Anda di halaman 1dari 2

H2007CS

Kritik Marx Terhadap Hegel


Oleh: Cyril Smith1

Hegel lah yang pertama kali mengetahui bahwa “setiap filsafat... diperuntukkan untuk zamannya sendiri dan ditelikung oleh
batasan-batasan zaman yang bersangkutan.” Tapi hal itu menimbulkan sebuah pertanyaan: bagaimana sebuah pandangan filsafat
dapat tetap hidup sesudah “zamannya” lewat? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut menggiring kita (melewati argumentasi
filosofis) ke arah jalur penetrasi yang lebih mendalam, yakni membedah pengertian mengenai konsep “zamannya” dan konsep
zaman kita. Itu lah mengapa kunci untuk menjawab apa yang masih hidup dari pemikiran Hegel terdapat dalam kritik Marx
terhadap Hegel.
Pertama-tama, mari kita bahas mengenai apa yang dimaksud Marx dengan “kritik”. Hal itu terkait erat dengan ide Hegel
mengenai “peleburan” (aufheben)2: untuk menegasikan dan, dengan demikian, memelihara kebenaran yang terdapat di dalam
sesuatu. Hal tersebut sama dengan sikap Marx terhadap agama: yang penting bukan menolak sentimen religius karena sentimen
tersebut “tidak benar”, tanpa dasar, sehingga tak perlu kemudian merencanakan sebuah bentuk agama baru. Tetapi, kita harus
menemukan aspek-aspek cara hidup yang menimbulkan adanya agama dan, kemudian, merevolusionerkan aspek-aspek tersebut.
Agama adalah “hati dunia yang tak berhati”, sehingga yang penting adalah mendirikan sebuah dunia yang berhati. Ketimbang
menemukan sebuah solusi yang bersifat ilusi, kita harus, dalam praktek, menemukan solusi yang bersifat nyata.
Karya filosofis Hegel adalah sebuah upaya untuk meringkas essensi keseluruhan sejarah filsafat, dan baginya hal tersebut
merupakan sejarah secara keseluruhan. Sehingga, kritik Marx terhadap Hegel adalah sebuah kritik terhadap ilmu filsafat itu
sendiri. Ia mengambil kesimpulan bahwa filsafat tidak bisa menjawab pertanyaan yang telah dibawa oleh filsafat ke permukaan.
Karena, pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bersifat filosofis, tapi bersifat praktis. Ketika Marx mengklaim
bahwa karyanya bersifat ilmiah (wissenschaftlich), itu tidak berarti bahwa ia sedang menjelaskan seperangkat doktrin, yang
terdiri dari “teori-teori”, tapi, dengan melacak kontradiksi ilmu-pengetahuan yang ada hingga ke akarnya, yakni cara hidup
manusia yang tidak manusiawi, ia bisa menjelaskan kebutuhan untuk merevolusionerkan cara hidup tersebut, untuk melangkah
dari kontemplasi ke solusi revolusioner yang “kritis-praktis”.
Hal tersebut sedikit sekali hubungannya dengan cerita basi mengenai Hegel, sang idealis, dan Marx, sang materialis, cerita
basi mengenai transisi dari ‘idealisme’ dan ‘demokrasi’ ke ‘materialisme’ dan komunisme, atau cerita basi mengenai Marx yang
mencampakkan sistem konservatif Hegel, demi mempertahankan metode revolusionernya. Apabila kita menerima seperangkat
prasangka yang dahulu pernah disebut sebagai “Marxisme”, maka kita tak akan bisa, bahkan, menjawab pertanyaan kami yang
pertama sekalipun. (Itu hanya lah sebagian kecil dari permasalahannya yang ada.)
Hampir dalam seluruh hidupnya, Marx, terus-menerus kembali pada Hegel, setiap saat mempertajamnya, baik perbedaannya
maupun persetujuannya pada Hegel. Marx memulai kritiknya terhadap Hegel dengan sejarah filsafat Yunani, dalam tesis
doktoralnya. Ia mengamati secara kritis ringkasan Hegel mengenai sejarah filsafat politik, yang berjudul Philosophy of Right
(Filsafat Hukum). Setelah bisa menunjukkan bahwa konsepsi Hegel mengenai negara modern didasarkan pada relasi ekonomi
borjuis, Marx kemudian bisa mengidentifikasi sudut pandang Hegel mengenai ekonomi-politik. Sekarang ia bisa memulai
kritiknya terhadap pencapaian-pencapaian pemikiran ekonomi borjuis, sebagai ekspresi tertinggi ketidakmanusiawian
masyarakat borjuis. Dalam setiap tahap kerjanya, Marx, menggunakan studinya terhadap Hegel untuk menemukan koneksi
essensial antara sikap filsafat terhadap dunia dengan bentuk-bentuk keterasingan sosial yang secara alamiah tidak manusiawi,
eksploitatif, dan menindas.
Tesis doktoral Marx, yang dikerjakannya antara tahun 1839 dan 1841, adalah mengenai “Perbedaan antara Filsafat Alam
Demokritean dan Epikurean.” Caranya memperlakukan dua filsafat atomis Yunani tersebut kontradiktif dengan pendapat Hegel
—dan pendapat hampir semua orang—karena ia menekankan keaslian Epikurus. Marx mendeklarasikan bahwa tujuannya
adalah menemukan sumber kesadaran-diri manusia dan ide dalam realitas material. Yang lainnya adalah pendiriannya bahwa
filsafat harus “keluar menuju dunia.” Karena eksistensi tidak sesuai dengan essensi, maka filsafat harus menjadi praktis, dan
“memalingkan hasratnya terhadap dunia yang nampak.” (I: 85.) Lebih jauh lagi, “dunia yang berhadapan dengan sebuah filsafat
yang bersifat total di dalam dirinya semata, adalah.... sebuah dunia yang terkoyak-koyak.” (I: 491) Hal itu lah yang
mengarahkan kritik Marx pada agama.
Berbeda dengan Kant, Marx menganggap bahwa keyakinan agama bukan hanya sebuah ilusi. Semua tuhan/dewa, baik bagi si
penyembah berhala maupun si Kristen, memiliki sebuah eksistensi yang nyata. Bukan kah dewa Moloch berkuasa di zaman
purbakala? Bukan kah dewa Apollo di Delphi adalah sebuah kekuatan yang nyata dalam kehidupan orang-orang Yunani? (I:
104)
Pada tahun 1843, Marx memulai karyanya dengan menganalisa secara rinci bagian tentang negara dalam Philosophy of Right-
nya Hegel. Karya Hegel tersebut merupakan puncak karya terakhirnya, yang berupaya menjelaskan tentang kekuatan negara
modern yang dipahami, secara rasional, guna merekonsiliasikan kontradiksi-kontradiksi dalam “masyarakat sipil”, yakni,
masyarakat borjuis. Masyarakat sipil dipahami sebagai “ajang perang bagi kepentingan pribadi”, dan filsafat menunjukkan
bagaimana negara mengekspresikan kesatuan suatu kehidupan dari satu bangsa. Negara adalah “aktualitas kebebasan yang

1
Tulisan ini merupakan makalah yang ditulis oleh Cyril Smith untuk seminar Hegel pada tanggal 18 Juni, 1999. [ed.]
2
Untuk lebih jelasnya, kata “aufheben” dari Hegel berkaitan dengan fase ketiga dialektika, yang dikenal dengan fase sintesis. Di dalam fase tersebut, terjadi aufheben yang artinya
terjadinya negasi dan pengangkatan. Terjadinya negasi berarti bahwa tesis dan antitesis sudah dilewati dan tidak ada lagi, sedangkan pengangkatan memiliki arti bahwa walaupun
tesis dan antitesis dinegasikan, tapi kebenaran dari tesis dan antitesis tetap dipertahankan dan disimpan dalam sintesis dengan bentuk yang lebih sempurna. [ed.]
Kritik Marx Terhadap Hegel 1
H2007CS

konkrit”. Kritik Marx terhadap filsafat negara Hegel membuat ia bisa melihat bahwa masyarakat sipil dan negara adalah terasing
dari kehidupan manusia yang sejati yang, pada waktu itu, disebut terasing dari “demokrasi yang sejati”.
Tak lama kemudian, setelah ia menyelesaikan karyanya mengenai negara, Marx membuat tiga langkah maju ke depan, yang
bisa merubah hidupnya: ia melihat pentingnya peranan revolusioner proletariat; ia menemukan bahwa apa yang ia namakan
sebagai “demokrasi sejati” terkait erat dengan apa yang disebut oleh yang lain sebagai “komunisme”; dan ia menyadari bahwa ia
harus membuat sebuah studi kritis tentang ekonomi-politik. Hegel melihat “ruh” maju dengan cara seperti ini: dalam setiap
tahapan penyingkapannya, ruh-totalitas kehidupan dan aktifitas manusia berkontradiksi dengan apa yag telah diproduksi oleh
dirinya, yang kini berhadapan dengannya sebagai sesuatu yang asing. Filsafat merefleksikan keterasingan tersebut, dan
menyelesaikannya melalui refleksi yang, menurut Hegel, melalui ruh yang menciptakan dirinya. Relasi negara dengan
masyarakat sipil merupakan sebuah kasus utama dalam upaya tersebut. Pada tahun 1844, kritik Marx, baik terhadap filsafat
maupun ekonomi-politik, telah mencapai tingkatan yang bisa menemukan sesuatu yang lain ketimbang kategori-kategori dan
ekspresi yang ditemukanHegel: kemanusiaan memang menciptakan dirinya sendiri—hal itu merupakan penemuan Hegel yang
hebat—tapi yang fundamental bukan lah tindakan ruh, tidak pula kerja filsafat, tapi tenaga kerja material.
Dengan demikian, kritik Marx terhadap Hegel melangkah dari sejarah filsafat kuno ke konsepsi negara. Kemudian baru
terlihat bahwa “bentuk-bentuk politik berasal dari masyarakat sipil dan anatomi masyarakat sipil dapat ditemukan dalam
ekonomi-politik”. Kritik terhadap ekonomi-politik lah yang menjadi konsentrasi Marx sampai dengan akhir hayatnya, tetapi hal
tersebut bisa disalahpahami. Marx tidak terlibat dalam “kritik terhadap kapitalisme”, seperti yang sering kita dengar. Hal itu bisa
menjebak kita ke dalam perangkap utopian. Tugasnya adalah untuk mempelajari ekspresi teoretis tertinggi yang dihasilkan oleh
relasi-relasi borjuis, dan menunjukkan bagaimana teori-teori tersebut menyembunyikan cara bagaimana relasi-relasi tersebut
menolak esensi manusia. Relasi-pertukaran pemilikan pribadi, yang diajukan oleh para tokoh Pencerahan, sebagai dasar bagi
kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, sebenarnya merupakan “musuh bagi relasi sosial sebenarnya”. Uang dan kapital
menggabungkan manusia menjadi bersama-sama, tapi hanya dengan cara memisahkan mereka. Karena masyarakat telah
terfragmentasi, relasi-relasi sosial borjuis memegang kekuasaan atas individu-individu yang digabungkannya. Manusia
memperlakukan sesamanya—dan dirinya sendiri—sebagai benda, sementara kapital menjadi subyek nyata yang memerintah
hidup mereka.
Hegel telah berupaya mengekspresikan bagaimana kebebasan berkembang hanya pada tingkatan masyarakat secara
keseluruhan, apa yang ia sebut sebagai “Ruh”. Sementara Marx, telah melangkah melewati impian tradisional filsafat, ia
berupaya menyingkap kemungkinan individu sosial, yang kebebasan perkembangannya memiliki syarat—tanpa “kebebasan
perkembangan semua orang” maka kebebasan perkembangan individu tak bisa terwujud.

***

Kritik Marx Terhadap Hegel 2

Anda mungkin juga menyukai