Anda di halaman 1dari 45

Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi

Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Kecamatan


Teluk Segara Kota Bengkulu
Karya Tulis Ilmiah
Karya Tulis Ilmiah Disusun Sebagai Syarat Kelulusan MAN Insan Cendekia
Bengkulu Tengah

DISUSUN OLEH :

FAUSTINE GILDA FAKHIRAH

0041231516

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


MADRASAH ALIYAH NEGERI INSAN CENDEKIA
BENGKULU TENGAH
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan
rahmat-Nya Karya Tulis Ilmiah berjudul “Kesiapsiagaan Masyarakat Kecamatan
Teluk Segara Kota Bengkulu dalam Menghadapi Bencana Tsunami.” dapat
diselesaikan sebagaimana mestinya.
Karya Tulis Ilmiah ini disusun guna mengetahui seberapa jauh kesiapan
psikologis masyarakat jika sewaktu-waktu bencana yang tak diharapkan datang.
Karya Tulis Ilmiah ini disusun oleh penulis dengan melalui berbagai rintangan,
baik itu dari luar maupun dari dalam diri penulis. Akan tetapi, berkat keikhlasan
dan kesabaran guru pembimbing, akhirnya proposal ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Karya Tulis Ilmiah ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya doa,
dukungan, serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis
mengucapkan ribuan terima kasih kepada:
1. Allah SWT., karena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah ini dengan lancar.
2. Orang tua yang senantiasa memberikan doa dan dukungan kepada penulis.
3. Bapak Sulhani, S. Pd. I selaku guru pembimbing yang telah membimbing,
memberikan doa serta dukungan, dan memberikan masukan hingga penulis
dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan baik.
4. Ibu Desmiyati, M.Pd selaku guru Karya Tulis Ilmiah yang telah
memberikan arahan.
5. Semua pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Semoga Allah SWT. senantiasa membalas kebaikan serta menjadi amal di
kemudian hari. Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari
kata sempurna dan perlu adanya pendalaman lebih lanjut. Oleh karenanya, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini yang akan dikaji lebih mendalam.
Penulis berharap Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Renah Lebar, 21 Maret 2022

Penulis

Daftar Isi
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i
BAB I.......................................................................................................................................6
PENDAHULUAN...................................................................................................................6
BAB II.....................................................................................................................................9
KAJIAN PUSTAKA................................................................................................................9
BAB III..................................................................................................................................25
METODE PENELITIAN.......................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Provinsi Bengkulu merupakan daerah yang dilalui oleh jalur pertemuan 2
lempeng tektonik aktif, yaitu Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia.
Menurut penelitian Petersen seperti dikutip Megawati, “pergerakannya yang aktif
berkisar 50-60 mm/tahun.” (Petersen et al., 2007 dan Megawati et al., 2005).
Energi tektonik kumulatif dan nilai strain rate dari pergerakan lempeng
tersebut paling besar terjadi di zona subduksi yang berada di sekitar wilayah
Provinsi Bengkulu. Khusus wilayah Bengkulu setidaknya terdapat dua segmen
subduksi yaitu “Megathrust Mentawai-Pagai” dan “Megathrust Enggano”.
Megathrust artinya suatu wilayah dengan tatanan tektonik/lempeng luas yang
memiliki mekanisme pergerakan rata-rata adalah sesar naik. Pada segmen
Megathrust Mentawai-Pagai, kekuatan maksimum gempa wilayah ini mencapai
M=8.9. Sedangkan pada Segmen Enggano kekuatan maksimumnya sedikit lebih
kecil yaitu M=8.4.
Melihat hasil analisis InaRisk, bahwa Provinsi Bengkulu memiliki 7
kabupaten dengan potensi bahaya tsunami kategori sedang hingga tinggi. Tujuh
kabupaten berpotensi bahaya tsunami itu antara lain kabupaten Bengkulu Selatan,
kabupaten Bengkulu Utara, kabupaten Kaur, Kabupaten Seluma, kabupaten
Muko-Muko, kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu dengan potensi
populasi terpapar disemua kabupaten tersebut diperkirakan sebanyak 77.888 jiwa
(Binti Mufrida, 2021). Selanjutnya, dari hasil survey yang dilakukan kemudian
dianalisis terungkap bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan aparat
pemerintah Kota Bengkulu terhadap ancaman bencana tsunami termasuk pada
kategori belum siap dengan nilai indeks 23,96, sedangkan tingkat kesiapsiagaan
aparat pemerintah termasuk pada kategori kurang siap dengan nilai indeks 53,75
(Setiawan, 2021).
Berkaca dari fakta di atas, maka masyarakat harus memiliki planning
sebagai persiapan jikalau hal buruk terjadi. Sebagai masyarakat yang hidup
berdampingan dengan zona seismik aktif, masyarakat selalu dituntut untuk
senantiasa membudayakan “siaga bencana”. Untuk meminimalisir kerugian,
paling tidak masyarakat mempunyai pengetahuan dasar mengenai mitigasi
bencana.
Salah satu upaya pemerintah dalam menyukseskan mitigasi bencana yaitu
dengan adanya Early Warning System berupa alarm tsunami dan menyebarkan
informasi sedini mungkin melalui sosial media resmi BMKG. Alarm ini dapat
dikatakan sebagai aset berharga bagi masyarakat yang berada di kawasan zona
subduksi. Alarm tsunami akan berbunyi saat gempa yang berlangsung dapat
berpotensi terjadinya tsunami. Pada dasarnya, alarm ini juga mampu
memengaruhi psikologis masyarakat, dikarenakan jika alarm tsunami berbunyi,
artinya masyarakat harus segera mengevakuasikan jiwa dan harta benda dalam
waktu yang singkat tidak dapat diperkirakan. Hal ini memicu kecemasan di dalam
diri masyarakat. Masyarakat dituntut agar tetap fokus dan tidak gegabah dalam
bertindak. Agar masyarakat dapat bijaksana ketika adanya peringatan dari alarm
tsunami, maka lembaga ataupun pemerintah sebelum bencana terjadi harus rutin
melakukan pengawasan dan pelatihan yang tepat bagi masyarakat mengenai tata
cara dalam proses tanggap darurat.
Khususnya Kota Bengkulu yang berhadapan langsung dengan laut membuat
risiko terdampak Tsunami lebih tinggi. Terdapat 9 kecamatan di Kota Bengkulu,
salah satunya yaitu Kecamatan Teluk Segara yang letaknya di pesisir pantai
dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi dibandingkan dengan kecamatan
lainnya. Kecamatan Teluk Segara ini berdasarkan kajian Setiawan disebutkan
sebagai kecamatan dengan potensi wilayah tergenang tsunami dengan persentase
tertinggi yaitu 42,59%. Artinya, jika bencana tsunami terjadi di provinsi
Bengkulu, maka wilayah kecamatan di Kota Bengkulu yang paling luas tergenang
air adalah Kecamatan Teluk Segara. Dengan populasi yang padat dan risiko
bencana tinggi, itu artinya masyarakat yang menetap di Kecamatan Teluk Segara
harus lebih sadar bencana dan melakukan persiapan mitigasi sematang mungkin
disamping mampu memanfaatkan tersedianya fasilitas dari pemerintah.
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, penulis sampai pada pemilihan
tema tulisan karya tulis ilmiah ini dengan judul: Kesiapsiagaan Masyarakat
Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu dalam Menghadapi Bencana
Tsunami.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kesiapsiagaan masyarakat dalam wilayah Kecamatan Teluk
Segara Kota Bengkulu dalam menghadapi bencana tsunami?
2. Seberapa tinggi tingkat kecemasan masyarakat dalam wilayah Kecamatan
Teluk Segara Kota Bengkulu ketika bencana datang ditandai dengan
berbunyinya Early Warning System atau tersebarnya informasi dari
BMKG?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan penelitian
ini:
1. Untuk mengetahui sejauh mana kesiapsiagaan masyarakat dalam
wilayah Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu ketika bencana
tsunami terjadi.
2. Untuk mengetahui tingkat kecemasan masyarakat dalam wilayah
Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu ketika Early Warning System
berbunyi.

1.4 Manfaat Penulisan


Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap semua masyarakat di dalam
wilayah Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu mampu mempersiapkan diri
dalam menghadapi bencana gempa bumi secara matang. Persiapan yang dilakukan
memang tidak untuk menghilangkan risiko, namun setidaknya mampu
mengurangi risiko yang ada. Karena bencana bisa datang kapan saja.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Penelitian bertempat di wilyah Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu,
Provinsi Bengkulu.
2. Subjek penelitian ini adalah 20 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 13
kelurahan yang ada di Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu, Provinsi
Bengkulu.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Bencana
2.1.1 Pengertian Bencana
Bencana adalah terjadinya kerusakan pada pola pola kehidupan normal,
bersipat merugikan kehidupan manusia, struktur sosial serta munculnya
kebutuhan masyarakat. Bencana dapat terjadi melalui suatu proses yang panjang
atau situasi tertentu dalam waktu yang sangat cepat tanpa adanya tanda-tanda.
Bencana sering menimbulkan kepanikan masyarakat dan menyebabkan
penderitaan dan kesedihan yang berkepanjangan, seperti: luka, kematian, tekanan
ekonomi akibat hilangnya usaha atau pekerjaan dan kekayaan harta benda,
kehilangan anggota keluarga serta kerusakan infrastruktur dan lingkungan (Heru
Sri Haryanto, 2001:35).
Bencana merupakan kejadian yang luar biasa, diluar kemampuan normal
seseorang menghadapinya, menakutkan dan juga mengancam keselamatan jiwa.
Akibat dari bencana ini ialah berbagai bangunan penting hancur, korban jiwa
berjatuhan serta berpengaruh pada kondisi psikologis dari mereka yang terkena
bencana. Bencana sering menimbulkan kepanikan masyarakat dan menyebabkan
penderitaan dan kesedihan yang berkepanjangan, seperti: luka, kematian, tekanan
ekonomi akibat hilangnya usaha atau pekerjaan dan kekayaan harta benda,
kehilangan anggota keluarga serta kerusakan infrastruktur dan lingkungan (Nani
Nurochman, 2007:3).
Bencana adalah keadaan yang menggangu kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang disebabkan oleh gejala alam atau perbuatan manusia (Deni
Hidayati, 2005-65). Roestam Sjarief menyebut bahwa bencana merupakan
gangguan atau kekacauan pada pola norma kehidupan. Gangguan atau kekacauan
biasanya terjadi dengan cara tiba-tiba dan tak disangka (Roestam Syarif, 2009:10)
Berdasarkan dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, bencana
merupakan peristiwa yang dapat menganggu keberlangsungan hidup yang ada di
bumi, baik itu disebabkan faktor alam, non-alam, maupun manusia. Sehingga
dapat menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
gangguan psikologis.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, dikenal pengertian dan beberapa istilah terkait dengan bencana.
a. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
b. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
c. Bencana Non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
d. Bencana Sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
e. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
f. Kegiatan Pencegahan Bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman
bencana.
g. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna.
h. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
i. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
j. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
k. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca
bencana.
l. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
m. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa
menimbulkan bencana.
n. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi
kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
o. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi
masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan
memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan
melakukan upaya rehabilitasi.
p. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan
ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
q. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian,
luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
r. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.
s. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh
Pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang
diberi tugas untuk menanggulangi bencana.
t. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa
keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai
akibat dampak buruk bencana.
u. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau
meninggal dunia akibat bencana.
2.1.2 Jenis Bencana Alam
Bencana alam seringkali terjadi secara tiba-tiba dan merenggut korban
dalam jumlah besar. Untuk mengetahui cara penanganan bencana alam, terlebih
dahulu kita harus mengetahui jenis-jenis bencana alam yang dapat terjadi. Dari
buku panduan Bakornas PB, (2006:3-4) menyebutkan bahwa jenis-jenis bencana
alam diantaranya adalah:
a. Gempa bumi yang merupakan peristiwa pelepasan energi yang
menyebabkan pergeseran pada bagian dalam bumi secara tiba-tiba,
penyebabnya antara lain: proses tektonik akibat pergeseran kulit/lempeng
bumi, aktivitas sesar dipermukaan bumi, pergerakan geopormologi secara
lokal, contohnya terjadi runtuhan tanah, aktivitas gunung api, ledakan
nuklir.
b. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang di kenal
dengan istilah ”erupsi”. Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan
panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami,
dan banjir lahar.
c. Tsunami. Tsunami adalah rangkaian gelombang laut dengan periode
panjang yang ditimbulkan oleh ganguan impluisif dari dasar laut. Tsunami
dapat disebabkan oleh gempa bumi diikuti dengan dislokasi/perpindahan
masa tanah/batuan yang sangat besar di bawah air laut/danau, tanah longsor
di dalam laut, letusan gunung api di bawah laut atau gunung api pulau.
Kecepatan tsunami sekitar 25-100 km/jam di dekat pantai, bahkan hingga
lebih 800 km/jam di laut dalam, ketinggian air tsunami bisa mencapai 5-40
meter.
d. Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa
batuan, bahan rombakan, tanah atau material campuran bergerak ke bawah
atau ke luar lereng akibat terganggunya kesetabilan tanah atau batuan
penyusun lereng.
e. Banjir merupakan limpasan air yang melebihi tinggi muka air normal,
sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada
lahan rendah di sisi sungai. Curahan hujan dengan intensitas tinggi
merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir.
f. Kekeringan adalah hubungangan antara kesediaan air yang jauh di bawah
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.
g. Angin topan atau Badai merupakan pusaran angin kencang dengan
kecepatan angin 120 km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis
di antara garis balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat
dekat dengan khatulistiwa.
Selain itu, Menurut Kodoatie dan Sjarief (2009:65) Bencana yang
menumbulkan dan kerugian umat manusia, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Geologi (gempa bumi, tsunami, tanah longsor, gerakan tanah),
b. Hidro Meteorologi ( banjir, topan, banjir bandang dan kekeringan),
c. Biologi (epidemi, penyakit tanaman, hewan),
d. Teknologi ( kecelakaan trasportasi, industri),
e. Lingkungan (kebakaran, kebakaran hutan, penggundulan hutan),
f. Sosial (konflik dan terorisme).

2.1.2 Bencana Tsunami


Tsunami merupakan bencana yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya
dan kerugian tak hanya merusak, bencana ini juga mampu menghancurkan apa
saja yang dilaluinya. Secara bahasa, tsunami berasal dari kata tsu yang berarti
pelabuhan dan nami yang berarti gelombang (Ilyas, 2006). Secara umum, tsunami
diartikan sebagai gelombang besar yang menghantam daerah pesisir. Tsunami
lebih banyak disebabkan adanya gempa besar di laut sebagai akibat patahan di
dasar laut. Selain berdampak pada penduduk, tsunami juga berdampak pada
penggunaan lahan, lingkungan, dan kegiatan sosial ekonomi di wilayah ini.
Tsunami dapat disebabkan oleh dislokasi dasar perairan yang
mengakibatkan longsoran, letusan gunung berapi di dasar laut dan akibat meteor.
Dari penyebab tsunami tersebut gempa tektonik merupakan penyebab utama
terjadinya tsunami. Menurut Triadmadja, adanya keterkaitan antara kekuatan
magnitude gempa (gempa tektonik dengan dislokasi dasar laut) dengan kejadian
tsunami. Hal tersebut ditunjukkan pada data statisik run-up tsunami maksimum
yang tercatat NOAA. Hasilnya menunjukkan run-up gelombang tertinggi berasal
dari tsunami yang dihasilkan dari gempa bumi (Triadmadja, 2010).
Kecepatan tsunami bergantung pada kedalaman perairan, akibatnya
gelombang tersebut mengalami percepatan atau perlambatan sesuai dengan
bertambah atau berkurangnya kedalaman perairan, dengan proses ini arah
pergerakan arah gelombang juga berubah dan energi gelombang bisa menjadi
terfokus atau juga menyebar. Di perairan dalam tsunami mampu bergerak dengan
kecepatan 500 sampai 1000 kilometer per jam sedangkan di perairan dangkal
kecepatannya melambat hingga beberapa puluh kilometer per jam, demikian juga
ketinggian tsunami juga bergantung pada kedalaman perairan. Amplitudo tsunami
yang hanya 13 memiliki ketinggian satu meter di perairan dalam bisa meninggi
hingga puluhan meter di garis pantai (Puspito, 2010).

2.1.3 Dampak Bencana Tsunami


Adapun dampak bencana tsunami terhadap kesehatan yaitu terjadinya krisis
kesehatan, yang menimbulkan:
a. korban massal; bencana yang terjadi dapat mengakibatkan korban
meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan kecacatan dalam
jumlah besar.
b. Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi sebagai akibat dari rusaknya
rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat terjadi jika tetap
berada di lokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko dari suatu
wilayah atau daerah dimana terjadinya bencana.
Dampak positif dari bencana tsunami antara lain:
a. Bencana alam merenggut banyak korban jiwa manusia sehingga lapangan
pekerjaan terbuka luas bagi yang masih hidup.
b. Terjalinnya kerjasama dan bahu membahu untuk menolong korban bencana,
menimbulkan efek kesadaran bahwa manusia itu saling membutuhkan satu
sama lain.
c. Dapat mengetahui sampai dimanakah kekuatan konstruksi bangunan serta
kelemahannya dan dapat melakukan inovasi baru untuk penangkalan apabila
bencana tersebut datang kembali tetapi dengan konstruksi yang lebih baik
lagi.
Dampak negatif bencana tsunami antara lain:
a. Merusak apa saja yang dilaluinya, bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan
mengakibatka korban jiwa manusia serta menyebabkan genangan,
pencemaran air asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih.
b. Banyak tenaga ahli yang menjadi korban sehingga sulit mencari lagi tenaga
ahli yang sesuai dalam bidang pekerjaannya.
c. Pemerintah akan kewalahan dalam pelaksanaan pembangunan pasca
bencana karena faktor dana yang besar.
d. Menambah tingkat kemiskinan apabila ada masyarakat korban bencana yang
kehilangan segalanya.

2.1.4 Penanggulangan
Penanggulangan bencana alam atau mitigasi merupakan upaya
berkelanjutan demi mengurangi dampak bencana terhadap manusia juga harta
benda.  Perbedaan tingkat bencana yang dapat merusak dapat diatasi dengan
menggerakan rangkaian mitigasi yang berbeda sesuai dengan sifat bencana alam
yang terjadi. Persiapan menghadapi bencana alam termasuk semua aktivitas yang
dilakukan sebelum terdeteksinya tanda-tanda bencana agar dapat memanfaatkan
pemakaian sumber daya alam yang tersedia, meminta bantuan, serta rencana
rehabilitasi. Kesiapan menghadapi bencana alam dimulai dari level sederhana
seperti masyarakat lokal. Jika sumber daya lokal kurang mencukupi, maka
wilayah tersebut bisa meminta bantuan ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.

2.1.5 Early Warning System


Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) adalah serangkaian sistem
yang berfungsi untuk memberitahukan akan terjadinya kejadian alam, Sistem
peringatan dini ini akan memberitahukan terkait bencana yang akan terjadi atau
kejadian alam lainnya. Peringatan dini pada masyarakat atas bencana merupakan
tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh
masyarakat. Dalam keadaan kritis, secara umum peringatan dini yang merupakan
penyampaian informasi tersebut diwujudkan dalam bentuk sirine, kentongan dan
lain sebagainya.
Membunyikan sirine saat akan terjadi sesuatu merupakan langkah untuk
mengantarkan informasi kepada masyarakat, harapannya adalah agar masyarakat
dapat merespon informasi tersebut dengan cepat dan tepat. Kesigapan dan
kecepatan reaksi masyarakat diperlukan karena waktu yang sempit dari saat
dikeluarkannya informasi dengan saat (dugaan) datangnya bencana. Kondisi
kritis, waktu sempit, bencana besar dan penyelamatan penduduk merupakan
faktor-faktor yang membutuhkan peringatan dini.
Bagi masyarakat Indonesia, Sistem Peringatan Dini sangatlah penting
mengingat negara kita merupakan negara yang memiliki ancaman bencana alam
cukup tinggi. Dengan adanya sistem peringatan dini ini diharapkan akan dapat
dikembangkan upaya-upaya yang tepat untuk mencegah atau paling tidak
mengurangi terjadinya dampak bencana alam bagi masyarakat. Keterlambatan
dalam menangani bencana dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar bagi
masyarakat. Dalam siklus manajemen penanggulangan bencana, sistem peringatan
dini bencana alam mutlak sangat diperlukan dalam tahap kesiagaan, sistem
peringatan dini untuk setiap jenis data, metode pendekatan maupun
instrumentasinya. Tujuan diciptakan sistem peringatan dini ini agar masyarakat
yang tinggal di kawasan bencana bisa aman dalam beraktifitas sebab peringatan
dini akan terjadinya bencana sudah bisa diketahui, sehingga masyarakat juga bisa
melakukan pencegahan untuk menyelamatkan diri saat terjadinya bencana alam.

2.2 Kesiapsiagaan Bencana


2.2.1 Pengertian Kesiapsiagaan Bencana
Pengetahuan kebencanaan adalah kemampuan dalam mengingat peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat
yang disebabkan oleh faktor alam atau faktor non-alam yang dapat mengakibatkan
timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis (Pembriati, Santosa, & Sarwono, 2015). Pengetahuan bencana dapat
menumbuhkan pemahaman, kesadaran, dan peningkatan pengetahuan tentang
bencana dengan harapan terciptanya manajemen bencana yang sistematis, terpadu,
dan terkoordinasi (Mulyono, 2014). Selain itu, pengetahuan tentang bencana dan
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana sangat penting untuk mengurangi
resiko yang ditimbulkan akibat bencana. Kurangnya pengetahuan kebencanaan
dapat menyebabkan rendahnya kesiapsiaagaan saat terjadi bencana (Fauzi et al.,
2017). Pengetahuan merupakan kunci utama dalam meningkatkan kesiapsiagaan
menghadapi bencana. Pengetahuan dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian
seseorang agar siap mengantisipasi bencana (Kurniawati & Suwito, 2017). Peran
pendidikan sangat berpengaruh terhadap terwujudnya kesiapsiagaan bencana.
Edukasi merupakan salah satu media terbaik untuk mempersiapkan
komunitas untuk menghadapi bencana (Clust, Human, & Simpson, 2007).
Kesiapan individu terhadap bencana juga ditunjukkan oleh adanya pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang diperoleh melalui pembelajaran dari
pengalaman yang diaplikasikan secara nyata saat kondisi darurat (Kurniawati &
Suwito, 2017).
Kesiapsiagaan bencana merupakan tindakan kolaboratif integral dari
berbagai lembaga seperti rumah sakit, otoritas kesehatan setempat, pertahanan
sipil, dan lainnya (Naser & Saleem, 2018). Dalam siklus manajemen bencana
dibutuhkan adanya kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan organisasi terkait
untuk membangun manajemen bencana yang efektif. Kolaborasi antara
pengetahuan dan tindakan dari tiap organisasi yang berbeda sangatlah penting
dalam mempersiapkan aspek pencegahan-kesiapsiagaan-mitigasi bencana, yang
terbukti efektif dalam mengurangi korban jiwa dan kerusakan sarana-prasarana
(Ulum, 2014).
Beberapa peran yang dapat dilakukan relawan untuk membantu dalam
proses kesiapsiagaan bencana, yaitu: membantu dalam kegiatan pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan perkembangan akan ancaman bahaya dan kerentanan
masyarakat terhadap bencana yang mungkin akan muncul, mendukung
masyarakat dalam meningkatkan kesiapsiagaan bencana melalui pelatihan dan
simulasi bencana, menyediakan dan menyiapkan barang-barang guna memenuhi
kebutuhan dasar dari pada masyarakat yang rentan akan terdampak bencana,
mendukung dalam menyediakan dan menyiapkan barang dan peralatan untuk
memulihkan sarana-prasarana umum, dan mendukung dalam menyiapkan dan
mengelola lokasi evakuasi dan penampungan bagi para masyarakat yang
kemungkinan terdampak bencana. Menurut Moe, Gehbauer, Senitz, & Mueller
(2007) sangat penting bagi praktisi di bidang manajemen bencana untuk inovatif
dan belajar dari pengalaman agar dapat mengambil pelajaran terbaik selama siklus
manajemen bencana. Praktisi dalam manajemen bencana harus meningkatkan
keterampilan dan pengetahuan mereka, sehingga dapat membangun kebiasaan
belajar dari pengalaman sebelumnya dan menerapkan implementasi terbaik.
Baru-baru ini ditemukan bahwa latihan kesiapsiagaan bencana dapat efektif
dalam meningkatkan kompetensi dokter, persepsi kesiapsiagaan, kepercayaan diri,
pemahaman tentang peran individu, peran mitra, dan pengetahuan tentang
aktivitas serta prosedur darurat (Samardzic, Hreckovski, & Hasukic, 2015).
Pelatihan merupakan elemen penting dari kesiapsiagaan bencana (Daily RN,
Padjen, & Birnbaum, 2010). Untuk memperkuat kemampuan profesional
kesehatan dalam hal penanganan darurat dan bencana, penyediaan program
pendidikan formal diperlukan, yakni program pelatihan jangka panjang yang
memiliki kurikulum komprehensif yang terstandarisasi (Peleg, Michaelson,
Shapira, & Aharonson-Daniel, 2003). Dalam hal ini perlu adanya pembahasan
mengenai perencanaan darurat bencana yang mana perencanaan darurat bencana
ini merupakan suatu rencana jangka panjang yang bersifat komprehensif, dimana
sumber daya akan diarahkan dan dialokasikan untuk mencapai tujuan dalam
kondisi darurat. Perencanaan sangat diperlukan untuk menentukan jenis dan
bentuk sumber daya yang diperlukan baik itu sumber daya manusia, peralatan, dan
material (Ulum, 2014).
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesiapsiagaan
bencana merupakan tindakan bersama atau sikap-sikap lintas sektoral yang ada di
daerah terdampak bencana seperti relawan, tenaga kesehatan, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana ditingkat kecamatan, pihak swasta, aparat Kepolisian
dan TNI bersama-sama masyarakat mempersiapkan diri melalui pelatihan-
pelatihan penanggulangan kebencanaan sebelum bencana terjadi.
2.2.2 Sikap dalam Kesiapsiagaan Bencana
Sikap kesiapsiagaan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi risiko bencana. Pengurangan risiko bencana antara lain rencana
penanggulangan bencana, penyuluhan tentang bencana, sistem peringatan dini,
lokasi evakuasi sampai penyediaan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar
(Ningtyas, 2015). Meskipun kemajuan dalam sains dan teknologi saat ini terus
berkembang, masih ada beberapa bencana alam yang tidak dapat diprediksi secara
akurat. Namun, dengan pengetahuan yang tepat, perencanaan yang akurat, dan
prediksi yang diperlukan dapat mengurangi kematian dan kerugian finansial
akibat bencana. Oleh karena itu, sikap dan kesiapsiagaan personil terhadap
bencana dapat memiliki peran penting dalam meningkatkan kesiapsiagaan
(Asadzadeh, Aryankhesal, Seyedin, & Babaei, 2013).
Studi yang dilakukan oleh Ahayalimudin et al. (2012) menunjukkan bahwa
pelatihan penting untuk dilakukan guna memastikan kesiapan personel dalam
menghadapi bencana, karena ada hubungan yang signifikan antara kehadiran
pendidikan/pelatihan dengan praktik terkait bencana. Personil yang menghadiri
pendidikan atau pelatihan bencana dan terlibat dalam respons bencana memiliki
lebih banyak kepercayaan diri dan peningkatan kesadaran akan pentingnya
manajemen bencana. Personel harus dilatih untuk meningkatkan kinerja mereka
agar dapat merespons secara efektif terhadap bencana (Lynn, Gurr, Memon, &
Kaliff, 2006).
Penelitian yang dilakukan Naser & Saleem (2018) mengungkapkan sikap
positif responden yang menunjukkan kesiapan mereka untuk belajar mengenai
manajemen bencana dan keinginan untuk bersiap menghadapi bencana. Selain itu,
pengalaman yang panjang tidak berpengaruh pada sikap profesional terhadap
manajemen bencana. Namun, mereka yang telah bekerja lebih lama tampak
sedikit lebih bersemangat untuk pelatihan dan implementasi rencana darurat di
tempat kerja mereka. Mereka juga menganggap bahwa latihan dan lokakarya
langsung atau lapangan adalah metode yang tepat dalam pelatihan bencana
daripada ceramah dan presentasi.
2.3 Kecemasan
2.3.1 Pengertian Kecemasan
Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh
setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-
hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang
merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun
wujudnya (Sutardjo Wiramihardja, 2005:66).
Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu
tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap
situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa muncul
sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi
(Savitri Ramaiah, 2003:10).
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa
kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat
mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya ketidakpastian
dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

2.3.2 Gejala Kecemasan


Kecemasan adalah suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya
ancaman terhadap kesehatan. Individu-individu yang tergolong normal kadang
kala mengalami kecemasan yang menampak, sehingga dapat disaksikan pada
penampilan yang berupa gejala-gejala fisik maupun mental.
Kholil Lur Rochman, (2010:103) mengemukakan beberapa gejala-gejala
dari kecemasan antara lain:
a. Ada saja hal-hal yang sangat mencemaskan hati, hampir setiap kejadian
menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut merupakan bentuk
ketidakberanian terhadap hal-hal yang tidak jelas.
b. Adanya emosi-emosi yang kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah dan
sering dalam keadaan exited (heboh) yang memuncak, sangat irritable, akan
tetapi sering juga dihinggapi depresi.
c. Diikuti oleh bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of
persecution (delusi yang dikejar-kejar).
d. Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah, banyak
berkeringat, gemetar, dan seringkali menderita diare.
e. Muncul ketegangan dan ketakutan yang kronis yang menyebabkan tekanan
jantung menjadi sangat cepat atau tekanan darah tinggi.
Rasa cemas memang biasa dihadapi semua orang. Namun, rasa cemas
disebut gangguan psikologis ketika rasa cemas menghalangi seseorang untuk
menjalani kehidupan sehari-hari dan menjalani kegiatan produktif.

2.4 Kerangka Berpikir

MASALAH SOLUSI

Masyarakat merasakan Melakukan sosialisasi


cemas yang berlebihan, mitigasi bencana berbasis
sehingga tidak fokus masyarakat dan
dalam mengambil memberikan pelatihan
tindakan. secara rutin.

HASIL

Masyarakat dapat lebih


terlatih dalam menghadapi
bancana.
2.5 Penelitian Relevan

No Judul Penelitian Peneliti Publikasi Ilmiah


.
1. Konseptualisasi Burhanudin PUBLISIA : Jurnal Ilmu
Mitigasi Bencana Mukhamad Administrasi Publik,
melalui Perspektif Faturahman Volume 3, Nomor 2,
Kebijakan Publik Oktober 2018,
DOI: 10.26905/pjiap.v3i2.2
365https://www.researchgat
e.net/publication/332806246

2. Analisis keaktifan Abdillah UIN Syarif Hidayatullah


dan resiko gempa Jakarta: Fakultas Sains dan
bumi pada zona Teknologi, 2010
subduksi daerah http://repository.uinjkt.ac.id/
pulau Sumatera dan dspace/handle/123456789/1
sekitarnya dengan 567
metode least square
3. Bencana gempa bumi Salahuddin Husein Proceeding of DRR Action
Plan Workshop:
Strengthened Indonesian
Resilience: Reducing Risk
from Disasters, January
2016
https://scholar.google.co.id/
citations?user=8jRn-
GcAAAAJ&hl=en
4. Mitigasi Bencana Dwi Jokowinarno Jurnal Rekayasa Vol. 15 No.
Tsunami di Wilayah 1, April 2011
Pesisir Pantai https://media.neliti.com/med
Lampung ia/publications/139673-ID

5. Megathrust Bengkulu Sabar Ardiansyah, BMKG, Stasiun Geofisika


SST Kepahiang-Bengkulu
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian terkait kesiapsiagaan masyarakat Kecamatan Teluk Segara Kota
Bengkulu dalam menghadapi bencana tsunami merupakan jenis penelitian
kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk
mendapatkan pemahaman mendalam yang mendasar melalui pengalaman first-
hand dari peneliti yang langung berproses dan melebur menjadi satu bagian yang
tidak terpisahkan dengan subyek dan latar yang akan diteliti. Karena merupakan
first-hand, maka Denzin dan Lincoln mensyaratkan peneliti harus terjun langsung
dan harus mengenal subjek penelitian yang bersangkutan secara personal tanpa
perantara (Haris Herdiansyah, 2014).
Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang menguraikan serta
menggambarkan situasi teraktual yang berupa gejala sosial tertentu sehingga
diperoleh kesimpulan dari masalah yang terjadi. Dalam penelitian deskriptif
kualitatif ini dimaksud untuk menjawab serta mendapatkan solusi dari pemecahan
masalah mengenai gejala sosial dalam permasalahan penelitian (Malo dan
Trisnoningtias, 1999:9). Dari gambaran pengertian kualitatif serta metode
deskriptif tersebut maka didapat ciri-ciri atau karakteristik penelitian kualitatif.
Adapun ciri-ciri atau karakteristik penelitian kualitatif, yaitu:
a. Mempunyai sifat induktif,
b. Melihat setting dan respon secara keseluruhan atau holistic,
c. Memahami responden dari titik tolak pandangan responden sendiri,
d. Menekankan validitas penelitian ditekankan pada kemampuan peneliti,
e. Menekankan pada setting alami, dan
f. Mengutamakan proses dari pada hasil (Arikunto, 2006:15).
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data berupa dokumen-
dokumen, catatan, serta catatan penelitian di lapangan sehingga penelitian ini
bukan digunakan untuk mengukur serta membandingkan antara variabel dengan
variabel lainnya. Adapun sesuai dengan yang dituliskan di atas maka penelitian ini
menggunakan satu variabel yaitu kesiapsiagaan masyarakat Kecamatan Teluk
Segara Kota Bengkulu dalam menghadapi bencana.

3.2 Sasaran Penelitian


3.2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu.
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November hingga Desember
2021.
3.2.2 Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah 20 kepala keluarga di dalam wilayah
Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu yang tersebar di 13 kelurahan.
Subyek penelitian merupakan informan yang diteliti. Menentukan
informan merupakan hal yang sangat penting untuk membantu peneliti
dalam proses penelitian.

3.3 Teknik Sampling


Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan teknik
purposive sampling (sampel bertujuan). Purposive sampling merupakan sampel
yang sengaja dipilih karena waktu dan tujuan tertentu yang penulis anggap dapat
mewakili dan memahami masalah yang diteliti. Penggunaan teknik ini bertujuan
untuk memperoleh keterangan serta data-data lebih lanjut sehingga penelitian
dapat diselesaikan dengan baik (Sugiyono, 2011:85).

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Dalam melaksanakan penelitian, diperlukannya teknik untuk
mengumpulkan data-data di lapangan sehingga penelitian dapat berjalan. Teknik
pengumpulan data adalah langkah yang paling strategis dalam sebuah penelitian,
karena tujuan utama dalam sebuah penelitian adalah mendapatkan data sehingga
tanpa mengetahui teknik yang digunakan maka seorang peneliti tidak akan bisa
mendapatkan data yang memenuhi standar (Sugiyono, 2011: 224).
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa
teknik, yaitu:
3.4.1 Wawancara
Model wawancara yang penulis pilih yaitu wawancara semi-terstruktur.
Model wawancara semi-terstruktur ini bercirikan antara lain: pertanyaan bersifat
terbuka dan jawaban fleksibel sepanjang tidak keluar dari konteks penelitian.
Kecepatan wawancara dapat diprediksi. Menggunakan pedoman wawancara
namun diajukan sesuai keinginan pewawancara.
3.4.2 Observasi
Metode yang penulis pilih dalam melakukan observasi adalah anecdotal
record. Sebagai peneliti, penulis mencatat dengan teliti dan merekam perilaku-
perilaku yang dianggap penting dan bermakna.
3.4.3 Behavioral check-list
Behavioral check-list merupakan daftar check-list yang memuat indikator-
indikator perilaku yang mungkin dimunculkan oleh observe atau subyek
penelitian. Untuk hal ini, penulis akan memberi tanda cek (√) pada kolom di
samping indikator.

3.5 Teknik Analisis Data


Setelah mengumpulkan data-data yang diperoleh dari lapangan maka perlu
untuk dianalisis hingga penelitian dapat diperolah masalah, solusi serta tersajikan
dengan baik. Menurut Moleong (2006 : 103), analisis data merupakan proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data.
Dalam proses penelitian, peneliti menggunakan teknik analisis agar data
yang telah didapat terolah dengan baik. Adapun teknik analisis data yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini menggunakan teori dari Miles dan
Huberman (2001:15) yaitu dengan tahapan reduksi data, menampilkan data, serta
verivikasi data. Komponen terstruktur tersebut sebagai berikut :

3.5.1 Reduksi Data


Mereduksi data merupakan rangkuman, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada ha-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dalam
melakukan reduksi data mencakup unsur-unsur yaitu:
a. Proses pemilihan data atas dasar tingkat relevansi dan kaitannya dengan
setiap kelompok data.
b. Menyusun data kedalam satuan-satuan jenis, pengelompokan data dalam
satuan-satuan sejenis ini juga dapat diekuivalenkan sebagai kegiatan
kategorisasi/variabel.
c. Membuat koding data sesuai dengan kisi-kisi kerja penelitian. Pada tahap ini
peneliti memilih data-data yang telah didapatkan dari lapangan. Data dipilih
sesuai dengan fokus penelitian baik dari data primer maupun data sekunder.

3.5.2 Menampilkan Data


Menampilkan data dilakukan dengan cara menyusun data serta
menghubungkan data-data antarkategori/variable yang dibentuk melalui teks
naratif dan dapat juga berbentuk grafik, matriks, chart dan jejaring kerja.
Menampilkan data yang baik merupakan suatu kepuasan bagi peneliti hingga
peneliti dapat melakukan tahapan selanjutnya. Karena itu menampilkan data
merupakan suatu hal yang sangat penting karena untuk menuju ke analisis yang
validitas diperlukan penampilan data yang baik sehingga dapat lebih fokus dalam
menarik kesimpulan.

3.5.3 Verifikasi Data


Verifikasi data sama saja dengan penarikan kesimpulan. Kesimpulan
bertujuan untuk menjawab semua permasalahan yang ada pada rumusan masalah
dan merupakan temuan baru yang sebelumnya tidak diketahui orang lain.
Kesimpulan merupakan hasil temuan dari uraian-uraian penjelasan dan data yang
telah di tampilkan.Penyimpulan yang dilakukan berlandaskan pada rumusan
masalah yang diteliti. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti berusaha
memperoleh data sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Kemudian
peneliti mencoba menfokuskan kategori/variabel yang ada dalam data penelitian
hingga peneliti dapat menarik kesimpulan dengan baik. Dengan memahami proses
tersebut, diharapkan penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan lancar sehingga
hasil penelitian dapat valid.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


a. Pelatihan dan Sosialisasi
Pelatihan mitigasi kebencanaan kepada warga masyarakat yang
bertempat tinggal dalam wilayah rentan bencana memang sangat diperlukan.
Hasil dari pelatihan akan memberi tambahan pengetahuan tentang kebencanaan
secara keseluruhan. Apakah pelatihan mitigasi bencana alam ini dilaksanakan
sudah sebagaimana seharusnya? Hasil wawancara penulis kepada beberapa
warga dari beberapa kelurahan di dalam Kecamatan Teluk Segara memberikan
gambaran.
Nenek Siti (65 tahun) penduduk warga kelurahan Bajak yang penulis
wawancarai pada hari Sabtu, 13/11/2021 sekitar pukul 10.20 Wib.
mengungkapkan:
“..waktu itu jamannyo pak agusrin jadi gubenur. Ado pelatian tando
bahayo sirine. Cuma karno apo kecek panitia tu..kuotanyo terbatas..aku
idak dipanggil. Tapi aku betanyo kek tobo yang ngikut tu apo
kegiatannyo..cuma ngenali suaro sirinenyo bae. Kalu sirine bebunyi
artinyo ado bencano dan siap melakukan apo-apo yang diajarkan..”
Demikian pula penuturan ibu Salehati (55 tahun), warga kelurahan
Pasar Melintang pada saat wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021 sekira
pukul 13.10 Wib. menjelaskan:
“...pelatihannyo cuma sebatas ngenali tando bahayo yang dibunyikan
lewat sirene. Kalau sosialisasi....idak pernah ado undangan sosialisasi
atau sosialisasi yang dilakukan dari rumah ke rumah. Kami sangat
membutuhkan sosialisasi langsung dari tim relawan agar mengerti dan
lebih paham apa yang seharusnyo dipersiapkan lebih awal sebelum
terdampak bencana.”
Ibu Matulian (54 tahun) warga kelurahan Pasar Melintang menyebut
masalah pelatihan ini saat wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021 sekitar
pukul 15.25 Wib. ujarnya:
“pelatihan yang perna aku ikuti tentang peringatan tando bahayo lewat
sirine. Tapi nampaknyo lah idak bepungsi sirine tu. Buktinyo..swaktu
kejadian gempo yang lalu sirine idak bebunyi lagi. Pelatihan yang
diadokan jugo idak bekelanjutan. Sosialisasi dan simulasi diadokan
sewaktu ado isu-isu akan datang bencana bae...”
Bapak Merdiansyah (55 tahun) menyinggung masalah pelatihan ini
ketika penulis wawancarai pada hari Minggu, 14/11/2021 sekitar pukul 15.25
Wib. ujarnya:

“...pelatihannya saya anggap kurang efektif karena jadwal yang dibuat


terkesan terburu-buru. Jadwal pelatihan tidak memperhatikan waktu
yang dimiliki warga. Dan pelatihan jangan melulu tentang bencana
tsunami...yang lain juga penting seperti, bencana kebakaran yang
terkadang masih sulit ditangani..kegiatan sosialisasi baru digalakan
pemerintah setelah kejadian tsunami Aceh. Semenjak itu, rentang
empat tahun semenjak gempa 2000, belum ada lagi kegiatan sosialisasi
yang dilakukan untuk mitigasi bencana..”
Ibu Lita (61 tahun) warga kelurahan Sumur Meleleh pada saat
wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021 sekira pukul 16.15 Wib
menceritakan pengalamannya:
“..pelatihan sirine idak efektif. Apolagi tobo yang betugas ngidupke
sirine tu la panik duluan idak mementingke tanggungjawabnyo.
Na..sekarang sirinenyo la dak bepungsi pulo kareno perawatan yang
dijalanke pemerintah kurang. Alat pendeteksi gempa yang di tengah
laut tu jugo idak optimal...buktinyo dak ado informasi yang diterimo
masyarakat kareno jaraknyo jauh dari pemukiman warga..”
Sehubungan dengan sosialisasi kebencanaan, ibu Tina (49 tahun),
warga kelurahan Bajak, memberikan pernyataannya saat wawancara pada hari
Senin, 15/11/2021 sekira pukul 14.25 Wib menceritakan pengalamannya:
“..kami diundang ke kelurahan saat sosialisasi kebencanaan. Hanya
sekali. Sampai kini tidak ada lagi sosialisasi kebencanaan. Nampaknya
kegiatan sosialisasi hanya saat ada isu bencana saja..”
Nenek Maimunah (69 tahun), warga kelurahan Kebun Ros saat
wawancara pada hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 15.25 Wib memberikan
keterangan sebagai berikut:
“ado sosialisasi oleh relawan tapi cumo sekali itu lah! Ngingatke apo
yang sekironyo pacak dilaksanakan saat ado bencana..”
Ibu Ermawati (49 tahun), warga kelurahan Bajak saat wawancara pada
hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 15.40 Wib mengatakan:
“..sejauh ini yang aku tau tidak ada sosialisasi yang diadakan
pemerintah untuk menghimbau warga..”
Bapak Ujang Mukhtar (60 tahun) warga kelurahan Malabero, saat
wawancara pada hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 16.10 Wib
mengatakan:memberikan penjelasan:
“ado pelatihan mitigasi bencana langsung dari relawan bnpb yang ado
di kelurahan. Setiapa kelurahan ado relawannyo. Memang cuma
beberapo kali. Masyarakat di sini antusias ngikutinyo..apolagi ado
uang sakunyo!”
Ibu Tati (51 tahun) warga kelurahan Berkas saat wawancara pada hari
Senin, 15/11/2021 sekira pukul 16.10 Wib mengatakan:
“...tidak ada kegiatan sosialisasi ataupun pelatihan. Jika adapun,
masyarakat tidak dapat berpartisipasi penuh dikarenakan berbenturan
dengan jam-jam kerja..”

Demikian pula ungkapan ibu Herna (50 tahun), warga kelurahan Berkas
pada saat yang sama, mengungkapkan:
“...aku dak pernah tau adonyo kegiatan pelatihan atau jugo
sosialisasi...”
Ibu Lusi (51 tahun), warga kelurahan Pasar Baru, saat wawancara pada
hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 17.00 Wib mengatakan:
“...sosialisasi memang ado..tapi idak merato warga yang diundang.
Ado keluargo yang dapek undangan, kami idak dapek undangan..”
Begitu juga dengan Ibu Indri (48 tahun), warga kelurahan Kebun Ros
ini pada saat wawancara hari Selasa, 16/11/2021 sekira pukul 9.45 Wib.
mengatakan:
“...tidak ada sosialisasi yang diselenggarakan paca gempa besar
terjadi.”
Berdasarkan hasil wawancara kepada delapan orang narasumber di atas,
dapat disimpulkan bahwa pelatihan mitigasi kebencanaan di kecamatan Teluk
Segara dilaksanakan hanya beberapa kali, tidak berkelanjutan, tidak melibatkan
dan menjangkau semua warga dalam kelurahan-kelurahan yang ada di
kecamatan Teluk Segara itu. Selain itu pula, pelatihan hanya dititikberatkan
pada mitigasi bencana Tsunami saja, sementara pelatihan mitigasi bencana
yang lainnya, seperti banjir, kebakaran belum dilaksanakan.

b. Perubahan perilaku setelah pelatihan


Perubahan perilaku setelah pelatihan dinilai penting. Bagaimana setiap
warga dapat mengubah pandangan dirinya terhadap situasi bencana yang
terjadi dan menyikapi kondisi warga lain yang terdampak. Pada sisi lain,
bahwa perubahan perilaku itu diharapkan mampu mendorong seseorang lebih
menghargai dan menambah rasa empati terhadap sesama tanpa memandang
latar belakang kehidupan. Mampu menilai kondisi kedaruratan yang merusak
kehidupan dan nyawa ternyata lebih penting dari kesalamatan harta.
Ibu Eka (51 tahun) warga kelurahan Malabero saat wawancara pada
hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 16.50 Wib mengatakan:
“bagi saya..keselamatan harta benda tidak begitu penting daripada
keselamatan jiwa..”
Ibu Lita (61 tahun) warga kelurahan Sumur Meleleh pada saat
wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021 sekira pukul 16.15 Wib
mengatakan:
“...ado perubahan sikap kito, perilaku kito setelah ngikuti pelatihan.
Meski pelatihan tu idak bekelanjutan. Misalnyo, perubahan wawasan.
Wawasan kito makin luas, ngerti apo itu mitigasi, pacak bedake mano
yang mesti ditulung duluan mano yang idak..ngerti cak mano
menyelamatkan diri setelah aman baru membantu orang lain.”
Pak Mahmudi (56 tahun), warga kelurahan Pasar Baru, ketika
wawancara hari Selasa, 16/11/2021 sekira pukul 11.15 Wib. mengatakan:
“...perubahan perilaku terutama perubahan emosional ada. Kita lebih
tenang menghadapi bencana. Tidak panik. Tahu apa yang harus
dilakukan oleh setiap anggota keluarga. Siapa-siapa yang duluan harus
diselamatkan dan seterusnya. Masalah harta benda kelaklah..”
Mengenai perubahan perilaku, dari beberapa narasumber yang penulis
wawancarai, dapat ditarik kesimpulan, dengan adanya pelatihan dan sosialisasi
dari pihak pemerintah maka warga lebih mampu menguasai diri dari kepanikan
pada saat terjadi gempa yang sebenarnya pada tahun 2007 yang lalu.

c. Jalur-jalur evakuasi
Tempat evakusi atau tempat aman pusat pengungsian warga ditandai
oleh adanya tanda-tanda atau marka-marka arah jalur tempat evakuasi yang
mudah terlihat dan terbaca oleh setiap orang. Selain kemampuan pemerintah
maupun oleh swadaya masyarakat dalam membangun tempat evakuasi, perlu
pula pengawasan dan pemeliharaan agar tetap berfungsi. Apabila tanda-tanda
tersebut rusak atau bahkan sampai hilang karena dirusak atau dicuri orang yang
tidak bertanggungjawab, maka akan menimbulkan kebingungan warga mencari
atau menemukan jalur ke arah tempat aman dari bencana. Terkait hal ini,
beberapa narasumber yang penulis wawancarai memberi keterangan sebagaia
berikut:
Pak Syamsidi Tanjung (57 tahun) sebagai tokoh masyarakat di
kelurahan Malabero pada saat wawancara hari Minggu, 14/11/2021 sekira
pukul 10.15 Wib. menuturkan:
“...rambu jalur evakuasi yang dipasang pemerintah sudah banyak yang
rusak...lampu-lampu penerang untuk menerangi jalan mengarah ke
tempat evakuasi jugo la idak lagi..ado la dak blampu mungkin dicilok
orang..ado jugo mungkin bohlamnyo putus..singgonyo gelap lah..kalo
tejadi lagi gempo apo tsunami..nanggung kito”
Bapak Ujang Mukhtar (60 tahun) warga kelurahan Malabero, saat
wawancara pada hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 16.10 Wib
mengatakan:memberikan penjelasan:
“...kalu di sekitar lingkungan aku ini tanda arah jalur evakuasi
ado..mengarah ke masjid agung dan lapangan merdeka. Lapangan
merdeka ketinggiannyo sampai 400 dpl..jarak dari bibir pantai sekitar
sekilo. Misalnyo tsunami jugo ombak yang sampai kesini la bekurang
kekuatannyo..”

Ibu Eka (51 tahun) warga kelurahan Malabero saat wawancara pada
hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 16.50 Wib mengatakan:
“...tanda jalur evakuasi di sekitar rumah idaknyo. Namun aku dapek
arahan kalu ado gempa atau bencana alam lainnyo dianjurkan lari ke
tempat yang lebih tinggi. Tapi kito kan idak pacak sekendak ke tempat
tinggi itu kalu idaknyo tando-tandonyo yang dipasang...iyooo.”
Demikian pula sebagaimana diutarakan ibu Salehati (55 tahun), warga
kelurahan Pasar Melintang pada saat wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021
sekira pukul 14.25 Wib. menjelaskan:
“...di sekitar siko idak ado tando-tando jalur evakuasi..”
Ibu Matulian (54 tahun) warga kelurahan Pasar Melintang menyebut
jalur evakuasi ini ini saat wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021 sekitar
pukul 15.25 Wib. ujarnya:
“...aku cuma tau kalu ado bencana kito ke air sebakul tempat
bekumpulnyo...”
Bapak Merdiansyah (55 tahun) menyinggung masalah jalur evakuasi ini
ketika penulis wawancarai pada hari Minggu, 14/11/2021 sekitar pukul 15.25
Wib. ujarnya:
“...aku tahu arah jalur evakuasi dan titik-titik tempat aman bekumpul.
Masalahnyo..banyak pulo wargo yang idak tau..kareno tando-tando
arah jalur evakuasi lah banyak yang hilang..ado jugo yang la dak
ketengokan lagi tulisannyo..sampai kini ko lum ado dibuek lagi yang
baru...apo diperbaiki..”
Ibu Lita (61 tahun) warga kelurahan Sumur Meleleh pada saat
wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021 sekira pukul 16.15 Wib
mengatakan:
“...kalu masyarakat asli pesisir rato-rato lah tau kemano lari
nyelamatkan diri..tau tempat bekumpul..kareno mereka sering dilatih
dan sering ngalami langsung dampak gempo meski tando-tando jalur
arah evakuasi la idak ado lagi...”
Begitu juga dengan Ibu Indri (48 tahun), warga kelurahan Kebun Ros
ini pada saat wawancara hari Selasa, 16/11/2021 sekira pukul 9.45 Wib.
mengatakan:
“...di sekitar rumah warga tidak ada tanda-tanda atau rambu jalur
evakuasi. Yang ada hanya di jalan utama depan bank indonesia..”
Hasil mewawancarai beberapa narasumber yang bertempat tinggal di
masing-masing kelurahan di kecamatan Teluk Segara, dapat disimpulkan
bahwa tanda-tanda atau rambu-rambu yang memberi petunjuk arah jalan
menuju ke tempat evakuasi apabila terjadi bencana alam tsunami, gelombang
tinggi, dan yang lainnya, banyak yang hilang, rusak, tulisan pudar. Tidak
semua tempat di masing-masing kelurahan terpasang rambu-rambu jalur
evakuasi, kalaupun ada tidak mudah terlihat, kecuali di pinggir-pinggir jalan
utama.
d. Fasilitas yang tersedia di kelurahan
Fasilitas diperlukan oleh warga pada saat ada kejadian luar biasa yang
tidak mampu ditanggulangi sendiri karena sifat dan jenis fasilitas itu bersifat
tidak umum. Di dalam menghadapi bencana, fasilitas kerap difungsikan untuk
melindungi, membantu dan meminimalisir resiko yang ditimbulkan. Dalam
penanganan kebencanaan yang sedang terjadi, fasilitas sering sekali tidak
mencukupi atau sering juga belum tersedia. Untuk mengetahui fasilitas-fasilitas
apa saja yang ada tersedia di setiap kelurahan di wilayah Kecamatan Teluk
Segara, penulis mewawancarai beberapa orang narasumber yang merupakan
warga dari masing-masing kelurahan.
Pak Syamsidi Tanjung (57 tahun) sebagai tokoh masyarakat di
kelurahan Malabero pada saat wawancara hari Minggu, 14/11/2021 sekira
pukul 10.15 Wib. menuturkan:
“...belum sgalonyo tepenuhi..padahal bengkulu lebih dulu daripado
aceh tkenai bencana...bengkulu 2000 aceh 2004...kalu berupo sirine itu
alarm. Ado dipasang dekek rumah makan marola jugo di veiw
tower..itu jugo idak lamo umurnyo..banyak tangan jail..rusak
jadinyo..kalu di kelurahan..pecaknyo idak jugo ado..biasonyo ditangani
bpbd atau bnpb..”
Bapak Ujang Mukhtar (60 tahun) warga kelurahan Malabero, saat
wawancara pada hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 16.10 Wib mengatakan:
“...fasilitas itu ado kalu bencano lah terjadi. Tenda misalnyo, itu
urusan bnpb apo bpbd, perawatan kesehatan, cidera, biasonyo ke
posko kesehatan ke rumah sakit. Sirene peringatan dini dak
bepungsi..cak mano pulo misalnyo pak rt ditugasi menjago sirine itu
kalo awak la ceme duluan...pastila nyelamatkan diri dulu...sama ajo
kek kito ko..kelakla sirene ko..nyawo kluargo lebi penting...”
Hanya dua narasumber yang memberikan penjelasan terkait fasilitas.
Narasumber lain dari kelurahan-kelurahan agak bingung menjawab ketika
penulis mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan ketersediaan
fasilitas. Berdasarkan pengamatan penulis di kelurahan-kelurahan, fasilitas
berupa peralatan bantu untuk melakukan pertolongan pertama pada saat
bencana terjadi, memang tidak tersedia di kelurahan. Fasilitas tenda dan
sebagainya menjadi wewenang BNPB dan BPBD atau instansi-instansi lintas
sektoral yang bergerak melakukan penyelamatan.

e. Relawan
Relawan adalah orang yang secara tulus mau membantu orang lain
yang sedang berada dalam kesusahan atau sedang dalam musibah. Pada situasi
tertentu, misalnya terjadinya bencana alam, peran relawan sangat diperlukan
untuk membantu banyak hal kepada para korban yang terdampak bencana
alam: mengevakuasi warga ke tempat yang lebih aman, memfasilitasi
pengobatan dan perobatan ke bagian kesehatan, membantu menyelamatkan
harta-benda korban, dan lain sebagainya. Dalam hal bencana alam yang pernah
terjadi di Bengkulu pada tahun 2000 di mana kecamatan Teluk Segara
terdampak paling serius, peran relawan selain relawan profesional, peran
relawan kelurahan pun sangat membantu. Pak Syamsidi Tanjung (57 tahun)
sebagai tokoh masyarakat di kelurahan Malabero pada saat wawancara hari
Minggu, 14/11/2021 sekira pukul 10.15 Wib. menuturkan:
“....relawan penting sekali! Suka tidak suka! Kito idak pacak bepangku
tangan sajo sementarorakyat kitokalang kabut tkenai bencano. Apolagi
sayo ko posisinyo dianggap tokoh pado waktu itu...tokoh
masyarakat..jadi harus turun membantu semampu kito, sesuai arahan,
sesuai prosedur sewaktu pelatihan tanggap bencana yang pernah sayo
ikuti.Tetanggo yanag idak knai bencana, meski panik, ikut memberikan
pertolongan. Banyak relawan dikerahkan pemerintah pemerintah untuk
mensosialisasikan tsunami dan gempa bumi...”
Demikian pula sebagaimana diutarakan ibu Salehati (55 tahun), warga
kelurahan Pasar Melintang pada saat wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021
sekira pukul 14.25 Wib. menjelaskan:
“...memang dampaknyo dak sbrapo ke kami ini. Tapi selaku orang yang
pernah ngikutpelatihan penanggulangan bencana, yo..tepanggilah
untuk nolong wargo yang tkenai musibah itu...kito turun bantu
semampu kito. Kito terapke apo-apo yang pernah kito pelajari sewaktu
pelatihan dulu. Memang kerno panik tadi idak sgalonyo bejalan
normal. Namonyo jugo bencana alam sebesak itu..macam-macam
perasaan ni..”
Ibu Lita (61 tahun) warga kelurahan Sumur Meleleh pada saat
wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021 sekira pukul 16.15 Wib
menceritakan pengalamannya:
“...saya aktif waktu itu sebagai relawan yang ada di BPBD. Wilayah
cakupan tugas luas meliputi beberapa kelurahan. Namun yang saya
utamakan terlebih dahulu keselamatan keluarga sendiri dan
memposisikan diri saya pada keadaan yang aman lalu kemudian baru
memutuskan memberikan bantuan pertolongan kepada warga
terdampak. Kita tidak boleh emosional. Karena di lapangan tingkat
emosi sangat tinggi dan rentan...”
Bapak Ujang Mukhtar (60 tahun) warga kelurahan Malabero, saat
wawancara pada hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 16.10 Wib
mengatakan:memberikan penjelasan:
“relawan bnpb ado di setiap kelurahan. Mereka tu membantu
mensosialisasikan mengenai bencana dan sekaligus simulasi...”

Berdasarkan hasil wawancara dengan para narasumber dapat diambil


kesimpulan, relawan yang ada selain berasal dari warga masyarakat secara
sukarela dari setiap kelurahan, juga dari BNPB dan BPBD. Akan tetapi, karena
cakupan wilayah yang sedemikian luas, jumlah personil relawan dirasa belum
mencukupi.

f. Kecemasan
Kecemasan merupakan gejala psikologis yang dialami seseorang pada
waktu tertentu di dalam kehidupannya karena seseorang itu menjadi merasa
tertekan sebagai akibat dari kejadian buruk yang timbul dan yang dirasakan.
Kecemasan akibat bencana alam bisa berupa merasa mual dan muntah-muntah,
gemetar, tegang, ketakutan sehingga menyebabkan tekanan jantung atau
tekanan darah tinggi, suka marah akibat emosi tidak stabil. Bagaimana tingkat
kecemasan penduduk warga kelurahan di dalam wilayah kecamatan Teluk
Segara pada saat terjadinya bencana? Beberapa narasumber yang penulis
wawancarai mengisahkan pengalamannya.
Pak Syamsidi Tanjung (57 tahun) sebagai tokoh masyarakat di
kelurahan Malabero pada saat wawancara hari Minggu, 14/11/2021 sekira
pukul 10.15 Wib. menuturkan:
“...taun duo ribu tu gempo mencapai 7,9 sr. Kejadiannyo malam ari.
Anak-anak masih kecik. Listrik idak mati atau memang belum sempat
dimatikan..untunglah! tapi dengan getaran sekuat itu bukan main
paniknyo kami. Aku, ibunyo, cepat nyelamatke anak-anak..kami
gendong ke luar..lari sekueknyo ke arah gedung daerah tu..kan daerah
itu agak tinggi...setiap melangkah teduduk...nak melangkah lagi
teduduk lagi. Jalanan ni cak digoyang-goyang. Nah..samo kalu kito
naik jembatan ayun diayun-ayunke pulo....yang kami takutke kalu
disusul tsunami..mujurlah idak ado. Swaktu aku tengok
besoknyo..alhamdulillah..rumah idak ngapo-ngapo..mungkin kerno
bangunan rumah di ate struktur pasir jadi idak patah apo retak..”
Bapak Ujang Mukhtar (60 tahun) warga kelurahan Malabero, saat
wawancara pada hari Senin, 15/11/2021 sekira pukul 16.10 Wib
mengatakan:memberikan penjelasan:
“...idak ado lagi yang aku pikirke..kelaklah reto tu...yang penting
keluargo dan nyawo..cubolah nak lari bae susah..jalanan tu pecak
begelombang..malam pulo..tiap melangkah selangkah
sempoyongan..tanah yang kito injak ni raso-rasonyo ngikut
tebenam..mujurlah cuma 2-3 menit...tapi kekuatan 7,9 sr tu idak maen-
maen...bini ku sampe muntah-muntah...idak pacak saling tolong..cari
selamat masing-masing..suaro-suaro ni bukan
maen...jejeritan...beserak senggonyo tobo-tobo ko ado yang kearah
mano..ado yang arah ke macam-macamlah..”
Demikian pula sebagaimana diutarakan ibu Salehati (55 tahun), warga
kelurahan Pasar Melintang pada saat wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021
sekira pukul 14.25 Wib. mengisahkan:
“...ooii..takut jugo ceme jugo. Getarannyo keras nian. Malem pulo.
Kaco-kaco rumah ni begetar pecak dinding tu di gerak-
gerake...bayengke 7,9..pas ndak keluar pintu ne macet pulo
kuncinyo..dak biso dibuka...akibat panik tadi..rupo-ruponya sala mutar
kunci..lah di luar kami skluargo idak berani masuk-masuk lagi kalu
klak ado gempo susulan...kami negake tenda bae besamo-samo kawan
ado jugo kawan kito etnis tionghoa...”
Ibu Matulian (54 tahun) warga kelurahan Pasar Melintang ini saat
wawancara pada hari Minggu, 14/11/2021 sekitar pukul 15.25 Wib.
menceritakan pengalamannya:
“...masih..masih ingat! Yang 7,9 tu taun duo ribu. Kami lah tiduk galo.
Tebangun kareno lantai ni begoyang-goyang..kaco-kaco rumah ni
begetar. Kami sadar iko gempo besak...idak pikir panjang kami
melompat dari tempat tiduk..pas kaki ni nyampai lantai kami
teduduk...lantai pecak begelombang. Bangun lagi ke ruang tengah. Laki
ku cepat buka pintu. Anak kami gendong. Lari bae sepacaknyo ke mano
idak tau...di luar samo sajo tetanggo-tetanggo jugo belarian dak
keruan...”
Ibu Tati (51 tahun) warga kelurahan Berkas saat wawancara pada hari
Senin, 15/11/2021 sekira pukul 16.10 Wib mengisahkan:
“...anak aku masih kecik waktu itu..aku ketakutan, putus asa,
panik...cubolah kejadiannyo malem ari..listrik tibo-tibo mati.
Gemponya besak nian katonyo 7,9. Lantai rumah ni pecak dihentak
diayunkan...aku dengan anakku yang masih kecik dak sempet
keluar..aku cuma biso belindung di bawah meja makan bae sampe mato
ari nimbul paginyo...”
Nenek Siti (65 tahun) penduduk warga kelurahan Bajak yang penulis
wawancarai pada hari Sabtu, 13/11/2021 sekitar pukul 10.20 Wib.
mengisahkan:
“...aku panik nian..panik..takut...rumah ni rasonyo nak ambruk. Aku
sampai mual-mual oleh goncangannyo...”
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber dapat
disimpulkan bahwa pada saat gempa bumi tahun 2000 warga di setiap
kelurahan dalam wilayah kecamatan Teluk Segara merasakan kepanikan.
Kepanikan yang dialami kaum perempuan dewasa lebih tinggi dibanding kaum
laki-laki dewasa. Beberapa responden perempuan dewasa mengalami mual dan
muntah dan trauma. Sedangkan responden laki-laki dewasa lebih dapat
mengontrol emosi.

4.2 Pembahasan
Pengetahuan kebencanaan dapat diperoleh melalui pelatihan dan melalui
kegiatan sosialisasi. Mengedukasi merupakan salah satu cara yang tepat untuk
mempersiapkan komunitas dalam menghadapi bencana. Mengedukasi warga,
secara informal, dapat dijalankan melalui pelatihan dan sosialisasi sebagaimana
diutarakan di atas. Akan tetapi, pelatihan maupun sosialisasi yang dilaksanakan
terputus-putus dalam durasi waktu yang lama atau dengan kata lain tidak
berkesinambungan, akan menciptakan situasi yang kurang menguntungkan,
seperti hilangnya sifat tanggap dan berkurangnya kemampuan dalam menjalankan
tugasnya pada saat bencana sesungguhnya terjadi. Pentingnya pelatihan dan
sosialisasi ini menurut Ahayalimudin, untuk memperkuat kemampuan personal
dan memastikan kesiapan personal dalam menghadapi bencana. Gambaran yang
diperoleh di kecamatan Teluk Segara terkait pelatihan dan sosialisasi ini belum
sepenuhnya seperti yang diharapkan. Pelatihan dan sosialisasi yang terputus-putus
berdampak tidak baik bagi kesiapsiagaan warga dalam menghadapi bencana yang
sesungguhnya. Demikian pula apabila pelatihan dan sosialisasi hanya terpusat
kepada satu macam bencana seperti Tsunami saja, justru akan membingungkan
warga karena cara penanganan kebencanaan berbeda-beda, meskipun sifatnya
sama yaitu kerusakan harta benda sampai kehilangan nyawa.

Mengurangi resiko bencana dimulai dari cara bersikap para warga terhadap
bencana itu sendiri. Sikap dan perilaku positif dalam menghadapi bencana yang
sesungguhnya merupakan cermin dari keberhasilan pelaksanaan pelatihan dan
sosialisasi. Praktik-praktik di lapangan dapat diejawantahkan dalam menghadapi
bencana yang sesungguhnya. Meskipun warga di kelurahan-kelurahan dalam
kecamatan Teluk Segara telah mengalami perubahan perilaku, namun pada saat
kejadian gempa tahun 2007, warga masih panik. Terutama warga yang
berdomisili dekat dengan pantai, seperti warga kelurahan Malabero dan kelurahan
Pasar Baru. Bagi warga yang jauh dari bibir pantai, seperti warga kelurahan
Kebun Ros dan Kelurahan Bajak, tidak begitu panik sepanjang gempa yang terjadi
tidak menimbulkan gelombang tsunami. Hal ini disebabkan materi pelatihan dan
sosialisasi yang diberikan berbeda-beda oleh masing-masing dinas/instansi
maupun relawan yang menyelenggarakan pelatihan dan sosialisasi.
Salah satu indikator menentukan kesiapsiagaan terhadap kebencanaan yang
ada di sebuah wilayah antara lain ketersediaan media informasi yang memberi
petunjuk, arah, tujuan harus ke mana masyarakat mengungsikan diri untuk
sementara di tempat-tempat aman dari bencana. Media itu disebut rambu-rambu
arah jalur evakuasi. Panel rambu-rambu itu harus dipasang di tempat-tempat yang
strategis dan tepat dan mudah terlihat dan dibaca masyarakat. Tak terkecuali
pemasangannya di wilayah kelurahan. Berdasarkan keterangan yang diperoleh
dari warga masing-masing kelurahan di kecamatan Teluk Segara diperkuat dari
hasil pengamatan penulis di lokasi, memang membenarkan bahwa panel rambu-
rambu jalur evakuasi banyak yang tidak terlihat lagi. Kemungkinannya hilang
dicuri. Panel rambu-rambu yang masih berdiri, tulisannya sudah pudar bahkan ada
yang sudah terkelupas.
Fasilitas untuk mendukung pemberian pertolongan pada saat bencana alam
terjadi merupakan wewenang instansi yang memang ditugasi seperti BPNB dan
BPBD serta instansi lintas sektoral yang masing-masing dibebani tugas dan
tanggungjawab dalam menangani kebencanaan. Kelurahan hanya merupakan
mitra bagi instansi-instansi tersebut. Pihak kelurahan akan berkoordinasi dan
bertugas memberikan informasi terkait warganya yang terdampak dan butuh
pertolongan menyeluruh. Fasilitas berupa tempat evakuasi bisa saja berada jauh
dari kelurahan terdampak bencana. Demikian pula fasilitas kesehatan hingga
pengobatan akibat trauma dimana biasanya terletak di tempat-tempat khusus yang
tidak terkena bencana alam. Disinilah peran relawan profesional dibutuhkan.
Relawan sebagai ujung tombak dalam mengelola keselamatan warga
masyarakat setiap saat siaga bencana. Petugas sekaligus relawan di BNPB
maupun di BPBD bersiaga 24 jam penuh. Keberadaan relawan profesional amat
diperlukan dan ada di setiap kelurahan. Akan tetapi mengingat luasnya cakupan
wilayah yang harus diawasi, ditambah lagi macam bencana alam yang bisa terjadi
beragam macamnya; gempa bumi, banjir, kebakaran, tanah longsor, sampai
bencana kekeringan, maka jumlah relawan perlu diperbanyak. Relawan tingkat
kelurahan yang berasal dari tenaga sukarela masyarakat warga kelurahan harus
terus menerus dilatih berkesinambungan agar keahlian mereka lebih meningkat
dan secara mandiri mampu memberikan aksi dan solusi bila bencana terjadi.
Sebagian besar responden yang diwawancarai menyoroti perihal relawan ini.
Mereka berharap jika relawan yang ada bersikap profesional dan jumlahnya
mencukupi, setidaknya akan membantu warga tidak mengalami kepanikan, karena
warga merasa ada yang membimbing atau mengarahkan dan menenteramkan.
Pada umumnya kaum perempuan yang mudah sekali cemas, ketakutan, gelisah,
mudah putus asa, keberadaan relawan yang dapat memberikan nasihat,
menenteramkan, dan mendinginkan pikiran kacau, amat diperlukan.
Kepanikan yang timbul saat bencana terjadi diakibatkan oleh situasi yang
dianggap seseorang sangat tidak menentu dan tidak menguntungkan. Reaksi
secara psikologis tergambar dalam tingkat kecemasan, ketakutan, depresi, sampai
halusinasi. Reaksi secara psikologis setiap orang berbeda. Namun, reaksi
psikologis yang muncul dari kaum perempuan dewasa lebih kentara dibandingkan
kaum lelaki dewasa. Salah satu dasarnya adalah cara pengendalian emosi yang
tidak sama, cara memandang kejadian yang sedang terjadi dan langsung ia alami
dengan pesimis, seolah tidak ada jalan keluarnya. Maka, dalam kejadian bencana
misalnya gempa bumi atau bencana lainnya, kaum perempuan lebih banyak
mengalami perasaan mual bahkan sampai muntah. Trauma ringan sampai berat.
Berhalusinasi bahkan delusi. Bagi kaum lelaki, sifat-sifat agresifisme muncul
seketika, seperti gampang marah, mudah tersinggung, sukar diajak berbicara.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil dari penelitian di lapangan dimana pengambilan data dengan cara
mewawancarai responden dan melakukan pengamatan langsung terhadap
kondisi yang ada saat ini, kesimpulan yang dapat diambil:
1. Kesiapsiagaan masyarakat ditandai oleh adanya pelatihan dan sosialisasi
yang diselenggarakan pemerintah, dilakukan simultan baik pra maupun
pasca bencana. Adanya relawan profesional di setiap kelurahan yang siap
sedia memberikan bantuan. Tersedianya fasilitas yang memadai yang selalu
siap digunakan setiap waktu manakala bencana terjadi. Terpasangnya
rambu-rambu yang memberi petunjuk ke arah tempat evakuasi. Fakta di
lapangan menggambarkan bahwa fasilitas yang menandai taraf
kesiapsiagaan warga masyarakat dalam kecamatan Teluk Segara belum pada
taraf siaga. Hal ini dibuktikan dimana sebagian besar rambu-rambu tidak
berfungsi karena rusak bahkan hilang. Pelatihan maupun sosialisasi tidak
merata dan tidak berkesinambungan. Jumlah relawan profesional dari BNPB
dan BPBD maupun masyarakat kelurahan masih sangat terbatas.
2. Kecemasan warga masyarakat di kecamatan Teluk Segara tergolong tinggi.
Hal ini dibuktikan, khususnya pada perempuan, akibat bencana terjadi
mereka masih mengalami trauma. Pada kejadian bencana gempa, kaum
perempuan banyak yang merasa mual dan juga muntah-muntah. Peringatan
dini melalui bunyi sirine hanya membuat masyarakat waspada tidak sampai
kepada panik. Hal ini disebabkan fasilitas sirine tersebut lebih banyak tidak
berfungsi karena rusak sebab kurangnya perawatan dan akibat perbuatan
tangan-tangan jahil, walau ada bencana bunyi sirine tidak pernah terdengar.

5.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan:
1. Pemerintah Daerah
Mengingat indikator kesiapsiagaan masyarakat sangat kompleks, maka
pemerintah daerah hendaknya melakukan setidaknya:
a. Memperbanyak rambu jalur arah tempat evakuasi yang dipasang tidak
hanya di jalan-jalan utama melainkan juga dipasang di setiap jalan dalam
kelurahan.
b. Melengkapi setiap kelurahan dengan fasilitas untuk pertolongan pertama
pada saat bencana terjadi yang bersifat ringan dan tepat guna, sehingga
tidak harus menunggu dari BNPN atau pun BPBD.
c. Melatih secara terus menerus relawan kelurahan serta menambah jumlah
personil.
2. Kelurahan
Pihak kelurahan sebagai ujung tombak pemerintahan di wilayah kelurahan
hendaknya:
a. Mengajukan model pelatihan terpadu yang dilaksanakan berkelanjutan
bagi warga masyarakat kelurahan yang melibatkan laki-laki dan
perempuan dewasa.
b. Mengajukan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan operasional individu
relawan, seperti tanda pengenal khusus berupa rompi, baju dan celana,
sepatu, lampu senter dan yang dianggap memang diperlukan.
c. Memetakan jumlah bangunan rentan bencana serta tipografi wilayah.
d. Memetakan penduduk Lansia, anak-anak kecil serta wanita hamil sebagai
sasaran utama dalam penyelamatan jika bencan terjadi.
3. Relawan
Sebagai relawan di kelurahan, hendaknya:
a. Sukarela mau dan bersedia mengikuti pelatihan tanpa pamrih.
b. Membagi pengetahuannya kepada warga yang bukan relawan, sehingga
warga biasa sudah mempunyai bekal pengetahuan yang dapat diterapkan
ketika bencana terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedure Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.

Herdiansyah, Haris, 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu


Sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Hidayati, Deni, 2005. Panduan Siaga Berbasis Masyarakat. Jakarta: LIPI Press.

Malo, Manase dan Sri Trisnoningtias, 1999. Metode Penelitian Masyarakat.


Jakarta: PAU-Ilmu Sosial Universitas Indonesia.

Mufrida, Binti, 2021. Melihat Analisis InaRisk. Bengkulu. OkeZone.com. diakses


Senin 28 Juni 2021.

Nurachman, Nani, 2007. Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan


Trauma Akibat Bencana Alam. Jakarta: LPLSP3.

Rohman, Kholil Lur, 2010.

Setiawan, 2021.

Sri, Heryanto Heru, 2001. Motivasi dan Kesehatan Mental. Surabaya: Jurnal
Anemia.

Syarif, Roestam, 2009. Pengelolaan Bencana Terpadu. Bandung: Nuansa Aulia.

Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:


Penerbit Alfabeta.

PEDOMAN WAWANCARA
1. Pelatihan dalam bentuk apa yang pernah Saudara ikuti dalam rangka
penanggulangan bencana alam tsunami?
2. Siapa penyelenggaranya? Dan berapa lama pelatihan yang diadakan?
3. Apakah pelatihan tersebut berkesinambungan?
4. Apa yang Saudara alami dan rasakan perubahan dalam diri Saudara, seperti
sikap dan perilaku setelah mengikuti pelatihan?
5. Pelatihan ini Saudara ikuti dengan keterpaksaan atau suka-rela?
6. Saudara bisa jelaskan, jalur-jalur evakuasi di kelurahan saudara jika bencana
tsunami terjadi?
7. Saudara bisa jelaskan, fasilitas yang aman di wilayah kelurahan saudara yang
dapat dijadikan tempat evakuasi jika bencana tsunami terjadi?
8. Apakah saudara termasuk relawan?
9. Berapa banyak relawan kelurahan yang siap bekerja jika terjadi bencana di
kelurahan ini?
10. Apakah relawan kelurahan (jika saudara tahu) juga aktif mengikuti pelatihan
penanggulangan bencana?

Anda mungkin juga menyukai