Anda di halaman 1dari 9

Nama : Dwika Meirawati

NPM : A1A017046
Kelas : 6B
Mata Kuliah : Analisis Wacana
Tugas Laporan Bacaan Materi Bab VI-X
Judul Buku : Wacana Bahasa Indonesia
Penulis : Dra. Ngudining Rahayu, M.Hum.

Bab VI : Kohesi Dalam Wacana


Pada bagian bab ini mengkaji tentang kohesi dalam wacana, dimana kohesi
merupakan hubungan dalam wacana yang ditandai oleh unsur bentuk. Keserasian kohesi
dalam wacana akan membantu pemahaman makna wacana itu sendiri. Setiap unit kebahasaan
dalam teks yang difoukuskan memiliki 2 lingkungan, yaitu lingkungan di luar bahasa
(konteks yang berkaitan dengan seluruh teks) dan lingkungan kebahasaan (ko-teks : bahasa
yang menyertai unit kebahasaan yang difokuskan). Maka, sumber penafsiran dapat bebentuk
ko-tekstual atau kontekstual murni.
Tafsiran yang sumber alat pengkode imlisitnya terdapat dalam teks disebut endoforik.
Pertalian endoforik sangat penting karena menentukan kepaduan wacana. Alat pengkode
implisit yang difokuskan mungkin dapat mengikuti acuan kebahasaannya. Jika pengkode
implisit itu mengikuti acuannya, maka pertalian kohesifnya disebut anafora. Jika alat
pengkode implisit itu mendahului acuannya, maka ikatan kohesifnya disebut katafora.
Kemudian, alat pengkode implisit yang sumber tafsirannya terletak di luarr dan hanya dapat
ditemukan melalui pengujian konteksnya disebut eksofora. Hubungan antarkonstituen secara
semantis dikategorikan atas tiga bagian, yaitu hubungan koreferensial, koklasifikasi, dan
koekstensi. Hubungan koreferensial adalah pertalian antara sesuatu yang ditunjuk dengan
adanya hubungan identitas situasional. Hubungan koklasifikasi adalah hubungan semantis
yang terjadi bukan kerena adanya keterkaitan dengan identitas acuan. Sedangkan hubungan
koekstensi adalah hubungan kedua konstituen mengacu pada acuan yang bebeda tetapi tetap
pada bidang yang sama.
Perhatikan kata-kata berikut : mangga, daun mangga, ranting, dahan, cabang, pohon,
kayu. Pertalian antara mangga dan daun mangga sangat erat. Oleh karena itu perlu membatasi
konsep bidang makna yang umum, yang biasanya disebut sinonim, antonim, dan hiponim.
Apabila ada dua ungkapan leksikal yang termasuk dalam salah satunya, maka dapat
ditetapkan adanya pertalian yang kohesif dalam sebuah wacana. Sinonim menandai
pengalaman kedua butir leksikal yang sama, misalnya wanita dan putri atau perempuan.
Adapun antonim dapat diartikan sebagai lawan makna pengalaman, misalnya baik dan buruk.
Sementara itu hiponim adalah hubungan yang terjadi antara kelas yang umum dan sub-
kelasnya. Bagian yang mengacu pada kelas yang umum disebut superordinat, sedangkan
bagian yang mengacu pada sub-kelasnya dikenal sebagai hiponim. Misalnya kita ambil
tumbuhan sebagai superordinat maka hiponimnya adalah mangga, jambu, bunga mawar, dan
sebagainya.
Selanjutnya adalah meronim, yaitu suatu istilah yang mengacu kepada hubungan
bagian-seluuh seperti pada contoh ranting, dahan, cabang yang meupakan ko-meronim dari
superordinat pohon. Apabila meronim sangat mirip dengan pertalian makna, tetapi ada
susunan leksikal lain yang mebantu tekstur, jelas, tidak dapat dianggap sebagai pertalian
makna. Pertalian itu disebut sebagai pengulangan tehadap unit leksikal yang sama. Kohesi
bertalian dengan kepaduan tekstur wacana. Dalaam tekstur suatu wacana terdapat pertalian
atau hubungan. Hubungan itu antara lain besifat semantik, yang menjadi dasa kepaduan
(kohesi) dalam wacana.
Bab VII : Koherensi Dalam Wacana
Pada bagian bab ini mengkaji tentang koherensi, yang tentunya masih ada kaitannya
dengan meteri yang sebelumnya yaitu kohesi. Seperti yang kita tahu bahwa sebuah wacana
yang utuh dan baik tentunya harus memiliki kohesi dan koherensi, dimana kalimat yang
dipakai bertautan, makna antara kalimat yang satu menyambung dengan makna kalimat yang
lain sehingga terbentuklah sebuah wacana utuh yang memiliki makna yang padu.
Secara umum, apa yang ada dalam benak pemakai bahasa sebagian besar adalah suatu
asumsi koherensi, yaitu apa yang dikatakan atau dituliskan mengandung asti sesuai dengan
pengalaman nomal mereka. Kemampuan untuk sampai pada penafsirran yang otomatis
terhadap sesuatu yang tidak tertulis dan tidak terucapkan harus berdasar pada struktur awal
yang ada. Struktur itu berfungsi seperti pola-pola dari pengalaman-pengalaman lama yang
kita gunakan untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman baru. Istilah yang umum untuk
pola jenis ini adalah skema. Skema ialah struktur pengetahuan sebelumnya yang ada dalam
ingatan. Jika ada pola tetap, yang pasti pada skema, pola tetap yang pasti ini disebut bingkai.
Bingkai yang dimiliki bersama oleh setiap orang dalam kelompok sosial akan menjadi versi
prototipe.
Jika tipe-tipe skemata yang sifatnya lebih dinamis dipertimbangkan, maka tipe-tipe itu
lebih sering dideskripsikan sebagai catatan. Catatan ialah struktur pengetahuan sebelumnya
yang ada yang melibatkan tata uutan peristiwa. Kita memanfaatnan catatan yang ada untuk
menafsirkan tentang peristiwa yang terjadi. Konsep sebuah catatan secara sederhana
merupakan suatu cara pengenalan berupa urutan tindakan yang diharapkan dalam suatu
peristiwa.
Berbeda dengan kohesi wacana yang fokus pada struktur dan tekstur wacana yang
kepaduannya ditantai dengan adanya semantik melalui penanda leksikal dan gramatikal. Pada
koherensi wacana fokus pada hubunganna dengan pragmatik. Koherensi suatu wacana
berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman dua pihak mengenai suatu wacana. Suatu
wacana dapat dikatakan koheren apabila wacana tesebut memiliki makna yang padu serta
memiliki pemahaman yang sama dari dua pihak.
Bab VIII : Konteks dan Penafsiran Wacana
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa analisis wacana bekaitan dengan studi
pragmatik. Secara umum, pada bab ini menjelaskan bahwa proses menganalisis sebuah
wacana harus mempertimbangkan konteks yang ada di dalam wacana itu sendiri. Dalam
menganalisis wacana dalam konteks pemakaian bahasa, perlu diperhatikan adanya hubungan
penutur dan ujarannya. Dalam hal ini, penganalisis wacana sebagai pemakaian bahasa perlu
memperhatikan istilah-istilah berrikut :
1. Referensi
Referensi adalah hubungan antara kata dengan benda yang diacu oleh kata
tersebut. Agar informasi yang disampaikan oleh penutur bisa diterima oleh mitra
tutur, seorang penutur dapat menggunakan referen atau acuan untuk merujuk hal yang
diujarkannya. Dengan demikian, dalam analisis wacana referensi dapat digunakan
oleh penutur untuk mengacu pada kata atau benda yang dimaksud agar pendengar
memahami maksud yang disampaikan.
2. Praanggapan
Praanggapan dapat diartikan sebagai suatu yang diasumsikan oleh penutur
sebelum menghasilkan suatu ujaran. Praanggapan atau presuposisi memilliki bebeapa
jenis seperti berikut :
a. Presuposisi eksistensial, yaitu presuposisi atau anggapan yang terdapat
dalam susunan posesif dan frasa nomina tertentu. Misalnya pada kalimat
“Ada pencuri motor” berarti presuposisinya adalah ada pencuri dan ada
motor.
b. Presuposisi faktif, yaitu presuposisi yang dideskripsikan sebagai
praanggapan nyata/faktif yang mengikuti kata kerja dapat dianggap
sebagai kenyataan. Misalnya pada kalimat “Saya tidak menyadari bahwa
di luar sedang hujan deras” maka presuposisinya adalah di luar sedang
hujan deras.
c. Presuposisi nonfaktif, yaitu presuposisi yang dideskripsikan sebagai
presuposisi bukan faktif/nyata, tidak benar. Misalnya pada kalimat “
Seandainya saya punya mobil, saya akan pergi ke Bandung” maka
presuposisinya adalah tidak mempunyai mobil.
d. Pesuposisi leksikal, yaitu pemakaian suatu bentuk dengan makna yang
dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan presuposisi bahwa
suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami. Misalnya pada
kalimat “Ia berhenti bekerja setelah di PHK” maka presuposisinya adalah
dulu ia bekerja.
e. Presuposisi struktural, yaitu stuktur kalimat-kalimat tertentu telah
dianalisis sebagai presuposisi secara tetap dan konvensional bahwa bagian
struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Misalnya pada kalimat
“Kemana Doni pergi?” maka presuposisinya adalah Doni sedang pergi.
3. Entailmen
Entailmen adalah sesuatu yang secara logis ada atau mengikuti apa yang
ditegaskan di dalam kalimat. Yang memiliki entailmen adalah kalimat, bukan penutur.
Bab IX : Struktur Wacana
Istilah struktur memiliki makna yaitu cara sesuatu disusun atau dibangun, susunan,
atau bangunan. Selain itu struktur juga dapat bermakna yang disusun dengan pola tertentu
atau pengaturan unsur atau bagian suatu hal/benda/wujud. Seperti yang sudah kita pelajari,
wacana sebagai wujud penggunaan bahasa (atau bahasa dan simbol lainnya dalam
penggunaannya) wacana mengandung unsur. Unsur-unsur adalah simbol-simbol bahasa dan
non-bahasa yang berkaitan secara fungsional membangun kesatuan dan kepaduan wacana.
Artinya, ada relasi antar unsur dalam suatu wacana. Relasi itu tentu bermakna dan berfungsi
pada tataran wacana itu dan juga pada tataran penggunaannya.
Kita mengenal jenis wacana lisan dan tulis. Masing-masing jenis wacana memiliki
karakteristiknya masing-masing, sedemikian kemungkinan besar struktur yang membangun
berbagai jenis wacana itu tidak sama persis antara satu dengan yang lainnya. Salah satu
contoh wacana lisan adalah percakapan. Percakapan guru dan siswa selama proses
pembelajaran adalah salah satu contoh wacana percakapan di kelas. Selama proses
pembelajaran, tentu ada proses ‘pertukaran’ atau ‘pergantian’ berbicara. Tidak selama waktu
di kelas hanya guru yang berbicara, namun adakalanya siswa juga bergantian bertanya,
menjawab pertanyaan, atau menjelaskan sesuatu.
Pada wacana kelas, tuturan guru dan siswa akan membentuk rangkaian pasangan
berdekatan yang terfokus pada topik tertentu. Di dalam pasangan berdekatan terdapat
stimulus-respon dan feedback. Respon dibedakan menjadi respon langsung dan tidak
langsung. Respon langsung adalah tuturan yang digunakan secara langsung untuk menjawab
pertanyaan, bentuk respon ini adalah jawaban ya dan tidak. Sedangkan respon tidak langsung
adalah tuturan yang digunakan tidak secara langsung dalam menjawab pertanyaan. Biasanya
bentuk respon ini digunakan untuk mengomentari pertanyaan, mengabaikan relevansi
(sangkalan), atau respon yang memberi informasi pendukung. Bagian ketiga dari pasangan
berdekatan adalah feedback. Feedback dapat difungsikan sebagai penutup tuturan.
Pola atau struktur percakapan dapat juga dirumuskan dengan konsep berdasarkan
kategori unsur-unsurnya. Misalnya seperti yang dipolakan sebagai ‘penstruktursn’
(structuring), ‘permintaan’ (soliciting), ‘penanggapan’ (responding), ‘pereaksian’ (reacting).
Penstrukturan merupakan perilaku untuk mengarahkan kelangsungan peristiwa pedagogis dan
mnengajak siswa untuk memperhatikan sesuatu. Adapun permintaan merupakan suatu
kategori unsur struktur yang dimaksudkan untuk memancing munculnya tanggapan, baik
tanggapan verbal maupun nonverbal dari siswa. Penanggapan merupakan tindakan jawaban
atas permintaan yang menyatakan hubungan timbal-balik, sedangkan pereaksian merupakan
kategori tindak yang berupa tindak lanjut dari kategori sebelumnya yang mungkin berupa
penjelasan, ringkasan, dan perluasan dari apa yang telah dikatakan lebih dahulu.
Dalam semua wacana percakapan terdapat prinsip pertukaran. Struktur pertukaran
diartikan sebagai suatu perangkat yang digunakan oleh peserta percakapan dalam melakukan
tukar-menukar informasi. Aturan ini ditekankan pada seperangkat pola atau urutan langkah
tingkah laku yang teratur dalam melakukan hubungan timbal-balik.
Dalam jenis wacana tulis, kita dapat menemukan banyak contoh untuk mengetahui
strukturnya. Salah satu contoh jenis wacana tulis adalah wacana iklan. Wacana iklan
mempunyai 3 unsur pembentuk struktur wacana, yaitu (1) butir utama (headline), (2) badan
(body), (3) penutup (close). Berikut penjelasan mengenai struktur wacana iklan :
1. Butir Utama, pada butir utama menunjukkan tujuan utama yaitu menarik perhatian
calon konsumen dan menyajikan proposisi yang menekankan keuntungan calon
konsumen. Sehingga pesan-pesan iklan harus menarik.
2. Badan Iklan, tujuan lain dar iklan adalah menarik minat dan kesadaran calon konsumen.
Pada badan iklan hendaknya mengandung alasan objektif dan subjektif.
3. Penutup, bagian penutup pada wacana iklan dapat juga berisi informasi-informasi lain
yang berhubungan dengan topik yang diiklankan. Informasi tersebut dapat berupa nomor
telepon, cap dagang, dan tempat pelayanan. Informasi tersebut pada hakikatnya
informasi tambahan yang penting.
Bab X : Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis (AWK) terpusat kepada dominasi sosial politik yang meliputi
isu-isu perubahan sosial, pelanggaran kekuasaan melalui analisis bahasa secara kritis sebagai
tindakan. Kritis artinya mendalam, mencakup aspek-aspek teks yang eksplisit dan yang
implisit, kaitannya dengan penggunaannya oleh orang yang membuat teks atau wacana.
AWK didasarkan atas asumsi bahwa analisis wacana menyediakan atau memungkinkan
informasi yang penting pada isu-isu sosial sebagaimana diungkapkan dalam bahasa. AWK
memandang wacana sebagai komponen esensial dari konstitusi sosial dan kebudayaan dan
sebagai bentuk utama atau mayor dari tindakan sosial. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
wacana lebih menekankan aspek dalam penggunaannya, wacana adalah teks dalam konteks,
wacana adalah penggunaan bahasa yang dipahami sebagai tindakan sosial. Melalui studi
wacana dan kemasyarakatan, AWK memiliki tujuan untuk mendedah ketaksetaraan,
ketidakadilan melalui penelitian, pengajian dan pengujian praktik atau tindakan sosial melalui
analisis secara kritis suatu wacana dan tindakan sosial. Salah satu pendiri AWK, van Dijk
(1993,1998) menyatakan bahwa AWK secara tipikal ditandai pada perhatiannya berrupa studi
relasi antara wacana, kekuasaan, dominasi dan kesetaraan.
Terdapat sejumlah pendekatan terhadap analisis wacana kritis. Van Dijk menyatakan
bahwa ideologi sebagai basis untuk merepresentasikan kelompok sosial, oleh karena itu ia
menemukan adanya hubungan antara struktur sosial dan struktu wacana. Secara umum, van
Dijk mengadopsi pendekatan sosiokognitif untuk analisisnya. Kemudian, Widowson
menganggap bahwa pandangan awal AWK adalah komitmen ideologis yang didukung oleh
teks-teks yang diseleksi dan yang sesuai untuk keperluan analisis yang diinginkan.
Pemahaman gamatikal dan leksikal tidak menjadi bagian dari pemahaman teks.
Koherensi dan pandangan dunia pengarang dan pembaca terhadap teks merupakan hal yang
esensial. Pemahaman mengenai makna tidak terletak dalam teks itu sendiri, tetapi dalam
interaksi yang kompleks antara maksud pengarrang dan kemampuan performatifnya untuk
mengirimkan maksud tersebut, serta maksud dan kemampuan performatif pembaca untuk
tidak hanya menerria maksud pengaang tetapi juga untuk memadukan harapannya dengan
maksud pengarang. Analisis wacana kritis telah menjadikan studi bahasa ke dalam sebuah
sarana interdisipliner dan dapat digunakan oleh peneliti dengan berbagai latar belakang.
perbedaan yang krusial adalah bahwa AWK bertujuan menyediakan dimensi kritis dalam
penjelasan teroretiknya mengenai suatu teks.
Berdasarkan pandangan van Dijk bahwa AWK haruslah berurusan dengan dimensi
wacana dengan penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan sosial. Van
Dijk juga berpandangan bahwa meskipun terdapat banyak aliran dalam studi dan kritik
ketaksetaraan sosial, cara kita mendekati persoalan ini adalah dengan memusatkan perrhatian
kita kepada peran wacana dan memproduksi dan mendedah dominasi. Dominasi yang
diidentifikasikan sebagai tindakan kekuasaan sosial oleh elite, institusi atau kelompok, yang
melahirkan ketidaksetaraan sosial, termasuk politik, kebudayaan, kelas, etnik, ras, dan
ketaksetaraan gender. Lebih khusus lagi, analisis wacana kritis dimaksudkan untuk
mengetahui struktu apa, strategi atau sarana lainnya dari teks, pecakapan, interaksi verbal,
atau peristiwa komunikasi yang berperan dalam modus reproduksi ini.
Secara ringkas van Dijk berpandangan bahwa AWK terutama berkaitan dengan
dimensi wacana atas power abuse and the inustice and inequality. Pertama, fokus perhatian
terhadap dominasi dan ketaksetaraan mengimplikasikan (berbeda dari pendekatan analisis
wacana lainnya), AWK tidak sekedar hanya bertujuan menyumbangkan atau berkontribusi
terhadap bidang yang khusus, paradigma atau aliran teori wacana. AWK secara khusus
tertarik dan termotivasi oleh isu-isu sosial. Teori, deskripsi, metode dan kajian empiris dipilih
atau dielaborasikan sebagai fungsi dan relevansi untuk merealisasikan tujuan sosial politik.
Pada dasarnya AWK menempatkan secara eksplisit dalam mengutarakan pandangannya, baik
perspektifnya, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuannya, baik dalam disiplin mereka maupun
masyarakat luas.
Dalam pandangan van Dijk prinsip AWK memerlukan kesungguhan multidisiplin,
serta penjelasan tentang hubungan yang rumit antara teks, pecakapan, kognisi sosial,
kekuasaan, masyarakat dan budaya. Salah satu prasyaat penting analisis wacana kritis yang
memadai adalah pemahaman sifat kekuatan sosial dan dominasi. Begitu kita memiliki
wawasan seperti itu, kita dapat mulai merumuskan gagasan tentang bagaaimana wacana
berkontribusi untuk reproduksi mereka.

Anda mungkin juga menyukai