Anda di halaman 1dari 113

PATIEN

SAFETY
FIRST

Modul Continuing Professional Develpmen (CPD)


ETIK, MEDIKOLEGAL &
KESELAMATAN PASIEN
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
PP PERDATIN 2017

1
Modul Continuing Professional Develpmen (CPD)

ETIK, MEDIKOLEGAL &


KESELAMATAN PASIEN

Perhimpunan Dokter Spesialis


Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
PP PERDATIN 2017

2
PENDAHULUAN

Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman. System tersebut meliputi penilaian resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan pasien koma, pelaporan dan analisis
assident, kemampuan belajar dari assident dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Dep Kes R.I, 2006) bagaimanapun harus
diakui pada pelayanan yang berkualitas masih dapat terjadi Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) (Dep Kes RI, 2006).
KTD merupakan kejadian yang akan mengancam keselamatan pasien
khususnya di rumah sakit yang merupakan unit layanan jasa bagi masyarakat, tempat
yang sangat kompleks dimana terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan
prosedur, banyak terdapat alat dan teknologi, bermacam profesi dan non profesi yang
memberikan pelayanan pasien selama 24 jam secara terus - menerus, dimana
keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik
dapat terjadi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/ adverse event) (Depkes, 2008).
Berdasarkan Permenkes RI no 1691 tahun 2011 tentang keselamatan pasien rumah
sakit, maka keselamatan pasien menjadi salah satu indicator klinis mutu layanan
rumah sakit.
Berbagai upaya telah dilakukan diantaranya dalam lingkup nasional, sejak bulan
agustus 2005, Menteri Kesehatan RI telah mencanangkan Gerakan Nasional
Keselamatan Pasien (GNKP) Rumah Sakit (RS), selanjutnya KARS( Komite Akreditasi
Rumah Sakit) Depkes RI telah pula menyusun Standar KP RS (Keselamatan Pasien
Rumah Sakit) yang dimasukkan ke dalam instrument akreditasi RS di Indonesia, dan
saai ini standar keselamatan pasien yang digunakan juga mengacu pada “Hospital
Patient Standards” yang dikeluarkan oleh Join Commission on Accreditation of Health
Organization di Illionis pada tahun 2002. Salah satu dari enam tujuan penanganan
keselamatan pasien menurut Join Commission International adalah memastikan benar

3
tempat, benar prosedur, dan benar pasien dalam setiap tindakan pembedahan
(Setiowati & Dwi, 2010).
Patient Safety menjadi suatu focus perhatian pada semua profesi kedokteran.
Ahli anestesi dianggap sebagai profesi terdepan yang mempunyai perilaku yang baik
terkait “patient’s risk and safety”. Meskipun demikian secara formal tidak diajarkan,
tapi merupakan “hidden curriculum”, langsung diimplementasikan dalam praktek
pasien.
Kutipan tentang Safety Anesthesia pada APSF SINCE 1985 to accomplish its
mission: “to improve continually the safety of patiens during anesthesia care by
encouraging and conducting: Safety research and education; Patient safety programs
and campaigns: National and international exchange of information and ideas.”
Di awal perkembangan anesthesia, peningkatan Safety pada pasien dikaitkan
dengan pengembangan teknologi alat anesthesia, prosedur anesthesia dan obat
anesthesia yang aman. Dimana pengembangan tersebut sampai saat ini sudah sampai
mencapai titik maksimal, sehingga dekade terakhir ini, peningkatan safety pada pasien
dikaitkan dengan pengembangan tools dan cara berpraktek yang aman, seperti adanya
surgical safety checklist, SOP dan sebagainya.
Pembedahan merupakan komponen penting dari perawatan kesehatan di
seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di
seluruh dunia (WHO, 2009). Tindakan pembedahan bertujuan untuk menyelamatkan
nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi, namun demikian pembedahan juga dapat
menimbulkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cidera (KNC), baik
cidera medis maupun komplikasi yang dapat membahayakan nyawa (Haynes, Weiser,
Berry, Lipsitz, Breizat, Dellinger, 2009).
Tindakan pembedahan memerlukan persamaan persepsi antara ahli bedah,
anestesi dan perawat (Weiser, 2008). Kepatuhan dari semua tim untuk menerapkan
Surgical Patient Safety merupakan bagian dari kesadaran diri, kesadaran diri adalah
salah satu unsur yang terdapat dalam budaya keselamatan pasien selain dari
kepemimpinan dan kerjasama tim (Rachmawati, 2011)

4
Patient Safety pada tindakan anestesi dapat dicapai dengan pendekatan
multifacet, mulai dari mengubah budaya dan cara menghadapi masalah, ANTS,
pembuatan pedoman / panduan hingga sistem pelaporan dimana praktek aman
(Safety practice) pada prosedur anestesia merupakan salah satu pendekatan.
Anesthesia-related death, 51-77% terjadi karena human error, antara lain disebabkan
oleh:
 Kurang berpengalaman / kompeten (89%)
 Kesalahan analisis atau mengambil keputusan (11%)
 Komunikasi dan kerjasama tim yang buruk (46-65%)
 Faktor organisasional dan manajemen (26%): penjadwalan pasien, penjadwalan
jaga malam, tekanan dari administrator RS
Patient Safety Practice pd prosedur anesthesia mencakup semua manajemen pasien di
periode perioperative :
 Konsultasi preoperatif
 Penatalaksanaan intraoperatif
 Penatalaksanaan posoperatif

5
MATERI DASAR
ETIKA DAN KEBIJAKAN KESELAMATAN PASIEN

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:


Peserta memahami konsep-konsep yang terkait dengan Etika Kedokteran dan
Kebijakan Keselamatan Pasien

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


1. Peserta memahami pengertian dari etika Kedokteran
2. Peserta memahami 4 kaidah dasar moral etika kedokteran
3. Peserta memahami kebijakan keselamatan pasien

ETIKA KEDOKTERAN
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Menurut KBBI (1995), etika adalah nilai mengenai benar atau salah yang dianut oleh
suatu golongan atau suatu masyarakat.
Menurut F. Abel, prinsip dasar etika kedokteran (bioetika) adalah studi
interdisipliner tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi
dan kedokteran, tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjasi pada masa
sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya masalah pada masa yang akan
datang. 4 kaidah dasar moral yang sering juga disebut sebagai kaidah dasar etika
kedokteran atau bioetika, antara lain:
 Beneficence
 Non-malficence
 Justice
 Autonomy

6
EMPAT KAIDAH KEDOKTERAN
1. Beneficence
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dokter tersebut juga harus mengusahakan agar pasiennya dirawat dalam
keadaan kesehatan.
Dalam prinsip ini dikatakan bahwa perlunya perlakuan yang terbaik bagi pasien.
Beneficence membawa arti menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada
pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal
yang buruk. Ciri-ciri prinsip ini, yaitu;
 Mengutamakan Alturisme yaitu rela berkorban dan menolong tanpa pamrih
 Memandang pasien atau keluarga bukanlan suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan seorang dokter
 Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan
dengan suatu keburukannya
 Bertanggung jawab (paterbalisme) / berkasih sayang
 Menjamin kehidupan baik bagi manusia
 Meminimalisasi kerugian pasien
 Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
 Menerapkan Golden Rule Principle yaitu melakukan hal yang lebih baik seperti
yang orang lain inginkan
 Memberi suatu resep

2. Non-malficence
Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang
paling kecil resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno “Fist, do no harm”,
tetap berlaku dan harus diikuti.
Non-malficence mempunyai ciri-ciri:
 Menolong pasien emergensi

7
 Mengobati pasien yang luka
 Tidak membunuh pasien
 Tidak memandang pasien sebagai objek
 Melindungi pasien dari serangan
 Manfaaf pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
 Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
 Tidak melakukan White Collar Crime

3. Justice
Kejadian (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan
sama rata dan adil terhadap pasien untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien
tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama, kebangsaan,
perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak dapat
mengubah sikap dokter terhadap pasiennya.
Justice mempunyai ciri-ciri:
 Memberlakukan segala sesuatu secara universal
 Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
 Menghargai hak sehat pasien
 Menghargai hak hukum pasien
 Menghargai hak orang lain
 Menjaga kelompok rentan
 Tidak membedakan pelayanan terhadap pasien atas dasar SARA, status sosial,
dan sebagainya
 Tidak melakukan penyalahgunaan
 Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
 Meminta partisipasi pasien sesuai dengan kemampuannya
 Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian secara adil
 Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten

8
4. Autonomi
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia. Setiap
individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan
nasib diri sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan
membuat keputusan sendiri.
Autonomy bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela,
dan membiarkan pasien demi dirinya sendiri.
Autonomi mempunyai ciri-ciri:
 Menghargai hak menentukan nasib sendiri
 Berterus terang menghargai privasi
 Menjaga rahasia pasien
 Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan
 Sabar menunggu keputusan pasien dalam kasus non-emergency
 Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
 Tidak mengintervensi atau menghalagi autonomy pasien
 Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan,
termasuk keluarga pasien sendiri
 Melaksanakan informed consent dan informed refusal
Informed consent adalah proses komunikasi antara pasien dan dokter, dimulai
dari pemberian informasi kepada pasien, pasien memahaminya dan pasien
memutuskan persetujuannya. Sedangkan informed refusal merupakan pernyataan
bahwa pasien menolak untuk dilakukan perawatan oleh dokter tersebut.
Sedangkan aturan turunannya adalah
5. Veracity (berbicara jujur, benar dan terbuka)
6. Privacy (menghormati hak pribadi pasien)
7. Convidentiality (menjaga kerahasiaan pasien)
8. Fidelity (Loyalitas dan promise keeping)
9. Gratitude (rasa terima kasih)
10. Reparation (Masalah kompensasi atau ganti rugi)

9
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas, yang harus dijalankan pedoman
dalam mengambil keputusan klinis, Profesionalitas kedokteran juga mengenal etika
profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai dalam etika profesi
tercermin dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah berisi “Kontak
Moral” antara dokter dengan Tuhan sang Penciptanya, sedangkan kode etik
kedokteran berisikan “Kontrak Kewajiban Moral” antara dokter dan komunitasnya
yaitu masyarakat profesinya. Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran
berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat pada para dokter. Meskipun
kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan
terhadap hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi “Pimpinan” dari
kewajiban dalam hukum kedokteran.

KEBIJAKAN KESELAMATAN PASIEN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11


TAHUN 2017 TENTANG KESELAMATAN PASIEN

1. Keselamatan Pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman,
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjainya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
2. Insiden Keselamatan pasien yang selanjutnya disebut Insiden, adalah setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien.

10
WHO-ICPS, 2009
Keselamatan Pasien: pengurangan risiko bahaya yang tidak perlu yang terkait dengan
perawatan kesehatan ke minimum yang dapat diterima.

Keselamatan Pasien Rumah Sakit – KPRS


Suatu sistem dimana RS membuat asuhan lebih aman. (KKP-RS PERSI 2005).
Yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu
Rumah Sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman.
Termasuk di dalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko
terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan
menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta
meminimalisir timbulnya risiko. (Penjelasan UU 44/ 2009 ttg RS pasal 43)

11
MATERI 01
KONSEP DASAR KESELAMATAN PASIEN

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Peserta memahami konsep-konsep yang terkait dengan keselamatan pasien

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:


1. Peserta memahami pengertian dari keselamatan pasien
2. Peserta memahami tujuan penerapan keselamatan pasien
3. Peserta memahami langlah-langkah dalam menerapkan keselamatan pasien
4. Peserta memahami tujuan standar keselamatan pasien
5. Peserta memahami tujuh langkah menuju keselamatan pasien di rumah sakit
6. Peserta memahami aspek hukum keselamatan pasien
7. Peserta memahami kebijakan yang mendukung keselamatan pasien
8. Kebijakan keselamatan pasien di rumah sakit
9. Solusi keselamatan pasien dirumah sakit

PENGERTIAN KESELAMATAN PASIEN (KP)


 Keselamatan pasien (KP) adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien di
rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Depkes RI, 2006)
 Keselamatan adalah prinsip mendasar dari perawatan pasien dan komponen
penting dari manajemen mutu (World Alliance for Patient Safety), Farward
Programme WHO, 2004.
 Keselamatan pasien meliputi hal-hal yang termasuk asesmen resiko; identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien; pelaporan dan
analisis insiden; kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.

12
TUJUAN PENERAPAN KESELAMATAN PASIEN
Tujuan “Patient safety” (Depkes RI, 2008) adalah :
 Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
 Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
 Menurunnya KTD di RS
 Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
KTD

LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN KESELAMATAN PASIEN


Pelaksanaan “Patien safety” meliputi; Sembilan solusi keselamatan pasien di RS (WHO
Collaborating Centre for Patient Safety, 2 May 2007), yaitu:
1. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication
names)
2. Pastikan identifikasi pasien
3. Komunikasi secara benar saat serah terima pasien
4. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
5. Kendalikan cairan elektrolit pekat
6. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
7. Hindari salah kateter dan salah sambung selang
8. Gunakan alat injeksi sekali pakai
9. Tingkatkan kebersihan tangan untuk mencegah infeksi nosokomial

TUJUH STANDAR KESELAMATAN PASIEN


Mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint
Commision on Accreditation of Helath Organizations, Illinois, USA, tahun 2002

13
Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien yang meliputi:
 Hak pasien;
 Mendidik pasien dan keluarga;
 Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;
 Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien;
 Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien;
 Mendidik staf tentang keselamatan pasien; dan
 Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

TUJUH LANGKAH MENUJU KESELAMATAN PASIEN RS


Berdasarkan KKP-RS No. 001-VIII 2005) sebagai panduan bagi staf Rumah Sakit:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan Pasien, “ciptakan kepemimpinan &
budaya yang terbuka dan adil”
2. Pimpin dan dukung staf anda, “bangunlah komitmen & fokus yang kuat & jelas
tentang KP di RS anda”
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, “kembangkan sistem & proses pengelolan
risiko, serta lakukan identifikasi & asesmen hal yang potensial bermasalah”
4. Kembangkan sistem pelaporan, “pastikan staf anda agar dengan mudah dapat
melaporkan kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kepada KKP-RS”
5. Libatkan dan berkmunikasi dengan pasien, “kembangkan cara-cara komunikasi
yang terbuka dengan pasien”
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien, “dorong staf anda
untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana & mengapa
kejadian itu timbul”
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien, “Gunakan
informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan perubahan pada
sistem pelayanan”

14
ASPEK HUKUM TERHADAP KESELAMATAN PASIEN
Aspek hukum terhadap “Patient Safety” atau keselamatan pasien adalah
sebagai berikut (UU Tentang Kesehatan & UU Tentang Rumah Sakit dalam komalawati
& Veronika, 2010):

A. Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum


 Pasal 53 (3) UU No. 36/2009
“Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa
pasien.”
 Pasal 32n UU No. 44/2009
“Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit.
 Pasal 58 UU No. 36/2009
1. “Setiap orang berhak menuntut G.R terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam Pelkes yang diterimanya.”
2. “…. tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam
keadaan darurat.”

B. Tangggung Jawab Hukum Rumah Sakit


 Pasal 29b UU No. 44/2009
“Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan
efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar
pelayanan Rumah Sakit.”
 Pasal 46 UU No. 44/2009
“Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di RS.”

15
 Pasal 45 (2) UU no. 44/2009
“Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.”

C. Bukan Tanggung Jawab Rumah Sakit


 Pasal 45 (1) UU No. 44/2009 Tenteng Rumah Sakit
“Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau
keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif.”

D. Hak Pasien
 Pasal 32d UU No. 44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”

 Pasal 32e UU No. 44/2009


“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan efisien
sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi”

 Pasal 32j UU No. 44/2009


“Setiap pasien mempunyai hak mendapat informasi tujuan tindakan medis,
alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan”

 Pasal 32q UU No. 44/2009


“Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/ atau menuntut Rumah Sakit
apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar baik secara perdata maupun pidana”

16
KEBIJAKAN PENDUKUNG KESELAMATAN PASIEN
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011
tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
 Menteri membentuk Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit untuk
meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan rumah sakit.
 Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit merupakan organisasi
nonstuktural dan independen dibawah koordinasi direktorat jenderal yang
membidangi rumah sakit, serta bertanggung jawab kepada Menteri.
 Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS)
yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan
pasien.
 TKPRS sebagaimana dimaksud bertanggung jawab kepada kepala rumah sakit.
 Keanggotaan TKPRS sebagaimana dimaksud terdiri dari manajemen rumah sakit
dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit.
 TKPRS melaksanakan tugas:
1. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan
kekhususan rumah sakit tersebut;
2. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien
rumah sakit;
3. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi,
pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan
(implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit;
4. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk
melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit;
5. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta
mengembangkan solusi untuk pembelajaran;
6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam
rangka pengambilan kebijakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit; dan
7. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.

17
KEBIJAKAN KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT
a. Rumah Sakit Wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien
b. Rumah Sakit Wajib menerapkan standar keselamatan pasien RS
c. Rumah Sakit Wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan pasien
d. Evaluasi pelaksanaan keselamatan RS dilakukan melalui program akreditasi RS

SOLUSI KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT


a. Perhatikan nama obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication
names)
b. Pastikan Identifikasi Pasien
c. Komunikasi secara benar saat serah terima/ pengoperan pasien
d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
e. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated)
f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (Tube)
h. Gunakan alat injeksi sekali pakai
i. Tingkatkan kebersihan tangan (Hand Hygiene) untuk pencegahan infeksi
nosokomial

18
MATERI 02
SASARAN KESELAMATAN PASIEN

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Peserta memahami tentang sasaran keselamatan pasien

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:


10. Peserta memahami pengertian dari sasaran keselamatan pasien
11. Peserta memahami tujuan dari sasaran keselamatan pasien
12. Peserta memahami enam sasaran keselamatan pasien;
a. Peserta memahami tentang sasaran keselamatan pasien I
b. Peserta memahami tentang sasaran keselamatan pasien II
c. Peserta memahami tentang sasaran keselamatan pasien III
d. Peserta memahami tentang sasaran keselamatan pasien IV
e. Peserta memahami tentang sasaran keselamatan pasien V
f. Peserta memahami tentang sasaran keselamatan pasien VI

PENGERTIAN SASARAN KESELAMATAN PASIEN


Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua
rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran
ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari World Health
Organization (WHO) Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKP-RS, PERSI), dan dari Joint Comission
International (JCI).
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik
dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari consensus berbasis bukti
keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsic
adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi,
sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang
menyeluruh.

19
TUJUAN SASARAN KESELAMATAN PASIEN
Tujuan sasaran keselamatan pasien rumah sakit bertujuan :
a. Mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien
b. Menyoroti bidang bermasalah dalam pelayanan kesehatan & menawar solusi
consensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini
c. Desain sistem yang baik adalah fondasi pemberian pelayanan kesehatan yang
bermutu tinggi dan aman
d. Fokus pada solusi-solusi sistem yang menyeluruh
e. Sasaran keselamatan pasien RS terdapat dalam Standar Akreditasi RS (Tahun 2012)

ENAM SASARAN KESELAMATAN PASIEN


Enam sasaran keselamatan pasien yaitu:
Sasaran I : Ketepatan Identifikasi pasien (Standar SKP.I.)
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/ meningkatkan
ketelitian identifikasi pasien.
Keamanan pelayanan di rumah sakit salah satunya dimulai dari ketepatan
identifikasi pasien. Kesalahan identifikasi pasien di awal pelayanan akan berdampak
pada kesalahan pelayanan pada tahap selanjutnya. Rumah sakit harus menjamin
proses identifikasi ini berjalan dengan benar sejak pertama kali pasien di daftar. Risiko
keselamatan terjadi ketika terdapat ketidakcocokan antara pasien dengan item
pelayanan yang seharusnya diterima, baik bersifat diagnostik, terapeutik, maupun
pelayanan pendukung lainnya. Kesalahan identifikasi pasien merupakan akar masalah
adanya banyak kesalahan yang terjadi.

Elemen Penilaian :
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua cara identifikasi pasien nama, tanggal lahir /
nomor rekam medic, tidak termasuk nomor bed atau lokasi kamar pasien.

20
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, tranfusi darah, atau produk darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis.
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan invasi.
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan proses yang konsisten pada semua situasi
dan lokasi.

Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang Efektif (Standar SKP II)


Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi
antar para pemberi layanan.
Cara menerapkan pemikiran keselamatan pasien ke semua kegiatan pelayanan
kesehatan.
Kembangkan hubungan dengan pasien.
Perawatan yang aman dan efektif bergantung pada pasien yang mengungkapkan
pengalaman mereka tentang penyakit mereka, keadaan mereka, sikap mereka
terhadap risiko yang terlibat, dan nilai dan preferensi mereka tentang bagaimana
mereka ingin diperlakukan.
Tabel jenis kegagalan komunikasi berhubungan dengan dokter
Tipe
Definisi Contoh ilustrasi dan catatan analitik
Kegagalan
Masalah dalam Ahli bedah staf bertanya kepada ahli
situasi atau anaestesiologi apakah antibiotik itu ada telah
konteks acara diadministrasikan pada titik ini, prosedurnya telah
komunikasi berjalan lebih dari satu jam.
Karena antibiotic diberikan secara optimal dalam
waktu 30 menit setelah insisi,
Waktu penyelidikan ini tidak efektif baik tepat
waktu maupun aman ukuran redundansi

21
Informasi yang Saat mereka mempersiapkan prosedurnya,

tidak mencukupi dokter anestesi menanyakan staf ahli bedah jika

atau tidak tepat tempat tidur ICU telah disediakan untuk pasien.

ditransfer Staf dokter bedah menjawab bahwa “tempat

tidur mungkin tidak diperlukan, dan tidak ada

mungkin ada yang tersedia, jika kita lanjutkan saja

Informasi yang relevan hilang dan pertanyaan

tidak terpecehkan : memiliki tempat tidur ICU

diminta, dan rencananya apa jadinya jika pasien

melakukannya butuh perawatan kritis dan tempat

tidur ICU tidak tersedia?

(Catatan : teladannya adalah diklasifikasikan

sebagai konten dan kegagalan tujuan.)

Kesenjangan dalam Perawat dan ahli anaestesiologi mendiskusikan

komposisi bagaimana seharusnya pasien tersebut

kelompok yang diposisikan untuk operasi tanpa partisipasi bedah

terlibat dalam perwakilan. Pembina memiliki kebutuhan posisi

komunikasi tertentu, jadi mereka harus berpartisipasi dalam

diskusi ini. Keputusan yang dibuat dengan tidak

adanya ahli bedah dapat menyebabkan reposisi

yang diperlukan

Komunikasi dimana Selama seseksi hati donor hidup, dua perawat

22
tujuannya tidak mendiskusikan apakan es itu dibutuhkan

jelas, tidak tercapai dibaskom yang mereka siapkan untuk hati. Tak

atau tidak pantas ada yang tahu. Tujuan komunikasi ini untuk

mengetahui apakah es dibutuhkan-tidak tercapai.

Tidak ada rencana untuk mencapainya yang

diartikulasikan

Elemen Penilaian:
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil tes dituliskan
secara lengkap oleh penerima perintah
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara
lengkap oleh penerima perintah
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau hasil
percobaan
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan proses yang konsisten pada verifikasi akurasi
komunikasi lisan atau melaui telpon

Sasaran : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert) (Standar


SKP III)
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki kemanan dari
obat yang perlu diwaspadai (high-alert)
Beberapa cara untuk membuat penggunaan obat lebih aman
1. Gunakan nama generik
Obat memiliki kedua nama dagang (nama merek) dan nama generik (INN, aktif
bahan). Untuk meminimalkan kebingungan dan menyederhanakan komunikasi,
sangat membantu jika staf hanya menggunakan nama generic.

23
2. Sesuai resep dengan masing-masig pasien, faktor yang perlu dipertimbangkan
meliputi alergi, kehamilan, menyusui, co-morbiditas, lainnya obat yang mungkin
dikonsumsi pasien, dan ukuran dan berat pasien.
3. Pelajari dan praktikkan riwayat pengobatan lengkap
Riwayat pengobatan harus dilakukan dengan peresepan secara professional oleh
petugas kesehatan dan apoteker.
4. Ketahui obat mana yang digunakan di daerah anda terkait dengan risiko tinggi yang
merugikan
5. Ketahuilah obat yang anda resepkan
Jangan pernah meresepkan obat yang anda tidak ketahui. Mengetahui dengan baik
obat-obatan yang sering digunakan, termasuk farmakologi, indikasi, kontraindikasi,
efek, tindakan pencegahan khusus, dosis dan rejimen yang dianjurkan untuk
pengobatan ini.
6. Gunakan alat bantu memori
Contoh alat bantu memori termasuk buku teks seukuran saku, pharmacopoeias,
dan teknologi informasi, seperti perangkat lunak komputer (decision/ dispensing
support) paket dan digital asisten.
7. Berkomunikasi engan jelas
Jelas, komunikasi yang tidak ambigu membantu meminimalkan asumsi yang dapat
menyebabkan kesalahan diantara tim perawatan kesehatan. Saat berkomunikasi
tentang obat, jelaskan dengan jelas oleh dokter dan apoteker kepada pasien.
8. Mengembangkan kebiasaan pengecekan
Pemeriksaan harus menjadi bagian penting dalam pemberian resep, pemberian
dan pemberian obat-obatan terlarang. Profesioanl kesehatan bertanggung jawab
atas setiap resep yang mereka tulis dan setiap obat ditiadakan atau
diadministrasikan. Periksa 5 RS dan untuk alergi. Obat berisiko tinggi dan situasi
membutuhkan kewaspadaan ekstra dengan pengecekan dan pengecekan ganda,
misalnya saat obat darurat digunakan untuk merawat pasien yang sakit kritis.
Double-checking sendiri dan tindakan rekan kerja berkontribusi pada kerja tim yang

24
baik dan memberikan perlindungan tambahan. Resep yang terkomputerisasi tidak
menghilangkan kebutuhan untuk pengecekan. Sistem komputerisasi memecahkan
beberapa masalah (misalnya tulisan tangan yang tiak terbaca, kebingungan seputar
nama generik dan dagang, mengenali interaksi obat), tapi juga menghadirkan
serangkaian tantangan baru. Pasien harus didorong untuk terlibat aktif dalam
perawatan dan pengobatan mereka sendiri. Mereka harus dididik tentang
pengobatan dan berkontribusi secara signifikan meningkatkan keamanan
penggunaan obat.
9. Melaporkan dan belajar dari pengobatan
Kapan pun kejadian obat terlarang atau hampir hilang, ada kesempatan untuk
belajar dan memperbaiki perawatan. Pelaporan kesalahan difasilitasi saat
kepercayaan dan penghargaan telah tercapai antara professional perawatan
kesehatan. Misalnya, apoteker lebih cenderung dilaporkan dan dijelaskan
kesalahan yang hampir salah saat resep dokter terbuka untuk mendengarkan
penjelaskan.

Elemen penilaian :
a. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses mengidentifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label dan penyimpanan elektrolit konsentrat
b. Implementasi kebijakan dan prosedur
Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan
secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pengadministrasian yang
kurang hati-hati pada area dimana sesuai kebijakan elektrolit konsentrat yang
ditempatkan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas sekali, dan
disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).

25
Sasaran IV: Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi (Standar
SKP.IV.)
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat-lokasi,
tepat-prosedur, dan tepat-pasien.
Proses verifikasi untuk memperbaiki perawatan bedah: pedoman, protokol dan
daftar periksa
Proses verifikasi memastikan bahwa prosedur yang benar dilakukan pada
pasien yang tepat. Sisi kanan, situs dan organ yang tepat. Metode yang efektif ada,
seperti panduan berbasis bukti, protokol atau daftar periksa, untuk mendukung
penyedia layanan kesehatan mencapai perawatan yang lebih aman. Alat berbasis bukti
ini sering terjadi dikembangkan oleh kelompok ahli multididplin dengan menggunakan
bukti terbaru.
Daftar periksa WHO adalah alat praktis yang dapat digunakan oleh tim bedah
manapun untuk memastikan bahwa langkah pra operasi, intraoperatif dan pasca
operasi yang telah terbukti bermanfaat bagi pasien dilakukan secara tepat waktu dan
efisien. Ini mengikuti kerangka kerja yang mapan untuk perawatan intraoperatif yang
aman di rumah sakit
Ini melibatkan urutan kejadian rutin – evalusi pasien pra operasi, intervensi
bedah dan persiapan untuk perawatan pasca operasi yang tepat masing-masing
dengan risiko spesifik yang harus dikurangi. Dalam fase pra operasi melakukan
informed consent, mengkonfirmasi identitas pasien, lokasi operasi dan prosedur yang
harus dilakukan, memeriksa keamanan mesin anestesi dan obat-obatan dan persiapan
yang memadai untuk kejadian intraoperatif semuanya harus dilakukan. Selama operasi
fase penggunaan antibiotik yang tepat dan bijaksana, tepat pemantauan pasien, kerja
tim yang efisien, anestesi kompeten dan penilaian bedah, teliti teknik bedah dan
komunikasi yang efisien antar anggota tim dari berbagai disiplin ilmu (operasi, anestesi
dan keperawatan) semuanya diperlukan untuk memastikan hasil yang baik. Pada fase
postoperatif yang jelas rencana perawatan. pemahaman tentang kejadian intraoperatif

26
dan komitmen terhadap peningkatan kualitas bisa semua perawatan bedah muka,
sehingga meningkatkan keselamatan pasien dan meningkatkan hasil.

Elemen penilaian:
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi
lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi
saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen
serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum
insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/ tindakan pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam
untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien, termasuk
prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

Sasaran V: Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan (Standar SKP.V)


Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang
terkait pelayanan kesehatan.
Mencegah infeksi terkait perawatan kesehatan: Area Prioritas
1. Kebersihan lingkungan
Kebersihan lingkungan di rumah sakit sangat penting untuk meminimalkan infeksi.
Pilihan agen desinfektan akan tergantung pada banyak faktor dan setiap fasilitas
harus memiliki kebijakan dan prosedur yang ada mengenai masalah ini
2. Sterilisasi/ disinfeksi peralatan, perangkat dan instrument
Peralatan, alat dan instrument harus disterilkan / didesinfeksi, mengikuti
rekomendasi secara tepat

27
3. Perangkat medis berlabel “untuk penggunaan tunggal”
Perangkat berlabel “untuk penggunaan tunggal” dirancang oleh produsen untuk
tidak digunakan kembali. Misalnya, jarum suntik sekali pakai tidak boleh digunakan
kembali karena riiko infeksi sangat tinggi. Perangkat suntik steril dan single-use
termasuk jarum suntik steril, jarum suntik auto-disable untuk tujuan imunisasi,
jarum suntik dengan fitur pencegahan penggunaan kembali untuk tujuan umum,
dan jarum suntik (misalnya jarum suntik pengaman) untuk tujuan umum.
4. Kebersihan tangan
Kebersihan tangan adalah satu-satunya intervensi penting yang dapat dilakukan
petugas layanan kesehatan untuk mencegah HCAI. Indikasi kebersihan tangan
timbul setiap saat ada kemungkinan mikroorganisme berpindah dari satu kulit atau
permukaan ke permukaan lainnya.
Menurut WHO tentang “My 5 Moments for Hand Hygiene” adalah
1. Sebelum menyentuh pasien
2. Sebelum prosedur bersih / aseptic
3. Setelah resiko terpapar cairan tubuh
4. Setelah menyentuh pasien
5. Setelah menyentuh lingkungan pasien

28
Menggosok tangan atau mencuci tangan
Menggosok tangan menggunakan handrub berbasis alkohol adalah
metode yang paling disukai dalam kebanyakan situasi klinis rutin, karena alkohol
bertindak lebih cepat daripada sabun, untuk menonaktifkan mikroorganisme,
efeknya berlangsung lebih lama dan prosedur pembersihan memerlukan sedikit
waktu untuk melakukan.
Pada penggunaan berulang-ulang di rangkaian layanan kesehatan,
pengeringan dan scaling kulit kurang jika formulasi handrubs yang benar
digunakan.
Handrubbing lebih mudah dilakukan pada titik perawatan karena tidak
tergantung pada tersedianya air bersih dan sabun. Ada situasi khusus dimana
mencuci tangan direkomendasikan.

29
Pedoman WHO tentang kebersihan tangan dalam perawatan kesehatan
Rekomendasi dalam pedoman WHO tentang Kebersihan Tangan dalam
Perawatan Kesehatan adalah:
 Sebelum kerja klinis rutin dimulai, lepaskan semua pergelangan tangan dan
perhiasan tangan dan penutup luka dan lecet dengan dressing tahan air;
 Kuku jari harus dijaga pendek dan kuku palsu tidak boleh dipakai;
 Cuci tangan dengan sabun dan air setiap kali kotor dengan darah atau cairan
tubuh lainnya dan setelah menggunakan toilet;
 Bila terpapar pathogen pembentuk spora ber[otensi dicurigai / terbukti, dan
selama wabah Clostridium difficile, cuci tangan dengan sabun dan air lebih
diutamakan;
 Gunakan handrub berbasis alcohol sebagai alat yang disukai untuk antisepsis
tangan rutin saat tangan tidak kotor;
 Jika handrup berbasis alcohol tidak tersedia, cuci tangan dengan sabun dan
air.

5. Penggunaan Alat Pelindung Diri


Alat Pelindung Diri (APD) mencakup gaun, sarung tangan, celemek,
pelindung mata, penutup sepatu dan masker wajah
Sarung Tangan
Leaflet informasi penggunaan Glove WHO merekomendasikan perilaku
berikut:
 Penggunaan sarung tangan tidak menggantikan kebutuhan akan
kebersihan tangan dengan cara menggosok tangan atau mencuci tangan;
 Pakailah sarung tangan bila dapat diantisipasi dengan cukup baik bahwa
kontak dengan darah atau bahan berpotensi menular lainnya, selaput
lendir, atau kulit yang tidak utuh akan terjadi;

30
 Lepaskan sarung tangan setelah merawat pasien. Jangan memakai sarung
tangan yang sama untuk merawat lebih dari satu pasien.
 Saat mengenakan sarung tangan, ganti atau lepaskan sarung tangan
selama perawatan pasien jika berpindah dari tempat tubuh lain
(termasuk kulit tidak utuh, selaput lender atau alat medis) di dalam
pasien atau lingkungan yang sama
 Penggunaan kembali sarung tangan tidak dianjurkan. Dalam kasus
penggunaan ulang sarung tangan, terapkan metode daur ulang teraman.

Gaun dan masker wajah


Gaun mencegah kontaminasi pakaian dengna darah, cairan tubuh dan bahan
berpotensi menular lainnya. Panduan menunjukkan bahwa penyedia layanan
kesehatan harus:
 Kenakan apron plastik sekali pakai bila kontak dengan pasien, bahan atau
peralatan, atau bila beresiko terkena kontaminasi;
 Buang celemek plastik setelah setiap prosedur. Pakaian pelindung non-pakai
harus dikirim untuk pencucian;
 Gunakan gaun pengikat cairan tubuh penuh bila ada risiko percikan darah,
cairan tubuh, sekresi atau eskresi yang berlebihan, kecuali keringat;
 Masker wajah dan pelindung wajah harus dipakai bila ada risiko darah,
cairan tubuh, sekresi dan/ atau eskresi yang terciprat ke wajah dan mata.

Elemen Penilaian:
a. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
yang baru diterbitkan dan diterima secara umum (al. dari WHO Patient
Safety)
b. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif

31
c. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mendukung
pengurangan berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan
kesehatan

Sasaran VI: Pengurangan risiko pasien jatuh (Standar SKP.VI.)


Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko
pasien dari cedera karena jatuh.
Berdasarkan laporan tahunan 2012 di Rumah Sakit Islam UNISMA
Malang, diperoleh data bahwa kejadian pasien jatuh masih menempati urutan
ke empat dari seluruh kejadian yang tidak diinginkan (KTD). Selain itu, sejak
dimulainya program patient safety Januari 2013, belum dilakukan penyusunan
suatu kebijakan atau program managemen pasien resiko jatuh, termasuk
standar prosedur operasional (SPO) managemen pencegahan pasien resiko
jatuh.
Upaya untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya pasien jatuh
dengan atau tanpa cidera sangat diperlukan. Rumah sakit wajib melakukan
penanganan pasien resiko jatuh yang dapat dimulai dari pengkajian awal pasien
masuk. Maupun pengkajian ulang secara berkala, termasuk resiko potensial
yang berhubungan dengan jadwal pemberian obat, serta mengambil tindakan
untuk mengurangi semua resiko yang telah diidentifikasikan tersebut.
Managemen resiko pasien jatuh ini dapat dilaksanakan sejak pasien mendaftar
hingga pasien pulang. Kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi akar masalah
penyebab resiko pasien jatuh, mengembangkan alternatif, solusi, dan
melakukan uji dari alternatif solusi tersebut.

32
Elemen Penilaian:
a. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien tehadap risiko
jatuh dan asesmen ulang pasien dengan indikasi perubahan kondisi, obat,
dll.
b. Langkah-langkah diterapkan untuk menguragi risiko jatuh bagi mereka yang
pada asesmen dianggap rawan jatuh.
c. Langkah tersebut dimonitor hasilnya, terhadap keberhasilan frekuaensi
jatuh, kejadian terkait yang tidak diharapkan.
d. Kebijakan dan /atau prosedur dikembangkan untuk mendukung
pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.

33
MATERI 03
INSIDEN KESELAMATAN PASIEN (IKP) DAN PELAPORAN IKP

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Peserta memahami tentang Insiden Keselamatan Pasien (IKP) dan Pelaporan IKP

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:


1. Peserta memahami pengertian dari Insiden Keselamatan Pasien
2. Peserta memahami jenis pelaporan Insiden Keselamatan Pasien
3. Peserta memahami faktor kontributor dalam Insiden Keselamatan Pasien
4. Peserta memahami tujuan pelaporan Insiden Keselamatan Pasien
5. Peserta memahami alur pelaporan Insiden Keselamatan Pasien di rumah sakit
6. Peserta memahami Granding Matrix dari Insiden Keselamatan Pasien

INSIDEN KESELAMATAN PASIEN (IKP) DAN JENIS-JENIS IKP


Insiden Keselamatan Pasien (IKP) atau Patient Safety Incident adalah setiap
kejadian atau situasi yang dapat mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
harm yaitu seperti penyakit, cedera, cacat, atau bahkan kematian yang tidak
seharusnya terjadi.
Lembaga Nasional Keselamatan Pasien Inggris melaporkan 236 kejadian
near miss berhubungan dengan kehilangan gelang identitas dan informasi yang
salah pada gelang identitas selama November 2003 – Juli 2005. Kesalahan
identifikasi juga ditemukan pada lebih dari 100 analisa akar masalah pada Januari
2000 sampai Maret 2003 oleh United State Department of Veteran Affair (VA)
National Center for Patient Safety. NSQHS Australia mencatat adanya 10 kejadian
akibat kesalahan pasien atau anggota badan yang salah yang berdampak kematian
atau kehilangan fungsi secara permanen selama tahun 2009-2010 dan diperkirakan
bisa naik jika kasus-kasus kesalahan identifikasi pada lingkungan dan bedah
(patologi dan radiologi) masuk ke dalam data yang dilaporkan.

34
Data Insiden Keselamatan Pasien di rumah sakit tempat studi pasca
akreditasi pada periode bulan Januari sampai dengan September 2013 tercatat
sebanyak 76 insiden yang terdiri dari kejadian tidak diharapkan/ KTD (8%), kejadian
nyaris cedera/ KNC (1%) serta kejadian tidak cedera / KTC (91%).

Adapun jenis-jenis insiden dalam keselamatan pasien adalah:


a. Kondisi Potensial Cidera - KPC (a reportable circumstance) adalah situasi yang
sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera tetapi belum terjadi cedera dan
kondisi atau situasi ini termasuk yang perlu untuk dilaporkan contohnya
ruangan ICU yang sangat sibuk tetapi jumlah personil selalu kurang
(understaffed), penempatan defibrillator di IGD ternyata diketahui bahwa alat
tersebut rusak, walaupun belum diperlukan.
b. Kejadian Nyaris Cidera - KNC (a near Miss) adalah terjadinya insiden yang
belum sampai terpapar atau terkena pasien, contohnya unit transfuse darah
sudah terpasang pada pasien yang salah tetapi kesalahan tersebut segera
diketahui sebelum transfuse dimulai sehingga tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan.
c. Kejadian Tidak Cidera – KTC (a No Harm Incident) adalah suatu insiden yang
sudah terpapar ke pasien tetapi tidak timbul cedera, contohnya darah transfusi
yang salah sudah dialirkan tetapi tidak timbul gejala inkompatibiltas. KTC dapat
terjadi karena “keberuntungan” (misalnya; pasien terima suatu obat kontra
indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat). Atau “peringanan” (suatu obat dengan
reaksi alergi diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotumnya).
d. Kejadian Tidak Diharapkan – KTD (a Harmful Incident/adverse event) adalah
insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien, contohnya transfusi yang
salah mengakibatkan pasien meninggal karena reaksi hemolisis. KTD juga
merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan

35
pada pasien karena suatu tindakan (“commission”) atau karena bertindak
(“omission”), bukam karena “underlying disease” atau kondisi pasien.

Setelah keempat jenis insiden di atas dapat dimengerti, maka ada satu
kejadian lagi yang sangat fatal dan penting untuk dilaporkan dalam
keselamatan pasien yaitu kejadian sentinel (sentinel event) yang artinya suatu
kejadian tidak diharapkan – KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
yang serius, ataupun kematian yang tidak terantisipasi, yang tidak ada kaitannya
dengan perjalanan penyakitnya atau kondisi yang mendasari. Biasanya dipakai
untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat diterima seperti
operasi pada bagian tubuh yang salah. Salah prosedur operasi dan salah pasien
yang akan dioperasi. Kehilangan permanen fungsi utama yang tidak ada
kaitannya dengan perjalanan penyakitnya atau kondisi yang mendasari ataupun
bayi tertukar atau bayi yang dipulangkan dengan orang tua yang salah.

FAKTOR KONTRIBUTOR DALAM INSIDEN KESELAMATAN PASIEN


Faktor kontributor adalah keadaan, tindakan, atau faktor yang
mempengaruhi dan berperan dalam mengembangkan dan/atau meningkatkan
risiko suatu kejadian (misalnya pembagian tugas yang tidak sesuai kebutuhan).
Diantaranya sebagai berikut:
a. Faktor kontributor di luar organisasi (eksternal)
b. Faktor kontributor dalam organisasi (internal) misalnya tidak ada prosedur
c. Faktor kontributor yang berhubungan dengan petugas (kognitif atau perilaku
petugas yang kurang, lemahnya supervise, kurangnya team work atau
komunikasi)
d. Faktor kontributor yang berhubungan dengan keadaan pasien

36
JENIS PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN (IKP)
a. Laporan insiden keselamatan pasien RS (internal) pelaporan secara tertulis setiap
kejadian nyaris cedera (KNC) atau kejadian tidak diharapkan (KTD) atau kejadian
tidak cedera (KTC) atau kondisi potensial cedera (KPC) yang menimpa pasien.
Setiap insiden dilaporkan secara internal kepada TKPRS (Tim Keselamatan Pasien
Rumah Sakit) dalam waktu paling lambat 2x24 jam sesuai format laporan yang ada.
TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden
yang dilaporkan. TKPRS melaporkan hasil kegiatannya kepada rumah sakit.
b. Laporan insiden keselamatan pasien KKPRS (Eksternal) : pelaporan secara anonim
secara elektronik ke KKPRS setiap kejadian tidak diharapkan (KTD) atau kejadian
nyaris cedera (KNC) atau kejadian tidak cedera (KTC) atau sentinel event yang
terjadi pada pasien, setelah dilakukan analisa penyebab, rekomendasi dan
solusinya.
Rumah sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit. Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan
pengkajian dan memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan secara
nasional (Permenkes 1691/Menkes/Per/VIII/2011).

TUJUAN PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN


Tujuan Umum:
1. Menurunnya Insiden Keselamatan Pasien (KTD, KNC, KTC dan KPC)
2. Meningkatnya mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Tujuan Khusus:
1. Rumah Sakit (Internal)
a. Terlaksananya sistem pelaporan dan pencatatan insiden keselamatan pasien di
rumah sakit.
b. Diketahui penyebab insiden keselamatan pasien sampai pada akar masalah.

37
c. Didapatkannya pembelajaran untuk perbaikan asuhan kepada pasien agar
dapat mencegah kejadian yang sama di kemudian hari.
2. KKPRS (Eksternal)
a. Diperolehnya data / peta nasional angka insiden keselamatan pasien (KTD, KNC,
KTC)
b. Diperolehnya pembelajaran untuk meningkatkan mutu pelayanan dan
keselamatan pasien bagi rumah sakit lain.
c. Ditetapkannya langkah-langkah praktis Keselamatan Pasien untuk rumah sakit
di Indonesia.

ALUR PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN DI RS


Alur Pelaporna Insiden Kepada Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/KTC/KPK) di rumah sakit, wajib segera
ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/ akibat yang tidak
diharapkan.
b. Setelah ditindaklanjuti, segera membuat laporan insidennya dengan mengisi
Formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada Atasan langsung.
(Paling lambat 2x24 jam); diharapkan jangan menunda laporan.
c. Setelah selesai mengisi laporan, segera menyerahkan kepada Atasan langsung
pelapor. (Atasan langsung disepakati sesuai keputusan Manajemen: Supervisor/
Kepala Bagian/ Instalasi/ Departemen / Unit).
d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.
e. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisa yang akan dilakukan
sebagai berikut: (pembahasan lebih lanjut lihat BAB III)
1. Grade biru: investigasi sederhana oleh Atasan langsung waktu maksimal 1
minggu.
2. Grade hijau: investigasi sederhan oleh Atasan langsung, waktu maksimal 2
minggu.

38
3. Grade kuning: Investigasi komprehensif/ Analisis akar masalah/ RCA oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45hari
4. Grade merah: Investigasi komprehensif/ Analisis akar masalah/ RCA oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45hari
f. Setelah selesai melakukan investigasi sederhan, laporan hasil investigasi dan
laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
g. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil investigasi lanjutan (RCA) dengan
melakukan Regrading.
h. Untuk grade Kuning/ Merah, Tim KP di RS akan melakukan analisis akar masalah/
RooT Cause Analysis (RCA)
i. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan Rekomendasi
untuk perbaikan serta “Pembelajaran” berupa: Petunjuk/ “Safety alert” untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
j. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi
k. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada
unit kerja terkait serta sosialisai kepada seluruh unit di Rumah Sakit
l. Unit kerja membuat analisa kejadian di satuan kerjanya masing-masing
m. Monitoring dan evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.

Alur Pelaporan Insiden ke KKPRS – Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit


(eksternal)
Laporan hasil investigasi sederhana/ analisis akar masalah/ RCA yang terjadi
pada pasien dan telah mendapatkan rekomendasi dan solusi oleh Tim KP di RS
(internal)/ Pimpinan RS dikirimkan ke KKPRS dengan melakukan entry data (e-
reporting) melalui website resmi KKPRS: www.buk.depkes.go.id. Individu dokter
spesialis anestesi melaporkan kejadian tersebut ke Persatuan Dokter Spesialis dan
Terapi Insentif di cabang tempat bekerja untuk dipelajari dan ditindak lanjutin.

39
ANALISIS MATRIKS GRADING RISIKO
Penilaian matriks risiko adalah suatu metode analisis kualitatif untuk
menentukan derajat risiko suatu insiden berdasarkan Dampak dan
Probabilitasnya.
a. Dampak (Consequences)
Penilaian dampak/ akibat suatu indsiden adalah seberapa berat akibat yang
dialami pasien mulai dari tidak ada cedera sampai meninggal (tabel 1).
b. Probabilitas/ Frekuensi/ Likelihood
Penilaian tingkat probabilitas / frekuensi risiko adalah seberapa seringnya
insiden tersebut terjadi (tabel 2).

Tabel 1. Penilaian Dampak Klinis/ Konsekuensi/ Severity

TINGKA
DESKRIPSI DAMPAK
T RISIKO
1 Insignifikan Tidak ada cedera

2 Minor  Cedera ringan mis. Luka lecet


 Dapat diatas dengan pertolongan pertama
 Cedera sedang mis. Luka robek
 Berkurangnya fungsi motoric/ sensorik/
3 Moderat psikologis atau intelektual (reversibel), tidak
berhubungan dengan penyakit
 Setiap kasus yang memperpanjang perawatan
 Cedera luas/ berat mis. Cacad, lumpuh
4 Mayor  Kehilangan fungsi motorik/ sensorik/
psikologis atau intelektual (irreversible), tidak
berhubungan dengan penyakit
5 Katastropik Kematian yang tidak berhubungan dengan
perjalanan penyakit

40
Tabel 2. Penilaian Probabilitas/ Frekuensi

TINGKAT RISIKO DESKRIPSI


1 Sangat jarang / Rate ( >5 th/kali )
2 Jarang / Unlikely (>2-5 th/kali )
3 Mungkin / Possible ( 1-2 th/kali )
4 Sering / Likely ( Beberapa kali / thn )
5 Sangat sering / Almost Certain ( Tiap Minggu / bulan )

Setelah nilai Dampak dan Probabilitas diketahui, dimasukkan dalam Tabel


Matriks
Grading Risiko untuk menghitung skor risiko dan mencari warna bands risiko

SKOR RISIKO
SKOR RISIKO = Dampak x Probabilitas
Cara menghitung skor risiko
Untuk menentukan skor risiko digunakan matriks grading risiko (tabel 3)
1. Tetapkan frekuensi pada kolom kiri
2. Tetapkan dampak pada baris ke arah kanan
3. Tetapkan warna bandsnya, berdasarkan pertemuan antara frekuensi dan
dampak

BAND RISIKO
Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat warna yaitu:
Biru, Hijau, Kuning dan Merah. Warna “bands” akan menentukan investigasi
yang akan dilakukan : (tabel 3)
1. Bands BIRU dan HIJAU; investigasi sederhana
2. Bands KUNING dan MERAH; Investigasi Komprehensif / RCA

WARNA BANDS; HASIL PERTEMUAN ANTARA NILAI DAMPAK YANG DIURUT


KEBAWAH DAN NILAI PROBABILITAS YANG DIURUT KE SAMPING KANAN

41
Tabel 3. Matrik Grading Risiko

Likehood / POTENTIAL CONSEQUENCE / IMPACT


Probability Insignificant Minor 2 Moderate Major 4 Catastropic
1 3 5
Almost
certain
Moderate Moderate High Extreme Extreme
(Tiap
mgg/bln) 5
Likely
(bebrp Moderate Moderate High Extreme Extreme
x/thn) 4
Posible (1-
Low Moderate High Extreme Extreme
2 thn/x) 3
Unlikely (2-
Low Low Moderate High Extreme
5 thn/x) 2
Rare (>5
Low Low Moderate High Extreme
thn/x) 1

Can be manage Clinical Detailed review & Immediate


by procedure manager / Lead urgent treatment review & action
Clinician should should be required at
asses the undertaken by board level.
consequences senior Director must be
againt cost of management informed
treatingthe risk

42
Tabel 4. Tindakan Sesuai Tingkat dan Brand Risiko

LEVEL / BANDS TINDAKAN

Risiko ekstrim, dilakukan RCA paling lama 45 hari


Thrilling
membutuhkan tindakan segera, perhatian sampai ke
(Sangat Tinggi)
Direktur,

Risiko tinggi, dilakukan RCA paling lama 45 hari kaji


High (tinggi) dengan detil & perlu tindakan segera serta
membutuhkan perhatian top manajemen,

Risiko sedang, dilakukan investigasi sederhana paling


Moderate
lama 2 minggu. Manajer / Pimpinan Klinik sebainya
(sedang)
menilai dampak terhadap biaya dan kelola risiko

Risiko rendah, dilakukan investigasi sederhana paling


Low (rendah
lama 1 minggu diselesaikan dengan prosedur rutin

43
MATERI 04.
BUDAYA KESELAMATAN PASIEN

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM :


Peserta memahami tentang budaya keselamatan pasien

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:


1. Peserta memahami pengertian dari budaya keselamatan pasien
2. Peserta memahami komponen budaya keselamatan pasien
3. Peserta memahami penerapan budaya keselamatan pasien dalam skala
internasional
4. Peserta memahami faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penerapan budaya
keselamatan pasien
5. Peserta memahami tentang pengukuran/ survei budaya keselamatan pasien
6. Peserta memahami tujuan pengukuran/ survei budaya keselamatan pasien
7. Peserta memahami tentang perilaku leader/ tim dalam membangun budaya
keselamatan pasien

PENGERTIAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN (KP)


a. Budaya keselamatan pasien merupakan salah satu dari tujuh langkah menuju
keselamatan pasien di rumah sakit yaitu bengun kesadaran akan nilai keselamatan
pasien, ciptakan kepemimpinan dan budaya terbuka dan adil (Depkes, 2006).
b. Budaya keselamatan pasien merupakan penanaman persepsi (meliputi norma,
standar profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung jawab dalam keselamatan
pasien) antar anggota organisasi/ tim ditujukan untuk melindungi pasien dari
kesalahan tata laksana maupun cidera akibat tindakan Blegen (2006) dalam
Hamdani (2007).
c. Budaya keselamatan pasien juga diartikan sebagai seperangkat keyakinan, perilaku,
peran, dalam meminimalkan pajanan yang membahayakan atau mencelakakan

44
karyawan, manajemen, pasien atau anggota masyarakat lainnya Kohn (2000)
dalam Hamdani (2007).

KOMPONEN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN


Budaya mengandung dua komponen; nilai dan keyakinan. Nilai mengacu pada
sesuatu yang diyakini oleh staf untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah.
Keyakinan mengacu pada sikap staf tentang cara bagaimana seharusnya bekerja di RS.
Nilai dan keyakinan yang berkaitan dengan keselamatan pasien yang ditanamkan
pada staf, maka setiap staf akan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dalam
penerapan keselamatan pasien. Perilaku diatas menjadi suatu budaya yang tertanam
dalam diri setiap staf berupa perilaku budaya keselamatan pasien perilaku budaya
keselamatan pasien akan dapat mengurangi dan mencegah KTD.
Komponen-komponen dalam budaya keselamatan pasien;
a. Informed Culture (semua pihak mengupdate keilmuan sehingga bisa menjelaskan
keselamatan pasien sebagai sebuah sistem)
b. Reporting Culture (semua pihak memiliki kesadaran untuk melaporkan kesalahan/
near miss, jumlah laporanpun menjadi terpantau dan meningkat serta dapat
dijadikan pembelajaran ke depan)
c. Trust Culture (menciptakan budaya trust sehingga setiap orang merasa diterima,
bisa bersifat terbuka karena lingkungan yang non punitive/ no blame culture)
d. Learning Culture (semua pihak mampu menggali pengetahuan dari pengalaman
yang diperoleh dan mengimplementasikan perubahan dan perbaikan
berkesinambungan/ continuous improvement  budaya belajar dari insiden/
nearmiss)

Komponen-komponen budaya keselamatan pasien juga harus diterapkan


dalam pelayanan anestesi diantaranya dalam hal Informed Culture sebagai langkah
awal dalam membudayakan keselamatan pasien dimana dilakukan pembekalan
keilmuwan kepada seluruh klinisi anestesi terkait keselamatan pasien, dilakukan

45
pembinaan berkesinambungan baik melalui sosialisasi maupun kegiatan-kegiatan
ilmiah. Informed Culture yang dipelihara akan menciptakan learning culture.
Reporting Culture dibangun dengan menunjukkan champion atau duta
keselamatan pasien dalam tim anestesi yang telah dibekali dengan pengetahuan
terkait pelaporan, sehingga dengan demikian setiap pelaporan dapat ditriger oleh
champion dan lama kelamaan akan menjadi suatu keharusan. Meskipun demikian
tetap saja dalam hal ini semua orang harus komitmen pada Trust Culture sehingga
sistem pelaporan tidak dianggap sebagai suatu kesalahan yang identik dengan
hukuman (no blame culture)
e. Just Culture dapat mengantisipasi terjadinya human error, mengenalinya sebelum
terjadi perburukan lebih lanjut, serta melakukan perbaikan sebagai konsekuensi
human error yang membahayakan pasien. Sistem harus dirancang untuk
membantu setiap petugas kesehatan dalam membuat keputusan dengan baik,
serta mendukung terlaksananya tugas dengan aman dan benar. Just Culture
membantu organisasi untuk mengabaikan peristiwa, hasil dan kesalahan personal
dan lebih fokus pada pemahaman risiko kerja, perancangan sistem, dan
pengelolaan pilihan perilaku. Budaya ini melihat kesalahan dan hasil sebagai
produk yang harus diawasi saat mempertimbangkan perancangan sistem dan
pilihan perilaku sebagai masukan yang harus dikelola.
“Seseorang dapat tidak sengaja membuat kesalahan, yang menyebabkan
kecelakaan. Kecelakaan dapat menyebabkan kematian. Biasanya orang-orang yang
terlibat akan disalahkan. Apakah jika kita mencari tahu siapa yang membuat
kesalahan dan menghukum mereka, masalah akan terselesaikan? Salah. Suatu
kesalahan yang tidak disengaja jarang sekali semata-mata karena kesalahan
individu; melainkan kesalahan sistem. Menghukum individu tanpa mengubah
sistem menyebabkan masalahnya akan terus berlanjut.”-Don Norman, Apple
Fellow

46
“hambatan terbesar untuk pencegahan terjadinya error di industri medis adalah
kita menghukum seseorang atas kesalahan yang dilakukannya.” –Lucian Leape,
Harvard School of Public health

“melalui Just Culture, kita mulai dapat melihat, memahami dan mengurangi risiko
kerja didalam sistem layanan kesehatan.” –David Marx, Outcome Engineering

DEFINISI JUST CULTURE


Definisi Just
1. Dipandu oleh kebenaran, akal, kesetaraan, dan keadilan.
2. Dilakukan atau dibuat sesuai prinsip; adil; tepat: jawaban yang sesuai
3. Berdasarkan hak; sah; halal: klaim yang adil
4. Sejalan dengan kebenaran atau fakta; pernyataan yang adil
5. Diberikan atau diserahkan dengan benar; pantas, sebagai hukuman, atau
perhargaan: sebuah hukuman yang adil
Definisi Culture
1. Sifat seseorang atau masyarakat yang timbul dari asumsi terhadap suatu hal
yang dianggap sangat baik, sesuai norma.
2. Bentuk peradaban tertentu, pada suatu bangsa atau dalam periode tertentu,
misalnya budaya Yunani.
3. Karakteristik perilaku dan kepercayaan dari kelompok sosial, etnis, atau usia
tertentu.
4. Antropologi. Pola kehidupan yang dibangun oleh sekelompok manusia dan
diturunkan dari suatu generasi ke generasi lainnya.
5. Tindakan atau praktek budidaya pertanian.

47
Apa yang dimaksud dengan Just Culture?
1. Pada dasarnya budaya pelayanan kesehatan menuntut pertanggungjawaban
individu yang merawat pasien atas semua kesalahan atau kecelakaan yang
menimpa pasien
2. Just Culture mengakui bahwa praktisi individual tidak boleh diberikan sanksi
apabila terjadi kesalahan akibat kegagalan sistem yang tidak dapat
dikendalikan.
3. Just Cultur juga dapat digunakan untuk memprediksi kesalahan akibat interaksi
antara operator manusia dan sistem yang diterapkan di tempat kerja, serta
menyadari bahwa seorang ahli yang kompeten pun dapat membuat kesalahan.
4. Menyadari bahwa bahkan seorang ahli yang kompeten pun dapat membuat
norma-perilaku sendiri (jalan pintas, “pelanggaran kebiasaan rutin”).
5. Just Culture tidak memiliki toleransi terhadap kecerobohan.

The Three Behaviors


Human Error At Risk Behavior Reckiess Behavior
produk yang merupakan pilihan kesadaran dalam
dihasilkan dengan terhadap hal yang melakukan tindakan
desain sistem dan pola dianggap tidak terlalu yang beresiko yang tidak
perilaku yang sedang beresiko. dapat dibenarkan.
diterapkan
dikendalikan dengan:
dikendalikan dengan:  Tidak memberikan dikendalikan dengan:
mengubah: insentif untuk perilaku  Perbaikan ulang
 Pilihan berisiko  Sanksi disipliner
 Proses  Memberi insentif untuk
 Pelatihan perilaku sehat
 Desain  Meningkatkan
 Lingkungan kesadaran terhadap
resiko
Console Coach Discipline
Human error

48
Human Error terjadi ketika seeorang melakukan sesuatu kesalahan yang tidak
disengaja, terlompati ataupun terlupa. Dalam beberapa kasus, sistem yang
diterapkanlah yang dapat membuat individu gagal dalam melakukan pekerjaan.
Oleh karena itu, sistem harus diubah. Just Culture, memandang kesalahan ini
sebagai produk perancangan sistem yang salah.

At Risk Behavior
Perilaku beresiko merupakan tindakan yang meningkatkan risiko tidak diinginkan,
dimana seseorang yang melakukannya meyakini tindakan tersebut tidak dapat
dibenarkan. Umumnya, perilaku berisiko berawal keberanian seseorang untuk
melakukan pekerjaan yang menantang. Perilaku ini dapat ditangani dengan
melakukan konseling kepada individu untuk menyadari risiko tersebut dengan
mengidentifikasi dan memperbaiki masalah sistem dan membuat peraturan
khusus.

Reckless Behavior
Perilaku ceroboh dilakukan dimana individu mengenali risiko tingkah lakunya
namun secara sadar mengabaikan risiko tersebut, yang menimbulkan banyak
masalah kerugian. Tindakan ini jelas tidak dapat dibenarkan. Perilaku contoh ini
harus ditangani dengan sanksi disipliner.

BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DALAM SKALA INTERNASIONAL


Budaya kesalahan pasien di dunia internasional;
a. JCAHO (Joint Commission on Accreditation of Healtcare Organization) di
Amerika, sejak tahun 2007 menetapkan penilaian tahunan terhadap budaya
keselamatan sebagai target KP
b. NPSA (National Patient Safety Agency) di Inggris mencantumkan budaya
keselamatan sebagai langkah pertama dari “Seven Steps to Patient Safety”

49
c. Budaya keselamatan di layanan kesehatan juga digaris-bawahi oleh laporan-
laporan dari WHO (World Health Organization) (2006)
d. Komite untuk Healthcare Quality Control di Amerika meluncurkan Hospital
Survey on Patient Safety Culture (HSPSC). HSPSC merupakan survey bagi
seluruh pegawai/ staf di RS yang didesain untuk menilai Budaya Keselamatan
Pasien di institusinya. Sejak saat itu >100 RS telah melakukan survey.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BUDAYA KESELAMATAN PASIEN


Menurut Rachmawati (2011):
a. Tingkat manajemen; persepsi manajemen tentang keselamatan pasien dan
keterlibatan manajemen dalam keselamatan pasien
b. Tingkat organisasi meliputi SDM, kepemimpinan Tim/ Komite keselamatan
pasien, supervisor, peraturan-peraturan yang berlaku
Menurut Flin (2009);
a. Kepemimpinan Transformasional
b. Kerjasama Tim
c. Kesadaran individual

Berbagai faktor diatas menunjukkan bahwa semua unsur yang berkaitan


dengan kepemimpinan menjadi hal yang penting dalam terbangunnya budaya
keselamatan sehingga membudayakan keselamatan pasien tidak hanya menjadi
kewajiban dari klinisi anestesi saja namun juga menjadi tanggung jawab ketika
seorang klinisi anestesi berada dan terlibat di dalam manajemen seperti menjadi
supervisor, komite mutu, tim keselamatan pasien dan lainnya sehingga persepsi
yang baik terhadap pentingnya keselamatan pasien dapat menjadi penggerak dan
promotor di dalam tim yang dipimpinnya.

50
PENGUKURAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN
Salah satu upaya membangun budaya KP oleh JCAHO (Joint
Commission on Accreditation of Healthcare Organization) di Amerika, sejak
tahun 2007 mendapatkan pengukuran/ penilaian tahunan terhadap budaya
keselamatan sebagai target KP; NPSA (National Patient Safety Agency) di
Inngris mencatumkan budaya keselamatan sebagai langkah pertama dari
“Seven Steps to Patient Safety” (Phillips, 2005). Pentingnya budaya
keselamatan di layanan kesehatan juga digaris-bawahi oleh laporan-laporan
dari WHO (World Health Organization) (2006), European Comission (2005)
dan The Counsil of Europe (2006) (Hartman, 2008).
Budaya keselamatan dibangun oleh berbagai faktor (dimensi), dan
berbagai peneliti mencoba mengidentifikasi dimensi-dimensi tersebut.
Penelitian Gershon et al. (2000) menghasilkan 6 faktor/ dimensi
diantaranya adalah dukungan manajemen, umpan balik/ pelatihan, minimal
konflik/ komunikasi yang baik, dst. Survey tentang budaya keselamatan
pasien yang sering digunakan sebagai acuan di berbagai Negara karena
mempunyai sifat psikometris yang terbaik dan dirancang untuk seluruh
pekerja RS adalah yang dilakukan oleh Sorra & Nieva (2004), yaitu Hospital
Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC), yang mempunyai 12 dimensi
budaya keselamatan dan 2 dimensi outcome.
Pengukuran budaya keselamatan pasien juga dilakukan terhadap
klinisi anestesi sebagai bagian dari petugas kesehatan yang erat
hubungannya dengan pemberian pelayanan khususnya dalam pelaksanaan
Surgical Patient Safety. Pengukuran dalam bentuk survey budaya
keselamatan pasien dapat dilakukan berdasarkan elemen yang
dikembangkan oleh Agency of Healthcare Research and Quality (AHRQ).

51
AHRQ menilai budaya keselamatan pasien melalui 3 aspek dibagi ke
dalam 12 dimensi;
1. Tingkat unit; Supervisor/ Manager action promoting safety,
Organization learning, kerjasama dalam unit RS, komunikasi terbuka,
umpan balik dan komunikasi mengenai kesalahan, respon tidak
menyalahkan terhadap kesalahan dan staffing
2. Tingkat rumah sakit; dukungan manajemen terhadap upaya
keselamatan pasien di RS, kerjasama dalam unit di RS, Handsoff/
Transfer pasien
3. Keluaran/ Outcome; persepsi keseluruhan staf di RS terkit keselamatan
pasien, frekuensi pelaporan kejadian

TUJUAN PENGUKURAN/ SURVEI BUDAYA KESELAMATAN PASIEN


Tujuan pengukuran/ survey budaya KP diantaranya;
1. Meningkatkan kesadaran staf RS mengenai keselamatan pasien
2. Mendiagnosis dan menilai kondisi budaya keselamatan pasien saat itu
3. Mengidentifikasi kekurangan suatu area/ unit untuk pengembangan
program KP
4. Menguji perubahan trend budaya KP sepanjang waktu
5. Mengevaluasi dampak budaya dari inisiatif dan intervensi KP yang sudah
dilakuakan
6. Mengadakan perbandingan baik internal maupun eksternal

52
PERILAKU LEADER/ TIM DALAM MEMBANGUN BUDAYA KESELAMATAN
PASIEN
Beberapa hal terkait kepemimpinan, seperti yang telah dibahas
sebelumnya dimana ketika seorang klinisi anestesi juga menjadi supervisor atau
leader dalam tim keselamatan pasien, maka beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranyaberperan serta dalam mengkomunikasikan visi-visi KP
dengan jelas, mendorong setiap staf mencapai visi, aktif melakukan upaya
pengembangan KP, memberikan contoh-contoh sikap menjunjung KP, lebih
fokus kepada isu dibandingkan kesalahan individu, melakukan riset secara
kontinyu dalam upaya perbaikan, mendorong setiap orang bertanggung jawab
terhadap KP, mengutamakan KP dalam bekerja sebagai bentuk pengabdian
pada sesama, menghindari tindakan yang sembarangan dan tidak sesuai SOP,
menghargai setiap bentuk upaya menjunjung tinggi KP; pelaporan, penyelesaian
masalah, memberi kesempatan belajar dari setiap kesalahan serta turut serta
aktif dalam memelihara sistem KP yang efektif.

53
MATERI 05
KESELAMATAN PASIEN DALAM
PELAYANAN ANESTESI DAN BEDAH (PAB)

Keselamatan Pasien pada tindakan anestesi dapat dicapai dengan pendekatan


multifacet, mulai dari mengubah budaya dan cara menghadapi maslah, ANTS,
pembuatan pedoman/ panduan hingga sistem pelaporan dimana praktek aman (safety
practice) pada prosedur anestesia merupakan salah satu pendekatan.
Faktor terkit morbiditas-mortalitas
Anesteshia-related death, 51-77% terjadi karena human error, antara lain disebabkan
oleh:
 Kurang berpengalaman/ kompeten (89%)
 Kesalahan analisi atau mengambil keputusan (11%)
 Komunikasi dan kerjasama tim yang buruk (43-65%)
 Faktor organisasional manejemen (26%) termasuk didalamnya penjadwalan
pasien, penjadwalan jaga malam, tekanan dari administrator RS.
Patient Safety Practice pada prosedur anestesia mencakup semua manajemen pasien
di periode perioperatif:
 Konsultasi preoperative
 Penatalaksanaan intraoperatif
 Penatalaksanaan postoperatif

PERSIAPAN PREOPERATIF
Diketahui bahwa ada hubungan antara penyakit ko-morbid pasien dengan masalah
yang terjadi selama perioperatif. Dilaporkan 50% kejadian serius saat intraoperatif
yang disebabkan karena penyakit penyerta pasien. Telah terbukti evaluasi dan
penatalaksanaan preoperatif yang kurang adekuat berkontribusi pada 38-42% kejadian
mortalitas, sehingga asesmen preoperatif perlu dilakukan.

54
Kegiatan pada waktu preoperatif berupa melakukan wawancara sekaligus konseling
pada pasien (effective communication) serta memastik penyakit penyerta pasien sudah
ditangani dengan baik sebelum operasi.

CHECK LIST PREOPERATIVE


Dengan check list properatif, morbiditas dan mortalitas menurun secara bermakna.
Berupa check list:
a. Persiapan mesin anestesi
b. Persiapan alat dan obat
c. Keselamtan pasien bedah (WHO)
d. Sign-in
e. Timeout
Ada wacana mendatang direkam medik anestesia perlu ada check box bahwa check list
tersebut sudah dilakukan. Contoh check list antara lain:
 Surgical Patient Safety System (Surgeon, Anesthesiologist, Nurse, Case Manager)
 WHO Surgical Patient Safety Checklist
 Comprehensive Surgical Checklist

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:


Peserta memahami tentang keselamatan pasien dalam pelayanan anestesi dan bedah
(PAB)

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


1. Peserta memahami gambaran umum dari pelayanan anestesi dan bedah
2. Peserta memahami standar, maksud dan tujuan serta elemen penilaian dari
pelayanan anestesi dan bedah
3. Peserta memahami tentang penerapan sasaran keselamatan pasien IV; tepat
pasien, tepat prosedur, tepat lokasi operasi dalam hubungannya dengan PAB
4. Peserta memahami tentang Surgical Patient Safety

55
5. Peserta memahami tentang penerapan Sasaran Keselamatan Pasien III,
peningkatan kewasapadaan obat dalam hubungannya dengan PAB.

GAMBARAN UMUM PAB


Penggunaan anestesi, sedasi, dan intervensi bedah adalah proses yang umum
dan kompleks di rumah sakit. Tindakan-tindakan ini membutuhkan asesmen pasien
yang lengkap dan komprehensif, perencanaan asuhan yang terintegrasi, monitoring
pasien yang berkesinambungan dan kriteria transfer untuk pelayanan berkelanjutan,
rehabilitasi, akhirnya transfer maupun pemulangan (discharge).
Anestesi dan sedasi umumnya dipandang sebagai suatu rangkaian kegiatan
(continuum) dari sedasi minimal sampai anestesi penuh. Karena respon pasien dapat
berada pada sepanjang kontinuum, maka penggunaan anestesi dan sedasi dikelola
secara terintegrasi. Bab ini meliputi anestesi, maupun sedasi moderat maupun dalam
(deep sedation), dimana refleks protektif dibutuhkan untuk fungsi pernafasan yang
berisiko. Dalam bab ini tidak dibahas penggunaan sedasi minimal (anxiolysis), jadi
penggunaan terminologi “anestesi” mencakup sedasi yang moderat maupun yang
dalam.
Standar Anestesi dan Bedah dapat dipakai dalam tata (setting) anestesi apapun
dan atau sedasi moderat atau dalam dan prosedur invasif lain yang membutuhkan
poersetujuan. Penataan tersebut termasuk kamar bedah rumah sakit, unit bedah
sehari (one day care), unit gigi dan klinik rawat jalan lainnya, pelayanan emergensi,
pelayanan intensif dan pelayanan lain.

STANDAR, MAKSUD DAN TUJUAN, ELEMEN PENILAIAN


A. Organisasi dan Manajemen
Standar PAB. 1.
Tersedia pelayanan anestesi (termasuk sedasi moderat dan dalam) untuk memenuhi
kebutuhan pasien, dan semua pelayanan tersebut memenuhi standard di rumah sakit,
standar nasional, undang-undang dan peraturan serta standar professional.

56
a. Maksud dan Tujuan PAB. 1
Rumah sakit mempunyai sistem untuk menyediakan pelayanan anestesi
(termasuk sedasi moderat dan dalam) yang dibutuhkan pasien, yang
dibutuhkan dalam pelayanan klinis dan kebutuhan pelayanan kesehatan.
Pelayanan anestesi memenuhi standar di rumah sakit, nasional, juga
undang-undang dan peraturan.
Pelayanan anestesi, termasuk untuk kedaruratan, dapat diberikan
dalam rumah sakit, dengan kerjasama/ persetujuan dengan organisasi lain.
Pelayanan anestesi juga tersedia setelah jam kerja untuk keperluan
kedaruratan.
Setiap penggunaan anesthesia dari sumber luar didasarkan atas
persetujuan direktur dan orang lain yang bertanggung jawab terhadap
anestesi. Sumber luar memenuhi undang-undang dan peraturan yang
berlaku serta dengan mutu yang dapat diterima serta keselamatan pasien
yang memadai.

b. Elemen Penilaian PAB. 1


1. Pelayanan anestesi (termasuk moderat dan dalam) memenuhi standar
rumah sakit, nasional, undang-undang dan peraturan
2. Pelayanan anestesi yang adekuat, regular dan nyaman tersedia untuk
memenuhi kebutuhan pasien
3. Pelayanan anestesi (termasuk moderat dan dalam) tersedia untuk
keadaan darurat di luar jam kerja
4. Sumber dari luar rumah sakit diseleksi berdasarkan persetujuan
rekomendasi direktur, suatu rekor/ catatan kinerja yang akseptabel, serta
dalam memenuhi undang-undang serta peraturan yang berlaku.

57
Standar PAB.2
Seorang individu yang berkualifikasi memadai (qualified) bertanggung jawab untuk
pengelolaan pelayanan anestesi
a. Maksud dan Tujuan PAB.2
Pelayanan anestesi dibawah kepemimpinan satu orang atau lebih yang
memenuhi kualifikasi memadai, melalui pelatihan bersertifikat, keahlian dan
pengalaman, konsisten dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku, serta
bertanggungjawab professional untuk pelayanan anestesi yang meliputi:
1. Pengembangan, implementasi dan memelihara/ menegakkan (maintaining)
kebijakan dan prosedur
2. Pengawasan administrative
3. Memelihara/ mempertahankan program pengendalian mutu yang penting
4. Merekomendasikan sumber luar untuk pelayanan anestesi (termasuk moderat
dan dalam)
5. Memantau dan menelaah seluruh pelayanan anestesi (termasuk moderat dan
dalam)

b. Elemen Penilaian PAB.2


1. Pelayanan anestesi (termasuk moderat dan dalam) harus seragam pada seluruh
pelayanan di rumah sakit
2. Pelayanan anestesi (termasuk moderat dan dalam) berada dibawah
kepemimpinan satu orang atau lebih yang berkualifikasi memadai
3. Tanggung jawab yang meliputi pengembangan, implementasi dan memelihara/
menegakkan kebajikan serta prosedur ditetapkan dan dilaksanakan tanggung
jawab tentang memelihara/ mempertahankan program pengendalian mutu
ditetapkan dan dilaksanakan
4. Tanggung jawab tentang merekomendasikan sumber luar untuk pelayanan
anestesi (termasuk moderat dan dalam) ditetapkan dan dilaksakan

58
5. Tanggung jawab termasuk memantau dan menelaah seluruh pelayanan
anestesi (termasuk moderat dan dalam) ditetapkan dan dilaksanakan

B. PELAYANAN SEDASI
Standar PAB.3
Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelayanan pasien untuk sedasi moderat dan
dalam
a. Maksud dan TujuanPAB.3
Sedasi, secara khusus, sedasi yang moderat maupun dalam, memiliki risiko
terhadap pasien, karenanya perlu dilengkapi dengan definisi, kebijakan serta
prosedur yang jelas. Derajat sedasi terjadi dalam suatu kontinuum, seorang pasien
dapat bergerak dari satu derajat tertentu ke derajat yang lain, berdasarkan
medikasi yang diberikan, rute dan dosisnya. Pertimbangan penting mencakup
kemampuan pasien untuk mempertahankan refleks protetktif; saluran pernafasan
yang paten-indpenden-berkesinambungan; dan berespon terhadap stimulasi fisik
atau instruksi lisan.

Kebijakan prosedur sedasi memuat:


a. Penyusunan rencana termasuk identifikasi perbedaan antara populasi dewasa
dan anak atau pertimbangan khusus lainnya;
b. Dokumentasi yang diperlukan tim untuk dapat bekerja dan berkomunikasi
secara efektif;
c. Pertimbangan persetujuan (consent) khusus, bila diperlukan;
d. Kebutuhan monitoring pasien;
e. Kualifikasi atau ketrampilan khusus pra staf yang terlibat dalam proses sedasi;
dan
f. Ketersediaan dan penggunaan peralatan spesialistik.

59
Hal lain yang juga penting adalah kualifikasi para dokter, dokter gigi atau semua
individu yang berkualifikasi memadai dan bertanggungjawab atas pasien yang
menerima sedasi moderat maupun dalam.
a. Teknik berbagai modus sedasi;
b. Monitoring yang tepat;
c. Respons terhadap komplikasi;
d. Penggunaan zat reversal; dan
e. Sekurang-kurangnya bantuan hidup dasar.

Petugas berkualifikasi memadai yang bertanggung jawab menjalankan suatu


asesmen prasedasi terhadap pasien untuk memastikan bahwa perencanaan sedasi
dan tingkatannya adalah tepat bagi pasien. Kebijakan rumah sakit menjabarkan
ruang lingkup dan isi dari asesmen dimaksud dan tujuan.
Sebagai tambahan bagi para dokter atau dokter gigi, seorang petugas yang
berkualifikasi memadai dan bertanggung jawab atas pelaksanaan monitoring
berkesinambungan (tidak terinterupsi) atas parameter fisiologis pasien, dan
membantu tindakan suportif atau resusitasi. Kualifikasi petugas yang
melaksanakan monitoring dan peralatan serta suplai nya adalah sama seperti
pemberian sedasi pada dalam unit/ tempat yang lain di rumah sakit, misalnya
dalam kamar operasi dan dalam klinik rawat jalan gigi. Sehingga terpelihara
tingkatan mutu pelayanan yang sama.

b. Elemen Penilaian PAB.3


1. Kebijakan dan prosedur yang tepat, menyebutkan sedikitnya elemen a) sampai
dengan f) tersebut diatas, mengarahkan pelayanan pasien untuk sedasi
moderat dan dalam.
2. Petugas berkualifikasi memadai yang diidentifikasi tersebut di PAB.2
berpartisipasi dalam pengembangan kebijakan dan prosedur.

60
3. Harus ada asesmen prasedasi, sesuai kebijakan rumah sakit, untuk
mengevaluasi risiko dan ketepatan sedasi bagi pasien. Petugas berkualifikasi
memadai, dan yang bertanggung jawab untuk sedasi, harus memenuhi
kualifikasi sekurang-kurangnya untuk elemen g) sampai dengan k) tersebut
diatas
4. Seorang petugas berkualifikasi memadai memonitor pasien selama sedasi dan
periode recovery dari sedasi dan mencatat semua pemantauan.
5. Semua tindakan didokumentasi kriteria untuk pemulihan dan discharge dari
sedasi.
6. Sedasi moderat dan dalam diberikan sesuai kebijakan rumah sakit

C. PELAYANAN ANESTESI
Standar PAB.4
Petugas berkulifikasi memadai menyelenggarakan asesmen pra anestesi dan asesmen
pra induksi.
a. Maksud dan Tujuan PAB.4
Berhubung anestesi membawa risiko tinggi, maka pemberian layanannya harus
direncanakan dengan seksama. Asesmen pra anestesi pasien merupakan basis
untuk perencanaan tersebut dan untuk penggunaan analgesia pasca operatif.
Asesmen pra anestesi memberikan informasi yang diperlukan bagi:
1. Pemilihan pelayanan anestesi dan merencanakan anestesi;
2. Pemberian layanan anestesi yang aman dan tepat; dan
3. Penafsiran temuan pada monitoring pasien.
Seorang spesialis anestesi atau petugas lain berkualifikasi memadai
menjalankan asesmen pra anesetesi.
Proses asesmen pra anestesi dijalankan dalam kerangka waktu yang lebih
singkat pada pasien emergensi atau obstetri yang membutuhkan anestesi.
Sebagaimana asesmen pra anestesi dikerjakan sebelum prosedur pembedahan,
pasien dire-evaluasi sesaat sebelum induksi anestesi.

61
Asesmen pra induksi terpisah dari asesmen pra anestesi, karena fokus pada
stabilitas fisiologis dan kesiapan pasien untuk anestesi dan terjadi segera sebelum
induksi anesthesia. Bila anestesi yang harus diberikan pada keadaan darurat
asesmen pra anestesi dan asesmen pra induksi dapat segera dilaksanakan secara
berurutan atau secara serempak tetapi didokumentasikan secara independen.

b. Elemen Penilaian PAB.4


1. Asesmen pra anestesi dikerjakan pada setiap pasien
2. Asesmen pra induksi dilaksanakan untuk re-evaluasi pasien segera sebelum
induksi anestesi, sesaat sebelum diberikan induksi anestesi
3. Kedua asesmen dikerjakan oleh petugas yang berkualifikasi memadai untuk
melakukannya
4. Kedua asesmen didokumentasikan dalam rekam medis

Standar PAB.5
Pelayanan anesthesia pada pasien direncanakan dan didokumentasikan direkam medis
pasien.
a. Maksud dan Tujuan PAB.5
Pelayanan anestesi direncanakan secara seksama dan didokumnetasikan
dalam catatan anestesi. Perencanaan mempertimbangkan informasi dari asesmen
pasien lain dan mengidentifikasi anestesi yang akan digunakan, termasuk metode
pemberiannya, pemberian medikasi dan cairan lain, serta mengantisipasi
pelayanan pasca anestesi.

b. Elemen Penilaian PAB.5


1. Pelayanan anestesi setiap pasien direncanakan
2. Rencana tersebut didokumentasikan

62
Standar PAB.5.1
Risiko, manfaat dan alternatif didiskusikan dengan pasien dan keluarganya atau
mereka yang membuat keputusan bagi pasien.
a. Maksud dan Tujuan dari PAB.5.1
Proses perencanaan anestesi mencakup mengedukasi pasien, keluarganya, atau
pembuat keputusan atas risiko, manfaat dan alternatif yang berhubungan dengan
perencaan anestesia dan analgesia pasca operatif. Diskusi ini terjadi sebagai bagian
dari proses untuk memperoleh persetujuan anestesi (termasuk sedasi moderat
dan dalam) sebagaimana diisyaratkan dalam HPK.6.4, EP 2. Seorang anestesiolog
atau petugas berkualifikasi memadai memberikan edukasi ini.

b. Elemen Penilaian PAB.5.1


1. Pasien, keluarga dan pengambil keputusan diberi pendidikan tentang risiko,
manfaat dan alternatif anestesi.
2. Anestesiolog atau petugas lain yang berkualifikasi memadai memberikan
edukasi

Standar PAB.5.2
Anestesi yang digunakan dan tehnik anestesi ditulis di rekam medis
a. Maksud dan Tujuan PAB.5.2
Anestesi yang digunakan dan teknik anestesi ditulis di rekam medis anestesi pasien

b. Elemen Penilaian PAB.5.2


1. Anestesi yang digunakan dituliskan dalam rekam medis
2. Tekink anestesi yang digunakan dituliskan dalam rekam medis
3. Dokter spesialis anestesi dan atau perawat anestesi dan asisten anestesi
diidentifikasi di rekam medis pasien.

63
Standar PAB.5.3
Selama pemberian anestesi, status fisiologis setiap pasien terus menerus dimonitor
dan dituliskan dalam rekam medis
a. Maksud dan Tujuan PAB.5.3
Monitoring fisiologis memberikan informasi yang dapat diandalkan tentang
status pasien selama pemberian anestesi dan periode pemulihan. Metode
monitoring tergantung pada status pra anestesi pasien, anestesi yang dipilih dan
kompleksitas dari pembedahan atau prosedur lain yang dikerjakan selama
anestesi. Namun demikian, dalam semua kasus, proses monitoring dilakukan terus
menerus dan hasilnya dituliskan ke dalam rekam medis.

b. Elemen Penilaian PAB.5.3


1. Kebijakan dan SPO mengatur frekuensi minimum dan tipe monitoring selama
tindakan anestesi dan polanya seragam untuk pasien yang serupa yang
menerima tindakan anestesi yang sama
2. Status fisiologis dimonitor secara terus menerus selama pemberian anestesi
3. Hasil monitoring dituliskan ke dalam rekam medis anestesi pasien

Standar PAB.6
Setiap status post anestesi pasien dimonitor dan didokumentasikan dan pasien
dipindahkan dari ruang pemulihan oleh petugas berkualifikasi memadai atau dengan
menggunakan kriteria baku.
a. Maksud dan Tujuan PAB.6
Monitoring selama anestesi adalah dasar dari monitoring selama periode
pemulihan pasca anestesi. Pengumpulan data secara sistematik dan analisis data
terhadap status pasien, mendukung keputusan untuk memindahkan pasien ke
setting pelayanan lain dan yang kurang intensif. Pencatatan data monitoring
merupakan dokumentasi untuk mendukung keputusan untuk memindahkan.

64
Memindahkan dari ruang pulih pasca anestesi memakai salah satu cara
alternatif berikut ini:
a. Pasien dipindahkan oleh seorang anestesiolog yang berkualifikasi memadai
Penuh atau petugas lain yang diberi otoritas oleh petugas yang bertanggung
jawab untuk mengelola pelayanan anestesi
b. Pasien dipindahkan oleh seorang perawat atau seorang petugas yang setaraf
dan berkualifikasi memadai sesuai dengan kritria pasca anestesi yang
dikembangkan oleh pimnpinan rumah sakit dan pemindahan ini
didokumentasikan dalam rekam medis
c. Pasien dipindahkan ke suatu unit yang telah ditetapkan sebagai tempat yang
tepat untuk pelayanan pasca anestesi atau pasca sedasi terhadapa pasien
terntentu, antara lain seperti pada unit pelayanan intensif kardiovaskuler, unit
pelayanan intensif bedah saraf. Waktu tiba dan pemindahan dari ruang pulih
dicatat.

b. Elemen Penilaian PAB.6


1. Pasien dimonitor secara tepat sesuai kondisi mereka selama periode
pemulihan pasca anestesi
2. Temuan selama monitoring dimasukkan ke dalam rekam medis, dicatat atau
secara elektronik
3. Pasien dipindahkan dari unit pasca anestesi (atau monitoring pemulihan
dihentikan) sesuai dengan alternatif yang diuraikan dalam a) s/d c) tersebut di
atas
4. Waktu tiba dan pemindahan di ruang pulih dicatat dalam rekam medis pasien

D. PELAYANAN BEDAH
Standar PAB.7
Pelayanan bedah setiap pasien direncanakan dan dikomunikasikan berdasarkan hasil
asesmen.

65
a. Maksud dan Tujuan PAB.7
Karena pembedahan membawa risiko dengan tingkatan yang tinggi, maka
penggunaannya harus direncanakan secara seksama. Asesmen pasien adalah dasar
untuk memilih prosedur yang tepat.
Asesmen memberikan informasi penting terhadap:
a. Pemilihan prosedur yang tepat dan waktu yang optimal
b. Melaksanakan prosedur secara aman; dan
c. Menginterpretasi temuan dalam monitoring pasien
Pemilihan prosedur tergantung pada riwayat pasien, status fisik, dan data
diagnostik termasuk risiko dan manfaat prosedur bagi pasien. Pemilihan prosedur
mempertimbangkan informasi dari asesmen saat masuk rawat inap, tes diagnostic,
dan sumber lain yang tersedia. Proses asesmen dijalankan dalam kerangka waktu
yang lebih singkat bilamana pasien secara darurat membutuhkan pembedahan.
Pelayanan bedah yang direncanakan bagi pasien didokumentasikan dalam
status pasien, termasuk diagnosis pra operatif. Nama dari prosedur bedah saja
tidak bisa untuk menegakkan suatu diagnosis

b. Elemen Penilaian PAB.7


1. Sebelum pelaksnaan tindakan, dokter yang bertanggung jawab
mendokumentasikan informai asesmen yang digunakan untuk
mengambangkan dan medukung tindakan invasif yang direncanakan
2. Setiap pasien untuk tindakan bedah dibuat rencana berdasarkan informasi
asesmen sebelum tindakan. Diagnosis pra operatif dan rencana tindakan
didokumentasikan dalam rekam medis pasien oleh dokter yang
bertanggungjawab

Standar PAB.7.1
Risiko, manfaat, dan alternatif didiskusikan dengan pasien dan keluarganya atau orang
yang berwenang membuat keputusan bagi pasien.

66
a. Maksud dan Tujuan PAB.7.1
Pasien dan keluarganya atau para pembuat keputusan menerima informasi yang
adekuat untuk berpartisipasi dalam keputusan pemberian pelayanan dan
memberikan persetujuan (informed consent) yang diperlukan dalam HKP.6.4
informasi termasuk:
1. Risiko dari prosedur yang direncanakan;
2. Manfaat prosedur yang direncanakan;
3. Komplikasi yang potensial terjadi; dan
4. Alternatif tindakan bedah dan nonbedah yang tersedia untuk merawat pasien.
Sebagai tindakan tambahan, bila darah atau produk darah mungkin
dibutuhkan, informasi tentang risiko dan alternatif didiskusikan. Dokter bedah
yang bersangkutan atau petugas yang berkualifikasi memadai lain memberikan
informasi ini.

b. Elemen Penilaian PAB.7.1


1. Pasien, keluarga dan pembuat keputusan diedukasi tentang risiko, manfaat,
komplikasi yang potensial serta alternatif yang berhubungan dengan prosedur
bedah yang direncanakan.
2. Edukasi mencakup kebutuhan untuk, risiko dan manfaat dari, maupun
alternatif terhadap darah dan poduk darah yang digunakan.
3. Dokter bedah atau petugas lain yang berkualifikasi memadai memberikan
edukasi dimaksud dan tujuan.

Standar PAB.7.2
Ada laporan operasi atau ringkasannya dalam rekam medis pasien untuk keperluan
pelayanan berkesinambungan.
a. Maksud dan Tujuan PAB.7.2
Pelayanan pasca bedah tergantung pada kejadian dan temuan dalam tindakan
bedah. Jadi, status pasien termasuk diagnosis pasca bedah, deskripsi dari prosedur
bedah dan temuan (termasuk spesimen yang dikirim untuk pemeriksaan) dan
nama ahli bedah dan asisten bedah.

67
Guna mendukung suatu kontinuum dari pelayanan suportif pasca bedah, catatan
operasi atau catatan lainnya tersedia sebelum pasien meninggalkan ruang pulih
pasca anestesi.
Sebelum pasien meninggalkan lokasi pemulihan pasca anestesi, suatu catatan
singkat tindakan bedah digunakan sebagai pengganti laporan tertulis tindakan
bedah. Laporan tertulis atau catatan singkat operasi tersebut minimum memuat:
1. Diagnose pasca operasi;
2. Nama dokter bedah dan asisten;
3. Nama prosedur;
4. Spesimen bedah untuk pemeriksaan;
5. Catatan spesifik komplikasi atau tidak adanya komplikasi selama operasi,
termasuk jumlah kehilangan darah; dan
6. Tanggal, waktu, dan tanda tangan dokter yang bertanggungjawab.

b. Elemen Penilaian PAB 7.2


1. Laporan operasi atau ringkasan catatan operasi termasuk dalam 1 s/d 6 tersbut
diatas.
2. Laporan operasi atau ringkasan catatan operasi dalam rekam medis pasien,
tersedia sebelum pasien meninggalkan lokasi pasca anestesi

Standar PAB.7.3
Status fisiologis pasien dimonitor terus menerus selama dan segera setelah
pembedahan dan dituliskan dalam status pasien.
Catatan: hal ini akan dinilai bila tindakannya dilakukan dengan anestesi local tanpa
anestesi umum atau regional atau sedasi.
a. Maksud dan Tujuan PAB.7.3
Status fisiologis pasien dimonitor selama pembedahan dan segera
sesudahnya. Monitoring yang tepat mengenai kondisi pasien dan prosedur yang
dijalankan.

68
Hasil monitoring memicu keputusan penting intraoperatif termasuk
keputusan pasca bedah seperti kembali ke pembedahan, pemindahan ke tingkat
asuhan yang lain, atau dipulangkan. Informasi monitoring menjadi pedoman
pelayanan medis dan keperawatan serta mengidentifikasi kebutuhan pelayanan
diagnostik maupun pelayanan lain. Temuan monitoring dimasukkan ke dalam
status pasien. Persyaratan ini berhubungan dengan persayaratan yang sama bagi
monitoring fisiologis selama anestesi. Semua akan diberi nilai hanya bilamana
prosedur dijalankan dibawah seorang anestesi tanpa anestesi umum atau anestesi
regional maupun sedasi.

b. Elemen Penilaian PAB.7.3


1. Status fisiologis pasien dimonitor secara terus menerus selama pembedahan
2. Temuan dimasukkan ke dalam status pasien

Standar PAB.7.4
Pelayanan pasien setelah pembedahan direncanakan dan didokumentasikan
a. Maksud dan Tujuan PAB.7.4
Pelayanan medis dan perawatan pasca bedah setiap pasien perlu dibedakan.
Oleh karenanya penting untuk merencanakan pelayanan tersebut, termasuk
tingkatan pelayanan/ asuhan, serta setting pelayanan, pemantauan tindak lanjut
atau pengobatan dan kebutuhan obat. Perencanaan pelayanan pasca bedah dapat
dimulai sebelum pembedahan berdasarkan asesmen kondisi dan kebutuhan
pasien. Pelayanan yang direncanakan didokumentasikan dalam status pasien untuk
memastikan kelanjutan selama periode pemulihan atau rehabilitasi.

b. Elemen Penilaian PAB.7.4


1. Setiap pelayanan pasca bedah pada pasien direncanakan dan termasuk asuhan
medis, keperawatan, dan pelayanan lain sesuai kebutuhan pasien.

69
2. Rencana pasca bedah didokumentasikan di dalam rekam medis oleh ahli bedah
yang bertanggungjawab/ DPJP atau diverifikasi oleh DPJP yang bersangkutan
dengan tanda tangan (co-signature) pada rencana yang didokumentasikan oleh
seorang yang mewakili DPJP.
3. Rencana asuhan keperawatan pasca bedah didokumentasikan pada rekam
medis pasien.
4. Bila ada kebutuhan pasien itu, maka rencana asuhan pasca bedah oleh pihak
lain didokumentasikan dalam rekam medis pasien
5. Rencana pelayanan didokumentasikan dalam rekam medis pasien dalam 24
jam tindakan bedah.

PEMBEDAHAN DAN ANESTESI DALAM STANDAR SKP IV


Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat –
lokasi, tepat – prosedur, tepat – pasien operasi. Maksud dan Tujuan Sasaran IV: salah –
lokasi, salah - prosedur, salah – pasien pada operasi, adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit.
Kesalahan ini akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat
antara anggota tim bedah, kurang/ tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi
(site marking) dan tidak ada prosedur verifikasi lokasi operasi. Di samping itu, asesmen
pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya
yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan
yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible hand writing)
dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/ atau
prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini.
Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety
Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga The Joint Commitions Universal Protocol
for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi
operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu tanda yang dapat dikenali.

70
Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh
operator/ orang melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan, dan harus terlihat sampai akan disayat.
Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality),
multiple struktur (jari tangan, jari kaki lesi), atau multiple level (tulang belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:
a. Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar
b. Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang
relevan yang tersedia, diberi label dengan baik dan dipampang.
c. Verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/ atau inplant-inplant yang
dibutuhkan.
Tahap “sebelum insisi” (time out) memungkinkan semua pertanyaan atau
kekeliruan diselesaikan. Time Out dilakukan ditempat dimana tindakan akan dilakukan
tepat sbelum tindakan dimulai dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit
menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya
menggunakan checklist.

Elemen Penilaian Sasaran IV:


a. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien didalam proses penandaan.
b. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi
saat praoperasi tepat – lokasi, tepat – prosedur, tepat – pasien operasi dan semua
dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia tepat dan fungsional.
c. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi”
(time out). Tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/ tindakan pembedahan.
d. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam
untuk memastikan tepat – lokasi, tepat – prosedur, tepat – pasien, termasuk
prosedur medis dan dental yang dilaksanakan diluar kamar operasi.

71
SURGICAL PATIENT SAFETY
1. Keselamatan Pembedahan
Pengawasan pasien berdasarkan surgical patient safety yang dikeluarkan
oleh WHO tanggal 07 Juni 2008, Surgical safety patient diterapkan di bagian
bedah dan anestesi untuk meningkatkan kualitas dan menurunkan kematian
serta komplikasi akibat pembedahan. Tindakan pembedahan memerlukan
persamaan persepsi antara ahli bedah, anestesi, dan perawat.
Surgical patient safety merupakan tiga langkah yang dilakukan tim bedah
terhadap pasien yang akan dioperasi untuk meningkatkan keselamatan pasien
selama prosedur pembedahan, mencegah terjadi kesalahan pasien, lokasi
operasi, prosedur operasi serta mengurangi komplikasi kematian akibat
pembedahan. Keselamatan pembedahan merupakan penjabaran secara jelas
dan rinci dari langkah pemeriksaan keselamatan pasien dalam kampanye WHO,
“Safe Surgery Safe Live”.

Sepuluh sasaran dalam keselamatan pembedahan adalah (WHO 2008):


1. Tim bedah akan melakukan operasi pada pasien dan lokasi tubuh yang
benar.
2. Tim bedah akan menggunakan metode yang sudah dikenal untuk mencegah
bahaya dari pengaruh anestesia, pada saat melindungi pasien dari rasa
nyeri.
3. Tim bedah mengetahui dan secara efektif mempersiapkan bantuan hidup
dari adanya bahaya kehilangan atau gangguan pernafasan.
4. Timbedah mengetahui dan secara efektif memperisapkan adanya risiko
kehilangan darah.
5. Tim bedah menghindari adanya reaksi alergi obat dan mengetahui adanya
risiko alergi obat pada pasien.

72
6. Tim bedah secara konsisten menggunakan metode yang sudah dikenal
untuk meminimalkan adanya risiko infeksi pada lokasi operasi.
7. Tim bedah mencegah terjadinya tertinggalnya sisa kasa dan instrumen pada
luka pembedahan.
8. Tim bedah akan mengidetifikasi secara aman dan akurat spesimen (contoh
bahan) pembedahan.
9. Tim bedah akan berkomunikasi secara efektif dan bertukar informasi
tentang hal-hal penting mengenai pasien untuk melaksanakan pembedahan
yang aman.
10. Rumah sakit dan sistem kesehatan masyarakat akan menetapkan
pengawasan yang rutin dari kapasitas, jumlah dan hasil pembedahan.

2. Surgical Safety Checklist


Surgical safety checklist WHO merupakan penjabaran dari sepuluh hal
penting menuju suatu pembedahan yang aman (Safe Surgery) dan
merupakan alat yang praktis dan sederhana untuk tim bedah di seluruh
dunia dalam memastikan keselamatan pasien pada tahap pre-operatif, intra-
operatif dan pasca operatif dilakukan tepat waktu dan menunjukkan
manfaat, yang lebih baik bagi keselamatan pasien (WHO 2008). Pemeriksaan
pasien di kamar operasi menurut Surgical safety dilakukan dalam tiga tahap
yaitu sign in, time out dan sign out (WHO 2009). Ketiga tahapan ini masing-
masing berhubungan antara satu tahap dengan tahap yang lain.

 Pelaksanaan SIGN IN
A. Lakukan Verifikasi dengan mengisi lembar Check List Keselamatan Pasien
Operasi (sign in) pada saat serah terima pasien dari ruangan di Ruang
penerimaan pasien baru Kamar Operasi meliputi:

73
a. Konfirmasi identifikasi pasien
b. Apakah sudah ada informed consent
c. Tanda lokasi operasi (Site Marking)
d. Mesin anestesi dan obat-obatan apakah sudah lengkap
e. Apakah Pulse Oximetry berjalan dengan baik
f. Apakah pasien memiliki riwayat alergi
g. Apakah ada gangguan pernafasan
h. Apakah ada resiko perdarahan
i. Apakah Hasil Laboratorium, USG, Photo Rongen, MRI dll sudah
dilampirkan
B. Verifikasi dan pengisian check list keselamatan pasien untuk sign in
dilakukan oleh Perawat Anestesi
C. Cantumkan tanda tangan dan nama yang jelas Perawat Anestesi yang
mengisi check list (sign in)

 Pelaksanaan TIME OUT


A. Lakukan Verifikasi dengan mengisi lembar Check List Keselamatan Pasien
Operasi (Time Out)
a. Memastikan bahwa semua anggota Tim sudah memperkenalkan diri
b. Memastikan dan baca ulang nama pasien, tindakan medis dan area yang
diinsisi
c. Apakah profilaksis antibiotik sudah diberikan 1 jam sebelumnya (perlu atau
tidak)
d. Kejadian resiko yang diantisipasi oleh Dokter Bedah
e. Apakah ada implant yang diperlukan?
B. Verifikasi dan pengisian check list Keselamatan pasien untuk Time Out
dilakukan oleh Perawat Sirkuler

74
C. Cantumkan tanda tangan dan nama yang jelas Perawat Sirkuler yang mengisi
check list (sign in)

 Pelaksanaan SIGN OUT


A. Lakukan konfirmasi secara verbal dengan tim di Kamar Bedah meliputi:
a. Pencatatan nama prosedur tindakan
b. Instrument, sponge, dan jarum telah dihitung dengan benar
c. Pemberian label spesimen (identitas pasien dan asal jaringan)
d. Permasalahan alat selama operasi
B. Lakukan review masalah utama apa yang harus dilakukan untuk penyembuhan
dan managemen pasien selanjutnya oleh Dokter Bedah, Dokter Anestesi dan
perawat sebelum pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

Lembar Check List Keselamatan Pasien di Kamar Operasi (SIGN IN, TIME OUT, SIGN
OUT) yang sudah diisi segera ditandatangani, tanggal dan nama yang jelas oleh
Penanggungjawab Kamar Operasi, Dokter Bedah dan Dokter Anestesi, Perawat sirkuler
dan Perawat Anestesi.

PERSIAPAN PEMBERIAN OBAT PERLU DIWASPADAI


1. Penyiapan Obat yang Perlu Diwaspadai (High Alert) di Rung Operasi, ICU, IGD
dan ruangan lainnya yang terkait dengan pelayanan anestesi
Penyiapan dan pemberian obat kepada pasien yang perlu diwaspadai termasuk
elektrolit konsentrasi tinggi harus memperhatikan kaidah berikut:
a. Setiap pemberian obat menerapkan prinsip 8 benar + 1 waspada (8B+1W)
b. Pemberian elektrolit pekat harus dengan pengenceran dan penggunaan label
khusus.
c. Pastikan pengenceran dan pencampuran obat dilakukan oleh perawat/ penata
anestesi
d. Pisahkan atau beri jarak penyimpanan obat dengan kategori LASA

75
e. Biasakan mengeja nama obat dengan kategori obat LASA/ NORUM (Look Alike
Sound Alike = Nama Obat Rupa Mirip), saat memberi/ menerima instruksi.

2. Cara Pengenceran Obat yang Perlu Diwaspadai (High Alert) di Ruang Operasi,
ICU, IGD dan ruangan lainnya yang terkait dengan pelayanan anestesi
a. NaCl 3% injeksi intervena diberikan melalui vena sentral dengan kecepatan
infus tidak lebih dari 100 mL/jam
b. Natrium Bicarbonat (Meylon 8.4%) injeksi, harus diencerkan sebelum
digunakan. Untuk penggunaan bolus, diencerkan dengan perbandingan 1 ml
Na. Bicarbonat : 1 mL pelarut water for injection, untuk pemberian bolus
dengan kecepatan maksimum 10mEq/menit. Untuk penggunaan infus drip,
diencerkan dengan perbandingan 0.5 mL NA. Bicarbonat: 1 mL Dextrose 5%,
pemberian drip infus dilakukan dengan kecepatan maksimum 1 mEq/kg
BB/jam.

3. Cek 8 (Delapan) Benar dan 1 (satu) Waspada


Setiap penyerahan obat kepada pasien dilakukan verifikasi (delapan) benar dan 1
(satu) waspada untuk mencapai medication safety:
a. Benar Pasien
b. Benar Obat
c. Benar Dosis
d. Benar Waktu
e. Benar Cara/ Rute
f. Benar Dokumentasi
g. Benar Expired/ Kadaluarsa
h. Benar Informasi
i. Waspada Efeksamping

76
4. Pemberian obat yang perlu diwaspadai (high-alert) ruang di ruang operasi,
ICU, IGD dan ruangan lainnya yang terkait dengan pelayanan anestesi
a. Sebelum perawat memberikan obat high alert kepada pasien maka
perawat lain harus melakukan pemeriksaan kembali (double check)
menerapkan prinsip 8 Benar + 1 Waspada (8B+1W).
b. Obat high alert infus harus dipastikan:
- Ketepatan kecepatan pompa infus (infusion pump).
- Jika obat lebih dari satu, tempelkan label nama obat pada syringe
pump dan disetiap ujung jalur selang.
c. Obat high alert elektrolit konsentrasi tinggi harus diberikan sesuai
perhitungan standar yang telah baku, yang berlaku di semua ruang
rawat.
d. Setiap kali pasien pindah ruang rawat, perawat pengantar menjelaskan
kepada perawat penerima pasien bahwa pasien mendapatkan obat high
alert, dan menyerahkan formulir pencatatan obat (Huruf capital dan
Tulisan berwarna merah).
e. Dalam keadaan emergensi yang dapat menyebabkan pelabelan dan
tindakan pencegahan terjadinya keselahan obat high alert dapat
mengakibatkan tertundanya pemberian terapi dan memberikan dampak
yang buruk pada pasien, maka dokter dan perawat harus memastikan
terlebih dahulu keadaan klinis pasien yang membutuhkan terapi segera
(cito) sehingga double check dapat tidak dilakukan, namun sesaat
sebelum memberikan obat, semua petugas kesehatan (dokter bedah,
dokter anestesi, penata anestesi dan perawat) harus menyebutkan
secara lantang semua jenis obat yang diberikan kepada pasien sehingga
diketahui dan didokumentasikan dengan baik oleh petugas kesehatan
yang lainnya.

77
5. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat high alert
a. Setiap ruangan di RS harus memiliki daftar obat high alert
b. Setiap tenaga kesehatan (dokter bedah, dokter anestesi dan penata
anestesi dan perawat) harus mengetahui penanganan khusus untuk obat
high alert
c. Prosedur peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai dilakukan
mulai dari peresepan, penyimpanan, penyiapan di farmasi dan ruang
perawatan dan pemberian obat
d. Obat high alert disimpan ditempat terpisah, akses terbatas, diberi label
High Alert
e. Pengecekan dengan 2 (dua) orang petugas yang berbeda untuk
menjamin kebenaran obat High Alert yang digunakan
f. Tidak menyimpan obat kategori kewaspadaan tinggi di area yang mudah
dijangkau pasien tanpa pengawasan

78
MATERI 06
MANAJEMEN RISIKO KLINIS

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:


Peserta memahami konsep-konsep yang terkait dengan manajemen risiko klinis

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:


 Peserta memahami pengertian dari risiko dan manajemen risiko
 Peserta memahami faktor-faktor yang mempengaruhi risiko
 Peserta memahami tujuan manajemen risiko
 Peserta memahami proses manajemen risiko
 Peserta memahami jenis manajemen risiko
 Peserta memahami tahapan manajemen risiko
 Peserta memahami pengelolaan kasus risiko

PENGERTIAN RISIKO DAN MANAJEMEN RISIKO KLINIS


Risiko didefinisikan sebagai kemungkinan sesuatu terjadi atau potensi
bahaya yang terjadi yang dapat memberikan pengaruh kepada hasil akhir. Risiko
yang dicegah berupa risiko klinis dan risiko non klinis.
Setiap upaya medik umumnya mengandung risiko, sebagian diantaranya
berisiko ringan atau hampir tidak berarti secara klinis. Namun tidak sedikit pula
yang memberikan konsekuensi medik yang cukup berat.
Menurut Dwipraharso (2004) risiko medis dibagi menjadi 3 tingkatan,
yaitu: 1) Tingkat probabilitas dan keparahannya minimal (umumnya bersifat
foreseeable but unavoidable, calculated, controllable). 2). Risiko ‘bermakna’
tetapi harus diambil karena ‘the only way’ (unavoidable). Risiko 1 dan 2
memerlukan informed consent sehingga bila terjadi dokter tidak bertanggung
jawab secara hukum. 3) Risiko yang unforeseeable = untoward results.

79
Manajemen risiko menurut The Joint Commission On Acreitation Of
healthcare Organizations adalah aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan
oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko
terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, pengunjung dan institusi rumah
sakit.
Manejemen risiko dapat digambarkan sebagai proses berkelanjutan dari
identifikasi secara sistemik, evaluasi dan penatalaksanaan risiko dengan tujuan
mengurangi dampak buruk bagi organisasi maupun individu. Rumah sakit perlu
menggunakan pendekatan proaktif dalam melaksanakan manajemen risiko (RR,
Balsamo dan MD, Brown, 1998).
Manajemen Risiko juga diartikan sebagai budaya, proses dan struktur
yang diarahkan untuk mewujudkan peluang-peluang sambil mengelola efek
yang tidak diharapkan. Kegiatan terkoordinasi untuk mengarahkan dan
mengendalikan organisasi berkaitan dengan risiko.

FAKTOR-FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam terjadinya risiko adalah:

FAKTOR KOMPONEN YANG BERPERAN


Organisasi dan  Sumber dan keterbatasan keuangan
Manajemen  Struktur organisasi
 Standar dan tujuan kebijakan
 Safety culture
Lingkungan  Kualifikasi staf dan tingkat keahlian
pekerjaan  Beban kerja dan pola shift
 Desain, ketersediaan dan pemeliharaan alkes
 Dukungan administratif dan manajerial
Tim  Komunikasi verbal
 Komunikasi tulisan
 Supervise dan pemanduan
 Struktur tim

80
Individu dan staf  Kemampuan dan ketrampilan
 Motivasi
 Kesehatan dan mental
Penugasan  Desain penugasan dan kejelasan struktur penugasan
 Ketersediaan dan pemanfaatan prosedur yang ada
 Ketersediaan dan akurasi hasil tes
Karakteristik  Kondisi (keparahan dan kegawatan)
pasien  Bahasa dan komunikasi
 Faktor sosial dan personal

Tujuan Manajemen Risiko


Tujuan dilakukannya manajemen risiko dengan pendekatan non blame culture:
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
b. Meningkatkan akuntabilitas.
c. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD).
d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian yang tidak diharapkan.
e. Meminimalisir risiko yang mungkin terjadi dimasa mendatang, dengan
adanya antisipasi risiko, apabila terjadi insiden sudah terdapat alternatif
penyelesaiannya.
f. Melindungi pasien, karyawan, pengunjung dan pemangku kepentingan
lainnya.

PROSES MANAJEMEN RISIKO


Manajemen risiko dilakukan berdasarkan Risk Management Logic
(Dwipraharso, 2004), yaitu:

81
What are the hazards (identifikasi risiko)

Probability, Severity, Exposure

Level of risk?

Yes Acceptable? No

Accep the risk Can it be eliminated?

Eliminated Can it be reduced?

Reduced Cancel the mission?

Manajemen risiko merupakan upaya yang proaktif untuk mencegah masalah


dikemudin hari, dilakukan terus menerus dan dalam suasana no blame culture.

JENIS-JENIS MANAJEMEN RISIKO


Jenis-jenis manajemen risiko adalah:
1. Risk Awareness. Seluruh staf rumah sakit harus menyadari risiko yang
mungkin terjadi di unit kerjanya masing-masing, baik medis maupun non
medis. Metode yang digunakan untuk mengenali risiko antara lain:

82
Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan
risiko (laporan insiden) dan audit klinis.
2. Risk Control (and or Risk Prevention). Langkah-langkah yang diambil
manajemen untuk mengendalikan risiko. Upaya yang dilakukan:
 Mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution)
 Mengurangi risiko (control solution) baik terhadap probabilitasnya
maupun terhadap derajat keparahannya.
 Mengurangi dampaknya.
3. Risk containment. Dalam hal telah terjadi suatu isiden, baik akibat suatu
tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari seuatu kecelakaan yang tidak
terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi
besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam
mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons
yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari
oleh komunikasi yang efektif.
4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan
menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko
tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada
sistem asuransi.

Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan
standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali
bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them)

83
TAHAPAN MANAJEMEN RISIKO
1. Identifikasi Risiko.
Identifikasi risiko adalah proses menemukan, mengenal, dan
mendeskripsikan risiko (ISO 31000:2009). Hal pertama yang perlu dilakukan
untuk mengelola risiko adalah mengidentifikasikannya. Jika kita tidak dapat
mengidentifikasi/ mengenal/ mengetahui, tentu saja kita tidak dapat
berbuat apapun terhadapnya. Identifikasi risiko ini terbagi menjadi dua,
yaitu identifikasi risiko proaktif dan identifikasi risiko reaktif.
Identifikasi risiko proaktif adalah kegiatan ientifikasi yang dilakukan
dengan cara proaktif mencari risiko yang berpotensi menghalangi rumah
sakit mencapai tujuannya. Disebut mencari karena risikonya belum muncul
dan bermanifestasi secara nyata. Metode yang dapat dilakukan diantaranya:
audit, ispeksi, brainstorming, pendapat ahli, belajar dari pengalaman rumah
sakit lain, FMEA, analisa SWOT, survey, dan lain-lain.

84
Identifikasi risiko reaktif adalah kegiatan identifikasi yang dilakukan setelah
risiko muncul dan bermanifestasi dalam bentuk insiden/ gangguan. Metoda yang
dipakai biasanya adalah melalui pelaporan insiden. Tentu saja, lebih baik kita
memaksimalkan identifikasi risiko proaktif, karena belum muncul kerugian bagi
organisasi.
Bagi rumah sakit, cara paling mudah dan terstruktur untuk melakukan
identifikasi adalah lewat setiap unit. Setiap unit diminta untuk mengidentifikasi
risikonya masing-masing. Setelah terkumpul, seluruh data identifikasi itu
dikumpulkan menjadi satu dan menjadi identifikasi rumah sakit.

2. Analisa Risiko
Analisa risiko adalah proses untuk memahami sifat risiko dan menentukan
peringkat risiko (ISO 31000:2009). Setelah diidentifikasi, risiko dianalisa. Analisa
risiko dilakukan dengan cara menilai seberapa sering peluang risiko itu muncul;
serta berat ringannya dampak yang ditimbulkan (ingat, definisi risiko adalah:
peluang terjadinya sesuatu yang akan mempunyai dampak pada pencapaian
tujuan).
Analisa peluang dan dampak ini paling mudah jika dilakukan dengan cara
kuantitatif. Caranya adalah dengan memberi skor satu sampai lima masing-masing
pada peluang dan dampak. Makin besar angka, peluang makin sering atau dampak
makin berat. Setelah skor peluang dan dampak/ konsekuensi kita dapatkan, kedua
angka itu kemudian dikalikan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan peringkat.
Mengapa perlu peringkat? Tentu saja, risiko perlu diberi peringkat, untuk
mendapatlkan prioritas penanganannya. Makin tinggi angkanya, makin tinggi
peringkatnya dan prioritasnya.

3. Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko adalah proses membandingkan antara hasil analisa risiko dengan
kriteria risiko untuk menentukan apakah risiko dan/ atau besarnya dapat diterima

85
atau ditoleransi (ISO 31000:2009). Sedangkan kriteria risiko adalah kerangka acuan
untuk mendasari pentingnya risiko dievaluasi (ISO 31000:2009). Dengan evaluasi
risiko ini, setiap risiko dikelola oleh orang yang bertanggung jawab sesuai dengan
peringkatnya. Dengan demikian, tidak ada risiko yang terlewati, dan terjadi
pendelegasian tugas yang jelas sesuai dengan berat – ringannya risiko.

4. Penanganan Risiko
Penanganan risiko adalah proses untuk memodifikasi risiko (ISO 31000:2009).
Bentuk-bentuk penanganan risiko diantaranya:
 Menghindari risiko dengan memutuskan untuk tidak memulai atau melanjutkan
aktifitas yang menimbulkan risiko;
 Mengambil atau meningkatkan risiko untuk mendapat peluang (lebih baik,
lebih menguntungkan);
 Menghilangkan sumber risiko;
 Mengubah kemungkinan;
 Mengubah konsekuensi;
 Berbagi risiko dengan pihak lain (termasuk kontrak dan pembiayaan risiko);
 Mempertahankan risiko dengan informasi pilihan.

5. Pengawasan (Monitor) dan Tinjauan (Review)


Pengawasan dan tinjauan memang merupakan kegiatan yang umum dilakukan
oleh organisasi manapun. Namun, untuk manajemen risiko ini perlu dibahas,
karena ada alat bantu yang sangat berguna. Alat bantu itu adalah Risk Register
(Daftar risiko). Risk Register adalah:
 Pusat dari proses manajemen resiko organisasi (NHS)
 Alat manajemen yang memungkinkan suatu organisasi memahami profil resiko
secara menyeluruh. Ini merupakan sebuah tempat penyimpanan untuk semua
informasi resiko (Risk Register Working Group 2002).

86
 Ini adalah ‘dokumen hidup’ yang dinamis, yang dikumpulkan melalui proses
penilaian dan evaluasi resiko organisasi (Risk Register Working Group 2002)

Risk Register dapat dibagi menjadi dua, yaitu:


 Risk register korporat, digunakan untuk risiko ekstrim (peringkat 15-25)
 Risk register divisi, digunakan untuk risiko dengan peringkat lebih rendah atau
risiko yang diturunkan dari risk register korporat karena peringkatnya sudah
turun.
Untuk mengurangi beban administrasi, risiko rendah (peringkat 1-3) tidak perlu
dimasukkan ke dalam daftar.
Risk register ini bersifat sangat dinamis. Setiap bulan bisa saja berubah.
Perubahan itu dapat berupa:
 Jumlahnya berubah karena ada risiko baru teridentifikasi.
 Tindakan pengendalian risikonya berubah karena dampak dan peluangnya
berubah.
 Ada risiko yang dihilangkan dari daftar risiko korporat, karena peringkatnya
sudah lebih rendah dari 15 (dipindahkan ke risk register divisi)

PENGELOLAAN KASUS RISIKO


1. Identifikasi risiko
Proses sistematis dan terstruktur untuk menentukan dan mengenali risiko,
kemudian dibuat daftar risiko. Daftar risiko dilengkapi dangan deskripsi risiko
termasuk menjelaskan kejadian dan peristiwa yang mungkin terjadi dan dampak
yang ditimbulkannya.
Identisikasi dilakukan pada: sumber risiko, area risiko, peristiwa dan
penyebabnya dan potensi akibatnya. Metode identifikasi risiko dilakukan dengan
proaktif melalui self assessment, incident reporting sistem dan clinical audit dan
dilakukan menyeluruh terhadap medis dan non medis

87
2. Urutkan prioritas risiko dengan mengukur tingkat risiko.
Pengelolaan risiko diawali dengan menilai konsekuensi yang dapat diakibatkan
sebuah insiden dan kemungkinan terjadinya risiko setelah teridentifikasi.
Kemudian risiko dievaluasi lalu diberikan skor untuk menentukan bobot dan
prioritas risiko yang telah terjadi. Sesuai dengan bobotnya ditentukan tindakan
yang akan diberlakukan terhadap masing-masing risiko. Bila bobotnya ringan dan
tidak prioritas tindakannya dapat hanya mentoleransi saja dan menjadikannya
catatan. Namun bila risiko yang terjadi memiliki bobot besar dan mengganggu
pencapaian tujuan rumah sakit, maka ditentukan sebagai prioritas utama dan
harus diatasi atau ditransfer, atau bahkan menghentikan kegiatan yang
meningkatkan terjadinya risiko.
Tujuan menentukan prioritas risiko adalah membantu proses pengambilan
keputusan berasarkan hasil analisis risiko. Menentukan prioritas risiko dengan
menggunakan rumus:
TINGKAT RISIKO = PELUANG X FREKUENSI PAJANAN X AKIBAT
Kriteria Peluang (P)

NILAI KETERANGAN

10 Almost certain / Hampir pasti; Sangat mungkin akan terjadi / hampir


dipastikan akan terjadi pada semua kesempatan

6 Quite possible / mungkin terjadi; Mungkin akan terjadi atau bukan


sesuatu hal yang aneh untuk terjadi (50-50 kesempatan)

3 Unusual but possible / TIdak biasa namun dapat terjadi; biasanya tidak
terjadi namun masih ada kemungkinan untuk dapat terjadi tiap saat

1 Remotely possible / Kecil kemungkinannya; kecil kemungkinan terjadi /


sesuatu yang kebetulan terjadi

0,5 Conceivable / sangat kecil kemungkinannya; belum pernah terjadi


sebelumnya setelah bertahun-tahun terpapar bahaya / kecil sekali

88
kemungkinannya untuk terjadi

0,1 Practically impossible / secara praktek tidak mungkin terjadi; belum


pernah terjadi sebelumnya dimanapun / merupakan sesuatu yang tidak
mungkin untuk terjadi

Kriteria Frekuensi Pajanan (F)


NILAI KETERANGAN
10 Continue / Terus-menerus; terjadi beberapa kali dalam sehari
6 Frequent / Sering; terjadi harian / minimal sekali dalam sehari
3 Occasional / Kadang-kadang; terjadi seminggu sekali
2 Infrequent / Tidak sering; terjadi sekali antara seminggu sampai sebulan
1 Rare / Jarang; beberapa kali dalam setahun
0,5 Very rare / Sangat jarang; terjadi sekali dalam setahun
0 No exposure / Tidak terpapar; tidak pernah terjadi

Kriteria Akibat (A)


NILAI KETERANGAN
 Catastrophik / Malapetaka / Keuangan ekstrem
 Banyak kematian
100
 Kerugian sangat besar / berhenti total
 Kerugian keuangan > 10 Milyar
 Disaster / Bencana / Keuangan sangat berat
 Beberapa kematian
 Kerugian besar / sebagian proses berhenti
40  Menyebabkan penyakit yang bersifat komunitas / endemic pada
karyawan atau pasien
 Menyebabkan terhambatnya pelayanan hingga lebih dari 1 hari
 Kerugian keuangan > 5 M – 10 M

89
 Very serious / Sangat serius / Keuangan berat
 Menyebabkan satu kematian, kerugian cukup besar
 Memperberat atau menambah penyakit pada beberapa pasien atau
karyawan
15  Menyebabkan penyakit yang bersifat permanen atau kronis (HIV,
Hepatitis, Keganasan, TUli, gangguan fungsi organ menetap)
 Menyebabkan terhambatnya pelayanan lebih dari 30 menit hingga
1 hari
 Kerugian keuangan 1 – 5 Milyar
 Serious / Serius / Keuangan sedang
 Menyebabkan cidera serius seperti cacat atau kehilangan anggota
tubuh permanen
7  Menyebabkan panyakit yang memerlukan perawatan medis lebih
dari 7 hari dan dapat disembuhkan
 Menyebabkan terhambatnya pelayanan kurang dari 30 menit
 Kerugian keuangan 500 jt – 1 Milyar
 Casualty treatment / Perawatan medis / Keuangan ringan
 Menyebabkan cidera / penyakit yang memerlukan perawatan medis
3
atau tidak dapat masuk kerja hingga 7 hari
 Kerugian keuangan 50 juta – 500 juta
 Firs aid treatment / P3K / keuangan sangat ringan
 Cidera tidak serius / minor seperti lecet, luka kecil dan hanya perlu
1
penanganan P3K
 Kerugian keuangan s/d 50 juta

90
3. Tentukan Respon Rumah Sakit.
Respon rumah sakit ditentukan melalui asesmen risiko atau pengelolaan risiko,
yang meliputi
 Identifikasi potensial risiko dan hazard.
 Menelusuri siapa dan apa yang dapat dirugikan serta bagaimana caranya.
 Evaluasi temuan risiko, analisa apakah pengelolaannya sudah cukup atau perlu
diubah untuk mencegah terjadinya insiden.
 Catat temuan lalu buat rencana pengelolaannya.
 Evaluasi pengelolaan secara menyeluruh dan perbaiki bila perlu.
Proses menganalisa risiko yang perlu dipertimbangkan adalah dampak dari
risiko tersebut bila benar terjadi. Risiko yang dampaknya besar harus segera
ditindaklanjuti dan mendapat perhatian dari pimpinan. Risiko yang dampaknya
medium-rendah akan dikelola oleh Sub Komite Manajemen Kinerja bersama Kepala
Unit Kerja/ Instalasi untuk membuat rencana tindak lanjut dan pengawasan.

Kriteria Skor Risiko (R)


SKOR KRITERIA KETERANGAN
> 400 Sangat tinggi Hentikan kegiatan dan perlu perhatian
manajemen puncak
200 – 400 Tinggi Perlu mendapat perhatian dari manajemen
puncak dan tindakan perbaikan segera
dilakukan
70 – 199 Substantial Lakukan perbaikan secepatnya dan tidak
diperlukan keterlibatan pihak menajemen
puncak
20 – 69 Menengah Tindakan perbaikan dapat dijadualkan
kemudian dan penanganan cukup dilakukan
dengan prosedur yang ada
< 20 Rendah Risiko dapat diterima

91
4. Kelola kasus risiko untuk meminimalkan kerugian (Risk Control)
Perlakukan risiko adalah upaya untuk menyeleksi pilihan-pilihan yang dapat
mengurangi atau meniadakan dampak serta kemungkinan terjadi risiko. Perlakuan
yang dapat dipilih adalah;
 Pengendalian = upaya-upaya untuk mengubah risiko yang merupakan langkah-
langkah antisipatif yang direncanakan dan dilakukan secara rutin untuk
mengurangi risiko.
 Penanganan = langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi risiko jika
tindakan pengendalian belum memadai. Dapat juga bermakna langkah-langkah
yang telah direncanakan dan akan dilakukan apabila risiko benar-benar terjadi.
Sementara menurut NHS (National Health System) pengelolaan risiko adalah:
1. Mengambil kesempatan dengan kondisi yang ada dengan mempertimbangkan
keuntungan lebih besar daripada kerugian
2. Mentoleransi risiko
3. Mentransfer risiko pada pihak ke 3 seperti asuransi
4. Menghentikan aktivitas yang menimbulkan risiko

Opsi Perlakuan Risiko:


KLASIFIKASI JENIS PENGENDALIAN
Menghindari risiko Menghentikan kegiatan
Tidak melakukan kegiatan
Mengurangi risiko  Membuat kebijakan
 Membuat SPO
 Mengganti atau membeli alat
 Mengembangkan sistem informasi
 Melaksanakan prosedur pengadaan, perbaikan dan
pemeliharaan bangunan dan instrument yang sesuai
dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai
sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan

92
dan pembaruan prosedur, standar dan chek-list;
pelatihan penyelenggara bagi personil, seminar,
pembahasan kasus, poster, stiker
Mentransfer risiko Asuransi
Mengeksploitasi risiko Mengambil kesempatan dengan kondisi yang ada dengan
mempertimbangkan keuntungan lebih besar daripada
kerugian
Menerima risiko

5. Membangun upaya pencegahan.


Dalam hal ini adalah monitoring dan review. Monitoring adalah pemantauan
rutin terhadap kinerja aktual proses manajemen risiko dibandingkan dengan
rencana atau harapan yang akan dihasilkan. Review adalah peninjauan atau
pengkajian berkala atas kondisi saat ini dan dengan fokus tertentu.

6. Kelola pembiayaan risiko (Risk Financing).


Biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian atau penanganan yang dilakukan.

93
MATERI 07
ROOT CAUSE ANALYSIS (RCA) / ANALISIS LAPORAN INSIDEN

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:


Peserta memahami konsep-konsep yang terkait dengan Root Cause Analysis (RCA) /
Analisis Laporan Insiden

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:


1. Peserta memahami pengertian dari Root Cause Analysis (RCA)
2. Peserta memahami tahapan-tahapan Root Cause Analysis (RCA)
3. Peserta mampu melakukan proses pembuatan Root Cause Analysis (RCA)

PENGERTIAN ROOT CAUSE ANALYSIS (RCA)


Adalah suatu proses berulang yang sistematik dimana faktor-faktor yang
berkontribusi dalam suatu insiden diidentifikasi dengan merekonstruksi kronologis
kejadian menggunakan pertanyaan “mengapa/ why” yang diulang-ulang, hingga
menemukan akar penyebabnya dan menjelasnya. Pertanyaan “mengapa” harus
ditanyakan hingga tim investigator mendapatkan fakta, bukan hasil spekulasi.
Semua kejadian sentinel yang sesuai dengan definisi dilakukan evaluasi dengan
cara melakukan RCA. Jika RCA menghasilkan bahwa perbaikan sistem atau tindakan
dapat mencegah dan mengurangi risiko dari kejaian sentinel terulang kembali, maka
rumah sakit harus melakukan rancangan kembali dari proses atau mengambil
tindakan-tinakan yang sudah diperbaiki. Sangat penting diperhatikan bahwa “kejadian
sentinel tidak selalu terkait dengan kesalahan atau kecenderungan pada sesuatu kasus
medico-legal”.

94
Beyond Patient Safety
Kejadian sentinel “diluar” (beyond) kendali masih dapat terjadi walaupun
rumah sakit telah melakukan pengelolaan risiko demi keselamatan pasien.
Bila rumah sakit tidak mengupayakan keselamatan pasien maka bila terjadi
peristiwa sentinel akibat faktor-faktor “diluar “ (beyond) kendali yang sulit dibuktikan,
public menganggap rumah sakit dan tenaga kesehatan adalah penyebab utama
mortalitas dan morbiditas pasien.
Standar Akreditasi Rumah Sakit
Rumah sakit menggunakan proses yang ditetapkan untuk melakukan
identifikasi dan pengelolaan kejadian sentinel.
Standar Penilaian Akreditasi Rumah Sakit
1. Pimpinan rumah sakit menetapkan definisi kejadian sentinel yang meliputi paling
sedikit a) sampai d) yang dimuat di Maksud dan Tujuan --> Definisi operasional
sentinel
2. Rumah sakit melakukan analisis akar masalah ‘RCA’ terhadap semua kejadian
sentinel yang terjadi dalam batas waktu tertentu yang ditetapkan pimpinan rumah
sakit
3. Kejadian dianalisis bila terjai
4. Pimpinan rumah sakit mengambil tindakan berdasarkan hasil RCA
Sistematika Paparan
Bagian I : Justifikasi Manajemen Risiko Keselamatan Pasien dan RCA
Bagian II : Tahapan Teknis RCA
1. Inisiasi dan rumusan masalah
2. Tetapkan peristiwa sentinel
3. Tetapkan critical event / CMP
4. Tetapkan akar masalah
5. Tetapkan upaya penanggulangan risiko
6. Uji coba upaya penanggulangan risiko
7. Uji coba upaya implementasi upaya penanggulangan risiko

95
Bagian I
Justifikasi Manajemen Risiko Keselamatan Pasien dan Root Cause Analysis

Menjawab mengapa berpikir kritis dengan mencari akar penyebab, menjadi


penting dalam manajemen risiko. Mengarahkan, bahwa “Budaya Keselamatan” adalah
yang menjadi focus utama, bukan sekedar faktor-faktor teknis. Mengarahkan bahwa
sasaran utama ditujukan pada perbaikan sistem, bukan mencari tersangka. Meletakkan
posisi RCA dalam kerangka pikir besar upaya keselamatan pasien. RCA adalah
instrument yang harus dimiliki oleh sebuah rumah sakit yang baik.

Alur Manajemen Risiko

96
Kapan memulai RCA?
Bila setelah dilakukan risk grading, suatu laporan insiden termasuk dalam
criteria sentinel event yang didasarkan pada laporan insiden dan Risk Matrix
Grading. Sedangkan pada kasus-kasus non-sentinel dilakukan analisis sederhana
dengan cepat, tetapi tetap memenuhi kaidah-kaidah RCA.

Penentuan Sentinel: Risk Grading Matrix

POTENTIAL CONSEQUENCE
Frekuensi /
Insignificant Minor Moderate Major Catastropic
1 2 3 4 5
Likelihood
Sangat sering
terjadi (Tiap
Moderate Moderate High Extreme Extreme
mgg/bln)
5
Sering terjadi
(bebrp x/thn) Moderate Moderate High Extreme Extreme
4
Mungkin terjadi
(1-2 thn/x) Low Moderate High Extreme Extreme
3
Jarang terjadi
(2-5 thn/x) Low Low Moderate High Extreme
2
Sangat jarang
sekali (>5 thn/x) Low Low Moderate High Extreme
1

Dapat Manajer tingkat harus Review terinci Review terinci dan


teratasi menilai konsekuensi dan tindakan tindakan segera
dengan perihal biaya untuk segera harus perlu dilakukan
perbaikan mengendalikan risiko diambil oleh pada tingkat
prosedur tersebut manajer senior Direksi

97
BAGIAN II

TAHAPAN TEKNIS ROOT CAUSE ANALYSIS

1. INISIASI DAN RUMUSAN MASALAH


Pada tahap ini disusun tim RCA untuk merumuskan masalah sesuai laporan
insiden di rumah sakit. Setiap anggota tim harus memiliki pemahaman awal atas
masalah untuk persiapan pencarian fakta dilapangan. Pada tahap ini pula dimulai
perumusan masalah dengan lengkap.

Persyaratan anggota tim RCA


 Telah memahami teknik RCA
 Memiliki cara pandang yang luas dan kredibel
 Berjumlah tidak lebih dari Sembilan orang
 Ekspert / ahli yang dapat diminta bantuannya kemudian

Tahap perumusan masalah:


 Definisikan / rumuskan masalah dan signifikansi dalam 1 – 2 kalimat.
 Rumuskan masalah menggunakan 4 W 1 H tanpa WHY: WHO – WHAT – WHERE
– WHEN dan HOW.
 Jangan memberikan asumsi atau blamming – karena itu jangan gunakan
pertanyaan WHY

Significance merupakan nilai relative dari primary effect yang menimpa pada
rumah sakit. Bagian ini berisi jawaban atas pertanyaan mengapa kita melakukan
penyelesaian masalah. Significance digunakan untuk menentukan prioritas kasus
yang akan diselesaikan melalui RCA, bila dalam incident report terdapat beberapa
sentinel event, dengan memilih kasus mana yang memiliki dampak terbesar pada
rumah sakit.

98
Proses pengkajian masalah harus berfokus pada upaya pengumpulan data.
Tahapan selanjutnya adalah mengkaji rumusan masalah. Oleh karena itu data yang
dicari harus mencakup hal-hal terkait dengan apa yang tengah dicari sesuai
rumusan masalah. Terdapat tiga jenis informasi utama yang harus dikumpulkan,
antara lain:
 Pernyataan saksi dan pengamatan pada mereka yang dekat dengan peristiwa
secara langsung maupun tidak langsung
 Bukti-bukti fisik yang terkait atau Nyaris Cedera
 Dokumentasi bukti-bukti terkait.

2. TETAPKAN PERISTIWA SENTINEL


Fakta-fakta dilapangan dapat dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan,
telaah dokumen. Salah satu tujuannya adalah memperoleh peta kronologi
peristiwa berdasarkan rumusan masalah dan fakta-fakta dilapangan.

Kumpulkan data yang relevan ini bergantung pada:


 Ketersediaan informasi
 Kecukupan dukungan teknologi
 Pengelolaan / pemeliharaan peralatan
 Lingkungan Fisik
 Pengendalian Farmasi: penyimpanan dan akses
 Pelabelan obat-obatan pasien

Bentuk utama komunikasi kita adalah melalui laporan kronologis kejadian


(story telling). Laporan kronologis terdiri dari 4 elemen, berhubungan dengan
 Manusia (who)
 Benda (what)
 Kerangka waktu linier (when)
 Tempat (where)

99
Hakikat suatu laporan kronologis kejadian antara lain:
 Memiliki urutan kejadian
 Dimulai dari suatu “titik tertentu” di masa lampau
 Titik tertentu tersebut “disepakati” (arbitrer) dan belum tentu benar
 Dapat mengarahkan pembaca laporan pada suatu konsekuensi tertentu
(dengan statement-statement yang tersirat)

3. TETAPKAN CRITICAL EVENT / CARE MANAGEMENT PROBLEM


Tahap ini bertujuan untuk memperoleh kejadian yang dianggap kritis (critical
event). Sehingga dapat ditentukan akibat yang ingin kita cegah terjadinya. Pada
tahapan ini penting untuk menentukan arah investigasi. Tahapan ini juga
merupakan titik awal untuk bertanya “why”. Perlu diingat bahwa satu peristiwa
bisa terdapat lebih dari satu primary effect. Dalam setting RCA, PE disebut sebagai
“Critical Event”. Dalam setting klinis, PE disebut sebagai Critical Management
Problem.

4. TETAPKAN AKAR MASALAH


Pada tahap ini akar penyebab timbulnya masalah harus ditemukan.

Gambar Pasangan dalam sebab-akibat

100
Terdapat 4 langkah menyusun bagan sebab-akibat:
1. Tanyakan “MENGAPA” (why) untuk setia Primary effect
2. Rumuskan setiap penyebab kedalam kategori Aksi dan kondisi
3. Hubungkan setiap penyebab dengan kata2 “disebabkan oleh”
4. Dukung setiap penyebab dengan bukti-bukti (evidences)

Gambar bagan rangkaian penyebab teoritis

5. TETAPKAN UPAYA PENANGGULANGAN RISIKO


Tujuan tahap ini adalah untuk memperoleh upaya-upaya untuk mencegah agar
masalah tidak terjadi. Oleh karena itu perlu ditentukan hazard, barrier, target
analysis pada suatu kejadian. Barrier merupakan penghalang agar adverse event
tidak terjadi. Selain itu perlu juga dilakukan analisis penghalang dalam managemen
kejadian tersebut.
Analisis penghalang merupakan control untuk mencegah terjadinya bahaya
pada suatu kasus. Analisa penghalang didesain untuk mengidentifikasi:
a. Penghalang mana yang seharusnya ada untuk mencegah insiden
b. Mengapa penghalang gagal?

101
c. Penghalang apa yang dapat digunakan untuk mencegah insiden terulang
kembali ?
Ada 4 tipe penghalang:
1. Penghalang Fisik
2. Penghalang Natural
3. Penghalang Tindakan manusia
4. Penghalang Administrasi

Full hazard analysis

6. UJI COBA UPAYA PENANGGULANGAN RISIKO


Pada tahap ini diupayakan pemilihan solusi paling tepat yang dapat
dilaksanakan untuk menanggulangi risiko.

7. IMPLEMENTASI UPAYA PENANGGULANGAN RISIKO


Solusi yang terkait dari analisis RCA harus dapat diterapkan di lapangan. Perlu
dilakukan monitoring dan evaluasi berkesinambungan untuk menilai keberhasilan
penanggulangan resiko.

102
KESIMPULAN
 RCA wajib dilakukan rumah sakit dan merupakan bagian dari Reporting and
Learning System
 Hasil akhir kegiatan adalah laporan RCA kepada Direksi RS dengan
komponen tertentu
 Penyusunan diagram kausalitas tidak bersifat linier, tetapi memiliki
multikausa.

103
MATERI 08
ANAESTHESIA NON-TECHNICAL SKILL /
KETERAMPILAN NON-TEKNIS ANESTESI

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:


Peserta memahami konsep-konsep yang terkait Anaesthesia Non-Technical Skill

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:


 Peserta memahami pengertian Anaesthesia Non-Technical Skill
 Peserta memahami pentingnya Anaesthesia Non-Technical Skill

PENGERTIAN ANAESTHESIA NON-TECHNICAL SKILL


Istilah ‘keterampilan non-teknis’ (juga disebut keahlian Manajemen
Sumber Daya Kru) berasal dari regulator penerbangan Eropa pada tahun
1990an, sehubungan dengan keterampilan pilot penerbangan perorangan.
Konsep ini sekarang digunakan untuk mendukung pelatihan dan penilaian
berbasis tempat kerja dalam sejumlah pekerjaan kritis, termasuk pelayanan
kesehatan. Keterampilan non-teknis dapat didefinisikan sebagai ‘keterampilan
sumber daya kognitif, sosial dan pribadi yang melengkapi keterampilan teknis,
dan berkontribusi terhadap kinerja tugas yang aman dan efisien’.
Keterampilan non-teknis berikut biasanya diperlukan dalam bidang klinis:
 Kesadaran situasional
 Pengambilan keputusan / pemecahan masalah
 Kepemimpinan
 Kerja sama tim
 Komunikasi
 Pengelolaan stress dan kelelahan

104
Ketepatan keterampilan non-teknis untuk pekerjaan tertentu perlu
disesuaikan untuk tugas klinis, kondisi di tempat kerja dan budaya organisasi/
profesional dan dapat membantu mengurangi kesalahan. Meningkatkan
penemuan kesalahan dan respon efektif saat terjadi masalah operasional.
Misalnya, kekurangan dalam keterampilan non-teknis (tidak berpikir ke depan,
tidak mengikuti prosedur, tidak berbicara saat menghadapi risiko) dapat
meningkatkan kemungkinan cedera bagi pasien (misalnya salah daerah yang
dioperasi) atau anggota staf (misalnya tertusuk jarum suntik). Keterampilan
non-teknis yang baik (misalnya kewaspadaan tinggi, komunikasi yang efektif,
pemimpin yang mendengarkan kekhawatiran anggota tim) dapat mengurangi
kemungkinan kesalahan dan mengurangi kemungkinan pasien atau dokter
terlibat dalam kejadian yang tidak diinginkan.

Mengapa Keterampilan Non Teknis Penting dalam Anestesi?


Penelitian critical incident menunjukkan sekitar 80% insiden yang dilaporkan
melibatkan kesalahan faktor manusia yang paling umum. Kesalahan yang paling
umum terjadi meliputi lepasnya sirkuit pernafasan, tertusuk jarum suntik, dan
penguapan obat anestesi secara tidak sengaja. Faktor yang berkaitan dalam
insiden ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakstabilan keterampilan non
teknis, contohnya ketidakpercayaan atau kurangnya perhatian, gagal dalam
memeriksa, tergesa-gesa, adanya gangguan, kurang tidur atau kelelahan, dan
komunikasi yang buruk.
Pengamatan interaksi tim menunjukkan masalah non teknis. Terbatasnya
pertemuan sebelum operasi dan pengarahan yang singkat, gagal dalam
membangun kepemimpinan dan memantau aktivitas tim.
Untuk mengidentifikasi keterampilan non-teknis berupa pekerjaan atau
tugas tertentu, berbagai bentuk analisis tugas dapat digunakan. Wawancara dan

105
survei terhadap praktisi berpengalaman, investigasi insiden, serta pengamatan
pekerjaan selama tugas rutin atau keadaan darurat, dapat mengungkapkan
perilaku kerja (keterampilan non-teknis) yang dikaitkan dengan praktik yang
aman dan penghindaran efek yang tidak diinginkan.
Tim ahli anestesi dan psikolog merancang Sistem Keterampilan Non-Teknis
Anestetik (ANTS) menggunakan metode analisis tugas. Keterampilan yang
diterapkan untuk ANTS berasal dari data tentang perilaku para ahli anestesi
yang dikumpulkan dari tinjauan pustaka, observasi, wawancara, survei dan
analisis kejadian.
Kerangka kerja keterampilan ANTS (Gambar 1) memiliki empat kategori:
Kesadaran situasi, pengambilan keputusan, pengelolaan tugas, dan kerja tim.
Elemen komponen dan contoh perilaku baik dan buruk disertakan untuk setiap
elemen. Pengelolaan stres dan mengatasi kelelahan bukanlah kategori eksplisit,
karena bisa sulit dideteksi kecuali ekstrem; selain itu, mereka mempengaruhi
perilaku lain yang dapat dinilai. Kepemimpinan dimasukkan ke dalam kategori
kerja tim, karena ada kalanya ahli anestesi dapat memimpin tim kamar bedah.

Mengapa Fokus Pada Keterampilan Non Teknis di Kamar Bedah?


Keterampilan non teknis yang baik dapat memberi outcome positif pada tim
dan pasien. Kejadian yang tidak diinginkan dalam operasi umunya disebabkan
karena kegagalan dalam persepsi, penilaian, komunikasi, dan kerja sama tim.

106
Gambar 1: Sistem Keterampilan Non-Teknis Anestetik (ANTS) (diadaptasi dari ANTS
Handbook, University of Aberdeen)

LABEL PENGURUTAN DESKRIPSI


4- Baik Kinerja adalah standar yang konsisten tinggi,
meningkatkan keamanan pasien; ini bisa dijadikan
contoh positif bagi orang lain
3- Dapat Diterima Kinerja memuaskan namun bisa ditingkatkan
2- Marginal Kinerja membutuhkan perhatian, dibutuhkan
peningkatan
1- Buruk Kinerja berpotensi mengancam keselamatan pasien,
remediasi serius diperlukan
Tidak Diamati Keterampilan tidak dapat diamati dalam skenario ini
Gambar 2: Pilihan Sistem Pengurutan ANTS (diadaptasi dari ANTS Handbook,
University of Aberdeen)

107
Selain kerangka kerja keterampilan ANTS, skala penilaian perilaku dirancang pada
satu halaman untuk kemudahan penggunaan. Terdapat empat poin skala penilaian
(lihat Gambar 2) untuk menilai hubungan perilaku dengan elemen dan kategori,
dengan ruang untuk menulis komentar singkat. Perlu dicatat bahwa pendeskripsian
untuk poin pada skala penilaian tidak hanya tingkat kinerja; mereka menekankan
relevansinya untuk keselamatan pasien. Nilai ANTS dibuat saat anestesi berada di
kamar operasi atau di unit yang lain. Alat ini dirancang untuk digunakan oleh ahli
anestesi berpengalaman untuk menilai kemampuan non-teknis dari ahli anestesi yang
lain yang telah mencapai kompetensi teknis dasar.
Evaluasi metode penilaian perilaku ANTS dilakukan dengan 50 ahli konsultan
anestesi, dilanjutkan dengan studi kagunaan. Sebuah buku pegangan diterbitkan untuk
membantu ahli anestesi menggunakan sistem ini dalam praktiknya, untuk menilai
kinerja non-teknis pada saat itu. Pada berkas penilaian, ruang yang disediakan untuk
mencatat setiap elemen perilaku, membantu pelatih / penilai untuk memberikan
umpan balik terstruktur, serta nilai kinerja, pada akhir prosedur. Sistem ini dirilis oleh
University of Aberdeen pada tahun 2004.

108
Lampiran 1
LEMBARAN KERJA INVESTIGASI KOMPREHENSIF/
ANALISIS AKAR MASALAH (ROOT CAUSE ANALYSIS/ RCA)

LANGKAH 1: IDENTIFIKASI INSIDEN

Rumusan masalah/insiden:

LANGKAH 2: IDENTIFIKASI TIM

Tim Investigasi

Ketua :
Anggota :
1. …
2. …
3. …

LANGKAH 3: MENGUMPULKAN DATA & INFORMASI

 Rekam medic, kebijakan/prosedur


 Observasi
 Wawancara

109
LANGKAH 4 : PEMETAAN KEJADIAN

110
LANGKAH 5 : IDENTIFIKASI CMP / CARE MANAGEMENT PROBLEM

Identifikasi CMP (Gap):


1. …………
2. …………
3. …………

111
LANGKAH 6: ANALISIS INFORMASI

MASALAH 1 TOOLS
NO
………………………………….. 5 Why
1 Mengapa ……………. ? Karena ………………
2 Mengapa ……………. ? Karena ………………
3 Mengapa ……………. ? Karena ………………
4 Mengapa ……………. ? Karena ………………
5 Mengapa ……………. ? Karena ………………

MASALAH 1 TOOLS
NO
………………………………….. 5 Why
1 Mengapa ……………. ? Karena ………………
2 Mengapa ……………. ? Karena ………………
3 Mengapa ……………. ? Karena ………………
4 Mengapa ……………. ? Karena ………………
5 Mengapa ……………. ? Karena ………………

MASALAH 1 TOOLS
NO
………………………………….. 5 Why
1 Mengapa ……………. ? Karena ………………
2 Mengapa ……………. ? Karena ………………
3 Mengapa ……………. ? Karena ………………
4 Mengapa ……………. ? Karena ………………
5 Mengapa ……………. ? Karena ………………

Dstnya,

112
7. REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAKAN

113

Anda mungkin juga menyukai