Anda di halaman 1dari 1

Menu Masuk

Dua cara agar putusan


Mahkamah Konstitusi
selalu dipatuhi
Diterbitkan: Maret 27, 2020 12.13pm WIB

 Antoni Putra, Indonesian Center for Law and Policy Studies


(PSHK)

Bagus Indahono/EPA

     

Akhir Januari lalu, Ketua Mahkamah


Konstitusi (MK) Anwar Usman
mengungkapkan kekhawatirannya
terhadap kondisi sistem peradilan
konstitusi karena banyak putusan MK yang
tidak dipatuhi.

Penelitian yang dilakukan lewat kerja sama


antara MK dan Fakultas Hukum Universitas
Trisakti menunjukkan bahwa antara 2013
dan 2018, dari total 109 putusan MK,
terdapat 24 putusan (22%) yang tidak
dipatuhi sama sekali.

Penelitian itu juga menemukan bahwa


enam putusan (5.5%) hanya dipatuhi
sebagian. Hanya 59 putusan (54.1%) saja
yang dipatuhi seluruhnya, serta sisanya 20
putusan belum dapat diidentifikasi dengan
jelas.

Untuk memastikan putusan MK dipatuhi


ada dua hal yang bisa dilakukan. Sanksi
perlu dibuat bagi subjek yang tidak
melaksanakan putusan MK. Putusan MK
juga perlu diperkuat kedudukannya dalam
hierarki perundang-undangan.

Dapatkan catatan mingguan


tentang isu penting politik dan
masyarakat.

Daftar sekarang

Baca juga: Mengapa peradilan Indonesia


mengabaikan putusan Mahkamah
Konstitusi?

1. Penetapan sanksi
Pemerintah perlu menetapkan sanksi bagi
subjek putusan yang tidak mematuhi
putusan MK. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara merevisi Undang Undang (UU)
No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Ketentuan
tentang sanksi bisa dimasukkan menjadi
bagian dari UU MK.

Cara lain untuk menetapkan sanksi bagi


yang tidak mematuhi putusan MK adalah
dengan membentuk UU Penghinaan
terhadap Peradilan (contempt of court) yang
saat ini tidak dimiliki Indonesia.

Saat ini, putusan MK tidak memiliki daya


paksa sama sekali. Tidak ada sanksi yang
mengancam bila putusan MK tidak
dilaksanakan. Ironis, mengingat putusan
MK bersifat final dan mengikat.

2. Masukkan putusan MK dalam


hierarki peraturan perundang-
undangan
Selain penetapan sanksi, putusan MK harus
dimasukkan ke dalam hierarki peraturan
perundang-undangan. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara merevisi UU No 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.

Saat ini, hierarki peraturan perundang-


undangan adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat
3. UU atau Peraturan Pemerintah
Pengganti UU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dalam pengujian UU, putusan MK


merupakan putusan yang lahir akibat
adanya UU yang diuji terhadap UUD 1945.
Bila UU yang diuji tersebut bertentangan
dengan UUD 1945, maka putusan tersebut
akan dibatalkan MK melalui putusannya,
dan terhadap putusan MK tersebut sudah
tidak tersedia lagi upaya hukum yang dapat
dilakukan. Oleh sebab itu, putusan MK
seharusnya berada setingkat di atas UU.

Putusan tidak dilaksanakan


Tanpa dua hal tersebut keputusan MK
sering diabaikan. Ada beberapa contoh
menonjol putusan MK yang tidak
dilaksanakan.

Salah satunya adalah putusan MK dalam


pengujian undang-undang (judicial review)
tentang peninjauan kembali kasus pidana.
Pengujian ini diajukan oleh mantan ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Antasari Azhar.

Dalam putusan No. 34/PUU-XI/2013 ini,


MK menyatakan bahwa peninjauan
kembali dalam suatu kasus dapat dilakukan
berkali-kali.

Namun, tak lama kemudian Mahkamah


Agung (MA) merespons putusan ini dengan
Surat Edaran MA (SEMA) yang bertolak
belakang, yakni SEMA No. 7 Tahun 2014
yang membatasi pengajuan peninjauan
hanya sekali.

MA beralasan bahwa peninjauan kembali


juga diatur dalam Undang-Undang (UU)
No. 14 Tahun 1985 tentang MA dan UU
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.

Seharusnya, setelah adanya putusan tahun


2013 itu, secara mutatis mutandis putusan
MK itu membatalkan ketentuan dalam dua
UU tersebut. Mutatis mutandis dalam hal ini
maksudnya adalah putusan MK juga
berlaku terhadap ketentuan sama yang
disebut dalam dua UU tersebut.

Rancangan UU (RUU) Cipta Kerja yang


dibuat pemerintah juga berpotensi
melanggar putusan-putusan MK jika
disahkan–belum ditambah bahwa
penyusunannya bermasalah.

Sedikitnya ada 31 ketentuan RUU tersebut


yang bertentangan dengan putusan MK
sebelumnya.

Salah satu yang paling terlihat adalah Pasal


166 dalam RUU tersebut yang
menyebutkan bahwa Peraturan Presiden
bisa membatalkan Peraturan Daerah
(perda).

Ini bertentangan dengan putusan MK


tahun 2016 yang menyebutkan bahwa
kewenangan membatalkan perda ada pada
MA melalui mekanisme judicial review.

Satu contoh lain: Pasal 86 RUU Cipta Kerja


menyebutkan frasa “perjanjian kerja untuk
waktu tertentu” terkait praktik Pekerjaan
Waktu Tertentu dan outsourcing.

Padahal MK pada 2011 telah menetapkan


agar frasa tersebut dihapus dari dua pasal
dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan karena tidak
mengisyaratkan adanya perlindungan hak–
hak bagi pekerja/buruh.

Baca juga: Mengapa Indonesia tidak


membutuhkan Omnibus Law Cipta Kerja

Sifat putusan MK
MK adalah lembaga yudisial yang terlahir
sebagai anak kandung Reformasi yang
putusannya bersifat final dan mengikat
(final and binding).

Artinya, sejak putusan dibacakan oleh


hakim konstitusi dalam sidang pleno yang
terbuka untuk umum, maka putusan
putusan tersebut harus dipatuhi dan
mengikat semua orang, serta tidak tersedia
lagi upaya hukum untuk membatalkan
putusan tersebut.

Putusan MK tidak dapat dibatalkan bahkan


dengan UU baru sekalipun. Bila sebuah
norma hukum yang telah dinyatakan
inkonstitusional mau dihidupkan kembali,
caranya hanyalah dengan perubahan
konstitusi, yaitu mengubah UUD 1945.

Ini sejalan dengan fungsi MK sebagai


pengawal konstitusi: tidak boleh ada
peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan konstitusi. Putusan
MK merupakan penafsiran dari konstitusi
dalam bentuk putusan yang seharusnya
secara hierarki memiliki kedudukan di atas
UU.

Bila subjek yang tidak melaksanakan


putusan MK diberi sanksi dan putusan MK
menempati hierarki yang tinggi dalam
perundang-undangan tentu putusan MK
akan memiliki daya paksa untuk
dijalankan, serta menjadikan putusan MK
sebagai putusan yang benar-benar
menyelesaikan masalah.

Ikuti perkembangan terbaru seputar isu


politik dan masyarakat selama sepekan
terakhir. Da"arkan email Anda di sini.

 Hukum reformasi Undang-undang

Mahkamah Konstitusi Mahkamah Agung

perundang-undangan omnibus law Reformasi hukum

Peradilan

Mungkin Anda juga suka


Kasus Aice: dilema buruh perempuan di
Indonesia dan pentingnya kesetaraan
gender di lingkungan kerja

Bagaimana mewujudkan UU
Perlindungan Data Pribadi yang
kuat di Indonesia

Mengapa Indonesia tidak


membutuhkan Omnibus Law
Cipta Kerja

Sejauh mana legalisasi ganja


bisa bermanfaat?

Pembaca kami

Jumlah pembaca The Conversation sebanyak 18 juta


pengguna setiap bulan, dan melalui Creative Commons
republikasi menjangkau 42 juta pembaca.
Mau menulis?

Tulis artikel dan bergabung dengan komunitas akademisi


dan peneliti yang terus tumbuh dengan lebih dari 157.700
dari 4.535 lembaga.

Daftar sekarang

Tentang kami
Piagam The Conversation
Tim kami
Blog kami
Mitra dan donor
Informasi untuk media
Hubungi kami
Editorial Policies
Standar komunitas
Panduan republikasi
Analisis data
Umpan web kami
Dapatkan newsletter

Kebijakan privasi

Syarat dan ketentuan

Koreksi

Pedoman media siber

Hak cipta © 2010–2023, The Conversation

Anda mungkin juga menyukai