Anda di halaman 1dari 18

ASPEK SUBYEK: INSIDER DAN OUTSIDER

Dosen Pengampu:
Zaenal Muttaqin, S.Ag., M.A, Ph.D

Disusun oleh
Erwin Nida Zulaikha

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya kepada kami dalam mengarungi proses penyelesaian makalah
ini sebagaimana mestinya.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan nabi kita suri
tauladan kita, Nabi Muhammad SAW yang senantiasa kita nantikan syafaatnya di
yaumul akhir nanti dan yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman
yang terang benderang dan penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Zaenal Muttaqin,
S.Ag., M.A, Ph.D selaku Dosen Mata Kuliah Pengembangan Studi Islam terhadap
Kebhinekaan. Dalam penyusunan makalah yang berjudul “Aspek Subjek: Insider dan
Outsider”. Tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak, baik berupa saran maupun
kontribusi pemikiran. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penyusun menyampaikan
ucapan terima kasih kepada pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab
itu kritik dan saran membangun senantiasa diharapakan demi perbaikan makalah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi
pembaca.

Sukoharjo, 9 Maret 2023

Erwin Nida Zulaikha

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan Masalah..............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................3
A. Biografi Kim Knott........................................................................................................3
B. Mengenal Insider dan Outsider......................................................................................4
C. Konsep Insider dan Outsider..........................................................................................5
D. Prespektif Insider dan Outsider dalam Studi Islam........................................................6
E. Posisi Insider dan Outsider dalam Studi Agama............................................................8
F. Perspektif baru yang berlandaskan pada Insider dan Outsider.......................................10
BAB III PENUTUP....................................................................................................................14
A. Kesimpulan..........................................................................................................14
B. Saran....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perbedaan cara pandang, metode, dan landasan epistimologi seseorang dalam
memahami sebuah fenomena akan sangat mungin hasilnya atau kesimpulannya juga
akan berbeda, meskipun dengan obyek yang sama. Dalam melihat agamapun
hasilnya akan berbeda-beda, karena fenomena keberagamaan manusia itu dapa dilihat
dari berbagai sudut pandang dan pendekatan.
Normativitas ajaran agama tidak menjadi satu-satunya cara untuk manusia
bisa melihat dan menilai sebuah agama. Selain normativitas, kita dapat melihat dan
menilai agama melalui historitas pemahaman dan interpretasi orang-perseorangan
atau kelompok-perkelompok.posisi agama tidak hanya dipandang sebagai seperangkat
ajaran (nilai), dogma atau sesuatu yang bersifat normatif, namun juga bisa dilihat
sebagai suatu wilayah pembahasan yang penarik untuk dikaji.
Agama dilihat dari perspektif anthropology sebagai sebuah sistem budaya,
dimana setiap sistemnya terdapat unsur-unsur yang memungkinkan terbentuknya
sebuah sistem itu. Begitu juga agama jika dilihat dari perspektif sosiologis, historis,
dan bidang lainnya. Namun, sebagian orang masih memposisikan agama pada sesuatu
yang normative, sehingga agama dipandang hanya seluas itu. Diskusi dan perdebatan
terus terjadi bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keagamaan, seperti:
apakah agama bisa ditelaah dengan pendekatan saintifik, fenomenologis, kritis?
Bagaimana objektivitas hasil kajian agama jika penelitinya berasal dari Insider dan
Outsider?
Permasalahan-permasalahan itu membuat Kim Knott merasa cemas, sehingga
ia membuat kategorisasi pendekatan studi agama. Ada 3 kategori yang dibuat oleh
Kim Knott, antara lain: 1. Sulitnya membuat garis pertemuan yang jelas antara
wilayah agama dan non-agama. 2. Terdapat persoalan yang sukar ketika ada yang
memahami agama sebagai kebiasaan (tradition) dan agama sebagai keyakinan (faith).
3. Masalah objektivitas dan cara pandang seseorang dalam mendekati agama baik
Insider maupun Outsider. Insider adalah pengkaji agama yang berasal dari agamanya

1
sendiri (orang dalam). Sedangkan, Outsider adalah pengkaji agama yang bukan
penganut agama yang bersangkutan (orang luar).1
Perlu kita ketahui terkait aspek subyek: Insider dan Outsider. Untuk itu, dalam
makalah ini akan dibahas terkait dengan aspek subyek: Insider dan Outsider, konsep
Insider dan Outsider, Insider dan Outsider dalam prespektif studi agama, dan posisi
Insider dan Outsider dalam studi agama.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana biografi Kim Knott?
2. Apa yang dimaksud Insider dan Outsider?
3. Bagaimana konsep Insider dan Outsider?
4. Bagaimana prespektif Insider dan Outsider dalam Studi Islam?
5. Bagaimana posisi Insider dan Outsider dalam Studi Agama?
6. Apa sajakah perspektif baru yang berlandaskan pada Insider dan Outsider?

C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui biografi Kim Knott
2. Untuk mengetahui pengertian Insider dan Outsider
3. Untuk mengetahui konsep Insider dan Outsider
4. Untuk mengetahui prespektif Insider dan Outsider dalam Studi Islam
5. Untuk mengetahui posisi Insider dan Outsider dalam Studi Agama
6. Untuk mengetahui perspektif baru yang berlandaskan pada Insider dan
Outsider

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Kim Knott


Kim khott adalah profesor Agama dan Studi Sekuler di Lancaster University,
UK. Dan tahun 2005-2011 ia menjabat sebagai Direktur Diasporas, Migration and
Identities. Kim Knott juga bekerja di Universitas Leeds 1982-2012, dan pekerjaan
pertamanya adalah sebagai peneliti postdoctoral. Kim Knott mengembangkan
metodologi spasial untuk mengkaji agama. Sebagai Profesor Studi Agama dan
Direktur Komunitas Antar Agama, Kim Knott menulis tentang agama di Inggris, yang
meliputi identitas agama-agama modern dan isu-isu metodologis tentang studi
agama.2
Kegiatan akademiknya juga termasuk membantu mahasiswa untuk menjadi
peneliti yang kompeten dan bertanggung jawab dengan mengangkat isu-isu tentang
agama. Para pelajar dilatih pada program kursus yang bernama Religious Living. Hal
tersebut bertujuan untuk mengembangkan pemahaman pelajar tentang agama dan
studi dengan cara pemeriksaan otobiografi dan biografi dari berbagai pemeluk agama.
Dalam penelitiannya, Kim Knott banyak mengadopsi preposisi dan preskripsi
yang menggunakan pendekatan teoretis dan induktif berdasar pada budaya lokal. Titik
awal dalam mengembangkan pendekatan spasial tersebut adalah Theories of Place
yang dikembangkan oleh Heidegger, Edward Casey dan Christopher Tilley. Sebagai
seorang feminis dan kritikus post-modern, Kim Knott sangat tertarik untuk menekuni
kajian keagamaan dengan pendekatan geografis dan studi agama-agama. Dan Ia terus
mencoba untuk menemukan konsep agama dalam prosedur yang terukur, simultan
dan holistik.
Sejumlah karya peneliti sebelumnya yang di pelajari oleh Kim Knott, antara
lain: Kristensen, Van der Leeuw (sejarahwan Belanda dan Filusuf Agama, Lahir
1890), Rudolf Otto (Kebangsaan Jerman 1896, Filosof dan Theolog), Mircea Eliade
Filosof Rumania, Lahir 1907), Wilfred C. Smith (Lahir diKanada, 1916 Profesor
Perbandingan Agama), Cornelius Teile, Kenneth Pike (1912 seorang Profesor

2
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/719-1316-1-SM%20(4).pdf diakses pada hari Selasa, 7 Maret 2023.
Pukul 11.08 am. hlm. 61

3
Amerika ahli linguistik dan antropolog) dan Ninian Smart (6 Mei 1927 - 9 Januari
2001) adalah seorang penulis dan Skotlandia, Seorang pelopor dalam bidang sekuler
studi agama). Dari karya- karya para peneliti sebelumnya, Kim Knott membuat
pemetaan terhadap pendekatan studi agama.
Beberapa tulisan Kim Knott tentang keagamaan yaitu: The Location of
Religion: A Spatial Analysis, Equinox, London and Oakville. Selanjutnya From
Locality to Location and Back Again: A Spatial Journey in the Study of Religion, dan
Hinduism: A Very Short Introduction, yang diterbitkan oleh Oxford Unity Press,
tahun 1998.3

B. Mengenal Insider dan Outsider


Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih mendalam, di sini perlu
dijelaskan pengertian insider dan outsider terlebih dahulu. Insider merupakan pengkaji
dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan, outsider adalah para pengkaji
agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan (orang luar) . Dalam
perspektif muslim insider adalah orang dalam (muslim) dan outsider adalah orang luar
(nonmuslim) yang ingin mengkaji islam.
Banyak kalangan yang menaruh pandangan negatif pada pendapat outsider.
Adanya indikasi kecurigaan dan kekhawatiran dari insider terhadap outsider karena
outsider dianggap akan menguasai wilayah negara Islam dan menguatkan akar
pendudukan pada wilayah tersebut. Begitupun sebaliknya, analisis yang dilakukan
oleh insider juga dipandang sebelah mata oleh outsider karena adanya subjektifitas
yang menjerat insider. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan
menimbulkan kesalahpahaman (miss-understanding) yang berujung pada konflik.
Kurangnya kepercayaan hasil penelitian antar keduanya membuat para pakar dan
peneliti berusaha untuk mengidentifikasi, menyatukan, dan menyusun rekonstruksi
teori untuk memecahkan persoalan seputar studi agama.
Upaya memahami agama-agama selalu berada pada orbit culture yang sangat
beragam. Sehingga persoalan krusial dalam studi beragama adalah kuatnya keyakinan
truth claim yang tidak terpisahkan dari kajian dan objek penelitian. Karena itulah,
tentang “objektivitas” dalam studi agama Wilfred C. Smith menyatakan bahwa “No

3
Ibid, hlm. 62

4
statement about a religion is valid unless it can be acknwoeledged by that religion”s
believers”4

C. Konsep insider dan outsider


Dalam pengertian umum kata Insider diartikan sebagai para pengkaji agama
yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan outsider adalah para
pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan (orang luar). Hal itu
menyebabkan terjadinya perdebatan dari kalangan ilmuan, apakah dari kalangan
insider atau outsider dalam penilaian yang benar-benar obyektif dan bisa di
pertanggungjawabkan, karena latar belakang dan alasan historis yang melekat pada
insider maupun outsider. Dalam makalah ini yang dimaksud dengan Insider dan
outsider adalah glasses, atau cara pandang (prespektif) seseorang dalam memandang
sesuatu.
Adanya ketidak percayaan antara kalangan insider dan outsider terhadap hasil
analisisnya masing-masing. Kemudian, Kim Knott melontarkan gagasan untuk
mengatasi hal tersebut. Mencari objektifitas penelitian merupakan sebuah tujuan
utama yang diharapakan oleh berbagai pihak. Akan tetapi, masih banyak penelitian
yang menunjukkan adanya subjektifitas. Masalah objektifitas merupakan masalah
yang sangat penting, namun sering terpengaruh oleh banyak faktor. Banyak kritik
yang dilontarkan oleh kalangan outsider kepada insider dan begitu sebaliknya.
Namun, yang terpenting bagi kedua belah pihak adalah saling terbuka untuk mau
saling mendengarkan. Bagi kalangan outsider, perlu menyadari bahwa agama bukan
merupakan fenomena sosial belaka namun dibalik agama ada nilai kesakralan.
Dengan tidak menjadikan agama sama dengan budaya diharapkan akan tercipta
pemahaman agama yang lebih utuh. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh
maka pandangan orang diluar agama (outsider) harus dipadukan dan bukan hal yang
harus di musuhi. Karena akan sangat mungkin jika outsider menemukan hal yang baru
yang tidak ditemukan oleh insider.
Outsider bahkan bisa menggambarkan agama insider pada hal- hal yang tidak
pernah di pikirkan oleh insider. Misalnya, harus disadari bahwa kajian Islam yang
dilakukan oleh para outsider mampu menggerakkan dan memicu gerakan intelektual
dalam dunia Islam. Disadari atau tidak bahwa lahirnya nalar kritis dalam Islam, salah

4
Santoso, subhan adi dan muksin. Studi islam era society 5.0, (sumatera barat: cv insan cendekiawan mandiri
,2020) hlm. 154

5
satunya adalah pengaruh dari kajian-kajian yang dilakukan oleh outsider. Dengan
lahirnya ilmu baru dan metodologi dalam studi agama yang semakin mendekati pada
objektifitas, nampaknya kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan terhadap kajian
outsider harus dikurangi.

D. Prespektif Insider dan Outsider dalam Studi Islam


Fazlur Rahman berpendapat, bahwa apabila agama dipandang sebagai doktrin,
suci, dan tabu, maka hal itu berarti menutup pintu kajian/penelitian. Sebaliknya,
apabila kajian-kajian diarahkan pada elemen-elemen agama, maka terbuka pintu
untuk melakukan penelitian.5 Hal ini menandakan bahwa agama jangan hanya dilihat
secara sempit pada wilayah teologis-normatif namun juga dilihat dari aspek filosofis,
sosiologis, historisnya.
Selanjutnya, Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
paradigma pemahaman tentang agama mengalami pergeseran kearah yang lebih luas.
Dari dahulu yang terbatas pada “idealitas” kearah “historisitas”, dari yang hanya pada
“doktrin” kearah entisitas “ sosiologis”, dari diskursus “esensi” kearah “eksistensi”.
Dalam pergaulan dunia yang semakin terbuka dan transparan, orang tidak dapat
dipermasalahkan dalam melihat fenomena “agama” secara aspektual, dimensional,
dan bahkan multi dimensional approaches.6
Dalam sejarahnya, pertanyaan tentang prespektif insider dan outsider dalam
studi keagamaan muncul pada pertengahan 1980-an dalam sebuah debat tentang studi
Sikh. Agama sikh berasal dari Punjab, India. Penganut Agama Sikh (Sikhisme)
percaya dengan keesaan Tuhan hingga meyakini bahwa Tuhan ada pada setiap
ciptaannya (termasuk manusia). Sikhisme muncul sebagai bentuk protes atas
penyelewengan nilai yang ada di India. Ia datang ke Indonesia pada awal abad ke-19
dan sekarang sudah mempunyai 11 tempat beribadah di Indonesia. Merawat rambut
dan turban menjadi ciri khas orang-orang sikhisme.
Contoh pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat perdebatan tentang studi
Sikh pada pertengahan 1980-an, seperti: siapa yang bisa memahami dan mewakili
tradisi Sikh? Apa motivasi diri, sudut pandang epistemologis dan kepentingan
ideologis mereka yang mempelajari sejarah dan teologi Sikh? Kim Knot juga
menuliskan bahwa masalah-masalah perdebatan ini akhirnya diperpanjang kemudian

5
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terjemahan Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 2.
6
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 9.

6
pada masalah insider/outsider. Pada tahun 1986 Kim Knott mencontohkan tulisan-
tulisan tentang “Prespective on Sikh Tradition” yang diterbitkan. Beberapa penulis
yang mengkritik keras sarjana Barat pada Sikhisme, terutama pada tulisan W.H
McLeod, yang dituduh telah mengganggu Iman Sikh sebagai akibat dari pendekatan
tekstual historis dan kritis untuk tradisi Sikh.7
Kemudian, pada tahun 1991, dalam tinjauan karya beberapa sarjana Barat,
termasuk McLeod, oleh Darshan Singh mengangkat isu pokok: Upaya penulis Barat
'untuk menafsirkan dan memahami Sikhisme adalah upaya outsider dan bukan
partisipan. Dikatakanya bahwa agama adalah daerah yang tidak mudah diakses oleh
orang luar, orang asing atau bukan penganutnya (partisipan). Makna pokok agama
terungkap hanya melalui partisipasi beragama dengan mengikuti jalan yang
ditetapkan secara patuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang memandang
agama dalam prespektif yang berbeda-beda, sehingga diperlukan pengendalian
pemikiran dan tingkahlaku dalam menyikapi perbedaan keyakinan.
Setiap pemeluk agama diarahkan untuk dapat membangun komunikasi
harmonis antar umat beragama, agar tercipta kerukunan dalam sosial kemasyarakatan.
Masalah keagamaan berada dalam kajian yang terus menerus diperdebatkan. Menurut
Kim Knott terdapat kelebihan dan kelemahan dari keikutsertaan atau tidak
berpartisipasinya dari ilmuwan dalam studi agama. Sarjana Barat dikritik atas
pertanyaan kajian-kajian agama, baik dari para sarjana itu sendiri maupun dari pihak
lain. Max Muller dalam tulisannya menegaskan bahwa sebagai objek kajian, agama
harus ditampilkan dengan penuh rasa hormat (kesakralan), namun juga harus
mendapat ruang kritik dari peneliti. Selanjutnya Cornelius Tiele menekankan kepada
para ilmuwan untuk melakukan penelitian dengan mengedepankan objektivitas,
melalui studi dan investigasi yang tidak memihak siapapun. Ia juga membedakan
antara subjektivitas keagamaan pribadi individu dan objektivitas cara pandang
terhadap agama orang lain.8
Kemudian, Berbagai isu seputar studi agama diberi penguatan metodologis,
terutama yang berkaitan dengan fenomenologi agama, seperti yang dilakukan oleh
Kristensen, Van der Leeuw (sejarahwan Belanda dan Filusuf Agama, Lahirr 1890),
Rudolf Otto (Kebangsaan Jerman 1896, Filosof dan Theolog), Mircea Eliade Filosof

7
Kim Knott, Insider/Outsider Perspectives dalam John R. Hinnells (ed.), The Routledge Companion to the Study
of Religion, (London: Routledge Taylor and Fancis Group, 2005), hlm. 244.
8
Ibid, hlm. 244

7
Rumania, Lahir 1907), Wilfred C. Smith (Lahir diKanada, 1916 Profesor
Perbandingan Agama), Cornelius Teile, Kenneth Pike (1912 seorang Profesor
Amerika ahli linguistik dan antropolog) dan Ninian Smart (6 Mei 1927 - 9 Januari
2001) adalah seorang penuli dan pelopor dalam bidang sekuler studi agama. Mereka
menyatakan bahwa semua agama merupakan fenomena unik yang dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang, namun mampu memberikan pemahaman secara empatik.
Tujuan yang mendasari pendekatan fenomenologis adalah untuk mengerti dengan
penuh empati berdasarkan pada pengalaman insider, disamping kemampuan menahan
diri dari prasangka buruk yang muncul dari pihak outsider.9

E. Posisi Insider dan Outsider Dalam Studi Agama


Kim Knott menyatakan, bahwa pengalaman keagamaan yang ada dalam diri
insider ditampilkan kemudian direspons oleh outsider, dengan mempertimbangkan
batas-batas objektivitas dan subjektivitas, yang terpancar dalam pengalaman
keagamaan, yang didasari oleh sikap empati dan analisis kritis. 10 Hal itu, membuat
insider dan outsider saling berbagi perspektif dalam sejadah studi agama.
Ada beberapa perspektif dari beberapa pengkaji agama juga, antara lain:
Darshan Singh, Max Muller, Cornelius Tiele. Darshan Singh menegaskan bahwa
upaya yang dilakukan oleh orang Barat untuk menerjemahkan (menafsirkan) dan
memahami agama sebagai outsider, memandang bahwa konsep dan ajaran agama
tidak boleh diakses oleh non pemeluknya atau orang luar.makna substansi agama
terungkap melalui partisipasi secara intensif, berdasarkan mengikuti ajaran
pengamalan agamaannya.
Sedangkan, Max Muller sudah mempertegas bahwa, sebagai objek studi,
agama harus ditampilkan secara proporsional (sesuai proporsinya) meskipun agama
Max Muller juga harus di kritisi. Kemudian Cornelius Tiele menekankan juga kepada
para ilmuwan untuk melakukan sebuah penelitian dengan mengedepankan
objektivitas tanpa menjadi skeptis, melalui studi dan investigasi yang tidak memihak
siapapun.

9
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/719-1316-1-SM%20(8).pdf diakses pada hari Rabu, 8 Maret 2023.
Pukul 14.15 pm, hlm. 32.

10
Mu’ammar M. Arfan, Abdul Wahid Hasan, dkk, Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/Outsider,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), hlm. 96.

8
Agama merupakan salah satu fenomena yang sangat unik. Setiap agama
memiliki ciri khasnya masing-masing. Agama juga dapat dilihat dari berbagai sisi
(multi faces), otonom, dan tidak ada bandingannya. Akan tetapi, agama mampu
memberikan pemahaman secara empatik. Hal itu, didasari oleh pendekatan
fenomenologis yang bertujuan untuk mengerti dengan penuh empati berdasarkan
pada pengalaman insider, serta kemampuan menahan diri dari penilaian negatif
prejudice yang muncul dari orang luar (outsider).
Akhir-akhir ini muncul dua pendekatan yang agak berbeda untuk mempelajari
agama di Barat. Salah satunya yaitu scientific method. Bercampurnya anatara
“agama” dan “sosio histiris kultural” atau antara yang sakral dan yang profan tidak
mudah lagi untuk dibedakan. Biasanya para ilmuwan masih bisa membuat distingsi
(perbedaan) antara pure science (religiousity) yang bersifat inklusif terbuka dan
applied science (having a religion)yang bersifat eksklusif tertutup melalui telaah
filsafat keilmuan kontemporer. Maka, dalam lingkup keilmuan agama, sungguh
terasa kesulitan untuk membuat titik pemisah antara keduanya.11
Unsur sakralitas dalam sebuah agama dapat menamabah rumitnya sebuah
persoalan karena perbincangan keagamaan yang semula bersifat profan menjadi
disakralkan. Kim Knott dan Charles S. Pierce mengajukan kontruksi pemikiran
sebagai dasar (basic) studi agama: pertama, belief, yang berupa tatanan sosial yang
dipegang secara absolut, dan dipadu oleh tatanan kekuatan moral. Kedua, habit of
mind, tradisi yang turun temurun yang telah mengkristal menjadi kebiasaan dalam
berbagai aspek kehidupan. Ketiga, doubt mempertanyakan tentang apa yang selama
ini dianggap menjadi mainstream pemikiran dan pengejawantahan. Dan untuk
memperoleh keyakinan – menurut Pierce – seorang peneliti, harus melakukan empat
tahapan pertimbangaan guna mengurai doubt menjadi potensi positif argumentatif,
yakni tenasitas, otoritas, apriori, dan investigasi. Keempat, Inquiry (penelitian),
namun ia menegaskan bahwa yang dicari adalah meaning (nilai) bukan truth
(kebenaran), yang merupakan teori pemaknaan pragmatis namun opratif. Kelima, the
logic of theory sebagai landasan aplikasi kajian.12

11
Milton K. Munitz, Contemporary Analytic Philosophy, (New York: Macmillan Publishing Co Inc. 1976), hlm.
403.
12
Josef Van Ess, The Logical Structure of Islamic Theology, dalam An Anthology of Islamic Studies, edited by
Issa J. Boullata, (Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project. 1992), hlm. 24.

9
F. Perspektif Baru
Dengan mengutip pendapat Junker dan Emmas, Kim Knott membagi konsepsi
peran pengembangan interkoneksi sosial keagamaan dalam empat elemen yaitu
partisipan murni, peneliti sebagai partisipan,partisipan sebagai peneliti dan pengamat
murni.13 Menurut kedua sosiolog tersebut, dengan landasan perspektif insider dan
outsider, akan sangat mungkin mereka menemukan hasil penelitiannya. Keagamaan
sebagai partisipan dan di sisi lainnya ia mampu berinteraksi dengan penganut agama
lain. Meski terkadang memunculkan sikap kritis, namun tak jarang masih terkooptasi
oleh posisi insidernya.
1. Partisipan Murni ( Complete Participant )
Kim Knott mengemukakan contoh, Fatima Mernissi sebagai gambaran
sosok partisipan murni, terutama gagasannya ketika menulis An Historical and
Theological Enquiry (1991) tentang perempuan dalam Islam. Sebagai seorang
sosiolog feminis muslim, ia hampir tidak punya pilihan yang jelas. Mernissi
adalah salah satu penulis muslim yang mendeskripsikan esensi ajaran Islam,
dengan mengeksplorasi khazanah keislaman untuk memahami hak-hak
perempuan. Ia dikenal sebagai pegiat feminisme yang banyak mengkritisi
sejumlah hadis misoginis, ia menulis: “Sebagai wanita muslimah kita harus
mampu memasuki dunia modern dengan bangga dan kepala tegak, guna
mengembalikan harkat, demokrasi, dan hak asasi manusia. Dan untuk
berpartisipasi penuh dalam urusan politik dan sosial, kita harus mampu
menepikan nilai-nilai Barat, dan mengambil yang benar-benar dari tradisi
Islam.”14
Mernissi dikenal sebagai sosok yang kurang kritis meskipun ia sebagai
prototipe emik. Ia menggunakan pengalaman pribadinya dengan bahasa Islam,
khususnya, sentralitas dalam konsep jilbab untuk memahami kebudayaan
Islam yang eksklusif dan mayoritas posisi perempuan dalam kungkungan
tradisi domestik. Walaupun bukunya tidak diarahkan secara terus terang
(eksplisit) untuk komunitas non-Muslim, namun Mernissi mendapatkan
banyak kritikan dari orang-orang Barat dan cenderung melihat Islam sebagai
agama yang tidak demokratis dan menindas perempuan.

13
Knott, Kim, Insider/Outsider Perspectives, dalam The Routledge Companion to the Study of Religion, Edited
by John R. Hinnells, (London: Routledge Taylor and Fancis Group, 2005), hlm. 176.
14
Fatima Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Inquiry, (Oxford: Blackwell, 1987), hlm. iii

1
2. Partisipan sebagai Peneliti (Participant as Observer)
Pada saat mereka melakukan studi agama, maka yang dimunculkan
adalah prinsip-prinsip kunci penelitian ilmiah sosial; objektivitas, netralitas,
dan mutual konsultasi untuk membuktikan kebenaran hasil dari generalisasi
mereka. Banyak sosiolog dan psikolog yang menggunakan pendekatan
kuantitatif, misalnya, dengan mengembangkan dan mengelola sebuah
kuisioner.15
Festinger yang dikenal sebagai tokoh psikologi sosial mengatakan
bahwa pendekatan kuantitatif tidak dapat digunakan untuk mengkaji perilaku
keberagamaan seseorang. Pada kenyataannya, apa yang mereka lakukan
adalah menunggu tanda-tanda dari kegiatan kelompok keberagamaan, dan
kemudian mengamati perilaku komunitasnya dari dalam. Mereka mengadopsi
peran insider, untuk observasi sebagai pencari realitas tak langsung, sehingga
akan didapat hasil yang lebih akurat.
Penggunaan beberapa istilah internal, semisal persoalan yang bersifat
rahasia, stigmatisasi, anasir detektif peneliti, justru mempertajam perbedaan
(distingsi) antara pengamat outsider (dalam kontrol, tak terlihat, menyelidiki),
dan insider sebagai objek yang diamati (pasif, sangat terlihat, terkena
penyelidikan secara rinci). Hal ini, akan menaikkan isu pembeda dan
superioritas dalam penelitian ilmiah dan presentasi komunitas suatu agama.
Hal tersebut, menjadi alasan gagalnya sebuah penelitian karena peneliti
melakukan penelitian tidak objektif dan seimbang, serta tuntutan penelitian
yang diperlukan untuk mengkompromikan posisi mereka sebagai outsider
demikian kuat, meskipun, outsider tidak terlibat dan tidak memihak ketika
melakukan penelitian pada subjek agama apapun.
3. Peneliti sebagai Partisipan (Observer os Paricipant)
Eileen Barker berpendapat bahwa untuk mengetahui sebuah agama, ia
mengidentifikasi, membaur dan masuk menjadi penganut agama yang akan
diteliti itu. Dan untuk kontekstualisasi ilmu-ilmu sosial, ia memiliki banyak
kesamaan dengan pendekatan empati yang sering dipakai oleh peneliti
fenomenologi agama sebelumnya semacam Kristensen, van der Leeuw dan
Ninian Smart. Bahkan, Smart menggunakan metode agnostisisme, yang

15
M. Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 11.

1
mengisyaratkan perlunya netralitas dan keluar dari truth claim dalam
penelitian agama.16
Metode tersebut diidentifikasi oleh Smart - dan dilanjutkan oleh Barker
ini mendominasi studi agama pada era 1970-an. Menurutnya, cara tersebut
untuk mendekatkan adanya gap dikotomi antara insider-outsider, menjadi dua
sisi yang integral dalam perspektif sehingga menjadi netral. Netralitas yang
diinginkan yaitu tidak mudah terkooptasi untuk mendukung kepentingan
tertentu yang bersifat empiris pragmatis. Cornelius Tiele memberikan
polarisasi, meski masih rancu dan cenderung debatable dalam Elements of the
Science of Religion (1897). Ia membedakan antara private religious
subjectivity of individual (keberagamaan individu yang subjektif) dengan
outward impartiality as a scholar of religion (peneliti kajian agama yang
netral), sebagai instrumen mendasar untuk studi agama menuju pada hasil
yang objektif dan bisa dipertanggung jawabkan.17
Pendapat Smart dan Cornelius sama-sama memberi penegasan
karakter. Akan tetapi, justifikasi dari keduanya yang masih memicu
kontroversi, seakan ia telah menjustifikasi bahwa insider cenderung melihat
persoalan keberagamaan secara subjektif, sedangkan peneliti outsider
memandang persoalan agama secara objektif impartial.
4. Pengamat Murni (Complte Observer)
Pengamat murni adalah istilah untuk menyebut kalangan orng luar
(Outsider). Penelitiannya bersifat etik atau menyangkut ranah etik, dimana
konsep-konsep social science digunakan untuk menjelaskan perilaku
psikologis hasil pengaruh kepercayaan religius, karena penelitinya adalah
kalangan orang luar agama (Outsider).
Seorang outsider menggunakan prinsip-prinsip research scientific
dalam proses penelitiannya. Ciri utama dari outsider yaitu penelitiannya
bersifat objektif, netral, kemampuan untuk menguji ulang, mendemonstrasikan
validitas hasil ujian dan mampu mengadakan generalisasi. Dalam posisinya
sebagai pengamat penuh, peneliti ini menurut Kim Knott lebih mampu dalam
mengoptimalkan konsep critical distance.
16
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/175-Article%20Text-633-1-10-20150923%20(2).pdf diakses pada
hari Selasa, 7 Maret 2023. Pukul 13.00 p.m, hlm. 12
17
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/viewFile/121/110 diakses pada hari Kamis, 9
Maret 2023. Pukul 09.54 am, hlm. 13

1
Dalam praktik penelitian ini menggunakan istilah, stigma, bersifat
rahasia, anasir detektif peneliti akan semakin mempertajam distingsi antara
insider sebagai objek yang diamati bersifat pasif, terlihat secara rinci,
sedangkan outsider sebagai pengamat, aktif, tidak terlihat, dan menyelidiki.
Namun menurut Kim Knott kelompok peneliti ini tidak banyak mengurai isu-
isu tentang kebenaran dan kesalahan.18

18
https://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ah/article/view/570/475 diakses pada hari Rabu, 8 Maret
2023. Pukul 10.12 am, hlm. 201

1
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam kenyataannya, pendekatan saintifik, fenomenologi memang dapat
menjadi alternatif kajian agama-agama. Akan tetapi, Insider dan Outsider adalah
masalah yang selalu diperdebatkan. Pendekatan Insider dan Outsider dapat
menjadi alternatif pendekatan dengan berada pada posisi netral yaitu peneliti
sebagai partisipan dan partisipan sebagai peneliti. Meskipun masih terdapat
masalah di dalam peneliti murni, akan tetapi peneliti murnilah yang akan tetap
menjaga keobjektifan kajian. Seorang peneliti harus terus mengedepankan
netralitas dan objektifitas dalam rangka menghasilkan studi yang benar dan tidak
memihak (adil).
Sebenarnya pengkaji outsider pun mampu untuk merasakan pengalaman
istimewa yang dirasakan oleh insider dan insider mampu lebih bersifat kritis dan
lebih objektif tentang agamanya. Tawaran Kim Knott untuk mencari objektifitas
apabila kita mau mendorongnya jauh keluar, dengan begitu tidak hanya antar atau
lintas agama saja yang bisa masuk dalam pendekatan insider dan outsider, bahkan
sangat mungkin pendekatan tersebut bisa masuk dalam semua ranah keilmuan
umum lainnya.

B. Saran
Adanya makalah ini diharapkan dapat memahami tentang aspek subjek:
Insider dan Outsider. Sebagai umat yang beragama sekaligus pendidik kita harus
memahami isi aspek subjek: Insider dan Outsider serta tidak mudah menyalahkan
dan menganggap remeh pendapat orang lain.

1
Daftar pustaka

file:///C:/Users/Administrator/Downloads/175-Article%20Text-633-1-10-
20150923%20(2).pdf
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/719-1316-1-SM%20(4).pdf
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/719-1316-1-SM%20(8).pdf
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/viewFile/121/110
https://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ah/article/view/570/475

Amin Abdullah. 2011. Studi Agama: Normativitas atau historisitas?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Fatima Mernissi. 1987. Women and Islam: An Historical and Theological Inquiry. Oxford:
Blackwell
Fazlur Rahman. 1985. Islam dan Modernitas, terjemahan Ahsin Muhammad. Bandung:
Pustaka.
Josef Van Ess. 1992. The Logical Structure of Islamic Theology, dalam An Anthology of
Islamic Studies, edited by Issa J. Boullata. Canada: McGill Indonesia IAIN
Development Project.
Kim Knott, 2005. Insider/Outsider Perspectives dalam John R. Hinnells (ed.), The Routledge
Companion to the Study of Religion. London: Routledge Taylor and Fancis Group.
M. Atho’ Mudzhar. 2004. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Milton K. Munitz. 1976. Contemporary Analytic Philosophy. New York: Macmillan


Publishing Co Inc.
Mu’ammar M. Arfan, Abdul Wahid Hasan, dkk. 2017. Studi Islam Kontemporer Perspektif
Insider/Outsider. Yogyakarta: IRCiSoD.
Santoso, subhan adi dan muksin. 2020. Studi islam era society 5.0. Sumatera Barat: CV Insan
Cendekiawan Mandiri.

Anda mungkin juga menyukai