OLEH:
ANDI NUR AINI AMIR
NIM G012222018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat
dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Shalawat serta salamsemoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yangkita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat
nanti.
Kita mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga saya mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah dengan judul
“Rekayasa Lingkungan Budidaya Tanaman Hortikultura Perkotaan (Urban
Farming)”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.Terimakasih.
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asal-usul istilah hortikultura ini berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri
dari dua kata yaitu "hortus" dan "cultura". "Hortus" berarti tanaman kebun dalam
bahasa Yunani, sedangkan "cultura" atau "colere" merujuk pada praktik budidaya.
Oleh karena itu, secara sederhana, hortikultura dapat diartikan sebagai budidaya
tanaman kebun. Istilah ini juga mencakup praktik budidaya tanaman modern yang
meliputi berbagai bidang, seperti pembenihan, pembibitan, kultur jaringan,
produksi berbagai komoditas tanaman, pencegahan hama dan penyakit,
pemanenan, pengemasan produk, dan distribusi massal (Fatimah and
Nuryaningsih, 2018).
Metode pertanian modern ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan
dan obat-obatan. Selain itu, komoditas dari praktik budidaya tanaman ini juga
digunakan untuk memenuhi kebutuhan estetika, seperti tanaman hias. Biasanya,
budidaya hortikultura dilakukan dalam skala besar dengan tujuan memenuhi
permintaan pasar. Pemilihan jenis tanaman didasarkan pada nilai ekonomis yang
tinggi dan peluang pasar yang besar, sehingga mendukung kegiatan ekonomi yang
bersifat komersial. Komoditas tanaman ini juga memiliki potensi produksi yang
tinggi (Zezza & Tasciotti, 2010).
Pelaksanaan pertanian perkotaan dipicu oleh masalah kemiskinan yang
semakin meningkat di daerah perkotaan dan pinggiran kota. Kemiskinan tidak lagi
hanya menjadi masalah utama di daerah pedesaan, tetapi juga di daerah perkotaan.
Hal ini menyebabkan masalah ketersediaan dan akses terhadap pangan bagi
sebagian penduduk perkotaan karena distribusi pendapatan yang tidak merata,
tingkat kemiskinan yang cenderung meningkat, dan berkurangnya lahan produktif
serta sistem distribusi yang tidak efisien. Sebagai hasilnya, berbagai pendekatan
kemiskinan dikembangkan untuk mengurangi angka kemiskinan (Fatimah and
Nuryaningsih, 2018).
Pertanian perkotaan memiliki perspektif nilai ekonomi dan lingkungan
sebagai dasarnya. Meskipun lahan terbatas, hal itu tidak menghalangi potensi nilai
ekonomi yang dimilikinya. Lahan tersebut dapat dioptimalkan untuk menanam
tanaman pangan, hiasan, dan penghasil oksigen dalam jumlah besar. Selain itu,
perspektif lingkungan juga mendukung pertanian perkotaan karena isu Global
1
Warming dan tingginya polusi udara di kota merupakan ancaman bagi kesehatan
masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, pembangunan berwawasan lingkungan
sangat penting untuk menciptakan gaya hidup sehat. Manusia dan lingkungan
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan di alam semesta ini (Fatimah
and Nuryaningsih, 2018).
Urban farming atau pertanian perkotaan merupakan kegiatan budidaya
tanaman dan peternakan yang intensif di daerah perkotaan dan sekitarnya untuk
memproduksi berbagai hasil panen dan hewan ternak. Kegiatan ini juga
melibatkan pengolahan dan distribusi pangan serta produk lainnya dengan
menggunakan kembali sumber daya alam dan limbah pertanian perkotaan, guna
memperoleh keragaman hasil yang lebih beragam (Ikhsan, 2021).
Pertanian yang hadir di daerah perkotaan dan sekitarnya tidak hanya
bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga memiliki nilai praktis
yang dapat berdampak positif pada keberlanjutan ekologi dan ekonomi wilayah
tersebut. Jika dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, pertanian
perkotaan dapat memberikan banyak keuntungan. Nilai kehadiran pertanian
perkotaan dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti ekonomi, ekologi, sosial,
estetika, edukasi, dan wisata (Fauzi, Ichniarsyah and Agustin, 2016).
Dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam yang
ada di kota menggunakan teknologi tepat guna, keberadaan pertanian dalam
masyarakat perkotaan dapat menjadi sarana yang efektif. Selain itu, pertanian
perkotaan dapat dijadikan media untuk memanfaatkan waktu luang bagi
masyarakat perkotaan yang sibuk dengan pekerjaannya. Dengan mengoptimalkan
penggunaan lahan dan memanfaatkan waktu luang untuk beraktivitas dalam
pertanian perkotaan, masyarakat perkotaan dapat mendekatkan diri pada akses
pangan yang lebih dekat dan menjaga keberlanjutan lingkungan dengan adanya
ruang terbuka hijau (Fauzi, Ichniarsyah and Agustin, 2016).
Untuk menanam tanaman di lahan yang terbatas di perkotaan, seringkali kita
mengalami kendala. Namun, kita dapat mengatasi hal ini dengan menerapkan
beberapa sistem pertanian. Salah satu contoh sistem ini yaitu vertikultur. Sistem
ini merupakan teknik budidaya pertanian yang dilakukan secara bertingkat atau
vertikal, yang cocok untuk diaplikasikan di lahan yang sempit atau pemukiman
2
dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Ada banyak jenis tanaman yang dapat
ditanam melalui sistem vertikultur, seperti sayuran, tanaman hias, atau tanaman
obat yang dikenal sebagai tanaman hortikultura. Sistem penanaman tanaman
perkotaan tidak hanya pada vertikultur saja tetapi ada beberapa system penanaman
lainnya yang merujuk pada penanaman tanaman horti pada lahan sempit (Rahayu
et al., 2013).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan urban farming?
2. Apa tantangan dalam urban faming?
3. Apa solusi dalam menghadapi tantangan dalam urban farming?
1.3 Tujuan Penulisan
Sebagai bahan referensi atau rujukan dalam perkembangan urban farming di
Indonesia. Kemudian sebagai solusi dalam menghadapi tantangan urban farming
di Indonesia.
3
II. PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Urban Farming di Dunia dan Indonesia
Urban farming atau pertanian perkotaan merupakan kegiatan budidaya
tanaman dan peternakan yang intensif di daerah perkotaan dan sekitarnya untuk
memproduksi berbagai hasil panen dan hewan ternak. Kegiatan ini juga
melibatkan pengolahan dan distribusi pangan serta produk lainnya dengan
menggunakan kembali sumber daya alam dan limbah pertanian perkotaan, guna
memperoleh keragaman hasil yang lebih beragam (Ikhsan, 2021). Urban farming
telah lama diterapkan dan dijadikan isu penting dalam meningkatkan kualitas
hidup masyarakat. Pada tahun 1926, kongres internasional di Luxemburg
membahas perlunya kebun rekreasi sebagai awal lahirnya allotment sebagai suatu
bentuk urban farming di berbagai negara di Eropa. Selain itu, praktik urban
farming juga telah diterapkan di berbagai negara di Afrika, Amerika, dan Asia
termasuk Indonesia. Beberapa kota di Indonesia saat ini telah menerapkan dan
mengembangkan pertanian perkotaan. Urban farming dapat menghasilkan sekitar
15-20% dari produksi pangan di dunia, dan tingkat partisipasi di negara-negara
berkembang bervariasi, mulai dari 10% di Indonesia hingga 70% di Vietnam
(Zezza & Tasciotti, 2010). Oleh karena itu, praktik urban farming di beberapa
negara dapat dijadikan contoh baik bagi penerapan pertanian perkotaan di
Indonesia.
Menurut (Fauzi, Ichniarsyah and Agustin, 2016) praktik terbaik perkotaan
didunia
a. Afrika
Di negara-negara Afrika yang sebagian besar masih berkembang,
urbanisasi yang terus meningkat mengakibatkan tingkat kemiskinan di daerah
perkotaan semakin meningkat. Oleh karena itu, pemerintah setempat mencoba
untuk memperbaiki akses pangan dan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat
miskin di kota dengan membangun pertanian di kota-kota yang terdampak
urbanisasi. Praktik pertanian perkotaan semakin berkembang di Afrika dan
telah memberikan hasil positif. Sebagai contoh, sebuah laporan oleh Bopda et
al. (2010) melaporkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan sebesar 27 persen
pada rumah tangga yang berpendapatan rendah di Yaoundé berkat hasil
4
sayuran daun yang mereka tanam. Selain itu, mereka juga dapat menghasilkan
10 persen ubi kayu dan daun ubi kayu yang mereka konsumsi sendiri, serta 5-8
persen dari cocoyam (taro), pisang, serta produk olahan singkong dan pepaya.
Di Nakuru (Kenya), pertanian perkotaan mensuplai 22 persen kebutuhan
pangan rumah tangga petani dan 8 persen kebutuhan pangan dan nutrisi seluruh
kota (Foeken, 2006). Lebih lanjut, Foeken (2006) juga melaporkan hasil
studinya tentang produksi pangan di Dares-Salam (Tanzania) yang
memperlihatkan proporsi yang lebih tinggi, yaitu sekitar 90 persen produksi
sayuran daun dan 60 persen susu sapi yang dikonsumsi oleh orang kota.
b. Amerika
Pertanian perkotaan telah dikenal di Amerika Serikat selama 100 tahun.
Salah satu contoh implementasi yang mengagumkan adalah di Havana, Kuba.
Setelah mengalami kesulitan yang luar biasa akibat kejatuhan Uni Soviet dan
tidak mampu mengimpor beberapa komoditas penting, Havana mulai
mengembangkan pertanian perkotaan sejak tahun 1997-2003. Pertanian
perkotaan di Havana terus meningkat sebesar 38% per tahun, dan produksi
tanaman sayuran meningkat 13 kali dalam masa 8 tahun. Produksi terjadi di
organoponicos yang berupa bedengan yang diisi oleh campuran tanah dan
bahan organik. Saat ini, sekitar 35,000 ha lahan di Havana telah digunakan
untuk kegiatan pertanian perkotaan. Montreal, Kanada juga memiliki sistem
pertanian perkotaan yang maju, dengan 97 komunitas berkebun dan 8,200 plot
terpisah. Manfaat dari pertanian perkotaan di Montreal termasuk sosialisasi
warga, pengayaan kemampuan individual, dan peningkatan kemampuan teknis.
c. Asia
Diperkirakan bahwa konsep pertanian perkotaan di wilayah Asia berasal
dari Shanghai, Tiongkok. Meskipun merupakan kota besar yang terus
berkembang, Shanghai tetap mempertahankan pertanian perkotaan sebagai
bagian dari sistem ekonomi untuk mendukung perkembangan kota. Jenis
pertanian perkotaan yang multifungsi juga ditemukan di Beijing, yang
mengalami tren baru dalam produksi pangan dan diversifikasi pertanian
organik (Zhang et al., 2009). Di Beijing, semakin banyak bangunan tanaman
5
yang dibangun untuk memastikan pasokan pangan tetap terjaga selama musim
dingin,
d. Eropa
Barcelona memiliki sebuah konsep pertanian perkotaan yang terdiri dari
1,200 plot lahan, yang sebagian besar dikelola oleh penduduk yang telah
pensiun. Pada awalnya, produksi di lahan tersebut dilakukan dengan skala yang
kecil. Namun, seiring dengan bertambahnya waktu, hasil produksi semakin
meningkat dan memberikan dampak positif dalam memenuhi kebutuhan
sayuran bagi para penanamnya di rumah.
e. Indonesia
Setelah krisis ekonomi 1997-1998, perkembangan pertanian perkotaan di
Indonesia, khususnya di Jakarta, mulai terlihat. Pertanian perkotaan dianggap
sebagai kekuatan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dan menjadi
alternatif untuk menjaga ketahanan pangan, terutama di kalangan rumah tangga
miskin (Santoso dan Widya, 2014). Namun, urban farming belum menjadi
prioritas utama di Indonesia, sehingga belum banyak pihak yang bertanggung
jawab untuk mengembangkannya.
2.2 Tantangan Urban Farming di Indonesia
Urban farming di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, di antaranya:
a. Keterbatasan lahan: Salah satu tantangan terbesar dalam urban farming di
Indonesia adalah keterbatasan lahan. Seiring dengan pertumbuhan populasi dan
pembangunan kota yang terus berlanjut, lahan kosong semakin sulit ditemukan
(Santoso & Widya, 2014).
b. Keterbatasan sumber daya: Urban farming membutuhkan sumber daya seperti
air dan energi untuk menjaga produktivitas tanaman. Air adalah faktor penting
dalam budidaya tanaman (Nuraini et al., 2018). Di Indonesia, ketersediaan air
bersih dan energi masih menjadi masalah di beberapa wilayah (Santoso &
Widya, 2014).
c. Kurangnya dukungan pemerintah: Urban farming di Indonesia belum mendapat
dukungan penuh dari pemerintah. Kurangnya kebijakan dan insentif yang
memadai membuat urban farming masih belum terintegrasi dengan sistem
pertanian nasional (Santoso & Widya, 2014).
6
d. Masalah kualitas tanah: Tanah di perkotaan biasanya tercemar oleh polutan,
limbah industri, dan limbah domestik. Hal ini menyebabkan kualitas tanah
menjadi buruk dan kurang subur, sehingga sulit untuk ditanami dengan
tanaman produktif (Widyawati et al., 2020)
e. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan: Urban farming membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan khusus yang belum dimiliki oleh banyak orang
di Indonesia. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola
kebun perkotaan menyebabkan banyak orang yang tidak berhasil dalam
menjalankan urban farming (Santoso and Widya, 2014).
f. Masalah teknis - Petani perkotaan sering menghadapi masalah teknis seperti
pengaturan irigasi, pemilihan jenis tanaman yang tepat, dan pengendalian hama
dan penyakit. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi
masalah teknis ini dapat menjadi hambatan dalam mengembangkan urban
farming. (Dwiatmanto, 2017)
g. Iklim: Kondisi iklim seperti suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas tanaman. Di perkotaan, kondisi iklim
dapat berbeda dengan di pedesaan karena pengaruh urbanisasi. (Santoso et al.,
2017)
h. Pencemaran Udara: Pencemaran udara di perkotaan dapat mempengaruhi
kesehatan tanaman. Polutan seperti sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida
(NO2) dapat merusak jaringan tanaman dan mengurangi produktivitas.
(Pramudya et al., 2021)
2.3 Solusi Mengatasi Tantangan Urban Farming di Indonesia
a. Keterbatasan Lahan
Salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan lahan dalam urban farming
di Indonesia adalah dengan menggunakan konsep pertanian vertikal atau
rooftop farming. Konsep ini melibatkan penggunaan lahan yang ada di atas
bangunan untuk ditanami. Selain itu, penggunaan teknologi hidroponik dan
aquaponik juga dapat memaksimalkan penggunaan lahan yang terbatas. Selain
itu, pemanfaatan lahan kosong di perkotaan juga dapat dilakukan dengan
melibatkan masyarakat dalam program penghijauan kota. Dalam program ini,
masyarakat dapat diberi kesempatan untuk menanam tanaman pangan dan
7
tanaman hias di lahan kosong yang ada di sekitar rumah mereka (kristiyanto,
2016).
b. Keterbatasan Sumber Daya
Mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada, seperti
memanfaatkan limbah organik untuk pupuk dan teknologi irigasi yang efisien
untuk menghemat air. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat
urban farming dan pentingnya mendukung produksi pangan local. Memperkuat
keterampilan petani dengan memberikan pelatihan teknis dan akses ke
informasi tentang praktik pertanian yang lebih efektif dan berkelanjutan
(Mahendra and Rakhmawati, 2021).
c. Kurangnya Dukungan Pemerintah
Mendorong pemerintah untuk memberikan dukungan dan insentif seperti
program pelatihan, bantuan modal, dan perizinan yang mudah untuk
mengembangkan urban farming. Melibatkan komunitas lokal dalam
pengembangan urban farming agar mereka dapat mengambil bagian dalam
merancang, melaksanakan, dan memelihara proyek urban farming di daerah
mereka. Mengembangkan jaringan dan kemitraan antara petani urban dengan
perusahaan makanan lokal dan pasar lokal untuk memperluas pasar dan
meningkatkan pendapatan petani urban. Menjalin kerjasama dengan lembaga
swasta dan lembaga internasional untuk memperoleh dukungan dan sumber
daya dalam mengembangkan urban farming (Wibowo, 2020).
d. Masalah Kulitas Tanah
Salah satu cara mengatasi masalah kualitas tanah dalam urban farming di
Indonesia adalah dengan menggunakan teknik pertanian organik dan
hidroponik. Pertanian organik menggunakan bahan-bahan alami seperti
kompos dan pupuk hijau untuk memperbaiki kesuburan tanah, sedangkan
hidroponik memanfaatkan media tanam buatan dan nutrisi yang tepat untuk
tumbuh tanaman tanpa menggunakan tanah (Yasin, (2018). Selain itu, juga
dapat dilakukan pengujian kualitas tanah secara periodik untuk mengetahui
kondisi tanah dan memberikan perbaikan yang diperlukan (Rahayu 2019).
8
e. Kurangnya Pengetahuan dan Keterampilan
Memberikan pelatihan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam urban farming. Kampanye public melalui media social,
seminar, dan kegiatan lainnya dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat akan manfaat urban farming dan cara melaksanakannya (Suwondo
and Ardhana, 2020).
f. Iklim
Salah satu cara untuk mengatasi tantangan iklim dalam urban farming di
Indonesia adalah dengan mengadopsi teknik pertanian yang sesuai dengan
kondisi iklim tropis, seperti penggunaan tanaman yang tahan terhadap
kekeringan dan penggunaan sistem irigasi yang efisien. Penerapan teknologi
pertanian modern, seperti hidroponik dan aquaponik, juga dapat membantu
mengatasi tantangan iklim karena lebih efisien dalam penggunaan air dan tidak
tergantung pada kondisi tanah yang subur (Santoso and Widya, 2014). .
g. Pencemaran Udara
Salah satu cara untuk mengatasi masalah pencemaran udara dalam urban
farming di Indonesia adalah dengan mengadopsi teknik pertanian yang ramah
lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik alih-alih pupuk kimia yang
mengandung sulfur dan nitrogen yang dapat memicu pencemaran udara
(Widowati, 2020). Selain itu, penggunaan sistem pengendalian polusi udara,
seperti penanaman tanaman penyaring udara, dapat membantu mengurangi
konsentrasi polutan di udara (Permana, 2018).
2.4 Rekayasa Lingkungan Perkotaan
Rekayasa lingkungan perkotaan dapat dimanfaatkan untuk mendukung
pertumbuhan tanaman hortikultura di perkotaan. Tanaman hortikultura yang dapat
ditanam di perkotaan antara lain sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mendukung pertumbuhan tanaman
hortikultura di perkotaan adalah lahan terbuka, air bersih, pupuk, sinar matahari,
media tanam, dan teknologi (Irawati, 2020). Lahan terbuka yang ada di perkotaan
seperti taman kota, taman lingkungan, dan tempat terbuka hijau lainnya dapat
dimanfaatkan untuk menanam tanaman hortikultura (Maulana, 2019).
Ketersediaan air bersih yang cukup akan membantu tanaman dalam proses
9
pertumbuhan dan fotosintesis. Sumber air yang dapat dimanfaatkan antara lain
adalah sumur bor, air hujan, dan sumber air permukaan (Sutrisno, 2019).
Pupuk merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung pertumbuhan
tanaman hortikultura di perkotaan (Kurniawan, 2020). Pupuk organik seperti
kompos dan pupuk kandang dapat dihasilkan dari limbah organik yang ada di
perkotaan seperti daun, kulit buah, dan limbah hewan (Widiatmaka, 2018). Sinar
matahari sangat penting dalam proses fotosintesis yang merupakan proses utama
dalam pertumbuhan tanaman hortikultura (Rahayu, 2021). Penempatan tanaman
pada tempat yang cukup mendapat sinar matahari akan membantu pertumbuhan
tanaman hortikultura. Media tanam yang baik akan memberikan nutrisi, aerasi,
dan drainase yang cukup untuk tanaman (Firmansyah, 2020). Media tanam yang
dapat dimanfaatkan di perkotaan antara lain adalah tanah, pupuk organik,
cocopeat, dan hidrogel.
Teknologi dapat dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan tanaman
hortikultura di perkotaan (Maulana, 2019). Teknologi seperti hidroponik,
aeroponik, dan aquaponik dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman
hortikultura dengan efisien dalam ruangan atau di lahan terbatas (Kurniawan,
2020). Rekayasa lingkungan perkotaan dapat dilakukan untuk meningkatkan
produksi tanaman hortikultura dalam kota. Beberapa teknik yang dapat digunakan
adalah penggunaan teknologi hidroponik, penggunaan sistem irigasi yang efisien,
dan pemilihan varietas tanaman yang sesuai dengan kondisi lingkungan
perkotaan.
2.5 Potensi Budidaya Tanaman Hortikultura Perkotaan
Budidaya tanaman hortikultura dapat dilakukan di lahan perkotaan. Potensi
budidaya di perkotaan sangat besar, seiring dengan tingginya kebutuhan
masyarakat akan sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias. Selain itu, budidaya
hortikultura di perkotaan juga dapat memenuhi kebutuhan akan produk organik
yang semakin diminati oleh masyarakat (Prayitno, 2020).
Menurut Kusnandar and Nurhayati (2020). Budidaya tanaman hortikultura
di perkotaan memiliki potensi yang sangat besar. Beberapa faktor yang
mendukung potensi budidaya di perkotaan antara lain:
10
a. Kebutuhan masyarakat akan produk hortikultura yang semakin meningkat,
termasuk sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias.
b. Lahan yang tersedia di perkotaan, meskipun terbatas, dapat dimanfaatkan
untuk budidaya vertikal atau hidroponik.
c. Perkembangan teknologi dan inovasi dalam budidaya tanaman hortikultura,
seperti teknologi tanam hidroponik dan aeroponik, membuatnya semakin
efisien dan dapat dilakukan di lahan yang kecil.
d. Permintaan akan produk organik yang semakin tinggi, dan budidaya
hortikultura di perkotaan dapat memenuhi kebutuhan akan produk organik
tersebut.
e. Dapat mengurangi jarak antara produksi dan konsumsi, sehingga mengurangi
biaya transportasi dan menjaga kesegaran produk.
2.6 Jenis Pertanian Perkotaan
Menurut (Fauzi, Ichniarsyah and Agustin, 2016) Jenis-jenis pertanian
perkotaan diantaranya:
a. Budidaya Tanaman di Lahan Kosong Perkotaan
Masyarakat yang memperhatikan lingkungan perkotaan biasanya
memanfaatkan lahan kosong untuk budidaya tanaman dengan teknologi
sederhana seperti bedengan atau tanam langsung tanpa olah tanah. Jenis
tanaman yang ditanam bergantung pada kondisi iklim setempat. Di dataran
rendah, masyarakat biasanya menanam sayuran yang cocok untuk kondisi
tersebut seperti terong, cabe, gambas, kacang panjang, bayam, kangkung,
bawang merah, dan sebagainya. Sedangkan di dataran menengah ke atas, jenis
sayuran yang dibudidayakan adalah yang cocok untuk dataran tinggi, seperti
kubis, wortel, selada, kapri, seledri, dan lainnya.
Keuntungan usaha produksi tanaman pangan di lahan kosong perkotaan, antara
lain :
Mengoptimalkan lahan dan sumber daya alam yang tersedia di lahan kosong
Menghasilkan bahan pangan dan gizi untuk keluarga
Menjual hasil produksinya jika berlebih, konsumen bisa mengambil sendiri
hasil panen nya .
Dekat dengan konsumen sehingga mengurangi biaya transportasi
11
Menambah Ruang Terbuka Hijau, mengurangi polusi udara, meningkatkan
keanekaragaman hayati dan menjaga ekosistem kota.
Kelemahan usaha produksi tanaman pangan di lahan kosong perkotaan , antara
lain :
Bersifat temporer/sementara karena rentan terhadap penggusuran dan
kompetisi kepentingan
Keamanan lingkungan tidak terjamin
Rentan polusi udara dan pencemaran limbah dari kegiatan di perkotaan
Biasanya tanah yang ada kurang subur karena kurang bahan organik
Skala kecil
Biasanya sistem tadah hujan, budidaya di lahan kosong perkotaan
diharapkan mampu membantu kebutuhan masyarakat di sekitarnya dan
membantu penghijauan di kota.
b. Vertikultur
Vertikultur adalah suatu teknik bercocok tanam dengan memanfaatkan
sistem tumpukan potongan-potongan tabung pipa PVC atau pot bunga yang
diatur secara vertikal. Teknik ini biasanya digunakan untuk mengatasi
keterbatasan lahan, terutama di perkotaan, sehingga dapat membantu
meningkatkan produktivitas tanaman dalam ruang yang terbatas. Vertikultur
dapat dilakukan pada berbagai jenis tanaman, seperti sayuran, buah-buahan,
dan tanaman hias.. Struktur vertikal, memudahkan pengguna membuat dan
memeliharanya. Pertanian vertikultur tidak hanya sebagai sumber pangan tetapi
juga menciptakan suasana alami yang menyenangkan.
12
c. Hidroponik
Hidroponik adalah teknik budidaya tanaman yang menggunakan air
sebagai media tumbuh, tanpa menggunakan tanah. Berdasarkan media yang
digunakan, terdapat tiga jenis hidroponik. Pertama, kultur air, yaitu
menumbuhkan tanaman dalam media dengan larutan nutrisi di dasarnya
sehingga akar dapat menyentuh larutan nutrisi. Kedua, hidroponik kultur
agregat, yaitu menggunakan media tanam seperti kerikil atau pasir dan
memberikan nutrisi dengan mengairi media tanam atau melalui larutan hara
yang dialirkan ke tanaman melalui selang plastik. Ketiga, Nutrient Film
Technique (NFT) yang menggunakan selokan panjang dan sempit sebagai
media tumbuh, dengan mengalirkan air yang mengandung larutan hara
sehingga terbentuk film tipis sebagai makanan tanaman.
Menurut Savage (1985), Hidroponik dapat dikelompokkan berdasarkan
sistem irigasinya menjadi dua jenis, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup.
Pada sistem terbuka, larutan nutrisi tidak digunakan kembali dan contohnya
adalah hidroponik dengan irigasi tetes drip atau trickle. Sedangkan pada sistem
tertutup, larutan nutrisi dimanfaatkan kembali melalui resirkulasi. Selain itu,
hidroponik dapat juga dikelompokkan berdasarkan penggunaan media atau
substrat menjadi dua jenis, yaitu Substrate System dan Bare Root System.
13
Substrat system
Substrate system atau sistem substrat adalah suatu sistem hidroponik
yang menggunakan media tanam untuk mendukung pertumbuhan tanaman.
Jenis sistem ini termasuk Sand Culture (penanaman tanaman di media
pasir), Gravel Culture (menggunakan gravel untuk hidroponik), Rockwool
(menggunakan bahan inert dari batu Basalt yang dipanaskan hingga
mencair, kemudian diputar seperti membuat aromanis untuk menjadi
benang-benang yang dipadatkan menjadi kain "wool" dari "rock"), dan Bag
Culture (menanam tanaman tanpa menggunakan tanah dengan
menggunakan kantong plastik (polybag) yang diisi dengan media tanam
seperti serbuk gergaji, kulit, kayu, vermikulit, perlit, dan arang sekam).
14
Sistem ini meliputi Deep Flowing System (sistem hidroponik tanpa
media), Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST), Aeroponics,
Nutrient Film Tecnics (NFT) dan Mixed System (aeroponics dan deep flow
technics).
Adapun Tipe Media tanam ada 2 macam yaitu Padat maupun cair dan
Bahanorganik maupun anorganik (Contoh: arang sekam, serbuk gergaji,
sabut kelapa,akar pakis, vermikulit, gambut dll).
Kelebihan Media Tanam Organik
● Kemampuan menyimpan air dan nutrisi tinggi
● Baik bagi perkembangan mikroorganisme bermanfaat (mikroriza
danlainlain)
15
● Aerasi optimal (porus)
● Kemampuan menyangga pH tinggi
● Sangat cocok bagi perkembangan perakaran
● Digunakan pada tipe irigasi drip
● Lebih ringan
Kekurangan media tanam organic
Kelembaban media cukup tinggi, rentan serangan jamur, bakteri, maupun
virus penyebab penyakit tanaman
Sterilitas media sulit dijamin
Tidak permanen, hanya dapat digunakan beberapa kali saja, secara rutin
harus digant
16
Kekurangan media non organic
Bukan media yang baik bagi perkembangan organisme bermanfaat
seperti
Mikoriza
Media lebih berat, karena umumnya berupa batuan
Terlalu cepat mengatuskan air, nutrisi yang diberikan sering terlindi
Kurang baik bagi perkembangan sistem perakaran
17
sistem budidaya sayuran secara vertikal berbasis pot talang plastik dengan
sistem akuaponik. Sistem ini diberi nama "vertiminaponik" karena mengambil
bentuk persegi dengan panjang 140 cm, lebar 100 cm, dan tinggi 90 cm dalam
bentuk tandon air berbahan fibreglass berkapasitas 500 liter.
18
Gambar 9.Contoh Tabulapot Mangga dan Avokad
Sumber : http://100gambarbunga.blogspot.com/2016/02/agar-tabulampot cepat-
berbuah.html
19
Media tanam mendukung pertumbuhan (struktur tanah, air tanah, drainase
tanah, pH tanah, unsur hara tanah, bahan organik tanah, suhu tanah).
Pengendalian hama dan penyakit selalu dilakukan secara rutin
f. Wall Gardening
Sistem budidaya wall gardening adalah jenis budidaya tanaman vertikal
yang memanfaatkan dinding atau tembok sebagai tempat penempatan modul
pertanaman. Wall gardening model ini populer digunakan untuk tanaman hias
dan dapat ditemukan di gedung perkantoran atau pusat perbelanjaan. Salah satu
model wall gardening yang diperkenalkan oleh BPTP Jakarta adalah sistem
kantong yang mudah dan murah untuk diaplikasikan oleh masyarakat. Sistem
kantong wall gardening dapat dibuat dari lembaran filter geotextile, bahan
screen, atau terpal. Selain sistem kantong, wall gardening juga dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem modul, dengan media tanam campuran cocopeat
dan pupuk kandang atau kompos yang dimasukkan ke dalam modul.
Penyiraman dan pemupukan pada sistem wall gardening biasanya dilakukan
menggunakan sistem fertigasi otomatis.
20
Tahapan pembuatan tanaman atap:
Membenahi struktur bangunan dan membuat atap dari beton/semen.
Melapisi dengan bahan water proofing hingga keting
Memberi lapisan penahan tanah dan pembuatan drainase
Memberi tanah yang subur
Penanaman tanaman
Pemilihan tanaman yang sesuai untuk taman atap::
Tahan terhadap sinar matahari langsung
Tidak menggunakan tanaman yang memiliki akar tunggang (menghujam ke
tanah) tetapi pilih yang berakar serabut atau menyebar ke samping dengan
kedalaman sekitar 30 cm serta pertumbuhannya lambat.
Memilih tanaman bunga yang mudah dan sering berbunga seperti mawar,
tapak dara, melati, dan lain-lain).
Memiliki banyak cabang untuk menciptakan bentuk agak rimbun.
Tanaman yang tahan kering karena evapotranspirasi di atap sangat besar.
21
Gambar 12.Contoh Taman Atap/Roof Garden di Gedung
Sumber : http://www.rumahhokie.com/beritaproperti/
h. Kultur Jaringan
Tehnik kultur jaringan digunakan sebagai hobi dan bisnis dalam
perbanyakan tanaman di perkotaan, namun belum dapat diaplikasikan secara
luas karena memerlukan peralatan dan keahlian khusus. Media tumbuh dan
wadah perlu disterilkan dalam kultur jaringan. Padatan gel dan nutrisi yang
dilarutkan dalam air biasanya digunakan sebagai media padat dan cair dalam
kultur jaringan. Produksi tanaman dengan kultur jaringan sudah berkembang di
negara maju, tetapi di Indonesia, hanya sebagian pengusaha tanaman anggrek
yang melakukannya secara komersial.
22
hias yang dapat digunakan untuk taman-taman kota dan rumah, nursery juga
dapat menambah nilai estetika di area pedestrian yang digunakan untuk
kegiatan pembibitan. Semakin banyak nursery tanaman hias yang dibangun di
perkotaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Meskipun tidak
menghasilkan bahan pangan, namun peran budidaya tanaman hias cukup besar
bagi masyarakat dan lingkungan perkotaan. Peranan tersebut antara lain:
Menciptakan lapangan pekerjaan
Menambah pendapatan
Menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota
Mengurangi polusi udara
Menambah estetika dan kenyamanan kota
Memelihara kekayaan sumber genetis tumbuhan, khususnya tanaman hias
Mengangkat daya jual tumbuhan liar yang dijadikan tanaman hias
Menjaga keanekaragaman hayati
Beberapa jenis tanaman hias ada yang berfungsi sebagai tanaman obat
23
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Urban farming atau pertanian perkotaan adalah budidaya tanaman dan
peternakan yang intensif di daerah perkotaan dan sekitarnya. Tantangan dalam
urban farming di Indonesia adalah keterbatasan lahan, sumber daya, dukungan
pemerintah, masalah kualitas tanah, kurangnya pengetahuan dan keterampilan,
iklim, dan pencemaran udara. Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi tantangan ini. Menggunakan konsep pertanian vertikal atau rooftop
farming. Mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada. Mendorong
dukungan pemerintah dan kemitraan antara petani urban dengan perusahaan
makanan lokal dan pasar lokal. Menggunakan teknik pertanian organik dan
hidroponik. Memberikan pelatihan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan dalam urban farming. Mengadopsi teknik pertanian yang sesuai
dengan kondisi iklim tropis. Dan terakhir, menggunakan teknik pertanian yang
ramah lingkungan untuk mengatasi masalah pencemaran udara.
3.2 Saran
Urban farming dapat menjadi alternatif yang potensial untuk meningkatkan
ketersediaan pangan lokal, memperkuat ekonomi lokal, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat perkotaan secara berkelanjutan.
24
DAFTAR PUSTAKA
Kusnandar, F., & Nurhayati, R. (2020). Potensi dan Kendala Budidaya Tanaman
Hortikultura di Lahan Perkotaan. Jurnal Pertanian Terpadu, 6(1), 1-8.
25
Pramudya, B. et al. (2021). Analisis Pencemaran Udara dan Dampaknya terhadap
Pertumbuhan Tanaman Hias di Kawasan Perkotaan. Jurnal Teknik
Lingkungan, 12(2), 103-110.
Rahayu, S., & Perdana, A. (2019). Pengaruh Sistem Pertanian Organik Terhadap
Sifat Fisika Tanah. Agrotekbis: Jurnal Ilmiah Agribisnis, 3(1), 47-52.
Santoso, E. B., & Widya, F. (2014). Potensi dan tantangan urban farming di
Indonesia. Jurnal Pembangunan Nagari, 3(2), 28-40.
26