalang Mikha


berikan untuk Gama. Seraya netranya kembali bergulir—tatap
komplek tersebut yang bingung dibagian mana letak “kecil” nya,
seperti yang Gama bilang barusan.

“Jangan bilang,”

Senyum milik Gama melebar hingga matanya bentuk sabit.

“Hehe.”

“HAHA-HEHE JELASIN!”

Nampaknya, memang materi berlebih dan hadiah yang rogoh


kocek gaakan buat Mikha terkesima—justru buatnya seperti

148 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 149

sekarang. Sampai detik ini pun—Mikha juga masih ‘culture shock’


berkat perilaku Gandhy dan Gamaliel yang terkadang berlebihan
dalam berikan perhatiannya.

Kali ini Gandhy maju selangkah, usap halus punggung Mikha.


“Ini hadiah buat Mikha dari Mami dan Papi, karena kami gamau
kejadian kemarin terulang lagi. Ya ‘kan, Mi?”

Gantari menghela nafasnya, merasa semuanya juga terlalu


berlebihan.

“Enggak, aku gak ikut-ikutan. Ini idemu sama Iel.” Jawabnya


dingin, seraya betulkan letak kacamata hitamnya.

“Papip! Ini beneran lebay tau, masa iya cuma gara-gara


kesurupan jadi beli satu komplek?”

“Ya kalau gak lebay, bukan Papimu namanya.” Gantari


kembali nimbrung, buat sang mandor dan beberapa pekerja disana
tertawa.

Gandhy tatap menantunya penuh binar, pucuk kepalanya


diusap halus.

“Lho, gapapa Nak. Nanti ini ditempati sama teman-temanmu,


Kok. Biar Mikha ada temen disini. Papi sudah suruh pengacara Papi
untuk urus dan hubungi teman-temanmu.”

149 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 150

Mikha mengerjapkan matanya kaget. Kembali tatap bangunan


lebar yang menjulang—inimah beneran diluar nalar. “Terus mereka
mau?”

“Mau kok, sayang. Aku juga kemarin tuh approach mereka


untuk mau tinggal disini. Kan tinggal tempatin aja gak usah bayar.
Jadi kalau aku harus ninggalin kamu keluar negeri juga aman selama
ada mereka.”

Mikha hentakkan kakinya kesal, bibirnya mencebik. “Y-YA


TAPI GAK GINI JUGA KALIIII?!”

Suara tawa dan kekehan kembali terdengar—gaada yang kuat


buat nahan gemes sama sosok laki-laki manis bersurai biru tersebut.

Meskipun begitu—Mikha teramat berterima kasih karena


temukan bahagianya melalui Gama. Ungkapan dimana Mikha
gaakan bisa tanpa Gama itu agaknya terkesan belerbihan—sama
seperti cara Gama berinya perhatian. Namun benar adanya, Gama itu
hapuskan sepinya, sibuk hujani dirinya dengan afeksi dan perhatian
kecil.

Perhatian yang ia dapatkan dari orangtua Gama juga buatnya


keliatan terasa lebih spesial. Ungkapan bahwa Mikha anak
bungsunya Gandhy Salim itu—nyata adanya. Memang terlihat jelas
bahwa Mikha begitu disanjung dan disayang.

150 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 151

Benar-benar bungsunya Papi dan Mami.

●●●

Mikha pijit pelipisnya—kali ini, toko mie ayam milik Putra jadi
tujuannya untuk singgah, bagi bebannya karena bingung manusia
waras mana yang harus ia sambangi untuk dengar kejadian gila yang
baru saja terjadi.

“Yaudah si, lagian yang lain juga seneng aja dikasih rumah.
Gua aja masih trauma kalo inget lu kesurupan, Jing. Padahal udah
dua bulan lalu.”

Mikha seruput es teh manisnya di hadapan—tatap sinis layar


ponselnya yang tampilkan satu panggilan tak terjawab dari Gama.
“Ya tapi lebay banget Put! Masa Cuma gara-gara kesurupuan gua
dibeliin satu komplek? Temen-temen gua dibeliin rumah satu-satu.”

“Heh dongo! Bentuk sayang orang beda-beda. Lu ‘kan tau,


Gama sama keluarganya emang juara umum masalah foya-foya. Tuh
sekelas ‘pasar’ aja yang bikin kaki lu kesleo doang ditutup. Alesannya
orang belum vaksin—tai! Padahal mah gara-gara mantunya
keinjek.” Putra tatap sinis Mikha yang sibuk mencebik sambil aduk
asal tehnya.

“Lagian gua, Kahfa sama Juan juga seneng dikasih rumah.


Udah makasih juga sama mertua lu tuh. Si Muklis sampe selametan
satu kampung tau gak?! Malu-maluin banget anjing.”

151 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 152

“Ya intinya gua mau marah dulu sebulan! Biar dia sadar.”

“Serah lu, monyet.”

Keduanya kembali hening sebelum akhirnya Putra kembali


buka suara.

“Btw Mik,”

“Apaan?”

“Gua sama Muklis mau adopsi anak, udah urus surat-suratnya


dari lama sih. Tapi minggu depan ‘dia’ udah bisa tinggal disini—
bareng gua sama Muklis.”

Mikha yang emang dasarnya lagi kunyah mie ayam jadi


tersedak, punggungnya ditepuk-tepuk halus sama Putra. “Dongo,
anjing.”

“Y-yang bener, lu?”

“Beneran dongo.”

Mikha tatap lurus mie ayamnya tanpa minat, rasanya ikut


berdebar meskipun bukan dia yang akan jadi orang tua.

“Lu kapan?” Pertanyaan yang jelas tunjukan ciri khas warga


Indonesianya itu bikin Mikha menghela nafasnya kasar

“Sampe Ultraman minum susu ultra juga gabakal mau gua


punya anak, Put..”

152 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 153

Putra tatap malas sahabatnya. Dari perumpaaanya—yang


terlihat konyol aja, Putra emang yakin juga kalo Mikha emang belum
pantes jadi orang tua.

“Iya, salah gua udah. Ngarep apa gua dah dari tutup odol yang dikasih
nyawa.”

153 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 154

Timosaurus becoming parents.


“Seiring bertambahnya umur, kita akan miliki buntut yang mengikuti.”

Berada di usia yang hampir memasuki kepala 3 kadang kali


buat Mikha beripikir, apakah ia akan selamanya hidup berdua
bersama Gama? Apa Gama bakal terima kenyataan pahit bahwa
Mikha itu emang gamau punya anak sampai akhir hayat? Apa Gama
akan cari suami bar—ah enggak, ini bukan sinetron Indonesia yang
biasa junjung tinggi nilai poligami. Intinya, pertanyaan tersebut
selalu bercabang dan buat kepalanya pusing ingin temukan jawaban.
Jadi—sebelum tidur, Mikha terkadang akan bertanya,

“Gamaa, kamu gapapa kalo sampe mati berdua doang sama aku?
Gamau punya anak? Punya dedek bayi gitu…”

Jawaban Gama itu selalu sama, tak pernah bertambah ataupun


berkurang.

“Meskipun aku mau, kalau kamunya enggak, ya aku gak akan


maksa sayang. Lagian kan aku nikah sama kamu karena emang pengen
sama kamu bukan yang lain—gak berharap juga kita bakal punya anak
atau apa, yang penting berdua aja sampai nanti.” Tentunya jawaban itu
selalu buat hati Mikha tenang, pertanyaan berisik dikepalanya
lambat laun mulai berhenti.

154 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 155

Namun, pertanyaan itu akan muncul kembali jikalau Mikha


liat interaksi Gama dengan manusia mungil yang buat dirinya risih.
Mikha itu, benar-benar gak suka anak kecil. Beda sama Gama yang
begitu tau cara rawat dan sayangi manusia mungil tersebut—
mungkin karena hatam juga momong bayi besar.

“Atututu Juni lutuu banget pipinya?” Suara kekehan kecil


mengudara, Juniesse Gabriella Bible—anak kedua Juan dan Julia tatap
penuh binar Gamaliel. Rambut panjang dan senyum cantiknya
terpatri. Ia jelas begitu menyukai sosok laki-laki di hadapannya.

“Cini-cini om bantu ya pasang legonyaa? Mau bentuk apa?


Castle mau?”

Juni hendak berpikir sebentar, hingga pada akhirnya ia panggil


sang kembaran—Junior Gabriel Bible untuk ikut bergabung dan buat
sebuah istana dari lego.

“Abaaang, tini! Kita bikin castle tama Om Yel!”

Junior pandang adiknya, rasa penasaran membuncah dalam


dirinya sehingga memilih untuk duduk di pangkuan Gama dan ikut
pasang legonya.

Kahfa yang duduk disamping Mikha tatap aneh pemandangan


di depannya, terlihat sangat fluffy untuk dirinya yang gak relate sama
genre kehidupan tersebut.

“Gua baru inget si Gama demen bocil,”

155 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 156

“Ya—gitu.” Bibir Mikha rada mencebik kala Gama terus-


terusan keluarkan bahasa bayi yang menurutnya—annoying.

Keduanya menggetarkan bahunya; geli. Apalagi ketika Gama


temukan Junior buang air besar di dalam pampersnya. Anehnya, ia
dengan sabar bantu anak itu ke toilet dan ambil alih untuk
bersihkan. “Mik, aku bantu bersihin Junior dulu ya? Dia pupup
soalnya.”

Dengan cepat—Mikha mengangguk, tangannya berikan


gesture untuk Gama cepat pergi dari hadapannya dan bawa monster
kecil itu.

“HIIIH NAJIS” Ungkapan geli yang keluar dari bilah bibir


Kahfa dan Mikha terdengar bersautan. Buat Juni ikut menengok
dan terkekeh geli, sendirian.

Keduanya tatap bocah itu dengan kerutan di dahi dan bibir


atas yang sedikit naik.

“Apasih?”

“Siapa yang ngajak dia dah, met?”

“Tau, pengen banget diajak dah.”

Keduannya itu memang benar kekanakk-kanakkan, gak heran


kalau misalnya sampe mati pun gak ada yang punya anak diantara
keduannya. Pucuk kepala milik Kahfa dan Mikha dipukul keras dari
belakang. Pelakunya adalah Putra yang baru saja datang—dengan
156 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 157

oleh-oleh yang gak pernah terduga. Buat Kahfa maupun Mikha


tatapnya dengan mulut yang menganga lebar.

“ANAK SIAPA LU BAWA PUT ANJ—” Bibir milik Kahfa


seketika dibungkam Putra. Ia tak ingin anak kecil didalam
gendonganya itu terkontaminasi.

“Bababa! Ini tapa? Pipina tuing-tuing.” Anak kecil yang


usianya sekitar empat tahun itu tatap Mikha penuh binar—pipi
berisinya ditusuk-tusuk beberapa kali.

Mikha yang rasakan wajahnya disentuh manusia lain tanpa


dosa mulai menukikkan alisnya. Gak terima dengan hal tersebut.
Apalagi pelakunya bocah kecil. Kakinya dibawa mundur beberapa
langkah hendak menjauh dari bocah tersebut.

Baik Kahfa maupun Mikha sibuk telusuri presensi bocah kecil


yang begitu mirip dengan Putra. Kedua manik matanya bulat
cantik—berbinar. Pipinya gembil dan tubuhnya cenderung lebih
mungil dari anak seumurnya.

“Ini namanya Ommik,” Putra tunjuk Mikha yang dibalas


dengan anggukan oleh si kecil.

“Ini namanya Omfa, paham ya de?” Satu anggukan dan


senyum manis terpatri, buat Putra gemas dan kecupi pipi sang anak.

157 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 158

Mikha dan Kahfa masih berada di tempat yang sama, alisnya


bertaut—dahinya berkerut bingung. Apa ini yang Putra bilang
tempo hari bahwa ia akan segera adopsi anak?

Putra angkat tangan si kecil, gerakkan ke kanan dan kiri.


“Hayo om, namaku Rahes, anaknya Baba Putra dan Babeh Muklis.”

Si kecil tatap Putra polos, matanya berbinar bingung. “Dedek!


Ukan Ahes!”

“Oooh, gitu ya? Maunya dipanggil dedek, bukan Rahes? Ututu


tayang,”

Mikha dan Kahfa bersitatap, netranya saling kirim sinyal yang


menunjukkan bahwa sahabatnya itu—aneh. Apalagi dengar Putra
dengan suara nyaring yang sok imut.

“Dedek dedek, Kayak Lesti dah anak lu, Put.” Racauan asal
Mikha buat Putra melotot. Birainya sudah siap mengumpat kalimat
“Kontol” tapi sebisa mungkin ia tahan dengan senyuman manis kala
ia lihat Rahes tatapnya dengan hangat.

“Mulutna jaga ya, Ommik?” Putra keluarkan suara nyaring ala


bayi yang dibuat-buat. Buah kedua sahabatnya semakin geli.

“Put anji—” Kahfa yang belum sempat selesaikan


umpatannya buru-buru diinjak Putra kuat kakinya hingga memekik.

“AAAKH, sakit dongo.”

158 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 159

“Jaga ya mulut lu kalo ada anak gua, gua gamau anak gua dapet
energi negatif.”

Denger Putra sebut dengan bangga kata “Anak” sontak tawa


Mikha dan Kahfa pecah. Putra emang lembut dan dewasa, tapi
rasanya masih gak nyangka aja seorang Putra yang kesabarannya
setipis tisu momong anak, penasaran bakalan jadi kayak apa.

“ASHIAAP BABA PUTRA DAN BABI MUKLIS,”


Jawaban ngawur Kahfa itu sukses buat semuanya terkekeh, kecuali
Putra yang sudah sibuk teriakan nama binatang dalam hatinya.
Tangannya juga tutup telinga sang anak, Rahesa Senja Fakhlis agar tak
terkontaminasi dengan makhluk jadi-jadian di hadapannya.

****

Siang itu rumah Julia dan Juan jadi tempat mereka untuk
berkumpul di hari Minggu, bagi canda tawa dan cerita singkat
bersama. Mereka harus banyak terimakasih pada ide gila Gandhy
Salim untuk buat semuanya hidup bertetangga, karena jadi lebih
mudah untuk berkumpul tanpa harus tempuh jarak dan buang
tenaga.

“Gosh! Your son is soooo cute.” Julia tatap lekat Rahes, sibuk ajak
bicara Rahes dengan riang—yang tentunya dibalas dengan ramah,
karena Rahes tergolong anak yang mudah berbaur.

159 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 160

“Iyalah, siapa dulu babehnye,” Muklis tunjuk dirinya sendiri,


buat Julia mendengus.

“To be honest, anak lo gak ada mirip-miripnya sama lo.


Thanks’s god he look alike Putra so much.”

“Sembarangan bet lu jul, gini-gini Putra cinta mati sama gua.”

Belum sempat Julia menjawab, Juan tiba-tiba memekik gemas


kala lihat interaksi antara Rahes dan putrinya, Juni. Rahes rapihkan
rambut Juni yang tertiup angin.

“Tuhan, lucu banget lagi! Jodohin aja kali ya Put, anak kita?”
Juan tatap Putra dengan penuh binar. Beda sama Julia yang udah
gak kebayang kalau harus besanan sama laki-laki lebay bin jablay
kayak Muklis.

“Ju, kalo mau nyomblangin anak liat dulu bibit-bebet-


bobotnya. Noh—babehnya aja modelan kuli genit.” Kahfa yang
duduk rada jauh di sofa bersama Mikha buat yang lain terkekeh.

“Gua sih terserah anaknya aja. Tapi kata guamah cocokan


sama Junior.” Muklis tatap lurus Junior—anak laki-laki yang begitu
betah duduk dipangkuan Gama sejak datang.

“Lu liat dah, Masa si Rahes manis, pacarinnya yang cantik?


Yang ganteng lah kayak Junior.” Sontak, jawaban Muklis buat tawa
yang lain mengudara.

160 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 161

Mereka semua, sibuk lemparkan candaan masing-masing.


Meskipun tak se-vulgar dulu, mereka tetap bisa rasakan bahwa
vibesnya gak pernah berubah. Hanya Timosaurus versi di-upgrade.

Dari pojok ruangan, Julia tatap lurus sang sahabatnya. Senyum


hangatnya terpatri di wajah. Hanya Julia dan Muklis yang tau
seberapa inginnya Gama miliki seorang anak untuk lengkapi
kehidupan rumah tangganya.

“Udah cocok lu bos.”

Gama yang sibuk bacakan Junior buku menengok, senyuman


simpul dan mata yang membentuk sabit terlihat begitu tulus.

“Cocok kenape tuh,” Suara Kahfa kembali mengalun, sindir


keras laki-laki manis yang duduk disampingnya.

Mikha gak bodoh, sejak awal kedatangannya kesini, Gama


memang terlihat berkali lipat lebih bahagia. Apalagi ketika Julia
keluarkan dua malaikat kecilnya.

“Eh tapi jujur, Gama emang cocok banget jadi bapak.


Kebapakan banget—sampe jokesnya pun udah kearah sono.” Kali
ini Juan ikut nimbrung, buat semuanya tertawa. Beda sama Mikha
yang udah overthinking.

Meskipun Gama seringkali kurang tanggap dalam tangkap


kode unik dari Mikha, tapi Gama begitu hafal diluar kepala jikalau
Mikhanya mulai rasakan suasana hati yang kurang baik. Netranya

161 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 162

bergulir, tatap satu persatu kerabatnya untuk berikan kode agar


segera ganti topik utama obrolan tersebut.

“Iyalah! Orang anaknya disini. Mikha-Gama kan udah kayak


anak sama bapak. Ye gak Mik?” Suara nyaring Muklis buat Mikha
mencebik gak terima. Meskipun isi kepalanya masih berisik—
namun sebisa mungkin ia coba untuk tenang kembali.

“Masih untung bapak-anak. Lu sama Putra udah kayak


Pangeran sama kuda!” Seruan keras dari Mikha memang lucu hingga
buat yang lain terkekeh. Tapi, tentu beda sama Rahes—anak Putra
dan Muklis yang menangis hebat ketika babehnya itu disebut “Kuda.”

“Rusak lu, Mik rusak. Beneran dah,”

Seiring berjalannya waktu, anak-anak timosaurus makin


beranjak dewasa. Obrolan tentang cinta, gibahan asal yang biasa
mereka lakukan seperti dahulu kala, lambat laun mulai berubah jadi
obrolan berbobot para orangtua. Gimana cara gendong anak yang
benar, cara parenting yang baik dari ahli A, B, dan C. Gimana cara
atasi pertolongan pertama ketika anak kejang; dan berbagai hal
lainnya buat pikiran mereka semakin terbuka.

Kahfa dan Mikha yang pada dasarrnya emang gak suka anak
kecil juga lambat laun terbawa; ikut dengarkan nasihat dari Juan dan
Putra. Meskipun gak tau kedepannya akan punya anak atau enggak.
Tiap orang memang punya prinsipnya masing-masing. Dan hingga

162 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 163

detik ini pun, Mikha masih teguh bahwa tinggal berdua sama Gama
aja adalah keputusan terbaik—dibandingkan harus tambah anggota
baru dan buat semuanya jadi rumit.

Jadi orang tua itu tentu gak mudah, tanggung jawabnya


seumur hidup.

●●●

Pagi itu—ketika anak-anak timosaurus dan pasangan sedang


adakan liburan dadakan ke villa yang letaknya di puncak milik Juan,
entah kenapa Mikha bangun lebih awal dari biasanya. Seolah dunia
ingin tunjukkan satu kebenaran yang buat dirinya tergoncang
seketika dengar fakta yang ada didepan mata.

“Lu sebenernya pengen punya anak kan bos? Ajak Mikha ngomong
bae-bae aje. Biar paham anaknya,” Muklis tatap lurus Gama yang sibuk
momong anaknya—berusaha menidurkan si kecil Rahes.

Gama tersenyum hangat—terpancar ketulusan dari sana.


“Pengen lah, Klis. Pengen banget. Tapi gue pengen Mikha hidup
sebahagia dia,”

“Gimanapun juga, bahagia dia ya bahagia gue juga.” Gama


tepuk punggung Rahes halus. Buat Muklis tatap nanar bos besarnya.

“Emang alesan dia kagak mau apaan si bos selain gasuka


bocil? Noh si Rahel pennya kagak demen anak kecil, buntutnye ada dua
tuh.”

163 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 164

“Gak pernah gue tanya—takut bikin dia overthinking.”

“Jiakh, masih aje. Begituan mah urusan belakangan bos, yang


penting komunikasi.”

Gama kembali tatap Muklis lurus, “Beda-beda tiap pasangan.


Gue bener-bener gak butuh alesan dia apa. As long as he happy then I
will do anything just for him.”

Pagi itu rasa haru dan pilu melebur jadi satu. Mikha, benar-benar
cinta sama Gama sampe ke tulang. Begtipun juga Gama-nya.

164 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 165

Midnight Thoughts.
“Malam jadi tempat bernaung para kaum yang punya benang kusut
dikepala.”

Pernah dengar alasan mengapa air dan minyak tak dapat bersatu?

Dikutip dari penjelasan para ahli, Air itu adalah molekul polar
yang ujungnya miliki muatan positif dan ujung lainnya negatif. Hal
itu mungkinkan mengapa mereka berikatan bersama. Sedangkan
minyak merupakan molekul non-polar yang hanya bercampur
dengan baik dengan molekul non polar lainnya. Itu sebabnya
keduanya tak bisa saling mengikat—layaknya hubungan rumit
Vincent dan Kahfa begitu berbeda layaknya air dan minyak.

Tiap manusia tentunya hidup dengan masa lalu yang biasanya


digunakan sebagai pelajaran yang tak akan diulang di kemudian hari.
Namun, nampaknya dua mantan kekasih ini merupakan satu yang tak
bisa lepas. Tak saling mengikat—namun perasaan kuat tetap hadir
disana meskipun tersimpan rapat.

“Mau makan apaan nih?” Kahfa yang sibuk tatap layar


ponselnya, gak gubris Vincent dalam mode manjanya. Berada diatas
kukungan dan dusal manja ke ceruk lehernya.
165 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 166

“Up to you,”

“Minggir ah! Geli gua ‘kan digituin.”

Vincent tatap Kahfa usil dari atas, semburat merah nampak


meskipun tertutup raut kesal.

“Geli? Atau horny?”

“Bule kontol, enyah lu!” Omelan kecil Kahfa justru buat


Vincent terkekeh, Kahfa itu layaknya pil tenang yang harus
dikonsumsi ketika dirinya sedang berada dalam mood yang kurang
baik.

“Eh, makan seblak yuk?” Ajakan Kahfa kala itu buat Vincent
mengerut, gak setuju dengan ajakan tersebut. Masih gak nemu apa
enaknya makanan kelewat lembek kayak gitu.

“Seriously Fa? Ini literally jam satu siang?”

“Terus kenapa? Kalo gamau yaudah, gua tinggal beli sen—”


Ucapan Kahfa terputus kala Vincent dengan malas mulai berdiri dan
angkat tubuhnya untuk bangun. Buat semburat senyum
kemenangan nampak.

“It’s always seblak on the first place.”

“Iyalah! Kalo juara kedua mah gua.” Vincent tatap Kahfa


datar, beneran gak suka kalau Kahfa udah sarkas dengan kalimat
barusan.

166 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 167

“Oh please, not again..”

****

Pada akhirnya dua manusia itu benar-benar makan siang—


ditengah cuaca terik—dengan seblak panas yang buat banjir pelipis.
Kahfa tak henti-hentinya ambil potret wajah merah Vincent akibat
kepanasan. Makin nampak bulenya.

“Le, madep sini le.” Suara kekehan dan tawa nyaring buat
Vincent berkali-kali tutupi kamera yang sorot dirinya langsung.

“Ngakak, kayak kepiting rebus dah lu,” Kahfa fokus tatap


ponselnya, lihat hasil jepretannya tadi.

Meja panjang yang diisi beberapa orang, buat mereka duduk


bersampingan, jadi lebih dekat dan layaknya—sebuah pasangan.
Apalagi kala Vincent aktif elusi pucuk kepalanya meskipun Kahfa
tak menyadari.

Keduanya yang sempat terfokus pada ponsel milik Kahfa


begitu kaget kala orang yang duduk disampingnya tegur anak kecil
yang duduk di hadapannya—tatap makanannya layaknya orang yang
belum makan satu abad.

“Heh! Ngapain liat-liat? Gak sopan!”

Anak kecil itu mengerjap kaget, gak nyangka perut kosong dan
rasa lapar buatnya terhanyut liat seblak komplit di siang hari.

167 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 168

“Bah, ini warung lu sejak kapan ada pengemis? Kagak oke


banget dah!” Lagi-lagi suara rendah milik laki-laki muda buat
sekeliling menengok, tatap anak yang sibuk menunduk malu.

Meskipun Kahfa pada dasarnya gak suka anak kecil, ia


beneran gak bisa lihat kekerasan sekecil apapun terhadap anak
dibawah umur—itu selalu ngingetin dirinya akan masa kelam yang
buatnya sakit hingga berkeping.

“Berisik lu, ngentot. Udah mesen pake promo, ngasih duit juga
kagak. Paling heboh sendiri lagi.”

Ujaran Kahfa itu layaknya tamparan keras, buat pemuda itu


bungkam dan tak gubris. Malu bukan main ketika ada yang berani
lawan ucapannya.

“Heh,” Kahfa panggil si kecil yang tatapnya takut.

“Sini lu, gua gak gigit.”

“K-kenapa ya, om?” Tangannya bertautan sendiri,


sembunyikan rasa takutnya.

“Sini, duduk.” Perlahan langkahnya dibawa mendekat, ikut


duduk dihadapan Kahfa dan Vincent.

Kahfa tatap lurus anak itu sesaat, lalu pandangannya beralih


pada Abah penjual seblak langganannya. “Bah, seblak komplit satu.
Kagak pedes,”

168 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 169

Begitu denger Kahfa pesen seblak, mata anak itu berbinar.


Perutnya makin merongrong kesenangan, Meskipun keliatan
menyembunyikan.

“Pake nasi,” Bariton rendah Vincent buat Kahfa menengok,


keduanya bersitatap sesaat; paham maksud masing-masing hanya
melalui tatapan.

****

Seumur hidupnya, Kahfa gak pernah nyangka bakal bawa


manusia lain—selain Vincent tentunya. Ke istananya sendiri. Rumah
tempatnya pulang—yang beberapa minggu lalu jadi hadiah buat dia
dan para temannya, akibat Mikha kesurupan.

Sosok cilik yang tidur mendengkur di sofa hitam panjang


miliknya buat Kahfa terdiam sebentar. Mungkin temen-temennya
bakal mengoloknya habis-habisan kalau ketawan melakukan ini.
Dirinya sendiri juga bingung kenapa dengan mudahnya bisa luluh
kala lihat sorot sendu dari si anak yang ia temukan tadi siang. Dia
bukan tipikal orang yang dengan mudah bawa orang lain masuk ke
hidupnya yang abu-abu, banyak sakit dan susahnya.

“Bapak lu mana?”

“Gak punya bapak.”

“Ibu?”

169 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 170

Anak itu terdiam sebentar sebelum tatap lalu lintas yang padati
ibukota. “Meninggal,”

“—dipukul bapak.”

“Terus? Lu sendirian?”

Satu anggukan

Dari postur tinggi badan dan sifat naifnya, Kahfa bisa tarik
kesimpulan kalau anak itu usianya sekitar 7 tahun. Punya mata bulat
dan senyum manis. Anehnya, kulitnya itu bersih—apalagi seusai
mandi. Dan yang paling aneh, anak itu—mirip Vincent.

Sebelum pergi tadi, Vincent sempat lemparkan tanya berulang


pada Kahfa, benefitnya bawa anak ini kerumah apa? Gak ada guna
juga nampung orang yang gak mampu—apalagi ini masih sosok
kecil yang harus dibentuk karakternya. Selain itu, Vincent sudah
hapal diluar kepala bahwasanya Kahfa itu memang gak suka anak
kecil kecuali adiknya sendiri.

Kahfa itu benar-benar satu pikiran sama Vincent. Biasanya,


logikanya itu lebih jalan daripada hati. Sekelas Vincent saja ia
tinggalkan layaknya bukan sesuatu yang berarti meskipun selamanya
terukir di hati. Namun, kala lihat netra hazel milik si asing—entah
kenapa hatinya melemah. Merasa terhanyut dan harus lindungi
sosok tersebut.

“Nama lu siapa?”

170 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 171

“Vino, Om.”

“Dimana rumah lu?”

“E-enggak ada.” Gelengan kuat dan bibir yang digigit kuat buat
Kahfa tatap sendu sang anak.

Anak itu enggan buka diri, namun sorot matanya seolah


bicara—kalau dirinya berada diambang hidup dan mati. Sorot itu—
ingatkan Kahfa sama dirinya sendiri.

“V,”

“Why? If you wanna talk about him—” Suara milik Vincent yang
letaknya diseberang telepon seketika berhenti kala Kahfa hela nafas
panjang.

“Help me, please?”

“Fa,”

“Please, gua gak tega.”

“Kahfa, punya anak gak segampang itu—stop talking non sense! Use
your fucking brain!”

Pip.

Untuk pertama kali dalam sejarah, Vincent dan Kahfa itu tak
satu suara. Kahfa yang biasanya gunakan logikanya berlebih, kali ini
ia biarkan hati untuk kendalikan segalanya.

171 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 172

Kepala si kecil diusap halus, buat si kecil merasa nyaman dan


menggeliat. Kalo bukan dia yang bantu anak ini, lalu siapa?

Dunia ini terlalu keji untuk sosok suci yang bahkan tak tahu
kenapa bisa ada disini.

●●●

Dini hari jadi waktu bagi siapa saja untuk nikmati waktunya
sendiri—entah berismpuh dan mohon ampun pada Tuhan, Jemput
bunga tidur, Puaskan diri dengan tangis karena lelahnya hari atau—
simpan rapat rahasia pribadi untuk jadi konsumsi sendiri.

“Hahaha, gemes.”

Bariton rendah milik Gama dan suara khas pada typing ponsel
buat Mikha mengerjap—namun begitu sadar, ia segera kembali
pura-pura tidur.

Sejak pindah ke rumah baru sebulan yang lalu—Gama itu


sedikit aneh. Ia jadi lebih rajin main di rumah Juan. Biarkan Mikha
sendiri—atau biarkan Mikha bermain bersama Kahfa maupun
Putra. Mikha layaknya berada di puncak kesabarannya kala waktu
itu Gama tak sengaja injak ekor Juwiw hingga sang kucing loncat
akibat terlalu fokus pada ponselnya.

Belakangan ini, Gama sering kali tersenyum sendiri dan terasa


lebih bahagia jalani hari. Mikha gak rasakan adanya sinyal kalau
172 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 173

Gama ini selingkuh—tapi Kahfa bilang, justru 90% orang yang


diselingkuhi gak dapat feeling kalau dirinya itu sedang diduakan.
Buat Mikha resah karena tau Kahfa emang pakarnya masalah
selingkuh dan tetek bengeknya.

Malam itu, Mikha yang tidur tepat diatas dada bidang milik
Gama gunakan kesempatan itu untuk tatap lurus ponsel Gama yang
ada di genggaman. Matanya mengerjap dalam diam, berusaha
sembunyi agar tak terlihat. Namun lagi-lagi kesempatannya itu gagal
karena mungkin—ikatan antar dirinya dan Gama terlalu kuat kala
Gama mulai check dirinya yang setengah bangun dan usap-usap
punggung Mikha hingga dirinya itu—kembali tertidur. Untuk
pertama kali, Mikha benar-benar benci jadi orang yang mudah
tertidur.

Hingga fajar kembali datang—Mikha tak temukan mengapa


Gamanya begitu sembunyi dan simpan semuanya rapat. Semuanya
terasa lebih rapih dan rapat. Buat dirinya bulat akan suatu tekad
nekat yang akan ia lakukan sendiri—tanpa tunggu Gamanya untuk
jujur sendiri.

Kalaupun Gama seingkuh, setidaknya ia harus lihat iblis


mana yang akan disandingkan dengan malaikat sepertinya.

173 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 174

Munculnya Iblis Kecil.


“Datang tak dijemput, Pulang tak diantar.”

“DEMI TUHAN GUA KAGAK TAU MIK!” Suara lantang


Muklis buat Mikha berkali-kali bekap bibir tebalnya. Netranya
membulat dan sibuk luncurkan kalimat-kalimat ancaman dari birai,
buat Muklis merasa resah dan ingin melebur—bingung hal apa yang
harus ia lakukan untuk tutupi jejak bosnya kali ini. Masih sama
seperti beberapa tahun lalu, Muklis jadi pihak yang selalu setia bantu
Gama tutupi jejaknya.

“DIEM BRENGSEK! NANTI GAMA DENGER.”


Muklis—bahkan jutaan orang di bumi pasti punya pendapat yang
sama tentang betapa gemasnya Mikha sekarang. Konsep “garang.”
Gak pernah cocok buat Mikha yang terlalu imut dan terkesan
gampang pilek, layaknya bayi.

Siang itu keduanya siap untuk buntuti Gamaliel dari belakang


mobil. Ide gila itu muncul kala Mikha dengan otak instantnya ikuti
serial drama korea dengan tema perselingkuhan—rata-rata
korbannya gunakan cara ini untuk tangkap basah sang pujaan hati.

“Gua gamau tau! Lu yang nyetir! Tangan gua capek ngikutin


Gama dari sini ke kantor! Biasanya dianterin pak Darso tauu!” Bibir
yang mencebik dan kaki yang melangkah masuk kedalam mobil buat

174 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 175

Muklis memekik—entah antara gemas atau resah, yang jelas ia tak


bisa lindungi Gama untuk saat ini. Bibirnya komat-kamit panjatkan
doa agar ada keajaiban yang terjadi hingga buat dirinya dan Mikha
keluar dari situasi ini. Begitu pilu rasanya kalau kelakuan bosnya
belakangan ini benar-benar tertangkap basah, mengetahui fakta
yang terdapat dibaliknya.

Ide cemerlang muncul kala Muklis dengan tiba-tiba tabrakann


mobil sedan milik Mikha pada mobil yang sedang melaju di
depannya.

“MUKLIS! LU GIMANA SIH! MOBIL GUA,


JINGGGGG?!” Iya, itu cara satu-satunya untuk selamatkan Gama
agar usahanya tak sia-sia lagi kali ini.

“Wad-waduh! S-sorry ye, Mik?” Satu cengiran lebar dan


rambut yang digaruk asal dari Muklis buat Mikha hentakkan kakinya
kesal dalam mobil. Seribu umpatan dan kebun binatang meluncur
lancar dari birai kala ia lihat mobil Gama semakin menjauh.

****

Jika ada penelitian mengenai seberapa besar cinta yang


Gamaliel punya untuk Mikhailan, maka 9 dari 10 akan menjawab
“terlalu cinta”. Satu orang yang tak menjawab hanyalah bentuk iri
dan dengki karena kaget temukan satu sosok yang begitu mencintai
manusia lain sebesar itu.

175 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 176

Siapapun penduduk bumi yang lihat bentuk kasih sayang yang


Gama miliki untuk Mikha, tentunya akan dengan lantang menjawab
bahwa Gamaliel ini tak mungkin khianati perasaan Mikha—apalagi
selingkuh. Hal keji seperti yang Mikha pikirkan belakangan ini—gak
mungkin kejadian mengingat seberapa buncinnya Gama.

Bangunan tua yang terlihat usang—meskipun miliki banyak


penghuni jadi tempat yang Gama kunjungi detik ini. Hatinya begitu
bergemuruh, tak sabar bertemu dengan sosok yang buat kadar
bahagia dalam dirinya meningkat belakangan ini. Senyum terbaik ia
siapkan untuk sambut sosok tersebut.

“OOOOM BAIIIK!” Satu teriakan nyaring dan tubuh kecil


yang berlari kuat menghampiri buat senyum Gama makin lebar.
Tangannya terbuka untuk sambut dan dekap sosok tersebut.

Dibelakangnya, ada seorang ibu paruh baya yang ikut


tersenyum lihat interaksi keduanya. Layaknya anak dan bapak yang
sudah tak bertemu lama. Dekapan erat dan seruan kecil dari si manis
buat siapapun yang dengar akan merasa gemas.

“Halo anak manis, udah mam beluum?” Tubuh kecil yang


direngkuh mulai diangkat dan digendong, netranya fokus tatap anak
dengan senyum lebar yang mengangguk penuh semangat.

“Udah! Tadi aku mam naci pake tayuuul! Yang buyeet buyett.”
Tangannya buat gesture bulat seperti wortel yang dicincang—

176 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 177

yakinkan Gama dengan semangat kalau ia benar-benar makan sayur


agar Gama terkesan.

Satu kecupan lama ia layangkan pada punggung tangan si


kecil—puji anak itu dengan banyak ungkapan manis yang buat si
kecil merasa senang dan peluk tubuhnya erat.

“Mas-mas. Beneran kayak Ayah sama anak lho,” Gelengan


dari Ellia, sang ibu panti dan senyuman yang terukir dibibir buat
Gama ikut tersenyum. Hatinya agak sedikit teriris mengingat
kenyataan pahit bahwa tak mungkin jadi ayah dari sosok mungil
tersebut.

“Hahaha, emang kamu mau jadi anaknya aku, dek?” Sosok


yang tak miliki nama ini kerap dipanggil “adek”. Ikut menengok
ketika Gama tatapnya dengan lekat.

Netra bulat yang sibuk tatap lamat Gama bergulir kearah ibu
panti, bingung dengan jawaban apa yang harus ia beri. “Eum, aku
jadi dedek, kamu jadi yayahnya?” Ucapnya polos.

“Iya, mau gak?”

“Nanti, kalau oom baik jadi yayahnya aku, bisa bobo sama
oom baik telus gak?” Pertanyaan polos yang keluar dari bilah bibir
si mungil buat Gama dan Ellia tertawa,sosok kecil itu memang tak
henti buat manusia lain gemas dibuatnya.

177 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 178

Diantara milyaran kesempatan baik yang hampiri dirinya—


diantara banyak keberuntungan yang ada dipihaknya, justru
keingnan besar yang begitu membucah dihati tak dapat ia capai.
Cintanya terhadap sang pasnagan terlalu besar—mimpi-mimpi
tersimpan ia biarkan semu. Karena bahagianya Mikha—ya
bahagianya Gama juga.

“A-E-L ibaca, ayeeel.Ya ‘kan oom?”

“Pinter, anak manis. Kalo M-I-K-A-E-L dibaca?”

“Mikayeeel. Mikayel, nama balunya aku hihihi~”

“Oom?”

“Iya, gemees?”

“Ayel itu altinya apa?”

Pucuk kepala si kecil diusap halus, keduanya bersitatap sesaat.


“Anaknya iel.”

****

Hari demi hari berlalu, tabiat aneh Gama tentunya makin buat
rasa penasaran dihati Mikha membuncah. Namun, ia punya cara lain
agar Gamanya kembali menaruh fokusnya. Pagi itu, Mikha bangun
lebih awal, siapkan sarapan lebih dahulu sebelum bangun—hal yang
biasa terjadi ketika weekend telah tiba.

178 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 179

“Good Morning, bayii?” Satu sapaan dari suara berat yang


mengalun buat Mikha menengok. Tangan kekar melingkar dibagian
pinggang ramping miliknya.

“Morningg,” Satu kecupan Mikha curi dibagian pipi kiri milik


Gama. Tangan yang melingkar dibagian pinggang dielus sensual.

Piyama satin yang melekat pada tubuh Mikha diusap halus,


melingkar dibagian dada. “You look pretty,”

“Hmm? Gombal.”

“Kiss dong yang,”

“Gak! Kamunya bau belum sikat gigi!” Tentunya ungkapan


itu tak benar adanya—Gamaliel dan segala hal yang ia miliki ketika
bangun dari tidurnya adalah kombo yang memabukkan.

“Hmm, gitu?” Sudut bibir si manis dikecup berulang kali.


Setelah puas, turun kebagian leher, hirup wangi yang menguar dari
titik tersebut. Sesekali dijilat dan dikecup hingga timbulkan
lenguhan manja.

“Yaang, akunya mau masak.”

“Ya tinggal masak? Akunya ndusel doang kok,”

“Ndusel tapi tanganya grepe-grepe!”

179 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 180

Kepala Gama mendangak, tatap lurus si manis dengan penuh


sorot nafsu dan tangan yang sibuk memilin putting Mikha dibalik
piyama.

“Hehe,”

Tubuh ramping milik Mikha dibalik, bibirnya dikecup sekali,


lalu tubuhnya diangkat. Dibawa duduk dibagian kitchen bar.

“Kalo gak boleh cium,” Gama dekatkan wajahnya, biarkan


keingnya menyatu bersama Mikha hingga hangat nafasnya mampu
buat buat semburat merah di pipi Mikha merekah.

Netranya bergulir kebagian dada, tatap lekat dua puting


mencuat dibalik piyama. Jemari milik Gama dengan sensual
membelai dari bagian leher hingga ke dua titik sensitif tersebut. “Nen
boleh gak?”

Dua obsidian segelap jelaga kembali tatap netra hazel yang


tatapnya penuh nafsu dengan bibir yang digigit kuat. Belum sempat
Mikha menjawab, Gama dengan kasar, lepaskan kancing baju yang
mengait, hingga tampilkan dada mulus seputih porselen dan dua
puting kecoklatan yang mencuat tegang.

Dua titik itu ditatap lekat, Gama layaknya memuja dua titik
indah tersebut. Setelah puas, lidahnya mulai menjulur, kepalanya
dibawa mendekat hingga akhirnya—

180 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 181

“Nggh,” Sekitar aerolanya dijilat, dimainkan dengan beberapa


jilatan yang timbulkan gelenyar nafsu dan geli.

Mikha makin gila kala Gama mulai menyesapnya kuat—


apalagi ketika digigit dan digesek dengan gigi.

Begitu Gama rasakan kepalanya semakin didorong untuk


hisap kuat puting tersebut, Gama bawa tangan kirinya untuk
bergerak aktif usapi puting kiri milik Mikha.

Suara lenguhan kuat dan putting yang dihisap kuat berpadu


penuhi dapur kala itu. Rasa panas menjalar, nafsu makin memuncak
kala Gama mulai usapi paha mulus milik Mikha yang tertutup celana
satin panjang.

Pagi yang panas itu makin terasa makin lengkap bila saja
Gama segera buka tiap kain yang melekat pada tubuh si manis.
Namun, sayang seribu sayang suara bel yang ditekan buat
aktivitasnya berhenti.

“Hnnngh, ayang ih lanjutiin!” Mikha mulai tangkup wajah


Gama kala kepala sang suami mundur menjauh dan lepas sesapan
kuatnya.

Puting kanan yang dipenuhi nokta merah disekitar aerola


dikecup sekali. “Bentar sayang, ada tamu.”

“SEBEL IH! Udah gausah dibuka,”

“Mikha,”
181 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 182

“Akunya udah sange, Gamaaaa!” Racuan manja yang keluar


dari birai tipis si manis buat Gama mengecupnya sekali di bibir.

“Just wait for a little bit ya, sayang?”

Piyama satin Mikha kembali dikancing dengan perlahan, tiap


titiknya dikecup. Kain itu kembali tutupi mahakarya indah miliknya
dan puting yang mencuat. Pagi yang panas itu—tepaksa harus
dihentikan sementara karena tamu sialan yang Mikha tak henti
umpati karena buat pagi panasnya—rusak.

****

Seumur hidupnya—Mikha tak pernah terbayang akan berada


di posisi seperti ini. Duduk berhadapan dengan sosok mungil yang
menatapnya langsung dengan berani, sesekali mengerjap bingung
dan sang suami yang duduk menunduk—takut karena jalannya
sudah buntu.

“Gama,” Tubuhnya membeku, lidahnya terasa kelu


bayangkan sepintas potongan alasan mengapa Gama bisa disini—
duduk berdampingan dengan sosok kecil yang menatap sekeliling
apartment miliknya dengan senyum yang tertahan.

“Gama, jelasin…semuanya.” Kalau asumsinya benar—


mungkin Mikha akan kembali jadi manusia paling sakit dibumi.
Suaminya itu, gak mungkin selingkuh hingga punya anak dari orang
lain kan?”

182 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 183

“Gama! Jawab! Dia siapa? Kenapa ditinggalin di depan pintu?


Sendirian lagi!” Kembali tatapaan nyalang Mikha berikan pada dua
sosok dihadapan.

“A-E-L ibaca Ayeeel! Namaku Ayel, om!” Ujarnya riang, bener-


bener beda sama pemilik netra hazel dihadapan.

Mikha mengerut bingung, alisnya menukik satu tatap presensi


mugil tersebut dari pucuk kepala hingga keujung kaki. Matanya
bulat, hidungnya pesek. Pakaiannya juga terlihat biasa saja—bahkan
sedikit usang.

“Am om am om, Gua bukan om lu!” Jawaban dinginya itu


buat Mikael mengatupkan bibirnya rapat. Matanya membulat kaget
dengar jawaban Mikha barusan.

Kata oom baik ‘kan gak boleh bilang lu gua?

Mikael mulai hampiri Gama yang duduk di samping. Telapak


kecilnya sentuh pergelangan tangan yang berkali lipat lebih besar
dari miliknya. “O-om! Om itu nakal bilang lu gua,” Adunya.

Mikha yang dengar anak itu sebut Gama dengan sebutan om,
entah kenapa hatinya sedikit lebih tenang. Sebenarnya, ia yakin
Gama gak akan keluar batas. Namun presensi spontan anak ini buat
dia benaran terkejut.

“Gama! Jelasin!”

183 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 184

Helaan napas panjang mulai terdengar, degup jantung milik


Gama bekerja dua kali lipat lebih cepat. Netarnya tatap Mikha dan
Mikael bergantian. Tangannya mulai merogoh saku dan berikan
Mikha satu surat yang ditemukannya tepat di depan pintu tadi.

“Aku minta maaf, Mik. Kalau aku lagi-lagi sembunyi dari


kamu. Aku beneran buntu—” Secarik kertas yang diletakkan Gama
tepat di meja bundar yang batasi mereka berdua mulai diambil ambil
dan dibacara dengan lekat. Dahinya makin berkerut bingung.

Mas Gama, maaf. Saya butuh uang dari Mas Gama untuk kepeluan
mendadak..Ael saya tinggal ya mas sebagai ucapan terimakasih, tolong
dijaga ya mas.

Bukannya dapat jawaban, benang kusut dikepala Mikha


semakin runyam. Semakin bingung dengan hubungan apa yang
dimiliki Gama hingga sesosok mungil yang begitu ia benci
presensinya bisa muncul di rumah miliknya? Ditambah lagi, dirinya
begitu sensitif liat sebutan “mas” ingatkan dirinya akan sekertaris
genit Gama di masa lalu.

“APAAN SIH? JELASIN! JANGAN PLANGA PLONGO


AJA KAYAK MONYET!”

Suara meninggi milik Mikha gak hanya bikin Gama terkejut,


Mikael juga tersentak hingga gigit bibirnya kuat. Dia beneran

184 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 185

bingung kenapa ada manusia—segalak ini. Mirip kodok yang


hinggap di selokan panti.

Langkah kecilnya ia bawa mendekat kearah Mikha, buat


Mikha mencebik dan naikkan alisnya satu. “Ngapain?”

Pergelangan tangan milik Mikha perlahan ditarik, keduanya


bersitatap sesaat. Hingga anak kecil bertopi kuning tersebut
memberikan sentilan kuat dipunggung tangannya.

“N-nakal! Kamu g-gak boleh katain Oom baik kayak monyet!


Kamu yang kayak k-kodok! Huaaa~” Mikael, udah gak bisa tahan
lagi tangisnya. Sebenarnya ia begitu lelah dan terlampau bingung.
Tiba-tiba, bundanya tinggalkan ia sendiri di rumah besar milik laki-
laki dewasa yang sering kali kunjunginya di panti. Dan sekarang, ia
harus bertemu manusia aneh dan galak kayak Mikha.

Begitu dengar suara tangisan Mikael yang menggelegar, Gama


dengan sigap mulai berdiri, bawa anak itu dalam dekapan. Tangan
Mikael mengalung kuat, sembunyikan wajahnya di ceruk leher milik
Gama.

Selain dari dirinya yang emang gak bisa lihat Ael nangis, Gama
juga gak kebayang serisih apa Mikha dengar anak kecil nangis.
Gimanapun juga, kenyamanan Mikha itu selalu jadi fokus utamanya.
Dia benar-benar ada di posisi serba salah. Diujung jurang yang siap
didorong kapan saja.

185 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 186

“Sssh, jangan nangis ya. Inget gak kata om apa?” Bisik


kecilnya buat Mikael teringat akan nasihat Gama beberapa waktu
lalu.

“Anak laki-laki itu gak boleh menangis, Om Iel gak suka loh lihat anak-
anak laki yang mudah nangis.”

Suara tangisnya perlahan mereda, Ael itu lebih baik nahan


tangisnya yang sudah diujung dibandingkan harus buat Oom
baiknya itu tak suka dengan kehadirannya. Dari balik punggung—ia
tatap lurus netra yang begitu mirip dengannya. Tatapan nyalang ia
dapatkan dari sana—yang entah dari mana keberaniannya, Mikael
mulai ikut tatap sebal pria manis tersebut.

“Apa lu liat-liat?” Sebut Mikha tanpa dosa dan belas kasih


sedikitpun.

Gama yang dengar ungkapan keras itu menengok—tatap


Mikha dengan raut lelah. “Mikha, jangan kayak gitu.”

Bibirinya kembali mencebik tatap anak yang mulai


menjulurkan lidahnya mengejek. Merasa senang om baiknya itu
lebih memilih untuk membelanya.

“Gam? Kamu lebih belain dia daripada aku?” Nafasnya


tersengal tahan amarah.

186 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 187

“Siapa sih anak ini? Jelasin! Aneh tau gak tiba-tiba dia dateng
dan nangis. Kamu juga gak jelasin sama sekali. Emangnya kamu
pikir aku tukang sulap apa bisa nebak sendiri?”

Gama mulai tarik napasnya panjang—ini semua akan rumit


dan ribut—ia yakin.

“Anak manis boleh ya duduk sebentar?”

Satu gelengan kuat dan tangan yang semakin mengalung buat


Gama kuatkan diri.

Langkahnya mulai maju, tarik perlahan pergelangan tangan


Mikha untuk direngkuh dibagian kanan—karena yang kiri sudah
terisi Mikael.

Mikha yang emang gamau kalah juga ikut sembunyi di ceruk


leher. Tatap nyalang Mikael lebih dekat. Buat si anak itu menatapnya
remeh dengan bibir yang dimajukan.

“Beberapa minggu lalu, aku nemu panti lama—dan panti itu


udah gak keurus. Seluruh anak-anaknya dipekerjakan buat jadi
pengemis dan pengamen. Yang aku peluk ini disamping kamu
namanya Mikael. Aku ketemu dia waktu aku lagi beliin ayam bakar
yang kamu mau. Salah satu kakak pantinya sibuk marahin dia di
deket situ. Hati aku sakit, Mik. Apalagi dia anak kecil, mana paham
sih tentang uang?” Punggung milik Mikha ditepuk, beri
kenyamanan agar si manis bisa tenang.

187 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 188

“Akhirnya—aku nemu panti itu dan mutusin untuk


nyumbang. Niatnya biar Ael gak ngamen lagi dan diurus dengan
baik. Aku juga sering nitip uang untuk rawat Ael. Yang kamu marah
karena aku sering main hp—ya karena si kecil ini Mik.”

“Awalnya aku cuma kasian—tapi, lama-lama aku mulai sayang


sama dia, pengen jagain dia dan rawat dia selayaknya anak sendiri,
meskipun dari jauh. Dia dari lahir dibuang di kardus, banyak bekas
pembalut—bahkan sampah lainnya. Dari awal turun ke bumi ini Ael
sebatang kara, kedua orangtuanya gak menginginkan adanya dia.”

Deg.

Kalimat terakhir Gama tepat memukulnya telak di hati.


Sebatang kara dan anak yang gak diinginkan itu benar-benar definisi
dari—Mikhailan Shaka, dirinya sendiri.

“Sekarang, ibu pantinya juga ninggalin dia demi uang. Kamu


harepin aku kayak gimana? Kalau kamu emang gamau aku rawat
anak ini bilang ya, sayang? Aku bisa taruh dia di yayasan panti punya
Mas Vier.”

Dari samping, Mikha tatap Ael yang sudah terlihat sendu.


Jemari kecilnya bentuk pola abstrak di bahu lebar milik Gama.
Manusia mungil tanpa dosa itu tampaknya gak paham dengan
ucapan kedua orang dewasa tersebut. Yang ia ingin hanya—

Kruuuuuk.

188 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 189

Suara perut keroncongan buat Mikha dan Gama mulai


menegakkan diri. Haru singkat yang tadi terjadi seolah berganti
begitu Mikael usap-usap perutnya.

“Peluut aku bunyi-bunyi, sepelti ada kodoknya.”

Mikha, benar-benar lupa akan rasa kasihan yang tadi mengisi


relung hati kala anak itu bertatapan dengan Gama—seolah kejadian
barusan lucu. Padahal menurutnya benar-benar merusak suasana.

“Apasih kodok-kodok terus? Muka lu tuh kayak anak kodok!”

“Oom, dia bilang ‘lu’ lagi!” Ael mulai naikkan telunjuknya


kearah Mikha.

Gama tatap Mikha dengan penuh harap. “Mikhaa…”

“Kamu! Jangan belain dia terus ah!”

Birai tipisnya dikecup, buat Mikha terdiam dengan seringai


senyum penuh kemenangan. “Udah ah, aku gak belain Ael sayang…
ya sama anak kecil jangan lu-gua gitu dong.”

Ael yang lihat kejadian spontan barusan mulai kembali


mencebikkan bibirnya. Gak terima om baiknya itu berikan cium
untuk manusia nakal seperti Mikha. “Oom! Ael juga mau di kiss!”

Gama dengan senyuman yang terpatri beri satu kecupan di


pipi Mikael. Buat Mikha ikut iri dan minta lagi. “Ayang! Aku juga
belum tuh di pipi?”

189 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 190

“Aku doang yang oyeh icium di pipi!”

“Lu siapa? Lu tuh gak diajak!”

“Oom! Dia bilang lu-lu lagi, nakal!”

“Gapapa nakal yang penting di cium Gama duluan, wleeeee.”

“Eung! Nakal! Aku gak cuka kamu!”

“Gaada juga yang suka sama lu, idungnya pesek! Gama gasuka
yang idungnya pesek!”

Gama yang berada ditengah keduanya cuma bisa menghela


nafasnya pasrah. Apalagi ketika dua-duanya sibuk berebut untuk
sembunyi ceruk leher miliknya. Gama begitu yakin—kedepannya
akan lebih berat, mengingat awal perkenalannya saja sudah se-ribut
ini.

“Sayang, jangan dong.. udah ah, kita mam ya?”

“Mauu, mau mam om!”

“Apasih? Dia ngajak gua!”

“Oom! Dia telus-telusan bilang lu-gua. Gaoyeh diajak mam


sama kita.”

“Gamaaaaa! Dia nyebelin!”

“Ooom…dia nakal!”

190 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 191

Hembusan nafas Gama kembali terdengar. Telinganya benar-


benar lelah dengar perdebatan tak ada akhir ini. “STOP BOTH OF
YOU STOP, YANG BERISIK AKU TINGGAL MAKAN.”

Sehingga perdebatan panjang itu berakhir disana—gak tau di


sudut ruangan mana lagi mereka akan mulai pertarungan tanpa akhir
itu. Yang jelas dua-duanya saling taruh benci dalam hati.

Mikha pastikan Iblis kecil ini akan tunduk pada malaikat


sepertinya.

●●●

“Tau gak Fa? Gua kayaknya bakal punya anak—” Mikha pijat
pelipisnya, keduanya sedang berada di rungan kerja milik Mikha.

“Demi apa anjing?” Kahfa yang dengar pernyataan spontan


Mikha terkejut—gak yakin Mikha itu dalam mode serius.

“Asli, Gama tuh selama ini diem-diem gitu bukan selingkuh


anjing? Tapi merhatiin anak yatim gitu di panti. Sembunyi dari
gua—katanya gamau bikin gua risih atau kepikiran.” Mikha ingat,
sejak Ael datang ke rumahnya kemarin. Gama gak henti bilang maaf
bahkan sampai di kasur. Tak ingin Mikhanya kepikiran dan risih.

Denger kata yatim, Kahfa jadi inget satu orang. “Kalo gua
temenin lu punya anak gimana? Kita gedein bareng. Gua yakin kita
bisa, Mik.”

191 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 192

Mikha yang denger racauan asal sahabat sekaribnya itu


menatapnya dengan raut bingung. “Hah? Apaansi lu, Met? Drama
banget. Lu kira mandi pake ditemenin.”

“Gua serius.”

“Kayanya, gua jatuh cinta sama orang, Mik.”

Netra Mikha mulai membulat kaget kala dengar penuturan


Kahfa barusan. Rahang milik Kahfa dicengkram kuat, ditampar
sekali. “DEMI APA BRENSGEK? INI BENERAN KAHFA
YANG GUA KENAL?”

“MONYET, GAUSAH NAMPAR ANJING.” Kahfa


dorong kuat tubuh tinggi milik Mikha. Tanganya terulur buat ngelus
pipi.

“Fa serius anjing, lu demen sama siapa? Duda? Kok ada


anaknya segala?”

Sepintas memori kecil kembali terputar, buat Kahfa


mengerjapkan matanya dan tersenyum singkat.

“Sama bocah, bocah kecil yang kuat banget masih bisa hidup sampe
hari ini meskipun bebannya gede banget.” Buat Mikha terdiam sesaat
begitu paham maksudnya.

Detik berikutnya, seisi ruangan tersebut mulai dipenuhi


dengan perbincangan bagaimana kedua sahabat itu bertemu dengan
cilik iblis yang buat hati keduanya luluh. Meskipun begitu, baik
192 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 193

Kahfa atau Mikha itu yakin. Sosok itu akan dijaga dengan baik
sepenuh hati.

“Heh, cil!”

“Iya om kahfa?”

“Jangan panggil om.”

“T-terus apa?”

“Panggil Ayah mau gak?”

“Tinggal disini, sama gua. Kita lawan dunia bareng-bareng.”

***

“Gama itu punya aku, ya! Jangan ambil dia!”

“Eung? Ayel gak ambil kok. Kata oom baik, kamu itu punya dia,
oom baik juga punya kamu. Telus ayel punya capa ya?”

“P-punya..”

“Punya kita! Udah gausah sedih-sedih nanyanya. Anak kodok itu


gak cocok sedih.”

“Aku bukan anak kodok!”

“Tapi perut kamu buncit kayak kodok!”

“Eung! Ael benci kamu! Kamu nakal!”

“Gapapa nakal yang penting di sayang Gama, wleeee.”

193 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 194

“Ael bilangin Oom baik!”

“Panggilnya jangan om, tapi Papi. Gama itu Papi, kalo aku—Ay ”

“Kamu kodok, wleeee!”

“Awas lu ya gendut!”

194 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 195

Persaingan Sengit.
“Pertarungan yang tiada akhir.”

“GAMA! AKU BIKININ KAMU ROTI”

“PAPI, AYEL BIKININ PAPI LOTI JUGA.”

Sejak resmi pindah ke rumah sejak seminggu lalu, suasana pagi


dirumah Gama dan Mikha selalu dipenuhi dengan teriakan seperti
ini. Kesan erotis dan romansa pagi berubah jadi teriakan
menggelegar yang penuh tekanan—buat kepala Gamaliel
berdenyut.

“Iya-iya sayang… satu-satu ya, mulut aku kan cuma satu..”


Ucapnya perlahan dengan penuh kehati-hatian, mengingat dua kubu
yang sensitifnya luar biasa.

“Kalo kamu pilih rotinya si eldut aku beneran nginep dirumah


Papi satu bulan, FULL!” Ungkap Mikha dengan tatap Ael nyalang.
Buat Gama menghela nafasnya pasrah.

“Kalo Papi mam lotinya Miko, Ayel gapapapa! Ayel anak baik,
Papi.” Dengar penuturan barusan, Gama langsung rengkuh anaknya
erat—hujani pipi anaknya dengan kecup dan pujian hangat. Bikin
amarah Mikha terpantik dan tatap nyalang Ael yang sudah tatapnya
lurus dengan penuh ejekan.

195 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 196

“PICK ME BANGET! DASAR PESEK GENDUT.” Mikha


mulai tarik kursi disebelah Gama, roti miliknya disuap ke mulut sang
suami—buat Gama tersedak karena begitu tiba-tiba.

“Iih! Kamu buat Papi kecelek! Kamu nakal, Miko!”

“Papi…Minum duyuu Papi.” Si kecil dengan sigap mulai


berikan segelas air mineral untuk Gama.

Wah beneran ngajak ribut nih si pesek.

Satu ide gila mulai terpikir, buat Mikha menyunggingkan


senyumnya. Balas tatapan ejek Mikael dengan seringai senyum yang
buat sang anak mengerut bingung.

“Gama…kamu tau gak siapa yang kemarin bikin basah


dokumen yang buat presentasi kamu kemarin?”

Mikael yang dengar pertanyaan spontan Mikha mulai terkejut,


tatapannya berubah jadi raut pucat pasi dan panik.

“Siapa? Kamu? Kenapa baru ngaku sekarang, sayang? Kan


aku gak marahin.”

“Ya jelas bukan aku lah! Tapi—ada tuh yang lagi kamu
pangku, pake baju putih celananya biru..”

196 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 197

Ael yang dengar penjelasan rinci Mikha mulai menunduk,


bersandar pada dada bidang sang ayah. “I-tu Ael, Papi.. Kalena Ael
gak hati-hati waktu ambil miminya Juwiw.”

Gama yang dengar penuturan anaknya itu mulai bawa Mikael


tatap matanya lurus, pucuk kepala sang anak dielus. “Apa
hukumannya buat anak yang suka bohong?”

Kepala Mikael kecil mengangguk. “Beldili di pojok dan


lenungi kesalahan Ael selama 10 menit, Papi.”

“In english, please?”

Meskipun dua musuh bebuyutan itu layaknya saling benci satu


sama lain—namun Ael tatap Mikha penuh harap begitu dihadapkan
dengan satu pertanyaan tersebut.

“Stay still right in the corner.” Titah Mikha tanpa suara.

“Stay still light in the colnel, Papi.”

“Good.. do it sayang. Thanks for the bread, im gonna eat this


now, while I watch you to figure out, why on earth you’re lying to
your dad.” Gama mulai turunkan tubuh mungil tersebut. Biarkan
Mikael berjalan kesudut pojok ruangan dan renugi kesalahannya.

Ada alasan mengapa Gama terus berbahasa asing di depan


Mikael, anak itu punya keingin tahuan yang besar, ia suka belajar
dan menyukai apresiasi. Jadi Gama gunakan hal tersebut untuk
memacu prestasi anaknya kelak. Mikael itu, akan tumbuh jadi
197 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 198

seorang Salim. Jadi, tak akan ia biarkan anaknya itu terlihat


memalukan dan bodoh.

Agaknya, Mikha menyesali keputusannya untuk adukan hal


tersebut pada Gama. Kala lihat raut sang anak mulai sedih dan
menyeder pada dinding. Namun, bagaimanapun juga, ini demi
kebaikan Mikael. Agar anak tersebut tak suka berbohong.

“Mikael Osshaka Salim, jangan nyender. Yang tegak, kamu itu


laki-laki.” Satu lagi, Gama itu benci jika Mikael mulai terlihat lemah
dan cengeng.

“Udah sih yang, namanya anak kecil.”

“Justru karena masih kecil, jangan dibiasain.” Netranya masih


fokus tatap Mikhael.

“Mik, kamu kalo aku gak ada di rumah jangan kasih


keringanan buat Ael, Kalau dia salah tolong dihukum biar gak
kebiasa.”

Mikha putar bola matanya malas, hal ini gak berlaku di Ael aja.
Dirinya pun seringkali diatur yang katanya “demi kebaikan dirinya
sendiri.” Oleh Gama.

“Iya bawel, itu anak kamu udahan sih. Belum makan loh dia,”

“Standing doesn’t make him sick. Just let it be, biar dia jera.”

“Kamu beneran lebay!”

198 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 199

“Mikha?”

“Iya-iya dah!”

Namun, sekeras apapun Gamaliel, Mikael itu tetap


menyayanginya dengan penuh kasih. Baik Gama ataupun Mikha gak
ada yang tau, bahwa si kecil itu merasa bersyukur diterima diantara
mereka—karena rasakan penolakan yang buat dirinya sering
bertanya-tanya dan bingung sendiri. Terlebih Gamaliel, hadirnya itu
bagaikan cahaya terang yang tarik Mikael dari kegelapan.

Papinya itu adalah hal paling berharga dalam hidupnya.

****

“Heeeey, Mikael! How are you baby?” Suara Julia lembut


menyapa. Begitu memasuki pekarangan sekolah baru Mikael, Mikha
sedikit tegang karena harus melepas anaknya pada dunia luar.
Meskipun bukan anak kandung, Mikha tetap rasakan bagaimana
jadinya ketika Ael harus terima celaan atau hinaan? Apalagi setelah
media mengungkap wajahnya di depan publik.

“Im goood, tante.” Ujarnya dengan senyuman hangat dan


pembawaanya yang selalu ceria. Tas timmy bertengger di punggung
dan topi kuning kesukaanya digunakan untuk tutupi sinar matahari
langsung. Kata Papinya, sinar matahari langsung itu kurang baik
kalau terkena wajah. Jadi ia selalu gunakan topi kuningnya.

199 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 200

“Ju, Junior sama Juni mana?” Netra Mikha bergulir, cari


presensi kedua anak Juan dan Julia untuk temani Mikael.

“Tuuh, abis jajan sama Rahes—BABIES, SINI!” Teriakan


kecil Julia buat dua anak kembarnya datang dan memeluk kakinya.
Keduanya tatap Mikael penuh binar.

“Hi, Ael! Mau candy gak?” Juni sodorkan satu permen


chupachups miliknya.

Ael tatap sebentar permen tersebut, tangannya cengkram kuat


bagian tasnya. Sebenarnya ia ingin—namun tertahan kala ingat
Papinya tak mengizinkan untuk makan permen di pagi hari.

“Makaci, tapi aku ngga mauuu.” Mikha tatap Ael kaget, anak
itu amat menyukai manis—apalagi pemen. Rada aneh kalau dia
malah menolak.

“Heh, anak kodok. Itu temennya kasih ya diambil! Gak sopan


namanya.”

Junior tatap nyalang Mikha dari bawah. “Sopan kok, Om!


Kata Papa Juan yang gak sopan itu kalau kentut sembarangan!”
Balasnya ketus.

Mikael tatap Junior yang bela dirinya, matanya mengerjap.


Sebenci apapun dirinya terhadap Mikha, Mikael gak suka kalau ada
yang ketus sama Induk kodoknya.

200 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 201

“Juniol, jangan malahin yayah aku dong! Huft nyebelin!”


Mikael mendekat, peluk kaki Mikha dari bawah. Buat Mikha tatap
haru dirinya. Hatinya sedikit tersentil meskipun lebih dominan
merasa lucu karena anak itu tumben-tumbenan ada di pihaknya.

“Yayah kamu itu gak baik negur kamu depan kita!” Rahes
buka suara, bela Junior.

“Iih! Papasih! Aku pucing dengernya!” Juni jadi penengah.


Rada muak juga denger tiga laki-laki mungil diantaranya malah ribut
gajelas.

“Ini kecil-kecil udah cinta segitiga aje!” Suara Putra buat


semuanya menengok, dua orang dewasa diantaranya tertawa karena
paham. Namun para kumpulan bocah kecil mengerut bingung.

“Ael, kamu tau cinta segitiga itu apa?” Juni dengan wajah
penasarannya itu tatap Mikael penuh harap.

“Eum, yang aku tau cinta fitli, Yayah aku cuka nonton itu
kalau gak ada Papi! Ssst, rahasia yah!”

“Ih! Sama kayak mamiku kalau belanja! Suka diem-diem,


Ssst!”

“Aku mau ikutan! Ssst Ssst gitu.” Rahes tatap kedua mungil
lainnya dengan cebikan di bibir. Sedangkan Juni dan Ael tatap
dirinya bingung.

201 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 202

“Eung, kamu tau cinta cegitiga?” Ael ketukan jarinya di


bibir—agak takut karena ingat bagaimana bentuk ayahnya Rahes; Ia
takut salah bicara.

Rahes menggeleng. “Aku taunya cinta Junior, hehe ssst.”


Dirinya tatap Junior yang sibuk tatap Mikael dibalik kaki ibunya.

Baik Juni maupun Ael kembali bingung, bertanya-tanya apa


maksud dari ucapan dangdut Rahes barusan.

“Ih cinta tuh apasih?” Pertanyaan itu tak terjawab kala bel
masuk mulai berbunyi, biarkan Juni, Ael dan Rahes saling pikirkan
arti cinta bagi masing-masing dalam dirinya.

****

Teriknya siang buat Mikael dan Mikha berada di pojok café


terdalam milik Mikha; Miki House. Mikael sudah anteng santap satu
banana boat miliknya, sambil ditatap lurus sang ayah yang
bertopang dagu menatapnya.

Mikha kembali ingat bagaimana wajah panik Mikael kala


seorang ibu paruh baya memencet pipinya dengan kuat. Buat dirinya
ingin menangis karena disentuh orang yang tak ia kenal, tapi sebisa
mungkin ia tahan.

“Jangan suka nahan nangis.” Ujar Mikha seraya besihkan


sudut bibir Mikael yang belepotan Ice cream.

202 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 203

“Eung! Iya, Yayah!” Matanya memutar malas dengar ucapan


sang anak.

“Lu giliran dikasih eskrim manggilnya Yayah!”

“Hehe, nda boleh bilang lu-lu kata Papi, Yaaah!”

Mikha terdiam sebentar, tatap anaknya lebih dalam. Dilihat


dari sudut manapun, Mikael itu persis dirinya. Begitu mencintai
Gama hingga relakan segalanya demi buat sang pangeran merasa
bangga.

“Gak semua omongan Papi harus diturutin, Papi gak selalu


benar, ngerti gak?”

Mikael isap cerry yang teroles ice cream, diemut sebentar dan
tatap Ayahnya penuh tanya. “Euum, cetau Ael Papi itu cayang Ael
jadi Papi malahin Ael kalo calah.”

“Tapi, kamu boleh nangis kalo takut, boleh nangis kalau sedih.
Yang salah itu kalau ditahan-tahan. Ngerti?”

“Ael gak tahan-tahan kok! Ael anak kuat! Anaknya Papi!”

Mikha kembali topang dagunya, tatap anaknya lurus, tangan


yang digunakan untuk bersihkan sudut bibir Mikael mulai mengelus
bagian Pipi yang masih terlihat merah akibat dicubit kuat oleh orang
asing. Ia begitu marah hingga tak sengaja kelepasan amarah di depan
umum.

203 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 204

A little flashback.

“YA AMPUN, CUCUNYA GANDHY SALIM GEMES


AMAT.” Ibu-ibu paruh baya dengan kerudung motif bunga yang
menutupi rambutnya tarik pipi Mikael keras hingga buat Mikael
memekik kaget. Lengannya refleks menutup mulutnya—tahan
segala tangisan yang ingin keluar. Mikha tentu liat semuanya dengan
jelas—buat dirinya begitu marah.

Mikha tepis kasar tangan asing yang berani jamah wajah


anaknya, segera rengkuh sang anak dan bawa kedalam gendongan.
Buat ibu-ibu lain tatapnya kaget.

“Bu, jangan sembarangan pegang-pegang ya. Ini anak saya, bukan


anak ibu.”

Mikael sembunyi didalam ceruk leher sang Ayah. Tak berani


tatap langsung sang ibu. Pipinya masih terasa berdenyut, sekuat
mungkin ia tahan tanginya keluar.

“Sombong banget mas, situ juga setara sama kita.” Sang ibu tatap
sinis Mikha, menelisiknya dari atas hingga bawah.

“Bukan masalah setara atau engga. Masalah etika bu. Anak saya
kaget dong ibu pencet-pencet begitu,”

“Yaelah mas, Cuma dipencet karena gemes aja kok. Gausah berlebihan
ah!” Suara ibu tersebut dapat anggukan setuju dari ibu-ibu lain,
merasa Mikha terlalu berlebihan.

204 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 205

Rasa emosi yang membuncah dalam relung hatinya udah gak


bisa dibendung lagi, gimanapun juga, ibu ini salah punya masalah
sama orang yang gak tau batas dasar etika seperti Mikha. Cara
balasnya gak mungkin se-berkelas Gama ataupun Julia yang hanya
haha-hehe kalau anaknya digituin.

Mikha mulai tepuk punggung anaknya, hingga Mikael


tatapnya lurus.

“On a scale 1 to 10 how hurts she pinch your cheeks?” Mikael yang
masih gigit bibirnya berpikir sebentar sebelum akhirnya dengan
yakin bentuk angka 7 di tangan dan kembali lagi sembunyi dibalik
leher Mikha, mengalung erat.

Mikha kembali alihkan pandangannya, cari presensi anak dari


sang ibu, lalu berjongkok, tangannya dengan spontan menarik pipi
anak tersebut—sekuat bagaimana ibu tersebut tarik pipi anaknya.
Hingga buat anak tersebut yang sedang fokus pada ponsel ibunya
kaget bukan main dan langsung menangis secara histeris.

“Bilangin anak ibu, jangan lebay! Saya cuma cubit pipinya kok nangis?
Anak saya aja gak nangis. Didik yang bener ya buk, Anaknya.”

Siang tadi, perilaku Mikha benar-benar diacungi jempol oleh


Julia dan Putra. Karena caranya yang ‘gak’ berkelas itu bungkam
seribu mulut yang sibuk cemooh caranya yang katanya berlebihan
dalam menjaga anak.

205 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 206

***

Begitu malam tiba, persaingan sengit antara induk kodok dan


anak kodok terjadi lagi. Sebelum Gama pulang, baik Mikha maupun
Mikael akan siapkan senyum terbaik dan tubuh yang sudah wangi
dan bersih. Ingin memukau sang kepala keluarga. Mereka punya
ketentuan, siapapun yang dapat cium dari Gamalilel duluan, maka
dia akan jadi pemenangnya dan tidur berdua sampai pagi. Masing-
masing diantaranya memang tidak suka jika tidur bertiga—sempit
katanya. Meskipun alasan sebenarnya adalah tak ingin berbagi
Gama.

“Hari ini pwease kaci aku bobo cama Papi, pweas!” Mikha
yang masih tefokus pada ponselnya tatap malas anak kecil yang
sibuk bawa banyak cemilan kacang favorit Mikha didalam
pelukannya.

“Ayel janji ini cemua buat Miko, Acal Ayel oyeh bobo cama
Papi!”

“EUUUNG? GIMANS YAH?” Mikha mengerjapkan


matanya, dalam sekejap kemudian mulai tiru Mikael dengan segala
gaya bicara dan tingkah imutnya. Telunjuknya berada tepat di depan
bibir—benar-benar mirip dengan Mikael ketika berpikir.

206 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 207

Meskipun rada kesal, tapi anak itu tahan. Gimanapun juga ia


ingin dengar kisah Zorro ataupun Pangeran Berkuda Putih dari sang
Papi sebelum tidur.

“Mikoooo! Pweasee.”

“EUNGG? AKU HARUS APA?” Matanya kedip-kedip


sambil bergulir persis sang anak.

Belum sempat Ael menjawab, suara pintu yang terbuka buat


keduanya saling bersitatap. Sedetik kemudian, berlari hampiri
Gama.

“PAPIIIIIIH,”

“AYAAANGGG,”

“PAPI KISS AYEL PWEASE,”

“AYANG HARI INI JADI SEPO—” Sebelum Mikha


lanjutkan kalimatnya, Gama buru-buru kecup pipinya terlebih
dahulu. Buat Mikha langsung tersenyum, ekspresi konyolnya
nampak buat Mikael menghentakkan kaki.

“GAK ADA YANG CAYANG AYEL!” Bocah laki-laki itu


tatap kecewa sang Papi dengan langkah kaki yang semakin mundur
dan bibir yang mengerucut.

207 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 208

“EUNG? KACIAN BANGET YAH GAADA YANG MAU


BOBO CAMA KAMU.” Mikha lagi-lagi tiru sang anak, buat Gama
hela nafasnya panjang dan menggeleng.

“Udah yang, udah. Iseng banget sih.”

“Biarin! Sengaja biar dia nangis.”

Mikha bisa liat Mikael kembali taruh lengannya untuk tutupi


bibir. Berusaha kuat tahan tangisannya. Tatap sang Papi dengan
penuh sendu dan pilu.

Gama yang lihat pemandangan seperti itu mulai buka


tangannya, harap Mikael segera menyambut. “Sini sayang, sedih
ya?”

Dengan langkah yang ragu, Mikael hampiri Gama dan


memeluknya. Detik selanjutnya suara tangis terisak pecah penuhi
ruangan. Pada akhirnya, sang anak mampu menangis terisak
didalam dekapan sang Papi.

“Utututu anak Papi, Yayah nakal ya?” Satu anggukan Gama


rasakan.

“Hiiks! Akal! Miko Ak-akal. Gaboleh bobo cama Papi!”


Mikael tatap Mikha dengan air mata yang sudah banjiri wajahnya.

Mikha benar-benar gak peduli malam ini harus tidur sama


Gama atau enggak. Karena yang penting—ia ingin emosi anaknya
keluar di hari itu.
208 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 209

Cara terampuh untuk buat sang anak nangis ya—emang


cuma Gamaliel seorang. Persis seperti dirinya sendiri.

●●●

“Udah bobo tuh ‘anakmu?” Mikha sindir Gama yang baru saja
datang dari luar kamar—langsung hampiri dan peluk erat tubuh
rampingnya.

“Udah…kamu tuh jangan iseng, sayang. Nanti Ael jadi


cengeng.”

Mikha keliatan berpikir sebentar, kembali tatap lurus sang


suami yang kepalanya sudah hilang dibalik kaus miliknya, kecupi
bagian perut. Tangan milik Mikha mulai terulur, usap halus rambut
Gama.

“Tadi siang pas pulang sekolah dia dicubit orang pipinya,”

Gama yang masih sibuk sibuk kecupi bagian perutnya mulai


mendangak sebentar.

“Hmm? Oh ya? Terus?”

“Terus dia hebat banget gak nangis,” Seukir senyum terlihat


di wajah milik Mikha.

Tubuh rampingnya mulai dikukung, Gama tatap Mikha dari


atas, keningnya menyatu.

209 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 210

“Hebat, kan Ayahnya kamu,” Satu kecupan Gama berikan


pada pipi berisi milik Mikha.

“Gama,”

“Iya sayang?”

“Jangan terlalu keras ya sama Ael?”

“Kenapa?”

Jangan bentuk dia jadi Salim lainnya.

“Gapapa, kasian tauuuu!”

“Yaudah iya, sayang. Kasih tau aja kalau semisalnya aku terlalu
keras, ya?”

Mikha, mugkin belum sadar sepenuhnya bahwa perlahan,


sedikit demi sedikit, dirinya itu mulai lapang dan terima manusia lain
dalam hidupnya. Ia juga bisa jaga sosok itu dengan baik—sangat
baik. Ketakutan terbesarnya untuk terima manusia lain dan tak bisa
jaga dengan baik nyatanya salah, karena perlahan, Mikael anaknya
itu buka hati dan pikirannya bahwa punya keluarga lengkap itu jadi
keputusan yang—baik.

210 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 211

Playdate.
“Hari ini takkan terlupa, akan selalu teringat didalam memori.”

Hari sabtu kali ini, keluarga besar Salim hendak liburan


bersama ke salah satu kebun binatang yang letaknya di Puncak,
Bogor. Sengaja, karena hanya kebun binatang tersebut yang bisa
disewa khusus untuk mereka. Kali ini acara ‘kecil’ itu didatangi oleh
Sakhayang dan Gayatri, Gandhy dan Gantari, Anya, Hazel dan
Andrew, Rasendriya dan Samuel, Vincent dan tentu saja Gama,
Mikha dan malaikat kecilnya.

Konon katanya untuk rayakan cucu bungsu Salim, Mikael


Osshaka Salim. Namun, perayaan itu justru terdengar lebih seperti
jamuan sampah dengan topeng berlapis yang harus dihadiri oleh
Mikha. Ia harus siapkan senyum terbaik dan prestasi khayal sang
anak agar terlihat bagus meskipun tak ingin.

“Yel, lucu banget ih anak loo! Nemu dimana sih! Panti mana?”
Zevanya sibuk layangkan satu sarkas yang nampaknya tak kena di
hati Gama. Justru Mikha yang lebih sensitif.

“Bisa gak gausah panti mana-panti mana? Kayak gapunya


etika lu,” Jawaban dingin Mikha buat Anya—yang duduk tepat di
depan bangkunya menengok tak senang.

211 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 212

“S-sorry? Kenapa jadi etika? I’m just ask.” Tatapan Anya


fokus menatap Mikael dan anaknya, Hazel yang sedang fokus lihat
beruang grizzly. Tentunya di dalam kereta, duduk diseberang
mereka, para orang tua.

“Nya, that is too much. Please shut the fuck up and enjoy the
trip.” Vincent yang duduk disamping Anya dengan satu aipods
terpasang tatap malas ke depan. Ia lebih baik habiskan waktunya
diluar, daripada keluarga palsunya ini.

Semuanya kembali hening, Mikha yang mengalungkan


tanganya manja pada sang suami dan Anya yang sibuk touch-up
makeupnya sebentar. Hanya Vincent satu-satunya sosok yang tak
peduli manusia lain.

“MAMIII, AYEL CAN’T SAY ‘R’.” Hazel panggil ibunya


dengan histeris secara spontan, buat manusia lain tatap kearahnya.
Lagi-lagi sikap ibunya itu mengalir kental dalam dirinya layaknya
darah.

Gama yang dengar ucapan Hazel mulai menengok, tatap


anaknya yang menunduk takut. “Ael! Go say it, ‘Ular melingkar
diatas pagarrrr,’” Ujarnya, bersemangat.

Dengan takut, Ael tatap Gama yang sedang menatapnya


lurus—entah arti tatapannya apa, tapi bocah mungil itu artikannya
sebagai harapan besar.

212 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 213

Zevanya mulai tersenyum, temukan satu kelemahan dari anak


lawannya.

“U-ularl melingkal diatas pagarl,” Mikael yang terduduk


dipinggir kembali tatap takut Gamaliel—yang sudah buang
pandangannya, hanya tatap lurus kearah Mikha.

“I told you to teach him how to say R, baby.” Bisikinya, buat


Mikha mengerut.

“Kamu malu? Malu anak kamu gak bisa bilang R?” Mikha
mulai menatap Gama nyalang. Bener-bener gak nyangka Gama itu
bisa malu cuma karena anaknya cadel. Kayak bukan Gama yang dia
kenal.

“Ya gak malu Mik, tap—” Ucapnya terputus kala Mikha


berdiri dan tatap kakinya sinis.

“Alah tai, minggir deh lu. Gua mau duduk sama anak gua.”

Satu jawaban yang keluar dari bilah bibir Mikha buat Gama
menegang, merasa terkejut sang pujaan hati dapat bertutur kata
sekasar itu ditempat yang tak seharusnya.

“Mikha? Ngomong apa kamu barusan?”

Zevanya menoleh, begitupun Vincent kala dengar suara


Gama naik satu oktaf.

“Minggir tai, gua mau duduk sama anak gua. Salah?”

213 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 214

Baik Zevanya maupun Vincent benar-benar terkejut. Gak


nyangka Mikha bisa seberani itu buat ngomong ngawur kayak
gapunya etika.

“Minggir woi, apa mau gua injek kaki lu?” Mikha kembali
keluarkan suaranya, benar-benar gak peduli sama tatap jijik
maurpun risik dari Vincent dan Anya.

“No, sit.” Gamaliel tunjuk kursi kosong disampingnya.

“Sat sit, Dikira gua anjing kali ya?”

Kesabaran Mikha itu benar-benar diujung tanduk. Jadi, kaki


sang suami segera dilewati asal dan kasar.

Langkahnya dengan cepat dekati Mikael dan bawa dalam


gendongan; ambil kursi paling depan dekat Gantari dan Gandhy.
Tak peduli teriakan nama dari sang suami.

“Yel, really.. Mikha tuh kenapa deh? Too rude.” Zevanya


mulai pancing sepupunya agar amarahnya keluar.

“Nya, he’s from the bottom of earth, what did you expect?”
Vincent kembali pejamkan matanya, nikmati lagu yang terputar.

Anya tatap Gamaliel lurus, nampaknya sepupunya itu benar-


benar ada di pihak mereka. Sependapat dengan ucapan Vincent
maupun Anya.

214 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 215

Namun, harapnya itu terputus kala Gamaliel mulai


menggebrak kursi sampingnya.

“Go fuck yourself, Vincent. Stop underestimate Mikha,”

Vincent menengok begitu dengar amarah Gama tersulut.

“Lo marah? Marah karena apa? Karena sependapat sama Gue


maupun Anya ‘kan?” Satu senyuman kembali nampak begitu
Vincent sampaikan opininya dengan santai hingga buat Gamaliel
mematung sempurna. Baik Vincent maupun Anya itu—benar-
benar tipikal Salim. Berbahaya dan Manipulatif.

****

“Papi, Papiiii!” Mikael serukan nama sang Ayah kala ia lihat


Gamaliel dengan raut datar sambangi kursi miliknya dan Mikha
sebelum turun dan lanjutkan trip lainnya.

Mikha hanya tatap datar kursi depannya, enggan tatap si


bungsu Salim. Begitu mual dan marah rasanya. Namun, dirinya
begitu tersentak kala Gama angkat tubuh Mikael dengan spontan,
buat dirinya ikut berdiri.

Keduanya bersitatap sesaat—tampilkan tatapan nyalang dan


marah. Netra milik Gama bergulir, pergelangan tangan Mikha
ditarik kasar untuk ikut dengannya dan jauhi rombongan. Teriakan

215 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 216

dari sang Papi, Mami maupun keluarganya gak digubris. Ia ingin


bawa Mikha dan Ael sejauh mungkin.

“Papiii, kita mau kemana, Papii? Mikael tatap bingung sang


Ayah, rahangnya begitu keras dan terlihat seram. Beralih pada induk
kodoknya yang ikut diam seribu bahasa—tak berontak maupun
marah ketika tangannya ditarik kasar.

Begitu sampai di mobil besar miliknya, Gama biarkan Mikael


untuk duduk didepan—dengan car seat yang ia pasang sempurna
dan cari headphone untuk dipasang pada telinga sang anak.

“Papi mau bicara sama Ayah di belakang, Ael jangan lepas ini,
paham?”

Begitu satu anggukan ragu dan takut terlihat, Gama buru-buru


minta Darso untuk segera ambil alih mobil dan bawa mereka pergi
daerah atas, hendak bermalam di villa yang Gama miliki secara
pribadi.

Mikha yang terduduk dengan mata terpejam mulai tegakkan


duduknya kala ia dengar pintu terbuka dan Gama muncul dengan
tatap nyalang. Gama, benar-benar gak mau lihat Mikha tepat di
mata.

“So, saya tutup. Apapun yang kamu denger, jangan pernah


bocor.” Begitu dengar sinyal yang Gama maksud, Darso buru-buru
gunakan headset miliknya—tak ingin dengar obrolan penting kedua

216 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 217

majikannya dan segera tutup pembatas otomatis antara bagian


depan dan belakang.

“Ngapain ‘sih? Ngerusak suasana tau g—” Ucapnya terputus


kala Gama mulai sesap bibirnya kuat, atas dan bawah. Segala emosi
terpendam milinya dikeluarkan melalui sebuah ciuman erotis yang
penuh amarah.

Mikha tentunya ikut balas ciuman tersebut, ikut salurkan


emosi dan amarahnya sejak tadi pagi. Pelupuk matanya keluar air
sedikit akibat ingat rentetan kejadian beberapa waktu lalu.

Keduanya saling melumat—kepalanya bergantian ke kanan


dan kiri. Gama bawa posisi keduanya lebih intens, Mikha duduk di
pangkuannya dengan sedikit menunduk—agar tak kena atap. Saling
sapa tiap inchi bagian mulut, hingga berakhir dengan Gama yang
gigit kuat bagian bawah bibir Mikha hingga merasakan anyir yang
menjalar.

Mikha tepuk dada bidang sang suami—kode untuk segera


mengakhiri.

Begitu ciumannya terlepas, Mikha bisa liat noda darah di


bagian bibir bawah Gama, deru nafas saling bersautan. Tatap datar
namun mengejek bisa ia lihat dari netra gelap milik Gama.

“S-sakit…” Cicitnya, tatap Gama takut. Karena sebelumnya,


Gama tak pernah seperti ini.

217 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 218

Jemari milik Gama mulai sentuh bibir bawahnya, mengelus


perlahan dan sesap jari yang ikut kena noda merah dari darah pada
bibirnya.

“Sakit?”

“Bisa dong rasain gimana sakitnya aku tadi waktu kamu katain
‘TAI’ didepan sanak sepupuku?”

Mikha mulai meneguk ludahnya susah. Jarak yang terlalu


dekat antara dirinya dan Gama buat jantungnya semakin berdegup.
“M-maaf, kamu jangan kayak gini. Aku t-takut.”

Netra milik Gama bergulir, mendengus dengar jawaban


Mikha. Namun, detik selanjutnya, rahang proporsional milik si
manis dicengkram kuat.

“Then watch your words! Aku gak pernah semarah ini sama
kamu. Apa susahnya jaga etika kamu, Mik? Apa segitu susahnya
tahan amarah kamu?”

Keadaan semakin mencekat kala Mikha tatap lurus netra


segelap jelaga milik Gama dan rasakan cengkramannya semakin
kuat.

Bibir bawahnya ditekan kuat.“Bibir ini, selalu jadi racun. Aku


selalu tahan segala emosi aku selama ini. Kamu kalau ngomong ‘tuh
gak pernah dipikir. Kali ini, kamu bener-bener malu-maluin aku,
dan aku marah sama kamu. Aku kecewa.”

218 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 219

“Aku gak malu karena Ael cadel, cuma tanya, kenapa kamu
gak ajarin dia? Gak harus meledak-ledak kayak tadi, kecuali aku
bilang kalau aku bener-bener malu sama Ael!” Suara milik Gama
mulai meninggi, buat si manis memejamkan mata karena takut.
Tubuhnya bergetar—seberani apapun Mikha, dia beneran gak bisa
kalau lawannya Gama.

Gama buat nafasnya kasar, wajah milik si manis dihempas dan


tatap kearah jendela.

“Kamu sama Ael biar di Villa dulu, aku pulang. Aku—


beneran gak bisa liat muka kamu buat saat ini.”

Mikha kembali duduk ke bangku semula, buang


pandangannya kearah jendela dan—menangis dalam diam. Ia ikuti
cara anaknya untuk tahan tangisnya dengan lengan—sedikit
berguna, karena tangisnya tak terdengar—atau mungkin, Gamanya
yang menolak untuk dengar.

Sedangkan anak yag duduk di depan, dengan telinga yang


tersumpal dengan lagu barney ad friends menatap Darso bingung.
Ia ingin duduk bersama sang Papi, namun ragu. Sehingga ia tahan
segala pertanyaan yang ribut di kepalanya.

Playdate gak selamanya indah untuk semua orang.

●●●

219 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 220

“Tangan Miko kenapa?” Suara nyaring milik Mikael buat


Mikha yang aduk asal mie kuah miliknya menengok—usap matanya
yang mulai menggenang air. Netranya mulai tatap bingung
tangannya, tak paham dengan maksud sang anak.

Mikael mulai berdiri dari duduknya, tarik tangan milik sang


Ayah, dan usap-usap bagian pergelangannya. “Iniiih! Meyah-
meyah,”

Mikha tatap lurus bagian pergelangannya—baru sadar Gama


sempat menarik kuat pergelangannya, memang sakit. Tapi gak
nyangka kalau akan ada tandanya seperti ini—lebih kaget juga
karena yang notice itu malah anaknya.

“Fyuuuuh..fyuuuh,” Mikael tiup tanda itu, usap-usap halus


layaknya akan hilang dengan cara tersebut. Lalu diakhiri dengan
kecupan di akhir—meskipun ragu, karena Mikael memang punya
gengsi yang tinggi untuk tunjukkan rasa sayangnya pada sang Ayah.

“Nanti cakitnya ilang, Papi cuka giniin Ayeel kalau ada


nyamuk nakal yang gigit tangan Ayel.” Ujarnya polos, sambil tatap
nugget di piringnya.

Mikha tatap anak disampingnya lekat, “Kenapa sih, apa-apa


tuh Papi? Kamu kan sering diomelin Papi?’

“Kalena Ayel cayang Papiiii,” Deretan giginya terlihat, berikan


cengiran lebar yang buat Mikha ikut tersenyum.

220 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 221

“Emng gak sebel? Si Papi kan suka atur-atur kamu.”

Sontak Mikael berenti mengunyah, tatap kosong bagian


depannya. Kepalanya menggeleng kuat, mulut yang dipenuhi nasi
dan nugget buatnya semakin bulat.

“Mammu kwali ywang swebel,”

“Ngomong apa sih? Kunyah yang bener, baru ngomong.


Untung gak ada Papi kamu disini.”

Mikael menurut, makanannya dikunyah dan ditelan. Lalu,


tatap lurus netra sang Ayah. “Kamu kali yang cebeel. Aku enggak
tuhh, aku ceneng kalo Papi bilangin aku.”

“Cedihnya kalo Papi diemin aku…Gamau liat aku, kayak


tadi..” Bibirnya mencebik, tunjukkan raut sedih.

Mikha usap halus rambut sang anak, ikut merasakan rasa


bersalah, karena gimanapun juga—Mikha emang bertanggung
jawab penuh atas amarahnya Gama tadi.

“Maaf ya..”

“Nanti kita belajar ngomong ‘R’ mau ‘gak?”

Mikael kembali tatap lurus sang Ayah, matanya mengerjap tak


percaya.

“Benel?”

“Bener, bukan benel.”


221 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 222

“Benerl?”

“Benerrrrrrrr,”

“Benellrrlrlrl—ih cucah tau!”

Untuk pertama kalinya, Mikha kecup pipi sang anak, buat sang
anak ikut terkejut karena afeksi spontan dari sang Ayah.

“Gemes anakku.”

Di lain tempat, Gama mengusak kasar rambutnya. Merasa


bersalah, namun logika berperan lebih unggul ketimbang hati.
Menurutnya, Mikha sudah kelewat batas. Ini adalah cara terbaik agar
Mikha jera dan lebih jaga etika, ucapan dan amarahnya ketika suatu
saat berkumpul bersama keluarganya lagi.

“Darso, kamu liatin Mikha sama Ael ya, kalau saya gak angkat
telepon kamu, segera pulang saja. I’m not feeling well.”

“Siap Mas!”

222 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 223

223 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 224

224 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 225

Dua bayi yang sakit.


“Meskipun tak ada darah yang mengalir, keduanya bagaikan terikat satu
sama lain.”

Mikael itu benar-benar persis seperti Mikha; layaknya punya


radar tersendiri, sehingga begitu ia jauh dari Gama entah kenapa
radarnya rusak hingga tubuhnya juga ikut melemah—padahal tak
ada darah dari yang mengalir diantara keduanya sedikitpun.

Sejatinya, Mikha tak pernah punya pengalaman lebih untuk


merawat anak yang sedang sakit—jadinya beginilah sekarang, ia
begitu panik kala liat termometer yang tunjukan angka tinggi.

“Duh kenapa ikut sakit sih ni bocil,” Mikha pijit pelipisnya;


merasa ikut mual lihat bubur yang ada di hadapan. Biasanya, Gama
akan urus dirinya dengan begitu telaten dan sabar. Namun, kali ini
ia benar-benar kewalahan kala manusia lain ikut sakit. Turut rasakan
bagaimana sibuknya jadi Gama.

“Mikoo, Ayel mau mimi,”

“Mikoo, ndoong,”

“Mikoo, mau cama Papi,”

Dan teriakan histeris yang buat kepala Mikha semakin


berputar. Salah satu alasan mengapa ia tak suka presensi manusia
kecil adalah karena suaranya yang berisik. Tak terpikir sama sekali
225 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 226

untuk hubungi Gama dan suruh laki-laki itu datang. Ia tak ingin
ganggu waktu sendiri sang suami. Mikha begitu paham karakter
Gama, jika ia ingin ruang; Maka jangan pernah ganggu waktunya.
Biarkan ia merenung, dan kembali sendiri.

Tubuh kecil Mikael, dengan sabar digendong, ditimang


ditepuk halus punggungnya. Tangan sang anak mengalung kuat—
tak ingin lepas. Jika berhasil terlelap dan Mikha baringkan di kasur,
bocah itu akan kembali bangun dan menangis hebat. Hal itu terus
terjadi hingga akhirnya Mikha putar otaknya, cari cara lain agar
anaknya tidur dengan tenang.

Sofa kecil merah didekat kasur jadi tempat istirahatnya,


dengan Mikael yang masih didekapan. Pelipisnya banjir akan
keringat. Bibirnya pucat dan kepalanya benar-benar terasa berputar.
Harap ada manusia lain yang bantu ringankan beban di
punggungnya.

Satu jam berlalu, suara tangis Mikael kembali buat Mikha


bangun. Namun, anehnya—Mikael tak ada di dekapannya begitu
matanya mengerjap dan bangun.

“Hnggg, Papi..Papi..Kepala Ael Pucing,” Tangan mungilnya tarik


rambutnya sendiri kuat, buat Gama tepuk halus punggung si kecil
dengan sabar.

226 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 227

“Sssh, jangan berisik ya sayang…Nanti yayahnya bangun, sini


tangannya Papi pinjem, nanti makin sakit kalau ditarik rambutnya.”

Mikha yang tatap punggung Gama di hadapan mulai gigit


bibirnya kuat. Merasa perasaanya makin sensitif kala ia lihat fakta
nyata di depan mata; bahwa memang yang hanya ia butuhkan
hanyalah Gama.

“Sssh… bobo ya sayang? Biar pucingnya ilang, nanti kalo Ael


sembuh kita berenang lagi mau?”

Begitu rasakan satu anggukan, Gama mulai kecup bahu milik


anaknya. Kembali timang dengan penuh kasih sayang. Mikha
disana, lihat segalanya—beberapa kali Ael kembali terbangun dan
menangis terisak, namun Gama dengan kesabaran penuh tetap
bawa anaknya dalam dekapan—begitu mengingatkan dirinya ketika
sakit. Gama juga sama sabarnya.

Dirasa Mikael sudah tenang, Gama dengan perlahan kembali


taruh tubuh mungilnya ke kasur. Guling dan bantal yang tak
digunakan disusun seapik mungkin untuk lindungi anaknya dari
segala sisi.

Begitu merasab cukup, Netra Gama kembali bergulir, lihat


tubuh Mikha yang dipenuhi keringat. Tertidur lelap pada sofa yang
letaknya dekat kasur. Kakinya dibawa melangkah, menepuk pelan
pipi berisi milik si manis.

227 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 228

“Hey?” Bulu mata lentik cantik yang tertutup dan bibir yang
terkatup rapat buat Gama terfokus. Luka garis yang terlihat jelas di
birai bawah Mikha, kembali ingatkan dirinya akan kesalahannya
yang kemarin. Buat hatinya teriris dan dihujani rasa bersalah.
Keringat yang banjiri pelipis Mikha buat Gama terbayang
bagaimana rasa pusingnya urusi si kecil ketika dirinya sendiri sedang
sakit.

Perlahan, kedua manik Mikha mengerjap terbuka. Wangi


maskulin milik Gama menguar, buat dirinya tanpa sadar langsung
memeluk erat tubuh sang suami.

“Gama, Gamaa….Aku enggak bisa kalau marahan terus,”

“Maaf aku kayak tai, aku yang nyebelin aku, hiks..”

Punggung milik Mikha ditepuk pelan, diusap halus. Buat sang


empu semakin terisak karena begitu rindu.

“Akunya jangan ditinggal lagi,”

“Ssh, enggak sayang..bobo ya? Maaf aku bikin kamu sakit,


maaf kalau aku marahnya kelewatan. Makasih udah jaga Ael waktu
kamu sendiri lagi sakit, ya? Mikha hebat.. Kesayangan aku,” Rambut
hingga tengkuknya diusap halus. Tubuhnya perlahan diangkat dan
dibawa ke kasur, dibaringkan lembut disebelah si mungil.

Meskipun matanya tertutup, Mikha bisa rasakan Gamanya


begitu jagaa dirinya dengan baik. Bajunya disingkap; dilepas; diganti

228 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 229

dengan baju baru yang lebih bersih. Wajahnya diusap halus dengan
kain lap basah yang hangat. Begitu semuanya selesai, Gama akan
rengkuh tubuhnya erat. Tepuk-tepuk bokongnya hingga tertidur.
Bergantian apabila Mikael ikut merengek.

“Papiii…”

“Gamaaa..”

“Papi, mau peyuuk..”

“Gama, dingin..”

Peristiwa ini cukup jadi peringatan keras buat Gama; untuk


tak tinggal keduanya jauh dari radarnya lagi. Mungkin kalau Darso
tak hubungi dirinya—ia akan semakin merasa bersalah. Ia tak
rasakan pening di kepala karena fokusnya terbagi, justru caranya
buat dua bayinya itu nyaman dan kembali tenang. Keselamatan
keduanya penting. Hatinya begitu teriris sakit—Jiwanya ikut kosong
kala dua dunianya itu mulai melemah.

●●●

“Kenapa muka lu bonyok?” Kahfa angkat handuk basah dan


kotak P3K yang ia ambil dari dalam rumahnya. Di terasnya ada
Vincent dengan kepala mengadah dan hidung yang mengucur
darah.

“Biasa,” Ucapnya berusaha sesantai mungkin. Tak ingin


fakta dibaliknya Kahfa ketahui.
229 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 230

Tangan Kahfa mulai cekatan usap luka yang terdapat di


sudut bibir Vincent. Dari raut wajahnya yang terlampau pucat,
Kahfa bisa tarik kesimpulan kalau Vincent pasti usai bertengar
dengan salah satu sepupu terdekatnya; Gamaliel.

“Gama?”

Vincent tak balas praduga tersebut, matanya sibuk memejam


karena kepalanya ikut berdenyut bayangkan kesalahan yang tak
pernah kunjung ia sesali bahkan hingga detik ini.

“It’s that funny for you? Lo selalu underestimate Mikha dari awal dia
nikah sama Gue. Seriously, Vincent. You’re sick.”

“Lo nikah sama Mikha aja was the funniest part. You’re so dumb.
Sekarang lo tambahin anak yang gak jelas asal-usulnya dari mana.”

Rentetan kalimat terakhirnya itu buat Gama layangkan tinjuan


bertubi—hingga buat wajahnya hancur seperti sekarang ini.

“Gue gatau masalah lu berdua apaan. But you’re mouth kinda


sucks. Jadi gua yakin Gama gak mungkin mukul kalo bukan lu duluan
yang tai,” Luka basah yang letaknya di dekat hidung Kahfa seka,
buat Vincent tatap lurus laki-laki yang fokus tatap lukanya.

“Seriously, V. Stop ikut campur masalah orang lain. Lu gabisa


maksain orang lain harus seperti lu. Kalo emang pilihan Gama
begitu—ya let it be. Jangan pernah lu ancurin kesenengan orang
lain,”

230 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 231

Vincent tersenyum simpul, merasa Kahfa lucu dengan segala


untaian kalimat panjang yang buat dirinya tersentil. “Belajar dari
mana, hey?”

“You’re sounds so….mature, Fa.” Kahfa mulai rogoh


kantungnya, berikan satu strip photobox yang selalu ia bawa
kemanapun dirinya pergi.

“Pikiran gua kebukanya masa gara-gara anak 7 tahun?”

“How could?”

“He told me to do whatever I want, even if I can’t have the love of my


life. Then—gua harus cari kebahagiaan lain. Dunia gak muter disatu
tempat.”

“Kalo emang gua gak bisa bahagia sama lu—”

“Then maybe he came to my life, for the rescue?”

“Dan lu harus cari juga,”

Mengapa harus cari jawaban lain jika ada di depan mata?

231 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 232

Coming Home.
“Rumah jadi tempat pulang ternyaman, setelah banyak badai menghampiri.”

“CUCUKNYA NENA DATENG?” Lengkingan nyaring


terdengar penuhi ruang tamu megah milik Gandhy Salim. Gantari,
yang biasanya sedingin kutub, sifatnya berubah 180 derajat kala
manusia kecil datang kedalam hidup Gamaliel dan Mikha. Buat
Mikha sedikit...cemburu.

“Nenaaaa,” Mikael rentangkan tanganya hendak peluk erat


neneknya sayang.

“Ututu, anak gemees.” Tubuh mungil yang hampiri Gantari


direngkuh kuat, tubuhnya diangkat, pipi gembilnya dikecup berkali-
kali.

“Aaa! Nena! Bacah tauuu!”

“Habis kamunya lucu, nena gemees.” Gamaliel tatap penuh


bahagia pemandangan hangat tersebut. Ibunya, merupakan sosok
dingin yang sulit terbuka. Namun begitu Mikael lahir—entah apa
yang semesta buat, Ibunya begitu mencintai sang anak.

Gandhy tatap aneh pemandangan tersebut—menurutnya,


satu-satunya manusia paling ‘gemas’ masih dipegang Mikha
tahtanya.

232 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 233

“UTUTU ANAK GEMES PAPI DATENG?” Gandhy


dengan usil mulai tiru nada sang istri, buka tangannya lebar agar
Mikha masuk kedalam dekapan.

“Papiiii,” Mikha yang sama usilnya juga ikuti gaya sang anak,
buat Gantari dan Mikael mencebik sebal.

Mikael lipat tangannya di dada, tatap neneknya dan Mikha


bergantian, “Nakal ya, Nak, kakekmu?”

Mikael menggeleng, tatap Ayahnya sebal. “Bukan kakek tapi


Miko! Miko nakal!”

“Yang sopan ya sama Ayahnya, Yayah bukan Miko—ini pasti


diajarin Papi kamu ya?” Mikael yang ditegur Gandhy secara
spontan, mengalungkan tanganya pada Gantari—takut. Sedangkan
Mikha julurkan lidahnya usil.

“Apasih? Jangan marah-marahin cucuku, ya! Kamu nih suka


berlebihan kalau tentang Mikha!” Gantari tatap nyalang sang suami,
yang masih berdiri di samping Mikha.

Gama? Hanya bisa memijat pelipinya—sudah biasa. Ia selalu


jadi orang dalam yang bahkan terlupakan oleh keluarganya sendiri.

“Nenaa, Miko nakal isengin aku!” Ael angkat tangannya,


tunjuk lurus sang Ayah yang sibuk berikan muka jelek, usil.

233 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 234

“Eeeh, tangannya gak boleh tunjuk-tunjuk ya? Gak sopan


sayang.” Telunjuk Mikael diulur, dikecup singkat oleh Gantari
dengan penuh sayang.

“EUNG? DIMALAHIN NENA YAH?” Mikha kembali


makin usil—tirukan Mikael dengan sempurna, buat Gandhy
terkekeh geli. Sedangkan sang anak sudah hisap kuat jempolnya.
Merasa risih dan teganggu.

“Mik? Stop it,” Suara berat Gamaliel menyapa, tatap lurus


Mikha dari ujung.

“Kamu nih terus-terusan usilin Ael, anaknya jadi cengeng and


being a snitch!”

Mikael sunggingkan seringai senyumnya, dengan tangan


terlipat digendongan sang nenek, ia tatap lurus sang Ayah. “Wleee,
dimalahin Papi,” Ujarnya tanpa suara.

“Papi! Tuh liat anaknya, padahal Ael duluan yang ngeselin—


masa yang dimarahin Mikha?”

“Jangan salahin cucukku! Kamu nih sudah besar manja banget!”

“Apasih, mi? Kamu yang berlebihan. Sudah jangan terlalu ketus sama
Mikha,”

“Nenaaa, itu Miko malahin Ayeeel,”

“Dih tukang ngadu! Liat tuh Pi, kesayangannya Gama.”

234 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 235

Gama lagi-lagi hela nafas—beneran angkat tangan sama


semua manusia ini.

****

Malam telah tiba, Mikha dan si kecil Mikael mulai masuk ke


kamar Gama sewaktu bujang—tempatnya tidur jika menginap
disini. Mikha langsung ajak sang anak untuk tidut, begitu ia lihat
anaknya terus-terusan menguap dan usap matanya.

“Papi manaa? Mau bobo beltigaa,” Si kecil mulai cari posisi,


berusaha naik ke kasur tinggi dan lihat sekeliling kamarnya.

“Lagi sama kakek, jangan diganggu. Udah deh gausah ribet.


Bobo aja sama aku, biasanya juga gitu.” Mikael ikut berbaring kala
ia lihat ayahnya ambil posisi di kanan, rentangkan tangan agar
Mikael tidur disisian tangannya.

“Eung? Mau cama Papi, Mikoo.” Rahang Mikael ditangkup,


pipinya dikecup lama hingga buat sang anak memekik sebal.

“Mmmmmch, bawel. Amu bawel, udah ah bobo.” Mikha mulai


siapkan jempol kanannya—sudah dicuci, sebelum naik ke tempat
tidur.

“Nih capa mau emut jempol yaa?” Mikael buru-buru tarik


jempol sang Ayah, dihisap kuat, matanya memejam.

235 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 236

“Anak aneh. Susu gak doyan, jempol orang lu doyan. Sumanto


lu ya?!” Mikha tatap lamat sang anak yang hampir tertidur. Matanya
sudah memejam namun bibirnya tetap aktif menghisap.

Mikha terkekeh kala lihat wajah plongo Mikael ketika terlelap,


ingatannya kembali pada dua hari lalu; kala keduanya habiskan satu
malam di puncak karena dirinya bertengkar cukup hebat dengan
Gama.

Mikha jauh lebih menyayangi Mikael akibat peristiwa itu. Rasa


takut akan kehilangan sang anak buatnya semakin drop—hingga
kebawa mimpi. Hal yang pertama kali ia cari ketika bangun di pagi
hari bukanlah Gama melainkan—Mikael.

“Lu jadi kecil terus aja bisa gak? Gak siap banget gua liat lu
nanti cinta-cintaan, ngejar-ngejar cowok atau mungkin cewek?
Karena saking cintanya.”

“Lu tuh—gemees. Jangan jadi pihak yang ngejar ya?! Liat nih
bapaklu, hidupnya susah saking bucinnya sama Papi lu.”

Tentu saja Mikael tak menggubris, dirinya sudah terlelap


dalam bunga tidur. Keningnya berkerut jika Ayahnya tarik
jempolnya.

“Hhhh, Gemes banget gua sama lu. Tapi kalo liat anak lain
tuh kesel—lu ada sihir apasih?!”

Jadi, udah ngakuin ya Mik, kalau anak lu gemes?

236 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 237

****

Pukul setengah dua pagi, Mikha terbangun dari tidurnya kala


dapati sisi kiri tempat tidurnya kosong. Mikael, masih setia terlelap,
terlentang dengan sesekali mengecap. Buat Mikha kecup gemas pipi
kanannya.

“Mmmmch, mmmch, mmmch. Gemes, gemes anak gemes.” Wajah


anaknya kembali ditatap lekat sesaat sebelum akhirnya Mikha bawa
dirinya untuk bangun dari kasur dan cari sang suami.

Mikha sudah kelewat hafal dengan tiap sisi rumah megah yang
sudah sering ia kunjungi sejak kembali jalin hubungan dengan
Gama. Awal kedatangannya kerumah megah ini; ia seringkali
kesasar dan berakhir harus telepon Gama ataupun sang ayah
mertua. Tapi begitu sering kembali, ia jadi kelewat hapal—bahkan
ruang rahasia yang terdapat dalam rumah ini.

Tujuannya kali ini adalah ruang dengan pintu merah beraksen


kayu. Namun niatnya urung begitu temukan Gama berada di ruang
tamu lantai atas, tepat disamping kamar yang ditempatinya bersama
Mikael. Gama disana, sendirian—sambil pijat pelipisnya kuat.

“Ayaang,” Suara Mikha mengalun lembut. Tanganya elus


pergelangan tangan Gama yang bertengger di pinggir sofa.

“Eeeh? Belum bobo?” Gama bawa si manis ke pangkuan,


untuk duduk bersandar.

237 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 238

Satu gelengan kepala ia rasakan, buatnya menunduk dan tatap


lurus kedua netra cantik milik Mikha.

“Kamu minum ya?” Ujar Mikha, seraya endus bagian leher


dan sekitaran dadanya.

“Hmm, Papi abis ajakin aku deeptalk.” Kening milik Mikha


dikecup, rambutnya disisir halus.

Gama benar-benar sekuat mungkin tahan nafsunya—


mengingat seberapa tinggi nafsunya itu melambung kala alkohol
kuasai tiap darah yang mengalir dalam tubuh.

Mikha selalu tampil memukau sebelum tidur. Bibir yang


terbalut lipmask, kulit sehat yang telah dilapisi skincare mahal yang
kini buat wajahnya semakin cerah dan bersinar. Buat fantasi Gama
makin jauh kala ia lihat wajah si manis, tatapnya dengan mata yang
penuh binar.

Bibir tebal milik Gama mulai kecupi pipi si manis, turun


perlahan kebagian leher, sambangi ceruknya dan beri banyak kecup
disana, sesekali dijilat. Hirup wangi bayi bercampur vanilla yang
menguar dari sana.

“Hmmmh, wanginya.” Sudut bibir Mikha dikecup sebagai


penutup.

Mikha dusalkan wajahnya pada ceruk leher milik Gama,


dirinya juga ikut terbawa nafsu sang suami kala ia rasakan deru nafas

238 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 239

hangat dan wangi anggur yang keluar tiap ia buka bibirnya. Leher
milik Gama dikecup, sesekali dijilat sensual hingga buat sang suami
melenguh.

“Ael udah bobo?”

“Hmm, udah.”

“Gama,” Ujarnya serak.

“Hmm? Iya sayang?”

Mikha tersdiam sebentar setelah akhirnya tatap Gama lurus


dari bawah.

“Mau sepong,” Tubuh yang berada dipangkuan mulai


bergerak tepat dibagian selatan yang berdiri dibalik celana pendek
tipis yang menutupi.

Gama dengan sorot nafsu dan bibirnya yang sedikit terbuka


mulai gigit bibir bawahnya kala rasakan gerakan memutar—
bangkitkan sesuatu yang mulai berdiri tegak.

Pinggang ramping si manis dipegang, dibuat maju mundur


hingga berikan rasa nikmat yang mampu buatnya melenguh dan
buat Mikha mengalung.

“Mau?”

Mikha mengangguk, dengan tatapan yang sudah dipenuhi


sorot nafsu.

239 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 240

Gama tepuk pinggang milik Mikha, Netranya bergulir kearah


bawah.

“Turun,” Bisikinya seraya jilat dalam telinga si manis.

Menurut, Mikha mulai turun, berjongkok dibawah sofa, tatap


bagian bawah sang suami dengan penuh binar, layaknya anjing yang
akan diberikan tulang.

Gama mulai buka celana yang tutupi bagian bawahnya. Penis


panjang dan besar mulai terlihat, buat Mikha semakin majukan
wajahnya dan bantu Gama lepaskan segala kain yang tutupi bagian
selatannya.

Begitu sukses terbuka, Gama tepukkan penisnya tepat dibibir


milik si manis yang licin akibat lipmask. “Buka mulutnya sayang,”

Mikha menurut, birai tipisnya dibuka, penis tegang milik


Gama mulai digenggam, dikocok perlahan sambil diendus dan
dijilat. Wangi khas bagian bawah Gama itu buatnya—menggila.

Penis tegak tersebut dijilat dari bawah hingga ke pucuk, turun


lagi kebagian bawah dimana dua bijinya mulai dijilat dan diemut.

“Ngggh, ayang, mau dimentokkin sampe keselek,” Mikha tatap


Gama dengan raut polos yang berbanding terbalik dengan tangan
yang mengocok kuat penisnya hingga terdengar bunyi keciplak
akibat percum yang mulai keluar.

240 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 241

Gama tangkup rahang si manis, hingga mulutnya kembali


terbuka.

“Nakal, mulutnya kotor.” Jempol yang berada tepat dibibir


bawah milik Mikha mulai dimasukkan paksa, menekan telak lidah-
lidahnya. Sorot polos dan mata yang penuh binar buat Gama
semakin gila. Mikha mulai menghisap kuat jempolnya. Kepalanya
bergerak maju dan mundur dengan tangan yang sibuk mengocok
bagian bawah Gama.

“H-hah, so good, Mikha.” Begitu Mikha lihat Gama pejamkan


mata begitu nikmati servicenya—Mikha mulai keluarkan jempol
sang suami, netranya beralih pada penis merahan yang semakin
membesar—dimasukkan kedalam mulutnya.

Mikha mulai naik turunkan kepalanya, lidahnya bermain—


melikuk-liuk tepat di lubang kencing milik Gama. Buat sang empu
melenguh kuat dengan deru nafas yang tak teratur.

“Ngh-hah, pinter sayang. Keep going,” Netra hazel kembali


menatapnya dari bawah penuh sorot nafsu dengan senyuman kecil
yang mengejek.

Pelepasannya sudah diujung, namun si manis dengan sengaja


keluarkan penis tersebut dari mulutnya.

“Gama,” Bibirnya mencebik—masih dengan tatap polos yang


berbanding terbalik dengan niatnya.

241 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 242

“In bahasa, please?” Bibir yang mencebik lucu buat Gama


semakin gila. Rahang si manis dikecup dan kembali dicengkram,
buat Mikha kembali membuka mulutnya.

“Kulum.” Gama turuti maunya, kata-kata kotor yang keluar


dari bibirnya tak lagi dalam bahasa asing; favorit Mikha—karena
terkesan lebih membangkitkan gairahnya.

Penis Gama kembali dikulum, dimasukkan telak hingga


keujung. Netranya kembali tatap Gama yang menatapnya penuh
nafsu dengan bibir yang digigit. Detik selanjutnya, Mikha mulai
getarkan tenggorokannya—buat Gama merasakan nikmat hingga
terbang kelangit ketujuh.

“Ngh-hah! Aahhh, aku keluar sayang,” Gama dengan cepat


mulai keluarkan penisnya dari mulut si manis, kocok penisnya kuat
dan gesekkan dibagian bibir Mikha yang mulai pejamkan mata dan
julurkan lidah—buat gelenyar nafsu hingga darahnya semakin
berdesir.

Beberapa sekon kemudian, Mikha bisa rasakan wajah dan


lidahnya terasa hangat—cairan yang Gama keluarkan begitu banyak
hingga penuhi wajahnya.

Gama dengan kesadaran yang masih diawang—mulai ambil


tisu, bersihkan wajah sang pujaan hati.

242 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 243

“Mmmh, enak.” Mikha mengecap rasakan langit-langit


bibirnya, rasakan sperma yang masuk kedalam mulutnya.

Baik Mikha maupun Gama mungkin benar-benar lupa daratan


hingga lupa keduanya berada diruangan terbuka—dengan cctv di
sudut ruangan yang menyala. Keduanya benar-benar vulgar dan
vokal, habiskan malam disana dengan bagi kehangatan hingga
beberapa jam kedepan—tak kunjung puas dengan beberapa gaya.

“Ngghh! Ayang! Terkhir ya? Aku capeek,” Mikha tatap Gama


dengan lucu—ia benar-benar lelah digempur selama dua jam.
Bagian belakangnya mulai terasa panas akibat banyak gesekan kasar.

Keduanya benar-benar polos tanpa kain, hanya ditutupi


selimut tebal hermes yang sengaja diletakan di sofa panjang hitam.

Posisi terakhirnya adalah Mikha diatas—dengan Gama yang


sudah menyusu kuat dibagian puting kanannya, gerakannya semakin
cepat kala Gama mulai pilin puting kirinya.

“Nggggh-ahhh, enak! Enak banget! Kontol kamu mentok.” Mikha


mulai putar acak, buat Gama lepaskan kulumannya pada puting dan
melenguh.

“Ahh-hah! Kamunya sempit banget, sayang.”

Tangan milik Mikha mengalung kuat, gerakannya semakin


acak naik dan turun, semakin cepat kala ia rasakan orgasmenya
semakin terasa diujung.

243 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 244

“Nghhh, mau keluar,” Lenguhan manja Mikha buat Gama


tekan pinggangnya kuat hingga gerakan acaknya mulai berhenti—
digantikan dengan tumbukkan telak Gama dari bawah yang berhasil
mengenai titik manisnya.

“Hhh-ah! Gama, disituuh,”

“Disini? Hngg?” Gama gigit bibirnya kuat, netranya saling


bersitatap. Gerakannya semakin cepat.

“Mik, aku keluarhh,” Untuk pertama kali dalam sejarah—


Gama orgasme duluan sebelum si manis, hangat spermanya penuhi
lubang Mikha, Penis menonjol dibagian perut Mikha tatap penuh
nafsu. Ia bisa rasakan perutnya penuh dan ikut kembung. Nafsunya
benar-benar tersalurkan berkat suami binalnya yang hebat dalam
penuhi fantasinya.

Mikha peluk kuat Gama kala rasakan sisa-sisa sperma yang


masih meluncur keluar. Bagian leher dan dadanya dikecup sayang
oleh Gama. Keduanya terdiam sebentar—deru nafas saling
bersautan. Wajah milik Gama bahkan memerah—saking
nikmatnya. Benar-benar lelah setelah saling bagi kenikmatan setelah
beberapa jam.

Tukk!

244 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 245

Mikha bisa rasakan keningnya begitu sakit kala satu mainan


dinosaurus—yang entah datangnya darimana mulai menghantam
kuat kepalanya.

“Aah sak—EEH?” Netra milik Mikha membulat, tubuhnya


menegang kala lihat sosok mungil yang menahan tangisnya kuat
dengan bibir yang digigit. Tangannya memeluk erat boneka timmy
kesayangannya.

“Kenapa sayangh?” Gama mulai tatap si manis bingung dari


bawah.

Mikha, tak henti usap halus jidatnya yang semakin lama—


semakin merah. Mainan dinosaurus itu benar-benar beri efek hingga
kepalanya berdenyut.

“N—NAKAL! BIKIN P-PAPI CAKIT!” Teriakan


menggelegar Mikael buat Gamaliel menengok—mengang kala lihat
anaknya disana, tatap lurus tubuh polos keduanya yang hanya
tertutup sebagian dengan selimut.

“MIKAEL OSSHAKA SALIM!” Gama dengan kepala yang


menengok kebelakang mulai rengkuh erat Mikha, tutupi tubuhnya
dengan selimut.

“SIAPA YANG SURUH KAMU KELUAR KAMAR?”


Teriakkan yang tak kalah kencang, buat sekujur tubuh Mikael

245 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 246

menegang—kaget lihat sang Papi bisa bentaknya dengan nada


tinggi.

Agaknya, itu semua berkat alkohol yang kontrol tubuh sang


Gamaliel. Ia benar-benar berpikiran pendek—bentak anaknya kuat
hingga sang anak sebisa mungkin tahan tangisnya.

“GO BACK TO YOUR ROOM! STAY STILL RIGHT IN


THE CORNER! NOW!”

Dengan langkah yang bergetar, Mikael kecil mulai mundur—


berusaha kuat lupakan memori singkatnya dimana sang ayah naik
turun layaknya mengendarai kuda diatas tubuh Papinya. Yang begitu
menyayat hatinya adalah bagaimana sang Papi terlihat sakit karena
wajahnya begitu merah—padahal faktanya bukan begitu. Pintu
kamar sang Papi kembali dibuka, pojok ruangan yang kosong
buatnya berdiri disana dan merenungkan kesalahannya. Jika
dirangkum, kesalahannya hanya satu; berani sambit kepala sang Ayah
dengan stegosaurus miliknya.

Plop.

Mikha mulai lepaskan tautan antara dirinya dan Gama.


Netranya fokus menatap Gama yang sudah buang pandangannya
kearah lain. Ia yakin Gama begitu menyesal—namun terkejut juga.
Bingung harus melakukan apa.

246 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 247

Rahang tegas Gama dikecup sekali sebelum ia punguti dan


pakai kembali pakaiannya. “Nanti kalau udah tenang, ke kamar ya
Pi?”

Sapaan halus yang mengalun itu buat Gama pijat pelipisnya kuat. Gak
terbayang Mikael sehancur apa.

****

Suara pintu yang dibuka, buat Mikael tegakkan tubuhnya.


Kembali menghitung sampai 60 hingga nantinya berhenti tepat di
10 menit.

“Hey,” Mikha berjongkok, sapa sang anak yang


membelakanginya.

“Eldut, kamu marah ya sama aku?”

Mikha masih tatap punggung anaknya—teramat paham


bahwa si kecil merasa kecewa dan marah. “It’s okay...nanti kalau
kamu udah berumur 17 tahun, Miko bakal jelasin, jadi—boleh gak
marahnya ditunda dulu sampe umur 17? Pweasee?”

Mikael yang masih membelakangi Mikha mulai mengerjapkan


matanya.

“K-kenapa tujuh beyas? Kenapa gak tujuh aja?”

Kepala belakang sang anak diusap halus. “Kamu belum


tinggi—jarinya masih kecil-kecil, belum bisa bilang ‘R’, belum lancar

247 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 248

bahasa inggris, belum tau belalang bernafasnya pakai apa. Masih


banyak pelajaran lain yang harus aku kasih tau kamu sebelum yang
tadi kamu liat itu~” Penjelasan sederhananya buat Mikael agaknya
paham dan terima.

Mikha mulai putar tubuh sang anak menghadapnya, netra


bulatnya tatap lekat sang anak dengan hidung yang merah dan
pelupuk mata yang dipenuhi air tertahan.

“It’s okay sayang….. Eldut kaget ya?” Mikha rengkuh tubuh


anaknya, ditepuk-tepuk punggungnya.

Kepalanya mengangguk hebat. “P-papi, cakit gak?”


Pertanyaan polosnya buat Mikha terkekeh.

“No, sayang. Udah ya? Kita baca cerita aja… Kamu mau
dibacain cerita apa?”

Mikael perlahan mulai kalungkan tanganya pada leher milik


sang Ayah, berusaha bernegoisasi. “Belalang itu emangnya belnafas
pake apa?”

Keduanya berjalan beriringan menuju kasur, dengan cerita


singkat belalang dan serangga lain. Bantu si kecil lupakan memori
buruk yang baru saja tersimpan.

“Miko?”

“Iya, genduuut?”

248 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 249

“Ayel minta maaf udah timpuk Yayah,”

“Ayel anak nakal! Not smart! Sowy, Yayah!”

“No…no, Ael anak baik. Cayang ya cama Papi?”

Anggukan bersemangat buat Mikha tersenyum.

“Tapi Ayel juga love Yayah! So much!”

Mikael harus berhenti bicara sekarang juga, Karena kalau


dilanjut… ayah manisnya itu bisa menangis terisak. Ujaran
polosnya itu selalu kena titik sensitif Mikha.

●●●

Pagi harinya, Mikael dikejutkan dengan satu lengan besar yang


rengkuh tubuhnya erat. Pipinya dihujani ciuman dari pria dewasa
yang miliki hidung bangir.

“Maafin Papi sayang…Papi nakal, Papi bad, gapapa kalau Ael


marah sama Papi ya, Nak?” Gama agaknya belum sadar kalau
malaikat kecilnya itu sudah terbangun.

Tangan mungilnya balas pelukan erat sang ayah—tangisannya


keluar sejak tadi malam ditahan. Birainya sibuk lantunkan maaf
hingga buat Gama tersentuh.

Mikha yang tatapnya penuh binar mulai titah dirinya untuk


kembali tenangkan sang anak, ikut minta maaf dan janji tak akan
mengulanginya.

249 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 250

“E-eung, maaf Papi, Ayel nakal! Ayel bad! Tapi Ayel cayang
papi sama yayah, hu~”

“No..no sayang, Ael gak nakal. Yang nakal dan bad itu Papi
karena scream to your face, it’s a bad things kan?”

Mikael tatap sang Papi, bibirnya mencebik tahan tangis.


Kepalanya mengangguk setuju.

Gama kecup pipi milik Mikael lama, “Maaf ya sayang… you


must be so shooked about that. Papi akan jelaskan kalau umur Aael
udah 17 ya?”

“I-iya Papi, temalem Yayah udah bilang,”

Gama tatap Mikha yang memejam, senyumnya terpatri, ikut


peluk Mikael dari belakang. Gamaliel ikut tersenyum, birai si manis
dikecup tipis. Buat si manis semakin lebarkan senyumnya.

Rasanya begitu hangat berbagi pelukan dan saling introspeksi


di pagi hari, Mikha cuma bisa berharap.. semoga kebahagiannya ini
bertahan lama dan tak ada lagi masalah baru yang muncul. Karena
semuanya terasa begitu lengkap.

Begitu hangat, layaknya kembali kerumah yang begitu dirindukan.

250 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 251

Kale’s Birthday Party.


“Gengsi buat semuanya menutup mata, bahwa manusia juga butuh sedikit
nurani untuk tetap waras.”

Sejak merasa hidupnya sudah lengkap dengan adanya sosok


malaikat kecil dihidupnya—entah mengapa, Gamaliel jadi lebih
perfeksionis. Ia memang merasa semuanya sudah cukup. Tapi rasa
resah selalu ada; takut di masa depan kelak—dirinya tak bisa jadi
sosok yang dibanggakan untuk anaknya; Mikael.

“Yel, lo udah tau alesan Mas Vier dan Kak Frey balik ke
Indo?” Asap mengepul dari pods yang Vincent keluarkan dari
biarinya buat Gama tatap sang sepupu lekat.

Keduanya selalu seperti ini—bertengkar, namun pada akhirnya


kembali akur sendiri. Jenis hubungan aneh yang hanya dimiliki
Salim dan anggotanya.

“I know,” Gama mulai menarik dalam rokoknya, buang


asapnya kearah samping.

“Pangestu—diambang batas kehancuran kan?” Imbuhnya,


seraya tatap langit-langit yang mulai menggelap. Ia dan Vincent suka
bagi pikirannya disini; rooftop apartment Vincent.

251 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 252

Vincent terkekeh, benarkan segala ucapan sang adik


sepupunya.

“Be careful, he might be wanna take his seat back,”

Gamaliel menyunggingkan senyum sinisnya, Zavier itu—


bukan lagi levelnya, ia bagai tak tersentuh karena pengaruh hebatnya
buat Salim semakin maju. Pribadinya itu benar-benar diluar
ekspetasi. Hanya sedikit bodoh jika sudah mencintai.

“Don’t worry, dia—bukan lawan lagi buat gue, Sampah.”

“Sekelas Pangestu aja dipegang dia bisa ancur, how dare you to
compared me with that stupid morons?”

Vincent kembali naikkan sebelah alisnya. Gamaliel, memang


cerdas, namun caranya begitu kaku.

“Think smart, dia gak bakal nyerang lo lewat a fucking whole


company—”

“Your pretty little family yang selalu lo junjung—be careful with


that, dude.”

Dengar ungkapan tersebut, Gama buru-buru tatap Vincent


dengan alis yang menukik. “Seriously, Vincy?”

“That’s so lame, he’ll not gonna do that,”

“Yel, trust me,”

252 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 253

“I trusted you so many times—but you always dumped me,


just like the others.”

“Gue masih mau deket sama lo because I fucking love you,


Vincent. But for build a trust? Sorry. I’m not giving that to you,
again—ever.”

Ungkapan singkat itu selalu membekas di relung hati Vincent.


Namun, ia tak pernah menyesali kesalahannya dimasa lampau.
Karena menurutnya, Mikha itu benar-benar bukan pasangan yang
cocok—apalagi jadi bagian dari Salim.

Laki-laki dungu dan tak beretika benar-benar tak mencerminkan seorang


Salim.

****

Ungkapan bahwa Gamaliel adalah laki-laki yang tak peka


dengan keadaan sekitar itu benar adanya. Vincent berulang kali
berinya peringatan untuk jaga keluarganya dengan baik—hati-hati
dengan lawan yang tiba-tiba jadi lengket dan mendekat. Namun,
Gama gak pernah mengindahkan hal tersebut. Menurutnya, Zavier
itu profesional, tak akan campuri hubungan keluarga dengan segala
niat busuk untuk hancurkan dirinya.

“Ular melingkar diatas pagar, say it baby.” Gamaliel titah


anaknya yang berada di pangkuan, sang anak dengan takut tatap
Ayahnya yang duduk di seberang.

253 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 254

“Ularl Melingkal di—”

“Stop! Ulangi!” Ungkapnya tegas.

Netra milik Mikael kembali bergulir—minta pertolongan sang


Ayah.

“Gama, kamunya jangan galak-galak ah!” Mikha tepuk paha


Gama sekali, bisikkan kalimat yang buat Gamanya sadar dan khilaf.

“Maaf ya nak, coba ulangi ya? Ael anak pinter kan?”

Mikael mengangguk bersemangat, jemarinya bertaut kuat.


Netranya fokus tatap sang Papi lurus. “Ularl melingkar diatas
pagarl”

“Sedikit lagi sayang,”

“Ularl melingkar diatas pagarrrlr.” Begitu dengar sang anak


berhasil, Gamaliel mengecup pipi Mikael lamat, ucapkan kalimat
apresiasi yang buat sang anak tatap sang ayah penuh bahagia.

“Now,” Gamaliel betulkan letak kacamatanya, menimang-


nimang apa pelajaran dasar yang harus Mikael pahami.

“Go introduce yourself,”

Mikael tersenyum bangga—tentunya hal ini ia hafal diluar


kepala.

“My name is Mik—” Ucapannya terputus kala Gama tepuk


pahanya.
254 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 255

“Japanese, baby.”

Sontak senyum Mikael memudar—pelajaran ini baru ia


hafalkan bersama sang ayah dua hari lalu, ia harus dibimbing sedikit
untuk ingat kalimat selanjutnya.

Gamaliel yang mulai tatap ponselnya karena sebuah notifikasi


dari Zavier mulai berdehem, menunggu jawaban yang lama dari
bilah bibir sang anak.

“Ha?” Gama berusaha bantu ingatkan sang anak.

Mikael tersenyum kala otak cerdiknya mulai berputar.

“Hajimamashite, watashino namaewa Mikael dess.” Jawaban


lantang yang keluar dari bilah bibir sang anak buat Gama kembali
bangga.

“Pinter anak papi, paling pinter.”

“Terakhir,” Jantung Mikael mulai berdegup kencang—ia


harap yang terakhir ini bukan tentang pelajaran renangnya—karena
ia benar-benar benci renang. Tak ingin olahraga ait tersebut.

“Counting,” Gamaliel yang seekali dahinya berkerut akibat


pesan yang ia terima tak tatap anaknya lurus.

“On mandarin,” Imbuhnya.

Hal pertama yang Ael lakukan untuk jawab pertanyaan


tersebut adalah, ia tarik napasnya panjang. Matanya terpejam untuk

255 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 256

ingat berbagai macam angka dalam mandarin yang gurunya sering


sebutkan.

“Yi, erl, san, si, wu, liu—eum, qi,b—” Lagi-lagi ucapannya


terputus kala sang Papi tatapnya nyalang.

“No eum—eum, jawab yang benar! Ael sering eum—eum jadi


diledek Yayah ‘kan?” Pertanyaan tersebut buat Mikael menunduk—
sedikit takut liat alis menukik dan nada tinggi sang Papi. Jemarinya
makin bertaut kuat.

Namun detik setelahnya sang Papi bawa punggung tangannya


untuk dikecup.

“Stop that bad habits ya, sayang? Ael anak pintar. No eum-
eum lagi kalau bicara, ok baby?”

Satu anggukan patuh Mikal berikan—meskipun hatinya


meletup-letup takut jika sang Papi kembali teriaki namanya seperti
waktu itu.

“Mana suaranya? Kalau Papinya tanya dijawab,”

“I-iya Papi, no eum-eum lagi.”

Pipi kanannya kembali dikecup, Mikael tatap sang Ayah yang


sudah tatap gusar hal lain—merasakan semuanya, rada tak beres.

****

256 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 257

“Apaansih?! Masa gitu aja marah?! Itu ciri khas anak kamu
kali.” Mikha tatap nyalang sang suami dari kasur, Gamaliel tak fokus
kearahnya—masih pada ponsel yang ada di genggamannya.

Gama hanya sesekali tatap Mikha—alisnya bertaut,


mendenguskan nafasnya.

“You must be thankyou to Mikael—karena aku sebenernya


marah sama kamu, bukan dia!”

Mikha semakin berkerut bingung, tak paham arahnya kemana.


“Hah?”

“Kamu nolak untuk dateng ke acara ulang tahunnya Kale?”

Deg.

Mikha gak pernah nyangka kalau Gama bisa tahu fakta yang
baru saja beberapa jam lalu ia tolak mentah—bahkan buat keributan
di grup yang dibuat Anya—dimana isinya hanya untuk jatuhkan
dirinya dan sang anak.

“Iya aku nolak, tapi karena besok Mikael sekolah, sayang?!


Kamu ngarep apa?”

“For god sake! Anak kamu masih empat tahun?!”

Denger jawaban Gama, Mikha mendengus, tangannya dilipat


di dada.

“Itu dia!”

257 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 258

“Kamu tau anakmu masih empat tahun, tapi kamu sekeras itu
tentang pendidikan, etika dan hal lain yang menurut aku—berlebihan
deh, Gam.”

Gama maju selangkah—dekatkan wajah tegasnya pada si


manis yang masih tatapnya tanpa gentar sedikit pun. Kacamata milik
Gama dibuka kasar oleh sang empunya sendiri.

“Itu karena Mikael was destined to be Salim, he must be perfect! Aku


gak akan biarin anak aku diinjek orang lain cuma karena terlalu
cengeng, gagap dalam menjawab dan ketinggalan masalah
pendidikan!”

Mikha makin majukan wajahnya, telisik netra hingga bibir


sang suami.

“Kamu lakuin itu untuk Mikael atau Salim? Kamu malu sama
anak kamu sendiri? Kita gak akan ributin hal ini lagi kan?”

Gamaliel kembali terkekeh,yang entah kenapa malah


terdengar begitu sinis.

“Terserah, susah ngomong sama kamu.” Tubuhnya


berbalik—hendak pergi keluar dari kamar.

“Kalo aku malu punya anak kayak dia—aku gak akan sekeras
ini.”

Langkahnya terhenti kala suara Mikha kembali balas


ucapannya.
258 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 259

“Justru kalo kamu gak malu, kamu gak akan sekeras ini, Gam.
Just enjoy our time, biarin Mikael tumbuh tanpa terpaksa. Tanpa
adanya tekanan—karena, kamu juga pernah ngerasain ‘kan?”

“Kenapa ulangin hal yang sama ke anakmu sendiri?”

“Kamu pernah liat Mikael terpaksa? Pernah liat anakmu itu


terpaksa main sama sepupunya sendiri?”

Jawaban dari Gama buat Mikha tarik kembali memori


singkatnya, jika dirangkumkan, Mikael memang terlihat begitu
excited ketika bermain dengan sanak sepupunya.

“He enjoyed it! Kalau kamu paham karakter anak kamu


sendiri, Mikha.. Mikael itu lebih seneng main sama keluargaku
dibanding temen-temen kamu!”

“Inget waktu dia dibuat malu sama Hazel? Apa dia benci
Hazel? He keep searching for Hazel in the first place! Padahal satu
sekolahnya sama anaknya temen-temen kamu!”

“Kamu daritadi mojokin aku seolah-olah aku ini kayak Papi,


bentuk Ael jadi anak keras dan punya ambisi gede—no! Aku lakuin
ini karena aku liat dia juga enjoy kok.”

Satu helaan napas buat Mikha tatap lurus sang suami yang
sudah berdiri diambang pintu. “Aku sama Ael pergi besok, kamu
gausah ikut. Aku paham—kamu emang gak pernah bisa coba untuk

259 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 260

membaur—dan aku gak akan maksain, Mik. Tapi jangan bawa anak
aku harus seperti kamu juga.”

Terdiam dalam seribu bahasa sudah jadi makanan Mikha


sehari-hari. Ia bukan tak bisa jawab semua asumsi dari sang suami—
namun lebih baik diam dan menurut. Karena bagaimanapun juga,
Gama memang bagian dari Salim. Karakter kuat yang sudah melekat
pada dirinya untuk merasa punya kekuasaan lebih dimanapun
dirinya berpijak.

****

“AYEEEEL,” Suara nyaring Hazel buat Mikael yang gandeng


erat tangan sang Papi mulai menengok, tatap lurus Hazel dengan
setelan gucci terbaru dari atas hingga bawah lengkap.

Keduanya sangat berbeda jika disandingkan. Mikael hanya


gunakan kaus polo hitam—sama persis dengan sang Papi dan celana
jeans yang melekat pada bagian bawah. Tak lupa sepatu nike air
force yang selalu Papinya bawakan apabila pulang dari Jepang
ataupun US. Begitu simple dan terlihat begitu ‘Gamaliel’.

“HAZEEL!” Ujarnya riang, minta izin sebentar pada sang


Papi untuk menghampiri Hazel, dan langsung lari menghampiri
Hazel begitu dapat izin.

260 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 261

“Cini! Aku baru dibeliin game VR sama Mami! Nanti kita


main dirumahku, yah!”

Mikael mengangguk senang—meskipun tak tau jenis mainan


apa yang disebutkan.

“Kamu punya apa?”

Menimang sebentar—Mikael akhirnya keluarkan kalung yang


melekat pada lehernya. “Ini, dari Yayah aku! Isinya foto Papi cama
aku!”

Hazel tatap bingung sepupunya. “Where’s the special about


that?”

“Yayah aku belinya di syopi, in the midnight! Aku ikut


tungguin! Ini dapetnya harus wal, teyus Yayahku dapet, halganya
Cuma 1K!” Hazael makin bingung—dimana letak luxury brand dari
benda tersebut—pelajaran dari ibunya nomor satu—luxury brand
tak dapat ditemukan di toko oren tersebut.

“Whatever—yayah kamu kinda weird!”

“Eung? Kenapa bilang gitu?”

Hazel majukan tubuhnya sedikit, berbisik tepat di telinga


Mikael.

“Psst! Yayah kamu buat Papi kamu jahat sama Mamiku dan
Uncle Vincent!”

261 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 262

Jawaban singkat Hazel itu bikin Mikael berkerut bingung,


tanya tak terjawab berputar pada pikirannya beberapa saat.

****

“Yeeel! Whatssup? Where is Mikha? I didn’t see him.” Anya


tatap sekeliling—yang ia lihat hanya beberapa kalangan artis dan A
list teman-teman terdekat Frey dan Vier.

“Gausah ditanya lah, kalau dateng cuma jadi a party


pooper,” Kali ini sang suami ikut nimbrung—dengan terkekeh
diakhir.

“Relax ya Yel, no hard feeling invloved, gue pure bercanda.”

Gamelie goyangkan perlahan gelas champagne miliknya—


tatap remeh dua pasangan di depannya. “Sure, sure. Paham kok
gue, An.”

Netra Gama berkeliling, cari presensi sang anak.

“Disana, sama Hazel and Kale.” Suara berat Zavier buatnya


menengok—ikut tersenyum canggung kala Vier mulai tepuk
bahunya.

“How’s life, Yel?”

“Good kok mas—Mikha, Ael, and company. Semuanya


lancar dan makin berkembang.”

262 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 263

“Loh Mikha mana?” Vier tatap sekeling—merasa bingung


cari presensi Mikha.

“Gak dateng mas, biasa.Cafenya hectic.”

Vier lagi-lagi tertawa, tepuk pelan bahu sang adik.

“Haha—oh iya café, kayaknya even if—kamu gak jadi duduk


jadi pewaris tunggal bisa lah ya hidup sama Mikha dengan punya
café aja?”

Gamaliel makin tertawa—terdengar sinis, buat tawa Zavier


jadi canggung.

“Bisa-bisa. Sayangnya, emang gak ada yang bisa geser Iel dari
kursi tunggal sih mas. Mikael was perfect too, I think he’s gonna
be the next person—eh gatau ya, Cuma prediksi aja haha.”

Gamaliel nampaknya makin bisa buat segala lawannya diam


tak berkutik, meskipun banyak hati yang perlu berkorban.

●●●

“Napa si lu? Bengong aje, kesambet tau rasa dah.” Kahfa yang
sibuk lap-lap meja karena café yang memang sudah masuk jam
closing buat mikha terperanjat.

“Menurut lu,” Mikha tatap kosong meja di hadapannya.

“Ael tuh, Gama banget apa gua banget?”

Pikirannya masih fokus terbagi, ingat ucapan Gama tadi siang.


263 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 264

Kahfa terdiam sebentar, tatap lurus Mikha. “Jawaban jujur ape


nyenengin nih?”

“Ya yang bener lah?”

Bangku merah di depan Mikha, Kahfa tarik. Ia duduk dan


tatap lekat sang sahabat dengan serius. “Mikael tuh,”

“Salim banget.” Kahfa sibuk buat pola abstrak di meja yang


entah kenapa—Mikha ikut terfokus pada titik tersebut.

“Gini-gini, pertama, anak lu ketaker banget lebih ke Gama


daripada lu,”

“Kedua, apa lu pernah liat anak lu se-excited dia mau ketemu


kakek neneknya, atau sepupunya? Anak lu tuh kayak punya dua
kepribadian, Mik. Asli dah,”

“Dia kalo main sama orang yang levelnya dibawah dia kalem
banget, Cuma ngamatin dan kayak—oh yaudah, lu gak spesial.”
Pandangan Kahfa bergulir; kembali tatap sang sahabat lamat.

“Tapi kalo mainnya sama sepupunya—kedengeran excited


banget, happy banget. Gua emang gak pernah liat langsung—tapi
Vincent sering cerita dan bagi sudut pandangnya ke gua. Makanya
gua bisa bilang gini,”

Kahfa tarik napasnya panjang sebelum lanjutkan kalimatnya.

264 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 265

“Terakhir nih, apa lu gak liat, anak lu ambis banget? Sorry kalo
omongan gua nyakitin. Tapi anak lu bener-bener tipikal anak yang
haus validasi—tapi cuma haus validasi bokapnya. Kalo dipuji orang
lain—ya yaudah, gak ngefek.”

“Salim banget kan, anak lu?”

265 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 266

A Cold War.
“Pada akhirnya, manusia memang hanya punya diri sendiri dititik terendah
dalam hidupnya.”

Ada alasan kuat kenapa Mikha gak pernah cerita bagaimana


keluarga besar Gamaliel perlakukannya bak sampah yang memang
tak seharusnya dianggap. Pertama, cintanya yang begitu kuat
melekat pada sang pangeran.

Yang kedua, ia harus temukan kehangatan layaknya keluarga


utuh dimana lagi kalau bukan karena ibu dan ayah dari Gamaliel—
dan keluarga lengkapnya yang baru saja kedatangan malaikat kecil?
Menurut Mikha, dikucilkan dan dianggap remeh itu masih gak
seberapa—jikalau dibandingkan harus kehilangan dunianya.

Segala remeh temeh seperti “Mik, how can my cousin love you that
much? Are you that “good” in the bed? Because—gue gak nemu kelebihan lo
dimana.” Udah jadi makanan sehari-harinya. Tapi, kejadian terakhir
dimana Anya injak-injak harga diri anaknya benar-benar buat Mikha
kepalang marah hingga lepas kendali dan tak izinkan sang anak
untuk datang ke ulang tahun sepupunya, Kale.

(Baca few tweets terakhir tentang group Mikha, Frey, Anya.)

266 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 267

Mikha ingat dengan jelas, Mikael benar-benar marah begitu


Mikha larang keras dirinya untuk datang ke ulang tahun Kale—
setelah akhirnya, Ia diselamatkan oleh sang Papi.

“Ayel maunya ke Kale! Bukan cekola, Miko!” Kala itu Mikha


kelewat marah—hatinya merasa sakit entah kenapa begitu Mikael
lebih memilih keluarga brengsek itu ketimbang dirinya. Mikha emang
gak pernah kasih hukuman seberat Gama—tapi dia merupakan
tipikal yang meledak-ledak.

“Nakal! Kamu lebih pilih dateng ke acara ulang tahun demi


sekolah? Emang itu gambarin kalau kamu anak pintar? Aku bilangin
Papi kamu ya?” Ujungnya, Mikael akan menangis—karena hanya
berani menangis di depan Mikha dan buat Mikha merasakan sakit.

Mikha duduk di sofa ruang tamu, seraya tonton kartun favorti


milik anaknya—timmy time yang sangat gambarkan karakter sang
dimana suka mencebik dan begitu riang. Sesekali ia ikut tersenyum
begitu domba kecil itu merengut—terbayang suara sang anak.

“Eung? Miko nakal!”

Tapi, ucapan Kahfa sebelum ia pulang benar-benar buka


pikirannya; bahwa Mikael benar-benar cucu Salim. Kalau
dirangkum lagi, Mikael benar-benar begitu excited sebelum bertemu
Hazel, ia bahkan dapat pilih sendiri pakaiannya—beda ketika Mikha

267 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 268

ajaknya jalan-jalan untuk cari jajanan bersama Vino ataupun Rahes.


Ael, bener-bener gak punya selera untuk seriang itu.

Suara pintu dan pin yang jadi penanda ada manusia lain buat
Mikha terperanjat; buru-buru kearah pintu dan sambut dua
dunianya.

“UDAH PUL—” Ucapanya terputus kala ia lihat Gama dan


Mikael yang tertidur di bahu, suaranya mengecil dan mendekat
kearah Gama.

“Sini aku gendong?” Gamaliel hanya tatap Mikha dingin—tak


ingin banyak interaksi setelah perdebatan kecilnya tadi siang.

Punggung lebar milik Gama menjauh, ucapannya seolah angin


lalu. Gama bawa Mikael untuk pergi ke bagian atas—dimana kamar
anaknya terletak. Mikha hanya bisa gigit bibir bawahnya kuat, emang
salahnya juga terlalu maksain Mikael untuk ikuti maunya.

“At least, biarin gua cium anak gua kek, dikit.”

Mikha hela nafasnya, pasrah. Dia benaran emang merasa


“salah” kali ini, meskipun penolkannya gak bisa dibilang salah—tapi
buat halang kebahagiaan anaknya; itu benar adanaya. Mikha harus
lebih lapang mengetahui fakta dimana anaknya itu emang benar-
benar seorang Salim.

Gemblooong

Tidur sendiri.
268 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 269

Renungin kesalahan kamu, aku tidur sama Ael. Jangan harap bisa masuk
kesini.

Gapapa ‘kan semalaman tidur bersama si buntal kecil, Juwiw?”

Pagi itu semuanya berjalan begitu sunyi, hanya dentingan


suara piring dan tiga orang yang sibuk habisi sarapannya masing-
masing. Biasanya, Mikha akan terus bicara meskipun dua dunianya
akan tetap diam sampai makanannya habis.

“Papi, Ayel mamau cekola!” Mikael topang dagunya, roti


sandwich yang dibuat Ayahnya hanya dimakan seperempat. Buat
Mikha maupun Gama menengok, kaget denger jawaban si kecil.

“Why? Kemarin kan sudah bolos,” Gama tatap lurus sang


anak, tangannya bergerak untuk tegakkan tubuh Mikael dan bantu
suapi anak manisnya dengan potongan besar roti.

Mikael menurut—ia buka lebar mulutnya, kunyah


sandwichnya dengan baik. Lalu, ketika habis, birainya kembali lagi
berikan alasan.

“Ayel gacuka cekola itu, Papi. Ayel mau cekola cama Hazel,”
Netranya mengerjap, bibinya mengerucut—seolah jadi manusia
paling sedih di dunia ini.

Gamaliel hendak menjawab sebelum akhirnya suara


dentingan keras kejutkan keduanya.

269 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 270

Mikael dan Gamaliel menengok ke sumber suara. Disana ada


Mikha yang air matanya sudah menggenang di pelupuk dengan
sendok yang sengaja ia jatuhkan.

“HAZEL HAZEL TERUS, EMANGNYA HAZEL KASIH


KAMU APA?”

Suara menggelegar Mikha buat keduanya terkejut. Mikha


benar-benar rasakan getar—begitupula Gama ketika lihat si manis
tatap nyalang anaknya.

“JAWAB!”

Mikael tatap Papinya sebentar—yang terlihat masih shock


tatap Ayahnya, dirinya menunduk dan gigit bawahnya kuat. Bingung
harus jelaskan alasan sebenarnya atau tidak.

“MIKAEL OSSHAKA!” Gama benar-benar tutup mulutnya


rapat, biarkan Mikha dengar sendiri alasan sang anak.

Mikael dengan takut mulai tatap takut sang Ayah. Telunjuknya


mulai ia angkat dan taruh di depan bibir. “E-eung? Anak pungut itu
apa? Temen-temen Ayel cuka bilang Ayel anak pungut. Ayel nda
cuka, Ayel itu anaknya Iel, bukan anaknya pungut.”

Deg.

Baik Mikha maupun Gama langsung rasakan tubuhnya


menegang seketika begitu Mikael tatap nanar kedua orang tuanya.

270 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 271

Rasa marah yang membuncah tersimpan dalam relung hati—


meskipun penyampaiannya mungkin akan berbeda.

Emosi Gama benar-benar tak terbendung, kain lap yang biasa


digunakan untuk seka bibirnya dilempar asal ke hadapan Mikha.
Dari dulu, Gama memang bersikeras daftarkan Mikael di private
school layaknya Hazel, orang-orangnya tentu lebih beretika
mengingat keluarganya yang sama terpandang.

“See? LIAT GAK APA AKIBATNYA KARENA KAMU


SUKA NGELAKUIN SEMUANYA SEMAU KAMU
SENDIRI?” Gamaliel tatap lurus si manis dengan nafas yang
tersengal—benar-benar kecewa bukan main.

“Kalo mau berantem di kamar aja, gausah didepan, Ael. Jelek


tau gak adat lu?”

Mikael dengan takut mulai tutup telinganya—tak ingin dengar


perdebatan kedua orang tuanya.

“Iya kamu selalu kayak gini, selalu jadi yang paling santai
meskipun kamu tau we’re not fine! Anak kamu kena bullying dan
kamu bahkan gak tau apa-apa?! Thanks to Hazel because he make
my baby open up.”

Dengan langkah cepat, Gama bawa berdiri dan tuntun Mikael


untuk segera pergi. Namun, Mikha dengan cepat cekal pergelangan
tangan si kecil begitu Mikael lewat tepat didepannya.

271 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 272

“Biar aku yang urus,” Mikael terlihat enggan—masih berusaha


lepaskan cekalan dan ikut Papinya yang berjalan beberapa senti.

“Aa-ahh! Cakit, mau cama Papi!” Mikha mungkin terlalu


kasar—sehingga Mikael rasakan tangannya begitu ditekan.

“Lepas, Ael biar sama aku, I’m gonna take care all of this.”
Gama, hempaskan kasar tangan si manis, dari tangan anaknya,
namun Mikha tetap teguh, tubuh kecil Ael diangkat dan dibawa
menjauh—masuk kedalam kamar.

“MIKHA!”

Mikael benar-benar rasakan jantungnya berdegup kencang, ia


tak suka berada di posisi ini. Begitu tidak nyaman. Pengakuannya
tadi, nampaknya yang jadi alasan utama mengapa Papa dan Papinya
berada di posisi seperti ini.

Mikha kunci pintu kamarnya—tak peduli dengan gedoran


keras dan ancaman Gama. Mikael yang sudah menangis histeris
dibiarkan duduk di kasur. Mikha mulai duduk dibawahnya. Tatapan
sendu dan pilu dari Mikael buat Mikha rasakan hatinya hancur
berkeping. Tangis tak berhenti keluar dari netra sang anak.

“Hiks! Mau cama Papi! Hhiks! Ayel so sowy, Yayah!” Dengar


anaknya minta maaf entah mengapa—tangisannya luruh. Mikha
ikut menangis di kaki si kecil. Buat Mikael semakin bingung dan

272 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 273

hapus tangisannya dengan telapak meskipun isaknya masih


terdengar.

“A-ael gak s-salah, yang salah Miko. Jangan panggil—ayah,


aku emang gak pantes jadi ayahnya kamu, maaf ya?”

Suara tangisan semakin terdengar, buat Gama dari luar


ruangan dengan pikiran pendeknya mulai buka paksa pintu kamar
utamanya. “Mik? Buka or im gonna break this door?”

Mikha bener-bener gak peduli lagi dengan keadaan sekitar.


Rasa bersalahnya sama Ael buatnya sesak bukan main. Hatinya
benar-benar teriris. Ia begitu paham bagaimana rasanya diteriaki
anak pungut oleh mulut kotor manusia yang penuh dengki.

“Mikha anak pungut!”

“Mikha gapunya ibu!”

“Mikha ambil ibunya Jio!”

Mikael tangkup wajah ayahnya, tatap lamat laki-laki manis


tersebut.

“K-kok kamu yang n-nangis?” Ujarnya polos, mengerjap


beberapa kali.

Mikha menggeleng, tatap anaknya lurus dan kecupi bagian


dengkul Mikael.

“Yang bilang Ael anak pungut siapa?”

273 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 274

Mikael tampak berpikir sebentar, tatap sekeliling kamar kedua


orangtuanya. Meskipun tubuhnya kecil, pikirnya panjang. Ia tak
ingin kedua ayahnya kembali bertengkar.

Senyumnya merekah meskipun hidungnya merah dan


matanya dipenuhi air.

“Euuung, A-ael lupa, hehe.”

“Mikael Osshaka,”

“Ael lupa, Yaah.”

Sebelum Mikha jawab pernyataan anaknya, pintu utamanya


tiba-tiba dibuka paksa. Disana ada Gamaliel dengan tatapan nyalang
dan lurus. Tatap Mikha penuh amarah yang membuncah.

Gama langkahkan kakinya dengan cepat menuju Mikael,


angkat tubuh kecilnya dengan tas yang terdapat tepat disampingnya.

“I told you many times, to do whatever I said, sekarang liat


kan, anak kamu jadi rasain apa yang kamu rasain?”

Mikha mengepalkan tangannya kuat, menurutnya ucapan


Gama kali ini beneran kelewat batas. Seluruh tubuhnya bergetar kala
si kecil mulai kembali menangis.

“E-eung, jangan marahin Yayah, Papi. Ael yang lupa, huaa!”

274 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 275

“No, no.. bukan salah Ael, Ael sekolah ya hari ini? Say
goodbye sama temen-temennya Ael. Ael mau satu sekolah sama
Hazel kan?”

Sorot sendunya berubah jadi penuh binar kala Papinya bilang


ini hari terakhirnya untuk kembali ke sekolah. “M-mau! Mau cama
Hazel!”

Gama hendak tinggalkan ruangan tersebut, sebelum akhirnya


Mikha berdiri dan tarik lengannya kuat.

“Yang salah bukan Ael, yang salah mereka, kenapa harus anak
gua yang pindah?”

Netra Mikael kembali bergulir tatap sang Ayah dan Papinya


bergantian, bingung dengan maksud dari ayahnya.

“Biar aku yang urus,”

Tubuh Mikael kembali Mikha bopong untuk pergi, tinggalkan


Gamaliel sendirian dengan beribu tanya yang tak terjawab. Entah
langkah selanjutnya apa, tapi yang jelas, rasa kecewanya pada Mikha
itu begitu besar dan menjalar.

****

Ruangan putih dengan banyak lembar dan dokumen


berserakan jadi tempat kedua yang Mikha kunjungi setelah datang
ke sekolah Mikael. Kedua sahabatnya, Julia dan Putra tak ada yang

275 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 276

berani ajak Mikha bicara begitu lihat rahang mengeras dan wajah
Mikael yang bengkak karena menangis.

“Pagi, bapak. Ada yang bisa saya bantu?” Suara perempuan


mengalun lembut, tatap Mikha dengan penuh binar kala ia tahu
siapa seorang Mikhailan Shaka.

“Ibu wali kelasnya anak saya?”

“E-eh, Iya pak.”

Mikha tatap guru tersebut aneh, keningnya berkerut kala ia


lihat Saras, wali kelas dari Mikael menatapnya takut.

“Gausah takut bu, saya cuma mau tanya,”

“Anak saya…apa punya teman?” Ucapnya sedikit getar di


akhir.

Saras membuang pandanganya, tatap seisi ruang guru dengan


takut.

“Bu?”

Mikha makin curiga kala Saras gigit bibir bawahnya takut.

“A-ah iya pak, jadi gini..”

Saras mulai buka ponselnya, perlihatkan lima foto yang buat


Mikha sukses membulatkan netranya—jantungnya seolah berhenti
berdetak hingga rasanya pasokan udara disekelilingnya ikut menipis.

276 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 277

Meja sang anak hingga bukunya penuh coretan ‘Anak Pungut’


dan coretan gambar bentuk monster. Tak heran anaknya begitu
takut hingga ingin pindah sekolah.

Mikha naikkan satu alisnya, tatap lurus Saras.

Raut wajah Saras pucat pasi “Sebenarnya saya sebagai wali


kelas mau memohon maaf karena bukannya saya gak tanggap, saya
minta maaf atas nama murid saya pak.”

“Tapi saya sudah berusaha sebisa mungkin untuk bicara pada


orang tua dari Keano—anak yang sebut Mikael seperti itu, Pak.
Namun, orang tuanya gak setuju kalau anaknya salah, saya minta
maaf sekali lagi pak.”

Mikha gigit bibir bawahnya kuat, tangannya terkepal dibawah


meja menahan segala emosi membuncah. “Orang tuanya, siapa?”

Seringai senyum terpatri di wajah Mikha begitu sang guru


sebut nama orang tua dari pembully Mikael. Giginya bergemelatuk,
ide gila mulai terlintas. Mikha akan tunjukkan pada dunia bahwa
anak ‘itu’ akan dapatkan hukuman yang setimpal—atau mungkin
jauh lebih sakit.

Pada dasarnya, Mikhailan bukan sosok yang suka pada anak


kecil jadi ia tak akan pandang bulu.

●●●

277 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 278

Bel istirahat berbunyi, Mikael tatap malas seisi ruang kelasnya.


Ia ingat dengan jelas foto kelas milik sepepunya, Hazel. Sangat
kontras, begitu berwarna, banyak tempelan bintang yang buat anak-
anaknya berebut kumpulkan banyak bintang untuk jadi murid
terbaik. Bibirnya mencebik, tatap malas bekal yang disiapkan
Ayahnya.

Segerombloan anak datangi meja Mikael sebelum ia sempat


buka tempat makannya. Yang miliki badan paling besar melipat
tangannya di dada, tatap remeh sang manusia yang lebih mungil.

“Eh, anak pungut! Kamu mau makan ya?”

Mikael tatap sebal presensi laki-laki di hadapannya, “Ayel, A-


E-L bukan anak pungut tauuu!” Bibirnya mengercut, alisnya bertaut.

“Kamu itu anak pungut! Dipungut dari jal—” Ucapannya


terputus kala tiba-tiba ruangan kelasnya kedatangan satu laki-laki
manis yang bawa banyak box pizza ditangan sibuk sapa satu-satu
murid yang lewat dan tatapnya bingung.

“HIII SEMUAA, SIAPA YANG MAU PIZZA?” Suara


nyaring menggelegar buat Mikael berdiri, ia kenal betul pemilik
suara ini—namun rasanya aneh karena begitu ramah.

“Aku mauuuu!” Ucap Keano dan kelima temannya yang


mengikuti dibelakang, dengan senyuman paling lebar.

278 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 279

Mikha sunggingkan senyumnya, tatap Mikael yang sudah tatap


Keano dengan bibir yang mengerucut lucu. Gak rela Ayahnya itu
beri sesuatu untuk anak nakal.

“Ada syaratnya kalo mau pizza,”

“Apaa om, apaaa! Atu mauuu!”

Mikha hampiri sang anak, tuntun manusia mungil tersebut


kearah depan, buat teman sekelasnya berkerut. “Yang mau pizza,
coba angkat tangan dulu, siapa disini yang mau jadi temen Mikael?”

Mikael mengerjapkan matanya, tatap Ayahnya dengan penuh


binar kaget.

Sontak seisi kelas mulai angkat tangannya, termasuk kelima


teman Keano, buat Keano mengernyit dan tatap nyalang kelima
temannya. Diantara semuanya, hanya Keano yan gak angkat tangan.
Buat Mikha segera menunduk dan tatap lurus sang anak.

“Halo, kamu namanya siapa?”

Keano lipat tanganya di dada. “Keano Alfarezz Djatmika,”

“Papaku jendral polisi!”

Sontak tawa yang Mikha tahan keluar. “Pfft, Jendral apaan?


Bapak lu mah jendral abal-abal!”

“Maksudnya kamu? Papaku bisa tangkap kamu tau! Bisa


ditembak!”

279 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 280

Mikha tatap kembali anaknya yang sudah menunduk, memilin


ujung seragamnya karena takut.

Telunjuknya ia taruh didepan bibir, kembali tirukan sang anak.


“Eung? Gimana ya? Aku jadi takut,”

Mikha kembali berdiri pizza yang ada ditangan, mulai diangkat


tinggi.

“Kalo gitu, yang mau pizza jangan temenin Keano ya! Dia
nakal! Papanya suka tembak-tembak orang.”

Mikha mulai tuntun kembali tangan sang anak. Buat si kecil


kembali mendangak

“Hii~ Keano anak tukang tembak! Anak pencuri! Papa kamu


kan mencuri uang rakyat, Hiii~”

Suara nyaring milik salah satu anak perempuan buat seisi kelas
menengok.

“Ih! Keano! Kamu sering bilang Ael anak pungut, tapi kamu
anak pencuri!”

Sontak satu kelas mulai soraki bocah mungil berbadan besar


dengan kuat. Buat si kecil itu mulai menangis hebat—sama seperti
bagaimana Mikael dan Mikha menangis tadi pagi—bahkan lebih
hebat.

280 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 281

Mikha mulai berjongkok, tatap Mikael dengan sorot yang


penuh ketulusan. Alis Mikael bertaut, tunjukan raut takut.

“Ael gaboleh takut lagi, karena Ael bukan anak pungut, tapi?”

Birai Mikael mulai terbuka, jawabannya buat Mikha rasakan


haru hingga berikan satu kecupan lama di pipi.

“Mikayel, anaknya Mikha cama Iyel.”

Mikha jaga anaknya sepenuh hati, karena cuma Mikael yang


bisa buat Mikha jatuh sama sosok kecil yang selalu ia benci
presensinya sedari dulu.

281 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 282

Froggy Frog Promise


“Janji dua kodok agar pangeran tetap bahagia..”

Konsep mencintai bagi tiap insan di dunia ini miliki banyak


artian berbeda. Dalam kamus hidupnya, Gama dan Mikha punya
konsep mencintai begitu ekstrem. Segala badai dan angin kencang
diterpa, bagaikan tak kenal takut dan gentar. Dunia mungkin lihat
Gamaliel jauh mencintai Mikha dibandingkan dirinya sendiri.
Namun, sejatinya mereka berdua berada di level yang sama; saking
cintanya, bahkan logika tak berjalan.

Setelah kedatangan satu malaikat kecil, rasa cintanya gak


hanya tersalur untuk masing-masing, keduanya juga cintai sosok
kecil itu—diluar nalar. Kejadian terakhir yang kemarin buat anaknya
takut dan ingin pindah sekolah gak hanya buat Mikha spaneng. Gama
juga ikut geram hingga buat satu gebrakan.

“Jendral Djatmika?” Gama tatap sang panglima dengan


senyuman hangat terpatri. Sosok lawan bicara di hadapannya agak
getar ketika dihadapkan dengan sosok muda yang dikenal seluruh
negeri.

“Wah, iya benar…Mas Gamaliel? Ada kepeluan apa mas


sampe repot-repot datang ke kantor? Di jam makan siang lagi..”

282 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 283

Senyumnya terpatri, paham mungkin sang pangeran dalam negeri


ini ingin minta bantuan yang butuhkan—uang lebih dibelakangnya.

“Eh duduk dulu mas, saya jadi merasa tersanjung..” Djatmika


berikan kode untuk anak buahnya bukakan bangku, untuk Gamaliel
segera duduk.

“Hmm, Thankyou, Pak.”

Gamaliel tatap sekeliling ruangan besar tersebut, senyum


liciknya terpatri disana.

“Ada keperluan apa ya mas?”

“Saya to the point saja ya, Pak?”

Djatmika yang lihat Gamaliel mulai buka ponselnya,


mengangguk bersemangat. Sosok itu benar-benar kelihatan
berkharisma dimatanya. Ingin rasanya ia jodohkan dengan sang adik
yang masih lajang. Namun sayang seribu sayang, jari manisnya
terselip cincin nikah dan bagian daun telinga atasnya terdapat anting
kecil berbentuk ‘M’. Seolah tunjukan pada dunia bahwa hatinya
telah berpenghuni.

“Ini, anak bapak kan?” Gamaliel lemparkan ponselnya asal


pada pria bertubuh gemuk dihadapannya.

Djatmika buru-buru ambil ponsel tersebut, tatap foto


didalamnya.

283 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 284

“Ee-eh iya, Mas. Kenapa ya?”

Jemari Gamaliel mengetuk, netranya tatap Djatmika nyalang.

“Disekolah anak saya,”

“Ada satu anak yang berani sebut dia ‘Anak pungut’ dan
orangtuanya gak setuju apabila anak tersebut segera ucap maaf.”

Gamaliel mulai berdiri, rogoh saku kemejanya. “Jadi saya


datang ke kantor orang tuanya—buat liat seberapa besar
pengaruhnya terhadap dunia sampai berani sakiti anak saya.”

Netranya begulir, tatap Djatmika yang sudah bergetar.


“Ternyata, cuma Jendral kepolisian? Haha,”

Suasana makin mencekam kala Gama mulai gebrakan meja


kaca milik Djatmika kuat. “Inimah gak ada apa-apanya!”

“Saya bisa beli jabatan bapak—kalau saya mau.”

Djatmika—benar-benar diam tak berkutik. Kilas balik dimana


betapa besar kepala dirinya buatnya menyesal bukan main. Ia salah
sasaran, jabatannya itu—gak selamanya bisa menangkan dunia.

Gamaliel mulai longgarkan dasinya—kembali tampilkan


seringai senyum yang buat Djatmika kembali bergetar. “Gini aja,”

“Anak bapak yang pindah dari sekolah itu,” Gamaliel


melangkah semakin dekat.

“Atau bapak yang pindah? Mungkin berminat jadi polantas?”


284 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 285

Konsep cinta yang butakan hati hingga hilangkan logika


memang benar gambarkan keduanya. Mikael—jadi anak beruntung
yang dicintai sebegitunya oleh kedua orangtuanya.

****

Lain orang tentu lain cerita, Mikha begitu cintai Gama hingga
relakan segenap jiwa dan raganya demi tetap jaga hubungannya
bersama sang pangeran; Gamaliel Ossa Salim. Banyak pihak yang
buat hatinya teriris—namun beneran gak terlalu diambil pusing
karena yang penting—Ia dan Gama tetap bersatu.

Kali ini, dirinya harus hadiri jamuan makan siang yang


diundang ole Frey—saudara ipar Gama. Mereka bersepakat untuk
bawa anak masing-masing; tentunya Mikha yakini untuk aksi unjuk
gigi—siapa yang terhebat dan siapa yang paling lemah.

“Duh, gue pusing deh, Kak. Hazel tuh banyak banget


talentnya. Kemarin nyanyi—sekarang, dia pengen dance, terus
beberapa waktu lalu pengen skating. Kayak—im wondering, dia
anak siapa sih?”

Frey yang duduk sembari putar margarite glassnya mulai tatap


Anya dengan semburat senyum diwajah.

“He was born to be Salim.” Frey jawab begitu santai, netranya


bergulir kearah Mikha yang hanya fokus tatap anaknya—bermain
VR bersama Hazel dan Kale.

285 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 286

“Bengong aja lo,”

“Gak pernah ya liat VR Games secara langsung? Pft,”

Mikha yang dengar sindiran halus Anya memandangnya tak


minat, tangannya menopang dagu. “Pernah gak pernah juga
bodoamat,”

“Cuma takut anak gua kecanduan gadget kayak anak lu,”

Frey mulai tatap aneh yang paling muda diantara mereka,


gelasnya diletakkan kasar.

“Sorry? Kale punya screentime kok. Jangan asal ya kalo


ngomong.”

Mikha memutar matanya malas, “Oh iya-iya. Ini kapan


baliknya ya?”

Anya mulai menautkan alisnya, tatap Mikha nyalang. “Lo balik


aja duluan, gaada yang pengen lo dateng juga.”

“Nanti kalo gua gamau dateng ngadu ke Gama.” Mikha


berdehem sebentar sebelum akhirnya tirukan mimik bicara Anya.

“IYEL, KENAPA DEH SI MIKHA GAMAU DIAJAK


PERGI?” Bibirnya mencebik, benar-benar terlihat seperti Anya.

Hazel yang lihat hal tersebut mulai memekik—tertawa keras


hingga buat ibunya marah. “HAHAHAH! IH UNCLE MIK JUST
LIKE MY MOM!”

286 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 287

Mikael dan Kale yang duduk disebelah Hazel mulai tatap


bingung. Namun sedetik kemudian, kembali terfokus pada games di
depannya.

“Lo tuh,”

“Emang ya paling nomor satu kalo malu-maluin orang?”

Anya kembali tatap Mikha nyalang, makin dekatkan tubuhnya.


Telunjuknya naik untuk dorong kuat dahi milik Mikha.

“Sampah,”

“Bahkan Iel aja sering lo bikin malu!”

Telunjuknya turun kearah bahu, tak peduli tatapan tak minat


dari Mikha, bahunya didorong kuat. “Lo harusnya malu jadi bagian
dari kita semua, diajak ngomong aja gak pernah nyambung.”

Seringai senyum kembali tampak pada wajah Zevanya, “Lo


bahkan gak tau, seberapa bencinya kakek sama nenek gue sama sampah
kayak lo.”

Sejujurnya, Mikha benar-benar lelah berada di fase ini. Untuk


balas tatapan nyalang Anya aja, dia gak selera.

“Gak mereka doang,”

“Gua juga benci tiap-tiap dari lu semua,”

“Makanya—jangan pernah usik gua sama anak gua lagi.


Gua—beneran capek.”
287 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 288

Topeng sok kuatnya itu, mulai melemah didepan


lawan.

●●●

Sepulang keduanya dari rumah Anya, keduanya bebersih dan


tidur di ranjang besar milik Gama dan Mikha. Hari in memang
jadwal untuk tidur bertiga—meskipun hubungan kedua ayahnya
sedang dalam kondisi dingin.

Malam itu—Mikha benar-benar dalam kondisi yang mellow.


Mikael hanya elus-elus pergelangan tangannya seraya fokus pada
buku dongeng miliknya—dibaca sendiri. Namun, air matanya
perlahan turun—rasanya begitu hangat kala ia sudah lama tak
dapat sentuhan dan afeksi dari sang suami.

“Miko!”

“Iya, eldut?’

“Kenapa Miko cayang Papi?”

Mikha usap air mata yang mengalir, pura-pura berpikir


sebentar.

“Ya, karena itu Papi. Kalo itu badut mah aku gak suka
dong?” Jawaban Mikha itu buat Mikael terkekeh—si gemas itu
berhasil buat Mikha curi satu kecupan di pipi.

288 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 289

Setelah puas tertawa, keduanya mulai terdiam—sama-sama


lihat jenis-jenis dinosaurus di buku milik Mikael.

“Hmm, kalo Papi cayang kamu kalena kamu dunianya Papi,”

Mikha mengerjapkan matanya—dengar pengakuan anaknya


barusan itu buat hatinya begemuruh.

“Kata Papi, kalau kamu cedih—belalti dunianya hancurlrlr! Booom!


Gitu!”

Mikael mungkin gak sadar kalau Ayahnya itu sekarang sedang mati-
matian tahan tangisnya, meskipun airmatanya sudah menggenang
dipelupuk. Ia benar-benar rindu sang suami. Kala dunianya hancur,
ia harus berbagi kemana kalau bukan Gama?

“Eh anak kodok,”

“Hmmm?”

“Janji ya sama aku, kalau ada yang jahatin kamu, kamu harus
cerita sama aku ya. Jangan ke Papi kamu!”

Karena cuma kita yang bisa paham satu sama lain.

“Tenapa?”

“Ini Janji dua kodok biar pangeran tetap bahagia,”

Mikael mulai kaitkan jarinya pada si induk kodok, “Janjiiii.”

289 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 290

290 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 291

Blood Are Thicker Than Water.


“Keluarga diatas segalanya.”

Hari demi hari berlalu sabtu pagi kali ini, mentari begitu cerah,
sinarnya mampu buat sosok yang hidup dibumi ikut ceria. Namun,
tak semua tentunya. Mikha jadi sosok yang terlihat murung dan
banyak diam kala weekend ini ia harus gunakan kembali topengnya;
bertemu dengan anggota Salim lengkap—hingga ke akar.

Keluarga kaya itu benar-benar bisa lakukan apa saja—jika


ingin pun, Bumi mungkin akan siap dibeli. Karena untuk sekelas
liburan ke Bali saja mereka gunakan jet pribadi. Mikha benar-benar
gak terpukau sama sekali, ia jadi satu-satunya sosok yang gak tertarik
buat ngobrol ataupun interaksi. Hanya duduk dipojok belakang,
karena Gamaliel lebih pilih untuk duduk bersama Ibunya dan Ael.
Mungkin, jika ada Gandhy disini ia tak begitu murung. Namun,
sayangnya Gandhy tak bisa ikut karena sedang hadiri pertemuan
penting di Surabaya.

“Sooo, hi? I guess?” Vincent yang entah darimana datang dan


duduk dihadapannya. Tatap sekeliling kursi yang didudukinya.

“Kosong kan?” Mikha gak gubris, bibirnya sudah terlihat


pucat.

“Kenapa nih, tuan muda kok pucet banget?”

291 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 292

Airpods yang tersampir di telinganya perlahan dilepas kasar


karena risih.

“Lu bisa diem gak?”

Vincent terkekeh, tatap remeh si manis.

“Gue gak mau ngajak ribut kok, justru gue mau nawarin lo
sesuatu.”

“Apapun itu—gue gak minat.”

Vincent tutup birainya dengan jemari, topang dagunya disana.

“This is about you—and Mikael, serius gak mau denger dulu?”

Netranya bergulir, menatap Vincent dengan sorot penuh


tanya. “5 Menit.”

****

Sukses tempuh perjalanan sekitar tiga jam sepuluh menit,


akhirnya keluarga itu sampai di pulau Dewata, Bali. Masing-masing
diantaranya diberikan waktu dua jam untuk istriahat sebentar—
sebelum lajuntkan perjalanan ke Sacred Forest Monkey yang
letaknya di Ubud.

Gamaliel bawa anaknya yang tertidur di bahu begitu sampai


tepat didepan hotel. Meskipun dalam keadaan yang tegang—ia tetap
kaitkan tangannya erat pada si manis, agar tetap berada dalam
jangkauan.

292 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 293

“Nanti disana gak usah jauh-jauh dari aku,” Ujarnya dingin,


tanpa menoleh sedikitpun kearah Mikha.

Sebisa mungkin ia balas dengan halus. Telapak milik Gama


diusap.

“Iyaa, ayang.”

Meskipun sama sekali tar berbalas hangat, Mikha tetap tatap


tulus sang suami yang tak minat liat wajahnya.

“Gama,”

“Hm?”

“Nanti aku boleh dikamar aja, gak?”

Jemari tangan Mikha perlahan dilepaskan, rahang milik Gama


kembali mengeras begitu dengar pernyataan tersebut.

“Terus, guna kamu ikut apa? Could you please respect my family?”
Mikha kembali tatap lurus netra yang tatapnya penuh benci.

“Serius Mik, kamu liat kebaikan keluargaku, gak sih?”

“Mereka berusaha buka dirinya sama kamu, berusaha deket.


Kenapa kamuya susah banget buat terima dan ikut membaur?”

Netra Mikha mulai bergulir kearah telapak milik Gama,


kembali tautkan jemarinya. “Jangan dilepas lagi,”

293 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 294

Sayang, seribu sayang, Gama kembali lepaskan tautan


tersebut. Moodnya benar-benar hancur kala pertanyaanya tak
terjawab.

“Terserah ikut apa enggak. I don’t fucking care anymore.”

****

Villa besar milik Gandhian Salim yang letaknya di sekitar


Ubud itu nampaknya cukup buat ketiga sosok mungil begitu
bahagia. Ketiganya sibuk bermain lari-larian sebelum akhirnya
sepeda roda dua yang dirental khusus untuk ketiganya datang.

Mikael tatap kecewa sepeda kecil dengan kantung yang


berbentuk moncong bebek.

“K-kok lodanya dua?” Ujarnya telisik sepeda tersebut.

“Emangnya, Ael gabica?” Kale tatap bingung sepupunya.

“Ndaa! Aku bicanya loda 3,”

“Ael Payah!”

Mikael tatap Hazel lamat, ia gak suka disebut ‘payah’. Karena


kalau Papinya dengar, mungkin akan kecewa meskipun sebenarnya
tak masalah.

“Aku enggak payah!”

“Payah! Kamu gak bisa naik sepeda roda dua!”

294 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 295

Hazel tatap Kale dengan dagu yang mendangak. “Kalah sama


kale yang suka ngompol. Kale aja bisa!”

“Hehe, aku lebih hebat dari Ael kan?”

Hazel mengangguk kuat, buat si lucu Mikael mencebikkan


bibir.

“Yang gak mau balapan, berarti dia payah! Aku gak mau
sepupuan sama orang payah! Ew~ disgusting.”

“Me too!” Kale ikut menambahkan, buat jantung Mikael


berdegup kencang.

Mikael kembali tatap dua sepupunya takut, “Y-yaudah Ayel


mau.”

****

“Tumben,” Bariton rendah Vincent kejutkan Gama yang


sedang nikmati martininya di pinggir kolam, tatap kosong
pemandangan di hadapannya.

“Mana Mikha? Biasanya paling gabisa lepas. You’re gonna use


this place to fuck.”

“Sama Ael, di belakang.”

“Lagi ribut ya lo?”

Gama hela nafasnya panjang, “Gatau,”

295 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 296

“Susah banget ya dia membaur sama lo semua?”

Tawa Vincent mengudara, “Like what I said, he’s not suit us.”

“Gue paling tau Anya, dia berusaha sebisa mungkin buat


deket sama lo.”

Birai Gama mulai terbuka sebelum akhirnya ia dengar teriakan


dari dalam Villa.

“LO GILA YA?”

Suara Zevanya menggelegar, buat Vincent maupun Gamaliel


mulai melangkahkan kakinya kedalam, dengan rasa penasaran yang
membuncah. Bingung ada persitiwa apa yang terjadi.

Begitu sukses masuk, Gamaliel dan Vincent bisa lihat dengan


jelas bahwa di sofa panjang ada Hazel yang tebaring lemah dengan
kepala yang benjol dan lutut dengan luka basah; buat siapapun yang
liatnya meringis ngilu.

Disampingnya ada Kale yang menangis hebat karena dagu dan


lengannya dapati luka bolong.

Jantung Gama berdegup kencang—cari presensi anaknya


karena takutnyamalah lebih parah.

“Gila kenapa? Bukan salah anak gua,” Mikha dengan wajah


yang pucat terpuk-tepuk halus punggung milik Mikael yang sibuk
sembunyi di ceruk lehernya.

296 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 297

Zevanya yang lihat kedatangan Vincent dan Gama mulai tatap


kedua sepupunya dengan penuh harap. “Yel, look what your baby
do!”

Gamaliel kembali telisik tubuh Hazel—buat hatinya ikut


berdenyut. Bayangkan bagaimana jika hal tersebut terjadi pada
anaknya.

Gama tangkap sorot mata Mikha dari jauh, dirinya ikut


mendekat kala lihat wajah Mikha yang sudah benar-benar pucat
meskipun sebisa mungkin berusaha tenang dan timang anaknya.

“Kenapa sih ini?!” Zavier tatap lekat luka ditubuh Kale,


merasa terusik lihat noda darah bolong yang buat tubuh sempurna
sang anak jadi—cacat.

“Ael—Ael hit Hazel’s bicycle and turns out Hazel—” Kale


tak dapat menyelesaikan kalimatnya; terlalu trauma dengan apa yang
ia lihat. Mikael dengan sepeda yang melaju kencang—tabrak kuat
sepeda milik Hazel hingga mental dan tersungkur. Kepalanya
terbentur batu.

Mikha tersenyum kecut—bahkan tiap orang dirumah ini


sudah tatap sinis Mikael sejak awal kedatangannya, meskipun lihat
dengan jelas bibir Mikael bengkak dengan luka darah di sudut.

Satu-satunya manusia kecil yang tak menangis hanyalah


Mikael; buat dirinya makin pantas jadi pelaku dalam peristiwa ini.

297 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 298

Tatapan Mikha beralih pada sang suami, ia yakin Gama aka


bela anaknya sejahat apapun para sanak sepupunya itu
menyudutkan si kecil.

“Yel, anak lo bisa gak ‘sih naik sepeda?” Suara Frey kali ini
mulai memenuhi ruangan. Buat tiap manusia yang hadir ikut
menengok kearahnya.

Mikha ingin buka suaranya, namun Gama terlebih dahulu


buka. “Gak bisa roda dua.”

Kali ini, suami dari Anya mulai buka suara. Sama seperti Vier,
ia benci anaknya tergores barang sedikit. “Sumpah, worst parents
ever. Lo ada disitu tapi gak liat anak lo nabrak anak gue?”

Andrew tatap nyalang Mikha yang pejamkan matanya, merasa


pening dikepala.

Gama yang masih bingung dengan situasi mulai rengkuh


pinggang Mikha mendekat. “Bener?” Bisikinya, buat Mikha
menengok, tatap Gama lurus.

“Aku gaenak badan, tadi sempet ketiduran,” Jawaban dari


bilah bibir Mikha buat Zevanya terkekeh sinis.

“Lo gila? Apa lo pikir gue dan 5 orang disini tolol?” Zevanya
menelisik tubuh Mikha dari atas hingga bawah.

“Daritadi lo fine-fine aja, kok!”

298 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 299

Mikha hela nafasnya panjang, bingung harus lakukan apa.


Karena satu-satunya yang bisa ia percayai disini hanyalah Gama;
Gama yang akan bela dirinya dan sang anak.

Netranya tatap Gama, seolah mohon bantuan untuk wakilkan


dirinya untuk bicara.

“Coba sini, Yel. Anakmu itu turunin. Mas mau liat lukanya.”

Gamaliel mulai putar tubuh Mikha, perlihatkan sang anak


dengan mata memejam yang katupkan rapat bibirnya.

“See? Anak gue juga luka kok mas,”

“Gak separah Kale or Hazel, Yel!” Frey tatap nyalang Mikael.

Zevanya denguskan nafasnya kasar. “Terus, kalo anak lo luka


juga it means he’s not the suspect?”

Gamaliel yang mulai rasakan pening di kepala mulai minta


Mikha untuk turunkan sang anak—biarkan duduk di pangkuannya.

Tanpa ada rasa takut, Mikha mulai turunkan sang anak,


biarkan Gama luruskan segalanya.

Mikael tatap Gama dengan takut, bibir bengkaknya diusap


oleh sang ayah, dagunya ditarik keatas untuk lihat segala sisi wajah
sang anak. Memang luka dari Mikael paling terihat sederhana
diantara yang lain.

299 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 300

“Ael?” Begitu dengar bariton rendah Gama mengalun, semua


sosok yang berada ditempat mulai taruh fokusnya disana.

“Bener kalau Ael tabrak Hazel?” Tatapan hangat Gama buat


Mikael merasa bersalah.

Dengan takut, Mikael mulai tatap sang Ayah takut, “I-iya


Papi.”

Zevanya dengan seringai senyumnya mulai merasa puas.


“LIKE WHAT I SAID,”

“Emang suami lo itu licik, seneng kali kalo anak gue sakit?!”

Mikha mulai tatap nyalang Anya; meskipun sebenaranya


malas.

“Lu bisa diem dulu gak? Biarin anak gua jelasin.”

Mikael mulai isap jempolnya kuat—benar-benar takut ditatap


beberapa mata.

“Go, tell them the truth.” Gama mulai bantu Mikael lepas
isapan kuat dijempol.

“T-tadi Ael udah bilang gak bisa, P-papi. Tapi Hazel paksa
Ael.” Jawban dari Mikael itu benar-benar buat emosi para orang
dewasa disekelilingnya.

Vincent yang sedari tadi mengamati mulai buka suara. “It’s


that true, Kale?”

300 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 301

Kale tatap Frey takut, “N-no! Tadi Hazel bilang yang gak mau
naik bicycle gapapa kok. Ael yang mau cendili!”

Netra Mikael mulai membulat kala dengar penuturan Kale. Itu


benar-benar jauh dari fakta yang terjadi. “Bohong! Kale nakal! Bad!
A-ael bilang kan nda mau!”

Mikael sebisa mungkin bela dirinya, takut sang Ayah kecewa


bukan main akan dirinya. Tangisnya sebisa mungkin ia tahan.

Vincent naikkan satu alisnya. “Who’s lie in here? Coba just being
honest.”

“Kale!”

“Ael”

“Satu-satunya jawaban ya—tunggu Hazel bangun,”

Suasana mulai hening, sebelum akhirnya suami Anya buka


suara. Andrew pijat pelipisnya, merasakan hawa mulai panas
disekitarnya. “Gausah nunggu anak gue bangun, orang pertama
yang dia sebut sebelum pingsan tuh Ael!”

“Ael nakal, Gitu katanya.”

“Yel sorry ya, kali ini gue beneran kecewa sama anak dan
suami lo. Padahal mereka ada di tempat. Kita cuma nitip bentar.
Literally just five minutes??”

301 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 302

Gamaliel mulai tatap lurus Mikael yang sudah menunduk—


bibir bengakaknya itu buat Gama meringis—namun fakta dimana
anaknya mencelakai orang lain buatnya kecewa.

“Mikael Osshaka, it’s that true?” Suara berat Gamaliel buat


Mikael remat kuat bajunya.

Mikha yang berdiri tepat dihadapan Gama benar-benar


berusaha tahan segala emosi yang mulai naik. Gama, gak mungkin
percaya gitu aja ‘kan?

“Mikael, jawab Papi. Look me in the eyes,”

Sosok mungil itu tahan kuat tangisan hingga


kerongkongannya terasa sakit. Hatinya benar-benar teriris meskipun
tak tahu alasannya kenapa. Ia tak berani tatap mata sang Ayah.

“Yel, udah deh. Ya gue tau Mikha tryin the best he can as a
father, tapi—” Ucapan Zevanya terputus kala Mikha mulai remat
bahu Gama kuat.

“Kamu lebih percaya sepupu kamu yang gila ini daripada anak
kamu sendiri?” Mikha tatap lurus Gama dengan sorot—tak percaya.

Hubungan yang terasa tegang antara keduanya itu benar-


benar diambang kehancuran. Benar-benar akan hancur kalau
Gamaliel memang lebih pilih keluarga besarnya.

Gama kembali gulirkan netranya pada sang anak, perasaanya


benar-benar tercampur aduk. Belakangan ini Mikha memang buat
302 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 303

dirinya kecewa berkali-kali. Lagian, hal ini tak mungkin terjadi


apabila Mikha ada disana kan?

“Gue yakin, lo sengaja ‘kan biarin anak lo yang bahkan gak


bisa naik sepeda biar anak gue celaka? Gue tau lo emang gak mau
membaur sama kita, but at least don’t do this!”

Zevanya dengan mimik sedih yang dibuat-buat makin buat


Mikha geram, Netranya kembali tatap sang suami pasrah.

“G-gam, kamu percaya aku sama Ael ‘kan?”

Gamaliel kembali telusuri luka sang anak—ini benar-benar


tidak ada apa-apanya dibandingkan luka Kale maupun Hazel. Fakta
dimana Mikha berada ditempat juga buat pikirannya semakin
terbagi. Ia memang tak pernah bisa akur meskipun Zevanya,
Vincent, Frey dan yang lain buka tangannya lebar.

“Then why you didn’t stop him, Mik?”

Bak ditembak dengan berlapis panah, Mikha rasakan hatinya


benar-benar hancur seketika. Dia gak pernah nyangka kalau pada
akhirnya Gama juga ikut memojokan dirinya.

“Gue juga mikir gitu, kenapa dia gak berhentiin anaknya kalau
tau anaknya gak bisa naik sepeda? Toh masih ada mobil-mobilan
and scooter.” Frey kali ini tambahkan asumsinya buat yang lain
tersenyum simpul.

“G-gam?”
303 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 304

Gamaliel menghela nafasnya panjang. Dagu sang anak


kembali ditarik untuk tatap lurus wajahnya. “What should you do, if you
make other people hurt?”

Mikael kecil ingat perkataan Ayahnya—hukuman untuk anak


yang menyakiti orang lain adalah—dapati silent treatment dari sang
Papi. Karena silent treatment adalah cara terbaik untuk buat
korbannya jera; menurut Gama.

Detik selanjutnya suara tangis histeris menggelegar hingga


buat yang lain ikut teriris dengarnya. Untuk pertama kalinya—
Mikael Osshaka Salim menangis kencang dengan mata yang bahkan
tak ingin terbuka—mulutnya ikut terbuka lebar, untuk salurkan
perasaanya.

Untuk pertama kalinya; Gamaliel Salim buat hati sang anak


hancur berkeping.

Mikha tatap tak percaya kejadian didepannya, Gama benar-


benar memukul kembali bagian tersakit dalam hatinya telak.
Tubuhnya bergetar tahan semua tangisan yang ingin keluar.

Dengan gerakan cepat, Mikha bawa sang anak dalam


rengkuhan. Netranya tatap sekeliling dengan penuh sorot benci. “G-
gua udah berkali-kali bilang. Benci sama gua silahkan. Tapi jangan pernah
sakitin anak gua.”

304 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 305

Terakhir, sebelum melangkah pergi, Mikha sempat untuk


tatap Gama sebentar.

“A-aku beneran kecewa sama kamu, Gam.”

Kala itu suasana villa benar-benar terasa mencekam, tragedi


kecil itu beneran bikin segalanya jadi suram dan niat liburan pun jadi
enggan.

Gamaliel mungkin akan kehilangan dunianya lagi karena


bersifat terlalu—naif.

●●●

Malam itu Gama dan Mikha benar-benar pisah kamar. Mikha


dengan telaten mulai seka luka yang terdapat pada bibir sang anak;
nampak begitu bengkak dan bikin ngilu. Karena bayangkan saja
bagaimana rasanya terseret aspal dibagian bibir? Ingin bayangkan
saja rasanya tak ingin.

Mikha benar-benar gak bisa tahan tangisannya lagi kala Ael


tunjukkan satu telunjuknya miring ke kiri, nampaknya tertekan atau
tulangnya ikut geser.

“Cakit, fyuuh! Cakit!” Si mungil mulai tiup-tiup jarinya sendiri;


ajaran sang Papi.

Pundak Mikha mulai bergetar—bahkan disaat seperti ini pun


Mikael masih ingat segala nasihat sang Papi dan diaplikasikan.

305 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 306

Tubuh Ael direngkuh kuat, Mikha tumpahkan segala


tangisannya disana—bersama Mikael yang ikut menangis juga kala
kembali ingat wajah kecewa ayahnya.

“Ayel nakal! Ayel bad! Papi mayah cama Ayeeel, huaa!” Telapak
kecilnya tepuk-tepuk keras kepalanya sendiri karena kesal.

Mikha tahan sang anak, diberikan kecupan. Keduanya


bersitatap dengan mata bengkak dan hidung yang memerah.

“Nanti kita ke dokter ya? Kalau ada yang sakit lagi bilang aku,
Ael anak pinter. Yang bad itu Papi. Ngerti, sayang?”

Sang anak tentu tak berani bilang iya karena sejujurnya ia ingin sang Papi
kembali dan peluk dirinya erat.

306 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 307

The Worst Nightmare.


“Mimpi buruk yang pernah terjadi; kembali lagi, buat dunianya hancur.”

“Gamaaa! Geli ah! Jangan cium-cium terus!”

“Gimana ya kalo aku bangun gak ada kamu? Nanti aku cium siapa?
Apa aku masih bisa hidup ya, Mik?”

“Vincent aja bisa gila ditinggalin Kahfa, apalagi aku?”

“Kalo kamu bukan gila,”

“Apa?”

“Mati.”

“Makanya jangan tinggalin aku!”

“Ya gatau besok kalo ujan,”

Sejatinya Gama dan Mikha itu benar-benar dua sejoli yang


sangat tak lengket tak terpisah. Buat semua orang yang lihat juga
akan rasakan cinta diantara keduanya. Namun, untuk detik ini; di
meja yang penuh dengan deretan keluarga kaya yang sibuk habiskan
sarapan paginya—keduanya itu benar-benar asing.

Mikha dan Mikael sudah rapih dengan pakaian perginya. Siap


untuk berangkat meninggalkan pulau Dewata yang berikan memori
buruk bagi keduanya. Mikha gak ada niat untuk pamit sama yang
lain—yang ia ingin hanya pamit dengan ibu mertuanya, sebelum
307 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 308

akhirnya niatnya urung karena dengar percakapan singkat yang


terjadi dikamar sang mertua.

“Mami emang didik kamu untuk jadi orang yang keras, tapi
gak seperti ini!”

“Bayangin apa yang Papi kamu bakal lakukan kalau dengar


Mikha habis dipermalukan sama yang lain? Mami benar-benar
capek, Yel kalau harus ribut-ribut lagi.”

“Iel juga capek Mi, Capek harus ada diantara keduanya. Iel
mau dua-duanya saling rangkul, bukan saling senggol kayak gini!
Mikha gak mungkin berani lakuin itu semua kalau emang gak
dendam sama Anya.”

“Iel bingung, kenapa bisa Mikha kayak gini? Apa karena Iel
lagi?”

“Gak akan bisa saling rangkul, Yel! Mikha dan sepupumu itu
jelas beda! Memang hanya Mami dan Papi yang bisa maklum, kamu
harus sadar itu!”

Pernyataan yang keluar dari bilah bibir Gamaliel barusan buat


Mikha sadar; kalau emang dunia mereka terlalu berbeda. Sulit kalau
dilanjutin lagi—ditambah Gama yang mulai gak percaya dengan
dirinya dan emang gak bisa milih antara dia atau keluarganya.

308 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 309

“Heh anak kodok, sini gendong,” Mikha mulai rentangkan


tangannya; biarkan sang anak masuk kedalam dekap hangatnya dan
pergi keluar.

Mikael kecil menggeleng, boneka timmynya dipeluk erat—


netranya berkeliling, harap bertemu dengan sang Papi.

“Gak usah dicari,”

Mikael menggeleng, mulai peluk kaki jenjang milik Mikha.


“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa Papi gak cali kita?”

“Papi masih bobo, Eldut.”

Mikael kembali tatap sekelilingnya bingung, kenapa Papinya


tak kunjung bangun.

“Cari apa lagi?”

“Aku nda mau puyang!”

“Terus? Mau main sama Hazel lagi? Mau main sama Kale
lagi?”

Mikael ingat dengan jelas, alasan mengapa sang ayah itu marah
karena dua sanak sepupunya, jadi ia menggeleng dengan kuat.

309 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 310

“Yaudah ayo? Kita pul—” Ucapannya terputus kala dengan


tiba-tiba kamar depan Mikha mulai didatangi Gama, Anya, Vincent,
Frey dan Hazel. Mikha berkerut bingung—drama apalagi ini?

Anya dorong tubuh Hazel lebih maju perlahan, buat sang anak
menunduk, tak berani lihat mata Mikael—sepupunya secara
langsung. Ia benar-benar malu.

Gama mulai tarik lengan Hazel mendekat, sedangkan Ael—


masih tak berani tatap langsung sang Papi, karena takut.

“Sini, anak Papi maju.” Gama mulai jongkok, tatap lurus


Mikael yang peluk kuat kaki jenang milik Mikha.

Mikha tatap nyalang semua manusia yang ada dengan nyalang,


gak ngerti maksud kedatangan mereka nih apa?

“Maksud lu semua apaan? Ngapain lagi kesini?” Mikha tatap


bingung tiap manusia tersebut. Tubuh Mikael direngkuh erat.

“Ya makanya anak lo suruh maju!” Ucap Zevannya nyalang.

Mikha mulai gulirkan pandangannya kearah Gama, berharap


Gama mulai sadar kalau sepupunya ini mulai tunjukkan warna
aslinya.

“Sini, sayang.” Suara lembut mengalun milik Gama seolah


buat Mikael terhipnotis dan maju selangkah—dekati sang Papi.

310 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 311

Begitu Mikael maju dan mendekat, Gama langsung


berikannya kecupan di pipi dan usap halus rambut anaknya. “Kalau
salah harus apa, ya?”

Mikha yang mulai paham arah tujuan Gama ini kemana mulai
tarik kembali Mikael.

“Lu mau ngapain anak gua?”

“Anak Iel, bukan anak lo. Kan dulu lo yang nolak punya anak,
lo sama Kahfa itu sama.” Vincent tatap remeh Mikha.

Mikael yang dengar bilah jawaban Vincent semakin peluk erat


boneka dombanya—dia gak suka Ayahnya dihakimi orang lain.

“Ael, sini sayang. Minta maaf ya sama Hazel? Kale masih


bobo, jadi Hazel dulu ya?” Gama kembali panggil sang anak untuk
mendekat.

Mikael merasakan bingung—ia tak tahu salahnya dimana,


karena yang ajaknya duluan untuk bermain sepeda adalah Hazel;
bahkan mengancamnya hingga buatnya takut.

Sekali lagi, Gama buat hatinya hancur berkeping-keping.


Sudah tak percaya, ia coba jatuhkan harga diri anaknya juga?

Tangan Mikha mengepal kuat kala Gama hendak satukan


kedua tangan mungil.

“STOP!”

311 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 312

“Kamu tuh—bener-bener ya, Gam?” Mikha tatap nyalang


Gama yang tak minat manatapnya. Masih terfokus pada sang anak.
Rasa kecewa pada Mikha itu terlalu besar—buat hatinya nyeri jika
lihat wajahnya.

“Kamu bahkan udah gamau liat muka aku lagi ya?” Mikha bisa
rasakan kakinya semakin dipeluk erat sang anak.

Netranya bergulir, tatap sanak saudara yang menampilkan


senyum simpul. Benar-benar senang dengan pemandangan di
depannya. Mikha memang punya wajah yang manis dan elegant—
tapi untuk sifat dan wawasannya—ia harus mundur jadi mantu dari
Salim.

“Gama,”

Gamaliel masih tak gubris, netaranya fokus bersitatap dengan


sang anak yang sembunyi dibalik kaki sang Ayah.

“Kalo kamu emang mau pilih keluarga kamu silahkan, aku


sama Ael pulang. Maaf, bukannya anak kamu gak beretika. Tapi,
emang bukan salah dia dari awal.”

Mikha telan ludahnya susah. “K-kamu, beneran Papinya


bukan?”

“Soalnya, aku sama Ael bener-bener kehilangan sosok itu tadi


malem,”

312 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 313

Bibir bawah ia gigit kuat, tahan segala tangisan agar para


monster didepannya tak merasa senang.

“Ternyata, sampe hari ini pun Papinya tetep ninggalin dia dan
bahkan—lebih bela anak yang buat dia sakit.”

Mikha mulai rengkuh tubuh sang anak, dibawa kedalam


gendongan.

“Say goodbye to Hazel, You’re never meet this brat anymore,


Eldut.”

Sarkasnya itu benar-benar buat tiap anggota Salim semakin


yakin, Mikha emang gak cocok.

****

Gama kunci ruangan kamar yang tadinya miliknya dan


sekeluarga—Mikael telah dititip ke sang Ibu untuk dijaga sebentar
seraya ia habiskan waktu untuk bicara dengan Mikha.

“Sesusah itu, Mik minta maaf dan akuin kesalahan? Sifat jelek
kamu itu mau kamu turunin ke anak kita?” Gama tatapnya nyalang
buat Mikha mendengus kasar.

“Pft, anak kita?” Seringai senyum mengejeknya buat rahang


Gama semakin mengeras.

“Anak gua,” Netranya sibuk telisik bagian atas hingga bawah


milik Gama.

313 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 314

“Lu kemana pas dia nangis? Pas butuh Papinya bela dia?
KEMANA BANGSAT?” Emosi yang membuncah di relung hati
mulai dikeluarkan, ia benar-benar merasakan Gama hangatnya
hilang entah kemana.

“Lu bener-bener ngentot! Gak cocok sama sekali jadi bapaknya


Ael. Ael terlalu sempuna kalo punya bapak kayak lu,” Sisi manis
Mikha benar-benar hilang—masih sama ketika mereka jalin
kasihnya semasa kuliah. Ia akan mengeluarkan segala umpatan
kasara apabila Gamanya mulai kelewatan.

“Siapa yang kamu kata-katain daritadi?”

Mikha mulai angkat telunjuknya, dorong kuat bahu Gama.

“Jelas lu lah—siapa lagi bapak paling brengsek setelah lu?”

Keduanya benar-benar diselimuti amarah yang membendung,


Mikha bisa rasakan tubuhnya bergetar hebat karena emosi yang
menguasai dirinya.

“Asal kamu tau, anak kamu itu—Jarinya geser.”

“Bibirnya keseret aspal,”

“Ditambah lagi, Papinya gak percaya sama dia.”

Mikha tarik nafasnya dalam, sebisa mungkin tak menangis di


depan Gama.

314 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 315

“Dia bilang, Hazel paksa dia untuk naik sepeda meskipun dia
gak bisa—katanya yang gak naik sepeda, bukan sepupunya.”

Gama rasakan jantungnya berhenti berdetak, rasa sesal


menyelimuti hatinya kala ia ingat seberapa keras dan susahnya untuk
percaya pada suami dan anaknya.

“Kamu tau anak kamu itu se-loyal apa sama orang?” Mikha
terkekeh, air mata dipelupuknya menggenang.

“Rasanya bego begitu kita segitu percaya sama orang—dan


orang itu malah hancurin rasa kepercayaan yang udah kita bangun
dari lama.”

Mikha kembali tarik napasnya dalam—netranya mengerjap


dan tatap sekeliling.

“Sebahagia apapun aku sama kamu,”

“Nyatanya kita emang gak pernah bisa setara ya, Gam?”

“Kita terlalu bertolak belakang—we’re just an opposite attrack.”

“Aku—emang bahagia sama kamu,”

Suara deru nafas yang tersengal buat hati Gamaliel ikut


tersayat, rasanya ia ingin berhentikan waktu agar Mikha tak lanutkan
segala kalimat dan niat yang ia mulai paham arahnya kemana.

“Tapi aku gaakan bisa hidup didunia kamu,”

315 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 316

Cincin di jari manis mulai Mikha lepas, telapak tangan Gama


ditarik dan dibuka.

“—selamanya.”

Pasokan udara yang berada disekitar Gamaliel nampaknya


mulai menipis, rasanya sesak bukan main. Kepalanya ribut
untuk minta dirinya kejar Mikha, namun—rasanya sudah
tak pantas. Karena menurutnya, Mikha itu benar adanya.

●●●

“Gue gak mau ngajak ribut kok, justru gue mau nawarin lo
sesuatu.”

“Apapun itu—gue gak minat.”

Vincent tutup birainya dengan jemari, topang dagunya disana.

“This is about you—and Mikael, serius gak mau denger dulu?”

Pada akhirnya, Mikha setuju untuk dengarkan sedikit ucapan


Vincent, airpodsnya dilepas, tatap nyalang sepupu Gama yang
menurutnya paling berbahaya.

“Gue ada penawaran,”

“Apaan?”

“Lo tau kan, lo dan anak pungut lo itu emang gak pernah
pantes jadi bagian dari keluarga gue?”

316 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 317

Mikha hela nafasnya, mulai jengah dengan ungkapan tersebut.

“Relax, I’m not gonna insult you,”

“To the point aja,”

“Kalo emang lo gak pantes buat gue dan keluarga besar gue,
then make Gamaliel be the one like you,”

Mikha tatap Vincent bingung—gak paham arahnya kemana.

“Bawa dia pergi jauh—bangun keluarga kecil lo disana, tanpa


hingar bingar ibu kota, paparazzi, wartawan, bikin dunia lo sendiri,
gue bakal bantu.”

Vincent telan ludahnya susah, tatap lurus netra Hazel Mikha.

“Kalo Iel pergi, berarti kandidat terkuat buat maju jadi pewaris
utama ya gue. Lo paham kan maksud gue barusan?”

Mikha jelas paham bawa tiap-tiap dari Salim memang gila—


dan bermuka dua.

317 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 318

Feelin blue
“Everything was empty without your presence.”

Gamaliel seringkali bilang bahwa dunianya hanyalah tentang


Mikha; ungkapan itu nyata adanya karena begitu kehilangan Mikha
kembali, dirinya benar-benar seperti mayat hidup. Dunianya
berhenti berputar disatu titik.

Liburan terakhir bersama keluarganya itu benar-benar buat


Gama terpukul. Cincin nikah yang jadi bukti nyata bahwa keduanya
jadi pasangan sah, dikembalikan. Entah artinya apa—tapi laki-laki
pengecut itu tak berani untuk kembali dan kejar cintanya lagi.

Semakin dewasa, pikirannya semakin terbuka bahwasanya


mungkn benar cinta memang tak untuk dipaksakan. Perbedaan
diantara keduanya itu begitu terlihat bagaikan langit dan bumi;
begitu jelas layaknya hitam dan putih. Keduanya memang punya
dunianya masing-masing yang sangat bertolak belakang. Sudah coba
masuk, namun semuanya gagal—karena tak ada yang bisa tandingi
rasanya.

Hal-hal kecil seperti Mikha lebih suka ac dimatikan dan Gama


jadi team yang dinyalakan, Mikha tak menyukai barang-barang
berkelas namun Gama mengoleksinya; Mikha tak suka gunakan

318 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 319

kendaraan pribadi dan Gama lebih memilih kendaraan pribadinya;


lama-lama buatnya berpikir kalau memang diantara keduanya
mungkin tak cocok.

Ruang tamu yang biasanya berisik dengan suara desahan atau


rengekan manja sang belahan jiwa ini berubah jadi sunyi; terlalu sepi
untuk jiwanya yang kosong tak terisi.

Gama tuang kembali wine tahun 1995 miliknya, ini sudah


botol ke-3. Perilaku buruknya terus berulang hingga sebulanan ini.

Tak bisa bohong, dirinya begitu merindukan sosok kecil yang


buatnya selalu Gemas dan si manis yang buatnya selalu merasa
bahagia.

“Udah nape bos, busetdah. Kalo emang pengen cere yaudah,


Gak usah begini.”

Suara Muklis mengalun masuk kedalam ruang tamunya—buat


Gama tatap ke sumber suara.

“Mikha… lagi apa?”

“Yang jelas lagi sama Ael pastinya,”

Gama memejamkan matanya, merasakan semuanya begitu


berat akibat kesalahannya sendiri.

“Gue tolol banget, ya?”

319 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 320

Muklis yang sibuk bersihkan botol mulai terdiam sebentar


dengan bibir mencebik. Ingindengarkan racauan asal bosnya ketika
mabuk.

“Karena nikahin Mikha,”

“Harusnya gue tinggalin aja dia sama cowok yang setara,”

Muklis tatap malas sang majikan. “Lu masih nganggep


problem lu di kasta?”

“Apa lagi?”

Sontak kardus yang berisi botol wine dihempas kuat.

“Keluarga lu buset, keluarga lu. Boooos.”

“Iya, gue paham, emang gak sederajat—susah.”

“Gua tanya ye, apa lu seneng disuruh matiin ac?”

Gama mengangguk.

“Apa lu seneng bos kalo sarapannya pake nasi uduk, bukan


roti ama kejuan doang?”

Gaa kembali menangguk.

“Berarti yang salah keluarga lu!”

Gama mengernyit bingung, gak setuju dengan ucapan Muklis.

“Keluarga gue buka lebar tangannya buat Mikha dan Ael.”

320 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 321

Muklis hela napasnya panjang, kadang-kada Gama itu rada-


rada keblinger.

“Didepan lu kan? Kalo dibelakang?”

Kala itu, jawaban Muklis buat Gama seketika sadar; mungkinkah


ada yang terlewat?

****

Mikha sering bilang, alasan mengapa ia benci anak kecil adalah


berisik dan tantrum. Benar-benar jenis manusia merepotkan yang
harusnya tak hidup di bumi—kalau bisa langsung jadi besar. Ias
seringkali mencibir, mengapa para ibu tak dapat buat anaknya diam
di tempat umum? Memang harusnya anak kecil itu ya dirumah
saja—jangan taruh ditempat umum.

Namun begitu kejadian tersebut terjadi padanya, Mikha


benar-benar—gila. Sejak tiga minggu resmi berpisah rumah begitu
saja—tanpa kabar dan ucapan selamat tinggal, keduanya benar-
benar tak ada yang jalin komunikasi. Merasa keduanya benar-benar
harus terpisah tanpa perlu adanya masing-masing diantara mereka.

Mungkin minggu pertama Ael masih berada dalam mode


gemas dan lucunya—namun begitu memasuki minggu kedua dan
ketiga…

“MAU CAMA PAPI! MIKO NAKAL! AYEL MAU CAMA


PAPI!”

321 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 322

Teriaknya histeris dengan tangisan menggelegar penuhi


ruangan dan kaki yang menghentak-hentak kesal. Sejak Gama
benar-benar pergi dari hidupnya—Mikha gak merasa kosong karena
ada sang buah hati. Namun, rasanya—seperti ada bagian dari dirinya
yang hilang.

Kali ini Mikha sedang sembunyi di toilet, gunakan headphone


miliknya dan kembali nyalakan lagu kenangannya; Fix You –
Coldplay dengan volume full. Mikha mungkin gak sampai nangis—
tapi ia benar-benar lelah.

Mikael terus-terusan gedor pintunya. Buat suara raungan


keras hingga buat kepalanya terasa begitu pening—ia jelas butuh
Gama untuk tenangkan dirinya.

“Huaaaa! Mau papi! Mau say sowy cama papi!”

“Ukain! Ael mau cama Papi, Mikoo, Huaaa!”

Mungkin jika Putra dan Kahfa tiba-tiba masuk dan selamatkan


dirinya—Mikha benar-benar akan gantung dirinya dikamar mandi.
Pikirannya itu benar-benar kacau, ia butuh sosok manusia lain
untuk selamatkan harinya.

Begitu pintu kamar mandinya kembali dibuka—Tubuh si kecil


langsung menghabur ke pelukan Mikha,cari titik nymanannya
kembali.

322 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 323

“Buset dah kagak tega gua liatnya,” Kahfa yang duduk


dihadap mulai gak tega lihat Mikha haru gendong, bopong, karena
Mikael benar-benar gamau lepas. Kayak bayi yang mau tumbuh
gigi—begitu manja.

Mata yang mulai hitam dibagian bawah—mulai tunjukan


bahwa Mikha kurang tidur. “Ini mah belum seberapa,”

“Makanan ditebalikin kalau lagi nyebelin.” Mkha tatap lekat


Mikael yang tertidur di dekapannya, pipinya dikecup sekali.

“Lagi lu kuat juga ngurus bocil, Mik.”

“Ya lu liat bocilnya modelan Ael! Siapa yang gak gemes?!”

“Bapaknya kan bikin gemes juga ‘tuh”

Puta mulai mengerjapkan matanya, emosinya rada naik begitu


Kahfa sebutkan nama Gama.

“Mampus dah tu cowok tolol,”

Baik Kahfa ataupun Mikha mulai menatap lurus Putra.

“Beneran gila dia, Mik. Katanya pernah berantem sama


bokapnya. Pus Mampus.”

Mikha kembali tatap Mikael lamat, merasa bersalah.

“Dia beneran gak hubungin Gua ataupun Ael samasekali,


bener-bener sama sekali enggak. Kayak yaudah—emang gini
jalannya.”
323 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 324

“Ya emang kayak gini, lu ngarepin apa emang dari laki yang
lembeknya kayak krupuk seblak?”

“Gama emang keliatan banget maksain semuanya—dia


pengen lu, tapi pengen keluarganya juga. Padahal ya gak bisa—harus
salah satu.”

“Setuju banget sama lord Putra,”

“Lu juga ada baiknya mikirin kebahagiaan diri lu sendiri,”

“Kalo emang bahagia lu di Gama doang ya balik,”

“Kalo kagak ya jangan balik lagi, Mik.

Kali ini giliran Kahfa balas dengan untaian kalimat yang


buatnya tersindir.

“Sesuatu kalo emang ditakdirin buat lu, sampe kapanpun lu


pisah pasti akan balik, tapi kalo gak ditakdirin buat lu—ya
sekuat apapun lu berdua bertahan, ya bakalan pisah juga.”

●●●

“Gamik otw cere kayaknya,” Kahfa kepulkan asapnya di


udara, kepalanya bersandar pada bantalan nyaman mobil
Vincent—keduanya benar-benar mulai tak takut berada di ruang
publik. Vincent—entah dapat darimana keberanian dan
intimidasinya makin besar, hingga buat sang ayah dan ibu tak
berkutik.

324 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 325

“Gak mungkin.” Vincent tatap tiap motor yang lewat, angin


malam yang bertiup itu buat hawa sekitarnya semakin dingin.

“Gua sama lu aja yang kayak orang tolol bucinnya bisa


putus—ya mereka bisa juga lah?”

Vincent terkekeh, netranya bergulir, “Iel cuma lagi bingung


aja sama perasaanya,”

“Dia mulai capek karena Mikha beneran gak bisa nyatu sama
keluarga gue,”

Kahfa tatap dalam Vincent dari samping.

“Kalo gue jadi Mikha, apa kita bakal kayak gini juga?”

Vincent mulai menengok, tatap Kahfa dengan seribu


ungkapan yang gak pernah tersalurkan. “Ya gak usah dibayangin,”

“Gue emang masih sayang sama lo sampe detik ini,”

“Tapi buat jadi pasangan lagi? Gue sayang sama lo melebihi


itu.”

“Kalau gue nikahin lo sekarang—hidup lo bakal miris kayak


Mikha, mau?”

Kahfa buru-buru ketukan kepalanya pada dashboard. “Amit-


amit, gua udah bahagia sama Vino—Salim-salm tai anjing, jauh-jauh
dah!”

325 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 326

Kahfa mungkin gak tahu, jenis monster apa yang lagi dia ajak
ngomong sekarang.

326 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 327

Us Againts The World.


“Jika dunia bukan tempatnya bersatu, maka biarkan keduanya lawan
untuk cari bahagianya.”

“Ael mau naget yang mana?” Mikha elus kepala anaknya


sayang, Mikael jadi sosok manja sejak dirinya itu tak dapat
berkomunikasi lagi dengan sang Papi. Tak pernah bisa lepas dari
Mikha, tanganya selalu mengalung kuat. Takut Ayahnya ikut pergi
juga.

“Mamau naget, mau pulang.” Agaknya mungkin anak itu


miliki radar jika hari keduanya akan menjadi buruk yang sinyalnya
tak ditangkap sang Ayah.

“Pilih dulu, buat jadi bekel sekolah, okee?” Mikha tatap sang
anak, kecupi pipi gembilnya hingga Mikael mengangguk.

Mikha bawa tubuhnya semakin rendah, biarkan Ael memilih


nugget yang diingkannya. Namun, dahinya berkerut kala tangan
Mikael dengan perlahan hendak ambil cheesy lovers.

“Cheesy lovers?” Suara sedikit basah milik sang Ayah buat


Mikael menengok sebentar.
“Ael kan nggak suka keju?”

Si kecil gigit bibirnya kuat, tatap nugget itu penuh sendu. “T-
tapi Papi cuka! Nanti kita mam naget love biar Papi puyang!”

327 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 328

Mikha kembali tatap si kecil yang bersemangat, menghela


nafasnya panjang.

Kilas balik dimana ketiganya suka goreng nugget bersama di


malam hari rasanya buat hatinya kembali berdenyut sakit. Rasa rindu
yang membuncah nampaknya tak bisa bohong. Ia benar-benar ingin
kembali ke kehidupan lamanya.

“Ayel nda cuka naget ini Papii!”

“It’s good baby, Yayah kamu aja suka.”

“Apaansih! Aku sukanya naget rebus!”

“Yayah aneh!”

“Ayel kangen Papi,” Bibir si kecil mencebik kala ia lihat wajah


sang ayah muncul di-TV. Disana, Gamaliel hadir bersama Gandhy
Salim untuk persemian salah satu produk retail yang berhasil
diluncurkannya.

Mikha bisa rasakan kalau Gama ketika tanpanya itu, semakin


sukses. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang semakin
jatuh dan tak punya semangat hidup.

“Eh?” Suara nyaring khas wanita yang Mikha benci


presensinya terdengar, buatnya menengok ke sumber.

328 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 329

Netranya membulat kala ia temukan Zevanya, dan sang anak,


Hazel dalam trolley memandang Mikha dan Mikael dengan seringai
senyum.

“Loh, loh—abis ditinggalin sepupu gue masih bisa belanja di


supermarket juga, ternyata?” Zevanya tatap bergantian Mikha dan
Mikael yang tunjukan raut tak suka, benar-benar tak mau lihat
wajahnya.

“Oh iya, kan masih ada saham dari om gue ya,” Zevanya
terkekeh.

“Susah ya, penjilat?”

Mikha tadinya benar-benar mau meninggalkan Anya gitu aja


sebelum Anya kembali kenai titik terlemahnya, “Harusnya Iel
emang jauh dari lo dan anak pungut itu, dia makin maju waktu lo
gaada. Literally sampah masyarakat are describing you and your kids,”

Mikael yang berada dalam kukungannya ditaruh kembali


dalam trolley, bersitatap lurus dengan Hazel yang tak berani
tatapnya dari dekat. Mikael, benar-benar benci Hazel setelah
pertemuan terakhirnya.

Mikha makin mendekat—emosi yang membuncah beberapa


bulan ini layaknya buat dia berani melakukan hal segila ini.
Keranjang berisikan karbol sereh mulai diambil satu. “Tadi lu bilang
gua apa?”

329 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 330

“Sampah Masyarakat, EVERYONE KNOWS TH—


AAAAH! LO GILA YA?”

Ucapanya terputus—bergantikan dengan pekikan nyaring


yang buat orang lain ikut melihat dan rekam aksi keduanya. Mikha
mulai siram ekstrim Zevanya Salim dengan karbol sereh yang
wanginya bisa buat orang lain muntah. Dia benar-benar gak peduli
itu beracun apa enggak—tapi yang jelas, emosinya tersalurkan.

“Susah ngomong sama orang tolol. Dibilangin jangan pernah


bawa-bawa anak gua, ternyata masih berani juga lu ya?”

“LO BENERAN GILA! IEL HARUS LI—” Ucapannya


terputus kala lihat sepupu laki-lakinya yang muncul dari belakang
tubuhnya, ikut serta Hazel dan dirinya belanja.

“Vincy! Cepeet! Take some video and tell Iel about this!”
Zevanya mulai menyentuh jijik rambutnya—tatapan nyalang ia
berikan pada laki-laki manis yang sibuk bersihkan tanganya dengan
hand sanitizer.

“Calm down gue videoin semuanya dari awal kok, Nya.”


Vincent tatap fokus ponselnya, buat Mikha tatap lurus kearahnya
dan Zevanya yang sudah tersenyum simpul.

“Gue videoin semuanya, bahkan dari bagian lo jelek-jelekin


Mikha, gimana ya perasaanya liat video ini? Zevanya Salim yang
udah berubah dan sayangin suaminya ternyata—pft.” Baik Anya

330 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 331

maupun Mikha tatap Vincent bingung—kerumunan diantara


dirinya dan Anya juga sempat menghilang kala Vincent datang.

“Vincy? W-what are you doing?”

“Oh come on, Nya. We’re all know that Iel pastinya bakal
lepasin semuanya for the sake of this two.”

Vincent tatap Mikha dengan seringai senyum, tatap dirinya


dari atas hingga bawah.

“Menurut lo apa yang harus gue lakuin for having that seats?
Tentunya deketin Iel and take his trust back, right?”

Keluarga ini—benar-benar gak pernah habis buat Mikha


terkejut. Zevanya dan Vincent adalah satu yang tak terpisah namun,
tiba-tiba dengan spontan Vincent tusuk sang sepupu dari belakang?
Hanya demi bangku pewaris utama?

“Lagian—Kakek mana mau lo naik setelah kejadian


memalukan ini, Nya?” Vincent mulai tunjuk TV Kecil yang terletak
di dinding atas supermarket, dengan headline berita yang tunjukkan
bahwa Zevanya disiram pengunjung lain karena
menggunjingkannya—sangat tak mencerminkan sikap Zevanya
yang selama ini dikenal publik.

“Yep, that’s me, my masterpiece. Be careful, Next—Mas lo.”

Vincent kembali sunggingkan seringai senyum miliknya, tatap


Mikha dan Mikae bergantian.
331 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 332

“Anyway, tawaran gue masih berlaku—sampai kapanpun.”


Bisiknya tepat di telinga kiri Mikha.

****

Gamaliel longgarkan dasi yang begitu ketat dibagian


lehernya—merasakan terlalu terikat. Sang ayah duduk dibagian
depan mobil—bersama Darso, entah tujuannya apa.

“Still doing that stupid things, Dad?” Pertanyaan Gamaliel itu


beneran gak digubris. Gandhy terlalu kesal begitu tau Mikha
meninggalkan rumah pemberiannya dan beli apartment sendiri yang
entah berada dibagian mana.

“Diemin saja dek, memang Papimu itu sudah seharusnya


dibawa ke RSJ.” Gantari tatap suaminya malas, entah kenapa
Gandhy jadi berubah konyol begitu kenal Mikha.

“So, tolong bilang ke dua orang itu untuk diam—karena yang


berhak bicara hanya Mikha.” Gandhy tatap serius Darso dari kursi
penumpang depan.

“B-baik pak.”

“Kamu beneran stress. Pi!”

“Ya, aku memang stress karena anakku sisa 1, bungsuku


hilang entah kemana.”

332 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 333

Gama menghela nafasnya panjang—selalu seperti ini sejak


bulan kemarin, ketika Gandhy tau bahwa Gama dan Mikha pisah
rumah.

“Kamu nih ngapain sih, Yel? lagian? Papi gak terima acara lain
selain penyambutan Mikha kembali!”

Gamaliel gak jawab pertanyaan itu, ia lebih memilih diam,


karena kembali gugup.

Gantari yang mulai sadar, usapi halus tangan sang anak.


Berikan semangatnya dari sana. Yakinkan si anak bahwa ia bisa
lewati semuanya.

****

Rumah megah dengan aksen kayu jati layaknya disuguhi dari


Jepang asli jadi tempat kembali para cucu dan anak yang Sakhyang
begitu nantikan. Kali ini, pihak yang jadi sponsor untuk acara hari
ini adalah Gamaliel; dengan setelan putih formal dan rambut yang
semakin panjang ke belakang. Telinga kirinya, masih setia dengan
anting kecil berbentuk “M”.

Hari itu Sakhayang dalam suasana hati yang baik kala cucu
kesayangannya buka pertemuan malam untuk pertama kali. Jadi,
segala makanan terbaik berikan untuk sang cucu. Tak mengetahui
alasan Gamaliel adakan pertemuan ini.

333 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 334

Gelas yang berdenting, jadi pemecah ramai; suasana berganti


hening begitu Sakhayang bunyikan gelasnya. Meminta semua orang
untuk diam terlebih dahulu, karena cucu kesayangannya itu akan
bicara.

Gamaliel mulai berdehem, netranya tatap tiap-tiap manusia itu


lurus. Manusia yang menemaninya sedari kecil—bantu buat
karakternya semakin kuat dan kental dengan sifat egoisnya. Tiap-
tiap manusia itu tentu punya rencana licik sedemikian rupa, hanya
Gamaliel yang terlalu naif, keluarganya itu akan berubah.

Apakah pantas disebut keluarga?

“Hi everyone!” Sang pewaris tahta tunggal mulai buka


suaranya, buat tiap sanak saudaranya berikan senyum sehangat
mungkin untuk tutupi rasa yang sebenarnya membuncah di hati.
Untuk ukuran manusia, Gamaliel itu sempurna dalam segala aspek.
Mungkin hanya kurang dibagian hubungan—namun sisanya benar-
benar bikin geleng.

“Before that, I will give you something,” Netranya beri kode


pada pelayan untuk berikan secarik kertas yang ditutup amplop.
Tiap tiap anggotanya tentu berkerut bingung—apa isi dan
tujuannya. Hanya kedua orang tuanya yang tahu.

“Udah dapet ‘kan semuanya?” Suara berat Gamaliel


mengalun, buat tiap orang disna menengok ke sumber suara.

334 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 335

“Im here because of that, so please open it.” Netra milik


Gamaliel tatap luru kedua orang tauanya. Sirat bangga meskipun
sedikit kecewa nampak terlihat jelas daiantara keduanya.

“H-HAH?” Suar laki-laki tua yang duduk paling depan


manatap selembar kertas tersebut dengan bingung. Akta perubahan
nama dan isi didalamnya buat Sakhayang menggelengkan kepalanya
tak percaya.

Begitupula dengan yang lain—berikan ekspresi unik yang buat


Gamaliel tersenyum licik. Memori singkat dimana Vincent datang
dan akui segala kebusukan sang keluarga dibelakang Gamaliel;
buatnya benar-bernar dendam. Dunianya pergi karena keluarganya
sendiri. Keluarga yang dianggapnya penuh kasih, etika tinggi dan
pendidikan.

Dengan keputusan yang pasti, Gamaliel ubah namanya


dengan Gamaliel Osshaka. Hilangkan title Salim dibelakangnya.
Keputusannya sudah bulat untuk tinggalkan semua harta bahkan
nama yang bawanya menjadi Salim. Jadi bagian dari Salim itu bukan
anugerah. Menurutnya, hanyalah satu kesialan belaka yang tak
kunjung habis. Kasih sayang yang diberikan tiap anggotanya palsu.ia
juga tak temukan bahagia disana selain apresiasi belerbih yang
buatnya haus akan validasi.

“Sebelumnya, iel ingin minta maaf yang sebesa-besarnya


karena Iel memutuskan untuk tinggalkan kursi pewaris utama kakek,
335 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 336

mungkin terdengar naif tapi Iel benar-benar tak ingin posisi


tersebut. Sorry Papi,” Gamaliel tatap sang Ayah lurus.

“Dan Iel juga akan pamit, karena Iel bukan lagi bagian dari
keluarga ini. Iel bukan lagi Salim—karena,”

“Karena lo bodoh, lebih pilih cinta lo yang gak jelas itu


daripada keluarga lo sendiri! For fuck sake, lo beneran orang paling
bodoh yang gue temuin.” Vincent buka suaranya—gak nyangka
Gamaliel akan sejauh ini. Padahal, dengan hanya keluar dari calon
pewaris tahta sudah cukup.

Gamaliel terkekeh, tatap Vincent remeh. “Yep, gue emang


bodoh,”

Satu tarikan napas panjang ia ambil, berusaha setenang


mungkin.

“Gue bodoh karena gapernah tau suami gue selalu kalian


jahatin selama ini, gue beneran bodoh karena lebih percaya ucapan
lo semua—I fucking love you guys, all of you. But you betrayed me.”

Gamaliel mengusak wajahnya kasar—teringat wajah sendu


Mikha kala ia dengan bodohnya ikut pojokkan sang anak
dibandingkan dengan membelanya.

Hatinya kembali rasakan perih dan sakit yang menjalar begitu


kembali teringat raut tersebut. Apalagi fakta mengenai tulang

336 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 337

telunjuk Mikael yang geser. Ayah macam apa yang tak bela anaknya
ketika butuh perlindungan?

Sakhayang mulai berdiri dari duduknya, tangannya mengelus


bagian belakang leher. Rasakan gelenyar tak enak dari sana.
“Gamaliel, kamu benar-benar buat kakek kecewa.”

Sakhayang begitu yakin, tak adal lagi yang cocok selain sang
cucu bungsunya.

Gamaliel membungkuk 90 derajat, tatap hormat sang Kakek.

“Dan manusia-manusia yang berada disini, manusia yang


karakternya kakek bentuk sedari kecil, juga buat Iel kecewa, kek.”

“Iel pamit sama semuanya, I’m not gonna live in here


anymore,”

“This town is really sucks and make me feel sick because it reminds me
from all of you,”

“And congratulation, Kakek kehilangan sumber inovasi terbesar


Kakek Iel gak sabar, lihat keluarga ini hancur karena gak ada yang
sekompeten Iel.”

Malam itu, penutupnya adalah Gamaliel yang tinggalkan title


Salim dibelakangnya. Mulai detik ini, langkahnya akan terasa lebih
ringan, bebas melakukan apa saja yang ia mau. Meskipun rasanya
begitu terlambat karena baru lakukan sekarang—ketika dua
dunianya pergi.
337 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 338

●●●

“Lu mau lari lagi bos?” Suara Muklis menyapa—beberapa


hari lalu, Muklis ikut resign dan lebih memilik jadi tukang lumpia
basah—rame katanya. Tangan muklis sibuk mengoseng
bengkoang dan gula merah.

“Gak lari, gue malu, Klis. Haha.”

“Pulang bos, buset dah, Mikha sama Ael pasti nunggu lu


banget,”

Gama menggeleng kuat, tak ingin kembali datang kecuali


untuk berpamitan. Mikha dan Mikael adalah dua malaikt yang tak
cocok bersanding dengan iblis sepertinya.

Muklis yang bener-bener sudah gak tahan mulai berikan


Gama satu video.

“Buka bos, pelis dah stop batu buat kali ini.”

Detik selanjutnya, Muklis bisa dengar suara isak tangis yang


ditahan kuat dari laki-laki yang biasa menahan segala emosinya
sendiri. Suara isaknya makin keras kala videonya hampir sampai di
akhir.

Gamaliel—benar-benar pria bodoh yang tinggalkan harta


berharganya hanya karena lelah berada di dua kubu. Ia, memang
pantas untuk dapatkan ini semua.

338 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 339

Suara dada yang ditepuk dan batuk benar-benar buat Muklis


ngilu hingga ke hati.

339 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 340

A Goodbye Kiss.
“If tomorrow you wont be mine, want you to give it to me one last time?”

Baik Mikha maupun Mikael, keduanya baru saja


menyelesaikan agenda cuci piring bersamanya. Sejak hidup hanya
tinggal berdua, keduanya benar-benar lekat satu sama lain—Mikael
gamau kehilangan Ayah untuk kedua kalinya. Karena kehilangan
Papinya itu benar-benar memukulnya telak di hati. Mungkin sang
Yayah gak tau kalau Mikael suka diam-diam bikin surat rindu untuk
sang Papi, yang bingung harus dikirim kemana.

Malam ini, Mikha dibuat terisak karena Mikael buat satu video
berdurasi panjang tentang hari Ayah. Mikha jelas tau anak
mungilnya itu ikut tahan tangisnya sebisa mungkin, fakta
menyakitkan bahwa Gama benar-benar tinggalkan keduanya selama
dua bulan tanpa kabar maupun ucapan selamat tinggal benar-benar
buat keduanya rasakan sakit yang begitu membekas.

“Hayo namaku Mikael! Dicebutnya A-E-L ibaca Ayel. Ayel itu


altinya anak Iyel. Iyel itu Papi aku!” Sosok kecil itu keliatan menunduk,
ambil sebuah kertas.

“Ini fotonya! Papi—dimanapun Papi belada, Ayel kangen Papi! Ayel


janji jadi anak baik yang lajin minta maaf! A-ael janji gak belantem lagi
cama Yayah. Tapi Papi halus pulang! Selamat hali Ayah sedunia! Cemoga
Papi aku pulang dan peluk Ayel sama yayah lagi!”

340 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 341

Video tersebut berlanjut, karena Mikael bernegoisasi dengan


Guru, dimana katanya, Ayahnya itu dua. Jadi videonya harus take
dua kali.

“Untuk Yayah, celamat hali Ayah! A-ael cayang Ayah!” Detik


selanjutnya, Mikha bisa dengar suara tangis tiba-tiba dari si kecil
yang keluar frame, buat gurunya ikut bingung.

Mikael itu benar-benar sensitif jika dikaitkan dengan sang


Ayah, ia bagaikan tau isi kepala dan hati sang Ayah selama dua
bulanan ini. Mental yang terombang ambil karena harus
ditinggalkan cinta sejatinya.

Ting nong

Suara bel buat fokus Mikha pecah, dirinya terlalu malas untuk
buka pintu dengan mata yang bengkak jadi ia gunakan sang anak
untuk buka pintu tersebut.

“AEEEEEL,” Satu teriakan menggelegar buat Mikael keluar


kamarnya dengan raut sebal.

“Apaciiii! Aku lagi gambal buaya tau!”

Mikha cubit gemas pipi sang anak. “Bukain pintu dong, anak
manis.”

Mikael taruh telunjuknya di pipi. “Eum, emang capa?”

“Ya gak tau kok nanya saya—bukain sana!”

341 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 342

Mikael dengan lagkah kecil yang gunakan kaus kaki mulai


berlari kearah pintu. Pencet pin unit miliknya dan bukakan pintu.

“Hey?”

Mikael terkejut kala satu sosok pria dewasa berjongkok—


sejajarkan tingginya dengan dirinya. Matanya mengerjap. Lengannya
mulai menutup mulut karena tahan tangisnya keluar.

Mikha yang merasakan anaknya terlalu lama dalam


menyambut tamu mulai ikut melangkahkan kakinya kearah pintu.
“AEEL KOK LAM—”

Bibirnya terkatup rapat kala ia lihat sesosok manusia yang


selama ini selalu dirindukannya tiap malam, tubuhnya mematung,
netranya saling bersitatap dengan pemilik obisdian segelap jelaga.

“H-hi?” Detik selanjutnya suara tangis menggelegar penuhi


unitnya.

****

Mikha berulang kali cubit pahanya kuat. Ia benar-benar tak


bisa percaya dengan pemandangan didepannya—Gamaliel dan
Mikael yang sedang berpelukan erat saeraya baca cerita dongeng
pangeran dan kodok.

“Ni kodoknya nii webek~webek~”

“Aaaa Papi, geliii!”

342 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 343

Pemandangan hangat yang ia rindukan sejak dua bulan


terakhir benar-benar terjadi tepat didepan matanya, buat hatinya
ikut menghangat mesikpun rasa sakit tetap menjalar.

“Yayaah! Cini! Bobo deket Papi! Kita peyuk Papi bial gak pelgi
lagiii!” Seruan Mikael itu buat senyum Gama mulai memudar.
Niatnya kesini hanya ingin bertemu sekali dan hilang lagi. Mikael
dan Mikha—benar-benar tak pantas untuknya.

Mikha yang paham arti tatapan Gama mulai mengikuti


kemauan kearas anaknya. Mikha tidurkan di bagian kiri tubuh Gama
dan Mikael yang sudah mengalung kuat dibagian kanan.

“Ael.. jangan terlalu kenceng, nanti Papinya gak bisa nafas.”


Mikha mulai melongok, lihat anaknya yang sibuk sembunyikan
wajah di ceruk leher Gama.

“Mamau! Nanti Papi pelgi lagi!” Gama yang dengar suara


akhir Mikael bergetar mulai tepuk halus punggungnya.

“Kan ada Yayah?”

“Mamau! Maunya cama Papi juga! Beltiga!” Jemarinya bentuk


angka 3 meskipun suaranya mulai serak basah.

Mikha yang berada disamping kirinya mulai menitahkan


Gama untuk mengiyakan semua mau Mikael. “Iya sayang, gak pelgi
ya Papinya?”

343 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 344

Mikael mulai balikkan wajahnya, tatap ceria sang Papi.


“Anjiiii?”

Gama mulai tatap netra hazel milik Mikha—memohon


bantuan.

“Mikael Osshaka? Jam berapa ini ya?”

Mikael mulai mengerjapkan matanya—sembunyikan lagi


kelingkingnya dan pura-pura tidur; agar ayahnya tak marah.

Namun sedetik kemudian kembali duduk. “Goodnight


kissnya mana, Yah?”

Mikha mulai kecup pipi si kecil, begitupun Gama. Namun,.


Mikael tetap duduk.

“Kenapa lagi sih, duut?”

“Papi sama Yayah belum kiss!”

Sontak keduanya kaget dengar penuturan singkat sang anak.


Bersitatap sesaat sebelum akhirnya satu rengekan kembali
terdengar.

“Hnnng! Papi sama Yayah gak sayang lagi ya?!”

“Apasih kamuu, udah ah bobo!” Mikha kembali tidurkan


tubuh sang anak.

“Mamau bobo campe Papi kiss Yayaaah!”

344 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 345

Karena kesal dengar rengekan sang anak, pada akhirnya


Mikha bawa dirinya mendekat—hendak kecup birai Gama singkat,
namun sang pemilik hidung bangir malah melumat bibirnya,
salurkan rasa rindunya disana. Buat jantungnya berdegup kencang;
layaknya rasakan ciuman pertamanya kembali.

Mikha benar-benar menikmati ciuman tersebut meskipun tak


membalas—ia rindu ini. Rindu segalanya tentang Gama.

“Udaaah! Itu telalu lama! Aelnya antuuuk!”

Suara nyaring sang anak buat keduanya secara spontan


jauhkan wajahnya. Merasa salah tingkah sendiri dengan kegiatan
barusan. Malam penuh kejutan itu ditutup dengan ketiganya tidur
bersama—meski dua diantaranya tidak benar-benar tidur. Hanya
nikmati degup jantung yang seirama berdetak lebih cepat dari
biasanya.

****

Mikha jadi yang keluar terakhir dari kamar tidur Ael, dirinya
dikejutkan dengan Gama yang sudah menunggu di depan pintu.

“Beneran bobo dia?” Langkahnya semakin mendekat hingga


jarak keduanya menipis.

Mikha dengan takut menangguk, tubuhnya semakin terpojok


kearah dinding kala Gama semakin dekat hingga deru nafasnya
ikut terasa.

345 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 346

“I miss you,” Bibir bawahnya diusap halus, netra gelap


miliknya hanya fokus tatap birai tipis milik Mikha. Mungkin Gama
gatau kalau jantung milik Mikha ingin meledak saat ini. Gama yang
terlalu dekat dengan wangi khas maskulinnya buat ia mabuk
kepayang.

Dengan berani, Gama mulai buat jarak diantara keduanya


menipis, tatap penuh nafsu birai tipis si cantik.

Sedetik kemudian, Mikha bisa rasakan lumatan kasar yang


terkesan acak—seolah salurkan nafsu rindu yang lama terpendam.
Kepalanya menghadah kala dengan acak Gama jilati birainya hingga
ke dagu, buat darahnya berdesir dan matanya memejam.

“Mmmhahh,” Tubuh ramping milik Mikha dibawa mengalung


pada pinggangnya.

Bersamaan dengan tangan Mikha yang ikut mengalung dan


buka kembali netra hazelnya. Keduanya bersitatap seraya nikmati
pagutan penuh nafsu; buat jantung begitu terpacu hingga darah
keduanya berdesir.

“Pretty.” Kata pertama yang keluar dari birai Gama ketika


kedua pagutannya terlepas, nikmati deru nafas yang saling
bersautan.

346 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 347

Mikha sudah tak tahan lagi, ia benar-benar tak bisa


dihadapkan dengan Gama yang seperti ini, seenaknya datang dan
pergi tanpa pikirkan nasibnya nanti.

Ia mulai sembunyikan wajahnya di ceruk leher milik Gama,


detik selanjutnya Gama mulai rasakan pundak Mikha mulai
bergetar. Isak tangis pun mulai terdengar.

“Kamu kenapa lama banget perginya?” Sebisa mungkin, Gama


tahan kuat tangis yang hampir keluar basahi wajahnya. Ia tak boleh
ikut lemah.

“Aku gak pantes Mik, balik lagi kesini.” Bibir bawahnya


digigit kuat.

“A-aku sama Ael selalu nungguin kamu kayak orang bego! K-


kita sakit hati sama kamu, tapi kamu gak p-pernah minta maaf atau
coba hubungin kita, Gama!”

Gama makin rengkuh tubuh si manis erat.

“Maaf, aku emang terlambat. Aku jahat Mik, aku minta maaf
sama kamu—sama Ael. Aku harus apa? Aku beneran merasa gak
deserve balik ke kamu sama Ael lagi.”

“Ucapan kamu yang terakhir itu bener—aku sama kamu


emang saling tolak belakang. Kita terlalu banyak perbedaan. T-tapi
kamu terlalu banyak ngalah sama aku, Mikha.”

347 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 348

Gama tarik nafasnya panjang. “Kamu pikir aku gimana? Aku


malu—aku beneran cowok yang gak bisa apa-apa. Perjuangin kamu
aja enggak.”

Gama mulai turunkan tubuh si manis, keningnya dikecup


lama.

Gama bisa lihat Mikhanya masih terisak—buat hatinya


semakin ngilu dan sakit, ia benar-benar tak bisa diandalkan dan tak
berguna. Kalau begini ceritanya—Gama memang jadi satu-satunya
pihak yang tak bisa lawan duniannya demi Mikha.

Punggung tangan Mikha ditarik—dikecup lama.

Gama kembali peluk tubuh itu untuk terakhir kali—hirup


wanginya lama. Bisikkan kalimat yang buat Mikha merinding
sekujur tubuh hingga bergetar.

“Surat cerainya di meja ya, Mik. Tolong tanda tanganin—hak asuh


bakal jatuh ditangan kamu. Tapi bolehin aku sesekali jenguk Ael ya?”

Detik itu juga, Mikha kembali rasakan dunia tak


berpihak padanya lagi.

●●●

348 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 349

349 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 350

Pilihan terbaik.
“Kisah ini diakhiri dengan pilihan terbaik bagi masing-masing.”

“Oooh, Ael masih tidur nih, Pi. Sini Pi Miko ciuum..Mwaaah,”

“Iiiiih! Jangan tium tium Papi aku!”

“Orang Papi akuuu,”

“Papi aku tau!”

“Gama, kamu sayang siapa?!”

“Dua-duanya sayangnya akuuu, sini tium tum.”

Mikha gak pernah menyangka kalau kisah cintanya akan


berakhir kembali disini—diambang kehancuran yang buatnya
hancur berkeping. Selepas kepergian Gama tadi malam, Mikha tak
bisa lagi keluarkan air matanya. Karena menurutnya, ini jalan yang
salah.

Gama seringkali rendah diri dan bilang gak pernah


perjuangin segalanya—tapi apa ini? Mikha temukan fakta baru lagi
bahwa Gamaliel hilangkan title ‘Salim’ pada nama belakangnya di
headline berita pagi.

Mikael yang tadi pagi menangis hebat karena tak temukan


sang Papi kembali menangis lagi kala ia lihat wajah Gama
terpampang jelas di headline berita TV. Sosok mungil itu begitu

350 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 351

gemas kala terus menangis namun tangannya tak berhenti elusi


Juwiw—kucing putih kesayangan Ayahnya.

“Mau cama Papi!”

Beda jauh sama sang Ayah yang sudah gigiti jempolnya kuat.
Surat cerai yang dia liat di meja makan malam tadi buat tubuhnya
benar-benar bergetar. Rasanya nyawanya ikut dicabut detik itu
juga.

Udah banyak tahun dia lewatin sama Gama—gak mungkin


kandas hanya satu masalah yang memang itu akarnya sedari dulu
‘kan?

Ponsel milik Mikha berdering, tampilkan nama Vincent


sebagai penelepon.

“Gue harus nunggu lo mikir sampe kapan?”

Mikha berekerut bingung, dengar ungkapan Vincent.

“Dari awal gua gamau nerima tawaran lu ‘kan? Gausah


maksa!”

“Terus? Lo mau biarin Iel pergi lagi?”

“Dia udah ninggalin segalanya demi lo dan Ael,”

“Lo mau lepasin gitu aja?”

Mikha kembali gigiti kukunya, merasa takut bukan main,


namun memang ini kan kisah yang Gama ingin?
351 | Somewhere only we know.
O P P O S I T E | 352

“Dia yang lepasin gua sama Ael.”

****

Pagi ini, Mikha ajak Mikael untuk pergi ke salah satu pasar
kaget yang berada dilingkungan apartmentnya. Niat hati untuk
buat mood Ael kembali naik, namun malah jadi boomerang kala
anak itu lihat gemblong kesukaan sang Papi.

“Papi aaaaa!”

“Aeeel aaaaa!”

“Yayah jangan, soalnya udah manis.”

“Manisan Ayel, Papiii.”

“Apasih! Orang Papinya puji aku,”

“Eung? Miko nakal!”

“Eeeh, panggilnya Yayah ya?”

“Mamau! Mikha kodok!”

“Mikael?”

“Eung? Iya, Y-yayah.”

Bahkan tiap sudut dikota selalu ingatkan dirinya akan Gamaliel.

****

352 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 353

Gamaliel kembali tatap cincin yang melingkari jari manisnya.


Suara lalu lalang orang dan pemberitahuan keberangkatan terbang
jadi latar belakang tempatnya saat ini. Pada akhirnya, ia memilih
pergi sebagai jalan keluarnya. Tak peduli apabila resikonya lebih
besar nantinya—yang jelas ia akan berusaha segala kenangan di kota
ini.

Kecuali tentunya, Mikael dan Mikha. Dua sosok manis yang


selalu buat hidupnya terang dan bahagia. Cahaya dalam hidupnya
redup kala dua sosok tersebut pergi dari kehidupannya.

Kali ini tujuannya bukan Jepang—dan kali ini juga tak ada
orang yang sambut kepegiannya, peluk dirinya erat. Karena hanya
dirinya sendiri yang tahu kemana ia akan pergi. Bahkan; kedua orang
tuanya benar-benar tak dapat tanda.

Suara pemberitahuan kepergian ke Malaga, Spanyol mulai


terdengar. Tamu diminta check-in dan segera masuk ke dalam
pesawat. Gama kembali tarik nafasnya panjang, tatapi tiap sudut
bandara—yang selalu jadi tempat pelariannya.

Gigit bawahnya ia gigit kuat kala ingat dengan jelas bahwa


ingin bawa anaknya ke Malaga.

“Nanti kita jalan-jalan jauh ya ke Malaga, Spain! Do you want it?”

“Mauuu Papiiii,”

“Jauh-jauh malaga, noh Jawa Timur punya Malaga.”

353 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 354

“Itu Malang, sayaaang.”

“Jokes kamu kayak Papi banget deh, Yang.”

“Maksud kamu aku tuir?”

“E-eh gak gitu sayangku,”

Suara pemberitahuan yang kedua buat Gama mengerjapkan


matanya, kembali pada realita dimana dirinya hanya sendiri—tak
ada yang menemani.

Kakinya dibawa melangkah, koper hitam miliknya digeret


dan dibawa menjauh kedalam tempat check-in. Kisahnya benar-
benar berakhir disini, tak ada lagi yang harus dilanjuti. Segala hal
yang ia relakan biarlah jadi karma untuk dirinya sendiri.

Mikha dan Mikael adalah cinta dalam hidupnya yang takkan


ia lupakkan hingga akhir hayat. Mungkin kisahnya memang
berhenti disini, namun cintanya takkan pernah mati.

Gama mulai kembali tarik nafasnya panjang kakinya hendak


dibawa melangkah sebelum teriakan nyaring menggelegar—buat
beberapa orang ikut menengok kearah sumber suara.

“PAPIIIII,”

Disana, Mikael dan Mikha tatapnya dengan senyum lebar


yang terpatri. Sama-sama menggunakan topi bucket hat kuning
yang menambah kesan manis bagi keduanya.

354 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 355

Gama mengerjapkan matanya, memastikan ini bukanlah


semu semata.

Mikha dan Mikael semkain mendekat, Mikael peluk kakinya


erat.

“PAPIII, AYO KITA KE MALAGA PAPII,”

Gama tatap lekat Mikha yang tatapnya dengan penuh


semburat merah di wajah, ketulusan begitu terasa hingga buat
Gama merasakan haru seketika.

“Jangan lari sendiri,”

“Kamu punya kita buat ikut kamu lari kemanapun kamu mau
pergi.”

Pelukan hangat ketiganya sebelum pergi jadi kesan manis untuk


akhiri cerita ini.

Karena lari dan bawa kemanapun cintanya pergi—adalah


pilihan terbaik untuk segala kisah manis yang terjadi.

●●●

355 | Somewhere only we know.


O P P O S I T E | 356

356 | Somewhere only we know.

Anda mungkin juga menyukai