Anda di halaman 1dari 20

GIZI PADA BAYI DAN ANAK-ANAK

Dosen Pengampu:Annisa Hayati,S.Kep.,Ners.,M.Kep

Di Susun Oleh Kelompok 3:

INTAN ROSMALINA MASYWIR


ADINDA RABBIYATUNNISA
MILA FAUZIA PATIMAH
ANANDA RAIHAN MAULIDIA
NADYA
ELZA APRILIANA
NENG NURUL HIKMAWATI
ENJILITA MERTHA BERLINCA
RENI TANIA SARI
DEA ZAHRA NABILA
RESSA NURCAHYANI
FAHDA REZANA
REZKI DEINI PEBRI OSAKA
FARAH MEIDA MULYAWATI
RISMAYANTI
SALSABELA MAYANG AZAHRA
NURUL AFNI DINDA JULYANTI
SICILIA NINGRUM
NUR AZIZAH AZHAR
FIRNI FAUZIAH

AKADEMI KEBIDANAN BAKTI INDONESIA BOGOR


Jl. Benteng No. 32, Kec. Ciampea, Bogor, Jawa Barat (16620)
2022-2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dengan izin-Nya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ”GIZI PADA BAYI DAN ANAK-ANAK”.
Makalah ini disusun dengan acuan mata kuliah Gizi Pada Bayi dan Anak-
Anak sebagai pelengkap acuan pembelajaran. Penulis juga menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini. Harapan kami,makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Bogor, 31 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
1.3 Manfaat .................................................................................................................. 2
BAB II TEORITIS ..................................................................................................... 3
2.1 Teoritis Gizi Pada Balita dan Anak-anak ................................................................ 3
2.2 Penilaian Kualitas atau faktor dan Kuantitas Konsumsi Gizi .................................. 3
2.3 Mitos atau Fakta Masalah Kesehatan pada Balita dan Anak-anak…………....6
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................... 8
3.1 Pembahasan Jurnal ................................................................................................. 8
3.2 Metode Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ...................................................... 9
BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 15
4.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 15
4.2 Saran .................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Untuk meningkatkan kualitas hidup, setiap orang membutuhkan zat gizi
(karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) dalam jumlah yang cukup
(seimbang). Kejadian ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan terjadi
akibat kurangnya konsumsi makanan yang beranekaragam. Dengan mengonsumsi
makanan yang beranekaragam dalam kehidupan sehari-hari, maka kekurangan zat
gizi pada jenis makanan akan dilengkapi dengan keunggulan zat gizi yang lain,
sehingga akan diperoleh masukan zat gizi yang seimbang.
Munculnya masalah gizi pada anakanak balita dipengaruhi oleh banyak
faktor yang saling terkait. Secara langsung dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu
anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita, anak tidak
mendapatkan asuhan gizi yang memadai dan anak menderita penyakit infeksi.
Kemiskinan juga merupakan salah satu penyebab munculnya kasus gizi buruk
terkait ketersediaan dan konsumsi pangan keluarga (Depkes RI, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian Gizi?
1.2.3 Penilaian Kualitas atau faktor dan Kuantitas Konsumsi Gizi
1.2.4 Mitos-mitos apa saja Gizi pada Balita dan Anak-anak?
1.2.5 Fakta apa saja pada Gizi Balita dan Anak-anak?
1.2.6 Permasalahan apa saja tentang pada Balita dan Anak-anak di
Indonesia yang masih terjadi?
1.2.7 Jurnal mengenai Gizi Pada Balita dan Anak-anak

1.3 Manfaat
1.3.1 Untuk memberikan informasi tentang Gizi pada pembaca
1.3.2 Untuk memberikan Informasi Mitos dan Fakta apa saja Gizi pada
Balita dan Anak-anak

1
1.3.3 Untuk memberikan apa saja makanan yang baik untuk Balita dan
Anak-anak
1.3.4 Memberikan informasi kepada pemabaca kekurangan gizi pada Balita
dan Anak-anak bisa di tangani
1.3.5 Memberikan informasi pencegahan kelainan-kelainan pada Balita dan
Anak-anak akibat kekurangan gizi

2
BAB II
TEORITIS

2.1 Teoritis Gizi Pada Balita dan Anak-anak


Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari
pembangunan nasional. Tujuan pembangunan bagian kesehatan adalah
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes RI, 2011).
Menurut Notoatmodjo (2003), masalah gizi masyarakat bukan menyangkut
aspek kesehatan saja, melainkan aspek-aspek terkait yang lain, seperti ekonomi,
sosial budaya, pendidikan, kependudukan, dan sebagainya. Oleh sebab itu,
penanganan atau perbaikan gizi sebagai upaya terapi tidak hanya di arahkan
kepada gangguan gizi atau kesehatan saja, melainkan juga kearah bidang-bidang
yang lain. Kurang gizi akan berdampak pada penurunan kualitas sumber daya
manusia yang lebih lanjut dapat berakibat pada kegagalan pertumbuhan fisik
,perkembangan mental, dan kecerdasan, menurunnya produktivitas, meningkatnya
kesakitan serta kematian. Visi pembangunan gizi adalah “mewujudkan keluarga
sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat / keluarga yang optimal”
(Adisasmito, 2007).
Perawatan atau pola pengasuhan ibu terhadap anak yang baik merupakan hal
yang sangat penting, karena akan mempengaruhi proses tumbuh kembang balita.
Pola pengasuhan ibu terhadap anak nya berkaitan erat dengan keadaan ibu
terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan tentang
pengasuhan anak (WHO, 2007).

2.2 Penilaian Kualitas atau faktor dan Kuantitas Konsumsi Gizi


Tingkat konsumsi pangan suatu individu atau rumah tangga ditentukan oleh
kualitas serta kuantitas hidangan makanan yang disajikan. Kuantitas hidangan
menunjukkan terpenuhinya asupan zat-zat gizi yang berasal dari pangan yang
diperlukan oleh tubuh, sedangkan kuantitas menunjukkan jumlah masing-masing
zat gizi terhadap kebutuhan zat gizi tersebut dalam tubuh. Apabila pangan yang
dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan zat-zat gizi dalam tubuh, baik dari

3
kualitas maupun kuantitasnya, tubuh akan memaksimalkan penggunaan zat-zat
gizi untuk fungsi metabolisme serta untuk memperoleh kondisi kesehatan gizi
yang sebaik-baiknya. Sebaliknya, apabila konsumsi pangan yang berlebih atau
kurang, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas maka dapat memicu terjadinya
masalah gizi yaitu masalah gizi lebih ataupun masalah gizi kurang (Sediaoetama,
2008). Kualitas konsumsi pangan merupakan jumlah jenis pangan yang
dikonsumsi yang dapat memenuhi zat gizi mikro maupun makro yang dibutuhkan
oleh tubuh (Moursi et al.2008).
Dalam pedoman umum gizi seimbang terdapat 13 pesan yang perlu
diperhatikan yaitu :
1) Makanlah aneka ragam makanan,
2) Makanlah makanan yang memenuhi kebutuhan energi,
3) Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan
energi
4) Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari
kecukupan energi,
5) Gunakan garam beryodium, M
6) Makanlah makanan sumber zat besi
7) Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur 4 bulan dan tambahkan
MP-ASI sesudahnya
8) Biasakan makan pagi
9) Minumlah air bersih dan aman yang cukup jumlahnya
10) Lakukan aktifitas fisik secara teratur
11) Hindari minuman yang beralkohol
12) Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan
13) Bacalah label pada makanan yang dikemas
Porsi makan balita di dasarkan pada “Isi Piringku”,isi piringku merupakan
panduan makan sehat yang dapat menjadi acuan sajian sekali makan. Isi piringku
digunakan untuk mendorong masyarakat menyajikan makanan dengan gizi yang
seimbang dengan cara yang mudah dikenali dan dipahami.
Aturan pembagian dalam isi piringku menggambarkan porsi makan yang
dikonsumsi dalam satu kali makan yang terdiri dari 50% makanan pokok sebagai

4
sumber karbohidrat dan lauk-pauk sebagai sumber protein. Dari separuh isi piring
tersebut dibagi menjadi 2/3 bagian terdiri dari makanan pokok dan 1/3 sisanya
adalah lauk-pauk. Sedangkan 50% lagi sebagai sumber serat pangan, vitamin, dan
mineral yang terdiri dari sayuran dan buah-buahan, pembagiannya 2/3 sayuran
dan 1/3 buah-buahan.
Menurut Profesor dan Ahli Gizi IPB Dodik Iriawan, untuk balita usia 2-3
tahun dianjurkan makan karbohidrat sebanyak tiga porsi, sayuran 19 1,5 porsi,
buah tiga porsi, lauk nabati satu porsi, lauk hewani satu porsi, susu satu gelas, dan
satu sendok teh minyak, serta satu sendok makan gula. Sedangkan usia 3-5 tahun,
dianjurkan untuk mengonsumsi karbohidrat sebanyak empat porsi, sayuran dua
porsi, buah tiga porsi, lauk nabati dan lauk hewani masing-masing dua porsi, susu
satu porsi, dan minyak empat sendok teh serta gula sebanyak dua sendok makan.
Untuk meningkatkan kualitas hidup, setiap orang membutuhkan zat gizi
(karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) dalam jumlah yang cukup
(seimbang). Kejadian ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan terjadi
akibat kurangnya konsumsi makanan yang beranekaragam. Dengan mengonsumsi
makanan yang beranekaragam dalam kehidupan sehari-hari, maka kekurangan zat
gizi pada jenis makanan akan dilengkapi dengan keunggulan zat gizi yang lain,
sehingga akan diperoleh masukan zat gizi yang seimbang.
Kandungan gizi dan keragaman pada konsumsi balita dapat mencerminkan
kualitas dan kuantitas menu yang dikonsumsi. Konsumsi makan balita yang
berkualitas dapat dilihat dari jenis atau keberagaman makanan yang
dikonsumsinya, sedangkan berdasarkan asupan konsumsi balita dalam sehari
terutama energi dan protein.

Menurut Syafrudin (2010).Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan


antara lain :
1. Faktor lingkungan Faktor lingkungan sosial yaitu interaksi masyarakat,
adat istiadat,pendidikan dan tingkat ekonomi.
2. Faktor perilaku Faktor budaya setempat dan pengetahuan sendiri serta
sistem nilai sangat berpengaruh terhadap keputusan yang diambil oleh
pasien dan keluarga.

5
3. Faktor pelayanan kesehatan Faktor tingkat pelayanan kesehatan
merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi kesehatan masyarakat.
4. Faktor keturunan Faktor keturunan merupakan faktor yang telah ada dalam
diri manusia yang dibawa sejak lahir.

2.3 Mitos atau Fakta Masalah Kesehatan pada Balita dan Anak-anak
Kebudayaan dan masyarakat merupakan dua sisi yang tidak dapat
dipisahkan, karena kebudayaan berhubungan dengan budi atau akal. Kebudayaan
adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
keilmuan, sosial, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain untuk keperluan
masyarakat. Sehingga karena budaya yang masih tetap mereka pegang akibatnya
banyak atau tingginya angka permasalahan gizi. Mitos-mitos dan Fakta tentang
gizi pada balita dan anak-anak yang masih banyak beredar di masyarakat
Indionesia diantaranya:

1. Anak perlu mendapatkan nutrisi tambahan

Fakta: Sesungguhnya Si Kecil tidak memerlukan nutrisi tambahan dalam


bentuk vitamin atau suplemen selama kebutuhan gizinya terpenuhi dalam
bentuk makronutrien (karbohidrat, lemak, dan protein) maupun
mikronutrien. Namun apabila makanannya dirasa belum mencukupi
kebutuhan gizi anak, maka sebaiknya berkonsultasi dengan dokter terlebih
dahulu sebelum memberikan ia suplemen tambahan.

2. Gula memicu sugar rush

Fakta: Tidak benar anak akan kelebihan energi apabila Moms


memberikan makanan manis atau mengandung gula kepadanya. Anggapan
bahwa gula bisa menimbulkan sugar rush muncul pada 1970-an saat
seorang dokter melakukan sebuah penelitian. Dokter tersebut meniadakan
gula dalam menu diet seorang anak. Nah, menurut orang tuanya, perilaku
anak tersebut membaik setelah tidak mendapatkan asupan gula. Akan

6
tetapi penelitian itu hanya dilakukan pada satu orang anak saja dan
hasilnya tidak mewakili efek terhadap anak pada umumnya.

3. Ayam untuk MPASI harus ayam kampung

Mitos: Bisa menggunakan jenis ayam apa saja, bukan hanya ayam
kampung, sebagai bahan baku membuat menu MPASI bagi Si Kecil.

4. Anak tidak boleh mengonsumsi makanan yang digoreng

Fakta: Boleh saja. Makanan yang digoreng mengandung lemak tinggi dan
lemak tinggi inilah yang sangat dibutuhkan bagi perkembangan otak anak.
Bukan hanya makanan yang digoreng, Si Kecil juga boleh mengonsumsi
makanan mengandung santan.

5. Makanan yang teksturnya tidak sesuai dengan usia akan berdampak


pada bayi

Fakta: Hal itu benar sekali. Pertama karena hal itu akan berpengaruh
terhadap densitas atau kandungan gizinya. Satu mangkuk bubur dengan
satu mangkuk nasi tentu berbeda kandungan gizinya. Jika tekstur makanan
Si Kecil tidak naik level, tentu kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi.

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan Jurnal


Stunting adalah masalah gizi utama yang masih banyak terjadi di Indonesia.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi
nasional anak balita pendek (stunted) dan anak balita sangat pendek (severe
stunted) berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah 37.2%
(terdiri dari 18.0% sangat pendek dan 19.2% pendek). Hasil ini memperlihatkan
bahwa lebih dari sepertiga anak balita Indonesia adalah stunting. Sementara
prevalensi anak balita stunted di Jawa Barat tahun 2010 sebesar 33.6%.
Stunting sangat berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
karena sangat berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan kemampuan
anak. Penelitian Hizni et al. (2009) menemukan bahwa stunting pada anak balita
berhubungan signifikan dengan perkembangan kemampuan berbahasa. Walker et
al. (2005) menyatakan stunting dapat menyebabkan gangguan perkembangan
kognitif. Hal ini juga dibuktikan dalam penelitian Solihin et al. (2013) di Bogor
bahwa secara signifikan penurunan skor tes kognitif berhubungan dengan status
gizi (TB/U) balita.
Berbagai faktor dapat memengaruhi terjadinya stunting. Status gizi
orangtua, terutama status gizi ibu sangat berkaitan dengan kejadian anak pendek.
Penelitian Zottarelli et al. (2007) di Mesir menunjukkan bahwa tinggi badan ibu.
Ditinjau dari masalah kesehatan dan gizi, balita adalah periode emas dalam
kehidupan anak yang dicirikan oleh pertumbuhan dan perkembangan berlangsung
pesat serta rentan terhadap kekurangan gizi. Berdasarkan penelitian Ramli et al.
(2009) yang dilakukan di Provinsi Maluku, prevalensi stunting anak usia 12—59
bulan adalah 38.4% sedangkan untuk anak usia 6—11 bulan prevalensi stunting
adalah 29%. Anak usia balita membutuhkan asupan gizi per kilogram berat badan
relatif lebih banyak dan memadai dibandingkan usia lain guna mendukung
optimalnya pertumbuhan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis hubungan tinggi badan ibu, asupan gizi, dan status
gizi anak balita.

8
3.2 Metode Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian payung yang
berjudul “Masalah dan Solusi Stunting Akibat Kurang Gizi Kronis di Wilayah
Perdesaan”. Penelitian payung tersebut dilakukan oleh tim peneliti yaitu Faisal
Anwar, Ali Khomsan, Anna Vipta Resti Mauludyani dan Karina Rahmadia
Ekawidyani. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study.
Lokasi penelitian di Desa Batulawang, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur.
Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara purposive atas pertimbangan memiliki
prevalensi kurang gizi kronis yang tinggi. Penelitian dilaksanakan bulan
Desember 2013—Febuari 2014.

Jumlah dan Cara Penarikan Subjek


Populasi adalah seluruh anak usia dibawah lima tahun (balita) di wilayah
Kabupaten Cianjur, responden penelitian yaitu ibu dari anak balita yang menjadi
subjek. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan atas
pertimbangan memiliki prevalensi kurang gizi kronis yang tinggi diantara
kecamatan yang lain. Lima posyandu di Desa Batulawang dipilih secara purposive
berdasarkan kepemilikan kelengkapan data yang paling baik. Pada masing-masing
posyandu diambil secara random, sehingga jumlah subjek minimal yang diperoleh
adalah 90 anak, terdiri dari 47 anak stunting dan 43 anak normal. Anak balita
yang dipilih menjadi subjek adalah anak yang termasuk ke dalam kriteria inklusi.
Kriteria inklusi subjek yang digunakan adalah anak usia balita (6—59 bulan),
tinggal bersama ibu kandung, tinggal di dalam area penelitian, tercatat di
posyandu, serta ibu bersedia dijadikan responden.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Variabel-variabel yang diteliti meliputi sosial ekonomi keluarga
(pendapatan per kapita dan besar keluarga), karakteristik anak balita (usia, jenis
kelamin, dan tinggi badan), karakteristik ibu (tinggi badan, pendidikan, pekerjaan
dan pengetahuan gizi) dan asupan gizi (asupan energi dan protein) anak.
Pengumpulan data tersebut dilakukan melalui wawancara menggunakan
kuesioner, pengukuran antropometri dan food recall 1x24 jam. Penggunaan food

9
recall 24 jam selama satu hari berdasarkan atas pertimbangan pelaksanaan
penelitian yang dilakukan di wilayah perdesaan sehingga keragaman pangan yang
dikonsumsi masyarakat cenderung sama setiap hari.

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Anak Balita Subjek penelitian ini berumur 6—59 bulan.
Secara keseluruhan, proporsi umur anak tersebar hampir merata dengan terbanyak
pada umur 48—59 bulan (22.2%). Tabel 1 menunjukkan anak stunting lebih
banyak berumur 48—59 bulan (29.8%) sedangkan anak normal lebih banyak
berumur 6—11 bulan (37.2%). Hal ini mengindikasikan bertambahnya umur
anak, maka akan semakin jauh dari pertumbuhan linier normal. Kondisi ini diduga
disebabkan oleh semakin tinggi usia anak maka kebutuhan energi dan zat gizi juga
semakin meningkat. Pertumbuhan anak semakin menyimpang dari normal dengan
bertambahnya umur jika penyediaan makanan (kuantitas maupun kualitas) tidak
memadai. Penelitian Zottarelli et al. (2007) di Mesir melaporkan bahwa anak
stunting lebih banyak pada umur ≥12 bulan dibandingkan <12 bulan. Ramli al et

(2009).

10
Proporsi laki-laki dan perempuan secara keseluruhan tidak jauh berbeda,
dengan lebih dari separuh anak (51.1%) adalah perempuan. Anak stunting lebih
banyak berjenis kelamin laki-laki (55.3%). Sebaliknya anak normal lebih banyak
adalah perempuan (58.1%) (Tabel 1). Beberapa penelitian seperti Teshome et al.
(2009) dan Malla & Shrestha (2004) menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih
mudah mengalami malnutrisi dibandingkan anak perempuan. Kondisi ini dapat
terjadi karena adanya perbedaan praktik makan yang diberikan oleh orangtua.

Karakteristik Ibu
Sebagian besar ibu anak (67.8%) tergolong pendek. Anak stunting (74.5%)
lebih banyak memiliki ibu yang pendek daripada anak normal (60.5%) (Tabel 2).
Black et al. (2008) menjelaskan status gizi yang buruk dan tinggi badan ibu yang
pendek dapat meningkatkan risiko kegagalan pertumbuhan intrauterine.
Pertumbuhan janin kurang memadai selama dalam kandungan akan berdampak
pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih rendah. Jika dilihat dari
pendidikan ibu, sebagian besar ibu anak secara keseluruhan masih memiliki
tingkat pendidikan formal yang rendah yaitu Sekolah Dasar (SD). Anak stunting
(70.2%) lebih sedikit memiliki ibu yang pendidikan SD daripada anak normal
(79.1%). Penelitian Semba et al. (2008). Melaporkan bahwa tingkat pendidikan
ibu secara signifikan berkaitan dengan status gizi anak. Ibu yang memiliki
pendidikan tinggi akan berdampak pada pola asuh yang diberikan kepada anak.
Peningkatan pendidikan ibu secara signifikan berkaitan dengan penurunan
kejadian stunting pada anak balita. Berdasarkan pekerjaan ibu, sebagian besar ibu
anak tidak bekerja (79.0%). Ibu yang bekerja lebih banyak pada anak stunting
(23.4%) dibandingkan anak normal (18.6%). Mamabolo et al. (2005) menyatakan
ibu yang bekerja erat kaitannya dengan pemberian pola asuh anak. Kejadian
stunting anak mengalami peningkatan pada ibu yang bekerja. Ibu yang banyak
bekerja di luar rumah akan semakin sedikit memberikan perhatian kepada anak
dibandingkan ibu rumah tangga atau tidak bekerja.
Berdasarkan rata-rata skor pengetahuan gizi, ibu anak stunting cenderung
lebih baik daripada ibu anak normal. Kondisi ini diduga karena ibu anak stunting
(6.9±2.4 tahun) memiliki rata-rata lama pendidikan relatif lebih tinggi daripada

11
ibu anak normal (6.1±1.8 tahun). Akan tetapi, tingkat pengetahuan gizi yang baik
lebih banyak dimiliki oleh ibu anak normal (39.5%) dibandingkan ibu anak
stunting (38.3%).

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein


Berdasarkan tingkat kecukupan energi, secara keseluruhan sebagian besar
anak (62.2%)

berada pada kondisi defisit berat. Anak normal cenderung memiliki tingkat
kecukupan energi lebih tinggi dibandingkan anak stunting. Tingkat kecukupan
energi yang defisit berat lebih banyak dimiliki oleh anak stunting (63.8%)
daripada anak normal (60.5%) (Tabel 3). Hasil yang sama juga terdapat pada
tingkat kecukupan protein anak yang lebih dari separuh (53.3%) juga tergolong
defisit berat. Namun, anak stunting cenderung memiliki tingkat kecukupan protein
lebih tinggi dibandingkan anak normal. Tingkat kecukupan protein yang defisit
berat lebih banyak terdapat pada anak normal (55.8%) daripada anak stunting
(51.1%). Hal ini diduga karena anak stunting lebih banyak berusia diatas satu
tahun sehingga konsumsi anak lebih banyak dan beragam termasuk pangan
sumber protein, sedangkan anak normal banyak berusia kurang dari 1 tahun
sehingga konsumsi anak cenderung hanya MP-ASI dengan konsumsi pangan
sumber protein lebih rendah (Tabel 3).

Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Status Gizi (TB/U)


Hasil uji korelasi Pearson tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05,
r=0.562) antara tinggi badan ibu dengan status gizi (TB/U) anak. Hal ini

12
kromosom yang membawa sifat pendek kemungkinan besar akan
menurunkan sifat pendek tersebut kepada anaknya. Apabila sifat pendek orangtua
disebabkan masalah gizi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan
diturunkan kepada anaknya. Penelitian ini tidak meneliti faktor-faktor yang
memengaruhi tinggi badan ibu sehingga tidak dapat dibedakan apakah tinggi
badan ibu saat ini merupakan pengaruh genetik atau karena pengaruh patologis
maupun malnutrisi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kusuma dan
Nuryanto (2013) bahwa tinggi badan ibu tidak berhubungan dengan status gizi
anak balita. Namun bertentangan dengan penelitian Solihin et al. (2013), Semba et
al. (2008), dan Zottarelli et al. (2007) yang menyatakan bahwa tinggi badan ibu
berhubungan signifikan dengan status gizi (TB/U) anak balita. Kejadian anak
stunting mengalami peningkatan pada ibu yang memiliki TB <150cm.

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Status Gizi (TB/U)


Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak ada hubungan signifikan
antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi balita (p>0.05; r=-0.123). Hal
ini diduga karena tingkat kecukupan energi yang diperoleh hanya menggambarkan
keadaan konsumsi anak sekarang, sementara status gizi anak sekarang merupakan

13
akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu, sehingga konsumsi hanya pada hari
tertentu tidak langsung memengaruhi status gizinya.
Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Solihin et al. (2013) di
Kabupaten Bogor yang melaporkan bahwa tingkat kecukupan energi balita
berhubungan positif dengan status gizi balita secara signifikan. Makin tinggi
tingkat kecukupan energi, semakin baik status gizi balita. Setiap penambahan satu
persen tingkat kecukupan energi balita, akan menambah z-skor TB/U balita
sebesar 0.032 satuan.

14
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Makanan pada anak harus serasi, selaras, dan seimbang. Artinya sesuai
dengan tingkat tumbuh kembang anak dan nilai gizinya harus sesuai dengan
kebutuhan berdasarkan usia serta beragam jenis bahan makanan. Kualitas makan
anak sangat ditentukan oleh kualitas menu yang disediakan di lingkungan
keluarga. Tingginya kualitas dan kuantitas konsumsi balita juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu, faktor ekonomi orang tua, pendidikan orang tua, dan
kebiasaan makan dari segi jenis dan jumlah porsi makanan yang dihidangkan.
Kandungan gizi dan keragaman pada konsumsi balita dapat mencerminkan
kualitas dan kuantitas menu yang dikonsumsi. Konsumsi makan balita yang
berkualitas dapat dilihat dari jenis atau keberagaman makanan yang
dikonsumsinya, sedangkan berdasarkan asupan konsumsi balita dalam sehari
terutama energi dan protein.

4.2 Saran
Harapan penulis semoga dengan adanya makalah ini pembaca bisa
memahami betapa pentingnya Gizi pada Balita Dan Anak-anak dan bagi pembaca
diharapkan bisa menginformasikan kepada masyarakat lainnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta.
Anindita P. 2012. Hubungan tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
kecukupan protein & zinc dengan stunting
(pendek) pada balita usia 6—35 bulan di
Kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Jurnal kesehatan masyarakat, 1(2), 617—
626.
Depkes RI. Analisis Situasi Gizi Dan Kesehatan Masyarakat. Penyelenggaraan
Perbaikan Gizi Masyarakat. Jakarta ; 2005
Depkes. (2005). Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (BALITA).
Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan
Masyarakat.
Depkes. (2010). Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Penyelenggaraan Perbaikan Gizi
Masyarakat. Jakarta ; 2010.
Hizni A, Julia M, & Gamayanti IL. 2009. Stunted status and its relationship with
development of children underfive in
northern beach area of Kecamatan
Lemahwungkuk Kota Cirebon. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia, 6(3), 131—137.
Khomsan A. Faisal A, Neti H, Nani S, & Oktarina. 2013. Tumbuh Kembang dan
Pola Asuh Anak. IPB Press, Bogor.
Kusuma KE & Nuryanto. 2013. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-
3 tahun (studi di Kecamatan Semarang
Timur). Journal of Nutrition College, 2(4),
523—530.
Lancet, 366, 1804—1807. Zottarelli LK, Sunil TS, & Rajaram S. 2007. Influence
of parenteral and socio economic factors on

16
stunting in children under 5 years in Egypt.
La Revue de Santela de la Mediterranee
Orientale, 13(6), 1330—1342
Lancet, 371, 322—328. Solihin RDM, Anwar F, & Sukandar D. 2013. Kaitan
antara status gizi, perkembangan kognitif,
dan perkembangan motorik pada anak usia
prasekolah. Jurnal Penelitian Gizi dan
Makanan, 36 (1), 62—72. Teshome B, Kogi-
Makau W
Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, & Bloem MW. 2008. Effect of
parental formal education on risk of child
stunting in Indonesia and Bangladesh: a
cross-sectional study.
Suharjo. (2003 ) Peningkatan Gizi. Jakarta: EGC
Supariasa.(2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Vicka. (2014). Hubungan antara Pola Asuh dengan Status Gizi di Wilayah Kerja
Puskesmas Ranata kec Wanea . Skripsi.
Manado: Program studi Ilmu Keperawatan
F. Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado.
Walker SP, Chang SM, Powell CA, & McGregor SM. 2005. Effects of early
childhood psychosocial stimulation and
nutritional supplementation on cognition
and education in growth stunted Jamaican
children: prospective cohort study.

17

Anda mungkin juga menyukai