Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikāh yang bermakna
al-waṭi dan al-ḍammu wa al-tadākhul, yang bermakna bersetubuh, berkumpul
dan akad.1 Sedangkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyatakan
bahwa perkawinan Islam adalah akad yang sangat kuat atau mīṡ aqan
galīẓan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.2
Kata mīṡ aqan galīẓan ini ditarik dari firman Allah SWT pada Surah An-
Nisa’ ayat 21: 3

          

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian


kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-
isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
Perjanjian yang kuat”.

Pernikahan di dalam Islam adalah sebuah ikatan suci, ikatan yang akan
menghalalkan yang haram dan menyatukan dua insan dan keluarga.
Pernikahan adalah pintu menuju kebaikan yang bertebaran pada jalan-Nya,
dan juga bagian dari keindahan yang Allah beri di dunia. Tujuan perkawinan
bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk
menyambung keturunan dalam naungan rumah tangga yang penuh kedamaian
dan penuh cinta kasih. Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah
menyempurnakan agama. Oleh karena itu, barang siapa yang menuju pada
suatu pernikahan, maka ia telah berusaha menyempurnakan agamannya, dan
berarti pula berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Begitu pula dalam

1
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No 1/ 1974 Sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media, 2004) hlm. 38.
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2012) Pasal 2.
3
Q.S. An-Nisa [4]:21.

1
2

membantu terlaksanannya suatu pernikahan, merupakan ibadah yang tak


ternilai pahalanya.4 Selain memiliki nilai ibadah, pernikahan juga memliki
nilai sosial, sebagaimana hadis Nabi SAW yang menolak perkawinan yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sehingga sangat penting adanya
pengumuman kepada masyarakat tentang perkawinan dan disunahkan
mengumumkan pernikahan dan diperbolehkan bagi kaum perempuan
mengumumkan pernikahan dalam resepsi pernikahan dengan memukul
rebana saja.5
‫ه‬
ْ َ‫ ع‬،َ‫ه يُىوُظ‬ ُ ْ‫ حَذَثَىَا عِ ْيغًَ ت‬:َ‫ قاَال‬.‫ع ْمشٍو‬ َ ‫ه‬ ُ ْ‫و ت‬
ُ ‫خيِ ْي‬
َ ْ‫ّي وَاى‬
ُ ِ‫ضم‬َ ْ‫جه‬ َ ‫ّي اى‬ٍ ِ‫عي‬َ ‫ه‬
ُ ْ‫صشُت‬
ْ َ‫حَذَثَىَا و‬
‫صيًَ اهلل‬
َ ‫ّي‬ُ ِ‫ه اىىَث‬
ِ َ‫ ع‬،َ‫ه عَا ِئشَح‬
ْ َ‫ ع‬،ِ‫ عَىِاىْ َقغِم‬،ِ‫حمَه‬ ْ َ‫ عَهْ سَتِ ْيعَ َح تْهُ أَتِّي عَثْذِاىش‬،َ‫خَاىِذِتْهِ ِإىْيَاط‬
‫ه‬
ِ ‫عيَيْ ِه تِا ْى ِغشْتَا‬
َ ‫ضشِتُىا‬ْ ‫ وَا‬، ‫ح‬ َ َ‫عيِىُىا هَزَا اىىِنا‬ْ َ‫ أ‬:َ‫عيَيه َوعَيم َقو‬ َ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Nasru bin „ali Jahdomi dan
Kholil bin „amrin. Ia berkata: Telah menceritakan „isa bin Yunus,
dari Kholid bin Ilyas, dari Rabi‟ah bin Abi Abdirrahman. Dari
Qasim, dari „aisyah. Dari Rasulullah SAW bersabda: “
umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana”. (H.R. Ibnu
Majah)6

Nabi Muhammad menganjurkan mengadakan perayaan sesuai dengan


kemampuan7:

‫ن‬
َ َ‫ت عَهْ أَوَظٍ سضّي اهلل عىه ( أ‬ ٍ ِ‫ه ثَا ت‬ ِ َ‫ ع‬،ٍ‫ هُىَتْهُ صَيذ‬،ٌ‫حمَاد‬ َ ‫ حَذَثَىَا‬:ٍ‫حشْب‬
َ ‫ه‬ ُ ْ‫ن ت‬ُ ‫عيَ ْيمَا‬
ُ ‫حَذَثَىَا‬
, ‫ مَا هَزَا ؟‬: ‫ه‬ َ ‫ قَا‬, ‫ه عَ ْىفٍ أَ َث َش صُ ْفشَ ٍج‬ ِ ْ‫ه ت‬
ِ َ‫حم‬
ْ َ‫عيًَ عَثْذِ اَىش‬ َ ‫ّي صيً اهلل عييه وعيم َسأَي‬ َ ِ‫اَىىَث‬
‫ل‬
َ ‫ فَثَا َسكَ اَىيَهُ َى‬: ‫ه‬
َ ‫ فَقَا‬.ٍ‫ه رَهَة‬ ْ ِ‫ن وَىَا ٍج م‬
ِ ْ‫عيًَ َوص‬َ ‫ يَا َسعُىهَ اَىيَ ِه ! إِوِّي َتضَوَجْتُ ِا ْم َشأَ ًج‬: ‫ه‬ َ ‫قَا‬
) ‫ أَ ْوىِ ْم َوىَ ْى ِتشَا ٍج‬,

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harbin: Telah


menceritakan kepada kami Hammad, dia Ibnu Zaidin, dari tsabit,
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melihat bekas kekuningan
pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau bersabda: "Apa ini?". Ia

4
M.Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, Cet. I,
(Yogyakarta: Hanggar Kreator, 2005) hlm. 1.
5
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwairiji, Ensiklopedia Islam, Penerjemah:
Achmad Munir Badjeber, Futuhan Arifin dkk, Cet.II, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007)
hlm.1010.
6
Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr,
2011) Juz I, Kitāb Nikāh, Bāb i’lan Nikāh, Hadis Nomor 1895, hlm. 595.
7
Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Cet. X, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2007) hlm. 121.
3

berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi


seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas.
Beliau bersabda: "Semoga Allah memberkahimu,
selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor
kambing." (H.R. Bukhari)8

Dari hadis tersebut sudah jelas bahwa resepsi perkawinan bukan syarat
sahnya perkawinan, namun memiliki tujuan yang sangat penting, yakni
sebagai sarana untuk mengumumkan pernikahan agar terhindar dari praktek
nikah siri, sebagai wujud rasa bahagia atas apa yang dihalalkan oleh Allah
SWT, dan agar pasangan tersebut dikenal dan mendapat pengakuan dari
masyarakat.
Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dalam Islam juga tercermin
dari prosesi. Islam hanya mengenal proses ta‟aruf bukan praktek iseng atau
coba-coba layaknya pacaran. Namun niatan yang tulus untuk berumah tangga
sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT diiringi dengan kesiapan untuk
menerima segala kelebihan dan kekurangan dari pasangan hidupnya. Bukan
niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur masa
lalu, atau sekedar pelarian dari patah hati.9
Perkawinan menduduki posisi sangat strategis pada setiap bentuk-bentuk
kebudayaan. Sebuah perkawinan memiliki tatanan tersendiri, berbeda satu
dengan yang lainnya dan menjadi penanda dari ekspresi budaya masyarakat
tersebut. Tatanan dalam sistem perkawinan kemudian menjadi adat
perkawinan yang menjadi titik penting dalam daur kehidupan manusia dari
titik awal sebuah perkawinan, proses mengandung, melahirkan perjalanan
anak manusia semenjak kelahiran hingga dikhitan dan akil balig sampai
dengan kematian adalah perjalanan yang dimaknai begitu penting.10

8
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim al-Bukhari, Shohih Bukhori,
(Beirut: Dar al-Kotob Al-ilmiyah, 2009) Juz III, Kitāb Nikāh, Bāb Kayfa yud’ī Lilmutazawwij,
Hadis Nomor 5155, hlm. 385.
9
Murtadha Muthahhari, Perempuan dan Hak-haknya Menurut Pandangan Islam
(Jakarta: Lentera, 2009) hlm. 295-296.
10
Bambang Irianto dan Hempi, Pengantin Adat Pesisir Cirebon, Cet. I, (Cirebon: Dinas
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Cirebon, 2013) hlm. 1.
4

Sebagai gejala yang universal diseluruh dunia pernikahan atau perkawinan


merupakan peristiwa penting yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
Hampir semua manusia mengalami satu tahap kehidupan yang namanya
perkawinan. Perkawinan merupakan sebuah upacara penyatuan dua jiwa,
menjadi sebuah keluarga melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama.
Oleh karena itu, perkawinan menjadi agung, luhur dan sakral.11
Tiap masyarakat tentu ada budaya dan tradisinya dan tiap budaya dan
tradisi tentu ada masyarakatnya, karena keduanya satu kesatuan. Norma yang
berlaku pada masyarakat adalah norma kebiasaan. Adapun norma kebiasaan
itu adalah sekumpulan peraturan sosial yang berisi petunjuk atau peraturan
yang dibuat secara sadar atau tidak tentang perilaku yang diulang-ulang
sehinga perilaku tersebut menjadi sebuah kebiasaan norma-norma itu adalah
nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dalam
masyarakat. Terjalinnya hubungan antara manusia di dalam suatu masyarakat,
maka diciptakan norma-norma seperti: cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan
adat istiadat. Namun ada beberapa kekhasan ditiap daerah dalam
pelaksanaanya.12
Indonesia yang kaya akan suku bangsa dan adat istiadat, seakan tak habis-
habisnya memancarkan pesona budaya lokal yang kaya akan makna dan
falsafah kehidupan. Masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha ke
Indonesia juga telah melahirkan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha
dengan kebudayaan Indonesia asli. Hal ini terjadi karena antara kebudayaan
Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia asli, sama-sama kuat. Begitu
juga pada waktu kebudayaan Islam datang, terjadi proses akulturasi dengan
kebudayaan Indonesia yang sudah ada. Pada umumnya pelaksanaan upacara
adat di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat

11
M.Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan, ..., hlm. 1.
12
Elis Suryani NS, Ragam Pesona Budaya Sunda, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm.
189.
5

setempat dalam kaitannya dengan susunan masyarakat atau kekerabatan yang


dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.13
Dalam menyelenggarakan pesta pernikahan itu tidak mudah, tahap demi
tahap penuh pernik yang merupakan kelengkapan syariat agama, maupun adat
dan tata cara masyarakat. Pesta pernikahan menjadi tidak mudah bahkan
rumit, karena ada akulturasi budaya dengan hukum Islam yang menyatu
dalam masyarakat sehingga menjadi adat kebiasaan pada masyarakat. Maka
dari itu baik kedua mempelai, orang tua maupun sanak keluarga menjadi
sibuk, untuk mempersiapkan hari yang mulia itu. Perkawinan akhirnya
menjadi bukan saja urusan kedua mempelai, namun kedua keluarga besar,
hingga masyarakat sekitar. Dengan demikian hajat perkawinan menjadi suatu
hal yang sangat penting.14
Dalam pesta perkawinan adat, berbagai pitutur dan nasehat disampaikan
berupa simbol dan perlambang.15 Zaman dahulu pesta perkawinan yang
meriah hanya dilakukan oleh para bangsawan, atau priyayi yang sangat
njlimet dalam menentukan jodoh bagi anaknya. Di antaranya
mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot. Bibit adalah faktor darah dan
keturunan. Bebet adalah faktor status sosial mempelai dan keluarganya.
Sedangkan bobot adalah faktor harta benda. Hal ini menyangkut kesiapan
kedua calon pengantin dalam hal materi.16
Pada masa lalu, hal ini sering ditafsirkan bahwa kaum laki-laki dari kaum
ningrat, harus berjodoh dengan putri ningrat pula. Keluarga yang kaya harus
berjodoh dengan keluarga yang berharta pula. Sayangnya, hal ini sering diberi
embel-embel, gengsi, dan harga diri keluarga. Apalagi jika Pengantin putri
yang latar belakang sosial ekonomi lebih tinggi dari pengantin laki-laki ini,
pada masa lalu sering diibaratkan walang gambuhi. Walang gambuh adalah
sejenis belalang yang betinannya jauh lebih besar daripada jantannya. Namun

13
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Pandangan Hukum Adat
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007) hlm. 90.
14
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan,..., hlm. 1-2.
15
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan,..., hlm. 4.
16
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan,..., hlm. 6.
6

hal ini sekarang mulai meluntur dibasuhi oleh tatanan sosial yang berubah.
Faktor cinta dan kesesuaian batiniah kedua mempelai lebih menentukan.17
Meskipun budaya global telah menembus tembok-tembok peradaban,
namun ritual perkawinan ini tidaklah sirna. Masyarakat masih tetap dan akan
selalu berkaca pada adat dan budaya sendiri untuk merayakan hari yang
paling istimewa itu. Perkawinan bagi banyak orang hanya sekali dalam
seumur hidup. Karena itulah pesta perkawinan tradisional justru kelihatan
semakin meriah dan dikemas dengan segala pernik, hiasan, dan kreasi yang
cerdas.18 Begitupun tata tertib dan alat perlengkapan yang menyertai suatu
upacara perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dari
masyarakat adat yang lain.19
Cirebon merupakan salah satu pusat kebudayaan dan tradisi, sebagaimana
yang diketahui Cirebon memiliki empat Keraton yang merupakan tempat
pelestarian budaya dan tradisi serta sangat konsisten dalam melestarikan
tradisi dan kebudayaan yang telah ada sejak zaman dahulu. Adapun keempat
Keraton tersebut yakni, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton
Kacirebonan dan Keraton Keprabonan. Mengenai jalannya upacara
perkawinan di keraton-keraton Cirebon, pada umumnya mempunyai prinsip
yang sama, yakni disesuaikan dengan tradisi yang sudah ada. Adapun
perbedaan yang tampak pada prosesi pernikahan di setiap Keraton-Keraton
Cirebon, yakni Keraton Kacirebonan lebih menggunakan adat murni. Tradisi
yang ada di keraton ini terutama pada upacara pernikahan yang dilaksanakan
dengan prosesi yang terkesan rumit dan mungkin membutuhkan biaya yang
tidak sedikit dalam menjalankan prosesi dengan adat murni.
Pengantin Cirebon memiliki adat khas sendiri yang berbeda dengan
pengantin-pengantin lain. Namun bila terdapat persamaan antara pengantin

17
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan,..., hlm. 7.
18
M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan,..., hlm. 4.
19
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1995)
hlm. 12.
7

Cirebon dengan pengantin Jawa adalah wajar.20 Hal ini dikarenakan,


pengantin Cirebon merupakan adat campuran antara Cirebon, Jawa dan
Sunda, karena Cirebon adalah keturunan Sunda. Sedangkan adat yang paling
mendominasi pengantin Cirebon adalah adat Jawa Timur sehingga pengantin
Cirebon dan pengantin Jawa Timur hampir mirip. Cirebon sendiri memiliki
dua adat perkawinan, yaitu perkawinan kraton dan perkawinan masyarakat
pesisir. Keduanya itu berbeda, perkawinan masyarakat pesisir sudah mulai
ditinggalkan oleh masyarakat pesisir, sedangkan perkawinan keraton masih
digunakan oleh keturunan keraton dan masyarakat umum lainnya sampai saat
ini, walaupun tidak mengambil seluruh prosesi yang ada.21
Begitu pula dengan seni rias pengantin yang dipengaruhi oleh budaya yang
berasal dari luar Cirebon sehingga berpadu menjadi satu dan memunculkan
budaya baru Cirebon yang khas. Cirebon memiliki 2 corak (gaya) tata rias
pengantin yaitu, corak kebesaran (pengantin wanita mengenakan kemben),
dan corak Pangeranan (pengantin wanita mengenakan kebaya). 22 Cara
berpakaian pengantin Cirebon kebesaran dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan
besar yang silih berganti yang telah memimpin Indonesia dan pengaruh
budaya asing seperti Cina, India, Arab, Parsi yang turut mempengaruhi
ornament dari pengantin Cirebon. Kemudian datanglah Islam yang membawa
perubahan sangat signifikan, sehingga muncullah cara berpakaian pengantin
Cirebon kepangeranan yang menggunakan busana lebih sopan dan tertutup
sesuai syariat Islam.23
Mengingat sangat luasnya kajian dalam penelitian ini, maka peneliti hanya
akan memfokuskan penelitian pada tradisi pernikahan di keraton Kacirebonan
yang diselenggarakan dengan adat murni sesuai dengan ketentuan yang

20
Inggit Ganati Emot Slamet Dan Ratna Herliani Suwandi, Tata Rias Pengantin
Cirebon: Cirebon Kebesaran Dan Cirebon Kepangeranan, Cet. I, (Yogyakarta: Deepublish,
2013) hlm. 3
21
Wawancara Bpk. Bambang Irianto, (Pengageng Penata Budaya Keraton Kacirebonan)
Senin, 18 April 2016, di Jl. Gerliyawan, No. 4.
22
Inggit Ganati Emot Slamet dan Ratna Herliani Suwandi, Tata Rias Pengantin,..., hlm.
2.
23
Dyah Komala Laksmawati, Inggit Ganati Emot Slamet, dan Ratna Herlina Suwandi,
Pengantin Cirebon: Warisan,..., hlm. 5.
8

berlaku. Adapun tahapan-tahapan dalam upacara pernikahan adat Keraton


Kacirebonan diantaranya yaitu: Njegog atau tetati (meminang atau lamaran),
Seserahan, Siram Tawandari, Parasan, Ziarah ke makam Sunan Gunung
Jati, Tenteng pengantin, Akad Nikah, Salam Temon, Pug-pugan, Sungkem,
adep-adep sekul, Sawer atau Surak, acara selingan, Nyorog, Ngunduh Mantu.
Sebagaimana latar belakang tersebut, maka akan sangat penting diadakan
penelitian. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan dan makna yang
terkandung pada setiap prosesi adat dan pandangan hukum Islam mengenai
pernikahan adat Keraton Kacirebonan. Berdasarkan beberapa ulasan di atas,
maka hal menarik yang peneliti hendak di teliti adalah tentang tradisi upacara
pernikahan Cirebon. Selanjutnya peneliti akan menentukan judul yang sesuai
dengan penelitian ini: TRADISI UPACARA PERNIKAHAN ADAT
KERATON KACIREBONAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana pelaksanaan tradisi upacara pernikahan adat Keraton
Kacirebonan?
2. Apa makna yang terkandung pada tradisi upacara pernikahan adat
Keraton Kacirebonan?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap tradisi upacara pernikahan
adat Keraton Kacirebonan?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan tradisi upacara pernikahan adat Keraton
Kacirebonan.
2. Mengetahui makna yang terkandung pada setiap tradisi upacara
pernikahan adat Keraton Kacirebonan.
3. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap tradisi upacara
pernikahan adat Keraton Kacirebonan.
9

D. Kegunaan Penelitian
1. Menambah pengetahuan tentang kebudayaan dan adat istiadat yang ada
di Cirebon. Sebagai sumber dan informasi tentang adat dan upacara
pernikahan yang ada di Keraton Kacirebonan.
2. Sebagai bahan literatur yang diharapkan bisa bermanfaat untuk
masyarakat sekitar, dan sebagai bahan untuk menambah pengetahuan di
bidang kebudayaan, khususnya mengenai tradisi upacara adat Keraton
Kacirebonan sehingga dapat digunakan bagi pembaca dan peneliti
sendiri. Agar masyarakat dapat mengetahui makna dan hukum dari setiap
prosesi yang ada sesuai dengan hukum Islam, sehingga tidak dianggap
syirik oleh masyarakat.

E. Penelitian Terdahulu
Penelitain mengenai suatu adat upacara pernikahan bukan sesuatu hal yang
baru, penelitian tentang hal ini telah banyak dilakukan penelitian oleh
beberapa kalangan baik dalam bentuk buku, penelitian skripsi dan lainnya, di
antaranya adalah:
Skripsi yang di tulis oleh Setyo Nur Kuncoro. Penelitian ini memfokuskan
pada bagaimana prosesi perkawinan menurut pandangan ulama dan
masyarakat terhadap tradisi upacara perkawinan adat kraton surakarta yang
masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif, Hasil Penelitian ini,
memperoleh tiga kesimpulan. Pertama, prosesi upacara perkawinan Adat
Kraton Surakarta memiliki tata cara yang khas. Kedua, terdapat perbedaan
(Pro dan Kontra) pada setiap masyarakat dalam menanggapi tradisi upacara
pernikahan adat Kraton Surakarta. Ketiga, tradisi upacara perkawinan adat
Kraton Surakarta yang terjadi pada saat ini tidak bertentangan dan sejalan
dalam nilai-nilai ajaran Islam serta tidak menghalalkan yang diharamkan atau
10

sebaliknya.24 Adapun perbedaan antara skripsi ini dengan peneliti yaitu


terletak pada prosesi adatnya, dimana skripsi ini fokus pada prosesi
pernikahan adat Kraton Surakarta dan perbedaan pendapat di antara
masyarakat dalam menaggapi tradisi pernikahan tersebut. Sedangkan yang
peneliti teliti lebih kepada pandangan hukum Islam terhadap tradisi upacara
pernikahan.
Skripsi yang ditulis oleh Agus Moriyadi. Penelitian ini memfokuskan pada
proses pelaksanaan adat upacara pernikahan di kecamatan Kota Kayuagung,
Sumatra Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif, Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa: pernikahan di Kota Kayu Agung hanya
terdapat upacara pernikahan dalam bentuk mabang handak saja, tetapi sejalan
dengan perkembangan zaman ada perubahan yang bisa terlihat dengan
terbentuknya dua macam pernikahan, yaitu kawin sepagi dan kawin
begorok.25 Adapun perbedaan antara skripsi ini dengan peneliti yaitu, skripsi
ini lebih fokus mengenai bentuk perkawinan yang ada di Sumatra Selatan.
Sedangkan yang peneliti teliti lebih kepada pandangan hukum Islam terhadap
tradisi upacara pernikahan.
Sekripsi yang ditulis oleh Suryana. penelitian ini memfokuskan pada
proses plaksanaan sebelum pernikahan di kelurahan 4 Ulu Palembang
Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif, Hasil Penelitian ini
menunjukan banhwa upacara adat Palembang merupakan salah satu adat yang
mempunyai budaya tinggi, akan tetapi dengan adanya perkembangan zaman
upacara perkawinan adat Palembang kurang diperhatikan dan tahapan
sebelum pelaksanaan pernikahan meliputi madik, nyenggung, meminang,
berasan, mutus kato, bemasak. Prosesi pelaksanaan pernikahan meliputi
ngulemi wali, khobat nikah, akad nikah. Sesudah pelaksanaan pernikahan

24
Setyo Nur Kuncoro, Tradisi Upacara Perkawinan Adat Kraton Surakarta; Studi
Pandangan Ulama dan Masyarakat Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta, Skripsi (Universitas Islam
Negri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2014) http:/ /syariah.uin-malang.ac.id/skripsi-setyo-Nur-
Kuncoro-09210047.pdf
25
Agus Moriyadi, Upacara Pernikahan Adat di Kecamatan Kota Kayu Agung Oki,
Skripsi (Universitas Islam Negri Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 2010) http://diglib.uin-
suka.ac.id/BAB%20I,%20IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
11

meliputi munggah cacap-cacapan, suap-suapan, munggah pengantin,


ngantarke baking, nyanjoi, ngalie turon, pengantin balik, mandi simburan
tepung tawar, beratib.26 Adapun perbedaan antara skripsi ini dengan peneliti
yaitu, sekripsi ini lebih fokus memahami kondisi kehidupan masyarakat
Palembang terhadap perkawinan adat Palembang. Sedangkan yang peneliti
teliti lebih kepada pandangan hukum Islam terhadap tradisi upacara
pernikahan.
M.Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa.
Didalam buku ini berisi tentang prosesi (tahapan-tahapan) upacara adat
sebelum perkawinan, upacara perkawinan dan adat sesudah perkawinan adat
Jawa.27

F. Kerangka Teoritik
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2, pernikahan yaitu akad
yang sangat kuat atau miṡ aqan galiẓan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.28 Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974
pasal 1 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.29
Dalam sebuah pernikahan ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Adapun rukun dari pernikahan menurut jumhur Ulama adalah mempelai laki-
laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi, dan ijab qabul.30

26
Suryana, Upacara Perkawinan Adat Palembang: Analisis Makna Simbol Untuk
Memahami Kehidupan Orang Palembang, Skipsi (Universitas Islam Negri Sunan Kali Jaga
Yogyakarta, 2008) http://diglib.uin-suka.ac.id/2301/1/BAB%20I,%20V.pdf
27
M.Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, Cet. I,
(Yogyakarta: Hanggar Kreator 2005)
28
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam,..., hlm. 324.
29
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam,..., hlm. 2
30
Wahbah Az-Zuhaili, cet. X, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,..., hlm. 45
12

Sedangkan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun


perkawinan.31
Dari rukun nikah tersebut yang paling penting adalah ijab qabul. Setelah
ijab qabul maka kedua mempelai beserta keluarga mengadakan pesta
pernikahan atau walīmah al-„ursi. Walīmah al-„ursi adalah jamuan makan
yang diselenggarakan berkenaan dengan pernikahan kedua mempelai.
Hendaknya walīmah dilaksanakan ketika akad, atau sesudahnya sesuai adat
dan tradisi yang berlaku di masyarakat di tempat kedua mempelai berada.32
Di kalangan ulama, walīmah al-„ursi diartikan dengan perhelatan dalam
rangka menysukuri nikmat Allah karena telah terlaksananya akad perkawinan
dengan menghidangkan makanan. Walīmah al-„ursi mempunyai nilai
tersendiri melebihi perhelatan yang lainnya sebagaimana perkawinan yang
mempunyai nilai tersendiri dalam kehidupan melebihi peristiwa lainnya.33
Hukum melaksanakan walīmah menurut Jumhur Ulama adalah sunnah,
karena hanya merupakan tradisi yang hidup melanjutkan tradisi yang berlaku
di kalangan Arab sebelum Islam datang, dan pelaksanaan walīmah itu diakui
oleh Nabi untuk melanjutkan dengan sedikit perubahan dengan
menyesuaikannya dengan tuntutan Islam. sebagaimana sabda Nabi yang
berasal dari Anas ibn Malik:

‫ن‬
َ َ‫ت عَهْ أَوَظٍ سضّي اهلل عىه ( أ‬ ٍ ِ‫ه ثَا ت‬ ِ َ‫ ع‬،ٍ‫ هُىَتْهُ صَيذ‬،ٌ‫حمَاد‬ َ ‫ حَذَثَىَا‬:ٍ‫حشْب‬
َ ‫ه‬ ُ ْ‫ن ت‬ُ ‫عيَ ْيمَا‬
ُ ‫حَذَثَىَا‬
, ‫ مَا هَزَا ؟‬: ‫ه‬ َ ‫ قَا‬, ‫ه عَ ْىفٍ أَ َث َش صُ ْفشَ ٍج‬ ِ ْ‫ه ت‬
ِ َ‫حم‬
ْ َ‫عيًَ عَثْذِ اَىش‬ َ ‫ّي صيً اهلل عييه وعيم َسأَي‬ َ ِ‫اَىىَث‬
‫ل‬
َ ‫ فَثَا َسكَ اَىيَهُ َى‬: ‫ه‬
َ ‫ فَقَا‬.ٍ‫ه رَهَة‬ ْ ِ‫ن وَىَا ٍج م‬
ِ ْ‫عيًَ َوص‬َ ‫ يَا َسعُىهَ اَىيَ ِه ! إِوِّي َتضَوَجْتُ ِا ْم َشأَ ًج‬: ‫ه‬ َ ‫قَا‬
) ‫ أَ ْوىِ ْم َوىَ ْى ِتشَا ٍج‬,

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harbin: Telah


menceritakan kepada kami Hammad, dia Ibnu Zaidin, dari tsabit,
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melihat bekas kekuningan
pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau bersabda: "Apa ini?". Ia
berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi
seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas.
31
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. III
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013) hlm. 12.
32
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwairiji, Ensiklopedia Islam,..., hlm. 1007.
33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam,..., hlm. 155
13

Beliau bersabda: "Semoga Allah memberkahimu,


selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor
kambing." (H.R. Bukhari)34
Adapun ulama Zahiriyah mengatakan bahwa diwajibkan atas setiap orang
yang melangsungkan perkawinan untuk mengadakan walīmah al-„ursi, baik
secara kecil-kecilan maupun upacara besar-besaran sesuai dengan keadaan
yang mengadakan perkawinan.35

Disunahkan mengumumkan pernikahan dan diperbolehkan bagi kaum


perempuan mengumumkan pernikahan dalam resepsi pernikahan dengan
memukul rebana saja.36
‫ه‬
ْ َ‫ ع‬،َ‫ه يُىوُظ‬ ُ ْ‫ حَذَثَىَا عِ ْيغًَ ت‬:َ‫ قاَال‬.‫ع ْمشٍو‬ َ ‫ه‬ ُ ْ‫و ت‬
ُ ‫خيِ ْي‬
َ ْ‫ّي وَاى‬
ُ ِ‫ضم‬َ ْ‫جه‬ َ ‫ّي اى‬ٍ ِ‫عي‬َ ‫ه‬
ُ ْ‫صشُت‬
ْ َ‫حَذَثَىَا و‬
‫صيًَ اهلل‬
َ ‫ّي‬ُ ِ‫ه اىىَث‬
ِ َ‫ ع‬،َ‫ه عَا ِئشَح‬
ْ َ‫ ع‬،ِ‫ عَىِاىْ َقغِم‬،ِ‫حمَه‬ ْ َ‫ عَهْ سَتِ ْيعَ َح تْهُ أَتِّي عَثْذِاىش‬،َ‫خَاىِذِتْهِ ِإىْيَاط‬
‫ه‬
ِ ‫عيَيْ ِه تِا ْى ِغشْتَا‬
َ ‫ضشِتُىا‬ْ ‫ وَا‬، ‫ح‬ َ َ‫عيِىُىا هَزَا اىىِنا‬ْ َ‫ أ‬:َ‫عيَيه َوعَيم َقو‬ َ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Nasru bin „ali Jahdomi dan
Kholil bin „amrin. Ia berkata: Telah menceritakan „isa bin Yunus,
dari Kholid bin Ilyas, dari Rabi‟ah bin Abi Abdirrahman. Dari
Qasim, dari „aisyah. Dari Rasulullah SAW bersabda: “
umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana”. (H.R. Ibnu
Majah)37

Jumhur Ulama berprinsip bahwa tidak wajib mengadakan walīmah, juga


berpendapat wajibnya mendatangi walīmah. Dalam mengadakan pesta
pernikahan atau walīmah tidak lepas dari adat atau kebiasaan yang berlaku
pada masyarakat setempat, hal ini dilakukan untuk menjaga dan melestarikan
budaya dari para leluhur. Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari
nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat, penilaian atau
anggapan atau cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan
benar.38 Sedangkan adat berarti kebiasaan, adat istiadat, hukum tak tertulis,

34
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim al-Bukhari, Shohih Bukhori,...,
Nomor 5155, hlm. 385.
35
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam,..., hlm. 156
36
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwairiji, Ensiklopedia Islam,..., hlm.1010.
37
Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Hadis Nomor 1895, hlm. 595.
38
Ananda Santoso & S. Priyanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Cet. I, (Surabaya:
Kartika, 1995) hlm. 367.
14

peraturan yang berlaku di daerah setempat, biasanya peraturan ini tercipta


atas kesepakatan warga setempat dan telah disetujui bersama dan merupakan
warisan nenek moyang yang telah turun temurun.39
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di
masyarakat baik di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk Indonesia.
Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang
diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran
masyarakat tersebut.40 Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan al-„urf
dan al-„ādat terdiri atas dua macam yaitu al-„urf al-qawlī (kebiasaan dalam
bentuk perkataan) dan al-„urf al-fi‟lī (kebiasaan dalam bentuk perbuatan).41
Ditinjau dari segi jangkauaanya al-„urf di bagi menjadi dua yaitu yang
pertama al-„urf al-ām adalah kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi
sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas tanpa
memandang negara, bangsa, dan agama. Kedua, al-„urf al-Khaṣah adalah
kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu atau
wilayah tertentu, dan pada waktu tertentu. Selanjutnya di tinjau dari segi
keabsahannya yakni: al-„urf aṣ-ṣaḥīḥah adalah adat kebiasaan masyarakat
yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum Islam, dan
al-„urf al-fāsidah adalah kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan
dalil-dalil syara’.42
Para ulama menyepakati kedudukan al-„urf aṣ-ṣaḥīḥah sebagai salah satu
dalil syara‟. Adapun kehujjahan al-„urf sebagai dalil syara’ didasarkan
argumen-argumen sebagai berikut: yang pertama Firman Allah SWT:43

        

Artinya:“jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang


ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

39
Ananda Santoso & S. Priyanto, Kamus Lengkap Bahasa,..., hlm. 10.
40
A.Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih,..., hlm. 78.
41
Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Cet. II, (Jakarta: Amzah, 2011) hlm. 209.
42
Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,..., hlm. 210-211.
43
Q.S Al-A’raf [7] : 199.
15

Berdasarkan dalil-dalil kehujjahan al-„urf sebagai dalil hukum, maka


ulama terutama ulama Hanafiyyah dan malikiyyah merumuskan kaidah
hukum yang berkaitan dengan al-„urf, antara lain berbunyi:
ٌ‫ح َنمَح‬
َ ُ‫اىعَذَ ُج م‬
Artinya: “adat kebiasaan dapat menjadi hukum”

‫ششْعِّي‬
َ ‫ت تِذَ ىِيْو‬
ٌ ِ‫ف ثَا ت‬
ِ ‫ت تِا ْى ُع ْش‬
ُ ْ‫اىّثَا ت‬
Artinya: “yang berlaku berdasarkan „urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil
syara‟
ِ‫ت تِا ىىَص‬
ِ ِ‫ت تِا ْى ُع ْشفِ ما اىّثَا ت‬
ُ ْ‫اىّثَا ت‬
Artinya: “yang berlaku berdasarkan „urf seperti berlaku berdasarkan
nash”.44

G. Metodologi Penelitian
Penelitian adalah suatu cara dari sekian cara yang pernah ditempuh dalam
mencari kebenaran, cara mendapatkan kebenaran itu ditempuh dengan
metode ilmiah.45 Metode penelitian merupakan cara yang dilakukan peneliti
untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan.
Dalam penelitian, metode penelitian berguna untuk mendapatkan informasi
yang objektif dan valid dari data-data yang telah diolah. Adapun dalam
penalitian ini digunakan beberapa teknik atau metode penelitian yang
meliputi:
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian lapangan, dengan penelitian
kualitatif. suatu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada waktu konteks

44
Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,..., hlm. 212-213
45
M.Subana, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001) hlm.
10.
16

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode


ilmiah.46
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Sosiologi Hukum Islam, yaitu pendekatan yang bertitik tolak
pada Sosiologistik, al-Quran, dan Sunnah serta sumber-sumber lain yang
dapat dijadikan landasan dalam menyikapi masalah yang ada, sehingga
dapat diperoleh kesimpulan bahwa sesuatu itu benar, selaras dan tidak
bertentangan dengan hukum syara’.
c. Lokasi Penelitian
Peneliti memfokuskan pada Keraton Kacirebonan. Peneliti sengaja
memilih penelitian di Keraton Kacirebonan ini berkaitan dengan apa
yang telah peneliti temukan dalam masyarakat Cirebon yang masih
belum mengetahui makna dan pandangan hukum Islam mengenai tradisi
upacara pernikahan adat Keraton Kacirebonan. Diharapkan hasil
penelitian ini mampu memberi pengetahuan hukum bagi masyarakat
dalam penerapan perkawinan yang sesuai dengan tradisi upacara
perkawinan adat Keraton Kacirebonan.
d. Sumber Data
Sumber data adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian.
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dan dari mana data
diperoleh. Sumber data dalam penalitian dibagi menjadi dua yaitu data
primer dan data sekunder :47
a) Data Primer
Data primer, yaitu data langsung dari sumber utama. Dalam hal ini
peneliti melakukan penelitian secara langsung kepada tokoh adat
setempat.

46
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Cet. XXXII,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006) hlm. 6.
47
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hlm.
91.
17

b) Data Sekunder
Adapun data sekunder adalah data-data yang dikumpulkan, diolah,
disajikan oleh pihak lain mencakup dokumen-dokumen resmi
maupun buku-buku. Dalam hal ini data yang diperoleh langsung
melalui sumber buku-buku yang berkaitan tentang pernikahan dalam
islam maupun dalam adat dan buku-buku tentang teori-teori ushul
fiqh dan kaidah fiqhiyah.
e. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data atau informasi yang diperlukan dalam
penelitian ini, ada beberapa cara yang peneliti lakukan, antara lain:
a) Wawancara
Wawancara adalah suatu kegiatan tanya jawab dengan tatap muka
(face to face) antara pewawancara dan yang diwawancarai tentang
masalah yang diteliti, di mana pewawancara bermaksud memperoleh
persepsi, sikap, dan pola pikir yang dari yang diwawancari yang
relevan dengan masalah yang di teliti.48 Adapun pihak-pihak yang
diwawancarai adalah tokoh adat setempat, yaitu Drh. H.R. Bambang
Irianto dan Elang Iyan Arifudin, serta keluarga keraton Kacirebonan,
yaitu R. Agus Zurkarnaen dan Elang Blue gun.
b) Dokumentasi
Dokumentasi adalah bahan tertulis mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, agenda, arsip-arsip, dan sebagainya. Sumber- sumber
tertulis yang dipakai dalam penelitian ini adalah buku-buku, majalah,
internet, foto, dokumentasi, serta catatan dan dokumen yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.49
f. Teknik Analisis Data

48
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, Cet. III, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2015) hlm. 162.
49
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif,..., hlm.178.
18

Peneliti akan menganalisis data dengan cara: 50 pengumpulan data,


pengklasifikasian data, penafsiran isi data dan menganalisis isi data
dengan memfokuskan penganalisisan hubungan antara Hukum Islam
dengan Hukum Adat. Peneliti menggunakan analisis kualitatif, dalam
menarik kesimpulan digunakan metode deduktif induktif, yaitu data yang
telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif
bertitik tolak dari data yang bersifat khusus ditarik kesimpulan menjadi
suatu kesimpulan yang bersifat umum.
g. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan pokok-pokok
pembahasan secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan tiap-tiap bab
terdiri dari sub-sub sebagian perinciannya. Adapun sistematika
pembahasannya sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi aspek-aspek utama
penelitian, diantaranya Pertama, latar belakang masalah yang memuat
alasan-alasan pemunculan masalah yang diteliti. Kedua pokok masalah
merupakan penegasan yang terkandung dalam latar belakang masalah.
Ketiga tujuan yang akan dicapai dan kegunaan (manfaat) yang
diharapkan tercapainya penelitian ini. Keempat penelitian terdahulu yang
menjelaskan beberapa penelitian terdahulu guna membandingkan serta
menjadi rujukan untuk penelitian ini. Kelima kerangka teoritik. Keenam
metode penelitian yang dijadikan dasar dalam penelitian untuk
menghasilkan penelitian yang lebih terarah dan sistematis. Ketujuh
sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas tentang tradisi walīmah al-‘ursi dalam islam, di
antaranya: tradisi dalam hukum Islam meliputi pengertian tradisi,
penyerapan adat dalam hukum Islam, dan contoh „ādat fāsidah.
Selanjutnya tahapan pernikahan dalam Islam, terdiri dari ta’aruf, Khiṭbah
meliputi pengertian khiṭbah, wanita yang boleh dikhiṭbah, memilih
wanita yang akan dipinang dan melihat pinangan. Akad nikah meliputi,

50
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum,..., hlm. 158.
19

syarat dan rukun akad nikah, hukum melakukan akad nikah, serta tujuan
akad nikah. Walīmah al-„ursi meliputi pengertian walīmah al-„ursi,
walīmah al-„ursi pada masa Nabi SAW, hukum pelaksanaan walīmah al-
ursi.
Bab ketiga, tentang prosesi pernikahan adat Keraton Kacirebonan
meliputi sejarah berdirinya Keraton Kacirebonan, tradisi perkawinan
dalam bingkai kebudayaan Cirebon dan pelaksanaan prosesi sebelum
upacara perkawinan, menjelang upacara perkawinan, saat upacara
perkawinan, sesudah upacara perkawinan, serta makna yang terkandung
pada setiap rangkaian prosesi pernikahan adat Keraton Kacirebonan.
Bab keempat, kajian Islam terhadap tradisi upacara pernikahan adat
Keraton Kacirebonan terdiri dari kajian makna simbolik tradisi upacara
pernikahan adat keraton Kacirebonan, meliputi kajian terhadap prosesi
sebelum upacara pernikahan, kajian terhadap prosesi menjelang upacara
pernikahan, kajian terhadap prosesi saat upacara pernikahan, kajian
terhadap prosesi sesudah upacara pernikahan. Kajian hukum Islam
tentang tradisi upacara pernikahan adat keraton Kacirebonan.
Bab kelima, penutup yang didalamnya berisikan kesimpulan dan
saran.

Anda mungkin juga menyukai