Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KULIAH

MENSINTESIS KEBUTUHAN GIS UNTUK PENERAPAN


PRESISI PERTANIAN DALAM SISTEM PERTANIAN
BERLANJUT

Disusun Oleh:

Kelompok 4

M. Bagas Dwi N. 185040201111081


Wenny Dewanti 185040201111089
Atha Fariendana 185040201111124
Rohmatul Ummah 185040201111144

Dosen : Prof. Dr. Ir. Zaenal Kusuma, MS

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

i
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
BAB 2. KARAKTERISTIK DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN PRESISI
PERTANIAN DALAM SISTEM PERTANIAN BERLANJUT ......................... 4
BAB 3. REKOMENDASI PENERAPAN DAN PEMANFAATAN GIS UNTUK
MENDUKUNG IMPLEMENTASI PERTANIAN BERLANJUT. ................... 10
BAB 4. REKOMENDASI TEKNOLOGI UNTUK PENERAPAN PERTANIAN
PRESISI ........................................................................................................ 16
BAB 5. PENUTUP ...................................................................................................... 26
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 26
5.1 Saran ................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................27

ii
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman


1. Lanskap Persawahan di Daerah Pati, Jawa Tengah ..................................................7
2. Pertanian Presisi ............................................................................................................16
3. Output Sistem Aplikasi Untuk Penentuan Tingkat Kesesuaian Lahan ...................17
4. Grafik laju pemberian pupuk terhadap panjang exposed flute ................................19
5. Sistem pengaturan laju pemberian pupuk ..................................................................19
6.Diagram Blok Desain Sistem Kontrol ...........................................................................20
7. Alur Kerja Konsep FbF ..................................................................................................21

iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem produksi pertanian merupakan hasil dari interaksi kompleks berbagai
faktor interaksi berbagai faktor tersebut telah memungkinkan terjadinya kinerja hasil
tanaman yang berbeda-beda dan telah memungkinkan terjadinya inovasi teknologi
dalam produksi pertanian. Teknologi pertanian pada era Revolusi Hijau (Green
Revolution) telah memberikan dampak negative pada lingkungan. Dampak negative
dari teknologi pertanian telah banyak dibahas, sebagai contoh menurut Rodriguez
(2004) telah menunjukkan bahwa pengaruh negative dari sector pertanian yang
meliputi meningkatnya jumalh CO2 dan sumber pathogen yang dapat menyebabkan
penyakit dan infeksi. Kondisi ini telah mendorong pada penemuan teknologi
pertanian baru yang memberikan penekanan pada peningkatan efisiensi,
memberikan hasil yang tinggi dan ramah lingkungan. Setelah revolusi hijau, muncul
sistem pertanian terbaru yaitu pertanian berkelanjutan.
Pertanian berkelanjutan memiliki tiga dimensi yaitu lingkungan, sosial dan
ekonomi yang harus dipertimbangkan secara keseluruhan sehingga jika berfokus
hanya pada satu atau dua dimensi ini tidak akan memberikan hasil yang diinginkan
(Radite et al., 2000). Melindungi dan meningkatkan kualitas lingkungan alam adalah
esensial dan isu kritis terkait seperti perubahan iklim, kelangkaan air,
keanekaragaman hayati dan geografi serta degradasi tanah perlu ditangani dengan
lebih presisi dan arif. Dimensi sosial mencakup hak-hak petani dan kesehatan
masyarakat, termasuk ketahanan dan keamanan pangan serta kesejahteraan hewan
dan tanaman juga merupakan aspek sosial yang pentig. Di sisi ekonomi, pertanian
berkelanjutan harus produktif, efisien dan kompetitif. Manfaat harus dipandang
utamanya dari profitabilitas pertanian si seluruh rantai nilai dalam menumbuhkan
ekonomi lokal.
Teknologi pertanian Indonesia berkembang sangat pesat. Perkembangan ini
sejalan dengan tuntutan global yang memang memaksa Indonesia harus membuat
banyak perubahan dalam bidang teknologi pertanian. Perkemabangan ini meliputi
proses produksi di hulu hingga pengolahan produksi di hilir. Banyak aplikasi
teknologi yang digunakan dalam industry pertanian modern di Indonesia yang
bertujuan untuk mencapai hasil yang tinggi dengan biaya produksi yang rendah
serta dapat mengurangi dampak pada lingkungan. Salah satu aplikasi teknologi
yang sekarang pesat dikembangkan adalah pertanian presisi atau lebih kerennya
disebut precision farming. Penerapan pertanian presisi ini harus diterapkan karena
sumberdaya produksi pertanian sudah terbatas. Sumberdaya air, tanah, pupuk,
manusia dan faktor produksi lainnya sudah berkurang baik dari segi kuantitas
maupun kualitas sehingga optimalisasi untuk mendapatkan hasil produk pertanian
yang optimal dan berkualitas tinggi perlu dilakukan. Berbagai faktor yang dianggap
bertanggung jawab terhadap penurunan kualitas dan kuantitas antara lain yaitu
jumlah penduduk yang semakin bertambah, penggunaan lahan pertanian untuk
penggunaan lahan non pertanian, erosi dan degradasi lahan, dan berbagai sebab
lain yang menjadikan lahan mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas.
Pertanian presisi (Precision Farming/PF) merupakan informasi dan teknolgi
pada sistem pengelolaan pertanian untuk menidentifikasi, menganalisa, dan
mengelola informasi keragaman spasial dan temporal di dalam lahan untuk
mendapatkan keuntungan optimum yang berkelanjutan dan menjaga lingkungan.
Tujuan dari pertanian presisi ini adalah mencocokkan aplikasi sumberdaya dan

1
kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman
berdasarkan karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan. Hal tersebut berpotensi
diperolehnya hasil yang lebih besar dengan tingkat masukan yang sama, hasil yang
sama dengan pengurangan input atau hasil lebih besar dengan pengurangan
masukan dibanding sistem pertanian yang lain. Pertanian presisi ini mempunyai
banyak tantangan sebagai sistem produksi tanaman sehingga memerlukan banyak
teknologi yang harus dikembangkan agar dapat diadopsi oleh petani. Pertanian
presisi merupakan revolusi dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis teknologi
informasi.
Berbagai isu strategis telah mengahadang pembanguan pertanain di
Indonesia. Pada era abat ke 21 ini akan diwarnai isu yang akan terus berkembang.
Isu perubahan iklim, isu keterbatasan sumberdaya, ketahanan pangan dan
perdagangan bebas mau tidak mau akan mendorong pertanian Indonesia menuju
arah industrialisasi pertanian. Tuntutan industrialisasi akan segera datang dalam
waktu dekat untuk menjamin ketahanan pangan nasional, daya saing komoditas di
kancah internasional, isu keberlanjutan dan lingkungan. Untuk itulah pertanian
presisi ada untuk menyongsong era baru pertanian Indonesia yang tidak lagi dengan
cara-cara konvensional, tetapi harus dimodernisasi kea rah industrialisasi pertanian.
Walaupun perubahan ini akan berjalan tidak stabil, upaya yang terus menerus perlu
dilakukan untuk dalam jangka waktu yang akan datang adalah menerapkan sistem
pertanian presisi melalui proses perencanaan yang matang baik dari berbagai
sumberdaya termasuk sumberdaya manusia. Berdasarkan gambaran permasalahan
diatas menunjukkan bahwa pertanian presisi merupakan suatu alternative yang
menjanjikan untuk pertanian zaman sekarang. Namun demikian, permasalahan yang
berhubungan dengan pertanian presisi adalah munculnya permasalahan yang
berhubungan dengan peralatan dan teknik analisis yang digunakan dalam pertanian
presisi. Hal ini sangat problematis mengingat bahwa pertanian presisi berhubungan
dengan bagaimana memberikan input sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh
tanaman, baik menyangkut aspek lokasi, waktu dan jumlah masukan. Berbagai
alatpun digagas guna mendukung pertanian presisi ini. Menurut Subaryono (2005),
menjelaskan bahwa peranan berbagai alat dan teknik yang dapat digunakan dalam
pertanian presisi seperti Sistem Informasi Geografis (SIG), permodelan (modelling)
dan GPS. Pertanian presisi ini berhubungan dengan presisi lokasi dan Sistem
Informasi Geografi (SIG) merupakan alat yang paling banyak digunakan. Sistem
Informasi Geografis (SIG) merupakan sebuah sistem komputer yang bertujuan untuk
memasukkan , menganalisis dan menyajikan informasi-informasi yang teracu secara
keruangan (Murai, 2000)
Menurut Murai (2000), GIS (Geographical Information System) merupakan
sistem informasi yang digunakan untuk memasukan, menyimpan, mengolah,
menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospasial,
untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan
penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota dan
pelayanan umum lainnya. Sistem Informasi Geografis (SIG) ini sebagai suatu
kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data
geografi, dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh,
menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis dan menampilakn semua
bentuk informasi yang berreferensi geografi. Sistem Informasi Geografis ini sudah
banyak membantu para ahli dalam mengumpulkan data secara cepat. Misalnya
dalam mengetahui besar kerusakan yang diakibatkan oleh bencana alam.

2
Pencitraan jarak jauh lewat satelit dapat memberitakan secara cepat perbedaan
suatu daerah korban bencana baik dan sesudah terjadinya bencana. Sumber data
untuk keperluan Sistem Informasi Geografis dapat berasal dari data citra, data
lapangan, survey, peta, sosial ekonomi dan GPS. Selanjutnya diolah dalam ruang
komputer GIS dengan software tertentu sesuai dengan kebutuhannya untuk
menghailskan output berupa informasi yang berguna bisa berupa peta konvensional
maupun peta digital sesuai keperluan user maka harus ada input kebutuhan yang
diinginan. Aplikasi GIS di bidang pertanian ini sangat dibutuhkan guna mendapatkan
hasil produksi yang maksimal dan memuaskan. Aspek-aspek yang biasanya
menggunakan aplikasi GIS adalah pada bagaian pemetaan atau peletakkan
komoditas yang sesuai dengan keadaan lahan pertanian tersebut. Modelling
produksi tanaman merupakan salah satu contoh aplikasi Sistem Informasi Geografis
(SIG) di bidang pertanian. Permodelan dengan menggunakan SIG menawarkan
suatu mekanisme yang mengintegrasikan berbagai jenis data (biofisik) yang
dikembangkan atau digunakan dalam penelitian pertanian. Monitoring kondisi
tanaman pertanian sepanjang musim tanam serta prediksi potensi hasil panen
yanga kurat dan sangat dibutuhkan oleh departemen pertanian berbagai negara.
Aplikasi GIS ini juga membantu dalam memantau keadaan di sekitar wilayah
pertanian tersebut misalnya wilayah-wilayah yang terserang hama dan penyakit dan
lain-lain. Oleh karena itu, pada makalah ini akan memberikan penjelasan lebih lanjut
terkait dengan pertanian presisi dan bertujuan untuk menujukkan gagasan mengenai
bagaimana seharusnya Sistem Informasi Geografis (SIG) ini dapat digunakan
sebagai alat untuk pertanian presisi.

3
BAB 2. KARAKTERISTIK DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN PRESISI
PERTANIAN DALAM SISTEM PERTANIAN BERLANJUT
Indonesia merupakan negara agraris dengan 200 juta lahan dan 25%
digunakan untuk aktivitas pertanian. Kegiatan pertanian ini memiliki peran penting
dalam ekonomi nasional dengan kontribusinya pada Gross Domestic Product (GDP)
sebesar 15,4% (Anggarendra, 2016). Aktivitas pertanian yang umumnya dilakukan
pada tanaman pangan dan hortikultura, dengan budidaya pertanian lahan terbuka.
Sistem pengelolaan pada lahan terbuka berkaitan dengan dinamika perubahan iklim
dan kondisi lingkungan. Tantangan yang saat ini dihadapi dalam aktivitas budidaya
pertanian adalah keterbatasan sumberdaya alam, modal, dan pengetahuan terhadap
teknologi (Nugroho, 2018). Selain itu, faktor lahan yang semakin menurun akibat
alihfungsi lahan menjadi pemukiman juga menjadi tantangan untuk mengoptimalkan
kondisi yang ada. Namun, penduduk Indonesia yang semakin meningkat
mengharuskan lahan pertanian diubah menjadi pemukiman tempat tinggal mereka.
Sejak pertengahan tahun 1980, pada negara-negara maju monitoring lahan
pertanian dengan cara mengumpulkan secara kontinyu data sumber daya pertanian,
memproses, dan menganalisis, serta menginformasikan untuk keperluan
manajemen pertanian secara praktis. Konsep dari kegiatan monitoring yaitu
menekan biaya produksi pertanian dan meminimalkan efek kegiatan pertanian
terhadap lingkungan. Strategi seperti itu disebut pertanian presisi (precision
farming). Kunci utama yang membedakan manajemen pertanian antara
konvensional dengan pertanian presisi adalah penggunaan teknologi informasi
spasial yang digunakan untuk mengumpulkan, memproses, dan menganalisis
berbagai sumber data spasial pertanian (pembibitan, pemupukan, pestisida, irigasi)
secara berkelanjutan sebagai pendukung keputusan untuk optimalisasi hasil
pertanian dengan mempertahankan sumber daya alam yang ada (Darmawan, 2006).
Pertanian presisi adalah konsep pertanian dengan pendekatan sistem untuk
menuju pertanian dengan rendah pemasukan, efisiensi tinggi, dan pertanian
berkelanjutan (Nugroho, 2018). Definisi lain menyebutkan bahwa pertanian presisi
merupakan sistem pertanian yang mengoptimalkan penggunaan sumberdaya untuk
mendapatkan hasil yang maksimal dan juga mengurangi dampak terhadap
lingkungan. Konsep ini harus memperhatikan pendekatan sistem yang
memperhatikan input, proses, dan output. Berdasarkan Prabawa et al. (2009)
pertanian presisi merupakan (precision farming) merupakan informasi dan teknologi
pada sistem pengelolaan pertanian untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan
mengelola informasi keragaman spasial dan temporal didalam lahan untuk
mendapatkan keuntungan optimum, berkelanjutan, dan menjaga lingkungan. Tujuan
dari presisi pertanian ini yaitu mencocokkan aplikasi sumber daya dan kegiatan
budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman berdasarkan
karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan. Pertanian presisi yang sudah banyak
diterapkan di luar Indonesia harus mulai dikembangkan dan dimulai penelitiannya di
Indonesia terhadap setiap bagian lahan sehingga dapat meningkatkan produktivitas
dengan meningkatkan hasil, menekan biaya produksi dan mengurangi dampak
lingkungan.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat memberikan dampak positif
bagi pembangunan pertanian. Isu tentang precision farming memungkinkan untuk
meningkatkan mutu dan produktifitas di bidang pertanian. Precision farming atau
precision agriculture merupakan konsep pertanian yang berdasarkan pada

4
variabilitas lahan pertanian, dan merupakan pendekatan untuk menentukan tindakan
yang tepat pada lokasi yang tepat dengan cara yang tepat pada saat yang tepat
(Manalu, 2013). Precision farming membutuhkan teknologi canggih seperti global
positioning system (GIS), sensor tanah, sensor tanaman, sensor hama, satelit atau
foto udara, dan sistem informasi geografis (GIS) untuk menilai dan memahami
berbagai variabel lahan. Kumpulan dari informasi dapat dievaluasi secara teliti
mengenai pembenihan yang optimum, mengestimasi penggunaan pupuk dan
herbisida, serta memprediksi hasil panen lebih tepat. Precision farming menghindari
pemakaian input usahatani secara berlebihan, memberikan sesuai takaran
berdasarkan kondisi tanah dan iklim, dan membantu menaksir takaran yang tepat
untuk membasmi hama penyakit (Thorp dan Tian, 2004). Manfaat dari pertanian
presisi adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan lahan dari
berbagai aspek seperti aspek agronomi, teknik dan ekonomi. Khusus untuk aspek
lingkungan dapat mengurangi pencemaran misalnya dengan meningkatkan akurasi
estimasi kebutuhan nitrogen sehingga dapat meminimalisasi cemaran nitrogen yang
terbawa run off. Keuntungan lain yang didapatkan oleh petani yaitu adanya sistem
basis data yang akurat sehingga dapat membantu petani untuk mencatat data-data
usahatani dan hasil panen, sehingga dapat membantu para petani dalam mengambil
keputusan (Auernhammer, 2001).
Teknologi GIS dapat digunakan untuk menyimpan data, manajemen data,
analisis data dan visualisasi dalam bentuk spasial dan tabular. Kelebihan GIS dalam
pengelolaan pertanian dapat menghubungkan informasi lokasi petak pertanian di
lapangan dan kondisi. Perilakunya (atribut) sehingga dapat menganalisis petak
pertanian akibat perilaku hama yang menyerang, akibat kondisi irigasi, kondisi banjir
atau kekeringan (Darmawan, 2006). Sistem Informasi Geografis (GIS) adalah
teknologi informasi untuk menganalisa dan managemen dari data spasial dan
pemetaan. Data remote sensing (RS) yang mengidentifikasi variabel lahan dan GIS
menentukan lokasi dan mendefinisikan fitur spasial yang harus diberikan sesuai
dengan aplikasi sitespecific (Nahry et al., 2011). Variable rate technology (VRT)
memberikan ukuran input yang harus diberikan pada target sesuai dengan aplikasi
site-specific. Yield monitoring mencatat prokduktifitas tanaman sebagai data historis
untuk majemen tanaman. Penggunaan teknologi precision farming sangat
bergantung pada GIS/GPS/RS/VRT dan monitoring (Tifton, 2001; Doebelin, 1990).
Pertanian presisi dapat diterapkan pada berbagai tanaman budidaya,
serealia, hortikultura, maupun tanaman keras, bahkan sudah mulai diteliti
penggunaannya untuk peternakan. Aspek teknologi yang digunakan juga bervariasi,
dapat berupa kombinasi teknologi tinggi dengan rendah, bahkan pemungutan hasil
panen juga masih menggunakan metode manual. Sebagai contoh penerapan
precision farming dengan dukungan teknologi rendah adalah perkebunan kurma di
Saudi Arabia menggunakan lahan pertanian yang telah beroperasi dengan tanaman
usia panen, menggunakan pemberian ID (identitas) pada tiap-tiap pohon kurma
yang diplot kedalam peta tanaman. Yield monitoring juga dilakukan terhadap
masing-masing ID, aplikasi pemupukan dilakukan secara manual sesuai dengan
peta tanaman. Capaian yang diraih dengan perlakuan precision farming adalah
pengurangan tenaga kerja dan pengurangan penggunaan pupuk (Gil et al., 2007;
Godwin et al., 2003).
Contoh lain dukungan teknologi rendah dari precision farming adalah pada
perkebunan teh di Afrika Timur. Lahan sudah terstruktur dengan baik baik dan diatur
dalam blok per blok. Pemetaan tanaman dilakukan secara manual dengan

5
pencatatan berat dan kualitas. Pemupukan dilakukan dengan menyesuaikan peta
tanaman, sehingga capaian yang diraih adalah sistem irigasi dan pengaturan logistic
yang lebih baik. Precision farming dengan dukungan teknologi skala menengah
dilakukan pada industri gula di Australia, Brazil, dan Mauritius, lahan telah terstruktur
secara baik dalam blok-blok yang kecil. Pemanenan dan pemupukan dilakukan
dengan manual maupun secara mekanis. Capaian yang diraih adalah pengurangan
biaya dan di Brazil tercatat tidak pernah terjadi kebakaran tebu selama tahun 2006
(Blackmore, 2006). Di Amerika tengah (US) meskipun bukan dalam rangka kegiatan
pertanian berkelanjutan, para petani berusaha meningkatkan keuntungan dengan
cara hanya memupuk petakan sesuai keperluan. Aplikasi ini menyebabkan petani
memberikan pupuk pada tiap petakan dengan jumlah yang bervariasi, sehingga
penggunaan pupuk lebih optimum sehingga meningkatkan efisiensi. Proses ini
membutuhkan teknologi GPS untuk mengidentifikasi lokasi pemupukan (metode
GGS, Guided Grid Sampling).
Pertanian presisi adalah sistem pertanian terpadu berbasis pada informasi
dan produksi, untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan profitabilitas produksi
pertanian dari hulu ke hilir yang berkelanjutan, spesifik-lokasi serta meminimalkan
dampak yang tidak diinginkan pada lingkungan. Pertanian presisi menggunakan
pendekatan dan teknologi yang memungkinkan perlakukan presisi pada setiap
simpul proses pada rantai bisnis pertanian dari hulu ke hilir sesuai kondisi (lokasi,
waktu, produk, dan consumer) spesifik yang dihadapi (Seminar, 2016, Heriyanto et
al., 2016). Ada empat pilar utama dalam pendekatan pertanian presisi, yaitu:
1. Memandang aktivitas pertanian secara holistik dan menyeluruh dari hulu ke
hilir sebagai rantai proses yang terpadu dan berkesinambungan untuk
memastikan aliran konversi produk pertanian (tanaman, ternak, ikan, dan
turunannya) dengan aman, efisien, dan efektif dari lahan hingga ke meja
makan.
2. Memedulikan keragaman (heterogenitas) dan dinamika lokasi, waktu, objek
bio, iklim, geografi, kultur, pasar, dan konsumen.
3. Mendayagunakan teknologi yang memungkinkan pengamatan dan perlakuan
presisi.
4. Berbasis kepada data, informasi, dan pengetahuan yang sahih.
Penerapan pertanian presisi dari hulu ke hilir dalam rantai produksi dan
pasok produk pertanian dimulai dari menentukan dan melihat lahan yang sesuai
berdasarkan kondisi tanah, iklim, dan air, dilanjutkan dengan ketepatan dalam
menentukan metode pembukaan dan pengolahan lahan; metode dan waktu tanam;
metode dan waktu irigasi dan perawatan tanaman; pemupukan yang tepat jenis,
waktu, dan dosis; waktu dan metode panen; pengolahan pascapanen, transportasi,
kemasan produk, pemilihan target pasar; serta penyajian makanan yang tepat fungsi
dan aman.
Pertanian berkelanjutan memiliki tiga dimensi yaitu lingkungan, social, dan
ekonomi yang harus mempertimbangkan keseluruhannya sehingga berfokus pada
satu atau dua dimensi secara terisolasi tidak akan memberikan hasil yang hasil yang
diinginkan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian berkelanjutan
berkaitan erat dengan sumber mata pencaharian, dimana hanya mengutamakan
aspek keberlanjutan lingkungan, maka dihipotesiskan Economic outcome akan
menurun (Karwan, 2003). Melindungi dan meningkatkan kualitas lingkungan alam
adalah esensial dan isu kritis terkait, seperti perubahan iklim, energi, kelangkaan air,
keanekaragaman hayati dan geografi serta degradasi tanah perlu ditangani dengan

6
lebih presisi dan arif. Dimensi sosial mencakup hak-hak petani dan kesehatan
masyarakat, termasuk ketahanan dan keamanan pangan serta kesejahteraan hewan
dan tanaman juga merupakan aspek sosial yang penting. Di sisi ekonomi, pertanian
berkelanjutan harus produktif, efisien, dan kompetitif. Manfaat harus dipandang
utamanya dari profitabilitas pertanian di seluruh rantai nilai dalam menumbuhkan
ekonomi lokal.
Peningkatan ekonomi tanpa mempedulikan aspek ekologi akan
menyebabkan penurunan kesuburan lahan. penananaman secara monokultur telah
mengurangi keanekaragaman hayati yang ada di lingkungan. Penggunaan pupuk
kimia yang terlalu berlebihan tanpa diimbangi dengan penggunaan pupuk organik,
dalam jangka pendek menguntungkan. Namun secara jangka panjang dampak
ekonomi dan ekologi yang ditimbulkan sangat merugikan, terutama bagi generasi
yang akan datang (Wintgens, 2009). Proses pemiskinan hara tanah menjadi
ancaman yang serius bagi keberlanjutan sistem usaha pertanian di masa depan.

Gambar 1. Lanskap Persawahan di Daerah Pati, Jawa Tengah

Pengelolaan tanah merupakan bagian dari pengelolaan lahan yang bertujuan


untuk menciptakan kondisi tanah yang kondusif bagi perkecambahan, pertumbuhn
tanaman muda, perkembangan akar, pengembangan tanaman, pembentukan biji
dan panen (Barker and Pilbeam, 2007). Kegiatan pengelolaan tanah lebih luas
dibandingkan dengan konservasi tanah, yaitu meliputi kegiatan perlindungan dan
pengawetan tanah agar tidak terdegradasi sampai pada kegiatan ameliorasi
(perbaikan) tanah.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk kebutuhan pangan akan
semakin meningkat, namun hal ini berbanding terbalik dengan tersedianya lahan
pertanian yang semakin berkurang baik itu di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk
berbagai sektor, konversi lahan sawah cenderung mengalami peningkatan, di lain
pihak pencetakan lahan sawah baru (ekstensifikasi) mengalami perlambatan
(Sudaryanto, 2003). meningkat dan dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi dan
industri, menimbulkan konversi lahan pertanian. Selain itu kejadian alam juga dapat

7
mempengaruhi berkurangnya lahan pertanian, seperti erosi, tanah longsor serta
pencemaran lingkungan sehingga lahan pertanian tidak dapat digunakan sesuai
fungsinya. Dengan adanya permasalahan alih fungsi lahan maka dilakukan tindakan
pencegahan alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian menggunakan aplikasi
yang disebut sistem informasi geografis. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan
merupakan wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang
memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hampara Lahan
cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi
utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional
(PPRI No 25 2012).
Pada lanskap persawahan diatas, dapat terlihat kondisi tanah pada areal
persawahan di daerah Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pada gambar tersebut
meskipun sudah dilakukan pemanenan, tetapi dapat terlihat bahwa pada lahan
tersebut dilakukan pengolahan tanah yang intensif. Dikarenakan pada lahan sawah
biasanya para petani melakukan pengolahan tanah yang intensif dengan cara
mekanik atau modern. Adanya pengolahan tanah yang intensif dapat menyebabkan
perubahan struktur dan agregat tanah. Dua dari enam strategi pengelolaan tanah
berkelanjutan yang ditempuh meliputi: meningkatkan bahan organik tanah dan
meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah. Peningkatan bahan organik tanah
terhadap kualitas tanah meliputi meningkatkan stabilitas agregat tanah,
meningkatkan kapasitas tanah dalam menahan air, meningkatkan kemampuan
tanah dalam menahan hara, dan meningkatkan aktivitas biota tanah. Teknik
budidaya yang efektif dalam meningkatkan bahan organik tanah adalah pemulsaan
residu tanaman sebelumnya, olah tanah konservasi (OTK) jangka panjang, pupuk
hijau dan pupuk kandang. Teknik pemulsaan dengan menggunakan residu tanaman
sebelumnya merupakan teknik murah dan sederhana (Utomo, 1990). Selanjutnya
dengan meningkatnya kesuburan tanah tanaman diharapkan akan mampu
meningkatkan serapan hara sehingga hasil panen dan produksi akan meningkat
(Utomo, 2005).
Pengolahan tanah minimum adalah kegiatan mengolah tanah secara
terbatas atau seperlunya tanpa mengolah tanah pada seluruh areal lahan (LIPTAN,
1994). Pengertian lain dari pengolahan tanah minimum (minimum tillage) yaitu suatu
kegiatan mengolah tanah yang dilakukan seperlunya saja (seminim mungkin),
disesuaikan dengan kebutuhan pertanaman dan kondisi tanah. Pengolahan
minimum bertujuan untuk menjaga dan meminimalisir kerusakan struktur tanah.
Pengolahan tanah minimum merupakan cara pengolahan tanah yang cukup efektif
dilakukan untuk mengendalikan erosi dan banyak diterapkan pada tanah-tanah yang
berpasir sekaligus rentan terhadap erosi.
Aspek lain, dengan pengolahan minimum dapat menghemat biaya produksi.
Selain itu, dapat mengurangi biaya dan tenaga kerja untuk kegiatan pengolahan
tanah dan mengurangi biaya / tenaga kerja untuk kegiatan penyiangan secara
mekanik. Pengolahan tanah dapat dilakukan sekali dalam setahun sekali atau sekali
dalam 2 tahun tergantung pada kondisi tanah. Pada pengolahan tanah minimum,
sisa tanaman disebarkan seluruhnya diatas permukaan tanah sebagai mulsa setelah
dilakukan pengolahan tanah.
Kelebihan pengolahan tanah minimum, diantaranya:
a. Mencegah dan menghindari kerusakan struktur tanah
b. Mengurangi aliran pemukaan dan erosi

8
c. Mengamankan dan memelihara produktifitas tanah agar tercapai produksi
yang setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas.
d. Meningkatkan produksi lahan usaha tani.
e. Menghemat biaya pengolahan tanah, waktu dan tenaga kerja.

Kelemahan pengolahan tanah minimum, diantaranya:


a. Perakaran mungkin terbatas dalam tanah yang berstruktur keras.
b. Lebih cocok diterapkan pada tanah yang gembur
c. Perlu adanya pemberian mulsa secara terus menerus
d. Herbisida diperlukan apabila pengendalian tanaman pengganggu tidak
dilakukan secara manual / mekanis.
Implementasi dalam sistem pengolahan minimum, tanah yang diolah hanya
terbatas pada spot-spot tertentu dimana tanaman yang akan dibudidayakan tersebut
ditanam. Pengolahan tanah biasanya dilakukan pada bagian perakaran tanaman
saja (sesuai kebutuhan tanaman), sehingga bagian tanah yang tidak diolah akan
terjaga struktur tanahnya karena agregat tanah tidak rusak dan mikroorganisme
tanah dapat berkembang dengan baik. Pada kegiatan pengolahan minimum, tidak
seluruh areal lahan diolah, sehingga ada spot-spot dari lahan tersebut yang
diistirahatkan. Hal ini dapat menjaga dan memperbaiki struktur tanah karena dalam
lahan yang diistirahatkan, mikroorganisme tanah akan melakukan dekomposisi
bahan-bahan organik. Selain itu, mikroorganisme akan mengimmobilisasi logam-
logam berat sisa pemupukan yang ada dalam tanah sperti Al, Fe dan Mn.
Intara et al., (2011) mengemukakan bahwa dalam usaha meningkatkan
kondisi fisik tanah yang bertekstur liat diperlukan pengolahan tanah yang efektif dan
efisien untuk mempertahankan kondisi tanah yang lebih baik untuk pertumbuhan
tanaman. Makarim et al., (2000) menjelaskan produktivitas padi di lahan sawah,
antara lain disebabkan oleh rendahnya efisiensi pemupukan, belum efektifnya
pengendalian hama penyakit, penggunaan benih kurang bermutu dan varietas yang
dipilih kurang adaptif, sifat fisik tanah tidak optimal serta pengendalian gulma kurang
optimal. Pada persawahan di daerah Pati, Jawa Tengah tersebut harus dilakukan
analisis melalui Sistem Informasi geografis (SIG), agar dalam pemberian pupuk tidak
dilakukan sembarangan dan tidak berlebihan. Penggunaan pupuk yang berlebihan
tidak mencerminkan sistem pertanian berlanjut, sehingga pertanian presisi tidak
terlaksana. Pertanian presisi adalah sistem pertanian terpadu berbasis pada
informasi dan produksi, untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan profitabilitas
produksi pertanian dari hulu ke hilir yang berkelanjutan, spesifik-lokasi serta
meminimalkan dampak yang tidak diinginkan pada lingkungan. Pertanian presisi
adalah konsep pertanian dengan pendekatan sistem untuk menuju pertanian dengan
rendah pemasukan, efisiensi tinggi, dan pertanian berkelanjutan.

9
BAB 3. REKOMENDASI PENERAPAN DAN PEMANFAATAN GIS UNTUK
MENDUKUNG IMPLEMENTASI PERTANIAN BERLANJUT.

Pembahasan terkait dengan penerapan dan pemanfaatan GIS sendiri secara


tidak langsung akan sangat berhubungan dengan praktik pertanian presisi yang
dewasa ini sedang sangat digencarkan. Akhir-akhir ini negara-negara dalam ruang
lingkup Asia telah memulai usaha guna mempromosikan pertanian presisi.
Departemen Pertanian yang ada di Jepang sudah berupaya dengan cara
mengalokasikan dana untuk kegiatan penelitian terkait pertanian presisi sejak April
1998. Kegiatan yang ada berkenaan dengan pengujian teknologi dari pertanian
presisi untuk beras telah sampai di tingkat dimana pertanian sedang dalam
penelitian oleh beberapa universitas di Kyoto, Tokyo dan Hokkaido masih
berlangsung. Ada juga beberapa hasil yang sudah ditemukan, seperti halnya di
Universitas Kyoto yang pada akhir tahun 90-an telah mengembangkan mesin
pemanen padi dua baris untuk menentukan hasil panen berbasis petak mikro.
Beberapa organisasi atau badan di bawah pemerintah seperti Bio-oriented
technology Research Advancement Institution (BRAIN), kemudian perusahaan
swasta serta perusahaan perdagangan seperti Mitsubishi, Omron dan Hitachi kini
sedang mencari kemungkinan terkait dengan upaya menggunakan citra resolusi
yang tinggi untuk penerapan pertanian presisi.
Selanjutnya Malaysian Agricultural Research and Development Institute
(MARDI) yang berkedudukan di Selangor, Malaysia telah memulai untuk
memprakarsai penelitian tentang pertanian presisi terhadap padi gogo. Kemudian
juga di India, oleh beberapa peneliti dari sektor swasta sudah memulai menjalankan
studi terkait pertanian presisi terhadap tanaman yang memang memiliki nilai jual
yang tinggi seperti kopi, teh dan kapas. Lalu beranjak ke Sri Lanka, dimana para
peneliti di Tea Research Institute sedang memeriksa serta menguji ketepatan
pengelolaan karbon organik dalam tanah.
Akan tetapi di setiap negara yang ada di Asia, terdapat beberapa wilayah
dimana mereka berada dalam posisi yang lebih baik dalam usaha mengadopsi
teknologi pertanian presisi daripada wilayah yang lain. Misalnya mengambil contoh
di Hokkaido, Jepang dimana mereka lebih baik dalam usaha penerapan pertanian
presisi apabila dibandingkan dengan prefektur yang lain. Hal ini dikarenakan
pertanian yang ada di sana tergolong relatif besar. Kemudian dari India, terdapat
daerah Punjab dan Haryana, yang dimana penerapan mekanisasi pertanian yang
ada sudah lazim dilakukan dibandingkan dengan wilayah yang lain. Hal ini mungkin
saja dipengaruhi karena mereka lah yang pertama mengadopsi pertanian presisi
dalam skala terbatas di India.
Pertanian presisi sendiri apabila dilihat dengan lebih mendetail merupakan
perpaduan atas teknologi dan praktik yang dapat diterapkan dalam usaha untuk
mengoptimalkan berbagai kegiatan pertanian, akan tetapi tidak terbatas pada:
 Persiapan lahan (jenis lahan dan pengolahannya, pengelolaan terkait sisa
tanaman dan bahan organik dalam tanah, pengurangan terhadap terjadinya
pemadatan, pengelolaan sisa hasil pasca panen);
 Penanaman (terkait waktu dan kecepatan menanam, jumlah populasi tanaman
dan kedalaman tanam, penentuan varietas yang digunakan, rotasi tanaman yang
perlu dilakukan);

10
 Pengelolaan input (yakni berkenaan dengan tingkat dan metode penggunaan
pupuk, pestisida, perubahan kondisi tanah, ketersediaan air);
 Pendeteksian serta pemantauan tekanan terhadap tanaman (baik oleh serangga,
penyakit, gulma, atau juga karena faktor abiotik); dan
 Pemanenan (terkait waktu panen, kuantitas dan kualitas hasil panen, pengolahan
pasca panen).
Selama ini pengelolaan hama serangga melalui penyemprotan yang tepat
mungkin menarik dan sering diterapkan pada tanaman seperti kapas, hal ini karena
secara luas penggunaan insektisida untuk pertanaman kapas jumlahnya lebih besar
apabila dibandingkan dengan penggunaan insektisida untuk jenis tanaman lainnya.
Kurang lebih dua per tiga wilayah kapas yang ada dunia sekarang ini dirawat, salah
satunya dengan penggunaan insektisida, misalnya yang berada di India, Pakistan
dan Cina. Sebanyak 40% dari total seluruh penjualan insektisida yang ada di India
adalah diperuntukkan bagi pertanaman kapas. Karena dirasa penggunaan pestisida
yang dilakukan sudah terlalu berlebihan dan dilakukan secara sembarangan, maka
tingkat terjadinya keracunan pada ekosistem semakin meningkat dan terjadinya
resistensi hama secara paralel adalah masalah utama yang dihadapi dalam
pertanaman. Maka dalam hal ini, guna memperbaiki agroekosistem yang sudah ada
maka perlu adanya Pengelolaan Hama secara Terpadu (PHT) yang
direkomendasikan untuk dilakukan guna mengurangi ketergantungan terhadap
penggunaan insektisida, tetapi dengan catatan yang perlu diketahui untuk PHT
bahwa membuat pengendalian hama yang terpadu tentunya memerlukan waktu dan
biaya yang tidak sedikit dalam kurun waktu bertahun-tahun, hal ini salah satunya
juga dikarenakan biaya tenaga kerja yang sudah semakin meningkat.
Berdasar studi di AS menunjukkan bahwa penerapan teknologi pertanian
presisi dapat membantu dalam upaya mendeteksi dan memetakan aktivitas
penyebuan oleh serangga hama, sehingga dapat menjadi komponen yang berguna
untuk upaya pengendalian hayati secara terpadu. Dengan memanfaatkan citra
gambar/video dari udara dalam mendeteksi infestasi kutu kebul di lahan pertanaman
kapas dan mengintegrasikan hasil data gambar/video tersebut dengan GPS dan
GIS. Infestasi hama dapat dideteksi melalui citra video inframerah dimana dapat
diketahui dekat lokasi diketahui adanya kutu kebul serta endapan cendawan jelaga
pada dedaunannya. Pengintegrasian penggunaan GPS dengan citra gambar/video
memungkinkan guna mengetahui posisi koordinat lintang ataupun bujur dari
terjadinya infestasi serangga pada setiap citra yang ditangkap. Setelahnya koordinat
GPS tadi kemudian dapat diinputkan ke dalam GIS untuk selanjutnya dilakukan
pemetaan terjadinya infestasi serangga hama. Penggunaan teknologi pertanian
presisi juga memungkinkan bagi ahli/peneliti entomologi untuk mengembangkan
peta secara regional dimana infestasi serangga hama sedang berlangsung/terjadi di
area yang lebih luas dari sebelumnya (misalnya saja terjadinya infestasi belalang
pada pertanaman padi).
Selanjutnya kita beranjak terkait dengan masalah gulma. Gulma seperti
Imperata cylindrica selama ini telah menjadi momok terhadap berbagai jenis
pertanaman dalam sistem tanam yang banyak diterapkan di kawasan Asia. Upaya
pengendalian gulma semacam ini tentunya memrlukan biaya yang begitu mahal
serta akan sangat memakan waktu kedepannya. Dengan penerapan teknologi
pertanian presisi menggunakan citra gambar penginderaan jarak jauh dengan GIS
dan pemanfaatan teknologi penentuan koordinat GPS, maka nantinya dapat
dilakukan pemetaan terhadap gulma. Peta distribusi gulma dapat dibuat dan

11
digunakan untuk menentukan metode pengendalian yang sesuai untuk diterapkan,
serta guna mengetahui jenis gulma yang nantinya akan menjadi target sasaran
penerapan pengendalian gulma dengan penyemprotan herbisida secara presisi dan
tepat sasaran. Nantinya jika dirasa gulma tidak menyebabkan kehilangan hasil yang
begitu signifikan, maka teknik pengendalian pertanian presisi mungkin tidak terlalu
diperlukan untuk diaplikasikan. Hal ini juga serupa juga, apabila gulma yang
diketahui dari hasil pendataan terdistribusi secara merata, maka aplikasi penyiaran
terhadap kondisi terkait gulma mungkin merupakan salah satu pendekatan yang
dianggap masuk akal. Sebaliknya, penyemprotan herbisida yang tepat sasaran
dapat memberikan efektifitas dalam usaha mengendalikan gulma yang resisten pada
pertanaman. Nantinya peta sebaran gulma akan digunakan bersama dengan peta
kapasitas/kekuatan lapisan tanah, hal ini dilakukan guna membantu mengoptimalkan
intensitas budidaya tanaman di berbagai lokasi lapangan.
Dengan memanfaatkan software GIS, maka peta populasi tanaman yang
pertumbuhannya optimal dapat diketahui dan dipetakan sebagai fungsi dari
beragamnya jenis tanah dan faktor-faktor pendukung lain seperti status ketersediaan
air. Berdasarkan peta ini juga, tingkatan jenis tanaman dapat diberi keragaman atau
divariasikan untuk mengoptimalkan hasil produksi lahan. Hampir di seluruh kawasan
Asia, lahan pertanian adalah pengguna utama dari air yang tersedia. Misalnya saja
di Thailand, untuk pangsa pengguna air yang ada disana hampir mencapai 90%
adalah untuk keperluan pertanian. Dengan adanya fakta semacam ini maka pelu
adanya upaya penghematan air melalui pengelolaan irigasi dan pengaturan air
secara presisi agar dimanfaatkan oleh tanaman secara tepat sangat penting
dilakukan di kawasan Asia, hal ini karena sumber daya air per kapita setiap
waktunya akan mengalami penurunan secara cepat. Pemanfaatan peta topografi
yang dikombinasikan dengan peta populasi tumbuhan dapat digunakan untuk
pengoptimalisasian waktu membutuhkan air, berapa jumlah air yang diperlukan dan
terkait penyaluran serta penempatan air di berbagai lokasi lahan pertanian. Tentu
saja informasi semacam ini mesti didapatkan dengan penerapan GIS sebagai
bagian dari praktik pertanian presisi. Pihak pemilik perkebunan misalnya, dapat
menggabungkan informasi tensiometer tentang kelembaban tanah dengan
memanfaatkan peta evapotranspirasi yang berasal dari prakiraan cuaca dan
kemudian divariasikan dengan ketersediaan air irigasi, yang nantinya digunakan
untuk penyesuaian dengan kebutuhan tanaman.
Ada salah satu konsep pertanian yang dianggap paling berguna yaitu
mengenai gagasan dalam usaha mengidentifikasi dan membedakan wilayah atau
zona yang relatif seragam di suatu kondisi lapangan, sekaligus pengembangan
terhadap pengelolaan yang sesuai di setiap wilayah atau zona. Nyatanya realisasi
definisi zona/wilayah pengelolaan yang realistis itu membutuhkan keahlian,
keterampilan dan juga pengetahuan yang memadai guna mengetahui tentang
hubungan spasial antara hasil produksi dengan faktor-faktor lainnya. Terdapat
kemungkinan bahwa di beberapa wilayah menunjukkan respon ekonomi terhadap
herbisida yang digunakan secara bervariasi dalam pertanian, namun hal ini tidak
berlaku untuk pupuk. Dalam usaha pengembangan pengelolaan wilayah/zona
terdapat dua macam metode umum untuk mengembangkan pengelolaan
wilayah/zona, yang pertama yakni dengan pengambilan sampel tanah dalam
jaringan lahan secara intensif, dan yang kedua yakni dengan pemantauan hasil
mekanis setidaknya selama 3-4 tahun. Akan tetapi kedua tahapan proses ini
sangatlah memakan waktu dan menelan biaya yang sangat tidak sedikit atau mahal.

12
Dengan adanya data citra gambar/video, dapat memberikan pandangan yang
komprehensif dari suatu daerah dengan tetap menjaga konektivitas spasial dengan
bidang yang kecil, sehingga nantinya dapat dikurangi kebutuhan terkait dengan
pemodelan spasial yang kompleks. Dengan kemunculan satelit yang mampu
menangkap citra gambar/video dalam resolusi yang tinggi, maka nantinya akan ada
penurunan biaya memperoleh data citra gambar/video. Sehingga diharapkan
penginderaan jarak jauh dapat membantu mengurangi biaya variasi hasil pemetaan
dan menentukan pengelolaan zona/wilayah.
Analisis pencitraan secara multitemporal dan multispektral dari hasil citra
gambar yang diperoleh berkaitan dengan pertumbuhan tanaman, kemudian
dilakukan layering gambar tersebut untuk dimasukkan ke database kartografi
diharpkan mampu membantu dalam mengidentifikasi suatu area tertentu yang
membutuhkan perhatian khusus dari pengelola dan perencana praktik pertanian.
Melalui hasil analisis tersebutlah, para staf penyuluhan dapat memberikan saran
kepada petani terkait dengan cara pembagian lahan pertanian agar lahan mereka
dapat menjadi zona/wilayah yang memang seragam dan pengambilan sampel tanah
dilakukan secara efisien, namun masih kurang intensif jika dibandingkan dengan
pengambilan sampel melalui grid. Sistem perangkat lunak seperti SSToolbox dapat
digunakan untuk melakukan berbagai kebutuhan GIS dan analisis statistik yang
diperlukan untuk menentukan pengelolaan wilayah/zona.
Langkah pertama yang dilakukan guna memulai strategi pertanian presisi
yaitu dengan mengembangkan rencana dasar pertanian berdasarkan pengalaman di
masa lalu dengan bidang tertentu, seperti penentuan jenis tanaman, praktik
pertanian yang akan dilakukan, serta sumber daya yang tersedia saat ini. Dengan
sistem backpack GPS, seorang petani dapat secara progresif melakukan bimbingan
dengan petugas penyuluh desa yang dapat berkeliling ke batas wilayah lapang serta
mencatat koordinat setiap lahan yang ada di desa tersebut. Pencatatan nantinya
dapat dilakukan dengan memperoleh posisi GPS setiap 20 meter atau ditentukan
pada titik-titik tertentu seperti tiang pagar atau batas lahan maupun tanaman yang
dapat diketahui. Jika kondisi lapang cukup banyak dan luas, maka informasi dari
GPS dapat direkam saat menggunakan traktor di sekitar batas lahan. Data logger
yang diperoleh dapat digunakan untuk mencatat jenis tanah dan kondisi di lapang.
Petugas penyuluhan dapat mengunduh data GPS yang direkam sebelumnya ke
dalam komputer, setelah itu lakukan koreksi diferensial pada data posisi sebelum
memproses atribut atau kode. Dengan menggunakan program GIS, peta batas lahan
di lapang dapat dibuat dan total luas setiap bidang dapat diketahui. Nantinya data
tanaman akan menyesuaikan pada lapisan yang ada pada peta blok digital yang
ada. Pada wilayah dimana terjadi fragmentasi dan sub-divisi dari lahan secara tidak
umum, maka perlu suatu survei memadai untuk menentukan batas lahan, yang
kedepannya dapat digunakan selama bertahun-tahun. Setelah peta batas lahan
semua bidang selesai, maka area dapat dibagi menjadi beberapa unit yang lebih
kecil-kecil, sehingga alamat setiap unit yang ada dapat dengan mudah dicatat.
Sebelum nantinya semakin menjauh arah pembicaraan maka perlu diketahui
dahulu GIS atau SIG. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem
berbasis komputer yang digunakan untuk merekam dan menyimpan informasi-
informasi dalam bentuk geografi (Aronoff, 1989). SIG dirancang guna keperluan
mengumpulkan, menyimpan dan menganalis obyek-obyek dan fenomena dimana
lokasi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. SIG
membantu antara lain automatisasi proses pengumpulan data, memanipulasi data,

13
analisis data, dan penyajian informasi untuk berbagai keperluan dalam bentuk grafis
(Burrough, 1986). Keuntungan utama dari SIG adalah kemampuannya untuk
memungkinkan secara mudah memperbaharui informasi dan menyajikan hasilnya
dalam bentuk yang sesuai dengan yang diinginkan pengguna (Davidson, 1992).
Menurut Prahasta (2001) SIG terdiri dari empat komponen utama yang
terintegrasi menjadi satu kesatuan, yaitu perangkat keras, (seperti Desktop PC,
mouse, keyboard, digitalizer, printer, plotter, dan scanner), perangkat lunak
(menyediakan fungsi untuk memasukan, menyimpan, menganalisis dan
menampilkan data dalam bentuk geografis), data dan informasi geografis (yakni data
dan informasi yang mempunyai informasi keruangan/spasial dan memiliki sistem
referensi tertentu), dan manajemen (meliputi orang-orang yang memiliki keahlian
untuk setiap tahapan implementasi SIG).
Sistem Informasi Sumberdaya Lahan Pertanian (SISLP) adalah salah satu
bentuk sistem informasi geografis, dimana data sumberdaya lahan pertanian
merupakan jenis dari sub-komponen data dan informasi geografis. Seperti juga SIG
umum yang berbasis web, sistem informasi sumberdaya lahan pertanian juga dapat
diterapkan dalam basis web. Jadi, komponen SISLP dan cara kerjanya adalah sama
dengan komponen dan cara kerja SIG yang umum kecuali obyek yang dikaji adalah
data dan informasi sumberdaya lahan pertanian (Sulaeman et al., 2015).
Data sumberdaya lahan pertanian adalah jenis data yang diamati dan diukur
di lapangan seperti data morfologi, sifat lahan dan lingkungan, lokasi titik
pengamatan dan lain sebagainya atau diukur langsung di laboratorium seperti data
hasil analisis kimia dan data curah hujan harian atau diukur menggunakan sensor
seperti data citra. Informasi sumberdaya lahan pertanian adalah hasil dari
pengolahan terhadap data dasar sumberdaya lahan. Data-data dasar yang
diinterpretasi atau direklasifikasi menggunakan kelas interpretasi tertentu atau model
baik model mental yang digali dari pengalaman (brain model) atau model empiris
menghasilkan informasi sumberdaya lahan.
Pendekatan dan Metodologi yang digunakan diantaranya:
 Pertama ialah Backup and recovery, merupakan salah satu fungsi yang sangat
penting dari suatu sistem basis data dan sistem informasi untuk memastikan
bahwa sistem dan basisdata dapat berfungsi secara lestari. Kegiatan backup
akan duplikat (copies) dari program, file, dan data. Jika komputer atau sistem
mengalami kegagalan (failure), backup program, file, dan data dapat direcovery
sehingga sistem informasi dan basisdata kembali berfungsi (Davis dan Olson,
1984). Backup data ini menjadi kegiatan pokok dalam pengembangan sistem
informasi sumberdaya lahan. Sistem backup dapat dilakukan dengan berbagai
cara, baik berdasarkan tema peta, lokasi penelitian, jenis data (spasial, tabular,
metadata), atau kegiatan penelitian. Untuk di BBSDLP, sistem backup
berdasarkan lokasi penelitian merupakan pilihan terbaik untuk sistem backup
sumberdaya lahan berdasarkan kondisi data sumberdaya lahan serta terkait
dengan kemudahan dalam penelusurannya (Shofiyati et al., 2008).
 Kemudian yang selanjutnya yaitu pengembangan basisdata spasial.
Geodatabase menyimpan dan memanggil data yang menyajikan obyek-obyek
spasial dalam bentuk titik, garis, polygon, maupun raster. Geodatabase
menggunakan indeks spasial untuk pencarian dan penampilan data, sementara
dapat melakukan aneka operasi spasial (seperti: clipping, overlying, dan lain-lain).
Geodatabase dapat dibedakan menjadi basisdata pengelola data spasial dan
basisdata pengelola data non-spasial, namun keduanya saling berhubungan dan

14
menyatu dalam pelaksanaan operasi dalam geodatabase. Untuk di BBSDLP
sendiri, kedua sub basisdata ini dikelola dan disimpan secara terpisah, namun
keduanya telah dirancang agar dapat diintegrasikan secara cepat dan efisien
manakala diperlukan untuk suatu operasi geospasial. Basisdata spasial
menggunakan perangkat lunak ArcGIS sementara basisdata non-spasial
menggunakan MS-Acces. Data dalam kedua basisdata ini dihubungkan oleh fitur
key id yang diaktifkan dan disimpan dalam ArcGIS.
 Berikutnya yakni Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Web.
Pengembangan sistem informasi berbasis web ini menggunakan metodologi
pengembangan sistem FAST (Framework for the Application of System Thinking)
(Whitten et al., 2004). Rangkakerja (framework) ini mendeskripsikan proses
spesifikasi, pengembangan, validasi dan evolusi serta menggambarkan sebagai
tahapan proses yang terpisah dari pengembangan sistem, seperti: spesifikasi
kebutuhan, desain, implementasi, pengujian dan seterusnya. Apabila mengikuti
rangka kerja ini, pelaksanaan kerja pengembangan sistem informasi dengan
FAST dimulai berdasarkan hasil pengamatan dari permasalahan, kesempatan,
petunjuk, batasan dan visi yang ada di komunitas binis dalam hal ini bisnis
informasi pertanian. Semua hal ini didefinisikan secara jelas dan terukur dalam
Definisi Lingkup, Analisis Masalah dan Analisis Persyaratan. Pada tahapan ini
layanan sistem, batasan-batasan, dan tujuan ditetapkan setelah melalui
konsultasi dengan para stakeholder dan shareholder dari sistem yang akan
dikembangkan. Kebutuhan atau persyaratan tersebut kemudian didefinisikan
secara rinci dan disajikan sebagai spesifikasi sistem.
Saat ini sudah banyak sistem pengelolaan basisdata, diantaranya SIMADAS
(Sistem informasi Manajemen Data Sumberdaya Lahan) yang terintegrasi MS
Access, IndoSoilObs (sebagai Geodatabase titik pengamatan), IndoSoilMap
(Geodatabase Peta Tanah dan Peta Tematik), dan lain sebagainya yang dapat
diakses dengan baik. Kemudian ada sistem sistem informasi untuk penelusuran
data, diantaranya seperti MOPET (Modul Penelusuran Peta), KATALOG PETA
(Sistem Informasi Penelusuran Berbasis Web), dan masih banyak lainnya.

15
BAB 4. REKOMENDASI TEKNOLOGI UNTUK PENERAPAN PERTANIAN
PRESISI

Gambar 2. Pertanian Presisi


(Sumber: http://ratihherny.blogspot.com/2017/05/precision-farmingpf-pertanian-presisi.html)
Pertanian presisi merupakan suatu alternative yang menjanjikan untuk
pertanian zaman sekarang. Namun demikian, permasalahan yang berhubungan
dengan pertanian presisi adalah munculnya permasalahan yang berhubungan
dengan peralatan dan teknik analisis yang digunakan dalam pertanian presisi. Hal ini
sangat problematis mengingat bahwa pertanian presisi berhubungan dengan
bagaimana memberikan input sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh tanaman,
baik menyangkut aspek lokasi, waktu, dan jumlah masukan. Berbagai alat pun
digagas guna mendukung pertanian presisi ini. Peranan berbagai alat dan teknik
yang dapat digunakan dalam pertanian presisi seperti Sistem Informasi Geografis
(SIG), permodelan (modelling) dan GPS. Pertanian presisi ini berhubungan dengan
presisi lokasi dan Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan alat yang paling
banyak digunakan. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sebuah sistem
komputer yang bertujuan untuk memasukkan, menganalisis dan menyajikan
informasi-informasi yang teracu secara keruangan. Penerapan pertanian presisi ini
dapat digunakan dalam pemilihan lahan yang tepat. Dalam pemilihan lahan ini harus
memperhatikan terkait dengan kesesuaiaan lahannya. Teknologi informasi geografis
dengan basis data spasial dapat digunakan untuk melihat kesesuaiaan lahan suatu
tanaman dengan melakukan pendekatan terhadap kondisi tanah, iklim, ketersediaan
air serta kontur tanah pada suatu wilayah tertentu. Dengan ini, pemilihan lahan
terbaik untuk suatu tanaman tertentu dapat ditetapkan secara presisi. Contohnya
yaitu penentuan kesesuaiaan lahan untuk tanaman padi di wilayah Pati, Jawa
Tengah dilakukan dengan memanfaatkan basis data spasial, cuaca, kondisi tanah
dan tutupan lahan sehingga dapat ditampilkan lokasi lahan dan luasannya dalam
berbagai tingkat kesesuaiaan lahan untuk tanaman padi. Hasil dari analisis
kesesuaiaan lahan ini dapat digunakan untuk perencanaan wilayah agroindustry
yang lebih berkelanjutan karena berbasis pada kondisi alam setempat. Selain itu,
pendekatan pertanian presisi dengan memanfaatkan data agroklimat dan data
spasial yang dapat diambil dari satelit atau GPS dapat digunakan untuk
perencanaan pemilihan metode pembukaan dan pengolahan lahan yang tepat dari
beberapa aspek sumberdaya seperti mekanisasi serta tenaga manusia, aspek
ekonomi dan aspek lingkungan. Penerapan teknologi sistem pendukung keputusan
(SPK) berbasis pengetahuan dapat digunakan untuk membantu pemilihan metode

16
yang terbaik dalam pemilihan metode pembukaan dan pengolahan lahan yang tepat
atau yang lebih presisi.

Gambar 3. Output Sistem Aplikasi Untuk Penentuan Tingkat Kesesuaian Lahan


(Sumber: Wijayanto et al., 2015)
Selain itu, implementasi pertanian presisi yang dapat diterapkan adalah
Manajemen Tanaman Spesifik-Lokasi (Site-Specific Crop Management/SSCM) di
mana keputusan pada aplikasi sarana dan prasarana produksi dan praktik agronomi
ditingkatkan kualitas dan akurasinya dengan menghitung kebutuhan kesesuaiaan
tanah dan tanaman yang lebih baik karena sifat keragaman dari tanah dan tanaman
di lapangan (Whelan dan Taylor, 2013). Pendekatan pertanian presisi juga dapat
digunakan untuk menghitung dosis yang tepat pada penyemprotan gulma. Dosis
herbisisda ditentukan sesuai dengan populasi gulma yang dihitung secara nyata
dengan menggunakan tangkapan sensor kamera yang ditempatkan pada traktor
tangan yang dioperasikan di lahan. Citra tutupan gulma yang terfilter dan ditangkap
kamera menunjukkan luasan populasi gulma yang menentukan dalam dosisi
penyemprotan. Penyemprotan dengan dosis yang tepat akan menghemat
banyaknya herbisida yang digunakan dan mengurangi dampak kerusakan
lingkungan yang tidak diharapkan. Selain itu, pertanian presisi ini juga dapat
digunakan untuk pendugaan kemungkinan serangan hama. Pendugaan terhadap
kemungkinan serangan hama yang akan terjadi dapat dilakukan dengan

17
menggunakan data klimat dan jenis tanaman yang ada di suatu lahan yang diakuisisi
dari satelit dan GPS sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan serangan hama
tertentu. Pencegahan serangan hama yang terprediksi tersebut dilakukan dengan
menentukan penjadwalan penyemprotan yang tepat serta pemilihan ukuran katup
(nozzle) semprot yang sesuai dengan kondisi geospasial lahan.
Rekomendasi pemupukan yang tepat jenis, dosis dan waktu untuk padi
sawah berbasis pertanian presisi telah dikembangkan oleh IRRI bekerja sama
dengan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian (Dobermann dan Fairhust, 2000).
Sistem ini telah dikembangkan menggunakan teknologi web dan mobile yang dapat
diakses oleh petani atau kelompok tani di berbagai wilayah untuk mendapatkan
rekomendasi pupuk yang sesuai berdasarkan varietas padi yang ditanam, serta
karakteristik spesifik, luas lahan, karakteristik klimat dari lokasi sawah yang digarap
oleh petani. Pendekatan presisi pemberian air yang tepat waktu dan tepat volume
pada lahan tanaman yang dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi spesifik
lahan, kelembapan tanah, jenis tanah dan periode tanam (Heriyanto et al., 2016).
Penyediaan dan penentuan tingkat ketersediaan air irigasi yang presisi secara
spasial juga merupakan bagian dari pertanian presisi di rantai hulu pertanian.
Pertanian presisi dapat diterapkan pada berbagai tanaman budidaya,
serealia, hortikultura, maupun tanaman keras, bahkan sudah mulai diteliti
penggunaannya untuk peternakan. Aspek teknologi yang digunakan juga bervariasi,
dapat berupa kombinasi teknologi tinggi dengan rendah, bahkan pemungutan hasil
panen juga masih menggunakan metode manual. Sebagai contoh penerapan
precision farming dengan dukungan teknologi rendah adalah perkebunan kurma di
Saudi Arabia menggunakan lahan pertanian yang telah beroperasi dengan tanaman
usia panen, menggunakan pemberian ID (identitas) pada tiap-tiap pohon kurma
yang diplot kedalam peta tanaman. Yield monitoring juga dilakukan terhadap
masing-masing ID, aplikasi pemupukan dilakukan secara manual sesuai dengan
peta tanaman. Capaian yang diraih dengan perlakuan precision farming adalah
pengurangan tenaga kerja dan pengurangan penggunaan pupuk.
Precision farming dengan dukungan teknologi skala menengah dilakukan
pada industri gula di Australia, Brazil, dan Mauritius, lahan telah terstruktur secara
baik dalam blok-blok yang kecil. Pemanenan dan pemupukan dilakukan dengan
manual maupun secara mekanis. Capaian yang diraih adalah pengurangan biaya
dan di Brazil tercatat tidak pernah terjadi kebakaran tebu selama tahun 2006. Di
Amerika tengah (US) meskipun bukan dalam rangka kegiatan pertanian
berkelanjutan, para petani berusaha meningkatkan keuntungan dengan cara hanya
memupuk petakan sesuai keperluan. Aplikasi ini menyebabkan petani memberikan
pupuk pada tiap petakan dengan jumlah yang bervariasi, sehingga penggunaan
pupuk lebih optimum sehingga meningkatkan efisiensi. Proses ini membutuhkan
teknologi GPS untuk mengidentifikasi lokasi pemupukan (metode GGS, Guided Grid
Sampling).
Praktek pertanian yang sudah bertahun-tahun menghasilkan pengetahuan
tentang karakteristik dan produktivitas lahan. Adanya variabilitas tanah
menyebabkan kebutuhan pupuk perluasan lahan juga berbeda. Adsett di dalam Yu
Li dan Kushwaha (1994) menyatakan bahwa akan sangat menguntungkan bila
tingkat kandungan nitrat dalam tanah dapat diketahui sehingga pemakaian pupuk
nitrogen dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Atas dasar inilah dikembangkan
teknologi variable rate nitrogen fertilizer (VRNF) untuk menghindarkan kekurangan

18
atau kelebihan pupuk pada suatu bagian lahan/ hamparan pertanian (Torbett et al.,
2006).
Beberapa spreader pupuk sudah dimodifikasi untuk dapat melakukan
pemupukan secara variable rate, tetapi perubahan lajunya masih dikendalikan
secara manual oleh operator. Kendala utama metode ini adalah dibutuhkannya
perhatian dan konsentrasi terus-menerus dari operator yang membuat orang cepat
menjadi lelah. Untuk mengatasi kendala tersebut perlu dikembangkan suatu sistem
otomatik yang dapat melakukan pemupukan secara variable rate dengan membaca
sinyal input dari peta yang telah direkam sebelumnya atau dari alat sensor.
Beberapa alat sensor yang memonitor level nitrogen tanah sudah dikembangkan
dan dapat digunakan secara real-time (Isgin et al., 2008).
Gambar 4 memperlihatkan hubungan laju pemberian pupuk terhadap
panjang exposed flute adalah linier, sehingga laju pemberian pupuk dapat dikontrol
dengan mengontrol panjang exposed flute. Sedangkan, gambar … menunjukkan
metode yang digunakan untuk menyesuaikan laju pemberian pupuk dengan
menggunakan servo motor.

Gambar 4. Grafik laju pemberian pupuk terhadap panjang exposed flute


(Sumber: Manalu, L. P., 2013).

Gambar 5. Sistem pengaturan laju pemberian pupuk


(Sumber: Yu Li and Kushwaha, 1994).

Pada gambar 5, terlihat voltase output dari sensor nitrat setelah diperkuat
dimasukkan ke konverter A/D oleh mikro kontroler unit. Set poin sistem kontrol digital
dihitung dari sinyal level sampel nitrat dengan m enggunakan model agronomis
untuk VRNF. Nilai set poin ini dihubungkan dengan posisi slide gate yang diinginkan,
sedangkan posisi aktualnya diukur dengan potensiometer. Sinyal yang masuk
berhubungan dengan selisih antara posisi slide gate yang diinginkan dengan posisi

19
aktualnya. Dalam hal ini sinyal eror dimanipulasi oleh digital controller. Keluaran
daro digital controller dikonversi ke sinyal analog dan dilewatkan pada alat zero
order hold (ZOH) dan diperkuat sebagai input untuk servomotor DC yang
selanjutnya menjadi penggerak gear train dan lead screw untuk mengontrol posisi
slide gate.

Gambar 6.Diagram Blok Desain Sistem Kontrol


(Sumber: Yu Li and Kushwaha, 1994).
Hasil simulasi mengindikasikan bahwa output dari sistem akan diikuti dengan
perubahan set point dengan settling time yang singkat dan tanpa adanya overshoot,
kecuali jika terdapat steady-state offset error lebih besar dari 1.6% dari input set
point. Steady-state offset error disebabkan oleh diberikannya torque disturbance
kepada sistem, dengan harapan bahwa steady-state offset error akan meningkat
seiring meningkatnya torque disturbance. Dari kebutuhan umum yang sudah
disebutkan sebelumnya, desain kontrol menghendaki steadystate offset error yang
kecil, settling time yang singkat dan sekecil mungkin overshoot, maka sistem kontrol
pole-placement ini (sebagaimana ditunjukkan Gambar 6 dan 7) telah menampilkan
kinerja yang memuaskan. Hasil simulasi telah menunjukkan bahwa sistem kontrol
dengan menggunakan pole-placement controller dapat dengan baik merespon input
set point untuk kondisi torque disturbance kepada sistem kontrol tidak besar,
walaupun dalam percobaan dengan torque disturbance yang besar, steady-state
offset error dari respon sistem tidak dapat diterima. Karena torque disturbance
dalam sistem kontrol dapat dieliminasi, penggunaan robust controller baik untuk
kontrol lintasan (tracking control) dan maupun penolakan gangguan (disturbance
rejection) dapat direkomendasikan.
Alat pemupuk nitrogen yang dikontrol secara variable rate dengan metode
pole-placement controller telah menunjukkan kinerja yang baik. Alat ini sudah
mampu merespon input setpoint dengan tingkat kesalahan yang dapat diterima, baik
menyangkut steady-state offset error, settling time maupun overshoot. Meskipun
tidak dapat dipungkiri bahwa introduksi teknologi tinggi merupakan syarat penting,
dalam pelaksanaannya harus tetap diingat bahwa precision farming lebih merupakan
proses managemen dari pada hanya sekedar implementasi teknologi. Dampak
precision farming terhadap kelestarian lingkungan juga mengarah pada pengaruh
yang positif. Pengaruh terpenting adalah pada sektor ekonomi yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan petani.
Selain teknologi di atas, ada salah satu inovasi yang dapat diterapkan dalam
pertanian presisi di Indonesia, yaitu konsep Forecast Based Financing (FBF).
Forecast-based-Financing (FbF) dapat didefinisikan sebagai suatu mekanisme
pendanaan tindakan kesiapsiagaan yang telah direncanakan sebelumnya terhadap

20
suatu kejadian, berdasarkan perkiraan atau prediksi yang dapat dipercaya, dan
didanai, serta dilaksanakan sebelum bencana terjadi. Definisi tersebut berawal dari
upaya Perez, dkk., (2015) dalam mengatasi hambatan peluang untuk membangun
suatu mekanisme pendanaan berbasis perkiraan yang mampu menggabungkan
unsur prosedur operasi berbasis risiko kejadian ekstrem (kebencanaan).
Dalam rumusan konsepnya, Perez dkk. (2015) mencoba membangun sistem
pendanaan berbasis prediksi informasi cuaca, iklim, dan hidrologi yang sistematis
mengintegrasikan masing-masing dari ketiga elemen tersebut, yang bergantung
pada keakuratan prediksi untuk daerah yang bersangkutan. Informasi prediksi cuaca
dan iklim tersebut diolah dan disajikan sebagai suatu peringatan dini yang akan
diverifikasi keakuratannya dan ditranformasikan menjadi informasi berharga berupa
tindakan yang diambil sebagai tanggapan terhadap informasi tersebut. Dengan
memahami informasi yang diberikan, Perez dkk. (2015) dapat menjelaskan skenario
risiko yang akan terjadi, memformulasikan tindakan yang tepat, mengidentifikasi
tingkat bahaya, dan merumuskan sumber pendanaan untuk menanggapi respon
terhadap informasi tersebut. Sehingga dengan memanfaatkan konsep yang
digunakan tersebut pengguna mendapatkan informasi yang mengenai biaya
pengurangan risiko, kerugian bencana, serta biaya yang dapat dikeluarkan untuk
mengakomodasi kerugian apabila bencana tersebut terjadi.
Upaya dari mekanisme tersebut diharapkan dapat meminimalkan kerugian
dan kerusakan yang disebabkan oleh bahaya cuaca dan iklim, serta mengurangi
kebutuhan akan bantuan kemanusiaan setelahnya. Kegiatan yang dilakukan
disesuai dengan prioritas nasional, sehingga mampu meningkatkan keahlian
lapangan pada tingkatan lokal dan mampu membangun mekanisme koordinasi yang
ada. Sehingga, ketika sistem berfungsi dengan semestinya, informasi tersebut dapat
memecahkan permasalahan ekonomi yang menghalangi pengambilan tindakan
cepat tanggap serta pengembangan prosedur operasi yang dapat memastikan
pengembalian investasi yang berkelanjutan.

Gambar 7. Alur Kerja Konsep FbF


(Sumber: Perez et al., 2015)
Upaya dari mekanisme tersebut diharapkan dapat meminimalkan kerugian
dan kerusakan yang disebabkan oleh bahaya cuaca dan iklim, serta mengurangi
kebutuhan akan bantuan kemanusiaan setelahnya. Kegiatan yang dilakukan
disesuai dengan prioritas nasional, sehingga mampu meningkatkan keahlian
lapangan pada tingkatan lokal dan mampu membangun mekanisme koordinasi yang
ada. Sehingga, ketika sistem berfungsi dengan semestinya, informasi tersebut dapat
memecahkan permasalahan ekonomi yang menghalangi pengambilan tindakan
cepat tanggap serta pengembangan prosedur operasi yang dapat memastikan
pengembalian investasi yang berkelanjutan.

21
Dengan mengacu pada konsep FbF yang telah dijelaskan sebelumnya,
sektor pertanian di Indonesia dapat mengadopsi konsep FbF tersebut dalam
mekanisme pendanaan bagi petani tradisional yang memiliki keterbatasan akses
modal atau perlindungan kegagalan pertanian dari bencana yang ditimbulkan oleh
dinamika cuaca dan iklim. Berbasiskan pada konsep CSA, pertanian presisi dapat
dijadikan salah satu kristalisasi metode pertanian yang mempertimbangkan
keakuratan berdasarkan data terhadap kondisi alam pada lahan pertanian yang
bersangkutan.
Salah satu contoh implementasi pertanian presisi yang adalah pertanian
yang mempertimbangkan kondisi cuaca dan iklim. Seiring dengan pertimbangan
tersebut, saat ini Indonesia telah memiliki prediksi cuaca harian dan iklim untuk 1
tahun ke depan yang telah diproduksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG). Sehingga, dengan memanfaatkan prediksi tersebut, dapat
diterapkan konsep FbF untuk sektor pertanian di Indonesia. Namun, dalam
penerapan FbF tersebut, terdapat perbedaan mekanisme yang telah diusulkan oleh
Perez dkk. (2015).
1) Penyesuaian Prediksi dengan Tindakan
Dalam komponen pertama, bergantung pada dampak yang akan terjadi,
terdapat sejumlah tindakan yang dapat diambil untuk mencegah kegagalan
panen; namun, hanya sebagian kecil tindakan yang akan sesuai berdasarkan
pada sepotong informasi prediksi tertentu. Dari semua tindakan yang
mungkin dilakukan, diperlukan proses pencocokan untuk memilih tindakan
yang paling sesuai dengan jeda waktu (time-window) dan tingkat
kemungkinan terjadinya suatu event berdasarkan prediksi.
Sebagai contoh, suatu ketika Indonesia memiliki peluang (p) intesitas
curah hujan yang sangat tinggi sebagai dampak dari fenomena La Nina dan
berpotensi banjir pada beberapa wilayah pertanian selama 1 minggu
berturutturut. Dengan berdasarkan pada informasi tersebut, peringatan hujan
ekstrem dan berpotensi banjir yang menyebabkan gagal panen telah
didiseminasi, namun, tidak semua aksi dapat dilakukan oleh penerima
informasi tersebut khususnya para petani yang sulit untuk mendapatkan
akses mengenai peringatan tersebut serta jeda waktu kecil yang dimiliki oleh
petani untuk melakukan aksi diantara waktu informasi prediksi tersebut
diberikan dengan kejadian tersebut terjadi. Hal tersebut cenderung sering
terjadi di Indonesia dan membuat petani harus menerima kerugian dan
membiarkan lahan sawahnya terbanjiri hingga banjir tersebut surut kembali.
Sehingga, walaupun terdapat daftar tindakan yang harus dilakukan
berdasarkan rencana kontigensi, hampir sebagian besar daftar tindakan
tersebut akan tereliminasi bila para petani tersebut tidak dapat
menyelesaikan tindakan tersebut dari waktu jeda yang telah tersedia hingga
sebelum terjadi event banjir yang diantisipasi. Oleh karena itu, lead-time
prediksi cuaca-iklim memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan
jeda waktu bagi para petani untuk mengambil tindakan yang tepat agar dapat
mengurangi kerugian akibat banjir tersebut. Namun, disisi lain, apabila
prediksi yang dilakukan meleset, maka para petani justru telah melakukan
tindakan yang “sia-sia”, yang berdampak pada ketidakpercayaan petani dan
investor terhadap mekanisme yang dibangun.
2) Mekanisme Pendanaan

22
Komponen kedua adalah dana kesiapsiagaan, mekanisme pendanaan
standar untuk pembiayaan berbasiskan prakiraan yang ditujukan untuk
digunakan sebelum potensi bencana terjadi. Pendanaan dari mekanisme ini
akan dicairkan ketika prakiraan dikeluarkan, menyediakan cukup uang untuk
melakukan tindakan yang dipilih, dengan pemahaman bahwa terkadang
pendanaan akan dihabiskan untuk "bertindak sia-sia". Diperlukan prosedur
keuangan untuk memastikan pencairan cepat dana ketika peringatan dini
dikeluarkan, dan langkah-langkah akuntabilitas sedemikian rupa sehingga
dana tersebut hanya digunakan untuk tindakan-tindakan awal yang
ditetapkan yang sesuai dengan peringatan dini tersebut. Metode yang paling
dasar untuk menentukan berapa banyak dana yang diperlukan untuk
mekanisme ini selama periode waktu yang ditentukan adalah untuk
mengasumsikan bahwa semua tindakan yang mungkin dilakukan pada lead-
time prediksi cuaca-iklim yang dibangun dan juga pemenuhan dana terhadap
relasi.
Metode ini mengasumsikan bahwa pendanaan harus dialokasikan sesuai
dengan kemungkinan event yang akan terjadi, meskipun asumsi ini dapat
diganti dengan prioritas lain, seperti mengalokasikan dana sesuai dengan
efektivitas tindakan. Juga dimungkinkan untuk menetapkan ambang batas
berdasarkan variasi waktu agar lebih terstruktur dalam pembelanjaan pada
awal periode waktu yang tersedia, dan lebih bebas dengan membelanjakan
jumlah yang tersisa sebagai akhir dari periode anggaran. Ketika
mengkalibrasi sistem selama periode waktu yang lebih lama, ditemukan
bahwa ambang batas dapat bervariasi untuk mencerminkan kemajuan dalam
wawasan atau mengubah pemicu.
Dengan metodologi yang diusulkan, dapat ditentukan tindakan khusus yang
dapat dijadikan sebagai sumber investasi berdasarkan informasi prediksi yang ada.
Sementara itu, mekanisme pendanaan standar dan prosedur operasi diperlukan
untuk memastikan tindakan konsisten berdasarkan perkiraan, belum jelas mengenai
bagian dari total pendanaan yang harus dialokasikan untuk mekanisme pendanaan
berbasis perkiraan risiko di masa datang. Sementara hasil bervariasi tergantung
pada program itu sendiri, rasio biaya-manfaat positif telah ditunjukkan untuk
berbagai program pengurangan risiko bencana jangka panjang (Mendler, 2005).
Selanjutnya, ketika dana insentif muncul untuk digunakan dalam prediksi
pencegahan risiko gagal panen dan tanam, serta kesiapsiagaan, kemampuan
prediksi cuaca dan iklim akan menjadi kendala utama dalam memaksimalkan
potensi mekanisme sistem tersebut. Kegagalan prediksi untuk memperkirakan dapat
mengundang kecaman terhadap investasi dalam sistem pendanaan ini; karena hal
tersebut merupakan kunci dalam mempertimbangkan investasi untuk kapabilitas
prediksi yang dimaksud atau aspek lingkungan lainnya yang memungkinkan untuk
FbF dapat menguntungkan dari waktu ke waktu. Indonesia khususnya memiliki
kekurangan stasiun cuaca fungsional, termasuk stasiun sinoptik, yang membatasi
kemampuan untuk memprediksi peristiwa meteorologi secara akurat (Rogers dan
Tsirkunov, 2013). Investasi dalam perangkat keras dan perangkat lunak di Indonesia
untuk layanan meteorologi dan hidrologi diperlukan untuk mengatasi kesenjangan
ini. Untuk sementara, penelitian terbaru untuk menggabungkan kelangkaan stasiun
pengamatan yang ada dengan data satelit dapat membantu dalam mengembangkan
pemahaman yang lebih tepat dari iklim yang diberikan informasi yang tersedia
secara historis (Dinku et al., 2012).

23
Kerangka metode ini memberikan gagasan intuitif bahwa banyak praktisi
sudah mengetahui tentang kapan bertindak lebih awal mungkin layak untuk
dilakukan. Kuantifikasi ini juga dapat membantu dalam mengajukan dasar
permohonan investasi kepada lembaga pengelola dana asuransi pertanian di
Indonesia untuk tindakan dini seperti hal tersebut, yang saat ini sering tidak
dilaksanakan karena ketidaktersediaan pendanaan tersebut.
Tentunya dalam kuantifikasi tersebut tidak sederhana. Hal tersebut memang
membutuhkan analisis konteks spesifik. Dalam analisisnya, kurangnya data bencana
historis akan menimbulkan kendala tertentu. Dampak ketidakpastian dalam
perkiraan probabilitas, baik dampak risiko yang akan terjadi dan probabilitas
prediksi, perlu dinilai, dan ambang batas kepastian kejadian perlu ditetapkan untuk
mendapatkan hasil yang berarti. Pengetahuan lokal pertanian tentang kondisi sosio-
ekonomi dan perilaku petani, serta periode pengulangan terhadap kejadian ekstrem
tersebut dapat dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam mekanisme
penghitungan dana, bahkan jika itu membawa ketidakpastian yang melekat. Dalam
hal ini, penelitian tambahan akan diperlukan untuk mencapai aplikasi skala besar
skema FbF untuk pertanian presisi di Indoensia. Secara khusus, menghitung risiko
kegagalan panen berdasarkan perkiraan curah hujan harus dinilai dan diverifikasi
dengan perkiraan hidrologi menggunakan teknik statistik dan dinamis. Sebagian
besar variabel yang dipertimbangkan di dalamnya, dimulai dari opsi tindakan hingga
keterampilan perkiraan, bervariasi secara tajam antar wilayah, dan oleh karena itu
sistem pembiayaan berbasis perkiraan harus dirancang untuk bahaya spesifik pada
skala geografis tertentu. Prosedur operasi standar yang telah dikembangkan di satu
area tidak mungkin memiliki nilai jika diterapkan begitu saja di tempat lain. Penelitian
lebih lanjut harus mempelajari efek dari variasi masing-masing parameter tersebut,
serta perbedaan yang dihasilkan dalam potensi FbF lintas wilayah. Kalibrasi estimasi
biaya dan keuntungan akan menjadi sulit. Misalnya, biaya bertindak yang tepat atau
biaya bertindak dengan “sia-sia” mungkin perlu diperkirakan secara berulangulang,
berdasarkan apakah aktor tersebut belakangan ini bertindak “sia-sia”, sehingga akan
enggan mengambil risiko lagi. Demikian pula, ketidakakuratan prediksi dapat
menyebabkan kurangnya kepercayaan terhadap sistem itu sendiri. Persamaan
dalam kerangka ini dapat diperluas dengan faktor “persepsi risiko” yang berubah
sebagai respons terhadap peringatan yang salah atau intervensi yang berhasil. Hal
ini akan dikalibrasi dengan informasi dari para praktisi. Semua perkiraan biaya harus
menjalani analisis sensitivitas untuk menilai kekuatan nilai dari mekanisme
pendanaan ini dalam bentuk pertanyaan; jika perkiraan probabilitas dan biaya
diubah dalam persamaan di atas, bagaimana ini mempengaruhi hasil? Pada titik
mana ketidakpastian dalam nilai-nilai ini sangat memengaruhi pemilihan tindakan
dan estimasi manfaatnya? Selain itu, akan ada efek interaksi antara investasi jangka
pendek dan jangka panjang, yang terakhir sering menghambat kemampuan untuk
membuat keputusan dalam jangka pendek.
Informasi cuaca dan iklim yang disajikan sebagai bagian pertanian presisi
dapat memiliki nilai yang lebih dengan disertai oleh tindakan yang tepat yang diambil
sebagai tanggapan terhadap informasi, bahkan jika informasi tersebut merupakan
peringatan yang sempurna untuk kejadian di masa depan. Meskipun prakiraan
cuaca dan iklim tidak menunjukkan keterampilan yang sempurna, menyesuaikan
informasi perkiraan dengan konteks operasional sektor pertanian dapat secara
dramatis akses para petani terhadap modal dan perlindungan asuranisi gagal panen
dan tanam akibat dinamika cuaca dan iklim. Dalam hal ini, inovasi perlu dilakukan

24
dengan mengarah pada peningkatan penyesuaian informasi itu sendiri untuk
melayani dengan lebih baik kebutuhan pembuat keputusan pada sektor pertanian,
daripada hanya mengubah tampilan visual dari informasi yang ada. Sistem FbF
untuk pertanian presisi di Indonesia merupakan peluang bagus untuk mendorong
dan mengoperasionalkan perlindungan terhadap kegagalan panen dan peningkatan
ketahanan pangan di Indonesia. Sistem yang diuraikan di atas memanfaatkan
metode perkiraan laba yang ada dalam hubungannya dengan informasi yang
ditentukan pengguna tentang biaya pengurangan risiko dan kerugian kegagalan
panen akibat dinamika cuaca dan iklim. Ketika berada dalam sistem tersebut,
informasi ini dapat memecah hambatan peluang dan mandat yang saat ini
mencegah penggunaan sistematis ramalan di sektor pertanian, dan
mengembangkan SOP yang memastikan pengembalian investasi yang
berkelanjutan. keuntungan bersih dari sistem seperti ini terlihat jelas bila diterapkan
dalam jangka panjang, karena hits dan false alarm akan menyesuaikan dan menyatu
pada frekuensi yang sebenarnya. Pada akhirnya, nilai sistem pembiayaan
berdasarkan perkiraan akan lebih besar dibandingkan daripada sekadar kerugian
yang dihindari ketika dana tersebut dilepaskan. Jika sistem semacam itu tersedia,
para pelaku pertanian di wilayah tersebut akan sadar bahwa banyak kemungkinan
kerugian di sektor pertanian di Indonesia yang dapat dicegah berdasarkan tindakan
yang terpicu oleh pengetahuan mengenai informasi yang diberikan. Karena itu, para
pelaku dapat fokus pada investasi pada sektor pertanian melalui pembukaan modal
dan asuransi untuk para petani dengan kecil kemungkinan kegagalan panen akibat
dinamik cuaca-iklim yang akan tiba-tiba menghancurkan investasi mereka.
Penelitian lebih lanjut untuk mengukur nilai tambah dari skema FbF diperlukan untuk
menyediakan basis bukti untuk pendanaan berbasis perkiraan dan pengembangan
luas dari prosedur berbasis-cuaca dan iklim.

25
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa peran SIG
terhadap pertanian presisi dalam pertanian berlanjut sangat signifikan. Pertanian
presisi merupakan suatu sistem pertanian yang mengoptimalkan penggunaan
dampak terhadap lingkungan. Sedangkan pertanian berlanjut, merupakan suatu
upaya perngelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna
membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau
meningkatkan kualitas lingkungan dan melesstarikan sumber daya alam. GIS
merupakan suatu sistem pengambilan dan penyimpanan data yang terkomputerisasi
dan digunakan untuk pengolaan produktuvitas berdasarkan faktor agronomi
tanaman. GIS dapat menunjukan berbagai data seperti interaksi antara kesuburan,
hama, gulma dan hasil produksi serta pengambilan keputusan yang tepat
berdasarkan keadaan tersebut. Implementasi Sistem Informasi geografi (SIG)
sebagai salah satu teknologi yang mampu merancang suatu perencanaan
pengelolan lingkungan dengan cepat diharapkan mampu menaggulangi kendala
yang ada pada lahan pertanian. Peningkatan pertanian berlanjut dapat dicapai
dengan strategi manajemen seperti pertanian presisi yang didukung dengan sistem
yang berupa GIS,GPS serta penginderaan jarak jauh. Desa Balong, Kecamatan
Pucakwangi, Kabupaten Pato merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi
pertanian yang menjanjikan apabila dikelola dengan baik. Pertanian presisi dapat
menjadi salah satu alternatif system dalam pengembangan pertanian di Desa
Balong karena memiliki pengelolaan yang efisien dan dapat mendukung terciptanya
pertanian berkelanjutan. Namun, dengan karakteristik lahan dan social di Desa
tersebut menyebabkan berbagai tantangan terjadi dalam rangka penerapan
pertanian presisi, seperti lahan yang terbatas, kemampuan pembiayaan rendah,
serta berbagai tantangan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan sistem pertanian
presisi atau menggunakan GIS (Sistem Informasi Geografi) guna mendukung
keberlanjutan pertanian.

5.1 Saran
Berdasarkan analisis studi kasus di desa Balong ini saran yang diberikan
yaitu bagi pemerintah setempat diharapkan untuk dapat kemampuan pertanian
melalui peran serta petani dengan bantuan berupa mentoring, pembiayaan,
sosialisasi, dan berbagai bantuan lainnya yang dapat meningkatkan kemampuan
petani dalam menerapkan pertanian presisi terutama pendampingan untuk lebih
mendalami bagaimana konsep GIS guna menciptakan pertanian yang berkelanjutan.

26
DAFTAR PUSTAKA
Anggarendara, R., C.S, Guritno, M. Singh, S. Kaneko, and M. Kawanishi. 2016.
Climate Change Policies and Challenges in Indonesia,” pp. 295-304.
Aronoff, S. 1989. Geographic Information Systems: A Management Perspective.
WDL Publication. Ottawa, Canada.
Auernhammer, H. 2001. Precision farming – the environmental challenge.
Computers and Electronics in Agriculture, 30, 31-43. Blackmore S. 2006.
Precision farming: a dinamic process. The Center for Precision Farming.
Denmark: Royal Veterinary Agricultural University.
Aya, I N S, 2003. Prospek Pemanfaatan Citra Resolusi Tinggi dalam rangka
Identifikasi Jenis Pohon: Studi kasus menggunakan Citra CASI (Compact
Airborne Spectographic Imager) dan IKONOS di Kebun Raya Bogor.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XII dan Kongres III Mapin.
Bandung.
Barker, A.V. and Pilbeam D.J.2007. Hand Book of Plant Nutrition. CRC Press.kar
Bourrogh, P.A. 1986. Principles of Geographical Information System for Land
Resources Assessment. Oxford University Press. New York.
Darmawan, S. 2006. Precision farming. Pusat Penginderaan Jauh – ITB, Bandung:
Kelompok Kepakaran Inderaja dan Sains Informasi Geografik. ITB.
Davidson, D.A. 1992. The Evaluation of Land Resources. Longman Group UK.
England.
Davis, B.G., and M.H. Olson. 1984. Management Information System: conceptual
foundations, structure, and development. Second Edition. McGraw-Hill Book
Company. New York.
Dinku, T. dan Sharoff, J.: ENACTS Ethiopia: Partnerships for Improving Climate
Data Availability, Accessibility, and Utility, Climate Services Partnership,
available at: http://www.climateservices.org/sites/defa ult/files/ENACTS_
Case_Study.pdf, 2013.
Doebelin, O. 1990. Measurement System, Application and Design, 4th Edition.
McGrawHill Pub. Co., New York.
Gil, E., A. Escola, J.R. Rosell, S. Planas, and L. Val. 2007. Variable rate application
of plant protection products in vineyard using ultrasonic sensors. Crop
Protection, 26, 1287–1297.
Godwin, R. J., T. E. Richards, G. A. Wood, J. P. Welsh, S. M. Knight. 2003. An
Economic Analysis of the Potential for Precision Farming in UK Cereal
Production. Biosystems Engineering, 84 (4), 533–545.
Heriyanto H, Seminar K B, Solahudin M, Subrata IDM, Supriyanto, Liyantono,
Noguchi R, Ahamed, T. 2016. Water supply pumping control system using
PWM based on precision agriculture principles. International Agricultural
Engineering Journal (IAEJ) 25(2): 1–8.

27
Intara, Y.I, Asep, S, Erizal, Namaken, S, dan Bintaro, D. 2011. Mempelajari
pengaruh pengolahan tanah dan cara pemberian air terhadap pertumbuhan
tanaman cabai. Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Vol 8 No 1.
Samarinda.
Isgin, T., Bilgic, A., Forster, D.L., Marvin T. Battec. 2008. Using count data models to
determine the factors affecting farmers’ quantity decisions of precision
farming technology adoption. Computers and Electronics in Agriculture, 62,
231–242.
Karwan, A.S. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius.
LIPTAN. 1994. Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) BIP Irian Jaya, Jayapura.
http://www.pustaka-deptan.go.id/agritek/ppua0138.pdf. Diakses pada tanggal
26 Oktober 2020.
Makarim dkk, 2000, dalam Pramono, J, Seno, B dan Widarto. 2005. Upaya
peningkatan padi sawah melalui peningkatan pengelolaan tanaman dan
sumber daya terpadu. Balai pengkajian teknologi pertanian. Jawa Tengah.
Manalu, L. P. 2013. Aplikasi Kontrol Digital untuk Pemupukan secara Variable Rate
pada Sistem Pertanian Presisi. Pusat Teknologi Agroindustri – BPPT Volume
15 (3): 31-38.
Manalu, L.P. 2013. Aplikasi Kontrol Digital untuk Pemupukan Secara Variable Rate
Pada Sistem Pertanian Presisi. Pusat Teknologi Agroindustri – BPPT. 15(3):
31-38.
Mendler de Suarez, J., Suarez, P., Bachofen, C., Fortugno, N., Goncalves, P., Grist,
N., Macklin, C., Pfeifer, K., Schweizer, S., Van Aalst, M., dan Virji, H.: Games
for a New Climate? : Games for a New Climate?: Experiencing the
Complexity of Future Risks, Boston University Pardee Center, 2012.
Murai, Sunji (2000) Lecture Notes; Caravan Workshop on GIS, RS and GPS data
Utilization, Bandung 16-22 Oxford University Press
Nahry, A.H.E, R.R. Ali, A.A. El Baroudy. 2011. An approach for precision farming
under pivot irrigation system using remote sensing and GIS techniques.
Agricultural Water Management, 98(4), 517-531.
Nugroho, A.P. 2018. Memahami Konsep Pertanin Presisi di Implementasinya di
Indonesia. https://kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id/menara-ilmu/2018/1438-
memahami-konsep-pertanian-presisi-dan-implementasinya-di-indonesia.html.
Diakses pada tanggal 23 Oktober 2020.
OECD. 2008. OECD Contribution to the United Nations Commission on sustainable
development 16-Towards sustainable agriculture.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No 25 tahun 2012 tentang Sistem
Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Perez, S. dan Patt. 2015. A.: Cognition, Caution, and Credibility: The Risks of
Climate Forecast Application, Risk, Decision, and Policy, 9, 75–89, 2004.
Prabawa, S., B. Pramudya, I.W. Astika, R.P.A. Setiawan, dan E. Rustiadi. 2009.
Sistem Informasi Geografis dalam Pertanian Presisi Aplikasi Pada Kegiatan

28
Pemupukan di Perkebunan Tebu. Prosiding Seminar Nasional Himpunan
Informatika Pertanian Indonesia.
Prahasta, E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografi.Penerbit
Informatika. Bandung.
Radite, P.A.S., M Umeda, M. Iida, M. Khilael, 2000. Application of variable rate
technology for granularfertilizer on rice cultivation.CIGR paper No.R3109.
The XIV Memorial CIGR World Congress 2000, Tsukuba, Japan., Nov.28-
Dec 01, 2000
Rogers, D. P. dan Tsirkunov, V. V.: Weather and Climate Resilience: Effective
Preparedness through National Meteorological and Hyrological Services,
Washington, DC, doi:10.1596/978-1- 46480026-9, 2013.
Shofiyati, R. Y. Sulaeman, dan S. Bachri. 2008. Pengembangan dan
Pendayagunaan Basisdata Sumberdaya Lahan Pertanian untuk Menunjang
Pembangunan Pertanian. Laporan Akhir. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Subaryono, 2005. Pengantar Sistem Informasi Geografis. Jurusan Teknik Geodesi,
Fakultas Teknik, UGM, Yogyakarta.
Sudaryanto, T. 2003. Konversi lahan dan produksi pangan nasional. Prosiding
Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi lahan pertanian di Bogor 2
Oktober dan Jakarta 25 Oktober 2002 halaman 57-65. Puslitbang Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Sulaeman, Y., Ropik S., Saefoel B., Mas Teddy S., dan Dedi N. 2015. Sistem
Informasi Sumberdaya Lahan Pertanian Indonesia: Status Terkini dan Arah
Pengembangan ke Depan. J. Sumberdaya Lahan. 9(2): 121-140.
Suryana, A., A. Adimihardja, A. Mulyani, Hikmatullah, dan A.B. Siswanto.
2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan aspek
kesesuaian lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Thorp, K.R. and L.F. Tian. 2004. Performance Study of Variable-rate Herbicide
applications based on Remote Sensing Imagery. Biosystems Engineering, 88
(1), 35–47.
Tifton, G.A. 2001. Precision agriculture - site specific farming. USDA - University of
Florida. Florida: Jefferson County National Environmentally Sound,
Production Agriculture Lab (NESPAL).
Torbett, J.C., R.K. Roberts, J. A. Larson, B. C. English. 2006. Perceived
improvements in nitrogen fertilizer efficiency from cotton precision farming.
Computers and Electronics in Agriculture, 64(2), 140-148.
Utomo, D.H. 2005. Bahan Ajar Geografi Tanah. Universitas Negeri Malang: Malang.
Utomo, M. 1990. Budidaya Pertanian TOT Teknologi Untuk Pertanian Berkelanjutan.
Perteman Teknis Direktorat Bina Produksi. Deptan.
Whitten, J.L., L.D. Bentley, and K. C. Ditman. 2004. System Analysis and Design
Methods. 6th Edition. McGraw Hill Higher Education. New York.

29
Wintgens, J.N. 2009. Coffee: Growing, Processing, Sustainable Prodction. Ed ke-2.
Weinhem (DE): WILLEY-VCH Verlag GmbH and Cp. KGaA.
Yu Li and Kushwaha. 1994. A digital control system for variable rate nitrogen
fertilization. Computers and Electronics in Agriculture 10, 245-258.

30

Anda mungkin juga menyukai