SAFETY
FIRST
1
Modul Continuing Professional Develpmen (CPD)
2
PENDAHULUAN
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman. System tersebut meliputi penilaian resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan pasien koma, pelaporan dan analisis
assident, kemampuan belajar dari assident dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Dep Kes R.I, 2006) bagaimanapun harus
diakui pada pelayanan yang berkualitas masih dapat terjadi Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) (Dep Kes RI, 2006).
KTD merupakan kejadian yang akan mengancam keselamatan pasien
khususnya di rumah sakit yang merupakan unit layanan jasa bagi masyarakat, tempat
yang sangat kompleks dimana terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan
prosedur, banyak terdapat alat dan teknologi, bermacam profesi dan non profesi yang
memberikan pelayanan pasien selama 24 jam secara terus - menerus, dimana
keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik
dapat terjadi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/ adverse event) (Depkes, 2008).
Berdasarkan Permenkes RI no 1691 tahun 2011 tentang keselamatan pasien rumah
sakit, maka keselamatan pasien menjadi salah satu indicator klinis mutu layanan
rumah sakit.
Berbagai upaya telah dilakukan diantaranya dalam lingkup nasional, sejak bulan
agustus 2005, Menteri Kesehatan RI telah mencanangkan Gerakan Nasional
Keselamatan Pasien (GNKP) Rumah Sakit (RS), selanjutnya KARS( Komite Akreditasi
Rumah Sakit) Depkes RI telah pula menyusun Standar KP RS (Keselamatan Pasien
Rumah Sakit) yang dimasukkan ke dalam instrument akreditasi RS di Indonesia, dan
saai ini standar keselamatan pasien yang digunakan juga mengacu pada “Hospital
Patient Standards” yang dikeluarkan oleh Join Commission on Accreditation of Health
Organization di Illionis pada tahun 2002. Salah satu dari enam tujuan penanganan
keselamatan pasien menurut Join Commission International adalah memastikan benar
3
tempat, benar prosedur, dan benar pasien dalam setiap tindakan pembedahan
(Setiowati & Dwi, 2010).
Patient Safety menjadi suatu focus perhatian pada semua profesi kedokteran.
Ahli anestesi dianggap sebagai profesi terdepan yang mempunyai perilaku yang baik
terkait “patient’s risk and safety”. Meskipun demikian secara formal tidak diajarkan,
tapi merupakan “hidden curriculum”, langsung diimplementasikan dalam praktek
pasien.
Kutipan tentang Safety Anesthesia pada APSF SINCE 1985 to accomplish its
mission: “to improve continually the safety of patiens during anesthesia care by
encouraging and conducting: Safety research and education; Patient safety programs
and campaigns: National and international exchange of information and ideas.”
Di awal perkembangan anesthesia, peningkatan Safety pada pasien dikaitkan
dengan pengembangan teknologi alat anesthesia, prosedur anesthesia dan obat
anesthesia yang aman. Dimana pengembangan tersebut sampai saat ini sudah sampai
mencapai titik maksimal, sehingga dekade terakhir ini, peningkatan safety pada pasien
dikaitkan dengan pengembangan tools dan cara berpraktek yang aman, seperti adanya
surgical safety checklist, SOP dan sebagainya.
Pembedahan merupakan komponen penting dari perawatan kesehatan di
seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di
seluruh dunia (WHO, 2009). Tindakan pembedahan bertujuan untuk menyelamatkan
nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi, namun demikian pembedahan juga dapat
menimbulkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cidera (KNC), baik
cidera medis maupun komplikasi yang dapat membahayakan nyawa (Haynes, Weiser,
Berry, Lipsitz, Breizat, Dellinger, 2009).
Tindakan pembedahan memerlukan persamaan persepsi antara ahli bedah,
anestesi dan perawat (Weiser, 2008). Kepatuhan dari semua tim untuk menerapkan
Surgical Patient Safety merupakan bagian dari kesadaran diri, kesadaran diri adalah
salah satu unsur yang terdapat dalam budaya keselamatan pasien selain dari
kepemimpinan dan kerjasama tim (Rachmawati, 2011)
4
Patient Safety pada tindakan anestesi dapat dicapai dengan pendekatan
multifacet, mulai dari mengubah budaya dan cara menghadapi masalah, ANTS,
pembuatan pedoman / panduan hingga sistem pelaporan dimana praktek aman
(Safety practice) pada prosedur anestesia merupakan salah satu pendekatan.
Anesthesia-related death, 51-77% terjadi karena human error, antara lain disebabkan
oleh:
Kurang berpengalaman / kompeten (89%)
Kesalahan analisis atau mengambil keputusan (11%)
Komunikasi dan kerjasama tim yang buruk (46-65%)
Faktor organisasional dan manajemen (26%): penjadwalan pasien, penjadwalan
jaga malam, tekanan dari administrator RS
Patient Safety Practice pd prosedur anesthesia mencakup semua manajemen pasien di
periode perioperative :
Konsultasi preoperatif
Penatalaksanaan intraoperatif
Penatalaksanaan posoperatif
5
MATERI DASAR
ETIKA DAN KEBIJAKAN KESELAMATAN PASIEN
ETIKA KEDOKTERAN
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Menurut KBBI (1995), etika adalah nilai mengenai benar atau salah yang dianut oleh
suatu golongan atau suatu masyarakat.
Menurut F. Abel, prinsip dasar etika kedokteran (bioetika) adalah studi
interdisipliner tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi
dan kedokteran, tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjasi pada masa
sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya masalah pada masa yang akan
datang. 4 kaidah dasar moral yang sering juga disebut sebagai kaidah dasar etika
kedokteran atau bioetika, antara lain:
Beneficence
Non-malficence
Justice
Autonomy
6
EMPAT KAIDAH KEDOKTERAN
1. Beneficence
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dokter tersebut juga harus mengusahakan agar pasiennya dirawat dalam
keadaan kesehatan.
Dalam prinsip ini dikatakan bahwa perlunya perlakuan yang terbaik bagi pasien.
Beneficence membawa arti menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada
pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal
yang buruk. Ciri-ciri prinsip ini, yaitu;
Mengutamakan Alturisme yaitu rela berkorban dan menolong tanpa pamrih
Memandang pasien atau keluarga bukanlan suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan seorang dokter
Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan
dengan suatu keburukannya
Bertanggung jawab (paterbalisme) / berkasih sayang
Menjamin kehidupan baik bagi manusia
Meminimalisasi kerugian pasien
Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
Menerapkan Golden Rule Principle yaitu melakukan hal yang lebih baik seperti
yang orang lain inginkan
Memberi suatu resep
2. Non-malficence
Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang
paling kecil resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno “Fist, do no harm”,
tetap berlaku dan harus diikuti.
Non-malficence mempunyai ciri-ciri:
Menolong pasien emergensi
7
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien
Tidak memandang pasien sebagai objek
Melindungi pasien dari serangan
Manfaaf pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
Tidak melakukan White Collar Crime
3. Justice
Kejadian (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan
sama rata dan adil terhadap pasien untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien
tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama, kebangsaan,
perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak dapat
mengubah sikap dokter terhadap pasiennya.
Justice mempunyai ciri-ciri:
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
Menghargai hak sehat pasien
Menghargai hak hukum pasien
Menghargai hak orang lain
Menjaga kelompok rentan
Tidak membedakan pelayanan terhadap pasien atas dasar SARA, status sosial,
dan sebagainya
Tidak melakukan penyalahgunaan
Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
Meminta partisipasi pasien sesuai dengan kemampuannya
Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian secara adil
Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
8
4. Autonomi
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia. Setiap
individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan
nasib diri sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan
membuat keputusan sendiri.
Autonomy bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela,
dan membiarkan pasien demi dirinya sendiri.
Autonomi mempunyai ciri-ciri:
Menghargai hak menentukan nasib sendiri
Berterus terang menghargai privasi
Menjaga rahasia pasien
Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan
Sabar menunggu keputusan pasien dalam kasus non-emergency
Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
Tidak mengintervensi atau menghalagi autonomy pasien
Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan,
termasuk keluarga pasien sendiri
Melaksanakan informed consent dan informed refusal
Informed consent adalah proses komunikasi antara pasien dan dokter, dimulai
dari pemberian informasi kepada pasien, pasien memahaminya dan pasien
memutuskan persetujuannya. Sedangkan informed refusal merupakan pernyataan
bahwa pasien menolak untuk dilakukan perawatan oleh dokter tersebut.
Sedangkan aturan turunannya adalah
5. Veracity (berbicara jujur, benar dan terbuka)
6. Privacy (menghormati hak pribadi pasien)
7. Convidentiality (menjaga kerahasiaan pasien)
8. Fidelity (Loyalitas dan promise keeping)
9. Gratitude (rasa terima kasih)
10. Reparation (Masalah kompensasi atau ganti rugi)
9
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas, yang harus dijalankan pedoman
dalam mengambil keputusan klinis, Profesionalitas kedokteran juga mengenal etika
profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai dalam etika profesi
tercermin dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah berisi “Kontak
Moral” antara dokter dengan Tuhan sang Penciptanya, sedangkan kode etik
kedokteran berisikan “Kontrak Kewajiban Moral” antara dokter dan komunitasnya
yaitu masyarakat profesinya. Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran
berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat pada para dokter. Meskipun
kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan
terhadap hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi “Pimpinan” dari
kewajiban dalam hukum kedokteran.
1. Keselamatan Pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman,
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjainya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
2. Insiden Keselamatan pasien yang selanjutnya disebut Insiden, adalah setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien.
10
WHO-ICPS, 2009
Keselamatan Pasien: pengurangan risiko bahaya yang tidak perlu yang terkait dengan
perawatan kesehatan ke minimum yang dapat diterima.
11
MATERI 01
KONSEP DASAR KESELAMATAN PASIEN
12
TUJUAN PENERAPAN KESELAMATAN PASIEN
Tujuan “Patient safety” (Depkes RI, 2008) adalah :
Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
Menurunnya KTD di RS
Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
KTD
13
Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien yang meliputi:
Hak pasien;
Mendidik pasien dan keluarga;
Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;
Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien;
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien;
Mendidik staf tentang keselamatan pasien; dan
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
14
ASPEK HUKUM TERHADAP KESELAMATAN PASIEN
Aspek hukum terhadap “Patient Safety” atau keselamatan pasien adalah
sebagai berikut (UU Tentang Kesehatan & UU Tentang Rumah Sakit dalam komalawati
& Veronika, 2010):
15
Pasal 45 (2) UU no. 44/2009
“Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.”
D. Hak Pasien
Pasal 32d UU No. 44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”
16
KEBIJAKAN PENDUKUNG KESELAMATAN PASIEN
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011
tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
Menteri membentuk Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit untuk
meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan rumah sakit.
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit merupakan organisasi
nonstuktural dan independen dibawah koordinasi direktorat jenderal yang
membidangi rumah sakit, serta bertanggung jawab kepada Menteri.
Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS)
yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan
pasien.
TKPRS sebagaimana dimaksud bertanggung jawab kepada kepala rumah sakit.
Keanggotaan TKPRS sebagaimana dimaksud terdiri dari manajemen rumah sakit
dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit.
TKPRS melaksanakan tugas:
1. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan
kekhususan rumah sakit tersebut;
2. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien
rumah sakit;
3. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi,
pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan
(implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit;
4. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk
melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit;
5. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta
mengembangkan solusi untuk pembelajaran;
6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam
rangka pengambilan kebijakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit; dan
7. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.
17
KEBIJAKAN KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT
a. Rumah Sakit Wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien
b. Rumah Sakit Wajib menerapkan standar keselamatan pasien RS
c. Rumah Sakit Wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan pasien
d. Evaluasi pelaksanaan keselamatan RS dilakukan melalui program akreditasi RS
18
MATERI 02
SASARAN KESELAMATAN PASIEN
19
TUJUAN SASARAN KESELAMATAN PASIEN
Tujuan sasaran keselamatan pasien rumah sakit bertujuan :
a. Mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien
b. Menyoroti bidang bermasalah dalam pelayanan kesehatan & menawar solusi
consensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini
c. Desain sistem yang baik adalah fondasi pemberian pelayanan kesehatan yang
bermutu tinggi dan aman
d. Fokus pada solusi-solusi sistem yang menyeluruh
e. Sasaran keselamatan pasien RS terdapat dalam Standar Akreditasi RS (Tahun 2012)
Elemen Penilaian :
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua cara identifikasi pasien nama, tanggal lahir /
nomor rekam medic, tidak termasuk nomor bed atau lokasi kamar pasien.
20
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, tranfusi darah, atau produk darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis.
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan invasi.
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan proses yang konsisten pada semua situasi
dan lokasi.
21
Informasi yang Saat mereka mempersiapkan prosedurnya,
atau tidak tepat tempat tidur ICU telah disediakan untuk pasien.
yang diperlukan
22
tujuannya tidak mendiskusikan apakan es itu dibutuhkan
jelas, tidak tercapai dibaskom yang mereka siapkan untuk hati. Tak
atau tidak pantas ada yang tahu. Tujuan komunikasi ini untuk
diartikulasikan
Elemen Penilaian:
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil tes dituliskan
secara lengkap oleh penerima perintah
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara
lengkap oleh penerima perintah
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau hasil
percobaan
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan proses yang konsisten pada verifikasi akurasi
komunikasi lisan atau melaui telpon
23
2. Sesuai resep dengan masing-masig pasien, faktor yang perlu dipertimbangkan
meliputi alergi, kehamilan, menyusui, co-morbiditas, lainnya obat yang mungkin
dikonsumsi pasien, dan ukuran dan berat pasien.
3. Pelajari dan praktikkan riwayat pengobatan lengkap
Riwayat pengobatan harus dilakukan dengan peresepan secara professional oleh
petugas kesehatan dan apoteker.
4. Ketahui obat mana yang digunakan di daerah anda terkait dengan risiko tinggi yang
merugikan
5. Ketahuilah obat yang anda resepkan
Jangan pernah meresepkan obat yang anda tidak ketahui. Mengetahui dengan baik
obat-obatan yang sering digunakan, termasuk farmakologi, indikasi, kontraindikasi,
efek, tindakan pencegahan khusus, dosis dan rejimen yang dianjurkan untuk
pengobatan ini.
6. Gunakan alat bantu memori
Contoh alat bantu memori termasuk buku teks seukuran saku, pharmacopoeias,
dan teknologi informasi, seperti perangkat lunak komputer (decision/ dispensing
support) paket dan digital asisten.
7. Berkomunikasi engan jelas
Jelas, komunikasi yang tidak ambigu membantu meminimalkan asumsi yang dapat
menyebabkan kesalahan diantara tim perawatan kesehatan. Saat berkomunikasi
tentang obat, jelaskan dengan jelas oleh dokter dan apoteker kepada pasien.
8. Mengembangkan kebiasaan pengecekan
Pemeriksaan harus menjadi bagian penting dalam pemberian resep, pemberian
dan pemberian obat-obatan terlarang. Profesioanl kesehatan bertanggung jawab
atas setiap resep yang mereka tulis dan setiap obat ditiadakan atau
diadministrasikan. Periksa 5 RS dan untuk alergi. Obat berisiko tinggi dan situasi
membutuhkan kewaspadaan ekstra dengan pengecekan dan pengecekan ganda,
misalnya saat obat darurat digunakan untuk merawat pasien yang sakit kritis.
Double-checking sendiri dan tindakan rekan kerja berkontribusi pada kerja tim yang
24
baik dan memberikan perlindungan tambahan. Resep yang terkomputerisasi tidak
menghilangkan kebutuhan untuk pengecekan. Sistem komputerisasi memecahkan
beberapa masalah (misalnya tulisan tangan yang tiak terbaca, kebingungan seputar
nama generik dan dagang, mengenali interaksi obat), tapi juga menghadirkan
serangkaian tantangan baru. Pasien harus didorong untuk terlibat aktif dalam
perawatan dan pengobatan mereka sendiri. Mereka harus dididik tentang
pengobatan dan berkontribusi secara signifikan meningkatkan keamanan
penggunaan obat.
9. Melaporkan dan belajar dari pengobatan
Kapan pun kejadian obat terlarang atau hampir hilang, ada kesempatan untuk
belajar dan memperbaiki perawatan. Pelaporan kesalahan difasilitasi saat
kepercayaan dan penghargaan telah tercapai antara professional perawatan
kesehatan. Misalnya, apoteker lebih cenderung dilaporkan dan dijelaskan
kesalahan yang hampir salah saat resep dokter terbuka untuk mendengarkan
penjelaskan.
Elemen penilaian :
a. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses mengidentifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label dan penyimpanan elektrolit konsentrat
b. Implementasi kebijakan dan prosedur
Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan
secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pengadministrasian yang
kurang hati-hati pada area dimana sesuai kebijakan elektrolit konsentrat yang
ditempatkan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas sekali, dan
disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).
25
Sasaran IV: Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi (Standar
SKP.IV.)
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat-lokasi,
tepat-prosedur, dan tepat-pasien.
Proses verifikasi untuk memperbaiki perawatan bedah: pedoman, protokol dan
daftar periksa
Proses verifikasi memastikan bahwa prosedur yang benar dilakukan pada
pasien yang tepat. Sisi kanan, situs dan organ yang tepat. Metode yang efektif ada,
seperti panduan berbasis bukti, protokol atau daftar periksa, untuk mendukung
penyedia layanan kesehatan mencapai perawatan yang lebih aman. Alat berbasis bukti
ini sering terjadi dikembangkan oleh kelompok ahli multididplin dengan menggunakan
bukti terbaru.
Daftar periksa WHO adalah alat praktis yang dapat digunakan oleh tim bedah
manapun untuk memastikan bahwa langkah pra operasi, intraoperatif dan pasca
operasi yang telah terbukti bermanfaat bagi pasien dilakukan secara tepat waktu dan
efisien. Ini mengikuti kerangka kerja yang mapan untuk perawatan intraoperatif yang
aman di rumah sakit
Ini melibatkan urutan kejadian rutin – evalusi pasien pra operasi, intervensi
bedah dan persiapan untuk perawatan pasca operasi yang tepat masing-masing
dengan risiko spesifik yang harus dikurangi. Dalam fase pra operasi melakukan
informed consent, mengkonfirmasi identitas pasien, lokasi operasi dan prosedur yang
harus dilakukan, memeriksa keamanan mesin anestesi dan obat-obatan dan persiapan
yang memadai untuk kejadian intraoperatif semuanya harus dilakukan. Selama operasi
fase penggunaan antibiotik yang tepat dan bijaksana, tepat pemantauan pasien, kerja
tim yang efisien, anestesi kompeten dan penilaian bedah, teliti teknik bedah dan
komunikasi yang efisien antar anggota tim dari berbagai disiplin ilmu (operasi, anestesi
dan keperawatan) semuanya diperlukan untuk memastikan hasil yang baik. Pada fase
postoperatif yang jelas rencana perawatan. pemahaman tentang kejadian intraoperatif
26
dan komitmen terhadap peningkatan kualitas bisa semua perawatan bedah muka,
sehingga meningkatkan keselamatan pasien dan meningkatkan hasil.
Elemen penilaian:
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi
lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi
saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen
serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum
insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/ tindakan pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam
untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien, termasuk
prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.
27
3. Perangkat medis berlabel “untuk penggunaan tunggal”
Perangkat berlabel “untuk penggunaan tunggal” dirancang oleh produsen untuk
tidak digunakan kembali. Misalnya, jarum suntik sekali pakai tidak boleh digunakan
kembali karena riiko infeksi sangat tinggi. Perangkat suntik steril dan single-use
termasuk jarum suntik steril, jarum suntik auto-disable untuk tujuan imunisasi,
jarum suntik dengan fitur pencegahan penggunaan kembali untuk tujuan umum,
dan jarum suntik (misalnya jarum suntik pengaman) untuk tujuan umum.
4. Kebersihan tangan
Kebersihan tangan adalah satu-satunya intervensi penting yang dapat dilakukan
petugas layanan kesehatan untuk mencegah HCAI. Indikasi kebersihan tangan
timbul setiap saat ada kemungkinan mikroorganisme berpindah dari satu kulit atau
permukaan ke permukaan lainnya.
Menurut WHO tentang “My 5 Moments for Hand Hygiene” adalah
1. Sebelum menyentuh pasien
2. Sebelum prosedur bersih / aseptic
3. Setelah resiko terpapar cairan tubuh
4. Setelah menyentuh pasien
5. Setelah menyentuh lingkungan pasien
28
Menggosok tangan atau mencuci tangan
Menggosok tangan menggunakan handrub berbasis alkohol adalah
metode yang paling disukai dalam kebanyakan situasi klinis rutin, karena alkohol
bertindak lebih cepat daripada sabun, untuk menonaktifkan mikroorganisme,
efeknya berlangsung lebih lama dan prosedur pembersihan memerlukan sedikit
waktu untuk melakukan.
Pada penggunaan berulang-ulang di rangkaian layanan kesehatan,
pengeringan dan scaling kulit kurang jika formulasi handrubs yang benar
digunakan.
Handrubbing lebih mudah dilakukan pada titik perawatan karena tidak
tergantung pada tersedianya air bersih dan sabun. Ada situasi khusus dimana
mencuci tangan direkomendasikan.
29
Pedoman WHO tentang kebersihan tangan dalam perawatan kesehatan
Rekomendasi dalam pedoman WHO tentang Kebersihan Tangan dalam
Perawatan Kesehatan adalah:
Sebelum kerja klinis rutin dimulai, lepaskan semua pergelangan tangan dan
perhiasan tangan dan penutup luka dan lecet dengan dressing tahan air;
Kuku jari harus dijaga pendek dan kuku palsu tidak boleh dipakai;
Cuci tangan dengan sabun dan air setiap kali kotor dengan darah atau cairan
tubuh lainnya dan setelah menggunakan toilet;
Bila terpapar pathogen pembentuk spora ber[otensi dicurigai / terbukti, dan
selama wabah Clostridium difficile, cuci tangan dengan sabun dan air lebih
diutamakan;
Gunakan handrub berbasis alcohol sebagai alat yang disukai untuk antisepsis
tangan rutin saat tangan tidak kotor;
Jika handrup berbasis alcohol tidak tersedia, cuci tangan dengan sabun dan
air.
30
Lepaskan sarung tangan setelah merawat pasien. Jangan memakai sarung
tangan yang sama untuk merawat lebih dari satu pasien.
Saat mengenakan sarung tangan, ganti atau lepaskan sarung tangan
selama perawatan pasien jika berpindah dari tempat tubuh lain
(termasuk kulit tidak utuh, selaput lender atau alat medis) di dalam
pasien atau lingkungan yang sama
Penggunaan kembali sarung tangan tidak dianjurkan. Dalam kasus
penggunaan ulang sarung tangan, terapkan metode daur ulang teraman.
Elemen Penilaian:
a. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
yang baru diterbitkan dan diterima secara umum (al. dari WHO Patient
Safety)
b. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif
31
c. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mendukung
pengurangan berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan
kesehatan
32
Elemen Penilaian:
a. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien tehadap risiko
jatuh dan asesmen ulang pasien dengan indikasi perubahan kondisi, obat,
dll.
b. Langkah-langkah diterapkan untuk menguragi risiko jatuh bagi mereka yang
pada asesmen dianggap rawan jatuh.
c. Langkah tersebut dimonitor hasilnya, terhadap keberhasilan frekuaensi
jatuh, kejadian terkait yang tidak diharapkan.
d. Kebijakan dan /atau prosedur dikembangkan untuk mendukung
pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
33
MATERI 03
INSIDEN KESELAMATAN PASIEN (IKP) DAN PELAPORAN IKP
34
Data Insiden Keselamatan Pasien di rumah sakit tempat studi pasca
akreditasi pada periode bulan Januari sampai dengan September 2013 tercatat
sebanyak 76 insiden yang terdiri dari kejadian tidak diharapkan/ KTD (8%), kejadian
nyaris cedera/ KNC (1%) serta kejadian tidak cedera / KTC (91%).
35
pada pasien karena suatu tindakan (“commission”) atau karena bertindak
(“omission”), bukam karena “underlying disease” atau kondisi pasien.
Setelah keempat jenis insiden di atas dapat dimengerti, maka ada satu
kejadian lagi yang sangat fatal dan penting untuk dilaporkan dalam
keselamatan pasien yaitu kejadian sentinel (sentinel event) yang artinya suatu
kejadian tidak diharapkan – KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
yang serius, ataupun kematian yang tidak terantisipasi, yang tidak ada kaitannya
dengan perjalanan penyakitnya atau kondisi yang mendasari. Biasanya dipakai
untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat diterima seperti
operasi pada bagian tubuh yang salah. Salah prosedur operasi dan salah pasien
yang akan dioperasi. Kehilangan permanen fungsi utama yang tidak ada
kaitannya dengan perjalanan penyakitnya atau kondisi yang mendasari ataupun
bayi tertukar atau bayi yang dipulangkan dengan orang tua yang salah.
36
JENIS PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN (IKP)
a. Laporan insiden keselamatan pasien RS (internal) pelaporan secara tertulis setiap
kejadian nyaris cedera (KNC) atau kejadian tidak diharapkan (KTD) atau kejadian
tidak cedera (KTC) atau kondisi potensial cedera (KPC) yang menimpa pasien.
Setiap insiden dilaporkan secara internal kepada TKPRS (Tim Keselamatan Pasien
Rumah Sakit) dalam waktu paling lambat 2x24 jam sesuai format laporan yang ada.
TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden
yang dilaporkan. TKPRS melaporkan hasil kegiatannya kepada rumah sakit.
b. Laporan insiden keselamatan pasien KKPRS (Eksternal) : pelaporan secara anonim
secara elektronik ke KKPRS setiap kejadian tidak diharapkan (KTD) atau kejadian
nyaris cedera (KNC) atau kejadian tidak cedera (KTC) atau sentinel event yang
terjadi pada pasien, setelah dilakukan analisa penyebab, rekomendasi dan
solusinya.
Rumah sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit. Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan
pengkajian dan memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan secara
nasional (Permenkes 1691/Menkes/Per/VIII/2011).
37
c. Didapatkannya pembelajaran untuk perbaikan asuhan kepada pasien agar
dapat mencegah kejadian yang sama di kemudian hari.
2. KKPRS (Eksternal)
a. Diperolehnya data / peta nasional angka insiden keselamatan pasien (KTD, KNC,
KTC)
b. Diperolehnya pembelajaran untuk meningkatkan mutu pelayanan dan
keselamatan pasien bagi rumah sakit lain.
c. Ditetapkannya langkah-langkah praktis Keselamatan Pasien untuk rumah sakit
di Indonesia.
38
3. Grade kuning: Investigasi komprehensif/ Analisis akar masalah/ RCA oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45hari
4. Grade merah: Investigasi komprehensif/ Analisis akar masalah/ RCA oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45hari
f. Setelah selesai melakukan investigasi sederhan, laporan hasil investigasi dan
laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
g. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil investigasi lanjutan (RCA) dengan
melakukan Regrading.
h. Untuk grade Kuning/ Merah, Tim KP di RS akan melakukan analisis akar masalah/
RooT Cause Analysis (RCA)
i. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan Rekomendasi
untuk perbaikan serta “Pembelajaran” berupa: Petunjuk/ “Safety alert” untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
j. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi
k. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada
unit kerja terkait serta sosialisai kepada seluruh unit di Rumah Sakit
l. Unit kerja membuat analisa kejadian di satuan kerjanya masing-masing
m. Monitoring dan evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.
39
ANALISIS MATRIKS GRADING RISIKO
Penilaian matriks risiko adalah suatu metode analisis kualitatif untuk
menentukan derajat risiko suatu insiden berdasarkan Dampak dan
Probabilitasnya.
a. Dampak (Consequences)
Penilaian dampak/ akibat suatu indsiden adalah seberapa berat akibat yang
dialami pasien mulai dari tidak ada cedera sampai meninggal (tabel 1).
b. Probabilitas/ Frekuensi/ Likelihood
Penilaian tingkat probabilitas / frekuensi risiko adalah seberapa seringnya
insiden tersebut terjadi (tabel 2).
TINGKA
DESKRIPSI DAMPAK
T RISIKO
1 Insignifikan Tidak ada cedera
40
Tabel 2. Penilaian Probabilitas/ Frekuensi
SKOR RISIKO
SKOR RISIKO = Dampak x Probabilitas
Cara menghitung skor risiko
Untuk menentukan skor risiko digunakan matriks grading risiko (tabel 3)
1. Tetapkan frekuensi pada kolom kiri
2. Tetapkan dampak pada baris ke arah kanan
3. Tetapkan warna bandsnya, berdasarkan pertemuan antara frekuensi dan
dampak
BAND RISIKO
Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat warna yaitu:
Biru, Hijau, Kuning dan Merah. Warna “bands” akan menentukan investigasi
yang akan dilakukan : (tabel 3)
1. Bands BIRU dan HIJAU; investigasi sederhana
2. Bands KUNING dan MERAH; Investigasi Komprehensif / RCA
41
Tabel 3. Matrik Grading Risiko
42
Tabel 4. Tindakan Sesuai Tingkat dan Brand Risiko
43
MATERI 04.
BUDAYA KESELAMATAN PASIEN
44
karyawan, manajemen, pasien atau anggota masyarakat lainnya Kohn (2000)
dalam Hamdani (2007).
45
pembinaan berkesinambungan baik melalui sosialisasi maupun kegiatan-kegiatan
ilmiah. Informed Culture yang dipelihara akan menciptakan learning culture.
Reporting Culture dibangun dengan menunjukkan champion atau duta
keselamatan pasien dalam tim anestesi yang telah dibekali dengan pengetahuan
terkait pelaporan, sehingga dengan demikian setiap pelaporan dapat ditriger oleh
champion dan lama kelamaan akan menjadi suatu keharusan. Meskipun demikian
tetap saja dalam hal ini semua orang harus komitmen pada Trust Culture sehingga
sistem pelaporan tidak dianggap sebagai suatu kesalahan yang identik dengan
hukuman (no blame culture)
e. Just Culture dapat mengantisipasi terjadinya human error, mengenalinya sebelum
terjadi perburukan lebih lanjut, serta melakukan perbaikan sebagai konsekuensi
human error yang membahayakan pasien. Sistem harus dirancang untuk
membantu setiap petugas kesehatan dalam membuat keputusan dengan baik,
serta mendukung terlaksananya tugas dengan aman dan benar. Just Culture
membantu organisasi untuk mengabaikan peristiwa, hasil dan kesalahan personal
dan lebih fokus pada pemahaman risiko kerja, perancangan sistem, dan
pengelolaan pilihan perilaku. Budaya ini melihat kesalahan dan hasil sebagai
produk yang harus diawasi saat mempertimbangkan perancangan sistem dan
pilihan perilaku sebagai masukan yang harus dikelola.
“Seseorang dapat tidak sengaja membuat kesalahan, yang menyebabkan
kecelakaan. Kecelakaan dapat menyebabkan kematian. Biasanya orang-orang yang
terlibat akan disalahkan. Apakah jika kita mencari tahu siapa yang membuat
kesalahan dan menghukum mereka, masalah akan terselesaikan? Salah. Suatu
kesalahan yang tidak disengaja jarang sekali semata-mata karena kesalahan
individu; melainkan kesalahan sistem. Menghukum individu tanpa mengubah
sistem menyebabkan masalahnya akan terus berlanjut.”-Don Norman, Apple
Fellow
46
“hambatan terbesar untuk pencegahan terjadinya error di industri medis adalah
kita menghukum seseorang atas kesalahan yang dilakukannya.” –Lucian Leape,
Harvard School of Public health
“melalui Just Culture, kita mulai dapat melihat, memahami dan mengurangi risiko
kerja didalam sistem layanan kesehatan.” –David Marx, Outcome Engineering
47
Apa yang dimaksud dengan Just Culture?
1. Pada dasarnya budaya pelayanan kesehatan menuntut pertanggungjawaban
individu yang merawat pasien atas semua kesalahan atau kecelakaan yang
menimpa pasien
2. Just Culture mengakui bahwa praktisi individual tidak boleh diberikan sanksi
apabila terjadi kesalahan akibat kegagalan sistem yang tidak dapat
dikendalikan.
3. Just Cultur juga dapat digunakan untuk memprediksi kesalahan akibat interaksi
antara operator manusia dan sistem yang diterapkan di tempat kerja, serta
menyadari bahwa seorang ahli yang kompeten pun dapat membuat kesalahan.
4. Menyadari bahwa bahkan seorang ahli yang kompeten pun dapat membuat
norma-perilaku sendiri (jalan pintas, “pelanggaran kebiasaan rutin”).
5. Just Culture tidak memiliki toleransi terhadap kecerobohan.
48
Human Error terjadi ketika seeorang melakukan sesuatu kesalahan yang tidak
disengaja, terlompati ataupun terlupa. Dalam beberapa kasus, sistem yang
diterapkanlah yang dapat membuat individu gagal dalam melakukan pekerjaan.
Oleh karena itu, sistem harus diubah. Just Culture, memandang kesalahan ini
sebagai produk perancangan sistem yang salah.
At Risk Behavior
Perilaku beresiko merupakan tindakan yang meningkatkan risiko tidak diinginkan,
dimana seseorang yang melakukannya meyakini tindakan tersebut tidak dapat
dibenarkan. Umumnya, perilaku berisiko berawal keberanian seseorang untuk
melakukan pekerjaan yang menantang. Perilaku ini dapat ditangani dengan
melakukan konseling kepada individu untuk menyadari risiko tersebut dengan
mengidentifikasi dan memperbaiki masalah sistem dan membuat peraturan
khusus.
Reckless Behavior
Perilaku ceroboh dilakukan dimana individu mengenali risiko tingkah lakunya
namun secara sadar mengabaikan risiko tersebut, yang menimbulkan banyak
masalah kerugian. Tindakan ini jelas tidak dapat dibenarkan. Perilaku contoh ini
harus ditangani dengan sanksi disipliner.
49
c. Budaya keselamatan di layanan kesehatan juga digaris-bawahi oleh laporan-
laporan dari WHO (World Health Organization) (2006)
d. Komite untuk Healthcare Quality Control di Amerika meluncurkan Hospital
Survey on Patient Safety Culture (HSPSC). HSPSC merupakan survey bagi
seluruh pegawai/ staf di RS yang didesain untuk menilai Budaya Keselamatan
Pasien di institusinya. Sejak saat itu >100 RS telah melakukan survey.
50
PENGUKURAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN
Salah satu upaya membangun budaya KP oleh JCAHO (Joint
Commission on Accreditation of Healthcare Organization) di Amerika, sejak
tahun 2007 mendapatkan pengukuran/ penilaian tahunan terhadap budaya
keselamatan sebagai target KP; NPSA (National Patient Safety Agency) di
Inngris mencatumkan budaya keselamatan sebagai langkah pertama dari
“Seven Steps to Patient Safety” (Phillips, 2005). Pentingnya budaya
keselamatan di layanan kesehatan juga digaris-bawahi oleh laporan-laporan
dari WHO (World Health Organization) (2006), European Comission (2005)
dan The Counsil of Europe (2006) (Hartman, 2008).
Budaya keselamatan dibangun oleh berbagai faktor (dimensi), dan
berbagai peneliti mencoba mengidentifikasi dimensi-dimensi tersebut.
Penelitian Gershon et al. (2000) menghasilkan 6 faktor/ dimensi
diantaranya adalah dukungan manajemen, umpan balik/ pelatihan, minimal
konflik/ komunikasi yang baik, dst. Survey tentang budaya keselamatan
pasien yang sering digunakan sebagai acuan di berbagai Negara karena
mempunyai sifat psikometris yang terbaik dan dirancang untuk seluruh
pekerja RS adalah yang dilakukan oleh Sorra & Nieva (2004), yaitu Hospital
Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC), yang mempunyai 12 dimensi
budaya keselamatan dan 2 dimensi outcome.
Pengukuran budaya keselamatan pasien juga dilakukan terhadap
klinisi anestesi sebagai bagian dari petugas kesehatan yang erat
hubungannya dengan pemberian pelayanan khususnya dalam pelaksanaan
Surgical Patient Safety. Pengukuran dalam bentuk survey budaya
keselamatan pasien dapat dilakukan berdasarkan elemen yang
dikembangkan oleh Agency of Healthcare Research and Quality (AHRQ).
51
AHRQ menilai budaya keselamatan pasien melalui 3 aspek dibagi ke
dalam 12 dimensi;
1. Tingkat unit; Supervisor/ Manager action promoting safety,
Organization learning, kerjasama dalam unit RS, komunikasi terbuka,
umpan balik dan komunikasi mengenai kesalahan, respon tidak
menyalahkan terhadap kesalahan dan staffing
2. Tingkat rumah sakit; dukungan manajemen terhadap upaya
keselamatan pasien di RS, kerjasama dalam unit di RS, Handsoff/
Transfer pasien
3. Keluaran/ Outcome; persepsi keseluruhan staf di RS terkit keselamatan
pasien, frekuensi pelaporan kejadian
52
PERILAKU LEADER/ TIM DALAM MEMBANGUN BUDAYA KESELAMATAN
PASIEN
Beberapa hal terkait kepemimpinan, seperti yang telah dibahas
sebelumnya dimana ketika seorang klinisi anestesi juga menjadi supervisor atau
leader dalam tim keselamatan pasien, maka beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranyaberperan serta dalam mengkomunikasikan visi-visi KP
dengan jelas, mendorong setiap staf mencapai visi, aktif melakukan upaya
pengembangan KP, memberikan contoh-contoh sikap menjunjung KP, lebih
fokus kepada isu dibandingkan kesalahan individu, melakukan riset secara
kontinyu dalam upaya perbaikan, mendorong setiap orang bertanggung jawab
terhadap KP, mengutamakan KP dalam bekerja sebagai bentuk pengabdian
pada sesama, menghindari tindakan yang sembarangan dan tidak sesuai SOP,
menghargai setiap bentuk upaya menjunjung tinggi KP; pelaporan, penyelesaian
masalah, memberi kesempatan belajar dari setiap kesalahan serta turut serta
aktif dalam memelihara sistem KP yang efektif.
53
MATERI 05
KESELAMATAN PASIEN DALAM
PELAYANAN ANESTESI DAN BEDAH (PAB)
PERSIAPAN PREOPERATIF
Diketahui bahwa ada hubungan antara penyakit ko-morbid pasien dengan masalah
yang terjadi selama perioperatif. Dilaporkan 50% kejadian serius saat intraoperatif
yang disebabkan karena penyakit penyerta pasien. Telah terbukti evaluasi dan
penatalaksanaan preoperatif yang kurang adekuat berkontribusi pada 38-42% kejadian
mortalitas, sehingga asesmen preoperatif perlu dilakukan.
54
Kegiatan pada waktu preoperatif berupa melakukan wawancara sekaligus konseling
pada pasien (effective communication) serta memastik penyakit penyerta pasien sudah
ditangani dengan baik sebelum operasi.
55
5. Peserta memahami tentang penerapan Sasaran Keselamatan Pasien III,
peningkatan kewasapadaan obat dalam hubungannya dengan PAB.
56
a. Maksud dan Tujuan PAB. 1
Rumah sakit mempunyai sistem untuk menyediakan pelayanan anestesi
(termasuk sedasi moderat dan dalam) yang dibutuhkan pasien, yang
dibutuhkan dalam pelayanan klinis dan kebutuhan pelayanan kesehatan.
Pelayanan anestesi memenuhi standar di rumah sakit, nasional, juga
undang-undang dan peraturan.
Pelayanan anestesi, termasuk untuk kedaruratan, dapat diberikan
dalam rumah sakit, dengan kerjasama/ persetujuan dengan organisasi lain.
Pelayanan anestesi juga tersedia setelah jam kerja untuk keperluan
kedaruratan.
Setiap penggunaan anesthesia dari sumber luar didasarkan atas
persetujuan direktur dan orang lain yang bertanggung jawab terhadap
anestesi. Sumber luar memenuhi undang-undang dan peraturan yang
berlaku serta dengan mutu yang dapat diterima serta keselamatan pasien
yang memadai.
57
Standar PAB.2
Seorang individu yang berkualifikasi memadai (qualified) bertanggung jawab untuk
pengelolaan pelayanan anestesi
a. Maksud dan Tujuan PAB.2
Pelayanan anestesi dibawah kepemimpinan satu orang atau lebih yang
memenuhi kualifikasi memadai, melalui pelatihan bersertifikat, keahlian dan
pengalaman, konsisten dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku, serta
bertanggungjawab professional untuk pelayanan anestesi yang meliputi:
1. Pengembangan, implementasi dan memelihara/ menegakkan (maintaining)
kebijakan dan prosedur
2. Pengawasan administrative
3. Memelihara/ mempertahankan program pengendalian mutu yang penting
4. Merekomendasikan sumber luar untuk pelayanan anestesi (termasuk moderat
dan dalam)
5. Memantau dan menelaah seluruh pelayanan anestesi (termasuk moderat dan
dalam)
58
5. Tanggung jawab termasuk memantau dan menelaah seluruh pelayanan
anestesi (termasuk moderat dan dalam) ditetapkan dan dilaksanakan
B. PELAYANAN SEDASI
Standar PAB.3
Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelayanan pasien untuk sedasi moderat dan
dalam
a. Maksud dan TujuanPAB.3
Sedasi, secara khusus, sedasi yang moderat maupun dalam, memiliki risiko
terhadap pasien, karenanya perlu dilengkapi dengan definisi, kebijakan serta
prosedur yang jelas. Derajat sedasi terjadi dalam suatu kontinuum, seorang pasien
dapat bergerak dari satu derajat tertentu ke derajat yang lain, berdasarkan
medikasi yang diberikan, rute dan dosisnya. Pertimbangan penting mencakup
kemampuan pasien untuk mempertahankan refleks protetktif; saluran pernafasan
yang paten-indpenden-berkesinambungan; dan berespon terhadap stimulasi fisik
atau instruksi lisan.
59
Hal lain yang juga penting adalah kualifikasi para dokter, dokter gigi atau semua
individu yang berkualifikasi memadai dan bertanggungjawab atas pasien yang
menerima sedasi moderat maupun dalam.
a. Teknik berbagai modus sedasi;
b. Monitoring yang tepat;
c. Respons terhadap komplikasi;
d. Penggunaan zat reversal; dan
e. Sekurang-kurangnya bantuan hidup dasar.
60
3. Harus ada asesmen prasedasi, sesuai kebijakan rumah sakit, untuk
mengevaluasi risiko dan ketepatan sedasi bagi pasien. Petugas berkualifikasi
memadai, dan yang bertanggung jawab untuk sedasi, harus memenuhi
kualifikasi sekurang-kurangnya untuk elemen g) sampai dengan k) tersebut
diatas
4. Seorang petugas berkualifikasi memadai memonitor pasien selama sedasi dan
periode recovery dari sedasi dan mencatat semua pemantauan.
5. Semua tindakan didokumentasi kriteria untuk pemulihan dan discharge dari
sedasi.
6. Sedasi moderat dan dalam diberikan sesuai kebijakan rumah sakit
C. PELAYANAN ANESTESI
Standar PAB.4
Petugas berkulifikasi memadai menyelenggarakan asesmen pra anestesi dan asesmen
pra induksi.
a. Maksud dan Tujuan PAB.4
Berhubung anestesi membawa risiko tinggi, maka pemberian layanannya harus
direncanakan dengan seksama. Asesmen pra anestesi pasien merupakan basis
untuk perencanaan tersebut dan untuk penggunaan analgesia pasca operatif.
Asesmen pra anestesi memberikan informasi yang diperlukan bagi:
1. Pemilihan pelayanan anestesi dan merencanakan anestesi;
2. Pemberian layanan anestesi yang aman dan tepat; dan
3. Penafsiran temuan pada monitoring pasien.
Seorang spesialis anestesi atau petugas lain berkualifikasi memadai
menjalankan asesmen pra anesetesi.
Proses asesmen pra anestesi dijalankan dalam kerangka waktu yang lebih
singkat pada pasien emergensi atau obstetri yang membutuhkan anestesi.
Sebagaimana asesmen pra anestesi dikerjakan sebelum prosedur pembedahan,
pasien dire-evaluasi sesaat sebelum induksi anestesi.
61
Asesmen pra induksi terpisah dari asesmen pra anestesi, karena fokus pada
stabilitas fisiologis dan kesiapan pasien untuk anestesi dan terjadi segera sebelum
induksi anesthesia. Bila anestesi yang harus diberikan pada keadaan darurat
asesmen pra anestesi dan asesmen pra induksi dapat segera dilaksanakan secara
berurutan atau secara serempak tetapi didokumentasikan secara independen.
Standar PAB.5
Pelayanan anesthesia pada pasien direncanakan dan didokumentasikan direkam medis
pasien.
a. Maksud dan Tujuan PAB.5
Pelayanan anestesi direncanakan secara seksama dan didokumnetasikan
dalam catatan anestesi. Perencanaan mempertimbangkan informasi dari asesmen
pasien lain dan mengidentifikasi anestesi yang akan digunakan, termasuk metode
pemberiannya, pemberian medikasi dan cairan lain, serta mengantisipasi
pelayanan pasca anestesi.
62
Standar PAB.5.1
Risiko, manfaat dan alternatif didiskusikan dengan pasien dan keluarganya atau
mereka yang membuat keputusan bagi pasien.
a. Maksud dan Tujuan dari PAB.5.1
Proses perencanaan anestesi mencakup mengedukasi pasien, keluarganya, atau
pembuat keputusan atas risiko, manfaat dan alternatif yang berhubungan dengan
perencaan anestesia dan analgesia pasca operatif. Diskusi ini terjadi sebagai bagian
dari proses untuk memperoleh persetujuan anestesi (termasuk sedasi moderat
dan dalam) sebagaimana diisyaratkan dalam HPK.6.4, EP 2. Seorang anestesiolog
atau petugas berkualifikasi memadai memberikan edukasi ini.
Standar PAB.5.2
Anestesi yang digunakan dan tehnik anestesi ditulis di rekam medis
a. Maksud dan Tujuan PAB.5.2
Anestesi yang digunakan dan teknik anestesi ditulis di rekam medis anestesi pasien
63
Standar PAB.5.3
Selama pemberian anestesi, status fisiologis setiap pasien terus menerus dimonitor
dan dituliskan dalam rekam medis
a. Maksud dan Tujuan PAB.5.3
Monitoring fisiologis memberikan informasi yang dapat diandalkan tentang
status pasien selama pemberian anestesi dan periode pemulihan. Metode
monitoring tergantung pada status pra anestesi pasien, anestesi yang dipilih dan
kompleksitas dari pembedahan atau prosedur lain yang dikerjakan selama
anestesi. Namun demikian, dalam semua kasus, proses monitoring dilakukan terus
menerus dan hasilnya dituliskan ke dalam rekam medis.
Standar PAB.6
Setiap status post anestesi pasien dimonitor dan didokumentasikan dan pasien
dipindahkan dari ruang pemulihan oleh petugas berkualifikasi memadai atau dengan
menggunakan kriteria baku.
a. Maksud dan Tujuan PAB.6
Monitoring selama anestesi adalah dasar dari monitoring selama periode
pemulihan pasca anestesi. Pengumpulan data secara sistematik dan analisis data
terhadap status pasien, mendukung keputusan untuk memindahkan pasien ke
setting pelayanan lain dan yang kurang intensif. Pencatatan data monitoring
merupakan dokumentasi untuk mendukung keputusan untuk memindahkan.
64
Memindahkan dari ruang pulih pasca anestesi memakai salah satu cara
alternatif berikut ini:
a. Pasien dipindahkan oleh seorang anestesiolog yang berkualifikasi memadai
Penuh atau petugas lain yang diberi otoritas oleh petugas yang bertanggung
jawab untuk mengelola pelayanan anestesi
b. Pasien dipindahkan oleh seorang perawat atau seorang petugas yang setaraf
dan berkualifikasi memadai sesuai dengan kritria pasca anestesi yang
dikembangkan oleh pimnpinan rumah sakit dan pemindahan ini
didokumentasikan dalam rekam medis
c. Pasien dipindahkan ke suatu unit yang telah ditetapkan sebagai tempat yang
tepat untuk pelayanan pasca anestesi atau pasca sedasi terhadapa pasien
terntentu, antara lain seperti pada unit pelayanan intensif kardiovaskuler, unit
pelayanan intensif bedah saraf. Waktu tiba dan pemindahan dari ruang pulih
dicatat.
D. PELAYANAN BEDAH
Standar PAB.7
Pelayanan bedah setiap pasien direncanakan dan dikomunikasikan berdasarkan hasil
asesmen.
65
a. Maksud dan Tujuan PAB.7
Karena pembedahan membawa risiko dengan tingkatan yang tinggi, maka
penggunaannya harus direncanakan secara seksama. Asesmen pasien adalah dasar
untuk memilih prosedur yang tepat.
Asesmen memberikan informasi penting terhadap:
a. Pemilihan prosedur yang tepat dan waktu yang optimal
b. Melaksanakan prosedur secara aman; dan
c. Menginterpretasi temuan dalam monitoring pasien
Pemilihan prosedur tergantung pada riwayat pasien, status fisik, dan data
diagnostik termasuk risiko dan manfaat prosedur bagi pasien. Pemilihan prosedur
mempertimbangkan informasi dari asesmen saat masuk rawat inap, tes diagnostic,
dan sumber lain yang tersedia. Proses asesmen dijalankan dalam kerangka waktu
yang lebih singkat bilamana pasien secara darurat membutuhkan pembedahan.
Pelayanan bedah yang direncanakan bagi pasien didokumentasikan dalam
status pasien, termasuk diagnosis pra operatif. Nama dari prosedur bedah saja
tidak bisa untuk menegakkan suatu diagnosis
Standar PAB.7.1
Risiko, manfaat, dan alternatif didiskusikan dengan pasien dan keluarganya atau orang
yang berwenang membuat keputusan bagi pasien.
66
a. Maksud dan Tujuan PAB.7.1
Pasien dan keluarganya atau para pembuat keputusan menerima informasi yang
adekuat untuk berpartisipasi dalam keputusan pemberian pelayanan dan
memberikan persetujuan (informed consent) yang diperlukan dalam HKP.6.4
informasi termasuk:
1. Risiko dari prosedur yang direncanakan;
2. Manfaat prosedur yang direncanakan;
3. Komplikasi yang potensial terjadi; dan
4. Alternatif tindakan bedah dan nonbedah yang tersedia untuk merawat pasien.
Sebagai tindakan tambahan, bila darah atau produk darah mungkin
dibutuhkan, informasi tentang risiko dan alternatif didiskusikan. Dokter bedah
yang bersangkutan atau petugas yang berkualifikasi memadai lain memberikan
informasi ini.
Standar PAB.7.2
Ada laporan operasi atau ringkasannya dalam rekam medis pasien untuk keperluan
pelayanan berkesinambungan.
a. Maksud dan Tujuan PAB.7.2
Pelayanan pasca bedah tergantung pada kejadian dan temuan dalam tindakan
bedah. Jadi, status pasien termasuk diagnosis pasca bedah, deskripsi dari prosedur
bedah dan temuan (termasuk spesimen yang dikirim untuk pemeriksaan) dan
nama ahli bedah dan asisten bedah.
67
Guna mendukung suatu kontinuum dari pelayanan suportif pasca bedah, catatan
operasi atau catatan lainnya tersedia sebelum pasien meninggalkan ruang pulih
pasca anestesi.
Sebelum pasien meninggalkan lokasi pemulihan pasca anestesi, suatu catatan
singkat tindakan bedah digunakan sebagai pengganti laporan tertulis tindakan
bedah. Laporan tertulis atau catatan singkat operasi tersebut minimum memuat:
1. Diagnose pasca operasi;
2. Nama dokter bedah dan asisten;
3. Nama prosedur;
4. Spesimen bedah untuk pemeriksaan;
5. Catatan spesifik komplikasi atau tidak adanya komplikasi selama operasi,
termasuk jumlah kehilangan darah; dan
6. Tanggal, waktu, dan tanda tangan dokter yang bertanggungjawab.
Standar PAB.7.3
Status fisiologis pasien dimonitor terus menerus selama dan segera setelah
pembedahan dan dituliskan dalam status pasien.
Catatan: hal ini akan dinilai bila tindakannya dilakukan dengan anestesi local tanpa
anestesi umum atau regional atau sedasi.
a. Maksud dan Tujuan PAB.7.3
Status fisiologis pasien dimonitor selama pembedahan dan segera
sesudahnya. Monitoring yang tepat mengenai kondisi pasien dan prosedur yang
dijalankan.
68
Hasil monitoring memicu keputusan penting intraoperatif termasuk
keputusan pasca bedah seperti kembali ke pembedahan, pemindahan ke tingkat
asuhan yang lain, atau dipulangkan. Informasi monitoring menjadi pedoman
pelayanan medis dan keperawatan serta mengidentifikasi kebutuhan pelayanan
diagnostik maupun pelayanan lain. Temuan monitoring dimasukkan ke dalam
status pasien. Persyaratan ini berhubungan dengan persayaratan yang sama bagi
monitoring fisiologis selama anestesi. Semua akan diberi nilai hanya bilamana
prosedur dijalankan dibawah seorang anestesi tanpa anestesi umum atau anestesi
regional maupun sedasi.
Standar PAB.7.4
Pelayanan pasien setelah pembedahan direncanakan dan didokumentasikan
a. Maksud dan Tujuan PAB.7.4
Pelayanan medis dan perawatan pasca bedah setiap pasien perlu dibedakan.
Oleh karenanya penting untuk merencanakan pelayanan tersebut, termasuk
tingkatan pelayanan/ asuhan, serta setting pelayanan, pemantauan tindak lanjut
atau pengobatan dan kebutuhan obat. Perencanaan pelayanan pasca bedah dapat
dimulai sebelum pembedahan berdasarkan asesmen kondisi dan kebutuhan
pasien. Pelayanan yang direncanakan didokumentasikan dalam status pasien untuk
memastikan kelanjutan selama periode pemulihan atau rehabilitasi.
69
2. Rencana pasca bedah didokumentasikan di dalam rekam medis oleh ahli bedah
yang bertanggungjawab/ DPJP atau diverifikasi oleh DPJP yang bersangkutan
dengan tanda tangan (co-signature) pada rencana yang didokumentasikan oleh
seorang yang mewakili DPJP.
3. Rencana asuhan keperawatan pasca bedah didokumentasikan pada rekam
medis pasien.
4. Bila ada kebutuhan pasien itu, maka rencana asuhan pasca bedah oleh pihak
lain didokumentasikan dalam rekam medis pasien
5. Rencana pelayanan didokumentasikan dalam rekam medis pasien dalam 24
jam tindakan bedah.
70
Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh
operator/ orang melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan, dan harus terlihat sampai akan disayat.
Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality),
multiple struktur (jari tangan, jari kaki lesi), atau multiple level (tulang belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:
a. Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar
b. Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang
relevan yang tersedia, diberi label dengan baik dan dipampang.
c. Verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/ atau inplant-inplant yang
dibutuhkan.
Tahap “sebelum insisi” (time out) memungkinkan semua pertanyaan atau
kekeliruan diselesaikan. Time Out dilakukan ditempat dimana tindakan akan dilakukan
tepat sbelum tindakan dimulai dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit
menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya
menggunakan checklist.
71
SURGICAL PATIENT SAFETY
1. Keselamatan Pembedahan
Pengawasan pasien berdasarkan surgical patient safety yang dikeluarkan
oleh WHO tanggal 07 Juni 2008, Surgical safety patient diterapkan di bagian
bedah dan anestesi untuk meningkatkan kualitas dan menurunkan kematian
serta komplikasi akibat pembedahan. Tindakan pembedahan memerlukan
persamaan persepsi antara ahli bedah, anestesi, dan perawat.
Surgical patient safety merupakan tiga langkah yang dilakukan tim bedah
terhadap pasien yang akan dioperasi untuk meningkatkan keselamatan pasien
selama prosedur pembedahan, mencegah terjadi kesalahan pasien, lokasi
operasi, prosedur operasi serta mengurangi komplikasi kematian akibat
pembedahan. Keselamatan pembedahan merupakan penjabaran secara jelas
dan rinci dari langkah pemeriksaan keselamatan pasien dalam kampanye WHO,
“Safe Surgery Safe Live”.
72
6. Tim bedah secara konsisten menggunakan metode yang sudah dikenal
untuk meminimalkan adanya risiko infeksi pada lokasi operasi.
7. Tim bedah mencegah terjadinya tertinggalnya sisa kasa dan instrumen pada
luka pembedahan.
8. Tim bedah akan mengidetifikasi secara aman dan akurat spesimen (contoh
bahan) pembedahan.
9. Tim bedah akan berkomunikasi secara efektif dan bertukar informasi
tentang hal-hal penting mengenai pasien untuk melaksanakan pembedahan
yang aman.
10. Rumah sakit dan sistem kesehatan masyarakat akan menetapkan
pengawasan yang rutin dari kapasitas, jumlah dan hasil pembedahan.
Pelaksanaan SIGN IN
A. Lakukan Verifikasi dengan mengisi lembar Check List Keselamatan Pasien
Operasi (sign in) pada saat serah terima pasien dari ruangan di Ruang
penerimaan pasien baru Kamar Operasi meliputi:
73
a. Konfirmasi identifikasi pasien
b. Apakah sudah ada informed consent
c. Tanda lokasi operasi (Site Marking)
d. Mesin anestesi dan obat-obatan apakah sudah lengkap
e. Apakah Pulse Oximetry berjalan dengan baik
f. Apakah pasien memiliki riwayat alergi
g. Apakah ada gangguan pernafasan
h. Apakah ada resiko perdarahan
i. Apakah Hasil Laboratorium, USG, Photo Rongen, MRI dll sudah
dilampirkan
B. Verifikasi dan pengisian check list keselamatan pasien untuk sign in
dilakukan oleh Perawat Anestesi
C. Cantumkan tanda tangan dan nama yang jelas Perawat Anestesi yang
mengisi check list (sign in)
74
C. Cantumkan tanda tangan dan nama yang jelas Perawat Sirkuler yang mengisi
check list (sign in)
Lembar Check List Keselamatan Pasien di Kamar Operasi (SIGN IN, TIME OUT, SIGN
OUT) yang sudah diisi segera ditandatangani, tanggal dan nama yang jelas oleh
Penanggungjawab Kamar Operasi, Dokter Bedah dan Dokter Anestesi, Perawat sirkuler
dan Perawat Anestesi.
75
e. Biasakan mengeja nama obat dengan kategori obat LASA/ NORUM (Look Alike
Sound Alike = Nama Obat Rupa Mirip), saat memberi/ menerima instruksi.
2. Cara Pengenceran Obat yang Perlu Diwaspadai (High Alert) di Ruang Operasi,
ICU, IGD dan ruangan lainnya yang terkait dengan pelayanan anestesi
a. NaCl 3% injeksi intervena diberikan melalui vena sentral dengan kecepatan
infus tidak lebih dari 100 mL/jam
b. Natrium Bicarbonat (Meylon 8.4%) injeksi, harus diencerkan sebelum
digunakan. Untuk penggunaan bolus, diencerkan dengan perbandingan 1 ml
Na. Bicarbonat : 1 mL pelarut water for injection, untuk pemberian bolus
dengan kecepatan maksimum 10mEq/menit. Untuk penggunaan infus drip,
diencerkan dengan perbandingan 0.5 mL NA. Bicarbonat: 1 mL Dextrose 5%,
pemberian drip infus dilakukan dengan kecepatan maksimum 1 mEq/kg
BB/jam.
76
4. Pemberian obat yang perlu diwaspadai (high-alert) ruang di ruang operasi,
ICU, IGD dan ruangan lainnya yang terkait dengan pelayanan anestesi
a. Sebelum perawat memberikan obat high alert kepada pasien maka
perawat lain harus melakukan pemeriksaan kembali (double check)
menerapkan prinsip 8 Benar + 1 Waspada (8B+1W).
b. Obat high alert infus harus dipastikan:
- Ketepatan kecepatan pompa infus (infusion pump).
- Jika obat lebih dari satu, tempelkan label nama obat pada syringe
pump dan disetiap ujung jalur selang.
c. Obat high alert elektrolit konsentrasi tinggi harus diberikan sesuai
perhitungan standar yang telah baku, yang berlaku di semua ruang
rawat.
d. Setiap kali pasien pindah ruang rawat, perawat pengantar menjelaskan
kepada perawat penerima pasien bahwa pasien mendapatkan obat high
alert, dan menyerahkan formulir pencatatan obat (Huruf capital dan
Tulisan berwarna merah).
e. Dalam keadaan emergensi yang dapat menyebabkan pelabelan dan
tindakan pencegahan terjadinya keselahan obat high alert dapat
mengakibatkan tertundanya pemberian terapi dan memberikan dampak
yang buruk pada pasien, maka dokter dan perawat harus memastikan
terlebih dahulu keadaan klinis pasien yang membutuhkan terapi segera
(cito) sehingga double check dapat tidak dilakukan, namun sesaat
sebelum memberikan obat, semua petugas kesehatan (dokter bedah,
dokter anestesi, penata anestesi dan perawat) harus menyebutkan
secara lantang semua jenis obat yang diberikan kepada pasien sehingga
diketahui dan didokumentasikan dengan baik oleh petugas kesehatan
yang lainnya.
77
5. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat high alert
a. Setiap ruangan di RS harus memiliki daftar obat high alert
b. Setiap tenaga kesehatan (dokter bedah, dokter anestesi dan penata
anestesi dan perawat) harus mengetahui penanganan khusus untuk obat
high alert
c. Prosedur peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai dilakukan
mulai dari peresepan, penyimpanan, penyiapan di farmasi dan ruang
perawatan dan pemberian obat
d. Obat high alert disimpan ditempat terpisah, akses terbatas, diberi label
High Alert
e. Pengecekan dengan 2 (dua) orang petugas yang berbeda untuk
menjamin kebenaran obat High Alert yang digunakan
f. Tidak menyimpan obat kategori kewaspadaan tinggi di area yang mudah
dijangkau pasien tanpa pengawasan
78
MATERI 06
MANAJEMEN RISIKO KLINIS
79
Manajemen risiko menurut The Joint Commission On Acreitation Of
healthcare Organizations adalah aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan
oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko
terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, pengunjung dan institusi rumah
sakit.
Manejemen risiko dapat digambarkan sebagai proses berkelanjutan dari
identifikasi secara sistemik, evaluasi dan penatalaksanaan risiko dengan tujuan
mengurangi dampak buruk bagi organisasi maupun individu. Rumah sakit perlu
menggunakan pendekatan proaktif dalam melaksanakan manajemen risiko (RR,
Balsamo dan MD, Brown, 1998).
Manajemen Risiko juga diartikan sebagai budaya, proses dan struktur
yang diarahkan untuk mewujudkan peluang-peluang sambil mengelola efek
yang tidak diharapkan. Kegiatan terkoordinasi untuk mengarahkan dan
mengendalikan organisasi berkaitan dengan risiko.
FAKTOR-FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam terjadinya risiko adalah:
80
Individu dan staf Kemampuan dan ketrampilan
Motivasi
Kesehatan dan mental
Penugasan Desain penugasan dan kejelasan struktur penugasan
Ketersediaan dan pemanfaatan prosedur yang ada
Ketersediaan dan akurasi hasil tes
Karakteristik Kondisi (keparahan dan kegawatan)
pasien Bahasa dan komunikasi
Faktor sosial dan personal
81
What are the hazards (identifikasi risiko)
Level of risk?
Yes Acceptable? No
82
Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan
risiko (laporan insiden) dan audit klinis.
2. Risk Control (and or Risk Prevention). Langkah-langkah yang diambil
manajemen untuk mengendalikan risiko. Upaya yang dilakukan:
Mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution)
Mengurangi risiko (control solution) baik terhadap probabilitasnya
maupun terhadap derajat keparahannya.
Mengurangi dampaknya.
3. Risk containment. Dalam hal telah terjadi suatu isiden, baik akibat suatu
tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari seuatu kecelakaan yang tidak
terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi
besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam
mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons
yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari
oleh komunikasi yang efektif.
4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan
menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko
tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada
sistem asuransi.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan
standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali
bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them)
83
TAHAPAN MANAJEMEN RISIKO
1. Identifikasi Risiko.
Identifikasi risiko adalah proses menemukan, mengenal, dan
mendeskripsikan risiko (ISO 31000:2009). Hal pertama yang perlu dilakukan
untuk mengelola risiko adalah mengidentifikasikannya. Jika kita tidak dapat
mengidentifikasi/ mengenal/ mengetahui, tentu saja kita tidak dapat
berbuat apapun terhadapnya. Identifikasi risiko ini terbagi menjadi dua,
yaitu identifikasi risiko proaktif dan identifikasi risiko reaktif.
Identifikasi risiko proaktif adalah kegiatan ientifikasi yang dilakukan
dengan cara proaktif mencari risiko yang berpotensi menghalangi rumah
sakit mencapai tujuannya. Disebut mencari karena risikonya belum muncul
dan bermanifestasi secara nyata. Metode yang dapat dilakukan diantaranya:
audit, ispeksi, brainstorming, pendapat ahli, belajar dari pengalaman rumah
sakit lain, FMEA, analisa SWOT, survey, dan lain-lain.
84
Identifikasi risiko reaktif adalah kegiatan identifikasi yang dilakukan setelah
risiko muncul dan bermanifestasi dalam bentuk insiden/ gangguan. Metoda yang
dipakai biasanya adalah melalui pelaporan insiden. Tentu saja, lebih baik kita
memaksimalkan identifikasi risiko proaktif, karena belum muncul kerugian bagi
organisasi.
Bagi rumah sakit, cara paling mudah dan terstruktur untuk melakukan
identifikasi adalah lewat setiap unit. Setiap unit diminta untuk mengidentifikasi
risikonya masing-masing. Setelah terkumpul, seluruh data identifikasi itu
dikumpulkan menjadi satu dan menjadi identifikasi rumah sakit.
2. Analisa Risiko
Analisa risiko adalah proses untuk memahami sifat risiko dan menentukan
peringkat risiko (ISO 31000:2009). Setelah diidentifikasi, risiko dianalisa. Analisa
risiko dilakukan dengan cara menilai seberapa sering peluang risiko itu muncul;
serta berat ringannya dampak yang ditimbulkan (ingat, definisi risiko adalah:
peluang terjadinya sesuatu yang akan mempunyai dampak pada pencapaian
tujuan).
Analisa peluang dan dampak ini paling mudah jika dilakukan dengan cara
kuantitatif. Caranya adalah dengan memberi skor satu sampai lima masing-masing
pada peluang dan dampak. Makin besar angka, peluang makin sering atau dampak
makin berat. Setelah skor peluang dan dampak/ konsekuensi kita dapatkan, kedua
angka itu kemudian dikalikan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan peringkat.
Mengapa perlu peringkat? Tentu saja, risiko perlu diberi peringkat, untuk
mendapatlkan prioritas penanganannya. Makin tinggi angkanya, makin tinggi
peringkatnya dan prioritasnya.
3. Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko adalah proses membandingkan antara hasil analisa risiko dengan
kriteria risiko untuk menentukan apakah risiko dan/ atau besarnya dapat diterima
85
atau ditoleransi (ISO 31000:2009). Sedangkan kriteria risiko adalah kerangka acuan
untuk mendasari pentingnya risiko dievaluasi (ISO 31000:2009). Dengan evaluasi
risiko ini, setiap risiko dikelola oleh orang yang bertanggung jawab sesuai dengan
peringkatnya. Dengan demikian, tidak ada risiko yang terlewati, dan terjadi
pendelegasian tugas yang jelas sesuai dengan berat – ringannya risiko.
4. Penanganan Risiko
Penanganan risiko adalah proses untuk memodifikasi risiko (ISO 31000:2009).
Bentuk-bentuk penanganan risiko diantaranya:
Menghindari risiko dengan memutuskan untuk tidak memulai atau melanjutkan
aktifitas yang menimbulkan risiko;
Mengambil atau meningkatkan risiko untuk mendapat peluang (lebih baik,
lebih menguntungkan);
Menghilangkan sumber risiko;
Mengubah kemungkinan;
Mengubah konsekuensi;
Berbagi risiko dengan pihak lain (termasuk kontrak dan pembiayaan risiko);
Mempertahankan risiko dengan informasi pilihan.
86
Ini adalah ‘dokumen hidup’ yang dinamis, yang dikumpulkan melalui proses
penilaian dan evaluasi resiko organisasi (Risk Register Working Group 2002)
87
2. Urutkan prioritas risiko dengan mengukur tingkat risiko.
Pengelolaan risiko diawali dengan menilai konsekuensi yang dapat diakibatkan
sebuah insiden dan kemungkinan terjadinya risiko setelah teridentifikasi.
Kemudian risiko dievaluasi lalu diberikan skor untuk menentukan bobot dan
prioritas risiko yang telah terjadi. Sesuai dengan bobotnya ditentukan tindakan
yang akan diberlakukan terhadap masing-masing risiko. Bila bobotnya ringan dan
tidak prioritas tindakannya dapat hanya mentoleransi saja dan menjadikannya
catatan. Namun bila risiko yang terjadi memiliki bobot besar dan mengganggu
pencapaian tujuan rumah sakit, maka ditentukan sebagai prioritas utama dan
harus diatasi atau ditransfer, atau bahkan menghentikan kegiatan yang
meningkatkan terjadinya risiko.
Tujuan menentukan prioritas risiko adalah membantu proses pengambilan
keputusan berasarkan hasil analisis risiko. Menentukan prioritas risiko dengan
menggunakan rumus:
TINGKAT RISIKO = PELUANG X FREKUENSI PAJANAN X AKIBAT
Kriteria Peluang (P)
NILAI KETERANGAN
3 Unusual but possible / TIdak biasa namun dapat terjadi; biasanya tidak
terjadi namun masih ada kemungkinan untuk dapat terjadi tiap saat
88
kemungkinannya untuk terjadi
89
Very serious / Sangat serius / Keuangan berat
Menyebabkan satu kematian, kerugian cukup besar
Memperberat atau menambah penyakit pada beberapa pasien atau
karyawan
15 Menyebabkan penyakit yang bersifat permanen atau kronis (HIV,
Hepatitis, Keganasan, TUli, gangguan fungsi organ menetap)
Menyebabkan terhambatnya pelayanan lebih dari 30 menit hingga
1 hari
Kerugian keuangan 1 – 5 Milyar
Serious / Serius / Keuangan sedang
Menyebabkan cidera serius seperti cacat atau kehilangan anggota
tubuh permanen
7 Menyebabkan panyakit yang memerlukan perawatan medis lebih
dari 7 hari dan dapat disembuhkan
Menyebabkan terhambatnya pelayanan kurang dari 30 menit
Kerugian keuangan 500 jt – 1 Milyar
Casualty treatment / Perawatan medis / Keuangan ringan
Menyebabkan cidera / penyakit yang memerlukan perawatan medis
3
atau tidak dapat masuk kerja hingga 7 hari
Kerugian keuangan 50 juta – 500 juta
Firs aid treatment / P3K / keuangan sangat ringan
Cidera tidak serius / minor seperti lecet, luka kecil dan hanya perlu
1
penanganan P3K
Kerugian keuangan s/d 50 juta
90
3. Tentukan Respon Rumah Sakit.
Respon rumah sakit ditentukan melalui asesmen risiko atau pengelolaan risiko,
yang meliputi
Identifikasi potensial risiko dan hazard.
Menelusuri siapa dan apa yang dapat dirugikan serta bagaimana caranya.
Evaluasi temuan risiko, analisa apakah pengelolaannya sudah cukup atau perlu
diubah untuk mencegah terjadinya insiden.
Catat temuan lalu buat rencana pengelolaannya.
Evaluasi pengelolaan secara menyeluruh dan perbaiki bila perlu.
Proses menganalisa risiko yang perlu dipertimbangkan adalah dampak dari
risiko tersebut bila benar terjadi. Risiko yang dampaknya besar harus segera
ditindaklanjuti dan mendapat perhatian dari pimpinan. Risiko yang dampaknya
medium-rendah akan dikelola oleh Sub Komite Manajemen Kinerja bersama Kepala
Unit Kerja/ Instalasi untuk membuat rencana tindak lanjut dan pengawasan.
91
4. Kelola kasus risiko untuk meminimalkan kerugian (Risk Control)
Perlakukan risiko adalah upaya untuk menyeleksi pilihan-pilihan yang dapat
mengurangi atau meniadakan dampak serta kemungkinan terjadi risiko. Perlakuan
yang dapat dipilih adalah;
Pengendalian = upaya-upaya untuk mengubah risiko yang merupakan langkah-
langkah antisipatif yang direncanakan dan dilakukan secara rutin untuk
mengurangi risiko.
Penanganan = langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi risiko jika
tindakan pengendalian belum memadai. Dapat juga bermakna langkah-langkah
yang telah direncanakan dan akan dilakukan apabila risiko benar-benar terjadi.
Sementara menurut NHS (National Health System) pengelolaan risiko adalah:
1. Mengambil kesempatan dengan kondisi yang ada dengan mempertimbangkan
keuntungan lebih besar daripada kerugian
2. Mentoleransi risiko
3. Mentransfer risiko pada pihak ke 3 seperti asuransi
4. Menghentikan aktivitas yang menimbulkan risiko
92
dan pembaruan prosedur, standar dan chek-list;
pelatihan penyelenggara bagi personil, seminar,
pembahasan kasus, poster, stiker
Mentransfer risiko Asuransi
Mengeksploitasi risiko Mengambil kesempatan dengan kondisi yang ada dengan
mempertimbangkan keuntungan lebih besar daripada
kerugian
Menerima risiko
93
MATERI 07
ROOT CAUSE ANALYSIS (RCA) / ANALISIS LAPORAN INSIDEN
94
Beyond Patient Safety
Kejadian sentinel “diluar” (beyond) kendali masih dapat terjadi walaupun
rumah sakit telah melakukan pengelolaan risiko demi keselamatan pasien.
Bila rumah sakit tidak mengupayakan keselamatan pasien maka bila terjadi
peristiwa sentinel akibat faktor-faktor “diluar “ (beyond) kendali yang sulit dibuktikan,
public menganggap rumah sakit dan tenaga kesehatan adalah penyebab utama
mortalitas dan morbiditas pasien.
Standar Akreditasi Rumah Sakit
Rumah sakit menggunakan proses yang ditetapkan untuk melakukan
identifikasi dan pengelolaan kejadian sentinel.
Standar Penilaian Akreditasi Rumah Sakit
1. Pimpinan rumah sakit menetapkan definisi kejadian sentinel yang meliputi paling
sedikit a) sampai d) yang dimuat di Maksud dan Tujuan --> Definisi operasional
sentinel
2. Rumah sakit melakukan analisis akar masalah ‘RCA’ terhadap semua kejadian
sentinel yang terjadi dalam batas waktu tertentu yang ditetapkan pimpinan rumah
sakit
3. Kejadian dianalisis bila terjai
4. Pimpinan rumah sakit mengambil tindakan berdasarkan hasil RCA
Sistematika Paparan
Bagian I : Justifikasi Manajemen Risiko Keselamatan Pasien dan RCA
Bagian II : Tahapan Teknis RCA
1. Inisiasi dan rumusan masalah
2. Tetapkan peristiwa sentinel
3. Tetapkan critical event / CMP
4. Tetapkan akar masalah
5. Tetapkan upaya penanggulangan risiko
6. Uji coba upaya penanggulangan risiko
7. Uji coba upaya implementasi upaya penanggulangan risiko
95
Bagian I
Justifikasi Manajemen Risiko Keselamatan Pasien dan Root Cause Analysis
96
Kapan memulai RCA?
Bila setelah dilakukan risk grading, suatu laporan insiden termasuk dalam
criteria sentinel event yang didasarkan pada laporan insiden dan Risk Matrix
Grading. Sedangkan pada kasus-kasus non-sentinel dilakukan analisis sederhana
dengan cepat, tetapi tetap memenuhi kaidah-kaidah RCA.
POTENTIAL CONSEQUENCE
Frekuensi /
Insignificant Minor Moderate Major Catastropic
1 2 3 4 5
Likelihood
Sangat sering
terjadi (Tiap
Moderate Moderate High Extreme Extreme
mgg/bln)
5
Sering terjadi
(bebrp x/thn) Moderate Moderate High Extreme Extreme
4
Mungkin terjadi
(1-2 thn/x) Low Moderate High Extreme Extreme
3
Jarang terjadi
(2-5 thn/x) Low Low Moderate High Extreme
2
Sangat jarang
sekali (>5 thn/x) Low Low Moderate High Extreme
1
97
BAGIAN II
Significance merupakan nilai relative dari primary effect yang menimpa pada
rumah sakit. Bagian ini berisi jawaban atas pertanyaan mengapa kita melakukan
penyelesaian masalah. Significance digunakan untuk menentukan prioritas kasus
yang akan diselesaikan melalui RCA, bila dalam incident report terdapat beberapa
sentinel event, dengan memilih kasus mana yang memiliki dampak terbesar pada
rumah sakit.
98
Proses pengkajian masalah harus berfokus pada upaya pengumpulan data.
Tahapan selanjutnya adalah mengkaji rumusan masalah. Oleh karena itu data yang
dicari harus mencakup hal-hal terkait dengan apa yang tengah dicari sesuai
rumusan masalah. Terdapat tiga jenis informasi utama yang harus dikumpulkan,
antara lain:
Pernyataan saksi dan pengamatan pada mereka yang dekat dengan peristiwa
secara langsung maupun tidak langsung
Bukti-bukti fisik yang terkait atau Nyaris Cedera
Dokumentasi bukti-bukti terkait.
99
Hakikat suatu laporan kronologis kejadian antara lain:
Memiliki urutan kejadian
Dimulai dari suatu “titik tertentu” di masa lampau
Titik tertentu tersebut “disepakati” (arbitrer) dan belum tentu benar
Dapat mengarahkan pembaca laporan pada suatu konsekuensi tertentu
(dengan statement-statement yang tersirat)
100
Terdapat 4 langkah menyusun bagan sebab-akibat:
1. Tanyakan “MENGAPA” (why) untuk setia Primary effect
2. Rumuskan setiap penyebab kedalam kategori Aksi dan kondisi
3. Hubungkan setiap penyebab dengan kata2 “disebabkan oleh”
4. Dukung setiap penyebab dengan bukti-bukti (evidences)
101
c. Penghalang apa yang dapat digunakan untuk mencegah insiden terulang
kembali ?
Ada 4 tipe penghalang:
1. Penghalang Fisik
2. Penghalang Natural
3. Penghalang Tindakan manusia
4. Penghalang Administrasi
102
KESIMPULAN
RCA wajib dilakukan rumah sakit dan merupakan bagian dari Reporting and
Learning System
Hasil akhir kegiatan adalah laporan RCA kepada Direksi RS dengan
komponen tertentu
Penyusunan diagram kausalitas tidak bersifat linier, tetapi memiliki
multikausa.
103
MATERI 08
ANAESTHESIA NON-TECHNICAL SKILL /
KETERAMPILAN NON-TEKNIS ANESTESI
104
Ketepatan keterampilan non-teknis untuk pekerjaan tertentu perlu
disesuaikan untuk tugas klinis, kondisi di tempat kerja dan budaya organisasi/
profesional dan dapat membantu mengurangi kesalahan. Meningkatkan
penemuan kesalahan dan respon efektif saat terjadi masalah operasional.
Misalnya, kekurangan dalam keterampilan non-teknis (tidak berpikir ke depan,
tidak mengikuti prosedur, tidak berbicara saat menghadapi risiko) dapat
meningkatkan kemungkinan cedera bagi pasien (misalnya salah daerah yang
dioperasi) atau anggota staf (misalnya tertusuk jarum suntik). Keterampilan
non-teknis yang baik (misalnya kewaspadaan tinggi, komunikasi yang efektif,
pemimpin yang mendengarkan kekhawatiran anggota tim) dapat mengurangi
kemungkinan kesalahan dan mengurangi kemungkinan pasien atau dokter
terlibat dalam kejadian yang tidak diinginkan.
105
survei terhadap praktisi berpengalaman, investigasi insiden, serta pengamatan
pekerjaan selama tugas rutin atau keadaan darurat, dapat mengungkapkan
perilaku kerja (keterampilan non-teknis) yang dikaitkan dengan praktik yang
aman dan penghindaran efek yang tidak diinginkan.
Tim ahli anestesi dan psikolog merancang Sistem Keterampilan Non-Teknis
Anestetik (ANTS) menggunakan metode analisis tugas. Keterampilan yang
diterapkan untuk ANTS berasal dari data tentang perilaku para ahli anestesi
yang dikumpulkan dari tinjauan pustaka, observasi, wawancara, survei dan
analisis kejadian.
Kerangka kerja keterampilan ANTS (Gambar 1) memiliki empat kategori:
Kesadaran situasi, pengambilan keputusan, pengelolaan tugas, dan kerja tim.
Elemen komponen dan contoh perilaku baik dan buruk disertakan untuk setiap
elemen. Pengelolaan stres dan mengatasi kelelahan bukanlah kategori eksplisit,
karena bisa sulit dideteksi kecuali ekstrem; selain itu, mereka mempengaruhi
perilaku lain yang dapat dinilai. Kepemimpinan dimasukkan ke dalam kategori
kerja tim, karena ada kalanya ahli anestesi dapat memimpin tim kamar bedah.
106
Gambar 1: Sistem Keterampilan Non-Teknis Anestetik (ANTS) (diadaptasi dari ANTS
Handbook, University of Aberdeen)
107
Selain kerangka kerja keterampilan ANTS, skala penilaian perilaku dirancang pada
satu halaman untuk kemudahan penggunaan. Terdapat empat poin skala penilaian
(lihat Gambar 2) untuk menilai hubungan perilaku dengan elemen dan kategori,
dengan ruang untuk menulis komentar singkat. Perlu dicatat bahwa pendeskripsian
untuk poin pada skala penilaian tidak hanya tingkat kinerja; mereka menekankan
relevansinya untuk keselamatan pasien. Nilai ANTS dibuat saat anestesi berada di
kamar operasi atau di unit yang lain. Alat ini dirancang untuk digunakan oleh ahli
anestesi berpengalaman untuk menilai kemampuan non-teknis dari ahli anestesi yang
lain yang telah mencapai kompetensi teknis dasar.
Evaluasi metode penilaian perilaku ANTS dilakukan dengan 50 ahli konsultan
anestesi, dilanjutkan dengan studi kagunaan. Sebuah buku pegangan diterbitkan untuk
membantu ahli anestesi menggunakan sistem ini dalam praktiknya, untuk menilai
kinerja non-teknis pada saat itu. Pada berkas penilaian, ruang yang disediakan untuk
mencatat setiap elemen perilaku, membantu pelatih / penilai untuk memberikan
umpan balik terstruktur, serta nilai kinerja, pada akhir prosedur. Sistem ini dirilis oleh
University of Aberdeen pada tahun 2004.
108
Lampiran 1
LEMBARAN KERJA INVESTIGASI KOMPREHENSIF/
ANALISIS AKAR MASALAH (ROOT CAUSE ANALYSIS/ RCA)
Rumusan masalah/insiden:
Tim Investigasi
Ketua :
Anggota :
1. …
2. …
3. …
109
LANGKAH 4 : PEMETAAN KEJADIAN
110
LANGKAH 5 : IDENTIFIKASI CMP / CARE MANAGEMENT PROBLEM
111
LANGKAH 6: ANALISIS INFORMASI
MASALAH 1 TOOLS
NO
………………………………….. 5 Why
1 Mengapa ……………. ? Karena ………………
2 Mengapa ……………. ? Karena ………………
3 Mengapa ……………. ? Karena ………………
4 Mengapa ……………. ? Karena ………………
5 Mengapa ……………. ? Karena ………………
MASALAH 1 TOOLS
NO
………………………………….. 5 Why
1 Mengapa ……………. ? Karena ………………
2 Mengapa ……………. ? Karena ………………
3 Mengapa ……………. ? Karena ………………
4 Mengapa ……………. ? Karena ………………
5 Mengapa ……………. ? Karena ………………
MASALAH 1 TOOLS
NO
………………………………….. 5 Why
1 Mengapa ……………. ? Karena ………………
2 Mengapa ……………. ? Karena ………………
3 Mengapa ……………. ? Karena ………………
4 Mengapa ……………. ? Karena ………………
5 Mengapa ……………. ? Karena ………………
Dstnya,
112
7. REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAKAN
113