Anda di halaman 1dari 23

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi pembahasan mengenai definisi dan konsep dari pengolahan limbah
domestik, pengertian dan karakteristik limbah domestik dan sistem
pengolahannya, konsep dan pengukuran nilai ability to pay (ATP) dan willingness
to pay (WTP) serta hubungan keduanya. Selain itu juga berisi bab mengenai
strategi pengambilan keputusan.

II.1 Infrastruktur Pengelolaan Air Limbah Domestik


Hampir setengah dari 245 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan
dan kebutuhan akan layanan pengelolaan air limbah yang aman bertumbuh
dengan cepat. Mayoritas rumah tangga dan fasilitas bisnis di daerah perkotaan di
Indonesia menggunakan tangki septik untuk pembuangan air limbahnya dan
umumnya menggunakan water-flush toilet. Berdasarkan pendefinisian oleh WHO
terkait ketersediaan akses sanitasi dasar, Indonesia telah mencapai sekitar 73%
pada tahun 2010 tetapi belum terjamin terkait tersedianya sistem pengumpulan
dan pembuangan air limbah dan lumpur tinja yang aman. Menurut World Bank
and AusAID (2013), tercatat sekitar 1% air limbah dan 4% lumpur tinja yang
dikumpulkan dan diolah secara aman.

Menurut Catanese dan Snyder (1992) dalam Hidayat (2015) prasarana dalam
sebuah perkotaan merupakan barang barang modal yang secara langsung dimiliki,
disewa beli, atau dengan sesuatu cara dikendalikan oleh pemerintah dan dalam
jangka waktu panjang (lebih dari satu tahun) akan terjadi arus pendapatan dan
biaya. Prasarana perkotaan yang dimaksud terdiri dari fasilitas fasilitas umum
seperti jalan raya, jembatan, sistem saluran air limbah, air bersih, bandar udara
dan bangunan bangunan umum. Terdapat tiga prasarana kota yang sangat
berpengaruh bagi perkembangan kota yang diungkapkan oleh Chapin (1995)
dalam Hidayat (2015) yaitu prasarana transportasi, air bersih dan saluran
pembuangan. Ketiga jenis prasarana ini memiliki peran penting dalam rencana
pembangunan sebuah kota. Khusus untuk saluran pembuangan menurut Unicef
(1997), terdapat tiga tujuan utama dalam intervensi di sektor sanitasi/
pembuangan, yaitu:

9
1. memperbaiki kondisi kesehatan
penyediaan fasilitas prasarana dan sarana yang memadai dana berkelanjutan di
sebuah kawasan akan membantu memperbaiki kondisi kesehatan, walaupun
masih akan perlu di intervensi.
2. meningkatkan martabat dan kualitas hidup
sistem sanitasi yang baik dan memadai dapat menurunkan resiko terjadinya
wabah penyakit dan kematian terutama pada anak anak yang diakibatkan oleh
penyakit yang berasal dari menurunnya kualitas lingkungan karena sanitasi
yang buruk, seperti penyakit kulit, diare, cacingan, malaria, dan penyakit mata.
Kondisi ekonomi dan sosial di daerah yang rendah dapat ditingkatkan melalui
peningkatan status kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.
3. perlindungan lingkungan
pembuangan air limbah domestik secara langsung ke lingkungan dapat
menyebabkan terjadinya degradasi sumber air permukaan maupun air tanah.
kontaminasi biologis yang masuk ke dalam sumber air dapat menyebabkan
berkurangnya kandungan oksigen dalam air. Pengadaan fasilitas sanitasi yang
memadai akan secara signifikan meningkatkan kualitas badan air.

II.2 Karakteristik Air Limbah Domestik dan Sistem Pengolahannya

II.2.1 Definisi
Menurut Metcalf dan Eddy (2003) limbah cair merupakan sisa buangan hasil
suatu proses yang tidak dipergunakan lagi, baik berupa sisa industri, rumah
tangga, peternakan, pertanian dan sebagainya. Adapun komponen utamanya yaitu
berupa air dengan komposisi ±99% sedangkan ±1% merupakan komponenn
lainnya tergantung sumber limbah tersebut. Salah satu yang termasuk dalam
kategori limbah cair ini merupakan air limbah yang berasal dari rumah tangga
yang biasa disebut sebagai limbah domestik.

Lebih spesifik lagi, Corcoran dkk. (2010) dalam UN Water Analytical Brief
(2014) mengungkapkan definisi dari air limbah ini sebagai air bekas yang tidak
dipergunakan sebagai tujuan semula yang berasal dari limbah domestik yang

10
berupa black water (urine dan feses) dan grey water (buangan dapur dan air
limbah mandi) ; perusahaan komersial dan lembaga termasuk rumah sakit ; serta
pertanian, holticultural dan budidaya baik yang terularutkan/teruraikan maupun
yang tersuspensi. Adapun karakteristik fisik dari limbah domestik ditunjukkan
oleh Tabel II.1.

Tabel II.1 Karateristik fisik limbah cair domestik, (Sperling, 2007)


Parameter Description
- sedikit lebih tinggi daripada air minum
- variasi sesuai dengan musim (lebih stabil daripada
suhu udara)
Temperatur
- mempengaruhi aktivitas mikroba
- mempengaruhi kelarutan gas
- mempengaruhi viscositas cairan
- air buangan segar (fresh sewage): sedikit abu-abu
Warna
- air buangan septik : abu gelap atau hitam
- air buangan baru (fresh sewage): bau berminyak,
relatif tidak menyenangkan
Bau - air buangan septik : bau busuk, karena gas
hidrogen sufida dan produk dekomposisi lainnya
- air buangan industri : berbau khas
- tergantung pada kandungan padatan tersuspensi;
semakin tinggi konsentrasi padatan yang
Kekeruhan
tersuspensi maka semakin tinggi nilai
kekeruhannya

Selain karakteristik fisik, terdapat karakteristik kimia dan biologis dari limbah
domestik. Secara umum Rahayu and Wijayanti (2008) mengungkapkan dalam
karakteristik kimia limbah domestik terbagi atas kimia organik dan anorganik.
Dengan karakteristik kimia utama antara lain; Biochemical Oxygen Demand
(BOD) dan Chemichal Oxygen Demand (COD) yang menyebabkan turunnya
kadar oxygen serta amoniak yang menimbulkan bau pada air limbah. Aspek

11
penting dalam karakteristik biologis limbah domestik diungkapkan oleh Sperling
(2007), disebutkan bahwa organisme patogen utama yang ada dalam limbah
domestik terdiri dari bakteri, virus, protozoa dan cacing. Dalam sebuah sampel air
memang akan sulit terutama bakteri, virus dan protozoa karena konsentrasinya
yang rendah. Sehingga akan diperlukan pemeriksaan sampel dalam volume besar
untuk mendeteksi adanya patogen. Adapun alasan kebutuhan volume dalam skala
besar ini sebagai berikut :
1. dalam suatu populasi, hanya sebagian kecil yang sampai mengakibatkan water-
borne desease.
2. untuk limbah tinja / feses, kehadiran patogen mungkin tidak terjadi dalam
propossi yang tinggi.
Air limbah domestik yang berasal dari kamar mandi dan toilet secara khusus
dijelaskan oleh Mara (2003) terkait komposisi yang ada didalamnya sebagaimana
yang tercantum pada Tabel II.2.

Tabel II.2 Komposisi air limbah domestik, (Mara, 2003)


No. Komposisi Feses Urine
1. Jumlah per-orang. per-hari (kondisi basah) 135–270 gr 1 – 1,31 gr
2. Jumlah per-orang. per-hari (kondisi kering) 20 – 35 gr 0,5 – 0,7 gr
3. Uap air (kelembapan) 66 – 80 % 93 – 96 %
- Bahan Organik 88 – 97 % 93 – 96 %
- Nitrogen 5–7% 15 – 19 %
- Fosfor (sebagai P2O2) 3 – 5,4 % 2,5 – 5 %
- Potasium (sebagai K2O) 1 – 2,5 % 3 – 4,5 %
- Karbon 44 – 55 % 11 – 17 %
- Kalsium (sebagai CaO) 4,5 – 5 % 4,5 – 6 %

II.2.2 Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik


Adapun pengelolaan limbah cair domestik sebenarnya dibagi menjadi dua macam
berdasarkan tempat pengolahannya yaitu (Soewondo, 2009):
a. Centralized system / sistem pengolahan terpusat/ Off site system

12
Merupakan sistem pengolahan air limbah dimana dari seluruh daerah layanan,
limbah terlebih dahulu dikumpulkan melalui riol pengumpul yang kemudian
dialirkan menuju Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan atau dengan
pengenceran tertentu pada sebuah intersepting sewer dapat langsung dialirkan ke
badan air penerima dengan catatan hasil pengenceran memang telah memenuhi
baku mutu badan air penerima. Pada Gambar II.1 memperlihatkan ilustrasi untuk
pengolahan secara terpusat.

Gambar II.1 Ilustrasi sistem pengolahan secara terpusat

Adapun kelebihan dan kekurangan sistem pengolahan secara terpusat (off-site


system) diungkapkan oleh Hidayat (2015) sebagi berikut :
Kelebihan sistem pengolahan terpusat :
- pelayanan yang lebih nyaman,
- menampung semua air limbah domestik,
- pencemaran pada tanah dan lingkungan dapat dihindari,
- cocok untuk daerah dengan kepadatan tinggi,
- Masa/umur pemakaian relatif lama

13
Kekurangan sistem pengolahan terpusat :
- memerlukan pembiayaan yang tinggi,
- memerlukan tenaga yang terampil untuk operasional dan pemeliharaan,
- memerlukan perencanaan dan pelaksaan untuk jangka panjang
Contoh dari sistem sanitasi terpusat antara lain sistem penyaluran terpisah, sistem
penyaluran komunal, sistem penyaluran konvensional, sistem riol dangkal, riol
ukuran kecil dan sistem saluran kombinasi.

b. Decentralized system / sistem pengolahan setempat/ On Site System


Menurut Soewondo (2009) sistem pengolahan setempat (on-site system)rupakan
sistem pembuangan air limbah dimana pengolahan secara langsung ada dilokasi
dimana limbah dihasilkan tanpa penyaluran terlebih dahulu. Pengolahan ini biasa
berupa tangki septik atau modifikasi dari tangki septik yang dilengkapi dengan
bidang resapan atau pengolahan lanjut lainnya. Lumpur yang dihasilkan, secara
berkala akan dilakukan pengosongan/pengurasan untuk selanjutnay diolah pada
sebuah Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja. Pada Gambar II.2 memperlihatkan
ilustrasi untuk sistem pengolahan limbah secara setempat.

Gambar II.2 Ilustrasi sistem pengolahan secara setempat

14
Bedasarkan Hidayat (2015) kelebihan dan kekurangan dari sistem pengolahan
setempat ini adalah :
Kelebihan sistem pengolahan setempat :
- biaya pembuatan relatif murah,
- dapat dibuat oleh setiap sektor atau setiap individu,
- teknologi dan sistem pembuangan yang cukup sederhana,
- operasi dan pemeliharaan merupakan tanggung jawab pribadi,
- sistem sangat privasi karena terletak pada persilnya.
Kekurangan sistem pengolahan setempat :
- umumnya tidak tersedia untuk buangan dari dapur, mandi dan cuci,
- tidak selalu cocok disemua daerah,
- dapat mencemari tanah jika syarat teknis pembuatan dan pemeliharaan
tidak dilakukan sesuai aturan.
Terdapat beberapa contoh dari sanitasi setempat, diantaranya adalah cubluk, tanki
septik, beerput dan tangki septik menggunakan up flow filter.

II.3 Karakteristik Prasarana Air Limbah Domestik Setempat (onsite system)


Setiap penyediaan prasarana umum pasti memerlukan perhatian khusus. Masing
masing prasarana memiliki kekhasan dalam karakteristiknya. Seperti pada
prasarana air bersih dan kelistrikan, prasarana limbah domestik juga memiliki
karakteristiknya sendiri.

II.3.1 Karakteristik Prasarana Limbah Domestik Setempat


Penyebaran penyakit akibat kontak dengan limbah belum terolah telah banyak
terjadi. Penyakit penyakit ini seperti hepatitis, penyakit akibat cacing, kolera, dan
disentri. Oleh karena itu, dirancang sistem pengolahan limbah salah satunya
berupa sistem setempat (onsite system) untuk mendapatkan kualitas limbah
domestik yang lebih ramah terhadap lingkungan sehingga dapat menghilangkan
potensi penularan penyakit. Sistem setempat menjadi sistem pengolahan yang
baik dengan kinerja jangka panjang dan biaya yang terjangkau.

15
Sistem setempat harus memiliki kapasitas untuk menangani beban limbah yang
tidak stabil. Oleh karena itu, Cogger (1987) mengungkapkan bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kinerja dari sistem setempat antara lain :
a. tanah : dalam sistem setempat tanah memiliki dua fungsi utama, mengolah
air limbah untuk mengeliminasi polutan sebelum dialirkan ke air tanah
(semacam media penyaring) dan menyalurkan air limbah yang telah terolah
menjauhi sumber limbah (menjadi ruang penyimpanan untuk limbah yang
telah terolah).
b. karakteristik air limbah : sebagian besar sistem setempat dirancanag untuk
pengolahan limbah dengan karakteristik limbah domestik yang normal yang
dinyatakan pada Tabel II.3.
c. beban pengolahan : rancangan untuk sebuah rumah berdasarkan jumlah
anggota keluarga atau individu yang menemati rumah tersebut. Dengan
menggunakan estimasi 150 liter/orang.hari
d. gaya hidup pengguna : kelebihan aliran yang masuk kedalam sistem
setempat dari kapasitasnya dapat menyebabkan overload pada sistem
hidraulik.
e. operasi dan pemeliharaan : sistem setempat dirancang sebagai sistem
dengan operasi jangka panjang, semisal sepanjang usia sebuah rumah
dihuni. Oleh karena itu, pemeliharaan menjadi tugas masing masing persil
dan biasanya ada beberapa material yang benar benar tidak boleh masuk
kedalam sistem pengolahan ini, misalnya lemak, minyak, chat, tampon,
pestisida, pelarut organik dll.
f. temperatur : pengolahan dari limbah bergantung pada aktifitas biologis yang
ada. Temperatur yang rendah akan mereduksi aktifitas biologi sampai
setengahnya untuk setiap penurunan 10oC sampai aktifiats biologi ini akan
berhenti pada temperatur sekitar 2oC (35oF), mengurangi beban pengolahan
dari penayngin fisik dan adsorbsi dalam komponen tanah dan pemisah fisik
dalam tangki septik.
g. curah hujan : mempengaruhi kinerja sistem setempatdengan menempatakan
semacam beban hirolik tambahan pada tanah, efek terbesar ketika air tanah
naik cukup tinggi dan mengurangi pemisahan vertikal.

16
h. pengembangan daerah sekitar : sebuah lokasi untuk pembangunan sistem
setempat harus dievaluasi dalam kaitannya dengan lokasi sekitarnya. Karena
akumulasi dari pengembangan yang meningkatakan beban olahan limbah
dalam beberapa kasus dapat menurunkan kinerja sistem yang sebelumnya
telah terbangun terlebih dahulu

Tabel II.3 Karakteristik limbah tangki septik, (Cogger, 1987)


Rentang untuk 95%
Karakteristik Rata rata
dari sampel
pH 7,2
TSS 47-62 54
BOD5 (mg/l) 142 – 174 158
Total Nitrogen 48,9 – 61,6 55,3
Total Phosporus 18 – 29 11,4 – 17,7
5 5
Fecal coliform (MF) per 100ml 2,88x10 – 6,16x10 4,21x105

Adapun beberapa macam type pengolahan sistem setempat yang diungkapkan


oleh Torondel (2010) antara lain pit latrine /jamban tradisional, ventilated
improved pit latrines (VIP), composting latrine, off-set pit latrine, septic tank, dan
water closet.

II. 3.2 Intalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)


Limbah tinja merupakan salah satu aktifitas yang penting peranannya dalam
sanitasi linkungan. Limbah tinja yang terinfeksi bakteri patogen dapat
menyebabkan kontaminasi air tanah serta sumber air permukaan. Sehingga
memberi kesempatan spesies seperti lalat memungkinkan untuk bertelur,
berkembangbiakdan menyebarkan virus infeksi. Sejumlah penyakit menyebar
langsung melalui kontak manusia dengan kotoran manusia, secara tidak langsung
melalui air, makanan dan tanah, atau melalui operator seperti lalat, kecoa dan
nyamuk. Peningkatan kepadatan penduduk meningkatkan bahaya dari sanitasi
yang buruk. Sistem pembuangan sederhana seperti buang air besar di ladang atau
di lahan terbuka mungkin tidak memiliki efek samping untuk skala kecil, populasi

17
yang tersebar. Tapi ketika digunakan di daerah padat penduduk, praktek-praktek
tersebut bisa sangat berbahaya.

Limbah tinja yang biasa disebut juga sebagi lumpur tinja didefisinikan oleh
Lestari and Yudhianto (2013) sebagai hasil buangan manusia yang akan terus
bertambah jumlahnya seiring dengan pertambahan penduduk, jika tidak diolah
dengan baik maka menjadi permasalahan lingkungan karena memiliki kandungan
kadar organik dan toksisitas tinggi. Namun disisi lain, kandungan organik ini
dapat dimanfaatkan sebagi bentuk kompos ataupun bahan bakar alternatif.
Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan salah satu upaya terencana
untuk meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang akrab
limgkungan. IPLT adalah unsur/komponen sistem pengelolaan air limbah rumah
tangga yang dibangun di daerah perkotaan dan berfungsi mengolah lumpur tinja
(faecal sludge) sehingga hasil olahannya tidak mencemari lingkungan, bahkan
dapat digunakan kembali untuk keperluan pertanian. Bahan baku IPLT adalah
lumpur tinja yang terakumulasi di cubluk dan tangki septik yang secara reguler
dikuras atau dikosongkan kemudian diangkut ke IPLT dengan menggunakan truk
tinja. Volume lumpur tinja yang terakumulasi di dalam cubluk dan tangki septik
sekitar 40-70 liter/kapita/tahun (Pamekas, 2006).

Keberadaan IPLT merupakan salah satu upaya pengendalian lingkungan. Karena


pengolahan limbah, khususnya lumpur tinja yang merupakan salah satu bentuk
dari limbah domestik yang beberapa telah diolah secara setempat, yaitu
menggunakan tangki septik masih perlu melalui pengolahan lanjutan (Mbéguéré
dkk., 2010). Oleh karena itu, keberadaan IPLT menjadi salah satu
penyelesaiannya. Jadi, Lumpur tinja yang terkumpul didalam tangki septik,
dilakukan pengurasan/pengosongan secara berkala untuk kemudian diolah oleh
IPLT yang berada di kota/kabupaten secara komunal. Hasil olahan IPLT ini
diharuskan telah memenuhi kriteria layak untuk dibuang di lingkungan.

Sistem IPLT merupakan salah satu bagian dari serangkaian sistem sanitasi
setempat (on-site system) dan dikelola secara terdesentralisasi (decentralized).

18
Sistem IPLT dibangun di pinggiran kota (peri urban) atau di kota sedang dan kota
kecil, khususnya negara-negara berkembang yang pendapatannya termasuk
kategori menengah ke bawah. Pengelolaan air limbah dengan pendekatan
konvensional dan terpusat (Centralized) yang mengalirkan air limbah melalui
sistem pipa (sewerasi) ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) umumnya
digunakan untuk kota besar dan/atau kota-kota yang penduduknya padat.
Pengelolaan air limbah terpusat untuk kategori kota sedang dan kota kecil serta
pinggiran kota banyak mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat untuk mengumpulkan, membuang limbah rumah tangga dan lumpur
tinja dari tangki septik. Penyebab dari kegagalan ini yaitu mahalnya biaya operasi
serta pemeliharaan sistem terpusat. Oleh karena itu, terjadi perubahan paradigma
yang melahirkan penerapan sistem terdesentralisasi (Bakir, 2001). Dengan adanya
sistem terdesentrasisasi, masih diperlukan peningkatan kapasitas oleh lembaga
pengelola serta masyarakat pemilik tangki septik dan peningkatan teknologi
sistem sanitasi setempat untuk menjamin keberlanjutan dari sistem ini.

II.3.2.1Komponen dalam IPLT


Dalam serangkaian sistem yang membentuk IPLT seperti pada Gambar II.3,
terdapat beberapa komponen yang berpengaruh antara lain:
a. Sistem pengumpulan
Dalam sistem pengumpulan lumpur tinja dipengaruhi oleh keberadaan
dan jumlah sebaran fasilitas sanitasi setempat (cubluk,tangki septik),
kemampuan sistem sanitasi setempat tersebut dalam mengolah beban
pencemarnya, waktu dan frekuensi penyedotan/pengurasan lumpur
tinja serta kemauan dan kemapuan masyarakat membayar tarif
penyedotan dan pengangkutan serta pengolahan lumpur tinja.
b. Sistem Pengangkutan
Unsur- unsur yang berpengaruh terhadap sistem
pengangkutan/tansportasi lumpur tinja meliputi volume truk
pengangkut lumpu tinja, jarak dan waktu tempuh serta frekuensi atau
ritasi pengangkutan, kepadatan lalu lintas, organisasi pengelola jasa

19
pengangkutan lumpur tinja dan tarif pengangkutan dan pengolahan
lumpur tinja.
c. Sistem pengolahan
Sistem pengolahan dalam serangkaian sistem IPLT dipengaruhi oleh
unsur-unsur tentang tepat tidaknya disain IPLT dengan kualitas lumpur
tinja yang akan diolah, kemampuan IPLT mengolah lumpur tinja,
kemampuan operator dalam mengoperasikan serta memelihara IPLT.
d. Sistem pembuangan dan pemanfaatan kembali
Kemampuan operator dalam memanfaatkan kembali hasil olahan dari
IPLT merupakan unsur penting dalam sistem pembuangan dan
pemanfaatan kembali yang merupakan bagian dalam serangkaian
sistem IPLT. Dalam pemanfaatan kembali produk hasil IPLT ini,
efisiensinya banyak dipengaruhi oleh pengemasan produk serta
pemasaran yang dilakukan oleh pihak pengelola.

Gambar II.3 Rangkaian sistem yang membentuk IPLT (Kersten dkk., 2016)

Keberhasilan sebuah IPLT menurut Nasrullah dalam Prayudi (2014) dapat


dianalisis dari aspek teknis , finansial, siosial ekonomi, lingkungan dan regulasi.
Semua aspek ini dipengaruhi oleh jumlah pasokan yang masuk kedalam IPLT
untuk diolah. Sedangkan ketentuan tarif dalam prasarana seperti ini secara alami
mengalami monopoli dengan ketentuan harga atau retribusi yang tidak menjamin
mutu pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, dalam

20
penentuan retribusi untuk pengolahan limbah domestik seperti pada IPLT ini
harus memperhatikan sisi konsumen dalam hal kemampuan dan kesediaan untuk
membayar pelayanan yang diberikan.

Pernyataan dari Fox dalam Hidayat (2015) menyebutkan bahwa untuk


menyelesaikan permasalahan diatas dapat dilakukan dengan merubah pendekatan
menjadi dari sisi permintaan. terdapat tiga cara untuk mengartikulasikan
permintaan yang dapat digunakan sebagai pendekatan penyediaan prasarana.
Ketiga cara tersebut yaitu :
a. kesediaan dan kemampuan membayar (WTP dan ATP)
b. proses pemerintahan untuk menentukan bahwa telah diproduksi kuantitas
pelayanan yang efisien secara ekonomi
c. proses pemerintahan untuk menentukan bahwa semua orang mempunyai
kehidupan yang memenuhi standar minimal
d. kombinasi ketiganya

Kebanyakan kajian pelayanan yang paling penting adalah kesediaan dan


kemampuan membayar (WTP dan ATP), yang merupakan karakteristik pengguna,
karena kemampuan dan kesediaan membayar terkait erat dengan pengembalian
biaya / cost recovery. Caimeross dalam Hidayat (2015) menyatakan tanpa
diketahuinya kesediaan membayar pengguna maka program apapun akan menuju
kegagalan.

II.4 Konsep Kemampuan dan Kesediaan Membayar (ATP dan WTP)

II.4.1 Konsep Ability To Pay (ATP)


Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan individu untuk membayar jasa
pelayanan yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang diperoleh. Menurut
kementrian kesehatan, ATP merupakan besarnya dana yang sebenarnya dapat
dipergunakan dalam membiayai kesehatan yang bersangkutan. Steven russel
berpendapat, pendekatan kualitatif lebih tepat untuk mengetahui ATP keluarga
terhadap sebuah layanan kesehatan. Pendekatan ini dinilai dapat memberikan

21
gambaran yang lebih lengkap tentang kemampuan finansial (Handayani, 2012).
Berdasarkan Faisal (2008) ability to pay (ATP) terkait sanitasi adalah murni
fenomena keuangan yang berasal dari pendapatan atau informasi pengeluaran
rumah tangga dan membantu dalam struktur tarif optimal layanan.

Besarnya kemampuan membayar (ATP) biaya pelayanan prasarana air limbah


tidak lebih dari 2% pendapatan keluarga tersebut dalam satu bulannya hal ini
diungkapkan oleh Reed (1995) dalam Hidayat (2015). Sedangkan bank dunia
memeberikan batasan untuk pelayanan sanitasi sebesar 1% dari pendapatan
perbulan rumah tangga untuk negar berkembang tertulis dalam Hidayat (2015).

II.4.2 Konsep Willingness To Pay (WTP)


Dalam memahami konsep willingness to pay (WTP), terlebih dahulu perlu
dipahami tentang konsep kebutuhan (demand) secara umum. Hayati (2006)
mengungkapkan dalam Sontikasyah (2010) bahwa demand didefinisikan sebagai
jumlah suatu barang/jasa tertentu yang mau dan mampu dibeli (willingness anda
ability to purchase) oleh konsumen pada suatu harga tertentu selama periode
waktu tertentu. Selain itu Sontikasyah (2010) juga mengungkapkan pendapat
Tamin (1999) bahwa WTP adalah kesediaan pengguna untuk mengeluarkan
imbalan atas jasa yang diperolehnya.

Terdapat pendekatan yang dapat digunakan dalam perhitungan WTP untuk


mendapatakan nilai peningkatan atau kemunduran dari kondisi lingkungan yang
diungkapkan oleh Simanjuntak (2009) antara lain :
a. menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk
mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu
pembangunan
b. menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin
menurunnya kualitas lingkungan
c. melalui survey untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk
membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan atau
untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik

22
Penghitungan nilai WTP dapat dilakukan secara langung (direct method) dengan
melakukan survey, atau secara tidak langsung (indirect method) dengan
penghitungan terhadap nilai dari penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Majid (2008), dikemukakan bahwa untuk
melakukan estimasi penilaian nilai lingkungan terdapat beberapa metode yang
salah satunya yaitu CVM (Contingent Valuation Method).

Metode ini dapat mengukur dengan baik nilai pengguna (use values) dan nilai non
pengguna (non-use values). Metode CVM merupakan teknik survey mengenai
nilai atau harga yang diberikan pada sebuah layanan atau komoditi yang tidak
memiliki pasar, misalnya layanan kesehatan atau layanan sanitasi. Dalam CVM
diketahui ada 4 (empat) macam cara untuk mengajukan prtanyaan pada
responden, cara ini dungkapkan oleh Hanley and Spash (1993) sebagai berikut :
1. Metode tawar menawar (bidding game), metode dimana jumlah yang
semakin tinggidari nai awal disarankan pada responden sampai nilai
WTP maksimum dari responden diperoleh.
2. Metode referendum tertutup (dichotomous choice), metode dimana
responden diarahkan untuk menjawab setuju atau tidak terhadap alat
yang disarankan, bentuk jawaban biasa berupa “ya/tidak”. Jawaban
inilah yang akan diolah menggunakan teknik repon biner seperti
penggunaan analisa regresi logit untuk menentukan WTP.
3. metode kartu pembayaran (payment card), metode yang menggunakan
nilai yang disajikan pada sebuah kartu yang memungkinkan jenis
pengeuaran responden dalam kelompok pendapatan yang ditentukan
dengan perbandingan jenis pekerjaan mereka sehingga membantu
responden untuk menyesuaikan jawaban mereka.
4. Metode pertanyaan terbuka (open-ended question), metode dimana
responden ditanyakan nilai maksimum WTP tanpa disertai penyaranan
nilai awal terlebih dahulu. responden tanpa pengalaman terkait hal hal
yang menjadi bahan pertanyaan akan sulit menjawab jika menggunakan
metode ini.

23
A. Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM)
Penggunaan CVM dalam memperkirakan nilai ekonomi suatu lingkungan
memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut :
1. Dapat diaplikasikan dalam semua kondisi, seringkali menjadi satu
satunya teknik untuk mengestimasi manfaat dan dapat diaplikasikan
pada konteks kebijakan lingkungan
2. Dapat digunakan sebagai penilaian barang barang lingkungan di
sekitar masyarakat
3. Memiliki kemampuan mengestimasi nilai non pengguna. Dengan
CVM, seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan
barang/ jasa lingkungan bahkan jika tidak digunakan.
4. Hasil penelitian tidak sulit untuk dilakukan analisis dan dijabarkan

B. Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM)


Dalam CVM, kelemahan yang terjadi yaitu munculnya bias dalam
pengumpulan data. Menurut Hanley and Spash (1993) bias tersebut dari :
1. Bias Strategi : adanya responden yang memberikan nilai WTP relatif
kecil dengan anggapan adanya responden lain yang akan membayar
upaya peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yabg lebh tinggi.
Alternatif penyelesaian untuk permasalahan bias strategi ini
diungkapkan oleh Mitchell dan Carson (1989) dalam Majid (2008)
terdapat 4 (empat) langkah untuk meminimalisir adanya bias, yaitu :
- menghilangkan seluruh pencilan (outlier)
- penekanan bahwa pembayaran oleh responden lain dapat dijamin
- menyembunyikan nilai tawaran responden lainnya
- membuat perubahan lingkungan bergantung pada nilai tawaran
2. Bias Rancangan : dalam rancangan studi CVM, mencakup cara
informasi disajikan, instruksi diberikan, format pertanyaan dan jumlah
serta tipe informasi yng disajikan kepada responden. Sehingga
beberapa hal dapat mempengaruhi responden, antara lain :
- pemilihan jenis tawaran (bid vehicle)
- bias pada titik awal (starting point bias)

24
- sifat informasi yang ditawarkan (nature of information provided)
3. Bias yang berhubungan dengan kondisi kejiwaan responden (mental
account bias) : bias yang terkait dengan langkah proses pembuatan
keputsan seseorang dalam memutuskan seberapa besar pendapatan,
kekayaan dan aktu yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan
tertentu dalam periode tertentu
4. Kesalahan pasar hipotetik (hypotetical market error) : terjadi saat fakta
yang ditanyakan di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan
responden berbeda dengan konsep yang diinginkan peneliti. Hal ini
menyebabakan nilai WTP yang diperoleh tidak sesuai dengan WTP
yang sesungguhnya. Adapun hal ini bisa terjadi karena :
- cara penyampaian pertanyaan
- kemungkinan pemikiran tidak realistik dari responden dalam
merasakan pasar hipotetik
- penggunaan format WTP

C. Tahap tahap studi Contingent Valuation Method


Hanley dan Spash (1993) menyebutkan beberapa tahap untuk melakukan
studi CVM dalam Majid (2008) sebagai berikut :
1. Membuat pasar hipotetik
Pasar hipotetik ini membangun suatu alasan mengapa masyarakat
seharusnya melakukan pembayaran terhadap suatu barang/jasa
lingkungan dimana tidak terdapat nilai mata uang terhadap barang/jasa
lingkungan tersebut.
2. Mendapatkan penawaran besarnya WTP (obtaining bids)
Melakukan kegiatan pengambilan sampel setelah selesainya dibuat
kuesioner. Kegiatan ini dapat berupa wawancara langsung dengan
tatap muka, telepon atau surat.
3. Memperkirakan rata rata WTP (Calculating average WTP)
Setelah data mengenai WTP diperoleh, tahap selanjutnya melakukan
perhitungan nilai tengah dan nilai rata rata dari WTP tersebut. Nilai
tengah dilakukan jika terjadi rentang nilai penawaran yang terlalu jauh.

25
4. Memperkirakan kurva WTP (Estimating Bid Curve)
Kurva WTP dibuat dengan menjadikan nilai WTP sebagai variabel
dependen dan faktor faktor yang mempengaruhi sebagai variabel
independen. Kurva ini dapat digunakan sebagi perkiraan peubah nilai
WTP karena perubahan sejumlah variabel independen yang
berhubungan dengan mutu lingkungan. Variabel independen yang
mempengaruhi WTP antara lain; tingkat pendapatan (Y), tingkat
pendidikan (E), tingkat pengetahuan (K), tingkat umur (A), dan
beberapa kualitas lingkungan (Q). Hubungan antara variabel dependen
dan independen terkait dan berkorelasi linear dengan bentuk
persamaan umum sebagai berikut :
WTPi = f(Yi, Ei, Ki, Ai, Qi) (Persamaan 2.1)
dimana i = responden ke-i
5. Menjumlahakan data (Agregating data)
Penjumlahan data merupakan proses konversi dari ratarata penawaran
terhadap total populasi yang dimaksud. Adapun keputusan dalam
penjumlahan data ditentukan oleh :
a. pilihan terhadap populasi yang relevan
b. berdasarkan rata rata contoh ke rata rata populasi
c. pilihan dari pengumpulan periode waktu yang menghasilkan
manfaat
6. Mengevaluasi CVM (Evaluating the CVM exercise)
Dilakukan dengan memberikan pertanyaan pertanyaan seperti apakah
responde benar-benar mengerti mengenai pasar hipotetik, berapa
banyak kepemilikan responden terhadap barang/jasa lingkungan yang
terdapat dalam pasar hipotetik, seberapa baik pasar hipotetik yang
dibuat dapat mencakup semua aspek barang/jasa lingkungan dan
pertanyaan lain yang sejenis.

26
II.4.3 Hubungan Kemampuan Membayar (ATP), Kesediaan Membayar
(WTP) dan Tarif
Terdapat tiga kondisi hubungan antara kemampuan membayar dengan kesediaan
membayar, diantaranya adalah :
1. ATP lebih besar daripada WTP
Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan membayar lebih besar
daripada kesediaan membayar. Hal ini terjadi ketika pengguna mempunyai
penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap pelayanan limbah
tersebut relatif rendah, pengguna pada kondisi ini disebut sebagai “choiced
rider”.
2. ATP lebih kecil daripada WTP
Keinginan penggna untuk membayar jasa tersebut lebih besar daripada
kemampuan membayarnya. Hal ini memungkinkan terjadi bagi pengguna
yang mempunyai penghasilan yang relatif rendah tetapi utilitas terhadap
pelayanan limbah tersebut sangat tinggi, sehingga keinginan pengguna
untuk membayar jasa tersebut cenderung lebih dipengaruhi oleh utilitas,
pada kondisi ini pengguna disebut sebagai “captive riders”
3. ATP sama dengan WTP
Kondisi ini menunjukkan antara kemapuan membayar dan kesdiaan
membayar jasa yang dikonsumsi sama besar, pada kondisi seperti ini terjadi
keseimbangan utilitas pengguna jasa dengan biaya yang dikeluarkan untuk
membayar jasa tersebut.

II.5 Analisis Pemilihan Strategi

II.5.1 Proses Menciptakan dan Memilih Strategi


Setiap individu yang akan memilih sebuah strategi tidak pernah dapat
mempertimbangkan seluruh alternatif yang dapat menguntungkan perusahaan atau
instansi dimana mereka berada. Hal ini karena akan sangat banyaknya tindakan
yang mungkin dan tidak terbatasnya cara untuk menerapkan tindakan tindakan
tersebut. Oleh karena itu, serangkaian strategi alternatif yang bisa dikelola harus

27
dikembangkan. Keuntungan, kerugian, trade-off, biaya, manfaat dari setiap
strategi harus diperhitungkan (David, 2011).

Dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi strategi alternatif pasti melibatkan


banyak orang yang terkait dengan instansi atau perusahan, seluruh SDM yang ada
turut berperan dalam proses ini. Perumusan pernyataan mengenai visi dan misi
organisasi, audit internal dan audit eksternal juga perlu dilakukan. peran serta
seluruh elemen yang ada diperlukan guna memperoleh pemahaman tentang apa
saja yang perusahaan lakukan dan mengapa serta berkomitmen dalam membantu
perusahaan mencapai tujuan yang ditetapkannya. Seluruh partisipan dalam
analisis dan pemilihan strategi harus memiliki informasi audit eksternal dan
internal di hadapan mereka. Informasi ini dapat ditambah dengan pernyataan misi
perusahaan akan membantu mengkristalisasi berbagai strategi yang mereka yakini
paling bermanfaat bagi perusahaan.

Strategi - strategi alternatif yang diajukan oleh setiap partisipan harus dijadikan
bahan pertimbangan dan didiskusikan dalam satu atau serangkaian rapat. Berbagai
strategi tersebut dapat disusun dalam bentuk terlulis. Ketika telah terkumpul
strategi - strategi yang telah diidentifikasi dan masuk akal, strategi tersebut
hendaknya diurutkan sesuai peringkat berdasarkan daya tarik masing masing
menurut semua partisipan.

Dalam memilih strategi perlu adanya perumusan dari strategi yang komprehensif,
adapun teknik-teknik perumusan strategi yang penting yang diungkapkan oleh
Albanjari (2014) dapat diintegrasikan kedalam kerangka pengambilan keputusan
tiga tahap, yaitu :
1. Tahap input : berisikan informasi input dasar yang dibutuhkan untuk
merumuskan strategi
2. Tahap pencocokan : berfokus pada penciptaan strategi alternatif yang masuk
akal dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal utama
3. Tahap keputusan : melibatkan satu teknik saja, matriks perencanaan,
strategi kualitatif

28
II.5.2 Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Perusahaan
Dalam analisis lingkungan terbagi menjadi dua, lingkungan internal dan
lingkungan eksternal. Adapun Kotler (2009) menyatakan terkait analisa kekuatan,
kelemahan serta peluang dan ancaman yang dipaparkan sebagai berikut :
a. Analisa lingkungan internal ( kekuatan dan kelemahan)
Seorang manajer perusahaan perlu menganalisa faktor - faktor internal
perusahaan yang menjadi kemampuan menemukan peluang yang menarik
dan memanfaatkan peluang tersebut. Suatu perusahaan pasti tidak harus
memperbaiki seluruh kelemahannya atau sebaliknya perusahaan
menyombongkan seluruh kekuatan perusahaan yang dimiliki.
b. Analisa lingkungan eksternal (peluang dan ancaman)
Seorang manajer perusahaan juga perlu mengetahui dan menganalisa
bagian bagian lingkungan yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan
perusahaan. Lingkungan eksternal perusahaan terdiri dari kekuatan
lingkungan makro dan pelaku lingkungan mikro. Dimana seluruh variabel
tersebut dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam memperoleh
keuntungan atau laba. Kekuatan lingkungan makro perusahaan meliputi
demografi, ekonomi, teknologi, politik, hukum dan sosial budaya.

Tujuan utama dalam pengamatan lingkungan adalah untuk membuat peluang


baru. Peluang pemasaran adalah suatu bidang kebutuhan pembeli dimana
perusahaan dapat beroperasi secara menguntungkan. Ancaman lingkungan adalah
tantangan akibat kecenderungan atau perkembangan yang kurang menguntungkan
yang akan mengurangi penjualan dan laba. Dari analisa yang diungkapkan oleh
Nuariputri (2010) mengenai peluang dan ancaman akan terdapat beberapa
kemungkinan yaitu:
a. Usaha yang ideal : peluang yang lebih besar daripada ancaman
b. Usaha yang spekulatif : peluang dan ancaman sama sama besar
c. Usaha yang matang : peluang dan ancaman sama sama kecil
d. Usaha yang bermasalah : peluang lebih kecil daripada ancaman

29
II.5.3 Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada hubungan atau
interaksi lingkungan internal (kekuatan/ strength, dan kelemahan/weakness)
terhadap lingkungan eksternal (peluang/opportunity dan ancaman/threat).
Lingkungan mikro perusahaan merupakan unsur internal dari perusahaan yang
terdiri dari manjerial perusahaan, kualitas produk, finansial perusahaan,
kemampuan SDM hingga kapasitas mesin dan teknologi yang digunakan.
Lingkungan makro terdiri dari pemasok, pelanggan, pesaing, peraturan
pemerintah, faktor budaya, sosial, ekonomi dan faktor alam sekitar.

Alat untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matriks SWOT.


Matriks ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang
dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan serta kelemahan yang
dihadapi oleh perusahaan guna mencapai tujuan yang diharapkan hal ini
diungkapkan oleh Rangkuti dalam Nuariputri (2010). Matriks ini tergambar pada
Tabel II.4.

Tabel II.4 Matriks SWOT, (Nuariputri, 2010)


Internal Strength (S) Weakness (W)
Eksternal Tentukan 5 – 10 faktor Tentukan 5 – 10 faktor
kekuatan internal kelemahan internal
Opportunities (O) Strategi SO Strategi WO
Tentukan 5 – 10 faktor Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
peluang eksternal menggunakan kekuatan meminimalkan
untuk memanfaatkan kelemahan untuk
peluang memanfaatkan peluang
Threat (T) Strategi ST Strategi WT
Tentukan 5 – 10 faktor Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
ancaman eksternal menggunakan kekuatan menggunakan kekuatan
untuk mengatasi untuk menghindari
ancaman ancaman

30
Setelah melihat tabel diatas, maka terdapat empat alternatif bagi perusahaan untuk
melakukan strategi pemasaran produknya atau untuk mengembangkan usahanya.
Alternatif- alternatif strategi pemasaran tersebut antara lain :
a. Strategi SO (strenght-opportunities)
Strategi ini menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk
memanfaatkan peluang eksternal. strategi SO berusaha dicapai dengan
menerapkan strategi ST, WO, dan WT. Apabila perusahaan mempunyai
kelemahan utama pasti perusahaan akan berusaha menjadikan kelemahan
tersebut menjadi kekuatan.Jika perusahaan menghadapi ancaman utama,
perusahaan akan menghindari ancaman tersebut dengan berkonsentrasi
pada peluang yang ada.
b. Strategi WO (weakness-opportunities)
Strategi yang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal perusahaan
dengan memanfaatkan peluang eksternal yang ada. Salah satu alternatif
strategi WO adalah dengan perusahaan melakukan perekrutan dan
pelatihan staf dengan kemampuan dan kualifikasi yang dibutuhkan.
c. Strategi ST (strenght-threat)
Dilakukan menggunakan kekuatan perusahaan untuk menghindari
ancaman jika keadaan memungkinkan ata meminimumkan ancaman
eksternal yang dihadapi. Ancaman eksternal ini tidak selalu harus dihadapi
sendiri oleh perushaan tersebut, bergantung pada masalah ancaman yang
dihadpi, seperti halnya faktor perekonomian, perarturan pemerintah, gejala
alam dan lainnya.
d. Strategi WT (weakness-threat)
Perusahaan memperkecil kelemahan atau jika memungkinkan
menghilangkan kelemahan internal serta menghindari ancaman eksternal
yang ada untuk mencapai tujuan perusahaan.

31

Anda mungkin juga menyukai