Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan
keteguhan hati kepada penulis untuk menyelesaikan makalah  ini. Sholawat beserta salam
semoga senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad SAW yang menjadi tauladan para
umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Penulis menulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui tentang
“Koherensi Dalam Wacana”. Makalah ini bertujuan agar lebih memahami makna yang
terkandung pada slogan peduli lingkungan. Penulis menyadari, sebagai seorang mahasiswa yang
pengetahuannya belum seberapa yang masih perlu belajar dalam penulisan makalah. Oleh karena
itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif demi terciptanya makalah yang
lebih baik lagi, serta berdayaguna di masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi
semua orang.
Wasalamu'alaikum Wr.Wb

Bengkulu, Maret 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A.Pengertian Koherensi...............................................................................................................7

B.Jenis-jenis Koherensi..............................................................................................................12

C.Penanda Koherensi.................................................................................................................16

BAB III PENUTUP

A. Simpulan...............................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan
orang lain, dengan menguasai bahasa maka manusia bisa membuka jendela dunia dan
memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum pernah didapatkan. Bahasa dan manusia
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari karena bahasa merupakan ciptaan
manusia, dan manusialah yang menggunakan bahasa itu sendiri. Pada hakikatnya, setiap
masyarakat memiliki sistem dan mereka terus-menerus memakai sistem komunikasi, baik
ketika berbicara atau menulis, untuk menyampaikan pesan maupun ketika mendengarkan
untuk menerima pesan.
Dalam tataran bahasa, wacana merupakan wujud pemakaian bahaa yang melampaui
tataran kalimat. Wacana dapat dikatakan sebagai bahasa, dalam penggunaannya sesuai dengan
konteks. Wacana memiliki tautan yang padu, memiliki proposisi atau pernyataan yang
mengandung makna yang utuh atau informasi yang lengkap yang akan disampaikan kepada
pembaca atau pendengar. Kepaduan makna dan kerapian bentuk merupakan faktor penting
untuk menentukan tingkat keterbacaan dan pemahaman terhadap wacana. Kohesi dan
koherensi merupakan unsur hakikat wacana, unsur yang turut menentukan keutuhan wacana.
Jika dikaitkan dengan aspek bentuk dan makna, kohesi mengacu pada aspek bentuk, dan
koherensi kepada aspek makna wacana. Pada makalah ini, penulis akan mengkaji tentang
koherensi dalam wacana.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan koherensi dalam wacana?
2. Apa saja jenis-jenis koherensi dalam wacana?
3. Apa saja penanda koherensi dalam wacana?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian koherensi dalam wacana
2. Untuk mengetahui jenis-jenis koherensi dalam wacana
3. Untuk mengetahui penanda koherensi dalam wacana

1
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis wacana mencakup rentangan aktivitas yang sangat luas, dari penelitian yang
terfokus secara sempit tentang bagaimana kata-kata seperti “oh” atau “baiklah” digunakan dalam
percakapan umum, sampai kepada studi tentang ideology yang dominan dalam suatu budaya,
misalnya seperti yang digambarkan dalam paktik politik dan pendidikan. Jika analisis ini dibatasi
pada pokok-pokok persoalan linguistiknya, maka analisi wacana menfokus-kan pada catatan
prosesnya (lisan atau tulis) di mana bahasa ini digunakan dalam konteks-konteks untuk
menyatakan keingin-an.
Secara umum, ada daya tarik yang sangat besar dalam struktur wacana, dengan perhatian
khusus terhadap sesuatu yang dapat membuat konteks tersusun dengan baik. Dalam perspektif
structural ini, focus ada pada topik, misalnya hubungan eksplisit antar kalimat dalam teks yang
menciptakan suatu kohesi, atau unsur-unsur susunan tekstual yang bersifat menceritakan,
misalnya karena perbedaan pernyataan pendapat dengan tipe-tipe teks lain.
Akan tetapi, dalam studi tentang wacana, perspektif pragmatik lebih dkhususkan. Secara
khusus studi ini cenderung berfokus pada aspek-aspek tentang apa yang tidak dikatakan atau
tidak dituliskan (belum disampaikan) dalam wacana yang sedang dianalisis. Untuk melakukan
pragmatic wacana, kita harus memahami/menyelami persoalan-persoalan interaksi sosial utama
dan analisi percakapan, mengingat kembali bentu-bentuk dan struktur yang disajikan dalam teks,
dan banyak memberikan perhatian pada konsep-konsep psikologi seperti pengetahuan latar,
kepercayaan, dan harapan. Dalam pragmatic wacana, kita dapat menghindar untuk menggali apa
yang ada dalam pikiran penutur atau penulis.
Secara umum, apa yang ada dalam benak pemakai bahasa sebagian besar adalah suatu
asumsi koherensi, yaitu apa yang dikatakan atau dituliskan mengandung arti sesuai dengan
pengalaman normal mereka. Pengalaman itu akan diartikan secara local oleh masing-masing
indivisu dank arena itu pengalaman akan terikat dengan keakraban dan harapan. Perhatikan
contoh (1a) dan (1b) di bawah ini.
(1a) Plant Sale
(1b) Garage Sale
Meskipun tulisan diatas memiliki struktur yang identik, namun tulisan ini diterjemahkan
secara berbeda. Contoh (1a) berarti sesorang menjual tanaman, tetapi contoh (1b) tidak berarti

2
seseorang menjual garasinya, melainkan menjual perabot rumah tangga bekas. Penerjemahan
sedemikian pada contoh (1b) menunjukkan bahwa seseorang menginginkan pengakraban.
Penekanan pada keakraban dan pengetahuan sebagai dasar koherensi ini perlu karena
terbukti bahwa kita cenderung membuat penafsiran seketika terhadap materi yang dikenal dan
cenderung membuat penafsiran seketika terhadap materi yang dikenal dan cenderung tidak
memperhatikan kemungkinan alternative lain. Misalnya,
(2) How many animals of each type did Moses take on the ark?
(Berapa banyak tipe binatang yang dibawa Moses di atas bahtera?)
Jika anda cepat berpendapat “dua” lalu Anda memasukkan pengetahuan budaya umum,
bahkan mungkin tanpa memperhatikan bahwa mana yang dipakai (Moses) ini tidak cocok. Kita
sebenarnya membuat suatu penafsiran yang koheren terhadap suatu teks yang secara petensial
tidak memiliki penafsiran itu.
Kita juga mungkin behenti dan bertanya-tanya tentang ‘seorang pria dan wanita (apa?)’
pada saat kita membaca kecelakaan yang dilaporkan seperti pada contoh dibaeah ini.
(3) A motor vehicle accident was reported in front Kennedy Theatre involving a male and a
female.
(Sebuah kecelakan kendaraan bermotor dilaporkan di depan Kennedyy Teater yang
melibatkan seorang pria dan wanita).
Secara otomatis kita akan ‘melengkapi’ keterangan itu (misalnya, seorang pria yang
sedang mengendarai sebuah kendaraan bermotor) untuk menciptakan koherensi. Kita juga
menyusun suatu scenario keakraban untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa aneh yang mungkin
muncul pertama kali, seperti pada judul surat kabar dalam contoh berikut.
(4) Man Robs Hotel with Sandwich
(seorang pria Merampok Hotel dengan Sandwich)
Apabila Anda memuat suatu penafsiran untuk (4) bahwa Sandwich itu (mungkin berada
dalam sebuah tas) digunakan seolah-olah sandwich itu sepucuh senjata, pada saat itu Anda telah
menganggapnya sebagai latar belakang pengetahuan yang diharapkan oleh penulis (seperti yang
ditegaskan oleh sisa artikel surat kabar itu). Tentu yang agak berbeda (misalnya, pria itu sedang
makan sandwich ketika merampok hotel itu). Apapun penafsiran itu, penafsiran itu tidak dapat
dielakkan berdasarkan pada apa yang ada dalam teks dalam (4).

3
Kemampuan kita untuk sampai pada penafsiran yang otomatis terhadap sesuatu yang
tidak tertulis dan tidak terucapkan harus berdasar kepada struktur pengetahuan awal yang ada.
Strktur itu berfungsi seperti pola-pola akrab dari pengalaman-pengaalaman lama yang kita
gunakan untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman baru. Istilah yang paling umum untuk pola
jenis ini ialah skema (jamaknya: skemata). Skema ialah struktur pengetahuan sebelumnya yan
ada dalam ingatan.
Jika ada pola tetap, yang pasti pada skem, pola tetap yang pasti ini disebut bingkai.
Bingkai yang similiki bersama oleh setiap orang dalam kelompok sosial akan menjadi versi
prototype. Misalnya, dalam bingkai sebuah apartemen, aka nada asumsi komponen0komponen
seperti dapur, kamar mandi, dan kamar tidur. Unsur-unsur bingkai yang diasumsikan itu
biasanya tidak dinyatakan, seperti pada contoh yang berikut.
(5) Apartemen for rent. $ 500. 763-6683
(Disewakan sebuah apartemen. $ 500. Ahain. 763-6683
Penafsiran (setempat) yang wajar terhadap suatu fragmen wacana kecil dalam (5) tidak
hanya berdasar pada bingkai suatu ‘apartemen’ sebagai dasar kesimpulan (jika X sebuah
apartemen, maka X memiliki dapur, kamar mandi, dan kamar tidur), tetapi juga berdasarkan
bingkai iklan “disewakan sebuah apartemen”. Hanya dengan dasar bingkai yang demikian inilah
pengiklan dapat mengharapkan pembaca untuk melengkapi ‘setiap bulan’nbukan ‘setiap tahun’
setelah tulisa $ 500’. Jika pembaca wacana dalam (5) ini mengharapkan bahwa harga sewa itu
‘setiap pekan’ misalnya, maka jelas nahwa pembaca tersebut memiliki bingkai yang berbeda.
Walaupun demikian, permasalahan pragmatiknya akan sama; yaitu pembaca menggunakan
struktur pengetahuan sebelum-nya yang ada untuk membuat penafsiran tentang sesuatu yang
tidak dinyatakan dalam teks.
Jika tipe-tipe skemata yang sifatnya lebih dinamis dipertimbangkan, maka tipe-tipe itu
lebih sering dideskripsi-kan sebagai catatan. Catatan (script) ialah struktur penge-tahuan
sebelumnya yang ada yang melibatkan tata urutan peristiwa. Kita memanfaatkan catatan-catatan
itu untuk membuat penafsiran tentang peristiwa yang terjadi. Misalnya, kita memiliki catatan
mengenai sesuatu yang terjadi secara wajar dalam segala macam peristiwa,misalnya periksa
dokter, nonton film, pergi ke rumah makan, atau ke took bahan-bahan makanan seperti pada
contoh berikut.

4
(6) I stopped to get some groceries but there were nt any baskets left so by the time I arrived at
the checkhout counter I must have looked a juggler having a bad day.
(Saya berhenti untuk membeli beberapa bahan makanan, tetapi tidak ada keranjang yang
tersisa sehingga pada saat saya sampai pitu keluar/kasir, satu yakin terlihat pada seperti seorang
penyihir yang sedang sial)
Bagian catatan yang wajar dari penutur ini tentang ‘belanja bahan makanan’ dengan jelas
melibatkan pembawaan keranjang dan pergi ke pintu ke luar meja kasir. Hal-hal lain yang terjadi
dalam urutan peristiwa ini yang diasumsikan untuk dimiliki bersama ialah pengetahuan latar
belakang (misalnya, dia pergi melewati pitu agar dapat masuk ke dalam took dan dia berjalan
keliling sambil mengambil barang-barang dari atas rak).
Konsep sebuah catatan secara sederhana merupakan suatu cara pengenalan beberapa
urutan yang diharap-kan dalam suatu peristiwa. Sebab, sebagian besar dari penjelasan catatan itu
diasumsikan telah diketahui, penjelasan-penjelasan itu kemungkinan tidak dinyatakan. Bagi
anggota yang memiliki budaya yang sama, asumsi tentang catatan yang dimiliki bersma tersebut
akan memberi jalan yang luas untuk disampaikan tanpa harus mengatakan. Akan tetapi anggota
yang berasal dari budaya yang berbeda, asumsi yang sedemikian ini kemungkinan besar dapat
menjurus pada penyampaian yang salah.
Setiap orang pasti memiliki pengalaman yang mengejut-kan apabila sebagian dari
komponen peristiwa yang diasumsikan itu hilang tak terduga. Hampir tidak dapat dihindarkan
bahwa struktur pengetahuan latar belakang kita, skemata kita untuk mengartikan dunia, akan
ditentukan secara budaya. Kita mengembangkan skemata budaya kita dalam konteks pengalaman
dasar kita.
Karena adanya beberapa perbedaan yang nyata (misalnya, alas duduk sebgai ganti kursi),
kami siap memodifi-kasi keterangan-keterangan skema budaya. Akan tetapi, untuk beberapa
perbedaan yang tidak antara lainnya, kami seringkali mengenalinya karena mungkin terdapat
salah tafsir berdasar skemata yang berbeda. Dalam suatu contoh yang disampaikan, seorang
pengawas perusahaan Australia dengan jelas berasumsi bahwa karyawan-karyawan perusahaan
lain tahu bahwa hari Paskah itu libur dan oleh sebab itu karyawan lain, aslinya berasala
menikmati liburan. Dia bertanya kepada karyawan lain, aslinya berasal dari Vietnam, mengenai
rencananya, seperti dalam contoh berikut.
(7) You have days off. What are you going to do?

5
(Anda libur lima hari. Apa yang akan Anda lakukan?)
Karyawan dari Vietnam tersebut dengan cepat menaf-sirkan tuturan itu sebagai suatu
istilah pemecatan (bukan sebagai liburan). Sesuatu yang baik dalam skema seseorang dapat
berarti jelek dalam skema orang lain.
Studi perbedaan-perbedaan harapan berdasarkan skema-ta budaya merupakan bagian dari
ruang lingkup yang luas yang umumnya dikenal sebagai pragmatic lintas budaya. Untuk melihat
bagaiman cara penutur menyusun makna berdasarkan budaya yang berbeda sesungguhnya
memerlukan penilaian kembali secara kengkap dari segala sesuatu yang sebenarnya sudah
dipertimbangkan. Konsep-konsep dan terminology itu mungkin memberikan suatu kerangka
analitik dasar, tetapi realisasi dari konsep-konsep itu mungkin berbeda secara substansial dengan
contoh bahasa yang diberikan di sini.
Jika kita mengulas kembali maksim-maksim dan prinsip-prinsip kerja sama, kita
mngasumsikan beberapa jenis latar belakang budaya Anglo-Amerika kelas menengah umum.
Bagaimana jika kita mengasumsikan suatu kesipulan budaya dengan tidak mengatakan sesuatu
yang Anda ketahui sebagai masalah dalam berbagai kebanyakan budaya dan dengan jelas
membutuhkan pendekatan yang berbeda terhadap hubungan antara maksim kualitas dan
kuantitas dalam suatu pemahaman pragmatic yang lenih komprehensif.\
Jika kita mengaitkan mekanisme pengambilan giliran, kita tidak mencari peran diam
sama sekali dalam praktik percakapan yang wajar dari beberapa budaya. Kita juga tidak
memasukkan pembahasan ‘hak bicara’ yang dijelaskan secara sosial yang dikenal dalam banyak
budaya sebagai suatu dasar structural tentang bagaimana interaksi itu berlangsung.
Jika kita mencari jenis-jenis tindak tutur, kita tidak melibatkan observasi apapun tentang
perbedaan yang substansial uang mungkin ada secara lintas budaya dalam menafsirkan konsep-
konsep seperti ‘pemberian pujian’, ucapan terima kasih’, atau ‘permintaan maaf’. Gaya
pemeberian pujian tipe Inggris-Amerika menciptakan rasa malu yang sangat bagi pendengar
orang pribumi Indian-Amerika (pujian ini sirasakan sangat berlebihan) dapat menimbulkan
reaksi yang sama terhadap permintaan maaf bagi pendengar orang Jepang (pujian ini dirasa
mustahil untuk diterima). Memang benar, bahwa tidak mungkin bagian kelompok buadaya
membuat antara dua tindakan sosial apapun seperti ‘ucapan terima kasih’ atau ‘permintaan maaf’
akan dipadukan dengan tepat dalam budaya lain.

6
Studi tentang budaya cara bertutur yang berbeda kadang-kadang desebut pragmatik
konstrastif. Jika penelitian difokuskan secara lebih khusus tingkah laku komunikasif dari orang
yang bukan penutur asli, sambil berusaha untuk berkomunikasi dalam bahasa kedua mereka,
penelitian ini dideskripsikan sebagai pragmatic antar bahasa. Studi yang semikian ini semakin
menyatakan bahwa semua berbicara dengan sesuatu yang disenut logat prragmatik, yaitu aspek-
aspek yang menunjukkan sesuatu yang kita asumsikan dapat dipahami tanpa dijelaskan.
Jika kita memiliki harapan pada semua pengembangan kapasitas komunikasi lintas
budaya, kita harus mencurahkan perhatian lebih banyak pada pemahaman tentang sesuatu yang
menjasi ciri logat pragmatik, tidak hanya pada pemahaman logat pragmatik milik orang lain,
tetapijuga pemahaman logat pragmatik kita sendiri.
Berbeda dari kohesi wacana yang tepusat pada struktur dan tekstur wacana yang
kepaduannya ditandai oleh hubungan semantic melalui penanda leksikal dan gramatikal;
koherensi wacana terpusat pada masalah-masalah pragmatic. Koherensi suatu wacana berkaitan
dengan penafsiran dan pemahaman dua pihak mengenai suatu wacana. Suatu wacana disebut
memiliki koherensi jika persyaratan pemahaman yang sama dari dua pihak itu terwujud.
Pemahaman terbentuk atas dasar skema yang sama, yaitu struktur pengetahuan sebelumnya yang
ada dalam ingatan dua pihak (pembicara-pendengar; penulis-pembaca). Skema memiliki pola
yang disebut bingkai; dan berifat sosial.

A. Pengertian Koherensi
Suatu komunikasi Koherensi menurut McCrimmon secara lateral berasal dari kata colere
berarti terikat secara bersama-sama Suatu paragraf disebut koheren jika kalimat-kalimatnya
dijalin bersama-sama atau beriringan satu dengan yang lain. Halliday dan Hassan (1992)
mencirikan suatu nas yang padu memiliki kesetalian. Bagian-bagian nas merupakan
lingkungan dari bagian lainnya yang membentuk inti persoalan dalam nas.Wacana bersifat
koheren maka alurnya bergerak secara mudah dan satu kalimat ke kalimat berikutnya atan
dari bagian ke bagian lain tanpa adanya suatu keseniangan dalam pikiran atau lompatan yang
membingungkan. Jika wacana itu kurang runtut, maka pembaca seakan-akan sedang
menghadapi timbunan pernyataan yang terpisah-pisah alih-alih suatu nas yang padu.
Hubungan antarkalimat yang tidak dinyatakan secara eksplisit disebut olehnya sebagai
kurang atau tidak runtut. Dalam hal ini kita dianjurkannya untuk menggunakan penanda-

7
penanda transisi yang merupakan suatu jembatan untuk menghubungkan pikiran-pikiran
dalam nas.
Selain uraian di atas, koherensi merupakan hubungan semantis antarkalimat atau
antarbagian wacana, yakni hubungan yang serasi antara proposisi satu dengan yang lain, atau
antara makna satu dengan makna yang lain (Suparno, 1994). Hal ini sejalan dengan pendapat
Wahab (1994) yang menyatakan bahwa koherensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan
bahwa kalimat-kalimat yang berurutan dalam satu wacana dianggap mempunyai kaitan satu
sama lain, walaupun tidak ada tanda-tanda linguistik yang tampak.
Dengan demikian, asumsi mengenai koherensi ini hanya akan menghasilkan satu
interpretasi saja, bila unsur-unsur pesan dipandang sebagai berkaitan erat, baik dengan
maupun tanpa adanya tanda linguistik yang tampak. Koherensi memang dapat ditandai oleh
kohesi, dan kohesi mengakibatkan koherensi, tetapi koheren tidak selalu dinyatakan dengan
kohesi (Widdowson. 1979), Dengan demikian, kita sering mendengar adanya pernyataan
bahwa ada wacana yng kohesif dan koheren dan ada wacana yang koheren terapi tidak
kohesif. Dalam kaitanya dengan masalah ini, mengka timbul pertanyaan "Bagaimanakah
seorang analis mampu mengenali ada tidaknya koherensi dari sederetan kalimat?
Labov yang dikutip oleh Wahab (1991) mengatakan bahwa pengetahuan analis tentang
ada atau tidaknya koherensi dari sederetan kalimat itu tidak terletak pada hubungan antara
kalimat. Kalimat itu, melainkan atas tingkah laku yang ditunjukkan o kalimat-kalimat tu.
Selanjutnya dinyatakan oleh Wahab (1991 gagasan bahwa identifikasi ada atau tidaknya
koherensi pa sederetan kalimat didasarkan pada tindakan yang ditunjukkan oleh sederetan
kalimat. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh teori Speech Act yang diperkenalkan oleh Austin
(1962) Austin mengaman bahwa kalimat-kalimat itu tidak saja dipakai untuk melaporkan
sesuatu kejadian, tetapi dalam hal-hal tertentu, kalimat-kalimat itu harus diperhitungkan
sebagai pelaksanaan suatu tindakan.
Koherensi tidak hanya diketahui dengan atau melalui penanda kohesinya Beberapa cara
dapat digunakan untuk menentukan koherensi suatu wacana. Cara-cara yang dimaksudkan
meliputi inferensi, pengetahuan tentang dunia, prinsip analogi, penafsiran lokal. implikatur,
dan praanggapan (Moeliono, ed) 1988, Suparno, 1994:189).
1) Inferensi merupakan proses pemahaman pembaca atau pendengar terhadap makna-makna
tuturan baik dalam bentuk kalimat maupun wacana yang lengkap. Secara sederhana

8
inferensi itu dimaknai sebagai simpulan sementara bagi pembaca dan pendengar. Jika
seseorang anak yang pulang larut malam mendengar ibu atau bapaknya menyambutnya
dengan kalimat"Kau memang disiplin", dia tentu membuat kesimpulan bahwa ibu atau
bapaknya dalam keadaan marah-marah atau tidak suka dengan kepulangannya yang larut
malam itu.
2) Pengetahuan tentang dunia adalah pengetahuan yang berkenaan dengan isi tuturan, yang
berkenaan dengan topik wacana. Pengetahuan tentang dunia in biasanya merupakan
skemata seseorang. Orang awam dengan mesin gergaji modern akan sukar menangkap
produk kegiatan yang dinyatakan dalam kalimat berikut
Contoh :
(1) Dua orang itu bekerja di penggergajian.
(2) Mereka setiap hari mampu menghasilkan rata-rata sepuluh kubik kayu matang.
Hal ini tentunya tidak akan terjadi pada orang yang sudah akrab dengan mesin gergaji
modern atau teknologi modern dalam bidang penggergajian.
3) Prinsip (analogi) adalah prinsip yang diformulasikan dengan V menerapkan pengalaman-
pengalaman yang mirip dan yang sudah, untuk memahami wacana baru yang sedang
dihadapi Tuturan dalam dialog berikut ditafsirkan koheren, baik oleh A maupun oleh B.
Contoh :
A: Bu, ada telepon
B: Saya sedang mandi.
Pertimbangannya jelas, yakni B, seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya, cukup
menyatakan alasannya untuk menyuruh A menerima telepon. B tidak perlu menyatakan
suruhannya .Ungkapan yang dikemukakan oleh B telah dipahami oleh Jarang sekali kita
temui contoh uraian seperti dialog berikut ini:
A: Bu, ada telepon.
B: anda terima saja karetia gitar sedang mandi
4) Penafsiran lokal adalah penafsiran yang ditentukan oleh lingkung tempat terjadinya
komunist Crufur tidak ki keltar dari lingkungan tempat yang diperlukan Seorang murid
yang disuruh gurunya menghapus papan tulis dengan kalimat

9
"Tolong papan tulisnya dihapus!, dan peristiwa itu terjadi kelas, tidak akan mengalami
kesulitan untuk menentukan papan tulis yang dimaksudkan guru, yakni papan tulis yang
berada di kelas, bukan yang berada di tempat lain.
5) Implikatur adalah informasi implisit yang dapat difcaikan berdasarkan suatu tuturan.
Dalam banyak hal, implikatur itu tidak dinyatakan karena sudah menjadi pengetahuan
umum. Adakalanya implikatur juga disampaikan terselubung. Mari kita perhatikan
penggalan ujaran berikut.
“Pak, ini pukul berapa?
Aku belum sholat.
Tuturan ini disampaikan oleh seorang istri kepada suaminya. Peristiwa tutur terjadi pada
saat keluarga ini bermain di pantai
Bila kita perhatikan makna tuturan di atas, makna yang disampaikan oleh seorang ibu
sebenarnya bukan sekedar informasi tentang belum sholatnya Informasi yang
disampaikan berupa ajakan pulang Memang benar istrinya belum sholat, tetapi makna
lengkapnya adalah istri mengajak pulang lelaki tidak disampaikan secara langsung.
Contoh lain, kata wanita fonti mengimplikasikan informasi mempunyai rambut, hidung,
dan bibir sehingga hubungan antarkalimat pada contoh berikut bersifat koheren walang
rampa kalimat "Gadis itu punya rambut, punya hidung, dan punya bibir".Saya bertemu
dengan seorang gadis Rambutnya panjang hidungnya mancung, dan bibirnya tipis.
Berdasarkan uraian sebelum ini, dapat dinyatakan bahwa cana yang koheren itu tidak
selalu ditandai dengan adanya ikatan struktur sintaksis dan kosa kata yang digunakan
dalam nas Seperti vang dikemukakan oleh Alwi da (1998) menyatakan koherensi
merupakan keterkaitan dua proposisi atau lebih, tetapi keterkaitan di untars proposisi-
proposisi tersebut tidak selalu dinyatakan secara eksplisit dalam kalimat yang digunakan.
Banyak wacana yang tidak gramatikal dan tidak berisi kosa kata yang diperlukan ternyata
memiliki koherensi yang baik Pemasang iklan, misalnya, sering tidak menggunakan
kalimat yang lengkap, namun pembaca dapat memahami dengan baik.

10
Perhatikan wacana iklan berikut.
Contoh:
(1)
Art Festival
Bale air
Mei 2003
Membatik
(Demo, courses, exhibition)
4 Mei 2003 Pukul 15.00-sselesai Keramik
(Demo, courses, exhibition)
11 Mei 2003 Pukul 15.00- selesai

(2) PK. 3869 Duda cerai mati, 46, Field Manager, Kedokteran WNI Islam 164/67. Cari
gadis/janda 25-40, cantik. Hub: YASCO PO BOX 2385 Jkt. 10023
Bila kita perhatikan kedua contoh wacana iklan di atas, secara semantis memiliki makna
yang padu. Artinya wacana itu akan dapat dipahami oleh pembaca pada umumnya. Untuk
memahami wacana iklan itu bekal penting yang harus dimiliki oleh pembaca adalah:
a. memahami ragam wacana itu sendiri. Sebuah iklan memiliki khuluk yang berbeda
dengan ragam bahasa lain, misalnya Pilihan kata yang lugas, singkat, dan sebagainya.
b. Struktur wacana iklan tidak mengutamakan kelengkapan struktur kalimat .
c. Adanya pengetahuan tentang iklan yang dibacanya.
Kecuali yang telah diperikan di atas, pembaca juga mengetahui cara membaca dan
memahami Iklan Mini. Demikian juga kata-kata atau singkatan-singkatan kata yang dijajarkan
mengarahkan pembaca untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut sebagai kalimat atau bagian
kalimat Pembaca pada umumnya juga menyadari adanya konvensi dan aturan dalam masyarakat.
Dengan bekal itu kita memahami bahwa contoh (1) di atas berisi iklan tentang festival seni.
Festival ini akan diadakan pada bulan Mei 2003. Ada dua jenis festival seni yang ditawarkan
kepada publik yaitu membatik dan membuat keramik. Pelaksanaan festival itu dilakukan dengan
demonstrasi, pelatihan, mencoba melakukan aktivitas, dan sebagainya. Pada contoh (2) pembaca
mengetahui bahwa yang mati adalah bekas istri duda yang memasang iklan, bukan dia.
Beragama Islam warga negara Indonesia, tinggi badan 164 Cm, tidak gemuk karena berat badan
hanya 67 kg. Menginginkan gadis/janda cantik yang lebih muda dari dirinya dan sebagainya.

11
Pada dasarnya pendengar dan pembaca berusaha memahami pesan pesan pembicara dan
penulis yang sebenarnya dikehendakinya. Jadi, makna yang diinginkan, bukannya yang tersurat
atau terucapkan Untuk mencapai makna tersebut pembaca dan pendengar menggunakan
pengetahuannya tentang lingkung seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu misalnya
prinsip analogi, penafsiran lokal dan sebagainya
Contoh wacana lain yang juga koheren dapat diperhatikan berikut ini.
Contoh (SD)
(1) A: Saya akan pulang jam 9.00
B: Itu tukang pos baru lewat
(2) A: mbak, gelasnya bocor.
B: O, ya. Haus ya, Dik?
Apabila kita perhatikan percakapan di atas merupakan salah satu kebiasaan dalam interaksi
sosial yang di dalamnya terkandung tindak ujaran. Seperti yang dikemukakan oleh John Austin
(1962) tindak ujaran tersebut dapat memiliki daya lokusi dan perlokusi. Makna "lokusi ujaran
yang diucapkan A pada contoh (2) seolah-olah gelasnya retak dan tidak dapat digunakan lagi.
padahal kenyataannya gelas itu tidak apa-apa hanya isinya telah dimunum habis oleh penutur
(A). DalaM hal ini makna yang ditangkap oleh peserta ujaran adalah makna ilokusi yang sesuai
dengan konvensi sosial, yang berarti A minta tambah minuman. B menyadari makna tersebut,
lalu mengambil minuman tambahan untuk A sambil berkomentar. Dalam hal ini B melaksanakan
sesuatu sesuai dengan daya perlokusi yang terkandung di dalam ujaran A. Tindak ujaran
semacam itu banyak digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari dan dipahami oleh para peserta
ujaran sehingga ujaran-ujaran-yang tidak kohesif tetap koheren.

B. Jenis-jenis Koherensi
Kridalaksana (dalam Hartono 2012:151) mengemukakan bahwa hubungan koherensi
wacana sebenarnya adalah hubungan semantis. Artinya hubungan itu terjadi antarposisi.
Secara struktural hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara
kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan maknawi ini kadang-kadang
ditandai oleh alat-alat leksikal, namun kadang-kadang tanda penanda.

12
1. Hubungan Sebab Akibat
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan sebab, sedangkan
kalimat berikutnya menyatakan akibat. Berikut penggunaan hubungan sebab-akibat
dalam kalimat.
“Ia tidak mungkin menemukan buku fiksi di perpustakaan itu. Koleksi perpustakaan
itu khusus buku nonfiksi ilmiah.”
2. Hubungan Akibat Sebab
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua menyatakan sebab
terjadinya/tindakan yang dinyatakan pada kalimat pertama. Berikut penggunaan
hubungan akibat-sebab dalam kalimat.
“Tiba-tiba ia merasa rindu kepada anaknya. Tanpa banyak persiapan pergilah ia ke
kota yang jauh itu.”
3. Hubungan Sarana Hasil
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan sarana untuk
perolehan yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan
sarana-hasil dalam kalimat.
“Atlit bulutangkis kita akhirnya mendominasi kejuaraan Indonesia Terbuka. Kita
tidak usah heran, mereka berlatih dengan ketat dan sangat disiplin.”
4. Hubungan Sarana Tujuan
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kalimat kedua menyatakan syarat untuk
tercapainya apa yang dinyatakan pada kalimat lain. Berikut penggunaan hubungan
sarana-tujuan dalam kalimat.
“Bekerjalah dengan keras. Cita-citamu menjadi orang kaya bakal kesampaian.”
5. Hubungan Alasan Tindakan
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan alasan bentuk tindakan
yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan alasan-
tindakan dalam kalimat.
“Tahun ini mereka bertekad membangun rumah sendiri. Sudah lama sekali mereka
numpang di rumah saudara.”

13
6. Hubungan Latar Simpulan
Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat menyatakan simpulan atas
pernyataan pada kalimat lainnya. Berikut penggunaan hubungan latar-simpulan dalam
kalimat.
“Mobil itu sudah tua, tetapi. Rupanya pemiliknya pandai merawatnya.”
7. Hubungan Kelonggaran Hasil
Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimatnya menyatakan kegagalan suatu
usaha yang dinyatakan pada kalimat lainnya. Berikut penggunaan hubungan
kelonggaran-hasil dalam kalimat.
“Sudah lama aku di kota ini mencarinya. Alamat itu tak juga kutemukan.”
8. Hubungan Syarat Hasil
Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat menyatakan syarat untuk
tercapainya apa yang dinyatakan pada kalimat lainnya. Berikut penggunaan hubungan
syarat-hasil dalam kalimat.
“Beri bumbu dan penyadap rasa yang tepat. Masakanmu pasti enak.”
9. Hubungan Perbandingan
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama dibandingkan dengan yang
dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan sebab-akibat
dalam kalimat.
“Pengantin itu sangat anggun. Seperti dewa-dewi dari Khayangan.”
10. Hubungan Parafrastis
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat pertama
dinyatakan secara lain dengan kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan
parafrastis dalam kalimat.
“Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek ini, karena tahun lalu
dana juga tidak habis. Sudah saatnya kita menghemat uang rakyat.”
11. Hubungan Amplikatif
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat pertama
diperkuat atau ditegaskan dengan gagasan pada kalimat berikutnya. Berikut
penggunaan hubungan amplikatif dalam kalimat.
“Dua burung itu jangan dipisah. Masukkan dalam satu kandang saja.”

14
12. Hubungan Adiftif
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat pertama
diikuti atau ditambah dengan gagasan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan
hubungan adiktif dalam kalimat.
“Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini (simultan).”
13. Hubungan Identifikasi
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat pertama
didentifikasi dengan kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan identifikasi
dalam kalimat.
”Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak berarti bodoh. Kamu tahu nggak, Einstein?
Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk ke universitas.”
14. Hubungan Generik-Spesifik.
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan gagasan umum atau
luas, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan gagasan khusus atau sempit. Berikut
penggunaan hubungan generik-spesiik dalam kalimat.
“Gadis model itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah, bibirnya menawan.
Apalagi jalannyaa, luar biasa.”
15. Hubungan Spesifik-Generik
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan gagasan umum atau
luas, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan gagasan khusus atau sempit. Berikut
penggunaan hubungan spesifik-generik dalam kalimat.
“Saya bangun tidur pukul 05.00. Saya mandi lalu salat subuh. Setelah itu saya
membantu ibu lalu makan pagi bila ada. Kemudian berangkat ke sekolah. Itulah
kegiatanku setiap pagi.”
16. Hubungan Ibarat
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama diibaratkan seperti yang dinyatakan
pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan ibarat dalam kalimat.
“Kelihaiannya mengelola bisnis sungguh piawai. Memang dia seperti belut di lumpur
basah.”

15
17. Argumentatif (makna alasan)
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua menyatakan argumen (alasan) bagi
pendapat yang dinyatakan pada kalimat pertama. Berikut penggunaan hubungan
argumentatif dalam kalimat.
“Dia menang dalam pemilihan ketua RW. Dia orang yang bijaksana dan dapat
bergaul dengan siapa saja.”
18. Hubungan Makna Adisi
Hubungan makna adisi (penambahan)ditandai oleh penggunaan kata-kata seperti dan,
juga, lagi, pula, lagi pula.
“Pak dwijo mempunyai dua orang anak, Dua orang anak ini sedikit-sedikit
mempunyai pegangan kepandaian. Lagipula, Pak Dwijo selalu menuntun anak –
anaknya ke perilaku yang baik. Sudah sesuai jika dua anak itu menjadi anak baik.”
19. Hubungan Makna kontras
Hubungan makna kontras(perlawanan)ditandai oleh penggunaan kata-kata seperti
akan tetapi,padahal,sebaliknya.
“Parjoko sekarang sudah bekerja dan gajinya sudah dapat untuk hidup. Akan tetapi,
dia belum memikirkan rumah tangganya. Sebaliknya, Karsono, adiknya Parjoko yang
masih merepotkan orang tua sudah merengek-rengek dinikahkan.”
20. Hubungan Makna Kondisi
Hubungan makna kondisi( pengandaian ) ditndai oleh penggunaan kata-kata seperi
andai kata,asal seperti itu.
“Dua orang kesatria tadi hatinya sangat panas. Keduanya sangat tidak dapat
menerima bahwa pangkat Manggala Yuda sampai terpegang oleh Guntur Geni. Oleh
karena itu, pada malam kesatria kembar itu ingin berhadapan dengan Guntur Geni.
Andaikata, jika dua kesatria itu kalah, mereka dapat menerimanya, sebab mereka
mersa mempunyai kesaktian yang tangguh dari pemberian gurunya.”

16
21. Hubungan Makna Instrument
Hubungan makna instrument (alat)ditandai oleh penggunaan kata-kata seperti dengan
begitu,dengan itu.
“Sudah lama Sugondo ingin mempunyai sepeda motor. Dia lebih sungguh-sungguh
mencari. Jika ia mendapat uang, sebagian uangnya ditabung. Dengan begitu,
Sugundo dapat membeli sepeda motor setelah menabung dua tahun lamanya.”
22. Hubungan Makna konklusi
Hubungan makna konklusi ( kesimpulan ) ditandai oleh penggunaan kata-kata seperti
jadi, akhirnya.
“Ada sedikit ketenangan karena Pambudi ternyata luhur budinya. Walaupun adiknya
nakal dan dia sangat marah, cintanya terhadap saudaranya tidak hilang. Jadi,
seandainya ada kejadian yang tidak menyenangkan, Pambudi pasti mau
memikirkanya.”
23. Hubungan Makna Kata Tempo
Hubungan makna tempo (waktu )ditandai oleh penggunaan kata-kata seperti stelah
itu, kemudian.
“Ratni menangis terisak-isak. Air matanya mengalir di pipinya. Dia segera melipati
pakaian yang perlu dibawa untuk diganti. Setelah itu, Ratni lalu beristirahat walau
kenyataanya tidak tidur sepanjang malam.”
24. Hubungan makna intensitas
Hubungan makna intensitas (penyangatan ) ditandai oleh penggunaan kata-kata
bahkan,malahan (justru ), terlebih.
“Kadarwati memang sedang sakit. Dia enggan duduk-duduk karena badanya terasa
lemas. Oleh karena itu, sudah beberapa hari dia tidak tampak berjalan-jalan. Justru,
sudah tiga hari ini Kadarwati tidak dapat bangun.”
25. Hubungan makna komparasi
Hubungan makna komparasi (perbandingan )ditandai oleh penggunaan kata-kata
seperti daripada.
“Hubungan Lestari dengan Pujana tidak disetujui orang tuanya. Setiap Pujana akan
bertemu Lestari pasti dihadang-hadangi orang tuanya Lestari. Hal yang demikian itu

17
menjadikan jengkelnya Lestari kepada orang tuanya. Daripada begitu, Lestari nekat
sering datang ke rumah Pujana untuk melepaskan rindunya kepada Pujana.”
26. Hubungan makna similaritas
Hubungan makna similaritas ( kemiripan/kesamaan ) ditandai oleh penggunaan kata-
kata seperti serupa dengan sepertinya.
“Wardana sedang sedih karena istrinya meninggal dunia. Setelah itu, anaknya sakit.
Belum ada seratus hari, ibunya juga dipanngil Yang Maha Kuasa. Ayah Wardana
jatuh terpeleset ketika hari meninggalnya ibunya. Serupa dengan, perahu terapung
yang sedang digoyangkan keadaan oleh nasibnya Wardana.”
27. Hubungan makna validitas
Hubungan makna validitas ( pengesahan ) ditandai oleh penggunaan kata-kata seperti
benar,sesungguhnya,sebenarnya.
“Darwati sering bertemu dengan Sulistiya. Kadang-kadang ia tampak menyandari
Sulistiya. Jika sedang bercakap-cakap keduanya saling mengasihi dan tampak rukun.
Sebenarnya, Darwati tertarik dengan pria tampan itu.”
Tujuan pemakaian aspek atau sarana koherensi antara lain ialah agar tercipta suasana dan
struktur wacana yang memiliki sifat serasi, runtut, dan logis. Sifat serasi artinya sesuai,
cocok, dan harmonis. Kesesuaian terletak pada serasinya hubungan antarproposisi dalam
kesatuan wacana. Runtut artinya urut, sistematis, tidak terputus-putus, tetapi bertautan satu
sama lain. Keruntutan artinya umumnya terjadi dalam susunan kalimat (struktur). Asas ini
diperlukan untuk mengintegrasikan secara rapi unsur-unsur wacana ke dalam satu kesatuan
sehingga tidak terjadi loncatan-loncatan pikiran. Sifat logis mengandung arti masuk akal,
wajar, jelas, dan mudah dimengerti. Suatu rangkaian kalimat yang tidak memiliki hubungan
bentuk dan makna secara logis tidak dapat dikatakan sebagai wacana (Mulyana 2005:35)

C. Penanda Koherensi
Bertolak dari paparan di atas, untuk membicarakan penanda koherensi dalam wacana
perlu memperhatikan dua aspek. Pertama wacana yang mengungkapkan makna secara
tersirat dan kedua wacana yang mengungkapkan makna secara tersurat. Wacana yang
mengandung makna biasanya menghendaki sarana penanda formal yang dapat dianalisis
berdasarkan sarana kebahasaan, sedangkan wacana yang mengandung makna tersiratang
mengandung makna secara tersurat. D'Angelo mengatakan bahwa untuk mengisi

18
kesenjangan itu dengan maksud untuk memperoleh keruntutan haruslah digunakan berbagai
cara seperti penambahan (addtion) ,penderetan (series), referensi kata ganti pengulangan
kata, sinonim,keseluruhan bagian, kelas anggota, penekanan, perbandingan, pertentangan
(contras), hasil, pemberian contoh, struktur pararel, tempat, dan waktu`
Untuk memperoleh keutuhan paragraf atau wacana pada umumnya yang pada gilirannya
menimbulkan keruntutan, berbagai macam cara digunakan orang. Untuk itu, Adelstein dan
Pival (1976:293 ) mengemukakan klasifikasi atas empat jenis, yaitu
a. Hubungan makna yang meliputi sinonim, kata ganti, dan kata pemum.
b. Kata-kata transisi dan kata sambung
c. Pemarah waktu dan tempat (Kini, kemudian dll )
d. Urutan waktu (berlaku pada unggas yang memiliki kala misalnya bahasa Inggris
Penggunaan kain dalam suatu wacana dalam bahasa yang mengenal sistem kala haruslah
konsisten. Bila tidak, maka keruntutannya bisa lemah atau sama sekali tidak runtut
Klasifikasi lain yang berhubungan dengan alat-alat keruntutan dikemukakan oleh
D'Angelo sebagai berikut:
a. penambahan sebagainya (addition), dan, lagu pula, selanjutnya, dan
b. rentetan (series): pertama, kedua, berikut, kemudian, dan sebagainya:
c. kata ganti mereka dan sebagainya
d. pengulangan kata
e. sinonim,
f. Hiponim,
g. penekanan; tentu saja, sama halnya, juga, tidak seperti, dan sebagainya,
h. kontras/pertentangan, teiapi, namun demikian, sebaliknya.
i. hasil, jadi, karena itu, hasilnya,
j. Contoh, umpamanya, sebagai contoh, dan sebagainya:
k. Paralelisme
l. tempat; di sini, di atas, dan sebagainya;
m. waktu; setelah itu, kemudian, sementara itu, dan sebagainya.
Selain hal yag dikemukakan di atas, Gutwinsky (1976) mengemukakan bahwa
pencapaian keruntutan sebagai akibat dari untaian tuturan yang logis sering membutuhkan
pemarkah keterpaduan yang disebutnya sebagai pemarkah transisi. Pemarkah transisi ini

19
penting untuk menjamin adanya keberlanjutan untaian tuturan dan memberi efek tertentu
pada peristiwa komunikasi itu sehingga urutan-urutan ide, fakta, dan peristiwa mudah diikuti
karena tidak terasa adanya kesenjangan dan loncatan pikiran. Dengan kata lain, pemarkah
transisi itu memberi peluang yang lebih besar terhadap timbulnya praanggapan yang lebih
tajam.
Apabila wacana yang mengandung makna eksplisit diperlukan penanda koherensi di atas,
maka wacana implisit lebih menekankan pada peranan lingkungan dalam wacana.
Maksudnya realisasi wacana dapat dipahami dengan mengacu pada lingkung seperti analogi,
penafsiran lokal dan sebagainya.

20
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Koherensi merupakan suatu keadaan yang menunjukkan bahwa kalimat-kalimat yang
berurutan dalam satu wacana mempunyai kaitan secara semantis satu dangan lainnya.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menentukan koherensi suatu wacana dengan cara
mengetahui inferensi, pengetahuan tentang dume prinsip analogi. penafsiran lokal implikatur,
dan praanggapan. Penanda koherensi dalam wacana memiliki kesamaan dengan kohesi dalam
wacana Menurut D. Angelo penanda tersebut meliputi:
1. penambahan
2. rentetan
3. kata ganti
4. pengulangan kata
5. sinonim
6. homonim hiponim
7. penekanan, tentu saja, sama halnya
8 pertentanganhasil, jadi, karena itu hasilnya
10 contoh; umpamanya, sebagai
11 paralelisme
12. tempat, di sini, di atas
13. waktu

21
DAFTAR PUSTAKA

Rahayu, Ngudining. 2019. Wacana Bahasa Indonesia. Bengkulu : Unit Penerbitan dan Publikasi
FKIP Univ. Bengkulu

Sukino. 2004. Memahami Wacana Bahasa Indonesia. Bengkulu : Unib Press

http://atinabastra00.blogspot.com./2013/12/tugas-wacana-koherensi.html?m=1

22

Anda mungkin juga menyukai