Anda di halaman 1dari 20

LP TENGGELAM

PRAKTIK PROFESI NERS


STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Oleh :
ELY SUSILAWATI
NPM. 2214901210109

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
TA 2022-2023
A. KONSEP DASAR TENGGELAM
1. Definisi Tenggelam
Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke
dalam saluran nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan
pernafasan sampai kematian.
Definisi tenggelam mengacu pada ‘adanya cairan yang masuk
hingga menutupi lubang hidung dan mulut’, sehingga tidak terbatas pada
kasus tenggelam di kolam renang, atau perairan seperti sungai, laut, dan
danau saja, tetapi juga pada kondisi terbenamnya tubuh dalam selokan
atau kubangan dimana bagian wajah berada di bawah permukaan air
(Putra, 2014).
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam
dalam cairan dan cairan tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai
alveoli paru-paru.
Pada umumnya tenggelam merupakan kasus kecelakaan, baik
secara langsung maupun karena ada faktor-faktor lain seperti korban
dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat, atau bisa saja
dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan (Wilianto, 2012).
Hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi
tubuh akibat tenggelam tetapi tidak terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).
Tenggelam dapat menyebabkan kematian atau kecacatan.
Menurut Kongres (2002), tenggelam adalah suatu kejadian berupa
gangguan respirasi akibat tenggelam atau terendam oleh cairan.
Menurut Dr. Boedi Swidarmoko SpP, tenggelam (drowning) adalah
kematian karena asfiksia pada penderita yang tenggelam. Istilah lain,
near drowning adalah untuk penderita tenggelam yang selamat dari
episode akut dan merupakan berisiko besar mengalami disfungsi organ
berat dengan mortalitas tinggi. Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara
tenggelam di air tawar dan air laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma
darah mengalami hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah hipertonik.
Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga
menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit
serum, dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan
hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis. Jadi yang dimaksud
dengan tenggelam adalah suatu istilah dari suatu keadaan yang
disebabkan karena seseorang menghirup air atau cairan ke paru-
paru sehingga
menghambat/mencegah udara yang mengandung oksigen
untuk sampai dan
berhubungan dengan bagian depan permukaan alveolus di paru-
paru, dimana bagian ini merupakan bagian penting yang berfunsi untuk
pertukaran gas di paru-paru dan proses oksigenisasi darah.
2. Etiologi Tenggelam

a. Tidak bisa berenang

b. Kelelahan dan kehabisan tenaga

c. Terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-obatan

d. Ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, atau cedera

e. Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang

Selain itu, kondisi umum dan faktor resiko pada kejadian korban
tenggelam antara lain :

a.
Pria lebih beresiko untuk mengalami kejadian tenggelam
terutama dengan usia 18-24 tahun

b.
Kurang pengawasan terhadap anak terutama yang berusia 5 tahun
ke bawah

c.
Tidak memakai pelampung ketika menjadi penumpang angkutan air

d.
Kondisi air melebihi kemampuan perenang, arus kuat dan air yang
sangat dalam.

e.
Ditenggelamkan dengan paksa oleh orang lain dengan tujuan
membunuh, kekerasan atau permainan di luar batas.

3. Manifestasi Klinis Korban Tenggelam

a. Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan


dangkal sampai apneu.
b. Cianosis
c. Peningkatan edema paru
d. Kolaps sirkulasi
e. Hipoksemia
f. Asidosis
g. Timbulnya hiperkapnia
h. Lunglai
i. Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi
j. Koma dengan cedera otak yang irreversible

Stone, CK., Humphries, R., 2004 menyebutkan bahwa adanya buih / busa
berwarna merah muda pada mulut atau hidung mengindikasikan sudah
terjadi edema pulmo pada korban tenggelam.

B. Klasifikasi Tenggelam
1. Berdasarkan Kondisi Kejadian

a. Tenggelam

Yaitu suatu keadaan dimana penderita akan meneguk air dalam


jumlah yang banyak sehingga air masuk ke dalam saluran
pernapasan, dan saluran nafas atas, tepatnya bagian epiglotis akan
mengalami spasme yang mengakibatkan saluran nafas menjadi
tertutup serta hanya dapat dilalui oleh udara yang sangat sedikit.

b. Hampir Tenggelam

Yaitu suatu keadaan dimana penderita masih bernafas dan


membatukkan air keluar.

2. Berdasarkan Kondisi Paru – Paru Korban

a. Typical Drawning

Yaitu keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran


pernapasan korban saat korban tenggelam.
b. Atypical Drawning

1) Dry Drowning

Yaitu keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan


yang masuk ke dalam saluran pernapasan.

2) Immersion Syndrom

Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke


dalam air dingin (suhu < 20°C) yang menyebabkan terpicunya
reflex vagal yang menyebabkan apneu, bradikardia, dan
vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan menyebabkan
terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral.

3) Submersion of the Unconscious

Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau


penyakit jantung khususnya coronary atheroma, hipertensi
atau peminum yang mengalami trauma kepala saat masuk ke
air.

4) Delayed Dead

Yaitu keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah


lebih dari 24 jam setelah diselamatkan dari suatu episode
tenggelam.

C. Patofisiologi
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu
tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam
menyebabkan adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan
henti nafas (apnea) volunter dan laringospasme. Hipoksemia dan asidosis
yang persisten dapat menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung
dan kerusaka sistenm saraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan
paru yang kering, namun karena aspiksia membuat relaksi otot polos, air
dapat masuk ke dalam paru dan menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air
tawar dan air laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami
hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar
akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan hipervolemia
intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis intravaskular.
Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan
vagotonia, vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus
membran alveolus dan menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat
kerja surfaktan. Selain itu, air segar dan hipoksemi dapat menyebabkan
lisis eritrosit dan hiperkalemia.
Sedangkan, air garam dapat menghilangkan surfaktan, dan
menghasilkan cairan eksudat yang kaya protein di alveolus, intertitial paru,
dan membran basal alveolar sehingga menjadi keras dan sulit
mengembang. Air garam juga dapat menyebabkan penurunan volume darah
dan peningkatan konsentasi elektrolit serum.
Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan
merupakan faktor yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup
korban tenggelam. Karena itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat
dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat survival korban.
D. Pathway Tenggelam

7
Wet drowning
Dry drowning

Tubuh pasien basah akibat Jalan napas korban terbenam Penyakit, ketakutan
tenggelam

Korban berusaha menahan napas


Terjadi proses konduksi

Kehilangan panas tubuh Korban berounsaghga boerornfarpiansg,/clariirnagn masuk


ke

Penurunan suhu tubuh Laringospasme involunter

asfiksia Saraf parasimpatis aktif

Hipotermia Korban tidak bisa menghirup udara

Reflek Vagal
Air tertelan banyak O2 turun dan CO2 tidak bisa keluar

Ketidakefektifan Pola
Napas
Obstruksi laring Hiperkapnia, hipoksemia, asidosis

Risiko Ketidakefektifan
Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak
Bersihan Jalan Napas

Tidak terjadi pertukaran udara

Di air tawar Di air laut

Air lebih hipotonis dari pada plasma darah Air teraspirasi dalam alveoli

Air menuju ruang alveolar


Air dalam alveoli cepat berpindah ke
sirkulasi darah

Hipoksia dan abnormalitas thoraks

Ekspansi volume darah, hemodilusi,


hemodialisis
Osmosis air ke jarinfgan paru karena
konsentrasi elektrolit tinggi

Overload sirkulasi, hiponatremia, ratio


natrium dan kalium tidak seimbang
Gangguan Pertukaran Gas

Hipoksia otot jantung

Tekanan sistolik menurun Penurunan Curah


Jantung

8
D. Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan
monitoring saturasi oksigen. Radiografi dada mungkin menunjukkan
perubahan akut, seperti infiltrasi alveolar bilateral. Selain itu, pemeriksaan
sistem saraf pusat, EKG, dan analisis gas darah juga diperlukan (Elzouki,
2012). Berikut pemeriksaan diagnostic lainnya yaitu:

1. Laboratorium

2. BGA + oksimetri, methemoglobinemia dan


carboxyhemoglobinemia CBC prothrombin time, partial
thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer, fibrin

3. Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi

4. Liver enzymes

5. Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase,

6. Renal function tests (BUN, creatinine)

7. Urinalisis

E. Penatalaksanaan Korban Tenggelam


Akibat yang paling penting dan merugikan dari tenggelam adalah
hipoksia. Oleh karena itu, oksigenasi, ventilasi dan perfusi harus
dikembalikan sesegera mungkin. Untuk mencapainya akan diperlukan
pertolongan RJP dengan segera dan aktivasi system layanan
kegawatdaruratan.
1. Menyelamatkan Korban dari Air
Hal pertama yang dilakukan apabila menemukan kejadian near
drowning adalah menyelamatkan korban dari air. Untuk menyelamatkan
korban tenggelam, penolong harus dapat mencapai korban secepat
mungkin, sebaiknya menggunakan alat angkut (perahu, rakit, papan
selancar atau alat bantu apung). Setidaknya diperlukan dua orang
dewasa untuk mengangkat korban dari dalam air ke perahu
penyelamatan. Untuk menghindari terjadinya post-immersion collapse,
sebaiknya korban diangkat dari dalam air dengan posisi telungkup. Selain
itu, penolong juga harus memperhatikan keselamatan dirinya. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa stabilisasi tulang leher tidak perlu dilakukan
kecuali terdapat keadaan yang menyebabkan tenggelam menunjukkan
adanya kemungkinan terjadi trauma. Keadaan ini termasuk riwayat
menyelam, adanya tanda-tanda cedera atau tanda-tanda intoksikasi
alkohol. Dengan tidak adanya indikator tersebut, cedera tulang belakang
kemungkinan tidak terjadi. Stabilisasi tulang leher secara manual dan alat
stabilisasi mungkin menghambat pembukaan jalan nafas yang adekuat,
mempersulit dan mungkin memperlambat penghantaran nafas bantuan.
Prinsip pertolongan di air :

a. Raih (dengan atau tanpa alat)

b. Lempar (alat apung)

c. Dayung (atau menggunakan perahu mendekati penderita)

d. Renang (upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung)


2. Bantuan Hidup Dasar
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan,
dengan fokus utama pada perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi
buatan. Penilaian pernapasan dilakukan dengan tiga langkah, yaitu look
(melihat adanya pergerakan dada), listen (mendengar suara nafas), dan
feel (merasakan ada tidaknya hembusan nafas)
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak
bernafas dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi
dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara
pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to
neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah
pemberian nafas buatan untuk mengurangi hipoksemia. Melakukan
pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih disarankan karena sulit
untuk menutup hidung korban saat pemberian napas mulut ke mulut.
Pemberian napas buatan dianjurkan hingga 10-15 kali sekitar 1 menit.
Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak
bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam
mengalami henti jantung akibat hipoksia.
3. Bantuan hidup lanjut
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian
oksigen dengan tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM
( Bag Valve Mask) atau tabung oksigen. Oksigen yang diberikan
memiliki saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini keadaan
korban belum membaik maka dapat dilakukan intubasi trakeal.
Penanganan Spesifik :

a. Penanganan Muntah saat Resusitasi


Korban mungkin akan muntah saat penolong melakukan
kompresi dada atau bantuan nafas. Sesuai dengan penelitian
selama 10 tahun di Australia, dua per tiga dari korban yang
mendapatkan nafas bantuan dan 86% dari korban yang
memerlukan kompresi-ventilasi muntah. Jika hal ini terjadi,
miringkan korban ke samping dan bersihkan muntahan
menggunakan jari, pakaian atau penyedot (suction). Jika terdapat
kecurigaan cedera spinal cord, korban sebaiknya digulingkan
dimana kepala, leher dan badan digerakkan bersamaan untuk
melindungi saraf tulang leher.

b. Menghangatkan kembali
Untuk mencegah kehilangan panas tubuh, pakaian yang
basah sebaiknya dilepaskan sebelum pasien dibungkus dengan
selimut tebal. Minuman hangat tidak dapat membantu dan
sebaiknya dihindari. Menggigil merupakan tanda prognostik yang
baik.

c. Transportasi dan Indikasi Rujuk ke Rumah Sakit

Korban near drowning sebaiknya segera dibawa ke unit


gawat darurat terdekat untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut
sehingga dapat meminimalkan komplikasi atau kecacatan yang
mungkin ditimbulkan. Tidak dianjurkan menunda transportasi
untuk pemeriksaan sekunder kecuali korban benar-benar dapat
dikategorikan “stabil”. Sebelum dirujuk, korban (terutama pada
korban dengan penurunan kesadaran) harus diamankan di sebuah
tandu (bila tersedia) dan diposisikan dengan nyaman. Korban
dengan fraktur, cedera kepala atau tulang belakang sebaiknya
diletakkan di papan dengan penyangga tulang belakang. Evaluasi
terhadap kesadaran dan tanda- tanda vital dilakukan secara berkala
selama perjalanan. Semua pasien tenggelam yang mengalami
amnesia oleh karena kejadian tersebut, kehilangan atau depresi
kesadaran, ditemukan adanya periode apnea, atau mereka yang
memerlukan nafas buatan harus dirujuk ke unit gawat darurat
terdekat, meskipun tanpa gejala di tempat kejadian. Selain itu,
pertimbangan untuk merujuk korban juga tergantung pada ada
tidaknya aspirasi air, karena terdapat risiko terjadinya edema paru.

Dalam Raoof (2008), penatalaksanaan pasien


dengan near drowning umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara lain
perawatan prehospital, perawatan unit gawat darurat, penatalaksanaan
rawat inap.
4. Perawatan pre hospital
Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A),
Breathing (B), dan Circulation (C). Pasien harus dipindahkan dari air
secepatnya, namun menyelamatkan pernafasan dapat dimulai walau
korban masih berada di air. Cara memindahkan pasien harus benar
dengan meminimalkan gerakan pada leher pasien untuk menghindari
terjadinya cedera medula spinal. Ketika pasien telah berada di
permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika nadi tidak teraba.
Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada korban yang
mengalami hipotermia karena bradikardi dan atrial fibrilation (AF).
Heimlich Maneuver tidak banyak menguntungkan bila digunakan untuk
mengeluarkan air yang tertelan, teknik ini seharusnya hanya digunakan
saat penyebab obstruksi jalan nafas adalah benda asing. Oksigen
tambahan (100%) dapat diberikan jika tersedia. Pasien yang
mengalami apneu harus dilakukan intubasi sesegera mungkin.
5. Perawatan di unit gawat darurat
Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus
dilakukan pengkajian ulang secara hati-hati untuk mengetahui adanya
tanda-tanda trauma seperti trauma spinal, trauma dada, atau trauma
abdomen. Pengkajian status neurologi termasuk reflek batang otak dan
GCS diperlukan untuk memastikan prognosis pasien.
Pakaian yang basah harus dilepas, pasien dengan hipotermia
harus dihangatkan dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut
hangat, bantalan pemanas, mandi air hangat, teknik forced warm
air. Kadang-kadang peritoneal lavage dan pleural lavage dengan larutan
hangat juga digunakan.
Oksimetri nadi dan EKG digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan
aritmia jantung. Analisis gas darah arteri, serum elektrolit, level
etanol, pemeriksaan urin biasanya dilakukan. Cervical spine imaging,
radiografi dada, CT scan dilakukan jika dicurigai adanya trauma.
Pasien yang sudah terlihat membaik dapat dipulangkan setelah
dilakukan monitoring selama 7 sampai 12 jam. Pasien dengan distres
respiratori berat dan perubahan status mental diperlukan intubasi dan
ventilasi mekanik.
6. Perawatan rawat inap
Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah
cedera neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia, edema
serebral, asidosis, dan abnormalitas elektrolit. Pasien dengan
hipotermia diperlukan esusitasi sampai suhu mencapai 32 atau 35
F. Pasien dengan hipotensi
dilakukan resusitasi cairan dan diberikan obat inotropik bila perlu.
Radiografi dada biasanya menunjukkan gambaran normal sampai edema
pulmonar yang menyebar. Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik
spektrum luas. Secara singkat, penanganan korban tenggelam dapat
dilakukan dengan cara antara lain :

1. Pindahkan penderita secepat mungkin dari air dengan cara teraman

2. Bila ada kecurigaan cedera spinal, pertahankan posisi kepala, leher


dan tulang punggung dalam satu garis lurus. Pertimbangkan untuk
menggunakan papan spinal dalam air, atau bila tidak memungkinkan
pasanglah sebelum menaikan penderita ke darat

3. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka
upayakan untuk memberikan nafas awal secepat mungkin dan berikan
bantuan nafas sepanjang perjalanan

4. Upayakan wajah penderita menghadap ke atas

5. Sampai di darat atau perahu lakukan penilaian dini dan RJP bila perlu
6. Berikan oksigen bila ada sesuai protokol.

7. Jagalah kehangatan tubuh penderita, ganti pakaian basah dan selimuti

8. Lakukan pemeriksaan fisik, rawat cedera yang ada

9. Segera bawa ke fasilitas kesehatan.


G. Komplikasi Tenggelam
Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian
near-drowning,

seorang pasien beresiko terjadinya komplikasi seperti:

1. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral

2. ARDS (acute respiratory distress syndrome)

3. Kerusakan pulomal sekunder akibat respirasi

4. Cardiak arrest

5. Anoksia

6. Shock

7. Myoglubinuria

8. Insufisiensi ginjal

9. Infeksi Sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi


selama 72 jam pertama setelah resusitasi.

H. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


TENGGELAM

1. Pengkajian Keperawatan

a. Pengkajian Primer
1) A : Airway (Jalan Nafas)
Kaji adanya sumbatan jalan nafas total ataupun
sebagian dan gangguan servikal, distress pernafasan,
atau ada tidaknya secret.
2) B : Breathing (Pola Nafas)
Kaji ada tidaknya pernafasan, adekuatnya pernafasan,
frekuensi nafas, pergerakan dinding dada, dan suara
pernafasan.
3) C : Circulation
Kaji ada tidaknya denyut nadi, CRT, kemungkinan syok,
adanya perdarahan eksternal, kekuatan dan kecepatan
nadi, warna dan kelembaban kulit, tanda
– tanda perdarahan eksternal, serta tanda – tanda jejas
atau trauma.
4) D : Disability
Kaji kondisi neuromuscular pasien, tingkat kesadaran
(GCS), keadaan ekstremitas, kemampuan motorik dan
sensorik.
5) E : Exposure
Kaji suhu tubuh pasien serta ada tidaknya jejas ataupun
trauma

b. Pengkajian Sekunder
1) Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor
register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama
3) Riwayat kejadian
4) Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik head to toe dengan
menggunakan teknik IAPP

2. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko ketidakefektifak perfusi jaringan otak


b. Gangguan pertukaran gas
c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
d. Ketidakefektifan pola nafas
e. Penurunan curah jantung
f. Hipotermia
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan

1 Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Edema Serebral


ketidakefektifan selama ... x ... jam diharapkan tidak terjadi
□ Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan
perfusi jaringan peningkatan tekanan intracranial dengan
pusing, pingsan
otak Kriteria Hasil :
□ Monitor status neurolgi dengan ketat dan bandingkan dengan
Perfusi Jaringan : Serebral
nilai normal
□ Tekanan darah sistolik dan diastolic normal □ Monitor tanda-tanda vital
□ MAP dalam batas normal
□ Monitor TIK dan CPP
□ Sakit kepala menurun atau hilang
□ Monitor status pernapasan : frekwensi, irama, kedalaman
□ Tidak gelisah
pernapasan
□ Tidak mengalami muntah
□ Berikan anti kejang sesuai kebutuhan
□ Tidak mengalami penurunan kesadaran
□ Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem pada lutut/panggul
□ Tidak demam
□ Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau lebih
□ Hindari cairan IV hipotonik
□ Monitor nilai-nilai laboratorium : osmolalitas serum dan urin,
natrium, kalium
□ Lakukan latihan ROM pasif

2 Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Acid Base Management


pertukaran selama …. X .... jam, diharapkan hasil AGD □ Pertahankan kepatenan jalan nafas
gas pasien dalam batas normal dengan kriteria □ Posisikan pasien untuk mendapatkan ventilasi yang
hasil : adekuat(mis., buka jalan nafas dan tinggikan kepala dari
Respiratory status: Gas Exchange tempat tidur)

□ PaO2 dalam batas normal (80-100 mmHg) □ Monitor hemodinamika status (CVP & MAP)

□ PaCO2 dalam batas normal (35-45 mmHg) □ Monitor kadar pH, PaO2, PaCO2, dan HCO3 darah melalui

□ pH darah normal (7.35 – 7.45) hasil AGD

□ SaO2 normal (95-100%) □ Catat adanya asidosis/alkalosis yang terjadi akibat kompensasi

□ Tidak ada sianosis metabolisme, respirasi atau keduanya atau tidak adanya

□ Tidak ada penurunan kesadaran kompensasi


□ Monitor tanda-tanda gagal napas
□ Monitor status neurologis
□ Monitor status pernapasan dan status oksigenasi klien
□ Atur intake cairan

□ Auskultasi bunyi napas dan adanya suara napas tambahan


(ronchi, wheezing, krekels, dll)
□ Kolaborasi pemberian nebulizer, jika diperlukan
□ Kolaborasi pemberian oksigen, jika diperlukan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan Airway Management


3 Ketidakefektifan □ Buka jalan nafas menggunakan head tilt chin lift atau jaw
selama .... x .... jam, diharapkan jalan nafas
bersihan jalan

17
nafas bersih dengan kriteria hasil : thrust bila perlu
Respiratory status : Airway Patency □ Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
□ Respirasi dalam batas normal □ Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas
□ Irama pernafasan teratur buatan (NPA, OPA, ETT, Ventilator)
□ Kedalaman pernafasan normal □ Lakukan fisioterpi dada jika perlu
□ Tidak ada akumulasi sputum □ Bersihkan secret dengan suction bila diperlukan
□ Batuk berkurang / hilang □ Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
□ Kolaborasi pemberian oksigen
□ Kolaborasi pemberian obat bronkodilator
□ Monitor RR dan status oksigenasi (frekuensi, irama,
kedalaman dan usaha dalam bernapas)
□ Anjurkan pasien untuk batuk efektif
□ Berikan nebulizer jika diperlukan
4 Ketidakefektifan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Oxygen Therapy
pola nafas
selama …. X ….. jam, diharapkan pola nafas □ Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
pasien teratur dengan kriteria hasil : □ Pertahankan jalan nafas yang paten
Respiratory status : Ventilation □ Siapkan peralatan oksigenasi
□ Respirasi dalam batas normal (dewasa: 16 – □ Monitor aliran oksigen
20 x/menit) □ Monitor respirasi dan status O2
□ Irama pernafasan teratur □ Pertahankan posisi pasien
□ Kedalaman pernafasan normal □ Monitor volume aliran oksigen dan jenis canul yang

18

□ Suara perkusi dada normal (sonor) digunakan.


□ Retraksi otot dada tidak ada □ Monitor keefektifan terapi oksigen yang telah diberikan
□ Tidak terdapat orthopnea □ Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
□ Taktil fremitus normal antara dada kiri dan □ Monitor tingkat kecemasan pasien yang kemungkinan
dada kanan diberikan terapi O2
□ Ekspansi dada simetris
□ Tidak terdapat akumulasi sputum
□ Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas

5 Penurunan curah Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Cardiac Care


jantung …..x…. jam, diharapkan tidak terjadi □ Evaluasi adanya nyeri dada (Intesitas, lokasi, rambatan, durasi,
penurunan curah jantung dengan kriteria hasil: serta faktor yang menimbulkan dan meringankan gejala)
Cardiac Pump Effectiveness □ Monitor EKG untuk perubahan ST, jika diperlukan
□ Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam □ Lakukan penilaian komprehenif untuk sirkulasi perifer (Cek
batas normal nadi perifer, edema,CRT, serta warna dan temperatur
□ Heart rate dalam batas normal ekstremitas) secara rutin

□ Peningkatan fraksi ejeksi □ Monitor tanda-tanda vital secara teratur


□ Peningkatan nadi perifer □ Monitor status kardiovaskuler
□ Tekanan vena sentral (Central venous □ Catat tanda dan gejala dari penurunan curah jantung
pressure) dalam batas normal □ Monitor status repirasi sebagai gejala dari gagal jantung
□ Gejala angina berkurang □ Monitor abdomen sebagai indikasi penurunan perfusi.
□ Edema perifer berkurang □ Monitor nilai laboratorium terkait (elektrolit)

19
□ Gejala nausea berkurang □ Sediakan terapi antiaritmia berdasarkan pada kebijaksanaan
□ Tidak mengeluh dispnea saat istirahat unit (Contoh medikasi antiaritmia, cardioverion,
□ Tidak terjadi sianosis defibrilator), jika diperlukan
□ Monitor dispnea, keletihan, takipnea, ortopnea.

Cardiac Care : Acute


□ Monitor kecepatan pompa dan ritme jantung
□ Auskultasi bunyi jantung
□ Auskultasi paru – paru untuk crackles atau suara nafas
tambahan lainnya

□ Monitor faktor-faktor yang mempengaruhi aliran oksigen


(PaO2, nilai Hb, dan curah jantung), jika diperlukan.
6 Hipotermia Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
Control temperature
.... x ....jam, diharapkan suhu tubuh pasien
□ Monitor suhu dan tanda – tanda vital lainnya paling tidak
kembali normal dengan kriteria hasil : setiap 2 jam, sesuai kebutuhan
Termoregulation
□ Monitor warna kulit
□ Tidak menggigil
□ Sesuaikan suhu lingkungan untuk kebutuhan pasien
□ Melaporkan kenyamanan suhu
□ Berikan medikasi yang tepat untuk mencegah atau mengontrol
□ Tidak terjadi penurunan suhu kulit
menggigil
□ Suhu tubuh normal (36.5oC – 37.5oC)
□ Selimuti pasien untuk mencegah kehilangan suhu tubuh
□ Capilary repil time (CRT) < 3 detik
Palangkaraya,3 Februari 2023
Ners Muda

Agnes Wahyuningtiyas

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

Diah Retno Wulan,Ns.M.Kep Ati Sidabutar,S.Kep.Ns

Anda mungkin juga menyukai