Anda di halaman 1dari 6

Nama : Abiyyu Hidayat

NIM : 215030400111017
Saat dan Tempat Terutang, serta Penentuan Dasar Pengenaan Pajak
A. Saat dan Tempat Terutang Pajak
- Saat Terutang PPN adalah pada saat:
1. Penyerahan BKP
2. Impor BKP
3. Penyerahan JKP
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
6. Ekspor BKP Berwujud
7. Ekspor BKP Tidak Berwujud
8. Ekspor JKP
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) atau
sebelum penyerahan JKP (Jasa Kena Pajak) atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum
dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean, saat
terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
- Tempat Terutang PPN untuk Penyerahan atau Ekspor BKP dan JKP
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan dan/atau ekspor BKP atau
JKP, terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha
dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha dilakukan. Dalam hal-hal tertentu, PKP orang pribadi terutang pajak di tempat
tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha sedangkan bagi PKP badan terutang pajak di tempat
kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
Apabila PKP mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal
atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak, dan ia
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Namun jika terdapat lebih dari
satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) KPP, untuk seluruh tempat
terutang tersebut, PKP memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang
yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila ia
menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang wajib baginya untuk memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
- Contoh Tempat Terutang PKP Orang Pribadi:
Tuan A bertempat tinggal di kota X dan memiliki tempat usaha di kota Y. Apabila Tuan A:
1. Melakukan penyerahan BKP atau JKP hanya di tempat usahanya (kota Y), Tuan A
wajib melaporkan usahanya di KPP Y untuk dikukuhkan sebagai PKP;
2. Melakukan penyerahan BKP atau JKP hanya di tempat tinggalnya (kota X), Tuan A
wajib melaporkan usahanya di KPP X untuk dikukuhkan sebagai PKP;
3. Melakukan penyerahan BKP atau JKP di tempat tinggal (kota X) dan tempat usahanya
(kota Y), Tuan A wajib melaporkan usahanya baik di KPP X maupun di KPP Y untuk
dikukuhkan sebagai PKP; dan
4. Mendirikan usaha baru yang juga berada di kota Y, tuan A dapat memilih salah satu
lokasi
5. Hanya di kota Y sebagai tempat pajak terutang atau menghendaki kedua tempat usaha
tersebut sebagai tempat pajak terutang dengan melakukan pemberitahuan ke KPP Y.
- Contoh Tempat Terutang PKP Badan:
PT. A bertempat kedudukan di kota X dan tempat kegiatan usaha di dua lokasi yang berada di
kota Y. Dalam hal ini:
1. Baik tempat kedudukan (kota X) maupun tempat usaha (kota Y) merupakan tempat
pajak terutang; dan
2. Untuk dua lokasi usaha di kota Y, PT. A dapat memilih salah satu lokasi usaha sebagai
tempat pajak terutang atau menghendaki kedua tempat usaha tersebut sebagai tempat
pajak terutang dengan melakukan pemberitahuan ke KPP Y.
Pemusatan PPN: Apabila PKP terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha,
PKP tsb. dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai
tempat terutangnya pajak.
- Tempat Terutang untuk Impor BKP
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat BKP dimasukkan dan dipungut
melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
- Tempat Terutang untuk Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP
Orang pribadi atau badan, baik sebagai PKP maupun bukan PKP yang memanfaatkan
BKP Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di
tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.
B. Dasar Pengenaan Pajak
Dalam Pasal 1 angka 17 UU PPN disebutkan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah
jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai
dasar untuk menghitung pajak yang terutang. PPN terutang dihitung dengan mengalikan tarif
PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak.
Jenis-jenis DPP dapat dibedakan menjadi:
• Harga Jual untuk Penyerahan BKP
• Penggantian untuk Penyerahan JKP, Ekspor JKP, Ekspor BKP Tidak Berwujud
• Nilai Impor untuk Impor BKP
• Nilai Ekspor untuk Ekspor BKP
• Nilai Lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan:
Harga Jual: Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian: Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP
Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima
manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor: Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM
yang dipungut menurut UU PPN.
Nilai Ekspor: Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
Nilai Lain: Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak. Dasar Pengenaan Pajak berupa Nilai Lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan dengan maksud untuk menjamin rasa keadilan dalam hal: Harga Jual, Nilai
Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau penyerahan Barang
Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
- Jenis Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan (DPP PPh)
Kentetuan Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), dasar pengenaan pajak penghasilan
(DPP PPh) adalah:
1. DPP PPh Pasal 4 ayat 2: Dasar pengenaan pajak Pasal 4 ayat 2 adalah pemotongan atas
penghasilan yang dibayarkan atas jasa tertentu dan sumber tertentu seperti jasa
konstruksi, sewa tanah/bangunan, pengalihan hak atas tanah/bangunan, hadian undian,
dan lainnya.
2. DPP PPh Pasal 15: PPh Pasal 15 ini adalah merupakan pengenaan pajak pada wajib
pajak perusahaan pelayaran.Dasar pengenaan pajak PPh 15 ini adalah norma
penghitungan khusus penghasilan neto, yakni 4% dari peredaran bruto.Besarnya PPh
yang terutang adalah 1,2% dari peredaran bruto dan bersifat final.Peredaran bruto
dalam PPh 15 ini adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai
uang yang diterima atau diperoleh WP perusahaan pelayaran dalam negeri dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan
lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri
dan/atau sebaliknya.
3. DPP PPh Pasal 21: Dasar pengenaan pajak penghasilan PPh 21 untuk menentukan tarif
pajak penghasilan sesuai pasal 21 adalah:
No. Subjek yang dipotong Dasar Pengenaan Pajak
1. Pegawai Tetap Penghasilan Kena Pajak = Jumlah seluruh
penghasilan bruto setelah dikurangi:
a. Biaya jabatan 5% dari penghasilan bruto,
maksimal Rp500 ribu sebulan atau Rp6 juta setahun
b. Iuran terkait gaji yang dibayar oleh pegawai
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menkeu atau badan penyelenggara jaminan
hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan Menkeu
(-) Dikurangi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)
2 Penerima Pensiun Berkala Penghasilan Kena Pajak = Seluruh jumlah
penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun 5% dari
penghasilan bruto, maksimal Rp200 ribu sebulan
atau Rp2,4 juta setahun;
(-) Dikurangi PTKP
3. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto (-)
dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif Dikurangi PTKP
penghasilan yang diterima alam 1 bulan
kalender telah melebihi Rp2,025 juta
4. Pegawai tidak tetap yang menerima upah Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto
harian, upah mingguan, upah satuan atau upah dikurangi Rp200 ribu
borongan, sepanjang penghasilan kumulatif
yang diterima dalam 1 bulan kalender belum
melebihi Rp2,025 juta
5. Pegawai tidak tetap yang menerima upah Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto
harian, upah mingguan, upah satuan atau upah dikurangi PTKP sebenarnya (PTKP yang sebenarnya
borongan, sepanjang penghasilan kumulatif adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang
yang diterima telah melebihi Rp2,025 juta sebenarnya)
belum melebihi Rp7 juta.
6. Pegawai tidak tetap yang menerima upah Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto
harian, upah mingguan, upah satuan atau upah dikurangi PTKP
borongan, sepanjang penghasilan kumulatif
yang diterima adlam 1 bulan kalender telah
melebihi Rp7 juta
7. Bukan pegawai yang menerima imbalan yang Penghasilan Kena Pajak = 50% dari jumlah
bersifat berkesinambungan penghasilan bruto
(-) Dikurangi PTKP perbulan
8. Bukan pegawai yang menerima imbalan yang 50% dari jumlah penghasilan bruto
tidak bersifat berkesinambungan
9. Selain di atas Jumlah penghasilan bruto
4. DPP PPh Pasal 22 atau DPP Nilai Impor: Nilai impor merupakan nilai uang yang
menjadi dasar untuk penghitungan bea masuk, ditambah pungutan lain yang dikenakan
pajak sesuai Undang-Undang Pabean untuk impor Barang Kena Pajak. Nilai impor ini
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN.
5. DPP PPh Pasal 23: DPP PPh 23 adalah nilai atas imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan kasa lain yang dipotong
dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
6. DPP PPh Pasal 26: Dasar Pengenaan Pajak Pasal 26 ini terbagi menjadi tiga jenis DPP
PPh 26, yakni yang didasarkan pada jumlah penghasilan bruto dan penghasilan neto.
a. DPP PPh 26 adalah sebesar jumlah penghasilan brutoyang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri berupa:
• Dividen
• Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan
pembayaran pinjaman
• Royalti,sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset
• Insentif yang berkaitandengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
• Hadiah dan penghargaan
• Pensiun dan pembayaran berkala
• Premi swap dan transaksi lindung lainnya
• Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
b. DPP PPh 26 adalah sebesar jumlah perkiraan penghasilan netoyang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa:
• Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali yang
diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh WP luar negeri
selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia
• Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri
• Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham
- Contoh Perhitungan Dasar Pengenaan PPN
Berikut ini adalah contoh dari perhitungan DPP PPN pada sebuah perusahaan:
i. Harga Sudah Termasuk PPN
PT. AAA menjual barang seharga Rp25.000.000 pada 5 Januari 2021. Harga ini sudah
termasuk PPN 10%. Maka untuk menghitung nilai DPP serta PPN-nya sebagai berikut:

Nilai Akhir = DPP + PPN


Rp. 25.000.000 = DPP + (10 persen x DPP)
Rp. 25.000.000 = DPP + (0,1 DPP)
Rp. 25.000.000 = 1,1 DPP
DPP = Rp. 25.000.000 /1,1
DPP = Rp. 22.727.272

ii. Harga Tidak Termasuk PPN


PT. AAA menjual barang kepada PT. BBB dengan harga belum termasuk PPN.
Diketahui bahwa DPP atas barang itu sebesar Rp10 juta. Maka untuk menghitung
besarnya PPN atas pembelian aplikasi akuntansi oleh PT AAA adalah sebagai berikut:
PPN terutang = DPP + (10% x DPP)
PPN terutang = Rp. 10.000.000 + (10% x 10.000.000)
PPN terutang = Rp. 10.000.000 + Rp. 1.000.000
PPN terutang = Rp. 11.000.000

iii. Contoh Penghitungan PPN dengan DPP Nilai Lain


PT. BBB yang merupakan perusahaan jasa ekspedisi di Jakarta mendapatkan pesanan
pengiriman barang dari PT. CCC dengan tujuan dari Jakarta menuju Bali. Biaya
pengiriman barang tersebut sebesar Rp5.000.000. Sedangkan PPN terutang atas
transaksi ini adalah 1%. Maka biaya yang harus dibayar PT CCC ke PT AAA adalah:

PPN terutang = DPP x 1%


= Rp. 5.000.000 x 1%
= Rp. 50.000
Biaya yang harus dibayar PT CCC = Rp. 5.000.000 + Rp. 50.000 = Rp. 5.050.000

Namun Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan oleh PT. CCC.
- Contoh Perhitungan Dasar Penghitungan PPh
DPP juga digunakan untuk menghitung PPh salah satunya PPh 21. Perhitungan ini
dikenakan bagi pegawai tetap, penerima uang pesangon, tenaga ahli, anggota dewan komisaris
perusahaan, dan beberapa jenis pekerjaan lain yang sudah ditentukan memiliki PPh 21 sendiri.
Berikut adalah contoh perhitungan DPP PPh Pasal 21 untuk seorang pegawai:
Pak Kelik merupakan pegawai tetap sebuah perusahaan swasta. Ia belum menikah dengan
pendapatan Rp15.000.000 per bulan dan biaya jabatan 5%. Pak Kelik terhitung mulai bekerja
pada Januari-Desember 2021. Maka untuk menghitung nilai DPP A sebagai berikut:
Gaji satu tahun = 12 x Rp. 15.000.000 = Rp. 180.000.000
Biaya Jabatan = 5 persen x Rp. 180.000.000 = Rp. 9.000.000
Penghasilan Neto = Rp. 180.000.000 – Rp. 9.000.000 = Rp. 171.000.000

Jika Penghasilan Tidak Kena Pajak karena belum menikah dan tanggungan = Rp55.000.000,
maka:
DPP PPh 21 = Penghasilan Netto – Penghasilan Tidak Kena Pajak
DPP PPh 21 = Rp. 171.000.000 – Rp. 55.000.000
DPP PPh 21 = Rp. 116.000.000

Jadi, Dasar Pengenaan Pajak untuk PPh 21 dari A sebesar Rp. 116.000.000.

Anda mungkin juga menyukai