Oleh :
ELY SUSILAWATI
NPM. 2214901210109
Selain itu, kondisi umum dan faktor resiko pada kejadian korban
tenggelam antara lain :
a.
Pria lebih beresiko untuk mengalami kejadian tenggelam
terutama dengan usia 18-24 tahun
b.
Kurang pengawasan terhadap anak terutama yang berusia 5 tahun
ke bawah
c.
Tidak memakai pelampung ketika menjadi penumpang angkutan air
d.
Kondisi air melebihi kemampuan perenang, arus kuat dan air yang
sangat dalam.
e.
Ditenggelamkan dengan paksa oleh orang lain dengan tujuan
membunuh, kekerasan atau permainan di luar batas.
Stone, CK., Humphries, R., 2004 menyebutkan bahwa adanya buih / busa
berwarna merah muda pada mulut atau hidung mengindikasikan sudah
terjadi edema pulmo pada korban tenggelam.
B. Klasifikasi Tenggelam
1. Berdasarkan Kondisi Kejadian
a. Tenggelam
b. Hampir Tenggelam
a. Typical Drawning
1) Dry Drowning
2) Immersion Syndrom
4) Delayed Dead
C. Patofisiologi
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu
tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam
menyebabkan adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan
henti nafas (apnea) volunter dan laringospasme. Hipoksemia dan asidosis
yang persisten dapat menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung
dan kerusaka sistenm saraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan
paru yang kering, namun karena aspiksia membuat relaksi otot polos, air
dapat masuk ke dalam paru dan menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air
tawar dan air laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami
hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar
akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan hipervolemia
intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis intravaskular.
Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan
vagotonia, vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus
membran alveolus dan menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat
kerja surfaktan. Selain itu, air segar dan hipoksemi dapat menyebabkan
lisis eritrosit dan hiperkalemia.
Sedangkan, air garam dapat menghilangkan surfaktan, dan
menghasilkan cairan eksudat yang kaya protein di alveolus, intertitial paru,
dan membran basal alveolar sehingga menjadi keras dan sulit
mengembang. Air garam juga dapat menyebabkan penurunan volume darah
dan peningkatan konsentasi elektrolit serum.
Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan
merupakan faktor yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup
korban tenggelam. Karena itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat
dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat survival korban.
D. Pathway Tenggelam
7
Wet drowning
Dry drowning
Tubuh pasien basah akibat Jalan napas korban terbenam Penyakit, ketakutan
tenggelam
Reflek Vagal
Air tertelan banyak O2 turun dan CO2 tidak bisa keluar
Ketidakefektifan Pola
Napas
Obstruksi laring Hiperkapnia, hipoksemia, asidosis
Risiko Ketidakefektifan
Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak
Bersihan Jalan Napas
Air lebih hipotonis dari pada plasma darah Air teraspirasi dalam alveoli
8
D. Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan
monitoring saturasi oksigen. Radiografi dada mungkin menunjukkan
perubahan akut, seperti infiltrasi alveolar bilateral. Selain itu, pemeriksaan
sistem saraf pusat, EKG, dan analisis gas darah juga diperlukan (Elzouki,
2012). Berikut pemeriksaan diagnostic lainnya yaitu:
1. Laboratorium
4. Liver enzymes
7. Urinalisis
b. Menghangatkan kembali
Untuk mencegah kehilangan panas tubuh, pakaian yang
basah sebaiknya dilepaskan sebelum pasien dibungkus dengan
selimut tebal. Minuman hangat tidak dapat membantu dan
sebaiknya dihindari. Menggigil merupakan tanda prognostik yang
baik.
3. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka
upayakan untuk memberikan nafas awal secepat mungkin dan berikan
bantuan nafas sepanjang perjalanan
5. Sampai di darat atau perahu lakukan penilaian dini dan RJP bila perlu
6. Berikan oksigen bila ada sesuai protokol.
4. Cardiak arrest
5. Anoksia
6. Shock
7. Myoglubinuria
8. Insufisiensi ginjal
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian Primer
1) A : Airway (Jalan Nafas)
Kaji adanya sumbatan jalan nafas total ataupun
sebagian dan gangguan servikal, distress pernafasan,
atau ada tidaknya secret.
2) B : Breathing (Pola Nafas)
Kaji ada tidaknya pernafasan, adekuatnya pernafasan,
frekuensi nafas, pergerakan dinding dada, dan suara
pernafasan.
3) C : Circulation
Kaji ada tidaknya denyut nadi, CRT, kemungkinan syok,
adanya perdarahan eksternal, kekuatan dan kecepatan
nadi, warna dan kelembaban kulit, tanda
– tanda perdarahan eksternal, serta tanda – tanda jejas
atau trauma.
4) D : Disability
Kaji kondisi neuromuscular pasien, tingkat kesadaran
(GCS), keadaan ekstremitas, kemampuan motorik dan
sensorik.
5) E : Exposure
Kaji suhu tubuh pasien serta ada tidaknya jejas ataupun
trauma
b. Pengkajian Sekunder
1) Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor
register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama
3) Riwayat kejadian
4) Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik head to toe dengan
menggunakan teknik IAPP
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
□ PaO2 dalam batas normal (80-100 mmHg) □ Monitor hemodinamika status (CVP & MAP)
□ PaCO2 dalam batas normal (35-45 mmHg) □ Monitor kadar pH, PaO2, PaCO2, dan HCO3 darah melalui
□ SaO2 normal (95-100%) □ Catat adanya asidosis/alkalosis yang terjadi akibat kompensasi
□ Tidak ada sianosis metabolisme, respirasi atau keduanya atau tidak adanya
17
nafas bersih dengan kriteria hasil : thrust bila perlu
Respiratory status : Airway Patency □ Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
□ Respirasi dalam batas normal □ Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas
□ Irama pernafasan teratur buatan (NPA, OPA, ETT, Ventilator)
□ Kedalaman pernafasan normal □ Lakukan fisioterpi dada jika perlu
□ Tidak ada akumulasi sputum □ Bersihkan secret dengan suction bila diperlukan
□ Batuk berkurang / hilang □ Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
□ Kolaborasi pemberian oksigen
□ Kolaborasi pemberian obat bronkodilator
□ Monitor RR dan status oksigenasi (frekuensi, irama,
kedalaman dan usaha dalam bernapas)
□ Anjurkan pasien untuk batuk efektif
□ Berikan nebulizer jika diperlukan
4 Ketidakefektifan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Oxygen Therapy
pola nafas
selama …. X ….. jam, diharapkan pola nafas □ Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
pasien teratur dengan kriteria hasil : □ Pertahankan jalan nafas yang paten
Respiratory status : Ventilation □ Siapkan peralatan oksigenasi
□ Respirasi dalam batas normal (dewasa: 16 – □ Monitor aliran oksigen
20 x/menit) □ Monitor respirasi dan status O2
□ Irama pernafasan teratur □ Pertahankan posisi pasien
□ Kedalaman pernafasan normal □ Monitor volume aliran oksigen dan jenis canul yang
18
19
□ Gejala nausea berkurang □ Sediakan terapi antiaritmia berdasarkan pada kebijaksanaan
□ Tidak mengeluh dispnea saat istirahat unit (Contoh medikasi antiaritmia, cardioverion,
□ Tidak terjadi sianosis defibrilator), jika diperlukan
□ Monitor dispnea, keletihan, takipnea, ortopnea.
Agnes Wahyuningtiyas