Anda di halaman 1dari 12

i

DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Danau Toba adalah salah satu objek wisata terbesar di wilayah Sumatera Utara,
membentang lebih dari seribu kilometer persegi, danau terbesar di Indonesia kaya
akan legenda serta keindahannya. Salah satu alasan untuk popularitas besar ini
adalah segala keragaman besar dalam pertanian dan kelautan karena
permukaannya yang luas yang telah menguntungkan petani dan nelayan. Bagi
para nelayan disekitaran Danau Toba (asalkan dilakukan secara bertanggung
jawab) dapat menjadi sumber daya yang tampaknya tak terbatas untuk menangkap
dan menjual ikan kepada penduduk asli dan bukan penduduk asli. Untuk
meningkatkan produktivitas dan keragaman, masyarakat telah menanam benih
ikan-ikan asing di Danau Toba, salah satunya yang diberi nama khusus “ikan
setan merah”. (Fitria, 2022)
Amphilophus labiatus adalah ikan cichlid besar dengan panjang yang dapat
menyampai endemik di Danau Managua dan Danau Nikaragua di Amerika
Tengah. Ia juga dikenal dengan nama umum cichlid setan merah, yang dibagikan
dengan cichlid lain yang berkaitan erat, A. citrinellus. Masuknya ikan ini ke
perairan umum daratan di Indonesia umumnya secara tidak sengaja yaitu melalui
benih ikan yang dilepas di keramba jaring apung sebagai ikan budidaya. Selain itu
secara sengaja oleh para penggemar ikan hias yang melepas ikan ini ke perairan.
Pelepasan ikan ini ke perairan, umumnya tanpa dilakukan pengkajian terlebih
dahulu, yang mana akibat dari penebaran, ikan ini tumbuh dengan cepat dan
melimpah bahkan mendominasi perairan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan
ikan ini menjadi invasive karena mendominasi dan bahkan memakan ikan-ikan
kecil yang merupakan ikan asli atau ikan yang mempunyai nilai ekonomis
tinggiIsu ini lebih ditingkatkan dengan kemampuan ikan predator untuk
bereproduksi lebih cepat dengan pH berkisar 6,0-8,0. Hal ini telah menyebabkan
larangan ikan di perairan Indonesia, dan pemusnahan lebih lanjut atau relokasi
ikan yang sudah ada di daerah tertentu telah diberikan. (Purnama, 2022)
Masalah dengan pemusnahan segera adalah bahwa tidak ada proses yang mudah
dan yang lebih penting cepat yang juga tidak akan merugikan lingkungan,
terutama karena pemusnahan total seluruh spesies hampir tidak mungkin. Solusi
paling masuk akal yang bisa kita berikan adalah memberikan insentif agar nelayan
dan masyarakat sama-sama mendapat manfaat dari cobaan ini. Salah satu solusi
yang sangat menarik adalah dengan memanfaatkan ikan red devil sebagai
alternatif pengolahan ikan nila.
Namun minat nelayan dan masyarakat untuk menangkap spesies invasif ini masih
agak rendah, karena masalah ikan dapat merusak jaring, bahkan memiliki harga
yang agak rendah hanya Rp2.000-Rp3.000 per kilogram. Ini berarti bahwa apapun

1
yang digunakan untuk menangkap ikan ini alam memerlukan sesuatu yang lebih
kuat, yang kami usulkan adalah versi teknologi tinggi dari peralatan memancing
klasik yang disebut bubu. Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal
dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga
disebut perangkap “traps“ dan penghadang “guiding barriers”. Alat ini berbentuk
kurungan seperti ruangan tertutup sehingga ikan tidak dapat keluar. (DJPT, 2022).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah solusi untuk menyelesaikan atau setidaknya menghaluskan
krisis yang spesies invasif di Danau Toba.
2. Apa gunanya disajikan pilihan makanan yang dapat dihasilkan dari ikan setan
merah?
3. Apa langkah terakhir yang perlu diambil untuk membantu pemulihan Danau
Toba?
1.3 Tujuan
1. Dengan menggunakan kapal pengangkut sampah yang biasa digunakan untuk
membantu membersihkan sampah di badan air besar, dimodifikasi menyerupai
keramba bubu yang digunakan oleh nelayan.
2. Memberikan insentif untuk melanjutkan pengolahan ikan setan merah, sehingga
tingkat bunga yang lebih tinggi yang pada gilirannya akan membantu pemulihan
Danau Toba.
3. Setelah jumlah ikan red devil telah mencapai angka terkendali atau angka yang
tak membahayakan ekosistem, dapat ditanam Kembali benih-benih ikan yang
telah terancam,

1.4 Luaran
1. Meredakan krisis ikan red devil di Danau Toba, dengan menguatkan insentif
pengolahan ikan red devil yang kemudian meningkatkan niat untuk menangkap
ikan tersebut yang dapat dibantu dengan teknologi hasil karya inovasi.
2. Memulihkan situasi ekosistem Danau Toba ke bentuk sebelumnya
3. Menghasilkan alat berupa modifikasi dari interseptortm 2.0 dengan mekanik
bubu yang membantu dalam penangkapan ikan red devil.
1.5 Manfaat

2
1. Memulihkan ekosistem dan memperbaiki rantai makan makhluk hidup di
Danau Toba agar Kembali semula.
2. Memperluas opsi pengolahan dan mendapat hasil berkelanjutan yang dapat
dimanfaatkan dari krisis tersebut.
3. Memperluas ilmu dan tanggapan masyarakat agar dapat menghindari
kecerobohan seperti ini untuk ke depannya.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Ikan Nila
Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini
diintroduksi dari Afrika, tepatnya Afrika bagian timur, pada tahun 1969, dan kini
menjadi ikan peliharaan yang populer di kolam-kolam air tawar di Indonesia
sekaligus hama di setiap sungai dan danau Indonesia. Sekarang ikan ini telah
tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis.
Sedangkan di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat hidup baik Ikan
nila disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging
ikan kakap merah. (Zaelani, 2018)
Ikan nila merupakan komoditas budidaya yang diminati khususnya pada
kabupaten Bangli maupun oleh masyarakat luas. Keberhasilan suatu budidaya
ikan nila sangat dipengaruhi oleh jenis pakan yang diberikan dan manajemen
pakan yang diterapkan. Pada budidaya pakan memiliki peran yang sangat penting,
antara lain a). Memacu pertumbuhan suatu organisme ikan, fungsi dari pakan
yaitu sebagai sumber energi untuk kelangsungan hidup, aktivitas organisme,
tumbuh, berkembang serta melangsungkan reproduksi. Kualitas pakan yang baik
yaitu dapat memenuhi kebutuhan ikan, baik dari segi protein, lemak, vitamin dan
lain sebagainya. Ikan nila (Oreochromis niloticus) membutuhkan kandungan
protein kisaran 25-35% untuk dapat tumbuh dengan optimal (Zulkhasyni et al,
2017). b). Faktor penting keberhasilan dalam kegiatan akuakultur adalah biaya
pakan dengan 60-70% -biaya yang dikeluarkan dalam proses budidaya merupakan
biaya produksi dari pakan ikan. (Santoso dan Agusmansyah, 2011)
Besarnya biaya produksi budidaya sangat bergantung dari harga pakan komersial
untuk komoditas budidaya seperti ikan nila. Harga pakan ikan cukup mahal dan
cenderung mengalami kenaikan harga yang tidak menentu, sehingga diperlukan
bahan baku lokal agar dapat menunjang kebutuhan pakan ikan nila dan dapat
memperkecil biaya produksi khususnya pada pakan. Untuk itu perlu adanya solusi
agar dapat menggunakan bahan baku lokal sebagai alternatif untuk memenuhi
kebutuhan protein hewani tersebut. Salah satu bahan baku lokal yang dapat
dikelola sebagai pakan alternatif adalah ikan red devil. Ikan red devil dapat di
temukan pada wilayah perairan Danau Batur. Ikan ini bersifat invasif dan juga
hama yang memiliki perkembangan yang pesat. Menurut Fatma (2017), ikan red
devil memiliki kandungan protein mencapai 35% sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai pakan sehingga dapat mengurangi populasi red devil. Penelitian tentang
pemanfaatan ikan red devil sebagai sumber pakan dengan berbagai takaran, untuk
budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus) belum banyak dilakukan. Oleh karena
itu, dari hasil dari penelitian ini dapat menjadi alternatif pakan agar bisa
mengurangi biaya pakan dan mengontrol populasi ikan hama yang terdapat di
Danau Batur. (Putra, 2022)

4
Bentuk preparasi hasil perikanan sangat tergantung pada tujuan produk dan
bentuk kaleng, demikan juga untuk ikan bakar dan sebaginya. Bahkan bentuk dari
berbagai preparasi mulai dari: utuh, tanpa kepala, tanpa sirip, tanpa jeroan dan
lain-lain.Beberapa bentuk pangan yang dapat dihasilkan dari ikan nila mencakup
fillet, block fillet, loin, steak, gutted fush. Boned fishm split fish, boneless fish,
dressed fish, dan lain-lain.
2.2 Interceptortm 2.0 Modif Bubu
Interceptortm 2.0 adalah perahu berukuran kereta api yang mengikuti jalur yang
dibangun secara khusus. Mesin ini biasanya digunakan untuk memadatkan
sampah dengan menggunakan sistem pemilahan yang memiliki ban berjalan dan
cutoff untuk memisahkan berbagai jenis sampah dengan sensor yang memiliki
akurasi lebih dari 90%. Mesin perlahan bergerak melalui air mengambil sampah
secara otomatis dengan hanya membutuhkan sedikit pekerja untuk memastikan
Interceptor bekerja dengan baik. bubu adalah alat nelayan klasik untuk membantu
menangkap ikan yang lebih kuat dalam jangka waktu yang lama, meskipun
biasanya mereka tetap diam, ada kemungkinan alat ini dapat diproses dengan
Interceptor, yang telah kami beri nama fishing interceptor. (Zaelani, 2018)
The Fishing Interceptor adalah modifikasi dari interceptortm 2.0 yang
menggunakan sebuah bubu sebagai mekanisme utamanya untuk menangkap ikan,
namun alih-alih menggunakan pemilahan yang rumit, kami membutuhkan pekerja
untuk membantu memilih dan memilih ikan yang memutuskan ikan mana yang
akan diambil dan yang harus dikembalikan. Hal ini disebabkan karena tidak
mungkin menggunakan sistem sonar bahkan sistem pemilahan makhluk hidup,
artinya prosesnya harus dilakukan secara manual. (Block, 2019)

2.3 Nelayan Dan Pengolah


Karena nelayan kemungkinan besar tahu cara menangani ikan lebih baik daripada
orang lain, penting bagi kita untuk bekerja dengan nelayan karena ini akan
membantu proses sambil memberi nelayan pekerjaan untuk mendapatkan
keuntungan. Hasil ikan yang diperoleh dari proses tersebut akan dijual kepada
penduduk lokal dan non lokal yang ingin menghasilkan produksi lebih lanjut
(dengan harga minimal). Hubungan yang terjalin ini harus memperjelas bahwa
proses yang berlangsung tidak hanya akan membantu mengurangi krisis, tetapi
akan dilakukan dengan cara yang tidak mengganggu atau mencuri pekerjaan atau
sumber kekayaan dari pembeli dan penjual Danau Toba.
2.4 Danau Toba

5
Danau Toba sebagai sarana rekreasi dan mata pencaharian tetap harus
dilestarikan, walau telah dibahas sebelumnya bahwa nelayan dan pengolah akan
tetap mampu melakukan pekerjaan dengan addisi teknologi canggih. Untuk kasus
Danau Toba sebagau sarana rekreasu belum diketahui apa yang akan terjadi pada
budidaya atau bahkan aura yang diberi Danau Toba jika terdapat teknologi besar
dan canggih bertempat atas permukannya. Hal itu mengapa penggunaan teknologi
yang dibahas sebaiknya hanya digunakan sementara untuk tidak merusak tingkat
kebudidayaan Danau Toba.

BAB 3. TAHAP PELAKSANAAN


3.1 Produk
3.1.1 Penemuan Karya
3.1.2 Karakterisasi Produk
3.1.3 Desain Teknis (Masukin Alat dan Bahan)
3.2 Produksi
3.2.1 Tahap Produksi
3.2.2 Tahap Pengujian

6
3.3 Metode
3.4 Material
3.5 Fasilitas

BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PELAKSANAAN


4.1 Biaya

7
Tabel 4.1. Biaya
Besaran Dana
No. Jenis Pengeluaran Sumber Dana
(Rp)
Bahan habis pakai (contoh: Belmawa Rp. 6.000.000,00
ATK, Kertas, bahan, dll) Perguruan Tinggi Rp. 6.300.000,00
1
maksimal 60% dari jumlah Instansi Lain (Jika
dana yang diusulkan Ada)
Sewa dan jasa (Sewa/jasa Belmawa Rp. 5.000,000,00
alat; jasa pembuatan produk Perguruan Tinggi Rp, 5.850.000,00
2 pihak ketiga, dll), maksimal
Instansi Lain (Jika
15% dari jumlah dana yang
Ada)
diusulkan
Belmawa Rp. 5.000/000,00
Transportasi lokal maksimal
Perguruan Tinggi Rp. 6.000.000,00
3 30% dari jumlah dana yang
Instansi Lain (Jika
diusulkan
Ada)
Lain-lain (contoh: biaya Belmawa Rp.5.000.000,00
komunikasi, biaya akses Perguruan Tinggi Rp.5.000.000,00
4 publikasi, dll) maksimal
Instansi Lain (Jika
15% dari jumlah dana yang
Ada)
diusulkan
Jumlah
Belmawa Rp. 21,000.000,00
Perguruan Tinggi Rp. 13.150.000,00
Rekap Sumber Dana
Instansi Lain (Jika
Ada)
Jumlah Rp. 34.150.000,00

4.2 Jadwal Kegiatan


Tabel 4.2. Jadwal Kegiatan
Bulan
No Jenis Kegiatan Penanggungjawab
1 2 3 4
1 Persiapan Penelitian v
2 Eksperimen warna
alami dari
v
sumber daya alam
Indonesia
3 v
Seminar Penelitian

8
4 Wawancara, dan
Dokumentasi
v v
ahli batik alusan dan
warna alam
5 Aplikasi motif baru
hasil
penelitian tahap ke-1 v
desain pada
kain panjang

9
DAFTAR PUSTAKA

10
11

Anda mungkin juga menyukai