Anda di halaman 1dari 185

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

MENGACU PADA KERANGKA KUALIFIKASI


NASIONAL INDONESIA (KKNI)

MODUL BLOK SKILLS LAB 2

DISUSUN OLEH
TIM BLOK

EDITOR
dr. Husnul Khatimah, M.Sc

MEDICAL EDUCATION UNIT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat-Nya maka kami dapat
menyelesaikan Modul Skill Lab II ini
Penerbitan Buku Modul Skill Lab II ini bertujuan agar proses pembelajaran khususnya
keterampilan Medis dalam sistem kurikulum berbasis kompetensi dapat berjalan dengan lancar,
baik dalam proses dalam proses, maupun evaluasinya. Buku modul ini diharapkan dapat
memberikan panduan kepada institusi pendidikan, dosen, mahasiswa dan staf administrasi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama tim blok, tim kontributor,
tim MEU dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam
membuat buku ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak Fakultas yang telah
berkontribusi aktif.
Kami menyadari masih banyak yang perlu diperbaiki demi kesempurnaan buku ini. Untuk
itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Banjarmasin, Agustus 2022

Tim Blok Skill Lab II

ii
DAFTAR ISI

Halaman

1. Pendahuluan 1
2. Tujuan Blok 1
3. Praktek Keterampilan 2
4. Sistem Penilaian 2
5. Tata Tertib 3
6. Tim Blok 4
7. Referensi 4

Materi Blok Keterampilan Skill Lab II


1. Keterampilan Pemeriksaan Ginekologi 7
2. Keterampilan Pemeriksaan Ukuran Panggul (Pelvimetri) 27
3. Keterampilan Pemeriksaan Kelenjar Mammae 33
4. Keterampilan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) 40
5. Urinalisis 44
6. Uji Kehamilan 50
7. Keterampilan Pemeriksaan Refleks, Fungsi Motoris dan Fungsi
Sensoris 54
8. Keterampilan Pemeriksaan Saraf Kranial (NI – VI) 68
9. Keterampilan Pemeriksaan Saraf Kranial (NVII – XII) 81
10. Keterampilan Pengambilan Darah Untuk Pemeriksaan
Laboratorium 91
11. Keterampilan Menentukan Golongan Darah ABO Dan RH
Menggunakan Darah Kapiler Atau Darah EDTA 99
12. Keterampilan Anamnesis Pada Gangguan Sistem Endokrin Dan
Metabolisme 104
13. Keterampilan Penyusunan Diet Diabetes Mellitus Dan
Dislipidemia 118
14. Keterampilan Penulisan Resep Rasional 133

iii
BLOK
SKILL LAB 2

1. PENDAHULUAN

Blok Skill Lab 2 akan dilaksanakan pada semester ke 3 tahun ke 2 dengan waktu 11 minggu.
Pada blok ini mahasiswa akan belajar tentang ilmu keterampilan medis dasar terkait dengan sistem
fisiologis. Selama 11 minggu blok ini, mahasiswa diharap memiliki keterampilan teknik-teknik
urinalisis dan uji kehamilan, pemeriksaan ginekologi, pemeriksaan pelvimetri dan sadari,
pemeriksaan system sensoris, motoric dan refleks fisiologis, pemeriksaan saraf cranial N I sampai
XII, Pengambilan darah intravena, pembuatan apusan darah dan penentuan golongan darah, Teknik
anamnesis pada gangguan sistem endokrin dan metabolisme, penyusunan diet untuk pasien diabetes
mellitus dan dislipidemia serta penulisan resep rasional.
Program pembelajaran aktif yang akan dilaksanakan yaitu dengan melakukan
pengembangan dan inovasi pendidikan. Salah satu yang telah disepakati untuk dikembangkan dan
dilaksanakan adalah program Early Clinical Exposure dalam bentuk Skill Lab 2. Program ini
bertujuan untuk memaparkan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan keterampilan klinik baik
medik maupun bedah kepada mahasiswa kedokteran sedini mungkin
.
2. TUJUAN BLOK
Setelah menyelesaikan blok Skill Lab II ini, mahasiswa diharap mampu:
1. Melakukan Pemeriksaan Ginekologis

2. Melakukan Pemeriksaan ukuran pelvis (pelvimetri)

3. Melakukan pemeriksaan payudara (SADARI)

4. Melakukan Urinalisis dan uji kehamilan

5. Melakukan Pemeriksaan Sistem Sensoris, Motorik Dan Refleks Fisiologis

6. Melakukan Pemeriksaan Saraf Cranial (Bagian 1, N. I-VI)

7. Melakukan Pemeriksaan Saraf Cranial (Bagian 2, N. VIII – XII)

8. Melakukan Pengambilan Darah Intravena, Pembuatan Apusan Darah,

Penentuan Golongan Darah

9. Melakukan anamnesis pada gangguan sistem endokrin dan metabolisme

10. Menyusun diet untuk pasien diabetes mellitus dan dislipidemia

11. Melakukan penulisan resep rasional


3. PRAKTEK KETERAMPILAN
Skills lab 2 terdiri atas keterampilan pemeriksaan fisik diagnostik, keterampilan
laboratorium, keterampilan prosedural dan keterampilan terapeutik. Pada blok Skill Lab 2 ini
terdapat 11 topik keterampilan dan pelaksanaannya disesuaikan dengan Blok lain yang sedang
berlangsung. Masing-masing skill dilatihkan sebanyak 2 kali, selama 3x50 menit.
Materi Skill lab II yang diberikan adalah
a. Pemeriksaan Ginekologis
b Pemeriksaan Pemeriksaan Ukuran panggul (pelvimetri)
c. Pemeriksaan Payudara (SADARI)
d. Urinalisis dan uji kehamilan
d. Pemeriksaan Sistem Sensoris, Motorik Dan Refleks Fisiologis
e. Pemeriksaan saraf cranial (bagian I, N I-VI)
f. Pemeriksaan saraf cranial (bagian II, N VII-XII)
g. Pengambilan darah intravena, pembuatan apusan darah, penentuan golongan
darah
h. Anamnesis pada gangguan sistem endokrin dan metabolism
i. Penyusunan diet untuk pasien diabetes mellitus dan dislipidemia
j. Penulisan resep rasional

4. PENILAIAN
a. Formatif
Prasyarat ujian :
▪ Kehadiran di skills lab : 100%
▪ Etika pada skills lab : sufficient (berbasis checklist)
b. Sumatif, terdiri atas :
▪ Pre test = 10 %
▪ Post test = 10%
▪ Nilai Harian : 30%
▪ Ujian OSCE komprehensif = 50% (NBL = 70)
c. Standar Penilaian
Penilaian Acuhan Patokan (PAP)/criterion-reference dengan nilai patokan berdasarkan
aturan institusi.
Skor Nilai Bobot
80-100 A 4
77- <80 A- 3,75
75- <77 B+ 3,5
70-<75 B 3
67 <70 B- 2,75
65- <67 C+ 2,5
60- <65 C 2

2
50- <60 D+ 1,5
40- <50 D 1
00-<40 E 0

d. Remediasi:
Jika nilai mahasiswa berada di bawah NBL Ujian Skill maka:
1. dilakukan 1 kali remedial di minggu remedial pada akhir semester dengan nilai maksimal
yang diperoleh adalah 70.
2. Apabila nilai ujian keterampilan masih berada di bawah nilai lulus (70), nilai yang diperoleh
masih berada di bawah nilai lulus, maka nilai yang diambil adalah nilai yang tertinggi.
3. Apabila setelah remediasi nilai akhir blok masih berada di bawah nilai batas lulus blok, maka
mahasiswa diwajibkan mengulang blok. (minimal B)

4. TATA TERTIB
a. Mahasiswa wajib mengikuti seluruh proses kegiatan skill lab 100%
b. Ketidak hadiran hanya diperkenankan apabila:
1. sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan sakit dari dokter
2. Mendapat musibah/kematian keluarga inti dengan surat keterangan dari orang tua/Wali
3. mendapat tugas dari fakultas/universitas dengan surat keterangan dari Ketua Program
Studi/Pembantu Dekan/Dekan/Rektor
c. Apabila tidak hadir dengan alasan selain seperti point b pada saat skill lab maka akan
mendapat nilai responsi nol (0) dan wajib mengganti jadual.
d. Apabila tidak hadir dengan alasan seperti point (b) pada saat skill lab/ujian wajib mengganti
waktu skill lab/ujian dengan ketentuan administrasi yang telah ditetapkan oleh MEU
e. Bagi mahasiswa yang tidak hadir dengan alasan seperti pada poin b maka wajib segera
melapor ke bagian/lab/MEU pada saat hadir kembali ke kampus dan penggantian jadwal
skill lab harus segera dilaksanakan secepatnya maksimal 3 hari setelah masuk kembali
f. Pada saat ujian mahasiswa harus sudah hadir 30 menit sebelum ujian dilaksanakan sesuai
jadual
g. Bagi mahasiswa yang terlambat hadir pada saat ujian maksimal 10 menit maka tidak akan
diperkenankan ikut ujian
h. Remedial ujian tulis dan skill lab hanya ditujukan bagi mahasiswa yang mendapat nilai di
bawah ketentuan blok dan secara administratif tidak ada pelanggaran (kehadiran, etika)
i. Bagi mahasiswa yang melanggar ketentuan administratif dan etika maka dinyatakan tidak
lulus blok dan wajib mengulang pada tahun-tahun berikutnya.

6. TIM BLOK
Koordinator Blok : dr. Husnul Khatimah, M.Sc

3
Kontributor modul :
- Pemeriksaan ginekologis
o dr. Ferry Armanza, Sp.OG (K)-Onk
- Pemeriksaan ukuran panggul (pelvimetri)
o dr. Ihya Ridlo Nizomy, M.Kes., Sp.OG(K)
o dr. Yopi Meliandi
- Pemeriksaan Payudara (SADARI)
o dr. Lena Rosida, M.Kes
o Dr. dr. Meitria Syahadatina Noor, M.Kes
- Urinalisis dan Uji Kehamilan
o Dr. FX. Hendriyono, Sp.PK
o Dr. Azma Rosida, Sp.PK
o DR. dr. Dewi Indah Noviana P, M.Kes., Sp.PK (K)
- Pemeriksaan Refleks, Fungsi Motoris dan Fungsi Sensoris
o Dr. Fakhrurrazy, M.Kes., Sp.S
- Pemeriksaan Saraf Kranial (nervus I- XII)
o Dr. Fakhrurrazy, M.Kes., Sp.S
- Keterampilan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium dan
menentukan golongan darah ABO dan RH menggunakan darah kapiler atau darah
EDTA
o Dr. FX. Hendriyono, Sp.PK
- Anamnesis pada Gangguan Sistem Endokrin dan Metabolisme
- Penyusunan Diet Diabetes Mellitus dan Dislipidemia
o Prof. Dr.dr. Triawanti, M.Kes
o dr. Hj. Juhairina, M.Kes, Sp.GK
o dr. Husnul Khatimah, M.Sc
- Penulisan Resep Rasional
o Dr. Isnaini, S.Si, M.Si, Apt
o Dr. Joharman, S.Si, M.Si, Apt

7. SUMBER REFERENSI
1. Gardner et al. 1963. Anatomy: A regional study of human structure. 2nd ed.
WB.Saunders, Philadelphia.
2. Williams, PT et al., 1989. Gray’s Anatomy 37th ed. Churchill Livingston, London.
3. Marks DB, Marks AD, Smith CM. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan
Klinis. Alih bahasa: Pendit BU, Suyono J, Sadikin V, Mandera LI, editor. Jakarta: EGC,
2000
4. Mc Gilvery RW, Goldstein GW. Biokimia: Suatu Pendekatan Fungsional, Edisi Ketiga.
Alih bahasa: Sumarno TM (koordinator), Suryohusodo P, editor. Surabaya: Airlangga
University, 1996
4
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology 10th Edition. Philadelphia: WB
Saunders, 2000
6. Fox IS. Human Physiology 6th Edition. Iowa: WB Communication, 1999
7. Despopoulus A, Silbernagi S. Atlas Berwarna dan Teks Fisiologi. Edisi keempat. Alih
bahasa: Handoyo Y. Jakarta: Hipokrates, 2000
8. Taylor, A.N. Sobotta, Atlas of Human Anatomy. English ed. Edisike, 1996.
9. Supariasa, Bakri B, Fajar I. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta 2002:26-86
10. Bickley, Lynn S and Szilagyi, Peter G.. 2003. Bate’s Guide to Physical Examination
and History Taking 8thed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia
11.Gleadle, Jonathan. 2003. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Alih bahasa: Rahmalia,
Annisa, Penerbit Erlangga. Jakarta
12. Graham Douglas, Fiona Nicol, Colin Robertson 2005. Macleod’s Clinical examination
11thed. Churchill. Livingstone.
13. Sidharta, Priguna. 2004. Neurologi klinis dalam praktek umum. Dian Rakyat. Jakarta.
14. Sidharta, Priguna. 1999. Tata pemeriksaan klinis dalam neurologi. Dian Rakyat. Jakarta.
15. Brown, barbara A. (1973) Priciples and procedures, p. 66 – 72, Lea and Febiger,
Philadelphia.
16. Evatt, Bl., Lewis, SM., Lothe, F., and McArthur, JR. (1983) Anemia Fundamental
diagnostic hematology, WHO. P. 74 – 77 Geneve.
17. Dacie, JV., and Lewis, SM. (1985) Practical hematology, 6th .Ed. p. 39 – 41 Churchill
Livingstone, New York.
18. Dacie, J.V. and Lewis, S.M. (1985) Pratical hematology, 6th .ed.p. 339 - 342, 358 –
360, 362 – 365, Churchill Livingstone, New York..
19. Miale, JB. (9172) : Laboratory medicine : hematology, 4th. Ed., p. 1253 – 1256, Mosby
Saint Louis.
20. Anonim, (9169) Blood group and antibodies as applied to the ABO and Rh system.
Ortho-diagnostic System new Jersey.
21. Gandasoebrata, R. (1985) Penuntun laboratorium Klinik, cetakan kelima, hal. 111, P.T.
Dian rakyat, Jakarta.
22. Prijono, A. (1988) : Pemeriksaan Urin Rutin, Workshop Urinalisa, Metodelogi dan
Evaluasi Urinalisa, hal 57 – 68, Laboratorium Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran
UNDIP. RS. Kariadi, Semarang.
23. Ichsan, A. (1988). Workshop Urinalisa : Metodelogi dan Evaluasi Urinalisa Tes
Kehamilan. Hal. 76 – 82. Laboratorium Patologi Klinik, FK UNDIP, RS. DR. Kariadi,
Semarang.
24. Soeprono, Bharoto Winardi, Ketrampilan Pemeriksaan Ginekologik. Modul Skills- Lab.
Semester 8. Laboratorium Ketrampilan Medik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 1997; 21-64.
25. Wiknjosastro, Hanifa, Anatomi Alat Kandungan dalam Ilmu Kebidanan (Eds : Hanifa
W., Abdul Bari Saifuddin, Trijatmo Rochimhadhi). Edisi III.. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1991; 31-44.
26. Wiknjosastro, Hanifa, Anatomi Panggul dan Isinya dalam Ilmu Kandungan (Eds :
Hanifa W., Abdul Bari Saifuddin, Sudraji Sumapraja). Cetakan ke3. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1991; 1-25.
27. Hudono, Suwito Tjondro, Pemeriksaan Ginekologik dalam Ilmu Kandungan (Eds :
Hanifa W., Abdul Bari Saifuddin, Sudraji Sumapraja). Cetakan ke-3. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1991; 93-123.
28. taking and examination, Available from:
http://books.google.co.id/books?id=pFkuOAb2XcUC&pg=PA16&lpg=PA16&dq=how+
to+examine+lymph+abnormality&source=bl&ots=lLzW9xjapC&sig=jAKb7usOpxCwk
aktKJnlF2RTmGg&hl=en&ei=N18gSpS3IoeCkQWWyMmBBQ
&sa=X&oi=book_result&ct=result &resnum=10#PPA15,M1, acsessed on accessed on
May 31, 2009.
29. Joenoes, N.Z.. 1990. Ars Prescribendi=Resep yang Rasional 1 dan 2 . Airlangga
University Press, 1990
5
30. WHO. 1994. Guide to good prescribing. A Practical Manual. World Health Organization
Action Programme on Essential Drugs Geneva

6
KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN GINEKOLOGIS

Ferry Armanza

PENDAHULUAN

Anatomi Alat Reproduksi Wanita


Seluruh alat reproduksi wanita terletak di dalam rongga pelvis. Dinding rongga pelvis
tersusun atas bagian keras (bony-pelvic), yaitu tulang-tulang pelvis, dan bagian lunak yang terdiri
atas artikulatio, ligamentum dan jaringan otot. Secara garis besar, alat reproduksi wanita terdiri dari
2 bagian, yaitu alat reproduksi luar (eksternal) dan alat reproduksi dalam (internal). Alat reproduksi
luar dapat dilihat secara visual dari luar, yaitu vulva, dan alat-alat yang ada di dalamnya, serta
vagina. Uterus, tuba uterina, dan ovarium termasuk organ reproduksi dalam.

Gambar 1. Skema Alat Reproduksi Wanita

Gambar 1. Alat reproduksi wanita


Perineum dan Vulva
Perineum adalah daerah yang merupakan pintu keluar dari rongga panggul, yang sering
diartikan terbatas sebagai tendo korpus perinei atau bulbus perinei. Di sebelah anterior bulbus
perinei didapatkan celah yang dibatasi oleh mons pubis dan kedua labium majus, yang disebut
sebagai vulva. Vulva merupakan muara dari vagina.
Di sebelah medial dari labium majus didapatkan dua buah labium minus, yang bersama
labium majus bersatu di bagian kaudal sebagai komisura anterior yang melindungi bagunan klitoris.
Diantara kedua labium minus membran tipis yang disebut himen.

Vagina
Vagina adalah suatu pipa yang dibatasi jaringan otot yang kuat. Panjang vagina pada bagian
anterior sekitar 7 cm, sedangkan bagian posterior 2 cm lebih panjang. Aksis vagina sejajar dengan
pintu keluar rongga panggul. Saat wanita berbaring kemiringan arah aksis vagina sekitar 30-40
derajat terhadap bidang horizontal. Sudut ini penting dipahami saat melakukan pemeriksaan
ginekologis. Di dalam lumen vagina didapatkan lipatan-lipatan mukosa yang disebut sebagai
kolumna rugarum atau rugae vaginales.
Di daerah serviks uteri, rongga vagina melekuk mengitari serviks uteri membentuk fornix.
Berdasarkan letaknya terhadap serviks uteri, dikenal fornix anterior, fornix posterior dan fornix
laterales. Serviks uteri yang menonjol pada vagina disebut sebagai porsio vaginalis servisis uteri,
atau biasa disebut porio atau porsionis uteri.

7
Gambar 2. Perineum dan Vulva

Uterus
Uterus adalah sebuah bangunan yang sebagian besar terdiri atas jaringan otot, yang terletak di
median rongga pelvis. Saat masa reproduksi, ukuran uterus normal adalah 7,5 x 5 x 2,5 cm 3.
Dinding uterus terdiri atas 3 lapisan yaitu endometrium, miometrium, dan perimetrium.
Endometrium berupa jaringan mukosa dengan banyak kelenjar, tebalnya bervariasi tergantung
siklus menstruasi. Miometrium adalah lapisan yang paling tebal dan terdiri atas jaringan otot.
Perimetrium adalah lapisan serosa, yang hakikatnya adalah peritoneum lanjutan peritoneum yang
melapisi alat viscera rongga abdomen.

8
Gambar 3. Posisi dan Kedudukan Uterus di dalam rongga pelvis

Gambar 4. Bagian Uterus, (A) Dari Anterior, (B) Dari lateral

Posisi uterus bervariasi. Kedudukan uterus jika dibandingkan dengan vagina dapat anteversi,
retroversi, dekstroposisi atau sinistroposisi. Demikian juga kedudukan korpus uteri terhadap serviks
uteri dapat antefleksi, laterofleksi atau retrofleksi. Posisi uterus terbanyak didapatkan pada wanita
Indonesia adalah retrofleksi yang sudutnya antara 45 s/d 90 derajat. Keadaan ekstrim uterus yang
retrofleksi disebut hiperretrofleksi.
9
Gambar 5. Posisi dan Kedudukan Uterus, (A) Anteversio, (B) Retroversio, (C) Letak Tengah,
(D) Anteversio-fleksio, (E) Retroversiofleksio, (F)Hiperretrofleksio

Bagian uterus adalah serviks uteri (leher rahim), isthmus uteri (mulut rahim), dan korpus uteri
(badan rahim). Isthmus uteri pada wanita yang tidak hamil sangat pendek, sehingga kadang
dianggap sebagai bagian serviks uteri. Di korpus uteri di dapatkan 2 buah bangunan seperti tanduk
yang merupakan muara tuba uterina dan disebut kornu urteri. Bangunan berbentuk kubah di antara
kedua kornu tersebut sebagai fundus uteri.
Rongga di dalam uterus disebut sebagai kavum uteri, yang melanjutkan diri ke vagina melalui
kanalis servikalis. Kanalis servikalis berjalan di dalam serviks uteri dan ujung serta muaranya
disebut sebagai orifisium uteri internum dan eksternum.

Tuba Uterina (Fallopii)


Tuba uterina merupakan bangunan berbentuk kanal yang panjangnya lebih kurang 10 cm.
Sebagaimana uterus, dindingnya ada 3 lapis yaitu mukosa (endosalpings), otot (miosalpings) dan
serosa (perisalpings).
Tuba uterina terdiri atas bagian-bagian yaitu :
1. Pars interstitialis (intramural) yang merupakan bagian yang bermuara pada kornu uteri,
2. Isthmus, adalah bagian yang tuba yang menyempit,
3. Ampulla adalah bagian yang melebar, dan
4. Fimbria, atau infundibullum

10
Gambar 6. Bagian-bagian Uterus dan Tuba (tampak satu sisi saja)

Ovarium
Ovarium adalah tempat produksi sel telur (ovum). Ukuran ovarium yang normal bervariasi,
umumnya adalah 3,5 x 2,5 x 1 cm2. Kedukan ovariumu berubah-ubah tergantung posisi tubuh,
perubahan kedudukan usus, dan perubahan bentuk uterus pada saat hamil. Ada 4 kutub ovarium
yaitu kutub atas (superior, tuba), bawah (inferior, uterus), depan (anterior, mesovarium), dan kutub
belakang (posterior, bebas). Bagian luar ovarium disebut korteks dan bagian dalamnya disebut
medulla.

Ligamenta
Meskipun serviks uteri terfiksasi, kedudukan korpus uteri adalah bebas dan berubah-ubah
tergantung pengisian dari vesika urinaria. Bangunan yang menyangga uterus pada posisinya adalah
ligamentum rotundum, ligamentum sakrouterinum (uterosakralis), ligamentum kardinale (servikalis
transversum, Mackenrodt). Semua ligamentum tersebut didapatkan berpasangan secara simetrik
kanan dan kiri. Selain itu masih ada lagi ligamentum yang lebar, yang disebut ligamentum latum,
yang sesungguhnya merupakan 2 lembar lapisan peritoneum yang terlipat, yang menutupi tuba
sampai ligamentum kardinale. Ligamentum latum beserta bangunan-bangunan yang ada di antara
lipatannya disebut sebagai parametrium. Seperti uterus, ovarium dipertahankan pada posisinya oleh
mesovarium (bagian ligamentum latum di antara tuba dan ovarium), ligamentum suspensorium
ovarii (infundibulopelvikum), dan ligamentum ovarii proprium.

11
Gambar 7. Jaringan dan Ligamentum di sekitar Uterus

PROSEDUR PEMERIKSAAN
Anamnesis
Sikap penderita wanita yang datang pada dokter agak berbeda dengan sikap penderita pria,
apalagi jika wanita tersebut datang untuk keluhan ginekologis. Wanita yang mengajukan hal-hal
yang berhubungan dengan alat kelaminnya cenderung menunjukkan gejala-gejala kecemasan,
kegelisahan, kegelisahan, rasa takut, dan rasa malu. Oleh karena itu, dalam menghadapi seorang
penderita ginekologis, terutama saat pemeriksaan pertama kali, dari seorang dokter sangat
diperlukan pengertian (sympathy), kesabaran, dan sikap menimbulkan kepercayaan. Untuk
mengurangi rasa malu penderita, sebaiknya anamnesis dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Saat
dilakukan pemeriksaan, dokter hendaknya didampingi oleh seorang pembantu wanita misalnya
seorang bidan atau perawat. Untuk gadis muda belia dan anak kecil perlu didampingi oleh ibunya
atau keluarga terdekatnya.
Sebagaimana pemeriksaan klinis yang lain, sebelum dilakukan pemeriksaan harus dilakukan
anamnesis. Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan data tentang :
• Keluhan utama penderita datang dan lamanya keluhan tersebut diderita.
• Data tentang siklus menstruasi dan menstruasi terakhir, regularitas dan panjang siklus, lama,
banyaknya, dan bentuk dan sifat darah menstruasi (warna, bau, bergumpal atau tidak dll).
• Riwayat dismenorea
• Usia menarke (menstruasi pertama kali)
• Ada tidaknya perdarahan intermenstrual
• Ada t idaknya pengeluaran discharge; jenis, warna, jumlah, bau dan saat keluarnya.
• Ada tidaknya pruritus atau gatal pada vulva.
• Keluhan di daerah abdomen; pembesaran, lokasi, rasa tidak enak atau rasa sakit/nyeri.
• Riwayat dan lamanya perkawinan.
• Riwayat kehamilan dan persalinan.
• Keluhan yang berhubungan dengan koitus; libido, disparenia dan orgasmus.
• Riwayat pembedahan pada perut atau riwayat pembedahan ginekologis.
• Hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan buang air kecil dan buang air besar.
• Keluhan sistemik atau keluhan yang menyangkut sistem lain.
• Riwayat medik dan genetik dalam keluarga.

12
Pemeriksaan Umum
Seperti pemeriksaan fisik lainnya, maka pengamatan dilakukan sejak pasien masuk ke ruang
periksa. Keadaan umum, sikap dan kesadaran penderita harus diamati dengan cermat. Pemeriksaan
umum dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang tanda vital, keadaan alat-alat vital seperti
jantung dan paru-paru, tanda-tanda yang berhubungan dengan anemia, dan kelainan alat-alat lain
dari kepala sampai ke kaki. Perhatian lebih seksama ditujukan terhadap tanda-tanda yang
berhubungan dengan kelainan ginekologis, dan organ-organ yang mempunyai keterkaitan besar
dengan kelainan-kelainan ginekologis.

Pemeriksaan Abdomen

Pasien diminta berbaring secara santai agar otot-otot perut tidak tegang dan meletakkan
lengannya di sambadan. Seperti pemeriksaan pada umumnya, pemeriksaan pada abdomen dimulai
dengan inspeksi. Permukaan abdomen diamati apakah ada pembesaran atau penonjolan dinding
perut, dan jika ada dicatat bagaimanakah bentuk dan lokasi pembesaran itu. Pada wanita hamil,
dapat dijumpai guratan hiperpigmentasi pada didnding perut yang disebut stria gravidarum, linea
media yang tampak menghitam disebut linea fuska, dan bercak hiperpigmentasi lain di daerah perut.
Setelah melahirkan, stria gravidarum akan menjadi guratan hipopigmentasi berwarna putih
keperakan yang disebut stria albikans. Pada wanita yang tidak gemuk serta berkulit terang, di
daerah umbilikus dapat terlihat bayangan membiru yang disebut tanda Cullen.

Gambar 8. Teknik Inspeksi Dinding Luar Abdomen dari posisi anterior


A. Pembesaran perut ke samping (perut katak) pada asites atau tumor Ovarium dengan
cairan bebas di dalam rongga perut;
13
B. Pembesaran perut pada wanita gemuk dengan dinding perut tebal dan kendor

Gambar 9. Teknik Inspeksi Dinding Luar Abdomen dari posisi lateral (A) dan anterior (B)
Sebelum melakukan palpasi maka sebaiknya keseluruhan telapak tangan pemeriksa diletakkan
di atas permukaan perut, agar pasien tidak terkejut dengan perbedaan temperatur dengan tangan
pemeriksa. Untuk melakukan palpasi abdomen, pemeriksa hars menggunakan sebagian besar
telapak tangannya, dan bukan hanya dengan ujung-ujung jari saja.

Gambar 10. Teknik Palpasi pada daerah Abdomen


Palpasi abdomen diawali dengan memeriksa dinding perut. Adanya rasa sakit di daerah perut
akan memaksa penderita menegangkan otot perut, keadaan ini disebut sebagai defence musculaire,
sehingga dinding perut akan mengeras seperti papan (hard plank). Perhatian ditekankan terhadap
terabanya masa di dalam perut. Nyeri pada palpasi dapat berupa nyeri tekan, nyeri lepas atau nyeri
ketok. Jika teraba suatu tumor atau masa, maka dicari informasi tentang hal berikut :
• Lokasi tumor dan batas-batasnya.
• Besar atau ukuran tumor
• Permukaannya (licin atau berbenjol-benjol
• Konsistensinya (kistik, kenyal atau padat)
• Apakah termasuk tumor panggul atau tidak
• Apakah mudah digerakkan atau terfiksasi dengan alat disekitarnya

14
Pemeriksaan Pelvis
Dalam pengertian yang terbatas pemeriksaan pelvis di klinik sering diartikan dengan
pemeriksaan klinik. Sebelum dilakukan pemeriksaan harus dilakukan pendekatan yang baik
terhadap pasien, agar pasien bisa bekerja sama pada waktu diperiksa.
Pemeriksaan pelvis dikerjakan pada pasien yang berada dalam posisi litotomi. Pasien diminta
meletakkan punggung sepenuhnya secara santai agar dinding perut kendor, dan meletakkan kaki
pada penyangga kaki (foot rest) secara santai agar otot-otot daerah pelvis kendor, sedemikian rupa
sehingga perineum ada tepat di tepi meja periksa. Sebenarnya ada posisi lain pada pemeriksaan
pelvis, selain litotomi namun jarang dilakukan.

Gambar 11. Pemeriksaan Ginekologis dengan Posisi Lithotomi

Pemeriksaan pelvis menggunakan sarung tangan yang telah disterilkan. Cara memakai sarung
tangan harus mengikuti prosedur aseptik, dan sarung tangan yang digunakan hendaknya sesuai
dengan ukuran tangan pemakai.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan pelvis adalah pasien terlebih dahulu harus
melakukan toilet vulva dan vagina. Prosedur antiseptik ini dilakukan dengan kasa atau kapas steril
yang direndam dalam desinfektan yang tidak mengiritasi seperti larutan lysol. Kapas steril tersebut
disapukan pada vulva sampai sekitar perineu dari arah medial ke lateral atau sentral ke perifer.
Penyapuan daerah anus harus dilakukan paling akhir.

TEKNIK PEMERIKSAAN PELVIS (GINEKOLOGIS)


Inspeksi
Pengamatan dilakukan terhadap alat genital bagian luar (eksterna), khususnya daerah vulva,
dimulai dengan pengamatan secara keseluruhan tentang keadaan atau higiene daerah genital secara
umum atau adanya kelaianan yang menyolok. Secara sistematik, hal-hal yang diamati adalah :
• Pertumbuhan dan pola pertumbuhan rambut pada pubes (maskulin atau feminin) dan kelainan
pada folikel rambut pubes.
• Keadaan kulit di daerah vulva (perlukaan, vesikel atau nodul, pruritus, leukoplakia, tumor)
• Keadaan klitoris (apakah ada pembesaran klitoris)
• Keadaan muara urethra (infeksi, karunkula, tumor)
• Keadaan labium majus dan minus (simetrik atau tidak, perlukaan, pembengkakan atau
penonjolan)
• Keadaan perineum (pembengkakan, sikatriks, atau bekas episiotomi, pemendekan karena sisa
persalinan atau adanya tumor) dan komisura posterior (utuh atau sudah ruptur).
• Keadaan introitus vagina

15
• Apakah ada discharge yang mengalir dari liang vagina (jenis atau wujudnya, konsistensinya,
banyaknya, berbau atau tidak)

Inspekulo
Pemeriksaan inspekulo dilakukan dengan spekulum dan hanya dikerjakan apabila pasien
sudah menikah dan sudah melakukan hubungan seksual. Ada berbagai macam spekulum, tetapi
yang sering digunakan di klinik adalah spekulum Graves dan spekulum Sims. Pemeriksaanngan
spekulum Sims akan mendapatkan visualisasi yang lebih baik, tetapi harus dilakukan dengan kedua
tangan. Hanya satu tangan yang diperlukan untuk memegang spekulum Graves dan
mempertahankan pada posisinya, sehingga tangan yang satu bisa bebas melakukan tindakan,
misalnya membersihkanrongga vagina. Penggunaan spekulum Sims pada keadaan tertentu
memerlukan seseorang yang membantu memegang sendok spekulum.
Cara pemasangan spekulum Graves : Labium majus disibakkan ke kanan kiri dengan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Tangan kanan memegang spekulum Graves yang sudah disterilkan
secara miring, sedemikian rupa sehingga daun spekulum pada posisi kiri-kanan. Apabila akan
mengambil sediaan sitologis, maka spekulum tidak perlu dilumuri dengan lubrikan atau dibasahi
dengan desinfektan. Spekulum dimasukkan ke vagina secara halus dan perlahan, dalam kedudukan
kedua daun spekulum tertutup. Perhatikan arah spekulum yang harus sejajar dengan sumbu panjang
vagina. Kira-kira 2/3 daun spekulum masuk ke dalam vagina, pegangan spekulum diputar secara
perlahan-lahan 90 derajat hingga sendok spekulum pada posisi atas bawah, dan secara perlahan-
lahan daun spekulum dibuka. Setelah bisa memvisualisasikan serviks, maka daun spekulum
dimasukkan sepenuhnya ke vagina, sehingga daun spekulum mencapai forniks anterior dan
posterior.

Gambar 12. Bentuk dan Macam Spekulum; A. Spekulum Sims, B. Spekulum Graves.

Cara pemasangan spekulum Sims : Tangan kiri pemeriksa menyibakkan labium majus dengan
cara seperti di atas, dan tangan kanan memegang daun spekulum yang bawah. Daun spekulum yang
bawah dimasukkan ke dalam vagina secara perlahan-lahan dalam posisi miring. Setelah daun
spekulum mencapai 2/3 panjang vagina, daun spekulum diputar 90 derajat ke bawah, dan daun
spekulum dimasukkan sepenuhnya hingga mencapai forniks posterior. Selanjutnya tangan kiri
pemeriksa memegang daun spekulum bawah yang sudah terpasang, sedangkan tangan kanan
memegang daun spekulum atas. Daun spekulum atas dimasukkan ke vagina secara mendatar,
hingga mencapai forniks anterior. Jika akan melakukan tindakan, maka pembantu diminta
memegang daun spekulum atas, dan tangan kiri pemeriksa memegang daun spekulum yang bawah.
Pemasangan spekulum dianggap sudah benar jika serviks uteri bisa terlihat dengan jelas.
Apabila visualisasi serviks uteri dan fornices vagina terhalang oleh akumulasi discharge, maka
vagina dibersihkan dengan larutan desinfektan atau salin. Sebelumnya discharge harus diamati
16
lebih jelas, dan dicatat perihal banyaknya, jenis dan konsistensinya, warna dan berbau atau tidak.
Sesudah berhasil tampak dengan jelas, serviks uteri dinilai dengan cermat warna mukosanya
(hiperemia, anemis, livide), dan adanya kelainan-kelainan seperti erosi, ektropion, laserasi,
sikatriks, granulasi, teleangiektasia, pertumbuhan polips swerta tumor.
Spekulum ditarik dan dilepas dengan perlahan-lahan sambil mengamati dinding vagina.
Keadaan vagina diamati dengan seksama, dan dicatat warnanya, adanya petekie, varises, granulasi,
ulserasi, perlukaan, fistula, penonjolan akibat kendornya dinding vagina seperti kistokel dan
rektokel, dan adanya tumor.

Gambar 13. Pemeriksaan menggunakan Spekulum Sims

Pemeriksaan Bimanual

Pemeriksaan bimanual (vagianl toucher, colok vagina) dikerjakan dengan cara memasukkan
jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan ke vagina, sedangkan telapak tangan kiri berada di daerah
suprapubik. Tangan pemeriksa masuk ke vagina sesuai dengan aksis vagina, dan dikerjakan secara
perlahan-lahan dan sehalus mungkin. Sebelumnya telunjuk dan jari tengah yang akan digunakan
untuk memeriksa dapat diolesi dengan lubrikan atau desinfektan. Posisi tangan kanan dan kiri
pemeriksa ini bisa terbalik tergantung kebiasaan pemeriksa. Tangan yang ada di abdomen
dimanfaatkan sepenuhnya untuk mengarahkan organ mana yang diperiksa. Perabaan dilakukan
mulai dari vagina hingga fornices, serviks uteri, uterus, adneksa atau parametrium, dan keseluruhan
rongga panggul. Sesudah tangan pemeriksa ditarik dari vagina, dilakukan perabaan pada daerah luar
genital (vulva dan sekitarnya). Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematik, untuk itu perabaan
harus urut dan tidak boleh ada yang terlewatkan. Hal-hal yang harus dicatat pada pemeriksaan
bimanual adalah :
• Vagina
o Ada tidaknya kelainan di daerah introitus vagina (kista bartholini), abses Bartholini.
o Ketegangan (kuatnya) dinding vagina.
o Ada tidaknya sistokel atau rektokel
o Permukaan dan keadaan rugae vaginae (ulkus, tumor, fistula)
o Ada tidaknya kelainan kongenital (atresia, stenosis, septum)
o Penonjolan pada fornices atau kavum Douglasi
• Serviks Uteri
o Permukaan (sikatriks, ulkus, tumor)
o Ukuran dan bentuk sevix uteri
17
o Konsistensi (kenyal, lunak, keras, tanda Hegar)
o Kanalis servikalis terbuka atau tertutup
o Mudah digerakkan (mobil) atau sukar digerakkan
o Nyeri pada pergerakan (arah pergerakan, Slinger pain)
o

Gambar 14. Teknik Pemeriksaan Bimanual; (A). Saat Vesika Urinaria kosong,
(B). Saat Vesika Urinaria Penuh

• Uterus
o Bentuk uterus
o Ukuran dan dimensi uterus
o Posisi dan kedudukan uterus (anterversi, retroversi, antefleksi, retrofleksi, sisnistro atau
dextroposisi)
o Konsistensi (kenyal, padat)
o Permukaan uterus (rata, berbenjol-benjol)
o Mobilitas uterus
o Ada tidaknya pertumbuhan tumor (bentuk, ukuran, konsistensi)
o Ada tidaknya kelainan bawaan

Gambar 15. Pemeriksaan Bimanual; (A) Perabaan korpus Uteri dan Porsio,
(B) Perabaan Forniks anterior

• Parametrium
o Struktur adneksa (tuba, ovarium)
o Ruang di parametrium (longgar, memendek)
o Ada tidaknya nyeri pada perabaan
o Teraba masa tumor atau tidak (lokasi, ukuran, permukaan, konsistensi, mobilitas, hubungan
dengan alat sekitarnya)
o Adanya infiltrasi keganasan.

18
Gambar 16. Perabaan Parametrium dan Adnexa Kanan (A) Posisi uterus
ditentukan lebih dahulu, baru kemudian parametrium dan adneksum kanan
diraba, (B) Dilihat dari luar, (C) Kedua jari dalam vagina dengan posisi
sedikit supinasi.

19
Gambar 17. Perabaan Parametrium dan Adneksum Kiri (A) Mula-mula kedua jari dalam vagina
menumpang (dorso-anterior); (B) Dilihat dari luar; (C) Kemudian kedua jari agak
diputar, sehingga menjadi dalam posisi sedikit supinasi.

Gambar 18. Pemeriksaan Parametrium dan dan Adneksum dengan masa/tumor pada
Adneksum/samping uterus;(A) Posisi dan ukuran uterus ditentukan lebih dahulu
sebelum perabaan tumor di samping uterus; (B) Perabaan tumor di samping uterus
Seperti halnya pemeriksaan inspekulo, pemeriksaan bimanual hanya boleh dilakukan pada wanita
yang sudah menikah dan sudah melakukan hubungan seksual. Pada wanita yang belum menikah
atau belum melakukan hubungan seksual, maka pemeriksaan bimanual dilakukan tidak secara
vaginal (Vagina Toucher) melainkan secara rektal (Rectal Toucher).

Pemeriksaan Rektovaginal
Sesudah melakukan pemeriksaan bimanual, sebaiknya juga diikuti dengan pemeriksaan
rektovaginal. Pada pemeriksaan ini, jari tengah pemeriksa harus dilumuri lubrikan secukupnya
(minyak atau gliserin) dan dimasukkan secara hati-hati ke rektum. Pada saat jari tengah belum
sepenuhnya masuk ke rectum, secara hati-hati jari telunjuk dimasukkan ke vagina. Seperti pada
pemeriksaan vaginal, maka tangan penolong yang lain diletakkan di daerah suprapubik. Dengan
20
cara ini pemeriksaan di bagian posterior uterus dapat dilakukan dengan lebih seksama. Saat
melakukan pemeriksaan ini, juga dinilai keadaan muskulus sfingter ani, permukaan mukosa rektum,
dan penonjolan atau masa pada rektum. Sedangkan hal-hal lainnya seperti pada pemeriksaan
bimanual biasa.

Gambar 19. Beberapa Teknik Pemeriksaan Rektovaginal

PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pemeriksaan tambahan yang kadang dilakukan beserta pemeriksaan ginekologis antara lain
adalah :
▪ Pap’s smear (usapan Papanicolau)
▪ Uji Fern (uji daun Pakis) untuk deteksi ovulasi
▪ Uji Schiller untuk keganasan serviks dan vagina
▪ Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologis
▪ Sondase rongga rahim
▪ Perasat Acosta-Scizon
▪ Punksi Cavum Douglas (Kuldosentesis)
▪ Biopsi (vagina, serviks, endometrium)
▪ Kolposkopi
▪ Histeroskopi

PELAKSANAAN TEKNIS LATIHAN PEMERIKSAAN


Persiapan Sarana
1. Pelajari sekali lagi, petunjuk dan prosedur pemeriksaan ginekologis. Ulangilah bagian yang
belum dipahami sehingga seluruh prosedur sudah dipahami.
2. Periksalah apakah alat-alat sudah disiapkan dengan lengkap dan anggaplah sudah disuci-
hamakan.
3. Latihan dilakukan dengan model panggul wanita. Siapkan model yang diperlukan.
4. Pasanglah lampu periksa. Cobalah menghidupkan lampu, dan apakah lampu sudah bisa menyala
dengan baik dan sinarnya cukup terang.
LATIHAN HANYA MELIPUTI PEMERIKSAAN PELVIS SAJA, YANG MERUPAKAN
SEBAGIAN PROSEDUR PEMERIKSAAN GINEKOLOGIS, HARUS DIPAHAMI BAHWA
21
SEOLAH-OLAH PEMERIKSAAN UMUM KESELURUHAN BAGIAN TUBUH SUDAH
DILAKUKAN.

Persiapan Pemeriksaan
1. Tempatkan model panggul, sehingga dapat dianggap sudah sesuai dengan kedudukan wanita
yang berada pada posisi lithotomi.
2. Hidupkan lampu periksa, aturlah agar cahaya menjangkau medan yang akan diperiksa (daerah
vulva). Usahakan agar letak lampu cukup tinggi dan sinarnya menyorot ke bawah sekitar 25
derajat dari bidang datar.
3. Basuhlah tangan dengan air dan sabun atau desinfektan sampai sebatas siku.
4. Ambillah sarung tangan yang nomernya sesuai dengan ukuran tangan pemeriksa. Pasanglah
sarung tangan pada kedua belah tangan satu demi satu (umumnya dengan mendahulukan tangan
yang kanan). Perhatikanlah kaidah-kaidah aseptik pada saat mengambil dan memasang sarung
tangan.
5. Ambillah kapas yang sudah direndam dalam larutan desinfektan dengan klem oval atau klem
Kelly. Lakukanlah toilet vulva dan perineum secara sistematik, dengan prinsip mulai dari sntral
(daerah vagina) ke perifer. Usapan daerah anus harus dilakukan paling akhir. Buanglah kapas
yang sudah selesai digunakan pada tempat yang diseiakan (disposal).

PEMERIKSAAN SECARA INSPEKSI


1. Inspeksi harus dilakukan secara sistematik, agar tidak ada bagian yang terlewatkan, dengan
prinsip dari perifer ke arah sentral (introitus vagina) dan dari atas ke bawah.
2. Pada waktu melakukan inspeksi, jangan dengan sarung tangan yang steril pada medan yang
sedang diperiksa, apalagi memegang daerah yang belum di toilet atau benda-benda yang lain.
3. Amatilah berturut-turut daerah mons, labium majus kanan, labium majus kiri, perineum dan
anus. Perhatikanlah kelainan-kelainan yang ada.
4. Amatilah berturut-turut daerah komisura anterior, muara urethra, klitoris, labium minus kanan,
labium minus kiri, dan daerah sekitar introitus vagina. Perhatikanlah kelainan-kelaianan yang
ada.

PEMERIKSAAN INSPEKULO
1. Ambillah spekulum Graves yang sesuai ukurannya dengan keadaan yang akan diperiksa.
Periksa dahulu spekulum yang akan digunakan, apakah dalam keadaan baik. Aturlah sekrup-
sekrup dan kedua daun spekulum sampai dirasa sudah tertata dengan baik.
2. Apabila tidak ada rencana mengambil tindakan sitologis, daun-daun spekulum boleh dibasahi
dengan cara mengolesnya dengan lubrikan atau kapas yang sudah direndam dalam larutan
desinfektan.
3. Ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri pemeriksa menyibakkan labium minus dari arah mons pubis
(atas), sedemikian rupa sehingga introitus vagina dapat terlihat dengan jelas.
4. Spekulum dalam keadaan tertutup kedua daunnya dipegang dengan tangan kanan pada pangkal
daun spekulum, sambil menjaga agar daun spekulum tidak tiba-tiba terbuka.
5. Masukkanlah kedua daun spekulum dalam posisi miring ke vagina searah dengan sumbu vagina
secara halus dan perlahan-lahan, hingga kira-kira 2/3 dari panjang liang vagina.
6. Setelah daun spekulum mencapai kira-kira 2/3 panjang liang vagina putarlah spekulum
perlahan-lahan hingga posisi daun spekulum mendatar. Setelah pada posisi mendatar dan
pegangan spekulum menghadap ke arah bawah, peganglah spekulum pada pegangannya dengan
tangan kiri.
7. Bukalah daun spekulum dengan cara menekan pembuka spekulum dengan ibu jari tangan kiri
secara perlahan, sehingga serviks uteri berhasil ditampakkan. Apabila serviks uteri sudah
berhasil ditampakkan, doronglah spekulum masuk ke vagina sampai ujung kedua daun
spekulum mencapai fornices vagina.
8. Putarlah sekrup pengunci yang mempertahankan daun spekulum tetap terbuka. Jika pemasangan
benar, maka spekulum tetap di tempatnya, walaupun tidak dipegang dengan tangan.
22
9. Bersihkanlah liang vagina dengan kain kasa kering yang dipegang dengan klem Kelly, agar
seluruh rongga vagina tampak jelas dan bersih dari discharge. Setelah selesai buanglah kain
kasa pada disposal dan letakkan klem pada tempat bagi alat yang sudah tidak aseptik lagi.

PADA WAKTU MENGADAKAN PENILAIAN SERVIKS, PEMERIKSA DIMINTA UNTUK


MENYEBUTKAN HAL-HAL YANG DITEMUKANNYA, AGAR BISA DIDENGAR OLEH
TEMAN-TEMANNYA
10. Amatilah serviks uteri dan orifisium uteri externum dengan seksama. Untuk mengarahkan
pandangan agar serviks tampak jelas, spekulum ditepatkan pada arah yang benar (sesuai sumbu
vagina) dengan tangan kiri. Perhatikanlah kelainan-kelainan yang ada.
11. Kendorkanlah sekrup pengunci dan aturlah bukaan spekulum yang sesuai sambil menarik
sedikit spekulum. Periksalah keempat sisi fornices untuk mengamati kelainan yang ada.
12. Putarlah kembali spekulum 90 derajat sehingga daun spekulum pada posisi miring sambil
mengatur bukaan daun spekulum dengan tangan kiri. Tariklah spekulum perlahan-lahan sambil
memperhatikan keadaan dinding vagina, hingga spekulum tercabut.
13. Letakkan spekulum yang sudah dipakai pada tempat alat-alat yang sudah tidak aseptik lagi
masih dengan tangan kiri.

PEMERIKSAAN BIMANUAL
1. Sebelum melakukan pemeriksaan bimanual, tangan yang masih memakai sarung tangan bisa
dioles dengan lubrikan atau cairan desinfektan.
2. Posisi tangan kanan pemeriksa adalah jari telunjuk dan jari tengah diluruskan, ibu jari
ditegakkan, dan kedua jari lain dilipat.
3. Tangan kiri pemeriksa dari arah mons pubis menyibakkan labium majus dengan jari telunjuk
dan ibu jari.
4. Jari telunjuk tangan kanan dilipat, jari tengah dimasukkan ke dalam introitus vagina secara
perlahan-lahan dan halus hingga mencapai lebih kurang 2 cm. Tekanlah secara halus ke arah
komisura posterior, hingga lumen vagina lebih terbuka.
5. Secara perlahan-lahan telunjuk tangan kanan diluruskan dn dimasukkan ke introitus vagina,
sehingga jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan pemeriksa masuk dalam vagina.
6. Pindahkan tangan kiri pemeriksa ke daerah suprapubis, sehingga telapak tangan seluruhnya
menapak pada daerah suprapubis.
7. Periksalah dinding vagina depan dan belakang apakah ada kelainan, sambil menilai ketegangan
otot dinding vagina.
PADA WAKTU MELAKSANAKAN LATIHAN PENILAIAN ALAT GENITALIA SEBELAH
DALAM, PEMERIKSA DIMINTA MENGATAKAN PENEMUAN-PENEMUAN YANG
DIDAPATKANNYA, SEHINGGA DAPAT DIDENGAR OLEH TEMAN-TEMANNYA
8. Secara perlahan-lahan kedua jari tangan kanan yang sudah ada di dalam vagina, dimasukkan
perlahan-lahan sehingga sampai pada fornices posterior vagina. Perhatikan apakah ada
penonjolan pada fornices atau meraba suatu masa yang mendesak fornices.
9. Dengan kedua jari yang berada di dalam vagina, rabalah dengan seksama serviks uteri. Catatlah
bentuk, ukuran, konsistensi, permukaan dan keadaan orifisium uteri eksternum. Gerakkanlah
serviks uteri ke segala arah, perhatikan apakah pasien merasa kesakitan.
10. Uterus dinilai dengan tangan kiri yang ada pada suprapubis dan kedua jari tangan kanan yang
berada pada forniks posterior vagina. Berikanlah penilaian tentang bentuk, besar, posisi, dan
konsistensi uterus, juga perhatikan kelaianan-kelaianan lain yang ada, misalnya adanya masa
tumor.
11. Setelah uterus diperiksa, lanjutkan pemeriksaan untuk menilai keadaan parametrium kanan.
Perhatikanlah ruang yang ada antara uterus dengan dinding panggul sebelah kanan, keadaan
ovarium dan tuba kanan apabila bisa teraba, ada tidaknya masa atau tumor, dan ada atau
tidaknya nyeri pada penekanan.
12. Sesudah selesai memeriksa parametrium kanan, periksalah parametrium kiri dengan cara yang
sama dengan parametrium kanan.
23
13. Apabila alat genital dalam sudah diperiksa, cobalah melakukan perabaan pada rongga panggul
secara keseluruhan. Perhatikanlah kemungkinan adanya suatu masa yang bisa diraba.
14. Jika pemeriksaan telah dianggap selesai, tariklah dengan perlahan-lahan kedua jari yang ada di
dalam vagina.
15. Apabila diperlukan, pemeriksaan bisa dilanjutkan dengan melakukan palpasi pada alat genital
sebelah luar dan sekitarnya.
AKHIR PEMERIKSAAN
1. Setelah pemeriksaan dilakukan seluruhnya, catatlah hal-hal yang didapatkan pada pemeriksaan
secara sistematik.
2. Padamkan dan simpanlah lampu periksa, serta bersihkan alat-alat yang telah digunakan dan
kembalikanlah di tempat penyimpanannya.
3. Bersihkan tempat latihan pemeriksaan.

24
CHECKLIST PEMERIKSAAN GINEKOLOGIS

NO LANGKAH DAN KEGIATAN 0 1 2


A Persetujuan Pemeriksaan
1 Jelaskan tentang prosedur pemeriksaan
2 Jelaskan tentang tujuan pemeriksaan
3 Jelaskan bahwa proses pemeriksaan mungkin akan menimbulkan perasaan
khawatir atau kurang menyenangkan tetapi pemeriksa berusaa menghindari
hal tersebut
4 Pastikan bahwa pasien telah mengerti prosedur dan tujuan pemeriksaan
5 Mintakan persetujuan lisan untuk melakukan pemeriksaan
B Persiapan alat dan bahan
1 Pasien:
- kapas dan larutan antiseptik
- kateter
- spekulum cocor bebek
- meja instrumen
- ranjang ginekologi dengan penopang kaki
- lampu sorot
2 Pemeriksa:
- sarung tangan steril
- apron/baju periksa
- sabun dan air bersih
- handuk bersih dan kering
C Mempersiapkan pasien
1 Minta pasien untuk mengosongkan kandung kemih dan melepas pakaian
dalam
2 Persilahkan pasien untuk berbaring di ranjang ginekologi
3 Atur pasien pada posisi litotomi
4 Hidupkan lampu sorot, arahkan dengan benar pada bagian yang akan
diperiksa
D Memakai sarung tangan
1 Cuci tangan hingga siku kemudian keringkan dengan handuk bersih
2 Buka lipatan sarung tangan, ambil sarung tangan dengan ibu jari dan telunjuk
tangan kanan pada lipatan sebelah dalam kemudian pasang sesai dengan jari-
jari tangan kiri. Tarik pangkal sarung tangan untuk mengencangkannya
3 Ambil sarung tangan kanan dengan tangan kiri (yang telah menggunakan
sarung tangan) dengan menyelipkan jari-jari tangan kiri di bawah lipatan
sarung tangan, kemudian tahan pangkal sarung tangan tersebut dengan ibu
jari tangan kiri.
4 Pasang sarung tangan tersebut pada tangan kanan, sesuaikan dengan alur
masing-masing jari tangan, kemudian kencangkan dengan menarik
pangkal/gelang sarung tangan.
E Pemeriksaan Inspekulo
1 Pemeriksa duduk pada kursi yang telah disediakan
2 Ambil kapas, basahi dengan larutan antiseptic kemudian usapkan pada daerah
vagina, vulva dan perineum
3 Lakukan inspeksi pada vulva dan perineum
4 Buka celah antara kedua labium mayus, perhatikan muara uretra dan introitus
(bila kandung kemih belum dikosongkan lakukan pemasangan kateter untuk
mengeluarkan air kemih)
5 Raba dan telusuri labium mayus kanan dan kiri (terutama daerah kelenjar
bartholini) dengan ibu jari dan ujung telunjuk. Perhatikan dan catat kelainan
yang ditemukan
6 Pilih spekulum yang sesuai dan atur sekrupnya. Les spekulum dengan
lubrikan/cairan desinfektan
7 Pegang speculum dengan tangan kanan, masukkan ujung telunjuk kiri pada
introitus (agar terbuka), masukkan ujung speculum dengan arah sejajar
introitus (yakinkan bahwa tidak ada bagian yang terjepit), lalu dorong ke
dalam lumen vagina
8 Setelah masuk setengah ujung speculum, putar 90o hingga tangkainya ke arah
bawah. Atur ujung speculum atas dan bawah dengan membuka kunci
pengatur atas dan bawah hingga masing-masing sisi menyentuh dinding atas
25
dan bawah vagina
9 Tekan pengungkit sehingga lumen vagina dan servik tampak jelas. Kunci
speculum setelah posisinya benar.
10 Perhatikan secret yang ada, kemudian bersihkan rongga vagina dengan
desinfektan untuk melihat organ yang akan diperiksa lebih jelas.
11 Perhatikan ukuran dan warna porsio,orificium uteri eksterna, dinding vagina
dan forniks
12 Setelah periksa pandang selesai, kendoekan sekrup pengunci dan lepaskan
pengungkit dan pengatur jarak sisi speculum, kemudian keluarkan speculum
13 Letakkan spekulum pada tempat yang telah disediakan.
F Pemeriksaan Bimanual
1 Pemeriksa berdiri untuk melakukan vaginal toucher. Usap tangan kanan
dengan lubrikan/cairan desinfektan.
2 Buka labium mayus kanan dan kiri dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri,
masukkan jari telunjuk dan tengah tangan kanan ke dalam vagina dengan cara
penetrasi dan arah yang sesuai
3 Menilai dinding vagina, forniks dan cervik uteri
4 Letakkan ujung jari tangan kiri pada supra simfisis, tentukan tinggi fundus
uteri (apabila besar kandungan memungkinkan untuk diraba dari luar)
5 Tangan dalam memeriksa dinding vagina, kemuian secara bimanual tentukan
besar uterus, konsistensi dan arahnya. Nilai uterus secara lengkap.
6 Periksa konsistensi servik dan keadaan parametrium kanan dan kiri
7 Pindahkan jari-jari tangan luar dan dalam ke bagian isthmus. Tentukan
apakah ada tanda Hegar dengan mencoba mempertemukan kedua ujung jari
tangan luar dan dalam
8 Tangan kiri menahan uterus pada bagian supra simfisis, keluarkan jari tengah
dan telunjuk tangan kanan
9 Angkat tangan kiri dari dinding perut, usapkan larutan antiseptic pada bekas
sekret/cairan di sekitar vulva/perineum
10 Beritahukan pada ibu bahwa pemeriksaan sudah selesai dan persilahkan ibu
untuk duduk
G Pencegahan infeksi
1 Kumpulkan peralatan yang telah digunakan kemudian masukkan ke dalam
wadah yang berisi larutan klorin 0,5% selama 10 menit
2 Masukan sampah bahan habis pakai pada tempat yang telah disediakan. Seka
bagian yang dicemari sekret tubuh dengan larutan klorin dengan larutan
klorin 0,5%
3 Masukkan tangan ke dalam larutan klorin 0,5%. Bersihkan dari sekret/cairan
tubuh kemudian lepaskan sarung tangan secara terbalik dan rendam dalam
larutan tersebut selama 10 menit.
4 Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
5 Keringkan dengan handuk bersih
H Penjelasan hasil pemeriksaan
1 Jelaskan pada pasien tentang hasil pemeriksaan
2 Jelaskan tentang diagnosis dan rencana pengobatan
3 Pastikan pasien mengerti apa yang telah dijelaskan
4 Minta persetujuan tertulis bila akan dilakukan pemeriksaan/tindakan
selanjutnya
5 Persilahkan ibu ke ruang tunggu bila pemeriksaan selesai, atau ke ruang
tindakan untuk proses selanjutnya

Keterangan: 0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar

26
KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN UKURAN PANGGUL (PELVIMETRI)

Ihya Ridlo Nizomy, Yopi Meliandi

TULANG PANGGUL
Panggul merupakan susunan tulang berbentuk mangkuk tempat berakhirnya calumna
vertebralis dan melalui panggul ini berat badan diteruskan ke ektremitas bawah. Panggul terbentuk
dari dua buah os coxae (yang menempati sebelah depan dan samping) dan os sacrum serta os
coccyges (di belakang). Tulang-tulang tersebut bersendi pada empat buah articulatio, yaitu
articulatio sacroiliaca dextra et sinistra , sympysis pubis dan articulatio sacroccigealis.
Secara fungsional panggul terdiri dari dua bagian yaitu pelvis mayor dan pelvis minor. Pelvis
major (false pelvis) terletak di sebelah atas pelvis minor (true pelvis), superior dari linea terminalis.
Fungsi obstetriknya untuk menyangga uterus yang membesar pada kehamilan. Batasnya adalah
posterior vertebrae lumbales, lateral fossae iliacae dan anterior dinding perut.
Pelvis minor (true pelvis) merupakan bagian yang mempunyai peranan penting dalam
obstetric dan harus dapat dikenal dan dinilai sebaik-baiknya untuk dapat meramalkan dapat
tidaknya bayi lewat. Pelvis minor ini terletak dibawah linea terminalis, dibagi menjadi tiga bagian
yaitu pintu atap panggul (PAP), cavum pelvis dan pintu bawah panggul (PBP). (Gambar 1-2)

Gambar 1 Pintu Atas Panggul Gambar 2 Pintu Bawah Panggul

Pembagian lain ruang panggul tersebut yaitu menurut Hodge, yaitu menjadi:
1. Bidang Hodge I, adalah bidang yang dibentuk pada lingkaran pintu atas panggul depan bagian
atas simfisis dan promontorium.
2. Bidang Hodge II, adalah bidang yang sejajar dengan Hodge I terletak setinggi bagian bawah
simfisis.
3. Bidang Hodge III, adalah bidang yang sejajar dengan bidang Hodge I,II terletak setinggi spina
iskiadika kanan dan kiri
4. Bidang Hodge IV, adalah bidang yang sejajar dengan bidang Hodge I,II,III terletak setinggi os
koksigis.

27
Bidang-bidang ini penting untuk menentukan sampai di mana bagian terendah janin turun
dalam panggul pada persalinan. Bidang-bidang ini dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 3 Bidang Hodge

PINTU ATAS PANGGUL


Pintu atas panggul merupakan suatu bidang yang dibatasi di sebelah posterior oleh
promontorium, di lateral oleh linea terminalis dan di anterior oleh pinggir atas simfisis. Ukuran-
ukuran pintu atas panggul penting diketahui :
▪ Diameter anteroposterior : yang diukur dari promontorium sampai ke tengah permukaan
posterior simfisis. Diameter anteroposterior disebut pula konjugata obstetrika
▪ Konjugata diagnonalis : yaitu jarak bagian bawah simfisis sampai ke promontorium, yang
dapat diukur dengan memasukkan jari tengah dan telunjuk ke dalam vagina dan mencoba
meraba promontorium. Pada panggul normal promontorium tidak teraba dengan jari yang
panjangnya 12 cm

Gambar 4 Cara Mengukur konjugata diagonalis


▪ Konjugata vera : yaitu jarak pinggir atas simfisis dengan promontorium diperoleh dengan
mengurangi konjugata diagonalis dengan 1,5 cm
▪ Diameter transversa : adalah jarak terjauh garis lintang pintu atas panggul, biasanya sekitar
12,5 – 13 cm
▪ Garis yang dibuat antara persilangan konjugata vera dengan diameter transversa ke artikulasio
sakroiliaka disebut diameter oblikua, yang panjangnya sekitar 13 cm

28
Gambar 5 : Pintu atas panggul Gambar 6: Ruang Panggul Gambar 7 : Pintu bawah panggul

RUANG PANGGUL
Ruang panggul merupakan saluran diantara pintu atas panggul dan pintu bawah panggul.
Dinding anterior sekitar 4 cm terdiri atas os pubis dengan simfisisnya. Dinding posterior dibentuk
oleh os sakrum dan os koksigis, sepanjang ± 12 cm. Karena itu ruang panggul berbentuk saluran
dengan sumbu melengkung ke depan.

PINTU BAWAH PANGGUL


Batas atas pintu bawah panggul adalah setinggi spina iskhiadika. Jarak antara kedua spina
ini disebut diameter bispinosum adalah sekitar 9,5 – 10 cm. Batas bawah pintu bawah panggul
berbentuk segi empat panjang, disebelah anterior dibatasi oleh arkus pubis, di lateral oleh tuber
iskhii, dan di posterior oleh os koksigis dan ligamen sakrotuberosum. Pada panggul normal besar
sudut (arkus pubis) adalah ± 90º. Jika kurang dari 90 º , lahirnya kepala janin lebih sulit karena ia
memerlukan lebih banyak tempat ke posterior.

JENIS PANGGUL
Menurut Caldwell-Moloy terdiri
1. Ginekoid: pada 45% wanita dimana panjang diameter anteroposterior hampir sama dengan
diameter tranversa.
2. Android: bentuk PAP hampir segitiga yang banyak ditemukan pada pria. Diameter
anteropasterior hampir sama dengan diameter tranversa, namun diameter tranversa dekat dengan
sakrum. Bagian dorsal PAP berbentuk gepeng, bagian ventral menyempit ke depan. 15%
ditemukan pada wanita.
3. Anthropoid: bentuk PAP gak lonjong seperti telur, ditemukan pada 35% wanita. Jenis
panggul ini diameter anteroposteriornya lebih besar dibanding diameter tranversa.
4. Platipelloid: ditemukan pada 5% dimana diameter tranversa lebih besar daripada diameter
anteroposterior.

Gambar 8 Jenis-jenis Panggul

Pelvimetri klinis merupakan pengukuran dimensi tulang jalan lahir untuk menentukan apakah
bayi dapat dilahirkan secara pervaginam. Pelvimetri klinis merupakan salah satu bagian penting
29
pada pemeriksaan antenatal untuk memastikan apakah panggul seorang ibu cukup untuk melahirkan
secara normal pervaginam.
Diagnosis cephalopelvic disproportion (CPD) sementara ini masih mengandalkan tanda klinis
saat persalinan. Pemeriksaan pelvimetri secara klinis maupun radiologi dapat digunakan untuk
membantu memprediksi CPD sebelum terjadi proses persalinan, terutama di daerah perifer dengan
fasilitas SC kurang memadai. Belum ada pemeriksaan penunjang yang menjadi standar baku emas
untuk menegakkan diagnosis CPD. Pemeriksaan X-ray, CT scan, dan MRI pelvimetri belum
terbukti secara akurat lebih berguna daripada pemeriksaan klinis.

PROSEDUR PELVIMETRI KLINIS


Berdasarkan WHO pelvimetri klinis dilakukan ketika umur kandungan lebih dari 34
minggu. Pelvimateri klinis dilakukan dengan mengukur pintu panggul sebagai berikut:
1. Mengukur Pintu atas panggul
a. Meraba promontorium: perabaan ini hanya merasakan apakah promontorium teraba atau
tidak. Caranya dengan memasukan dua jari tangan dan meraba dari tepi posterior simfisis
pubis ke promontorium sakrum. Perabaan ini juga untuk mengukur konjugata diagonalis.
b. Menentukan konjugata diagonalis dan konjugata vera: konjugata diagonalis ditentukan
dengan meraba dengan dua jari dari tepi posterior simfisis pubis ke promontorium sakrum-
Konjugata diagonalis normalnya harus > 10 cm. Sementara konjugata vera diukur dengan
konjugata diagonalis dikurangi 1,5cm

Gambar 9. Cara pengukuran konjugata diagonalis


2. Mengukur Pintu tengah panggul
a. Mentukan kecekungan os sakrum: apakah cekung atau cembung. Kebanyakan pada wanita
ditemukan os sakrum yang cekung.
b. Menilai spina ischiadika: dengan cara meraba spina sichiadika dan merasakan tulang spina
ischiadika runcing atau tumlpul dan jarak antara spina ischiadika (distansia interspinosum)
harus lebih dari 10 cm.
3. Mengukur Pintu bawah panggul
Meraba arkus pubis dan memperkirakan besar sudutnya. Normalnya arkus pubis memiliki sudut
sekitar 90 derajat.
4. Menilai os koksigeus apakah mobile atau tidak. Os koksigeus ini dipastikan agar tidak
menghalangi pada saat persalinan.
Apabila pada pemeriksan pelvimetri didapatkan hasil berupa promontorium tidak teraba,
distansia interspinosum lebih dari 9,5 cm, sakrum konkaf, spina iskhiadika tajam, dinding samping
lurus, dan sudut arkus pubis lebih dari 90 derajat maka bisa dikatakan panggul luas.

30
Hasil pelvimetri yang menunjukkan adanya panggul sempit antara lain pemeriksa dapat
meraba promontorium sakrum, tulang spina ischiadika yang tajam dengan diameter interspinarum
yang sempit, dinding sisi pelvis yang konvergen, sakrum yang melengkung dan menonjol ke
depan, dan arkus pubis yang sempit (<900). Pelvimetri dapat digunakan untuk mendapatkan
gambaran kualitatif struktur panggul dan mengidentifikasi risiko distosia bayi pada pasien.
Tujuan pemeriksaan ukuran panggul adalah menentukan apakah terdapat panggul
sempit/tidak dengan menilai:
1. PAP sempit jika konjugata vera <10 cm (panggul picak), diameter transversa <12cm
2. Panggul tengah sempit jika distansia interspinarum <9,5 cm (rontgen), sakrum melengkung
3. PBP sempit jika arcus pubis kecil
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN PELVIMETRI KLINIS

NO KETERANGAN 0 1 2
A Persetujuan Pemeriksaan
1 Jelaskan tentang prosedur pemeriksaan
2 Jelaskan tentang tujuan pemeriksaan
3 Jelaskan bahwa proses pemeriksaan mungkin akan menimbulkan
perasaan khawatir atau kurang menyenangkan tetapi pemeriksa berusaha
menghindari hal tersebut
4 Pastikan bahwa pasien telah mengerti prosedur dan tujuan pemeriksaan
5 Mintakan persetujuan lisan untuk melakukan pemeriksaan
6 Meminta pasien untuk mengosongkan kandung kemih dan melepas
pakaian dalam
B Persiapan alat dan bahan
- Pemeriksa mempersiapakan kapas dan larutan antiseptik (hibiscrub,
savlon), lubrikan, baskom berisi klorin, baskom berisi deterjen, bak
sampah (medis dan non medis)
- Pemeriksa mempersiapkan kateter
- Pemeriksa mempersiapkan ranjang ginekologi dengan penopang kaki
untuk tempat berbaring pasien
- Pemeriksa mempersiapkan sarung tangan steril
- Pemeriksa mempersiapkan dan mengenakan apron/baju periksa
- Pemeriksa mempersiapkan sabun dan air bersih
- Pemeriksa mempersiapkan handuk bersih dan kering
C Mempersiapkan pasien
1 Persilahkan pasien untuk berbaring di ranjang ginekologi
2 Atur pasien pada posisi litotomi
D Memakai sarung tangan
1 Cuci tangan kemudian keringkan dengan handuk bersih
2 Buka lipatan sarung tangan, ambil sarung tangan dengan ibu jari dan
telunjuk tangan kanan pada lipatan sebelah dalam kemudian pasang sesai
dengan jari-jari tangan kiri. Tarik pangkal sarung tangan untuk
mengencangkannya
3 Ambil sarung tangan kanan dengan tangan kiri (yang telah menggunakan
sarung tangan) dengan menyelipkan jari-jari tangan kiri di bawah lipatan
sarung tangan, kemudian tahan pangkal sarung tangan tersebut dengan
ibu jari tangan kiri.
4 Pasang sarung tangan tersebut pada tangan kanan, sesuaikan dengan alur
masing-masing jari tangan, kemudian kencangkan dengan menarik
pangkal/gelang sarung tangan.
E Pemeriksaan
1 Pemeriksa duduk pada kursi yang telah disediakan
2 Ambil kapas, basahi dengan larutan antiseptik kemudian usapkan pada
daerah vulva dan perineum (toilet vulva) dengan cara yang benar
3 Pemeriksa berdiri untuk melakukan vaginal toucher. Buka labium mayus
31
kanan dan kiri dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, masukkan jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanan ke dalam vagina (jari tengah
terlebih dahulu)
4 Jari telunjuk dan jari tengah melalui sacrum, Nilai konkafitas sacrum.
5 Kedua jari digerakkan ke atas sampai sisi radial telunjuk menyentuh tepi
bawah simfisis pubis , kemudian arahkan jari tengah menuju
promontorium untuk menilain promontorium
6 Sisi radial dari jari telunjuk yang ditempelkan pada pinggir bawah
symphysis ditandai dengan kuku jari telunjuk tangan kiri.
7 Sambil menarik tangan keluar lakukan penilaian untuk arcus pubis
(tumpul/lancip)
8 Ukur jarak antara ujung jari telunjuk yang menyentuh promontorium
dengan pinggir bawah simfisis pubis yang sudah ditandai tadi.Ukuran ini
adalah konjugata diagonalis
9 Hasilnya dikurangi dengan 1,5 cm maka akan diperoleh perkiraan
conjungata obstetrica/ conjungata vera
10 Catat hasil pemeriksaan
G Penjelasan hasil pemeriksaan
1 Jelaskan pada pasien tentang hasil pemeriksaan
2 Jelaskan tentang diagnosis dan rencana pengobatan
3 Pastikan pasien mengerti apa yang telah dijelaskan
4 Minta persetujuan tertulis bila akan dilakukan pemeriksaan/tindakan
selanjutnya
5 Persilahkan ibu ke ruang tunggu bila pemeriksaan selesai, atau ke ruang
tindakan untuk proses selanjutnya

Keterangan: 0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan


benar

32
KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN KELENJAR MAMMAE

Lena Rosida

ANATOMI KELENJAR MAMMAE


Pemeriksaan kelenjar mammae berkaitan dengan anatomi, aliran limfe dan pembuluh darah
dari organnya. Interpretasi hasil pemeriksaannya harus dihubungkan dengan anatomi dan fisiologi
duktus, jaringan fibrosa, dan komponen lemaknya. Untuk tujuan deskriptif, kelenjar mammae
dibagi dalam lima bagian, yaitu 4 kuadran dan 1 ekor. Empat kuadran dibatasi oleh garis khayal
horizontal dan tegak lurus yang dibuat melalui puting susu. Ekornya berjalan dari kuadran lateral
atas menuju ke aksila.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Mammae

PEMERIKSAAN KELENJAR MAMMAE


Inspeksi
Inspeksi kelenjar mammae dilakukan setelah pasien membuka pakaian sampai pinggang dan
duduk dengan punggung lurus. Kelenjar mammae kiri umumnya sedikit lebih rendah daripada
kanan dan puting susu menunjuk ke arah lateral bawah. Perhatikan adanya simetris, jaringan parut
dan perubahan lokal. Lakukan inspeksi pada setiap puting susu dan areola (Gambar 4A-C)

Gambar 2. Perhatikan simetris/tidaknya kelenjar mammae dan perubahan pada kulit dan puting (A),
Kelenjar mammae jika dilihat dari atas (B), Pemeriksaan kelenjar mammae jika lengan pasien di
atas kepala.

33
Lakukan inspeksi kulit sekitar kelenjar mammae untuk melihat adanya kelainan bentuk.
Beberapa tindakan akan membantu bila timbul keraguan. Minta pasien meletakkan tangannya pada
bagian belakang kepala atau membungkuk ke depan sampai kelenjar mammae tergantung bebas.
Bila dicurigai ada massa maka pemeriksa dapat mengangkat atau menekan kelenjar mammae
dengan tangan untuk menujukkan adanya dimpling (cekungan) pada kulit. Setelah itu, inspeksi di
daerah insersio M. Pektoralis untuk melihat adanya pembesaran kelenjar limfe.
Dengan demikian, secara rinci yang dilihat pada pemeriksaan inspeksi adalah:
• Simetris/tidak
• Adanya jaringan parut/massa
• Retraksi puting
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan inspeksi kelenjar mammae adalah:
1. Retraksi puting susu. Jika terjadi unilateral dan sudah dari lahir tidak memberikan makna. Jika
retraksinya unilateral dan baru terjadi menunjukkan adanya peradangan/keganasan. (Gambar 5).
Lesi pada puting susu ang kering dan eksematosa merupakan tanda penyakit Paget, suatu
karsinoma superfisial kelenjar mammae yang tumbuh lambat.

Gambar 3. Retraksi puting susu kiri pada karsinoma


2. Kista retensi dan pernanahan, yaitu kelainan pada kelenjar sebasea di areola
3. Penyakit Addison, yaitu terjadinya hiperpigmentasi pada aerola disertai hiperpigmentasi pada
lipatan palmar dan ruas jari. Areola pada wanita yang belum pernah melahirkan (nullipara)
berwarna dadu, dan akan menjadi coklat pada kehamilan pertama.
4. Peau d’orange (kulit jeruk), yaitu daerah dengan kulit tegang setempat dan pori-pori yang
menyolok yang hampir selalu menandakan adanya keganaasan. (Gambar 6). Bertambah
jelasnya garis kulit ini disebabkan oleh kanker/sumbatan saluran limfe kulit.

Gambar 4. Peau d’orange


5. Pelebaran vena superfisial. Jika terdapat pada kedua kelenjar mammae ditemukan pada
kehamilan atau laktasi. Jika sifatnya unilateral merupakan tanda adanya karsinoma karena sel-
sel kanker memerlukan peningkatan aliran darah.

34
6. Super numery nipples puting susu tambahan), dapat ditemukan pada laki-laki dan wanita,
ditemukan pada garis mammae yang berjaan dari pertengahan aksila ke umbilikus. Keadaan ini
hanya mengganggu secara kosmetik. (Gambar 7)

Gambar 5. Puting susu tambahan


7. Ginekomastia, merupakan perkembangan kelenjar mamma pada laki-laki (Gambar 8).

Gambar 6. Ginekomastia
Palpasi
Bila pasien mengeluh ada benjolan, minta dia menunjukkannya. Palpasi benjolan tersebut dan
tentukan lokasinya. Setelah lokasinya diketahui, tentukan ukuran, konsistensi dan ada/tidaknya rasa
nyeri. Massa yang terfiksasi lebih sering merupakan keganasan. Tes fiksasi kulit dengan
melakukan imobilisasi massa dengan satu tangan dan mencubit kulit di atasnya dengan tangan yang
lain. Bila kulit terfiksasi, pemeriksa tidak dapat menggerakkan kulit di atas massa dengan bebas.
Kanker juga dapat menyebar ke M. Pektoralis yang letaknya dalam. Minta pasien meletakkan
tangannya di pinggang dan dorong ke dalam. Tindakan ini bertujuan untuk menegangkan M.
Pektoralis sehingga massa yang menginvasi muskulus tersebut akan imobil selama pemeriksa
melakukan palpasi. (Gambar 9).

35
Gambar 7. Palpasi keempat kuadran dengan ujung-ujung jari dan telapak tangan

Lakukan cara yang sama untuk pasien yang tidak memiliki keluhan. Pertama-tama, lakukan
palpasi seluruh kelenjar mammae dengan telapak tangan, tekan dan gerakkan secara melingkar.
Kelenjar mammae yang besar sebaiknya diperiksa dengan posisi tidur tanpa bantal dan lengan
diletakkan di atas kepala. Untuk memeriksa jaringan sekitar dinding dada, pasien diminta berbaring
miring sehingga kelenjar mammae yang diperiksa terletak lebih tinggi. Kemudian secara sistematik
periksalah setiap kuadran dengan kedua tangan dan berakhir pada ekor kelenjar mammae. Lakukan
pula palpasi di bawah areola dan puting susu. (Gambar 10).

Gambar 8. Palpasi bimanual untuk kelenjar mammae. Cara ini terutama untuk
memeriksa daerah subareolar dan ekor kelenjar mammae
Periksalah kedua aksila dengan meminta pasien mengangkat lengan ke atas kepala. Letakkan
ujung jari tangan kanan pemeriksa pada aksila kiri pasien (dan sebaliknya untuk sisi yang lain).
Turunkan lengan pasien ke bawah dan letakkan lengan bawahnya di atas lengan pemeriksa.
Tindakan ni untuk melakukan palpasi jauh ke dalam aksila. Bila pemeriksa menekan dinding dada
dan dengan perlahan menggerakkan tangan ke bawah, maka kelenjar linfe akan ditemukan dengan
mudah. Sekarang letakkan ibu jari pemeriksa dan tekan kaput humeri pasien untuk menemukan
kelenjar limfe lainnya. (Gambar 11A-B)).

36
Gambar 9. Letakkan ujung jari pemeriksa di aksila (A), Turunkan lengan pasien di atas lengan
pemeriksa, tekan dengan kuat untuk meraba kelenjar limfe (B)

Tekstur kelenjar mammae tiap pasien berbeda. Kelenjar mammae disokong oleh stroma
fibrosa bercampur lemak. Jaringan kelenjarnya berbenjol dan seperti karet, sedangkan stroma
fibrosa keras. Perbandingan relatif unsur tersebut menentukan konsistensi kelenjar mammae.
Dengan demikian, yang dilakukan pada pemeriksaan palpasi mammae adalah:
• Palpasi seluruh kelenjar mammae dengan telapak tangan
• Palpasi masing-masing kuadran dengan ujung jari
• Palpasi ekor kelenjar mammae dan aksila
• Palpasi puting susu, apakah mengeluarkan sekret/tidak

Hasil palpasi yang mungkin ditemukan adalah:


1. Kanker kelenjar mammae dengan massa yang konsistensinya keras. Seringkali pinggirnya
menyebar ke jaringan yang normal. (Gambar 12 dan 13)
2. Penyakit fibrokistik, banyak terjadi pada wanita usia 30-50 tahun yang disebabkan oleh
proliferasi kelenjar dan jaringan fibrosa
3. Fibroadenoma, yaitu benjolan kecil dan keras yang terdapat pada wanita muda. Saat pemeriksa
merasakan adanya benjolan, benjolannya mudah hilang dan tidak teraba lagi.
4. Kista kelenjar mammae, memberikan transluminasi positif dan konsistensinya kistik
5. Jika terdapat sekret pada puting susu dapat dilakukan pemeriksaan sediaan apusan. Pada
papiloma intra duktus akan mengeluarkan darah merah terang, karsinoma mengeluarkan cairan
jernih, abses mengeluarkan cairan purulen, galaktokel mengeluarkan cairan opalesen (berubah-
ubah warnanya), dan kista retensi mengeluarkan cairan kuning.

Gambar 10. Karsinoma lanjut yang telah Gambar 11. Shirrous Carcinoma
berulkus

37
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN KELENJAR MAMMAE

NO KETERANGAN 0 1 2
A Aspek Komunikasi (Persetujuan Pemeriksaan)
1 Jelaskan tentang prosedur pemeriksaan
2 Jelaskan bahwa proses pemeriksaan mungkin akan menimbulkan
perasaan khawatir atau kurang menyenangkan tetapi pemeriksa
berusaa menghindari hal tersebut
3 Mintakan persetujuan lisan untuk melakukan pemeriksaan
B Inspeksi
1 Pasien membuka pakaian sampai pinggang dan duduk dengan
punggung lurus. Kelenjar mammae yang besar sebaiknya diperiksa
dengan posisi tidur tanpa bantal dan lengan diletakkan di atas
kepala. Untuk memeriksa jaringan sekitar dinding dada, pasien
diminta berbaring miring sehingga kelenjar mammae yang
diperiksa terletak lebih tinggi.
2 Perhatikan adanya simetris, jaringan parut dan perubahan lokal
3 Lakukan inspeksi pada setiap puting susu dan areola
4 Lakukan inspeksi kulit sekitar kelenjar mammae untuk melihat
adanya kelainan bentuk
5 Bila timbul keraguan, minta pasien meletakkan tangannya pada
bagian belakang kepala atau membungkuk ke depan sampai
kelenjar mammae tergantung bebas
6 Inspeksi di daerah insersio M. Pektoralis untuk melihat adanya
pembesaran kelenjar limfe
C Palpasi
1 Bila pasien mengeluh ada benjolan, minta dia menunjukkan dan
palpasi benjolan tersebut, tentukan lokasinya
2 Tentukan ukuran, konsistensi dan ada/tidaknya rasa nyeri
3 Tes fiksasi kulit dengan melakukan imobilisasi massa dengan satu
tangan dan mencubit kulit di atasnya dengan tangan yang lain
4 Minta pasien meletakkan tangannya di pinggang dan dorong ke
dalam
5 Raba daerah M. Pektoralis untuk mengetahui kemungkinan adanya
benjolan yang dalam
6 Jika pasien tidak ada keluhan, lakukan palpasi seluruh kelenjar
mammae dengan telapak tangan, tekan dan gerakkan secara
melingkar
7 Secara sistematik periksalah setiap kuadran dengan kedua tangan
dan berakhir pada ekor kelenjar mammae
8 Lakukan pula palpasi di bawah areola dan puting susu
9 Periksalah kedua aksila dengan meminta pasien mengangkat lengan
ke atas kepala
10 Letakkan ujung jari tangan kanan pemeriksa pada aksila kiri pasien
(dan sebaliknya untuk sisi yang lain)
11 Turunkan lengan pasien ke bawah dan letakkan lengan bawahnya di
atas lengan pemeriksa
12 Sekarang letakkan ibu jari pemeriksa dan tekan kaput humeri
pasien untuk menemukan kelenjar limfe
13 Tentukan ukuran, konsistensi dan ada/tidaknya rasa nyeri
D Mengakhiri Pemeriksaan
1 Jelaskan bahwa prosedur pemeriksaan telah selesai dan meminta
pasien duduk
38
2 Jelaskan hasil pemeriksaan
3 Mempersilahkan pasien kembali ke ruang tunggu
Keterangan: 0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar

39
KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI)

Meitria Syahadatina Noor

Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) dilakukan oleh individu yang bersangkutan.


Pelaksanaan SADARI dilakukan 5-7 hari setelah menstruasi terakhir. Individu yang melakukan
SADARI berada di ruang tertutup dan di depan cermin. Pemeriksaan dilakukan setelah individu
melepaskan pakaiannnya hingga pinggang.

Langkah-langkah pelaksanaan SADARI adalah:


1. Menentukan posisi yang tepat, yaitu:
• Berdiri tegak dengan kedua lengan lurus di samping badan (Gambar 1A)
• Meletakkan kedua lengan di pinggang (Gambar 1B)
• Mengangkat kedua lengan lurus ke atas (Gambar 1C)
• Kedua lengan lurus ke bawah dengan badan sedikit membungkuk
• Dengan berbaring rata dan mengangkat salah satu lengan 90o ke atas sesuai sisi payuara
akan diperiksa. Ganjal bahu sesuai sisi dari lengan yang diangkat ke atas (gambar 2)
• Berbaring dengan memiringkan salah satu tungkai yang telah ditekuk dan lengan yang sesisi
diangkat ke atas sesuai sisi payudara yang akan diperiksa. (Gambar 3)
Perhatikan apakah ada perubahan/benjolan di daerah payudara. Posisi berbaring dilakukan
untuk pemeriksaan palpasi.

Gambar 1. Posisi Pemeriksaan Payudara Sendiri dengan Berdiri

40
Gambar 2. Posisi jika Berbaring Rata Gambar 3. Posisi jika Berbaring Sedikit
Miring

2. Mengetahui area mana yang diperiksa (Gambar 4)

Gambar 4. Area Pemeriksaan SADARI


3. Melakukan teknik dan pola palpasi untuk SADARI, yaitu:
• Melakukan palpasi dengan ujung jari tangan sisi yang berlawanan dari lengan yang diangkat
tadi (Gambar 5)
• Arah palpasi sirkular dari tengah/puting susu ke luar (Gambar 6)
• Arah palpasi secara vertikal dalam area pemeriksaan yang sudah ada (Gambar 7)
• Arah palpasi memusat ke puting susu dari tepi area pemeriksaan, secara melingkar seperti
roda/wheel spokes (Gambar 8)

Gambar 5. Cara Melakukan Palpasi

41
Gambar 6. Palpasi Sirkular Gambar 7. Palpasi Vertikal Gambar 8. Palpasi Wheel
Spokes

4. Melakukan pemeriksaan puting susu, yaitu dengan melakukan palpasi pada puting susu seperti
memutar radio (gambar 9)

Gambar 9. Pemeriksaan Puting Susu


5. Melakukan pemeriksaan aksila. Tangan kanan melakukan palpasi aksila kiri begitu pula
sebaliknya. Raba apakah ada benjolan/pembesaran kelenjar limfe (Gambar 10)

Gambar 10. Pemeriksaan Aksila

42
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI

NO KETERANGAN 0 1 2
1 Melepaskan pakaian hingga pinggang dan berdiri di depan cermin
2 Berdiri tegak dengan kedua lengan lurus di samping badan dan
melakukan inspeksi
3 Meletakkan kedua lengan di pinggang dan melakukan inspeksi
4 Mengangkat kedua lengan lurus ke atas dan melakukan inspeksi
5 Kedua lengan lurus ke bawah dengan badan sedikit membungkuk
dan melakukan inspeksi
6 Berbaring sesuai dengan posisi yang tepat
7 Melakukan palpasi dengan ujung jari tangan sisi yang berlawanan
dengan sisi payudara yang diperiksa, arah disesuaikan dengan
metode yang ingin digunakan
8 Melakukan palpasi pada puting susu seperti memutar radio
9 Tangan yang berlawanan dengan sisi payudara yang diperiksa
melakukan palpasi pada aksila yang satu sisi dengan payudara
tersebut
10 Lakukan teknik palpasi yang sama untuk payudara sisi yang lain
11 Simpulkan hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan

Keterangan: 0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar

43
URINALISIS

FX. Hendriyono, Azma Rosida, Dewi Indah Noviana P

Pendahuluan
Urinalisis adalah pemeriksaan urin rutin yang sering dilakukan karena relative mudah, murah,
dan tidak invasif. Urinalisis mencakup pemeriksaan makroskopik, kimia, dan
mikroskopikurin.Urinalisis tidak hanya dapat memberikan informasi mengenai keadaan ginjal dan
saluran kemih, tetapi juga dapat memberikan informasi mengenai faal hati, saluran empedu,
pankreas, korteks adrenal, kelainan genetic dan lain-lain.Walaupun pemeriksaan ini sederhana
tetapi apabila ditunjang denganketerampilan, ketelitian, kesabaran, syarat pemeriksaan dan cara
kerja yang benar, disertai pengendalian mutu yang baik,maka akan dapat menyajikan hasil
pemeriksaan yang benar dan dapat dipercaya serta dapat digunakan untuk menegakkan diagnose
serta pengobatan yang tepat.

A. Pengumpulan spesimen
1. Wadah penampung
Wadah yang digunakan untuk menampung urin sebaiknya:
• Bersih dan kering, disarankan menggunakan wadah sekali pakai
• Terbuat dari plastik
• Memiliki mulut yang lebar
• Bertutup ulir
2. Cara pengambilan bahan pemeriksaan
• Tanpa kateter dengan cara porsi tengah/mid stream urine
• Menggunakan kateter
3. Jenis bahan pemeriksaan
a. Urin sewaktu.
Urin yang dikemihkan sewaktu-waktu, kegunaannya untuk pemeriksaan kualitatif.
b. Urin pagi hari.
• Urin pagi I.
Urin yang dikemihkan pertama kali sesudah bangun tidur.
• Urin pagi II.
Urin yang dikemihkan beberapa waktu berikutnya (1/2 sampai 1 jam sesudah urinpagi
I, dikemihkan sehabis-habisnya, gunanya untuk mencari unsur yang berasal dari ginjal.
Sebelum pengambilan sampel ini penderita harus puasa.
c. Urin setelah makan (2 jam post prandial), biasanya untuk pemeriksaan glukosa
urin.
d. Urin tampung 24 jam atau 12 jam, untuk pemeriksaan kuantitatif. Harus diberi
pengawet agar unsur yang dibutuhkan tidak mengalami perubahan selama
penyimpanan/penampungan.
e. Urin 2 gelas/3 gelas.
Untuk mengetahui lokasi gangguan saluran kemih/kelamin.
• Urin 2 gelas :
- Gelas I : porsi urin awal ditampung sampai dengan 50 – 75 mL.
- Gelas II : sisanya.
• Urin 3 gelas
- Gelas I : porsi I 20 – 30 mL berisi bahan dari urethra
- Gelas II : porsi tengah, sisakan beberapa mL, berisi bahan dari kandung kemih.
- Gelas III : beberapa mL terakhir berisi bahan dari kandung kemih dan getah
prostatyang terperas pada akhir kencing
f. Residual urin :
44
Diambil dengan kateter setelah penderita berkemih sehabis-habisnya, untuk mengetahui
apakah ada hambatan pengeluaran urin.

Syarat bahan pemeriksaan


Urin yang digunakan untuk urinalisis harus baru dan segar (kurang dari 1 jam setelah
dikeluarkan).
Alasan :
- Warna belum berubah
- pH belum berubah, bila didiamkan lama urin akan menjadi basa dan unsur
mikroskopik (seluler) rusak.
- Zat belum berubah/menguap seperti urobilin menjadi bilirubin, keton menguap.
- Bakteri belum berkembang biak

B. Persiapan
a. Persiapan Penderita.
Pemeriksaan pasien untuk pemeriksaan urinalisis rutin tidak ada persiapan khusus.

b. Peralatan dan Bahan.


Ruang pemeriksaan :
Ruang pemeriksaan sebaiknya :
• Ventilasi baik
• Cahaya terang
• Bak pencucian dengan air yang mengalir
• Meja pemeriksaan berwarna muda serta mudah dibersihkan (penting untuk pemeriksaan
semikuantitatif yang berwarna)
• Ada tempat penyimpanan bahan kimia serta alat lain yang dibutuhkan.

C. Alat dan reagen:


• Botol penampung urine
• Tabung sentrifus urindanrak
• Kaca obyek dan kaca penutup
• Pipet Tetes
• Mikroskop
• Sentrifus
• Stik urin /reagen strip urin
• Tisue

D. Cara pemeriksaan urinalisis


I. Makroskopik
Pada penilaian fisik urin secara makroskopik dinilai warna dan kejernihan urin.
• Warna urin bervariasi dari tidak berwarna sampai hitam. Variasi warna urin dapat
disebabkan fungsi metabolism normal tubuh, aktifitas fisik, pengaruh
makanan/minuman/obat yang dikonsumsi, atau mencerminkan suatu keadaan patologis.
Warnaurin yang dianggap normal kuning muda sampai kuning.
• Kejernihan urin dinilai bersama-sama warna urin. Kejernihan urin bervariasi tergantung
jumlah partikel yang ada di dalam urin. Urin normal bersifat jernih, terdapatnya amorf
fosfat dan karbonat dapat menyebabkan urin agak keruh. Keadaan normal yang dapat
menyebabkan urin keruh adalah epitel skuamosa dari saluran kemih bagian bawah,
sedangkan keadaan patologik yang menyebabkan urin menjadi keruh diantaranya adalah
eritrosit, leukosit, epitel saluran kemih bagianatas, bakteri, jamur, dan protein.

II. Kimia

45
Pemeriksaan kimia urinalisis biasa juga disebut dengan pemeriksaan carik celup,
karena menggunakan reagen berupa strip urin yang terdiri dari beberapa pita kotak berwarna
yang berisi reagensia.Lihat gambar 1.

Gambar 1.Bagian strip urin

Bagian pada urin tidak boleh disentuh tangan karena akan menimbulkan reaksi dengan
reagensia. Colour chart digunakan untuk panduan menginterpretasikan hasil pemeriksaan
urin berdasarkan perubahan warna pada strip urin.
Umumnya pemeriksaan yang dapat diperiksa dengan strip urin terdapat 10
parameter, yaitu glukosa, bilirubin, keton, specific gravity (Beratjenis), darah, pH, protein,
urobilinogen, nitrit, dan leukosit. Cara pemeriksaan strip urin adalah sebagai berikut :
1. Sebelum urin diperiksa, homogenkan sampel urin terlebih dahulu dengan cara
membolak-balik urin di dalam wadah penampung
2. Pindahkan urin dari wadah penampung kedalam tabung sentrifus/tabungreaksi yang
dapat menampung urin 12-15 mL.
3. Ambil strip urin pada saat akan diperiksa, tutup kembali wadah reagen strip urin untuk
mengurangi paparan cahaya dan udara.
4. Pegang bagian pangkal strip urin dan jangan menyentuh daerah pada strip urin.
5. Celupkan seluruh pad strip urin dalam waktu singkat tidak lebih dari 1 detik.
6. Buang kelebihan urin pada strip urin dengan carra menempelkan tepi strip urin kebibir
tabung, selanjutnya pegang strip urin dalam posisi horizontal dan sentuhkan kekertas
tissue untuk menghindari kemungkinan kontaminasi silang antar reagen pada strip urin.
7. Ikuti waktu pembacaan yang dianjurkan reagen untuk tiap tesnya.
8. Cocokkan setiap hasil warna pada strip urin dengan chart warna pada label wadah
reagen urin dengan pencahayaan cukup.
9. Tuliskan seluruh hasil tes pada hasil pasien.

46
Gambar 2. Cara menggunakan strip urin
(a) Celupkan strip urinalisis ke dalam urin pasien. Pastikan semua pad reagen bersentuhan dengan specimen urin.
Segera angkat strip urinalisis
(b) Buang kelebihan urin dari strip urinalisis dengan meletakan pad secara horizontal di atas tissue
(c) Bandingkan warna strip urinalisis dengan bagan yang tersedia pada tabung reagen sesuai syarat waktu yang
ditetapkan. Catat hasil

III. Mikroskopik/sedimen
Setelah selesai melakukan pemeriksaan makroskopik, kimia urin, dilanjutkan dengan
pemeriksaan mikroskopik.sedimen urin.
• Tujuan pemeriksaan sedimen urin adalah mendeteksi dan mengenali material tidak larut
yang ada dalam urin.
• Bahan pemeriksaan adalah urin segar atau urin yang dikumpulkan dengan pengawet,
sebaiknya formalin. Yang paling baik untuk pemeriksaan sedimen ialah urin pekat, yaitu
urin yang mempunyai berat jenis 1.023 atau lebih tinggi; urin yang pekat lebih mudah
didapat bila memakai urin pagi sebagai bahan pemeriksaan. Pada pemeriksaan ini
usahakan menyebut hasil pemeriksaan secara semikuantitatif dengan menyebut jumlah
unsur sedimen yang bermakna perlapangan penglihatan.
• Urin yang digunakan untuk pemeriksaan sedimen dapat diberi pengecatan Sternheimer
Malbin atau tanpa pengecatan (natif).

Cara kerja :
1. Sentrifus 10 - 15 mL urin dengan kecepatan 1500 - 2000 rpm selama 5 – 10 menit.
2. Buang filtratnya sisakan 0.5 mL lalu kocok hati-hati supaya sedimen larut dan
tercampur.
3. Teteskan pada gelas obyek, hati-hati tutup dengan kaca penutup, jangan sampai ada
gelembung udara.
4. Periksa di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah (objektif 10 X) untuk melihat
unsur sedimen secara keseluruhan lalu tingkatkan perbesaran kuat (objektif 40X) untuk
mengidentifikasi unsur-unsur yang ada.

Cara pengecatan sedimen :


1. Teteskan sebanyak 3 tetes cat pada sedimen yang tersedia (0.5 ml).
2. Ketuk-ketuk agar cat tercampur rata, kemudian diamkan selama 3 menit.
3. Ambil 1 tetes, buat preparat.
4. Periksa di bawah mikroskop.

Keuntungan metode pengecatan :


Unsur dalam sedimen tampak jelas.

Kekurangan metode pengecatan :


Pada taraf permulaan dapat mengacaukan interpretasi, misalnya silinder hialin yang
mengandung granula dapat keliru dengan silinder granula, karena granula tercat.

47
Catatan :
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan sedimen natif dan pengecatan secara bersamaan.

Unsus-unsur dalam sedimen :


a. Unsur organis (asal jaringan) :
▪ Epitel
▪ Eritrosit
▪ Leukosit
▪ Torak (silinder)
b. Anorgonis (macam-macam kristal) :
▪ Tidak/kurang mempunyai arti klinis
Kristal urat, fosfat, carbonat, hipurik acid.
▪ Mempunyai arti klinis patologis, menunjukkan katabolisme dalam tubuh.
Kristal cystine, leucine, cholesterol, dll.

Unsur-unsur organis.
Epitel
1. Squamous : bentuk polimorf, sitoplasma lebar, inti 1 dan besar
Asal : kandung kemih, uretha, kontaminasi vagina.
2. Poligonal/bulat : inti besar, sitoplasma sering berisi granula
Asal : tubulus ginjal
3. Epitel berekor : inti besar bulat, sitoplasma seperti ekor. (transisional)
Asal : ureter, pelvis reanalis dan dari prostat.
4. Kontaminasi lemak : dapat dilihat dengan pengecatan sudan III

Kesalahan penilaian terjadi karena :


1. Benang mukus : mirip silinder hialin, bentuk panjang seperti pita, ujungnya kurang
tegas, mengecil atau pecah-pecah, biasanya tampak bergaris halus/ berkelok-kelok.
2. Silindroid : benang mukus lebih panjang dari hialin, ekornya berkelok-kelok.
3. Pseudo silinder : asal dari kristal-kristal yang mengumpul, seperti silinder granula.
4. Rambut/serat kapas.
5. Hife dari jamur : bercabang, saling berhubungan dan berspora.

Unsur-unsur anorganik (kristal)


Menurut arti klinisnya, kristal dapat dibagi 2 antara lain :
1. Patologis
2. Tidak patologis
Kristal tidak patologis.
1. Kristal dalam urin asam
- Amorf urat : bentuk amorf, warna putih/kuning, kemerah- merahan.
- Natrium urat : bulat coklat, dengan pemberian asam asetat akan berubah
menjadi kristal asam urat.
- Urat acid : kuning atau merah kecoklatan, tak berwarna, bentuk piring;
heksagonal; irreguler.
- Kalsium oksalat : bentuk amplop, halter, oktahedrol dapat ditemukan juga
pada urin netral atau alkalis.
- Kalsium sulfat : seperti jarum/prisma panjang, tak berwarna.
- Amonium urat : bentuk bulat dengan tonjolan seperti duri, kekuningan.
Selain pada urin asam dapat ditemukan juga pada urin normal dan basa.

2. Kristal dalam urin basa.


- Amorf fosfat
Merupakan endapan granula yang halus warna putih, hilang dengan penambahan
asam asetat.
- Triple fosfat (magnesium amonium fosfat)
48
- Tak berwarna/jernih, bentuk prisma berisi 3 – 6, kadang bentuk daun paku
- Kalsium karbonat :Bentuk halter, amorf, sferis.
- Ammonium Biurat :Kuning kecoklatan, bulat seperti mahkota kerajaan.
- Kalsium fosfat : Bentuk baji, bintang, roset atau bentuk lempengan yang besar,
jernih tak berwarna.

Kristal Patologis.
- Cystine : jernih, tak berwarna , refraktil, heksagonal.
- Tyrosine : seperti jarum, biasanya kuning.
- Leucin : kuning/kecoklatan, sferoid, seperti berminyak, bentuk
radial dan konsentris.
- Sulfa : kuning kecoklatan, asimetris, bentuk seperti kipas atau
bulat dengan garis-garis radial.
Unsur-unsur lain yang dapat ditemukan dalam sedimen :
- Spermatozoa
- Bakteri (dapat karena kontaminasi), bentuk batang, coccus.
Ditemukannya bakteri yang banyak dengan jumlah leukosit sedikit menunjukkan
bahwa bakteri kontaminan berkembang biak. Perlu dicek dengan urin pancaran
tengah dan langsung diperiksa.
- Jamur (dapat karena kontaminasi)
Bentuk kecil tampak adanya budding (ovoid), hifa
- Potongan jaringan
- Parasit : Trichomonas, Echinococcus, larva cacing.

49
UJI KEHAMILAN

FX. Hendriyono, Azma Rosida, Dewi Indah Noviana P


Pendahuluan

Pemeriksaan urin untuk membantu menegakkan diagnosis kehamilan kini dikenal cara yang
praktis yaitu test imunologi, seperti Latex Aglutination Pregnancy Test. Test ini praktis baik dalam
cara mengerjakan, penyimpanan reagen, penilaian hasil dan biaya tidak terlalu tinggi. Menurut teori
test ini lebih sensitif dibandingkan dengan percobaan binatang dan kemungkinan terjadinya
kesalahan lebih kecil.

HCG ( Hormon Chorionic Gonadotropin) Dalam Urine

Hormon ini merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel-sel tropoblas dari plasenta pada
kehamilan muda.
Hormon ini mulai terdapat dalam urin wanita hamil pada hari ke 20 hingga hari ke 24 setelah
hari pertama haid terakhir (HPHT) atau + 5 - 7 hari setelah pembuahan. Kadar HCG ini dari hari
kehari makin meningkat dan mencapai puncak antara 50 - 90 hari setelah HPHT.
Puncak ini berlangsung terus sampai kurang lebih 10 - 20 hari, kemudian menurun dengan
cepat sampai akhir kehamilan. Setelah melahirkan hormon ini menurun secara cepat pula, namun
pada beberapa orang masih memberi reaksi positif dengan Latex Aglutination Pregnancy Test
sampai hari ke 42 dalam jumlah yang sangat kecil. Pada mola hidatidosa atau khoriokarsinoma
kadar hormon ini sangat tinggi. Kadar yang > 50.000 uL/24 jam pada puncak yang berlangsung
lebih dari 10 hari merupakan indikasi adanya mola hidatidosa dan khoriokarsinoma. Sedangkan
pada abortus incomplete, missed abortion, kehamilan ektopik kadar HCG sangat rendah. Pada
kehamilan ektopik selain kadar HCG rendah juga berubah-rubah sehingga dapat memberikan hasil
positif maupun negatif.

Uji Kehamilan Latex Aglutination Pregnancy Test

Prinsip pemeriksaan
Reagen mengandung suspensi partikel lakteks yang dilapisi antibodi monoklonal yang akan
berikatan kovalen dengan hCG menghasilkan aglutinasi makroskopik (hasil positif). Apabila tidak
terdapat hCG di dalam urin maka tidak terbentuk ikatan kovalent mkaroskopik (hasil negatif).

Bahan.
Urin sebaiknya urin pagi hari tapi dapat pula urin sewaktu. Bila tidak segera diperiksa bisa
disimpan dalam lemari es pada suhu 20 - 80 C, paling lama 3 hari dan harus didiamkan dulu pada
temperatur kamar sebelum diperiksa. Tidak dibenarkan memberikan bahan pengawet kimia. Urin
yang keruh harus disaring lebih dahulu, bila mengandung darah harus disentrifuge lebih dahulu dan
dibuang endapannya. Sedangkan urin yang banyak mengandung bakteri tidak dapat dipakai untuk
pemeiksaan. Serum tidak bisa dipakai untuk pemeriksaan metode ini.

Reagen :
1. Anti HCG Latex, Reagen ini harus disimpan dalam es bersuhu 20 – 90 C dan ditempatkan pada
temperatur kamar sebelum dipakai.

Alat :
1. Obyek glass / test slide glass / test card yang tersedia, harus bersih dan tidak boleh dibersihkan
dengan sejenis sabun deterjen.
50
2. Pengaduk yang tersedia.
3. Pipet yang tersedia.
4. Mikroskop bila perlu.

Cara pemeriksaan :
Urin 1 tetes + reagen anti HCG 1 tetes. Kemudian diaduk pelan sampai rata dan baca hasilnya
dalam waktu 1 menit.

Pembacaan hasil pemeriksaan :


1. Urin yang mengandung hormon HCG ( Positif )
Terjadi reaksi Aglutinasi atau gumpalan antara HCG dalam urine dengan Anti HCG latex.
Secara mikroskopis tampak partikel Latex ini terikat satu sama lain.

2. Urin yang tidak mengandung hormon HCG


Tidak terjadi reaksi Aglutinasi atau gumpalan, hanya tampak putih keruh.

Kesalahan yang timbul dapat disebabkan oleh :

1. Positif palsu
a. Menopause :
Urine pada masa menopause mengandung hormon HMG ( Human Menopause
Gonadotropin ) yang dapat memberikan reaksi positif tetapi biasanya kadar hormon
HMG tidak terlalu tinggi sehingga akan memberikan reaksi yang negatif dengan
pengenceran 1:2.
b. Adanya Luteinizing Hormon ( LH ) pada waktu ovulasi
c. Tumor ovarium, misalnya teratoma.
d. Urin yang banyak mengandung darah (harus disentrifuge).
e. Radang akut dengan urin mengandung protein lebih besar dari 50 gram/dL.
f. Kehamilan diluar kandungan dengan urin mengandung methagion, phenophatein.

2. Negatif palsu
a. Kehamilan diluar kandungan dimana kadar HCG berubah tidak menentu.
b. Obat-obatan.

51
DAFTAR TILIK KETERAMPILAN PEMERIKSAAN URINALISIS

NO KETERANGAN 0 1 2
A. Persiapan
1 Meminta izin kepada pasien untuk melakukan pemeriksaan urinalisis,
dengan cara :
• Memberi penjelasan tujuan pemeriksaan
• Memberi penjelasan bahan yang dibutuhkan dan cara
pengumpulan urin menggunakan cara mid stream urine
• Memberi penjelasan jumlah volume urin yang diperlukan,
diperagakan pada wadah penampung urin
2 Menyiapkan bahan, reagen, dan alat : sampel urin,
tabungsentrifusurindanrak, pipet Pasteur, kacaobjekdankacapenutup,
mikroskop, sentrifus, stikurin dantisue
B. Pemeriksaan makroskopik urin
1 Menghomogenkan urin
2 Memperhatikan warna dan kejernihan sampel urin
3 Mencatat/melaporkan hasil pemeriksaan
C. Pemeriksaan kimia / stik urin
1 Memindahkan urin dari wadah penampung urin sebanyak 12-15 mL
ke dalam tabung reaksi dan meletakkannya di rak tabung.
2 Mengambil 1 stik urin dari dalam wadah reagen, segera tutup kembali
wadah reagen stik .
3 Memegang pangkal stik urin dan mencelupkan seluruh pad stik urin
kedalam urin dalamwaktu tidak lebihdari 1 detik
4 Membuang kelebihan urin pada stik urin dengan cara menempelkan
tepi stik urin kebibir tabung.
5 Menyentuhkan stik urin pada tisue dalam posisi horizontal
6 Mencocokan hasil stik urin dengan chart warna di tabung reagen
7 Mencatat/melaporkan hasil pemeriksaan

D. Pemeriksaan sedimen urin


1 Mengambil urin bekas pemeriksaan kimia di dalam tabung reaksi
2 Mengisi tabung penyeimbang dengan air dengan volum yang sama
3 Menyususn tabung urin dan tabung penyeimbang dengan posisi
berhadapan
4 Memasukan urin kedalam sentrifus dan memutar kecepatan sentrifus
1500 - 2000 rpm selama 5 – 10 menit.
5 Menyiapkan specimen sedimenurin
6 Membuang urin yang telah disentrifus dengan menuangnya hingga
habis secaracepat
7 Menghomogenkan sisa urin di dasar tabung dengan cara menggoyang
kan dasar tabung atau mengetuk-ketuk dasar tabung dengan jari.
8 Pipet urin tersebut lalu teteskan satu tetes ke atas kaca objek
9 Tutup tetesan urin dengan kaca tutup
10 Sediaan diperiksa menggunakan mikroskop perbesaran 10x (LPK) dan
40x (LPB)
12 Membersihkan dan merapikan alat-alat yang telah dipakai

Keterangan: 0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar

52
DAFTAR TILIK KETERAMPILAN UJI KEHAMILAN
(Metode Latex)

No. KRITERIA SKOR


0 1 2
1 Menyiapkan peralatan
- Botol penampung urin dari plastik, bermulut lebar dan bertutup ulir
- Kaca objek
- Pengaduk
- Pipet
2 Memberikan penjelasan kepada pasien tentang pengambilan urin
- Memberi penjelasan sebaiknya urin pagi hari
3 Meminta urin yang telah dibawa pasien
4 Teteskan 1 tetes urin diatas kaca objek
menggunakan pipet urin
5 Teteskan 1 tetes latex antigen disamping adukkan sebelumnya
Menggunakan pipet untuk latex antigen
7 Aduk hingga rata lalu goyangkan selama 1 menit
8 Baca hasilnya (dengan mata atau mikroskop)
9 Tulis laporannya dan beri saran bila perlu
10 Bersihkanalat yang sudah digunakan dan kembalikan pada tempatnya

Keterangan: 0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar

53
KETERAMPILAN
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS, FUNGSI MOTORIS DAN
FUNGSI SENSORIS

Fakhrurrazy

PENDAHULUAN
Anamnesis dan pemeriksaan neurologi yang dilakukan dengan akurat mampu menentukan
lokasi lesi sepanjang aksis saraf. Aksis saraf terbentang mulai dari korteks otak sampai bagian
efektor otot yang mempunyai fungsi khusus. Secara fungsional sistem saraf terdiri dari sistem saraf
pusat dan sistem saraf perifer. Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis yang
berfungsi menganalisis, mensintesis, dan mengintegrasikan berbagai masukan dari saraf sensorik
maupun dari bangunan lain yang terdapat di otak dan medulla spinalis. Susunan saraf perifer
meliputi organ sensoris dan efektor. Pemeriksaan neurologi bertujuan menjelaskan adanya disfungsi
susunan saraf dan menilai kemampuan fungsi susunan saraf yang masih ada. Pemeriksaan juga
bertujuan menentukan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi
pada otak, medula spinalis, saraf perifer, atau otot?
Pada umumnya pemeriksaan neurologi harus merupakan pemeriksaan fisik secara umum,
dimana fungsi susunan saraf mendapat perhatian khusus. Urutan pemeriksaan neurologi terdiri dari
penilaian umum terhadap fungsi serebral, pemeriksaan saraf otak, penilaian fungsi motorik, dan
penilaian fungsi sensorik.
Pemeriksaan neurologi bertujuan menjelaskan adanya disfungsi susunan saraf dan menilai
kemampuan fungsi susunan saraf yang masih ada. Pemeriksaan juga bertujuan menentukan
kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi pada otak, medula
spinalis, saraf perifer, atau otot.

1. PEMERIKSAAN REFLEKS
Refleks terbagi menjadi 2, yaitu refleks fisiologis dan refleks patologi. Untuk kali ini kita
hanya akan membahas refleks fisiologis. Refleks fisiologis ialah muscle stretch reflexes, yang
muncul sebagai akibat rangsangan terhadap tendo atau periosteum atau kadang-kadang terhadap
tulang, sendi, fascia, atau aponeurosis. Oleh karena rangsangan disalurkan melalui organ sensorik
yang lebih dalam maka ada pula yang menyebutnya sebagai deep tendon refleks terdiri dari refleks
biseps, triseps, brakhioradialis, patella, dan achilles. Refleks dapat dinilai menggunakan kriteria
kuantitatif, sebagai berikut :
0 = negatif
+1 = lemah (dari normal)
+2 = normal
+3 = meninggi, belum patologis

54
+4 = hiperaktif, sering disertai klonus, merupakan indikator penyakit

Refleks biseps
Lengan penderita dibengkokkan pada siku. Lantas palu refleks kita ketokkan pada tendon otot
biseps sedikit di bawah lipatan siku. Bila positif, maka akan tampak kontraksi otot biseps.

Gambar 1. Refleks biceps Gambar 2. Refleks triceps

Refleks triseps
Kedudukan lengan adalah sama dengan waktu kita memeriksa refleks biseps. Apabila telah
dipastikan bahwa lengan penderita sudah benar-benar relaksasi pukullah tendo yang lewat fosa
olekrani. Refleks positif ditandai dengan kontraksi sedikit menyentak, gerakan ini dapat dilihat dan
sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang menopang lengan penderita.

Refleks lutut
Refleks ini dikenal juga sebagai Refleks Westphal atau lebih populer dengan nama singkatan
K.P.R (knee pees refleks). Refleks ini dapat dilakukan dalam keadaan duduk atau berbaring. Pada
penderita yang duduk, kaki yang hendak diperiksa hendaknya diletakkan di atas lutut kaki yang satu
lagi. Pada penderita yang berbaring terlentang, pemeriksa harus meletakkan tangannya di bawah
lutut penderita, sehingga kaki yang hendak diperiksa berada dalam keadaan fleksi, namun harus
dijaga supaya tumit kaki itu masih tetap berada (menyentuh) di atas tempat tidur. Setelah itu,
dilakukan perkusi pada ligamentum patella. Untuk mengetahui apakah K.P.R. tersebut positif atau
tidak, hendaklah kita perhatikan apakah ada atau tidak ada kontraksi dari otot kuadriseps femoris.
K.P.R dikatakan positif bila terlihat ada kontraksi dari otot kuadriseps femoris yaitu terjadi ekstensi
tungkai bawah.

55
Gambar 3. Refleks lutut (KPR)

Refleks Achilles
Refleks ini di klinik lebih terkenal dengan singkatan A.P.R. (Achilles pees refles). Pada
penderita yang duduk, kita suruh berlutut di atas tempat tidur. Berlutut ini hendaknyalah sedemikian
rupa, sehingga kedua kakinya menonjol melewati pinggir dari tempat tidur tersebut.

Gambar 4. Refleks achiles

Refleks Superfisial Abdomen (Refleks dinding perut)


Untuk menimbulkan refleks dinding perut ini, penderita harus tidur terlentang dengan kedua
lengan di samping tubuhnya. Ujung gagang palu refleks kita lantas goreskan pada dinding perut itu.
Penggoresan ini kita lakukan dari lateral ke medial, berturut-turut pada perut bagian atas, tengah,
dan bawah. Bila refleks dinding perut ini positif, maka akan timbul kontraksi dari otot-otot dinding
perut.

56
Gambar 5. Refleks dinding perut
2. PENILAIAN FUNGSI MOTORIS

A. Tonus

Untuk menilai keadaan tonus suatu otot dapat dilakukan dengan cara melakukan fleksi dan
ekstensi pada sendi yang digerakkan oleh otot tersebut, seperti misalnya untuk menilai tonus otot
biseps kita lakukan fleksi dan ekstensi pada sendi siku. Gerakan-gerakan ini dapat pula kita lakukan
pada sendi-sendi yang lain seperti misalnya sendi lutut, sendi pergelangan tangan, pergelangan kaki
dan lain-lain. Gerakan fleksi dan ekstensi itu kita lakukan dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Sementara kita melakukan gerakan-gerakan itu penderita harus dalam keadaan santai. Sebaiknya
kita beritahu padanya, supaya ia melemaskan tungkai atau lengan yang akan diperiksa.

Gambar 6. Pemeriksaan tonus otot

Tonus yang menurun dinamakan hipotoni, dan yang lenyap sama sekali dinamakan atoni.
Bi1a ada kelumpuhan otot yang dibarengi oleh tonus yang menurun maka kita katakan bahwa
penderita memperlihatkan paralisis flaksid. Tonus yang meningkat dinamakan hipertoni. Bila ada

57
kelumpuhan otot yang dibarengi oleh tonus yang meningkat maka kita katakan bahwa penderita itu
rnemperlihatkan paralisis spastik.
Tonus yang meningkat dibedakan dalam dua macam, yaitu :
a. Spastisitas
Anggota tubuh misalnya lengan, yang biasanya dalam posisi fleksi, kita lempangkan. Dalam
melakukan ekstensi ini, kita akan merasakan adanya suatu tahanan. Tetapi tahanan ini tiba-tiba
lenyap sehingga sekonyong-konyong gerakan ekstensi yang dilakukan tidak mendapat perlawanan
lagi. Adanya suatu tahanan yang lantas hilang dengan sekonyong-konyong sewaktu dilakukan
ekstensi tersebut dinamai fenomena pisau lipat atau clasp knife phenomenon. Sementara itu, posisi
anggota tubuh bawah biasanya dalarn keadaan ekstensi. Untuk memperlihatkan spastisitas tersebut,
kita lakukan fleksi pada tungkai tersebut. Bila tahanan yang kita rasakan lenyap dengan sekonyong-
konyong maka kita katakan bahwa pada tungkai tersebut terdapat fenomena pisau lipat.

b. Rigiditas
Rigiditas merupakan manifestasi gangguan tonus otot dimana pada penilaian tonus otot
dirasakan adanya tahanan yang hilang timbul secara berselingan. Sewaktu kita melakukan fleksi
atau ekstensi pada suatu anggota tubuh (lengan atau tungkai) maka kita
akan rasakan adanya suatu tahanan. Bila kita lawan tahanan tersebut, maka akan kita rasakan bahwa
tahanan tersebut akan mengalah sebentar. Tetapi segera akan kita rasakan, bahwa ada tahanan baru.
Jadi, sewaktu melakukan fleksi atau ekstensi pada anggota tubuh kita rasakan adanya tahanan yang
tersendat-sendat. Ini dinamakan fenomen roda-bergigi atau cog-wheel phenomenon. Tonus yang
menurun Pada keadaan tonus otot yang menurun dirasakan kendor pada palpasi, anggota gerak
dapat digoyang-goyang dengan mudah, dan tidak ada tahanan sewaktu dilakukan fleksi atau
ekstensi.

B. Tenaga otot
Tenaga atau kekuatan otot itu dapat dinilai menurut skala MRC :
Derajat 0: Paralisis total
Derajat 1: Masih terlihat kontraksi
Derajat 2: Gerak aktif tanpa gravitasi
Derajat 3: Bergerak melawan gravitasi
Derajat 4: Bergerak melawan tahanan
Derajat 5: Kekuatan otot normal

58
Gambar 7. Penilaian tenaga otot latissimus dorsi Gambar 8. Penilaian tenaga otot biseps brakhii

Gambar 9. Penilaian tenaga otot brakhioradialis Gambar 10. Penilaian tenaga otot triseps brakhii

Gambar 11. Penilaian tenaga otot iliopsoas Gambar 12. Penilaian tenaga otot
gluteus maksimus

3. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIS


Gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan gangguan sensoris.
Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik maupun trofi otot. Gangguan
sensoris dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal (parestesia), kebas, atau mati rasa, dan ada
pula yang sangat sensitif (hiperestesi).

59
Pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif (protopatik)
a. Pemeriksaan rasa raba
Untuk pemeriksaan ini, kita sentuh kulit penderita dengan kapas. Respons yang kita harapkan
adalah, jawaban "ya", bila kulitnya tersentuh. Sewaktu pemeriksaan kita banding-bandingkan
keadaan perasa raba disisi kanan dengan yang di sisi kiri atau di bagian proksimal dengan yang di
bagian distal. Bila terdapat suatu perbedaan, misalnya di suatu daerah terasa lebih baik daripada di
daerah lainnya, maka pemeriksaan perasa raba di tempat itu harus dilakukan dengan lebih teliti dan
lebih mengkhusus. Bila perasa raba di suatu tempat adalah terganggu, maka kita katakan bahwa
telah terdapat anestesia di daerah tersebut.

Gambar 13. Pemeriksaan rasa raba

b. Pemeriksaan rasa nyeri


Untuk pemeriksaan perasa nyeri ini kita pergunakan jarum pentul. Penderita hendaknyalah
dapat membedakan antara "tajam atau tumpul." Bila perasa nyeri itu adalah terganggu, maka kita
katakan bahwa di tempat tersebut terdapat analgesia. Pada pemeriksaan ini dipergunakan jarum
bundel yang digunakan untuk memberikan rangsangan tusuk. Si pemeriksa memegang jarum itu
seperti memeganq pensil. Dengan sekali menusuk jarum itu pada kulit pasien dan sekali menusuk
dengan jari telunjuknya, rangsang tusuk tajam dan tumpul dapat diberikan secara berselingan.

Gambar 14. Refleks nyeri


60
c. Pemeriksaan rasa suhu
Untuk pemeriksaan perasa suhu ini kita pergunakan tabung yang berisi air hangat (40-45°C)
dan tabung yang berisi air dingin (10-15°C). Dengan tabung-tabung ini kita sentuh kulit itu secara
silih-berganti. Respons yang kita harapkan dari penderia adalah : "panas atau dingin." Bila perasa
suhu itu terganggu, maka kita katakan bahwa di tempat tersebut, terdapat termanestesia.

Pemeriksaan sensibilitas proprioseptif

a. Perasaan gerak (kinestesia)


Perasaan gerak adalah perasaan gerak pasif dimana gerakan anggota gerak pasien dilakukan
oleh pemeriksa.

Gambar 15. Pemeriksaan perasa gerak

b. Perasaan getar (palestesia)


Pemeriksaan dilakukan dengan cara menaruh gagang garpu tala kita yang bergetar di atas
tonjolan tulang penderita. Bila penderita merasa adanya getaran, maka ia akan mengatakan: "getar."
Bila penderita tidak merasa adanya getaran, mengatakan "tidak getar." Mula-mula ujung gagang
garpu tala bergetar itu kita letakkan pada bagian dorsal falang terakhir dari ibu jari kaki, maleolus
pada tuberositas tibiae, pada prosessus stiloideus radii dan ulnae dan pada kondilus humeri.

61
Gambar 16. Pemeriksaan perasa getar

Gambar 17. Pemeriksaan getar pada ujung ibu jari kaki

Pemeriksaan sensibilitas diskriminatif (multimodalitas)


a. Stereognosis
Pemeriksaan stereognosis dapat dilakukan pada penderita dengan meletakan suatu benda yang
dipakainya sehari-hari di tangannya. Dalam keadaan normal, penderita akan dapat mengenali benda
tersebut (misalnya kancing atau uang logam rupiah) dengan mudah. Bila penderita tidak dapat
mengenal benda tersebut maka kita katakan, bahwa ia memperlihatkan astereognosis. Bila penderita
dapat mengenal bentuk dan ukuran benda itu, tetapi tidak dapat mengatakan nama benda tersebut,
maka kita namakan keadaan itu suatu agnosi taktil.

62
Gambar 18. Pemeriksaan steregnosis

b. Graphestesia
Perasaan graphestesia merupakan kemampuan untuk mengenali stimulasi berupa angka atau
huruf yang ditulis pada kulit penderita.Perasaan diskriminasi spasial Perasaan diskriminasi spasial
atau diskriminasi dua titik merupakan daya untuk mengenali dan mengetahui dua jenis sensibilitas
hasil dua macam perangsangan pada dua tempat.

Gambar 19. Pemeriksaan graphestesia


c. Diskriminasi Spasial
Perasaan diskriminasi spasial atau diskriminasi dua titik merupakan daya untuk mengenali
dan mengetahui dua jenis sensibilitas hasil dua macam perangsangan pada dua tempat yang
berbeda.

Gambar 20. Pemeriksaan diskriminasi spasial


63
DAFTAR TILIK

1. PEMERIKSAAN REFLEKS
Score
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
Meminta izin kepada penderita, mempersilakan berbaring/duduk dengan
1.
rileks
2. Refleks Biceps
• Memfleksikan lengan penderita pada sendi
Siku
• Meletakkan ibu jari pada tendo achilles kemudian mengetuknya
dengan palu refleks
• Mendeskripsikan respons positif dari refleks biseps

3. Refleks Triceps
• menopang lengan penderita yang berada dalam keadaan abduksi
dengan lengan bawah yang tergantung bebas
• mengetuk tendo m. Triseps

• Mendeskripsikan respons positif dari refleks triseps

4. Refleks Lutut (KPR)

• Melakukan fleksi pada sendi lutut

• Mengetuk tendon patela dengan palu refleks

• Mendeskripsikan respon positif dari pemeriksaan refleks tendon lutut

5. Refleks Achilles (A.P.R)


• Melakukan dorsofleksi pada kaki penderita dengan menggunakan
tangan pemeriksa
• Mengetuk tendon Achilles

• Mendeskripsikan respon positif dari pemeriksaan refleks Achilles

6. Refleks Dinding Abdomen

• Meminta pasien tidur


• Menggoreskan ujung gagang palu refleks pada dinding perut dari
lateral ke medial
• Melakukan tindakan berurutan dari perut atas, tengah dan bawah

• Menilai hasil pemeriksaan

64
2. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK
Score
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Meminta izin kepada penderita, mempersilakan duduk dengan rileks

2. Menilai Tonus otot penderita


• Tangan kanan pemeriksa memegang tangan kiri penderita, tangan
kiri memegang sendi siku penderita
• Lakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada sendi siku

• Nilai tonus otot penderita

3. Penilaian tenaga otot pada anggota gerak atas

a. Penilaian tenaga otot latissimus dorsi


• Memposisikan lengan atas dalam keadaan fleksi pada sendi siku
hingga sejajar bahu
• Melakukan gerakan abduksi lengan atas penderita dan penderita
diminta melawan dengan melakukan gerakan aduksi
• Memberikan penilaian tenaga otot latissimus dorsi penderita

b. Penilaian tenaga otot biseps brakhii


• Memposisikan lengan atas hingga sejajar bahu dalam keadaan fleksi
pada sendi siku
• Melakukan gerakan ekstensi di sendi siku penderita dan penderita
diminta melawan dengan melakukan gerakan fleksi
• Memberikan penilaian tenaga otot biseps brakhii penderita

c. Penilaian tenaga otot brakhioradialis

• Memposisikan lengan atas dalam keadaan fleksi pada sendi siku


• Melakukan gerakan ekstensi di sendi siku penderita dan penderita
diminta melawan dengan melakukan gerakan fleksi
• Memberikan penilaian tenaga otot
• brakhioradialis penderita
d. Penilaian tenaga otot triseps brakhii

• Memposisikan lengan atas dalam keadaan ekstensi pada sendi siku


• Melakukan gerakan fleksi sendi siku penderita dan penderita diminta
melawan dengan melakukan gerakan ekstensi
• Memberikan penilaian tenaga otot triseps brakhii penderita

4. Penilaian tenaga otot pada anggota gerak bawah

a. Penilaian tenaga otot iliopsoas

• Mempersilahkan penderita untuk berbaring

• Memfleksikan sendi panggul dan lutut penderita


65
• Melakukan gerakan ekstensi sendi panggul dan penderita diminta
melawan dengan gerakan fleksi
• Memberikan penilaian tenaga otot Iliopsoas penderita

b. Penilaian tenaga otot gluteus maksimus

• Mempersilakan penderita untuk tidur tiarap


• Memposisikan salah satu tungkai bawah dalam keadaan fleksi pada
sendi lutut
• Meminta penderita melakukan gerakan ekstensi sendi panggul untuk
melawan tahanan pemeriksa
• Memberikan penilaian tenaga otot gluteus maksimus penderita

3. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIS

Score
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
Meminta izin kepada penderita, mempersilakan penderita berbaring dengan
1.
rileks
2. Pemeriksaan Sensibilitas Ekteroseptif

Meminta penderita menutup mata

a. Pemeriksaan raba rasa

• Menggunakan alat yang benar (kapas)


• Menyentuh kulit penderita dengan kapas dan meminta memberikan
respon bila merasa kulitnya tersentuh dengan jawaban ”ya”
b. Pemeriksaan rasa nyeri
• Menggunakan alat yang benar (berujung tajam) dan memegangnya
seperti memegang pensil
• Memberikan rangsang tusuk (tajam) dan tumpul (jari telunjuk)
secara bergantian
• Meminta penderita memberikan respon terhadap rangsang yang
diberikan berupa jawaban ”tajam” atau ”tumpul”
c. Pemeriksaan rasa suhu
• Menggunakan alat yang benar (dua buah tabung kaca yang berisi
cairan dingin/air es dan cairan hangat) dan memegangnya seperti
memegang pensil
• Memberikan rangsang dingin dan hangat secara bergantian (acak)
• Meminta penderita memberikan respon terhadap rangsang yang
diberikan berupa jawaban ”dingin” atau ”hangat”
3. Pemeriksaan Sensibilitas Proprioseptif

Meminta izin kepada penderita, Meminta penderita menutup mata


Melakukan pemeriksaan dengan membandingkan ke dua sisi tubuh kiri dan
kanan
66
a. Perasaan gerak (kinestetik)
• Pemeriksa memegang jempol kaki penderita. Pemeriksa
menggerakkan jempol tersebut ke keatas dan kebawah
• Penderita diminta memberikan tanggapan berupa ”keatas” atau
”kebawah” ibu jarinya
b. Perasaan getar (palestesia)

• Pemeriksa menggetarkan garpu tala


• Meletakkan garpu tala pada bagian dorsal falang terakhir dari ibu jari
kaki, maleolus pada tuberositas tibiae, pada prosessus stiloideus
radii dan ulnae dan pada kondilus humeri
• Jika penderita merasa adanya getaran, maka ia diminta mengatakan
"getar." Bila penderita tidak merasa adanya getaran, ia diminta
mengatakan "tidak getar."

4. Pemeriksaan sensibilitas diskriminatif

a. Stereognosis

• Pemeriksa meletakkan uang logam pada tangan penderita


• Pemeriksa meminta penderita untuk menyebutkan benda yang ia
pegang
• Menilai hasil pemeriksaan

b. Graphestesia

• Pemeriksa memegang telapak tangan penderita


• Pemeriksa menuliskan huruf atau angka tertentu pada telapak tangan
penderita
• Penderita diminta menyebutkan huruf atau angka yang ditulis
tersebut
• Menilai hasil pemeriksaan

c. Diskriminasi spasial

• Pemeriksa memegang ibu jari penderita

• Pemeriksa menusukkan dua jarum pada ujung jari penderita


• Jika penderita merasa adanya dua titik nyeri, maka ia diminta
mengatakan "dua." Bila penderita merasa adanya hanya satu titik
nyeri, ia diminta mengatakan "satu."
• Menilai hasil pemeriksaan
Melakukan pemeriksaan dengan membandingkan ke dua sisi tubuh kiri dan
5.
kanan

Keterangan: 0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar

67
KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL (NERVUS I-VI)

Fakhrurrazy

PENDAHULUAN
Pemeriksaan saraf-saraf kranial merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan neurologis
yang terdiri dari status mental, tingkat kesadaran, fungsi saraf kranial, fungsi motorik, refleks,
koordinasi dan gaya berjalan, serta fungsi sensorik. Seperti halnya pemeriksaan neurologi pada
umumnya, pemeriksaan ini juga bertujuan untuk membantu dalam penegakkan diagnosis neurologis
yang meliputi diagnosis anatomis (letak lesi) dan patologis (proses penyakit).
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubang-
lubang pada tulang yang dinamakan foramina. Ada 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan
nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II),
Okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula
koklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII).
Pemeriksaan saraf kranial memerlukan kerjasama yang baik antara pemeriksa dan penderita
selama pemeriksaan. Penderita seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan suatu tindakan
yang mungkin oleh penderita dianggap tidak masuk akal atau menggelikan. Sebelum mulai
diperiksa, kegelisahan penderita harus dihilangkan dan penderita harus diberi penjelasan mengenai
pentingnya pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis. Memberikan penjelasan mengenai
lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan dan nyeri yang mungkin timbul dapat membantu
memupuk kepercayaan penderita pada pemeriksa. Penderita diminta untuk menjawab semua
pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk sebaik mungkin

Gambar 1. Nervus kranial

68
PEMERIKSAAN NERVUS OLFAKTORIUS (I)
Pada pemeriksaan rutin nervus kranialis, umumnya cukup ditanyakan apakah pasien
menyadari adanya gangguan penciuman (penghidu). Jika riwayat pasien mengindikasikan perlunya
pemeriksaan lebih lanjut, maka setiap lubang hidung harus diperiksa secara terpisah dengan
menggunakan botol-botol yang berisi berbagai aroma. Pada pemeriksaan ini yang penting dinilai
adalah kemampuan pasien untuk membedakan aroma yang berbeda, bukan pada kemampuannya
untuk menyebutkan aroma apa secara akurat.

Gambar 2. Nervus olfaktorius


Aroma yang dipilih dapat berupa minyak aromatik (misalnya lavender, pepermin), kopi, teh,
atau tembakau yang mampu menstimulasi nervus olfaktorius. Bahan iritan seperti amonia dapat
merangsang cabang nervus trigeminus di mukosa nasal sehingga tidak dianjurkan sebagai bahan
pada pemeriksaan sarap olfaktorius ini. Pasien yang telah kehilangan indra penghidu akan bereaksi
terhadap ammonia melalui jaras alternative ini.
Prosedur pemeriksaan nervus Olfaktorius (N I)

1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan


2. Meminta izin kepada probandus sembari mempersilakan penderita untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk memejamkan matanya atau menutup mata probandus dengan
kain penutup
4. Melakukan inspeksi lubang hidung yang akan diperiksa apakah ada pilek, polip, atau sumbatan
lainnya
5. Menutup hidung yang tidak diperiksa dengan kapas
6. Mendekatkan botol yang telah berisi bahan beraroma pada hidung yang akan diperiksa
7. Meminta probandus untuk menyebutkan aroma apa yang tercium
8. Melakukan pemeriksaan 6 & 7 untuk aroma yang lain
9. Pemeriksaan yang sama dilakukan juga untuk lubang hidung kontralateral.

Syarat Pemeriksaan :
1. Pasien dalam keadaan sadar dan kooperatif
2. Jalan nafas harus dipastikan bebas dari penyakit.
3. Bahan yang dipakai harus dikenal oleh penderita.
4. Bahan yang dipakai bersifat non iritating.

69
Catatan: Bahan yang cepat menguap tidak boleh digunakan dalam pemeriksaan ini sebab bahan
tersebut dapat merangsang nervus trigeminus (N V) dan alat-alat pencernaan.

Interpretasi Hasil Pemeriksaan :


a. Terciumnya bau-bauan secara tepat menandakan fungsi nervus olfaktorius kedua sisi adalah baik.

b. Hilangnya kemampuan mengenali bau-bauan (anosmia) yang bersifat unilateral tanpa ditemukan
adanya kelainan pada rongga hidung merupakan salah satu tanda yang mendukung adana neoplasma
pada lobus frontalis cerebrum.

c. Anosmia yang bersifat bilateral tanpa ditemukan adanya kelainan pada rongga hidung merupakan
salah satu tanda yang mendukung adanya meningioma pada cekungan olfaktorius pada cerebrum.
Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari trauma ataupun pada meningitis. Pada orang tua dapat
terjadi gangguan fungsi indra penciuman ini dapat terjadi tanpa sebab yang jelas. Gangguan ini
dapat berupa penurunan daya pencium (hiposmia). Bentuk gangguan lainnya dapat berupa
kesalahan dalam mengenali bau yang dicium, misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bawang
goreng, hal ini disebut parosmia.

d. Selain keadaan di atas dapat juga terjadi peningkatan kepekaan penciuman yang disebut
hiperosmia, keadaan ini dapat terjadi akibat trauma kapitis, tetapi kebanyakan hiperosmia terkait
dengan kondisi psikiatrik yang disebut konversi histeri. Sensasi bau yang muncul tanpa adanya
sumber bau disebut halusinasi olfaktorik. Hal ini dapat muncul sebagai aura pada epilepsi maupun
pada kondisi psikosis yang terkait dengan lesi organik pada unkus.

PEMERIKSAAN NERVUS OPTIKUS (II)


Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus)
Ketajaman penglihatan paling baik diperiksa dengan menggunakan kartu Snellen, yaitu
dengan membaca deretan huruf dari jarak 6 meter (20 kaki). Setiap mata diperiksa secara terpisah
dan gangguan refraksi dikoreksi dengan menggunakan lensa atau lubang kecil (pinhole). Ketajaman
dinyatakan dalam pecahan dengan penyebut adalah jarak antara pasien dengan daftar huruf,
sementara pembilang adalah deretan huruf terkecil yang dapat dibaca pasien dengan akurat. Jadi,
6/6 (20/20) adalah normal. Sementara 6/60 (20/200) berarti pasien hanya dapat membaca huruf
terbesar pada deret paling atas daftar. Jika pasien masih tidak dapat membaca huruf paling atas,
maka jarak dapat diperdekat, atau dinilai dengan kemampuan pasien menghitung jari, mendeteksi
gerakan terhadap tangan atau persepsi terhadap cahaya (dicatat sebagaimana adanya hitung jari,
gerakan tangan, dan persepsi cahaya).
Pemeriksaan visus pada bagian neurologi pada umumnya tidak dikerjakan menggunakan kartu
Snellen tetapi dengan melihat kemampuan penderita dalam mengenali jumlah jari-jari, gerakan
tangan dan sinar lampu.
70
Prosedur pemeriksaan daya penglihatan (visus) :
a. Memberitahukan kepada penderita bahwa akan diperiksa daya penglihatannya.

b. Memastikan bahwa penderita tidak mempunyai kelainan pada mata misalnya, katarak, jaringan
parut atau kekeruhan pada kornea, peradangan pada mata (iritis, uveitis), glaukoma, korpus
alienum.

c. Pemeriksa berada pada jarak 1- 6 meter dari penderita.

d. Meminta penderita untuk menutup mata sebelah kiri untuk memeriksa mata sebelah kanan.
e. Meminta penderita untuk menyebutkan jumlah jari pemeriksa yang diperlihatkan kepadanya.

f. Jika penderita tidak dapat menyebutkan jumlah jari dengan benar, maka pemeriksa menggunakan
lambaian tangan dan meminta penderita menentukan arah gerakan tangan pemeriksa.

g. Jika penderita tidak dapat menentukan arah lambaian tangan, maka pemeriksa menggunakan
cahaya lampu senter dan meminta penderita untuk menunjuk asal cahaya yang disorotkan ke
arahnya.

h. Menentukan visus penderita.

i. Melakukan prosedur yang sama untuk mata sebelah kiri.

Interpretasi pemerksaan :
Seorang normotrop akan dapat menghitung jari-jari pada jarak 60 meter. Dengan demikian
maka seseorang yang hanya dapat menghitung jari-jari itu dengan baik pada kejauhan 5 meter akan
memiliki visus 5/60 (sama dengan seseorang yang dalam jarak 5 meter dapat membaca huruf yang
teratas pada kartu Snellen). Bila seorang penderita hanya dapat menghitung jari kita itu dalam jarak
3 meter maka kita katakan visus penderita adalah 3/60. Bila ia hanya dapat menghitung jari-jari kita
baik pada jarak 1 meter, maka kita katakan visusnya adalah 1/60.
Bila visusnya adalah lebih jelek daripada itu, maka kita suruh ia melihat gerakan tangan kita
(ke atas-bawah/ke kanan-kiri). Seorang yang normotrop akan dapat melihat tangan kita itu dari jarak
300 meter. Seorang yang hanya dapat melihat gerakan itu pada jarak 3 meter kita katakan telah
memiliki visus 3/300. Bila gerakan tangan itu hanya dapat dilihatnya pada jarak 1 meter maka visus
penderita adalah 1/300.
Bila visus penderita adalah kurang dari 1/300 kita periksa penderita dengan lampu senter. Bila
lampu itu baru dapat dilihatnya pada jarak 1 meter maka visusnya = 1/~. Bila cahaya juga tidak
dilihatnya maka visusnya adalah 0.

Pemeriksaan Lapangan Pandang

71
Lapang pandang pasien dapat diperiksa secara sederhana dengan tes konfrontasi. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan cara menggerakan benda secara tangensial dari atau ke tengah lapang pandang
dalam empat kuadran yaitu medial, lateral, superior, dan inferior (setiap mata di periksa secara
terpisah). Probandus memfiksasikan pandangannya pada pupil pemeriksa dan diminta mengatakan
batas persepsi dari benda yang digerakkan.
Serabut-serabut saraf di jaras penglihatan mempertahankan hubungan spesial yang kasar satu
sama lain, dan merefleksikan asalnya di retina. Fakta ini dari penyilangan parsial jaras pada kiasma
optikum menghasilkan pola karakteristik gangguan lapang pandang, dan sangat berguna dalam
menentukan letak lesi.

Gambar 3. Pola karakteristik lapangan pandang

Sebagian besar kelainan lapang pandang dapat dinilai dengan tes konfrontasi. Akan tetapi ,
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan lebih teliti (dalam hal ukuran dan warna benda) dan peta
lapang pandang (misalnya menggunakan layer Bjerrum), perimeter kubah (Goldmann) atau
peralatan otomatis (Humphrey)). Teknik-teknik ini berguna terutama untuk skotoma kecil seperti
pada penyakit retina, dan untuk memonitior perkembangan terapi dan penyakit.

72
Gambar 4. Pemeriksaan lapang pandang
Prosedur pemeriksaan lapangan pandang (test konfrontasi dengan tangan)
a. Meminta penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa pada jarak 1 meter.
b. Meminta penderita menutup mata kirinya dengan tangan untuk memeriksa mata kanan.
c. Meminta penderita melihat hidung pemeriksa
d. Pemeriksa menggerakkan jari tangannya dari samping kanan ke kiri dan dari atas ke bawah.
e. Meminta penderita untuk mengatakan bila masih melihat jari-jari tersebut.
f. Menentukan hasil pemeriksaan.
g. Mengulangi prosedur pemeriksaan untuk mata sebelah kiri dengan menutup mata sebelah kanan.

Jenis-jenis kelainan lapangan pandang (visual field defect) :


1. Total blindness : tidak mampu melihat secara total.
2. Hemianopsia : tidak mampu melihat sebagian lapangan pandang (temporal; nasal; bitemporal;
binasal)
3. Homonymous hemianopsia : hanya mampu melihat sisi kanan atau sisi kiri dari lapangan
pandang
4. Homonymous quadrantanopsia : tidak mampu melihat seperempat dari lapangan pandang

Penglihatan warna
Pemeriksaan klinis penglihatan warna biasanya menggunakan gambar Ishihara. Tes ini terdiri
dari titik-titik berwarna yang tersusun sehingga individu dengan penglihatan warna yang normal
dapat membaca sebuah angka yang tersembunyi dalam pola titik-titik tersebut. Gangguan
penglihatan warna dapat diturunkan gen resesif terkait seks.
Gangguan bisa juga didapat, terutama pada penyakit nervus optikus. Jadi, desaturasi warna
(terutama warna merah) merupakan gambaran awal semua penyakit nervus optikus. Gangguan
sentral (yaitu serebral) penglihatan warna yang lebih ringan biasanya disebabkan oleh penyakit di
region oksipitotemporal, dan seringkali melibatkan kedua hemisfer, yang membutuhkan tes yang
lebih canggih.

Funduskopi
73
Funduskopi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut oftalmoskop. Kegunaan utama
oftalmoskop adalah untuk melakukan inspeksi diskus optikus, sehingga sewaktu melakukan
funduskopi kita perhatikan keadaan pupil, makula, dan retina mata yang sedang diperiksa. Penilaian
terhadap struktur-struktur tersebut membantu deteksi efek yang timbul akibat penyakit tertentu
seperti hipertensi dan diabetes serta gangguan oftalmologis yang berhubungan dengan penyakit
neurologis misalnya retinitis pigmentosa.
Pemeriksaan mata kanan dilakukan dengan memegang alat oftalmoskop dengan tangan kanan,
sedangkan mata dokter yang mengintip di belakang oftalmoskop tersebut adalah mata yang kanan.
Sebaliknya untuk mata kiri penderita dapat dilakukan dengan mengintip melalui mata kirinya
melalui oftalmoskop yang digenggam dengan tangan kirinya. Putar lensa ke arah O dioptri maka
fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan
fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan
mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari
diskus optikus.

PEMERIKSAAN NERVUS OKULOMOTORIUS (III)


Nervus Okulomotorius (III) termasuk dalam otot yang menggerakkan kedua mata bersama
dengan nervus Trokhlearis (IV) dan nervus Abdusens (VI). Nukleus nervus III terletak sebagian di
depan substansia grisea periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia
grisea (Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-otot rektus
medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator palpebra superior. Nukleus
otonom atau nukleus Edinger-westhpal yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata
inferior yaitu spingter pupil dan otot siliaris. Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang
diinervasi oleh nervus III, IV dan VI. Dimana N III menginervasi m. Obliq inferior (yang menarik
bala mata keatas), m. rectus superior, m. rectus media, m. rectus inferior. N IV menginervasi m.
Obliq Superior dan N VI menginervasi m. rectus lateralis.

Gambar 5. Otot penggerak bola mata (mata kanan)

74
Pemeriksaan gerakan bola mata yang harus diperhatikan ialah melihat apakah ada salah satu
otot yang lumpuh. Bila pada 1 atau 2 gerakan mata ke segala jurusan dari otot-otot yang disarafi N
III berkurang atau tidak bisa sama sekali, maka disebut opthalmoplegic externa. Kalau yang parese
otot bagian dalam (otot sphincter pupil) maka disebut opthalmoplegic interna. Jika hanya ada salah
satu gangguan maka disebut opthalmoplegic partialis, sedangkan kalau ada gangguan kedua macam
otot luar dan dalam disebut opthalmoplegic totalis
Pemeriksaan nervus III meliputi fisura palpebra, gerakan bola mata, dan pupil. Pada keadaan
normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik
yang sama secara bilateral. Apabila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada
mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi)
secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula, maka dicurigai adanya suatu ptosis.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas,
dan bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya
nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah harus dilihat
adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate divergen ke satu sisi.

Pemeriksaan pupil untuk nervus III adalah sebagai berikut:


Refleks akomodasi (konvergensi).
Pupil juga akan berkonstriksi jika fokus suatu benda dipindahkan dari jarak jauh ke jarak
dekat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menyuruh penderita memandang jauh dan selanjutnya
disuruh memandang jari telunjuk kita yang berada agak jauh dari penderita. Kemudian perintahkan
terus memandang jari telunjuk kita sembari kita menggerakan jari mendekati hidung penderita.
Perhatikan kontraksi pupil penderita yang terjadi. Biasanya akan tampak bahwa kedua bola mata
penderita akan bergerak ke medial dan pupil akan menyempit.
Refleks Pupil
Komponen aferen lengkung refleks yang mengatur konstriksi pupil terhadap rangsang cahaya
atau refleks akomodasi pada penglihatan dekat adalah nervus optikus. Saraf eferen merupakan
bagian dari sistem saraf parasimpatis dan mencapai serabut otot polos konstriktor pupil melalui
nervus okulomotorius (III). Saraf simpatis memersarafi serabut otot dilator pupil, yang mencapai
mata dari ganglion sevikal superior melalui pleksus simpatis pada dinding arteri karotis interna.
Inspeksi pupil dilakukan pada pupil istirahat yaitu dengan melihat ukuran diameter pupil
(dalam satuan milimeter), bentuk lingkaran pupil (regularitas), dan deviasi pupil (eksentrisitas)
pupil. Selanjutnya dilakukan penilaian respons pupil terhadap cahaya. Respon cahaya langsung
dilakukan dengan menggunakan sumber cahaya (senter kecil) yang diarahkan dari samping
sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi. Inspeksi kedua pupil dan
ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil.

75
Respon cahaya konsensual terjadi jika pada pupil yang satu disinari maka secara simultan pupil
lainnya memberikan respon identik dengan mengecil dengan ukuran yang sama.
Lebarnya pupil sangat tergantung dari penerangan di dalam kamar periksa. Pada penerangan
yang sedang, biasanya lebar pupil itu adalah 4-5 mm. Bila lebarnya adalah kurang dari 2 mm, maka
keadaan itu kita namakan miosis. Bila lebar pupil lebih dari 5 mm, maka keadaan itu kita namakan
midriasis. Bila pupil itu sangat kecil maka keadaan itu kita namakan pinpoint pupil. Bila pupil
kanan dan kiri sama lebarnya, maka kita katakan, bahwa pupil penderita itu adalah isokor. Anisokor
adalah keadaan di mana satu pupil lebih lebar dari pada pupil yang lain.

PEMERIKSAAN NERVUS TROKLEARIS (IV)


Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikulus inferior di depan substansia grisea
periakuaduktal dan berada di bawah nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-satunya saraf
kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak. Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus
superior untuk menggerakkan mata bawah, sedikit ke temporal dan abduksi dalam derajat kecil.
Pemeriksaan nervus IV meliputi gerak mata ke medial bawah, strabismus konvergen, dan
diplopia. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah harus dilihat adanya
strabismus (juling). Probandus diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke
arah medial bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia).

PEMERIKSAAN NERVUS TRIGEMINUS (V)


Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut-serabut
sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis. Serabut-serabut sensorik
saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yatu saraf oftalmikus, maksilaris, dan
mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung,
sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah bagian anterior
telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani.
Pemeriksaan fungsi motoris dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis
dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi
masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus)
dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari
cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena).
Pemeriksaan fungsi sensorik mengikuti cabang sensorik nervus trigeminus, yaitu oftalmik,
maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan
membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari
sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada
kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan
tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan
76
pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam.
Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes
pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena
sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin
kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan
hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus
dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia
merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.

Gambar 5. Cabang sensoris nervus Trigeminus


Pemeriksaan refleks meliputi refleks kornea dan refleks masseter. Pada pemeriksaan refleks
kornea langsung, probandus diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas
disentuhkan pada kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas
disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian
bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V
tetapi serabut eferan (berkedip) berasal dari N.VII.
Pemeriksaan refleks kornea tak langsung (konsensual), sentuhan kapas pada kornea mata
kanan akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya, kegunaan
pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual, yaitu untuk
melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen).
Refleks masseter bertujuan untuk melihat adanya lesi UMN (cortico-bulbar) penderita
membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa
diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan
mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat
penutupan mulut yang kuat dan cepat.

PEMERIKSAAN NERVUS ABDUSENS (VI)


Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat medula
oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf abdusens mempersarafi otot rektus
77
lateralis. Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-
tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya
horizonatal dan sejajar satu sama lain.
Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah harus dilihat adanya
strabismus (juling). Probandus diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke
arah lateral, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia).

DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN NERVUS KRANIAL (I-VI)

NO ASPEK YANG DINILAI SKOR

0 1 2

1 Nervus 1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan


Olfaktorius (I) 2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan penderita untuk duduk atau
berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk memejamkan
matanya atau menutup mata probandus dengan
kain penutup
4. Melakukan inspeksi lubang hidung yang akan
diperiksa apakah ada pilek, polip, atau sumbatan
lainnya
5. Menutup hidung yang tidak diperiksa dengan kapas
6. Mendekatkan botol yang telah berisi bahan
beraroma pada hidung yang akan diperiksa
7. Meminta probandus untuk menyebutkan aroma apa
yang tercium
8. Melakukan pemeriksaan 6 & 7 untuk aroma yang
lain
9. Memberikan penilaian hasil pemeriksaan
2 Nervus Optikus Pemeriksaan Lapangan pandang (tes konfrontasi) • • •
(II)
1. Meminta penderita duduk berhadapan dengan
pemeriksa pada jarak 1 meter.
2. Meminta penderita menutup mata kirinya dengan
tangan untuk memeriksa mata kanan.
3. Meminta penderita melihat hidung pemeriksa
4. Pemeriksa menggerakkan jari tangannya dari
samping kanan ke kiri dan dari atas ke bawah.
5. Meminta penderita untuk mengatakan bila masih
melihat jari-jari tersebut.
6. Menentukan hasil pemeriksaan.
7. Mengulangi prosedur pemeriksaan untuk mata
sebelah kiri dengan menutup mata sebelah kanan.
78
Pemeriksaan refleks pupil.
3 Nervus
Okulomotorius 1. Mempersiapkan alat dan bahan
(III), nervus
pemeriksaan
Troklearis (IV),
dan 2. Meminta izin kepada probandus sembari
nervus Abdusen
mempersilakan probandus untuk duduk
(VI)
atau berbaring
3. Menyinari mata yang akan diperiksa
dengan senter dari arah samping
4. Memperhatikan reaksi pupil yang disinari
(refleks pupil langsung) maupun reaksi
pupil yang tidak disinari (refleks pupil
konsensual)
5. Memeriksa refleks akomodasi pupil.
a. Meminta penderita melihat jari telunjuk
pemeriksa pada jarak yang agak jauh.
b. Meminta penderita untuk terus melihat jari
telunjuk pemeriksa yang digerakkan mendekati
hidung penderita.
6. Memberikan penilaian

Pemeriksaan gerak bola mata


1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau
berbaring
3. Menempatkan diri di depan probandus sekitar
1 meter
4. Memerintah kepada probandus untuk melihat
dan mengikuti gerakan jari tangan pemeriksa
yang membentuk gambaran X, H, dan +
5. Memberikan penilaian dan pencatatan hasil
pemeriksaan
4 Nervus
Fungsi Motoris
Trigeminal
Nerve (V) 1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau
berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk mengatupkan
giginya dan mempertahankannya
4. Melakukan palpasi otot temporalis dan
masseter
5. Memerintahkan probandus untuk membuka
mulut dan mempertahankannya sembari
dilakukan tahanan dengan tangan pemeriksa
6. Memberikan penilaian dan pencatatan hasil
79
pemeriksaan
Fungsi sensoris
1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau
berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk memejamkan
matanya
4. Memberikan sensasi tajam dengan jarum pada
daerah dahi, pipi, dan dagu serta
memerintahkan probandus untuk mengatakan
“ya” apabila merasakan sensasi dan
dibandingkan kanan dengan kiri.
5. Memberikan sensasi raba halus dengan kapas
pada daerah dahi, pipi, dan dagu serta
memerintahkan probandus untuk mengatakan
“ya” apabila merasakan sensasi dan
dibandingkan kanan dengan kiri.
6. Memberikan penilaian dan pencatatan hasil
pemeriksaan
Refleks Kornea
1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau
berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk melirikkan
matanya ke arah latero-superior
4. Menyentuhkan kapas pada kornea dari arah
yang lain pada mata yang diperiksa
5. Menilai kekuatan dan kecepatan refleks yang
timbul dalam bentuk kedipan mata yang
diperiksa (refleks kornea langsung) dan pada
mata yang tidak diperiksa (refleks kornea
konsensual)
6. Memberikan penilaian dan pencatatan hasil
pemeriksaan

Keterangan: 0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar

80
KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS( N.VII-XII)

Fakhrurrazy

PEMERIKSAAN NERVUS FASIALIS (N. VII)


Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik (somatomotorik dan sekretomotoril) dan fungsi
sensorik. Fungsi motorik berasal dari nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari
tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari nukleus sensoris
yang muncul bersama nukleus motoris dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke
dalam kanalis akustikus interna.
Serabut motoris saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot
orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot stilohioideus, otot
digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian
anterior lidah.
Otot-otot wajah bagian atas diinervasi kortikal bilateral karena itu terdapat perbedaan antara
gejala kelumpuhan nervus VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan
dahi yang mendapat inervasi dari kortikal bilateral tidak lumpuh, yang lumpuh adalah otot-otot
wajah bagian bawah. Pada lesi nervus VII perifer (gangguan terdapat di nukleus atau intranucleus),
maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk cabagn saraf untuk pengecapan
dan sekresi ludah. Wajah bagian bawah mendapat inervasi dari korteks motorik kontralateral
(unilateral), sedangkan pada wajah bagian atas mendapat inervasi dari kedua sisi korteks motorik
(bilateral). Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan
otot). Saat pasien diam diperhatikan adanya asimetri wajah. Kelumpuhan nervus VII dapat
menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan
nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik.
Perhatikan juga gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus
sardonicus, dan tremor serta ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng).
Fungsi motorik dapat dinilai dengan meminta probandus untuk mengerutkan dahi, menutup
mata, meringis, meniup (menggembungkan pipi), bersiul, dan tersenyum. Pada kelemahan berat
otot penutup mata, pasien bisa mengalami kesulitan melindungi kornea. Pasien tersebut dapat
terlihat memutar matanya ke atas di bawah kelopak saat ia diminta menutup mata, suatu usaha
otomatis untuk menutup kornea.

81
Gambar 1. Fungsi motorik nervus VII: mengerutkan dahi

Pemeriksaan fungsi sensoris nervus VII dinilai dengan memberikan larutan yang mewakili
empat modalitas pengecap dasar (manis, pahit, asam dan asin) yang disentuhkan pada bagian
anterior lidah (2/3anterior).

PEMERIKSAAN NERVUS VESTIBULOKOKLEARIS (N. VIII)


Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang
mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut aferen yang mengurusi
keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan berjalan menuju inti
koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan kemudian
menuju girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut untuk keseimbangan mulai dari utrikulus
dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut auditorik di dalam kanalis fasialis.
Serabut-serabut ini kemudian memasuki pons, serabut vestibutor berjalan menyebar melewati
batang dan serebelum.
Tes pendengaran sederhana adalah dengan menilai kemampuan pasien mendengar detik jarum
jam yang didekatkan ke telinga, atau dengan membisikkan sejumlah angka pada satu telinga dengan
menutup liang telinga kontralateral pada jarak kira-kira 1 meter dari telinga, dan meminta pasien
mengulanginya (tes Whisper).
Untuk membedakan tuli konduktif (telinga luar dan telinga tengah) atau tuli sensorineural
(telinga dalam), dapat digunakan garpu tala 512 Hz. Pada tes Rinne, konduksi udara dengan ujung
garpu yang bergetar diletakkan di depan telinga, dibandingkan dengan konduksi tulang dengan cara
meletakkan tangkai garpu tala pada prosesus mastoideus (dibelakang telinga) dan bila bunyi tidak
lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Normalnya,
konduksi udara lebih cepat dibandingkan dengan konduksi tulang yang ditandai dengan garpu tala
masih terdengar pada meatus akustikus eksternus (Rinne +). Akan tetapi, pada tuli konduktif
konduksi tulang lebih cepat dibandingkan konduksi udara yang ditandai dengan garpu tala tidak
terdengar lagi (Rinne -). Pada tuli sensorineural, konduksi tulang juga lebih cepat dibandingkan
dengan konduksi udara, tetapi keduanya akan berkurang jika dibandingkan dengan telinga normal.

82
Pada tes weber, dasar tangkai garpu tala diletakkan pada verteks. Dalam keadaan normal,
bunyi akan terdengar sama keras pada kedua telinga. Pada tuli sensorineural akan terjadi
lateralisasi bunyi kearah telinga yang normal, sedangkan pada tuli konduktif akan terjadi
lateralisasi ke arah telinga yang sakit.
Pada Tes Schwabach, setelah garpu tala dibunyikan langsung diletakkan pada telinga pasien,
pasien diminta untuk memberi tahu bila bunyi garpu tala berhenti. Setelah itu, pemeriksa
menempatkan garpu tala di dekat lubang telinga dirinya. Bila pemeriksa masih dapat menangkap
bunyi garpu tala maka pendengaran pasien berkurang.
Pemeriksaan komponen keseimbangan dapat dilakukan dengan tes Romberg atau
memerhatikan nistagmus. Pada tes Romberg penderita diminta berdiri tegak lurus dengan kaki
dirapatkan serta kedua mata di pejamkan. Tes Romberg positif apabila pada mata tertutup tidak bisa
berdiri tegak lurus dengan kaki dirapatkan dan apabila mata terbuka probandus dapat beridir dengan
kedua tungkai dirapatkan. Tes ini baik untuk menggambarkan gannguan keseimbangan karena
gangguan penghantaran impuls proprioseptik (serebelum).
Nistagmus adalah gerakan osilasi ritmis involunter mata yang dapat terjadi pada lirikan dalam
arah horizontal atau vertikal yang disengaja, atau kadang pada posisi primer. Nistagmus vestibuler
memiliki gerakan dua arah dengan kecepatan yang sama (nistagmus pendulum), tetapi seringkali
terdapat fase lambat pada satu arah (pergeseran kembali ke posisi primer dari arah lirikan yang
disengaja) yang bergantian dengan fase korektif cepat ke arah sebaliknya (jerk nystagmus) sebagai
usaha kompensasi terhadap proses patologis komponen lambat. Jerk nystagmus dapat
dikalsifikasikan menjadi pertama, terjadi hanya jika pasien melihat kearah komponen fase cepat;
kedua, terjadi persisten pada posisi primer pandangan (menatap lurus ke depan); ketiga, terjadi juga
bahkan pada saat mata melihat kearah komponen fase lambat.mengarah dengan komponen cepatnya
ke sisi kontralateral terhadap lesi.
PEMERIKSAAN NERVUS GLOSOFARINGEUS (N. IX) DAN PEMERIKSAAN NERVUS
VAGUS (N. X)
Nervus Glosofaringeus dan nervus vagus merupakan saraf kranial yang sangat berhubungan
erat dan mempunyai fungsi yang mirip, sehingga pemeriksaan nervus IX dan nervus X tidak dapat
diteliti sendiri-sendiri, kecuali mengenai bagian pemeriksaan otot-otot larings. Nervus
Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada waktu meninggalkan
kranium melalui foramen tersebut. Saraf glosofaringeus mempunyai dua ganglion, yaitu ganglion
intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen, saraf berlanjut antara
arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Di antara otot ini dan otot
stiloglosus, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi mukosa faring, tonsil, dan sepertiga
posterior lidah.
Pemeriksaan fungsi motorik nervus IX dilakukan dengan menyuruh probandus membuka
mulutnya dan mengucapkan: "ah-ah-ah" yang panjang. Maka tampaklah, bahwa langit-langit yang
83
sehat akan bergerak ke atas. Apabila ada kelumpuhan nervus IX, maka lengkung langit-langit di sisi
yang sakit tidak akan serta bergerak ke atas. Biasanya menelan dan fonasi tidak akan terganggu.
Walaupun sewaktu-waktu ada pula penderita dengan lesi satu nervus IX yang juga memperlihatkan
gangguan menelan dan fonasi. Tetapi bila kedua nervus IX yang lumpuh maka dapat timbul
gangguan menelan (misalnya air yang diminum keluar dari hidung apalagi bila ia minum air
tergesa-gesa) serta gangguan fonasi, yaitu suaranya kedengaran "sengau." Suara "sengau" itu
lenyap, bila hidungnya ditutup. Seperti terlihat pada gambar 7. berikut ini.

Gambar 2. Pemeriksaan nervus IX: posisi ovula


Walaupun nervus IX memiliki banyak fungsi, namun asfek klinis yang dinilai rutin pada
pemeriksaan klinis adalah sensasi umum pada dinding posterior faring dan 1/3 posterior lidah.
Stimulus pada regio tersebut dengan menggunakan spatel dapat merangsang refleks muntah (gag
reflex). Lengkung eferen dari refleks muntah ini dihantarkan melalui nervus vagus.
Nervus vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior (jugulare) dan ganglion
inferior (nodosum), keduanya terletak pada daerah foramen jugularis. Nervus vagus mempersarafi
semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-
paru.
Apabila satu nervus rekurentes terganggu, maka akan tampak kelumpuhan dari satu pita suara
di sisi yang sakit. Sisi yang lumpuh itu tidak akan tampak bergerak sewaktu fonasi dan sewaktu
inspirasi pula pita itu akan menjadi atonis dan lama kelamaan menjadi atrofis. Suara penderita akan
menjadi parau. Bila kedua nervus rekurens kanan dan kiri mengalami kelumpuhan, maka pita suara
itu akan berada di garis tengah dan pula tidak bergerak sama sekali, dan akan terdengarlah suara
yang afonis dan stridor inspirasi.

PEMERIKSAAN NERVUS ASSESORIUS (N. XI)


Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis. Radiks kranial adalah akson dari
neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari saraf vagus. Saraf aksesoris adalah
saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius, otot

84
sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan otot trapezius memutar skapula
bila lengan diangkat ke atas.
Gangguan N. XI mengakibatkan kelemahan otot bahu (otot trapezius) dan otot leher (otot
sterokleidomastoideus). Pasien akan menderita bahu yang turun sebelah serta kelemahan saat leher
berputar ke sisi kontralateral. Kelainan pada nervus asesorius dapat disebabkan oleh serabut saraf,
tumor, dan iskemia akibatnya persarafan ke otot trapezius dan otot stemokleidomastoideus
terganggu.

Gambar 3. Pemeriksaan nervis XI: otot trapezius

Pemeriksaan N. XI dilakukan dengan menyuruh probandus memutar kepalanya ke arah sisi


yang sehat. Selanjutnya, pemeriksa meraba otot sternokleidomastoideus itu kita raba. Bila terdapat
paralisis N. XI di sisi tersebut, maka akan teraba bahwa otot sternokleidomastoideus itu tidak
menegang.
Pemeriksaan otot trapezius dilakukan dengan cara melakukan inspeksi dimana bahu penderita
di sisi yang sakit adalah lebih rendah daripada di sisi yang sehat. Penderita lantas kita suruh untuk
mengangkat bahunya kedua-duanya maka akan tampak di sisi yang sakit gerakan tersebut tidak
dapat dilakukannya dengan baik.

PEMERIKSAAN NERVUS HIPOGLOSSUS (N. XII)


Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi garis tengah dan
depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus
merupakan saraf motorik untuk lidah dan mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus, hipoglosus,
dan genioglosus.

85
Gambar 4. Pemeriksaan nervus XII: menjulurkan lidah

Lesi nervus XII dapa bersifat supranuklear, misalnya pada lesi di korteks atau kapsula interna
yang biasanya disebabkan karena stroke. Dalam hal ini kelumpuhan otot lidah tanpa adanya atropi
dan fasiculasi (tanda-tanda UMN). Pada lesi infranuklear didapatkan kelumpuhan otot lidah disertai
atropi dan fasiculasi (tanda-tanda UMN). Kerusakan nervus hipoglossus dapat disebabkan oleh
kelainan di batang otak, kelainan pembuluh darah, tumor dan syringobulbia. Kelainan tersebut dapat
menyebabkan gangguan proses pengolahan makanan dalam mulut, gangguan menelan, gangguan
bicara (disatria), dan gangguan jalan nafas apabila lidah tertarik ke belakang.
Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat menjulurkan, menarik atau mengangkat lidahnya.
Pada lesi unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit saat dijulurkan. Saat istirahat lidah
membelok ke sisi yang sehat di dalam mulut.

86
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN NERVUS KRANIAL

NO ASPEK YANG DINILAI SKOR

0 1 2

5. Nervus Fasialis Fungsi Motoris


(VII) 1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau
berbaring
3. Melakukan inspeksi wajah (lipatan
nasolabial, sudut mulut, serta kerutan
dahi) serta gerakan-gerakan involunter
(tic facialis, kejang, dan tremor)
4. Meminta penderita menggerakkan
mukanya dengan cara sbb:
1) Mengerutkan dahi, bagian yang lumpuh
lipatannya tidak dalam.
2) Mengangkat alis.
3) Menutup mata dengan rapat, lalu
pemeriksa mencoba membuka dengan
tangan.
4) Memoncongkan bibir atau nyengir.
5) Meminta penderita menggembungkan
pipinya, lalu pemeriksa menekan pipi kiri
dan kanan untuk mengamati apakah
kekuatannya sama. Bila ada kelumpuhan
maka angin akan keluar dari bagian yang
lumpuh.
5. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil pemeriksaan
Fungsi sensoris (opsional)
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk
3. Meminta probandus untuk menjulurkan
lidahnya, menutup kedua matanya yang
selanjutnya berikan secukupnya salah
satu bahan berikut garam (asin), gula
(manis), mangga muda (asam?), pil
(pahit?)
4. Meminta kepada probandus untuk
menyebutkan apa yang dia rasakan
5. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil pemeriksaan

87
6 Nervus Komponen Koklear (opsional)
Vestibulokoklearis Tes Whisper
(N. VIII) 1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau
berbaring
3. Menutup telinga kontralateral dengan
kapas
4. Memposisikan diri sekitar 1 meter dari
sisi telinga yang akan diperiksa dan
membisikkan angka (1, 2, 3, 5) sembari
memerintahkan kepada probandus
untuk mengulangi
5. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil pemeriksaan
Tes Rinne
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau
berbaring
3. Menggetarkan garpu tala dan
meletakkannya pada prosesus
mastoideus pada sisi telinga yang dinilai
sampai getaran garpu tala tidak
terdengar lagi oleh probandus
4. Memindahkan garpu tala ke depan liang
telinga pada sisi yang diperiksa (apabila
masih terdengar Rinne +, bila tidak
terdengar Rinne -)
5. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil

Tes Weber
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk
3. Menggetarkan garpu tala dan
meletakkannya pada pertengahan dahi
probandus
4. Menanyakan kepada probandus apakah
bunyi terdengar di tengah atau
mengalami lateralisasi
5. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil pemeriksaan
Komponen vestibular (opsional)
1. Mempersiapakan alat dan bahan

88
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau
berbaring
3. Memerhatikan adanya nistagmus saat terjadi
gerakan bola mata
4. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil pemeriksaan

7 Nervus 1. Mempersiapakan alat dan bahan


pemeriksaan
Glossopharyngeus
2. Meminta izin kepada probandus sembari
(IX) dan nervus
mempersilakan probandus untuk duduk atau
Vagus (X) berbaring
3. Mendengarkan suara yang dikeluarkan
probandus saat berbicara (serak, parau,
sengau)
4. Meminta probandus untuk mengatakan
ah-ah-ah-yang panjang dan perhatikan
posisi palatum mole
5. Menilai refleks muntah (gag reflex)
dengan menyentuhkan spatel pada kedua
sisi palatum mol
6. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil pemeriksaan

89
8 Nervus Asesorius Otot Trapezius
(XI) 1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk
3. Melakukan inspeksi pada bahu probandus
lalu perhatikan apakah asimetris atau tidak
4. Memerintahkan probandus untuk
mengangkat kedua bahu dan perhatikan
apakah dapat dilakukan atau tidak
5. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil pemeriksaan
Otot Sternokleidomastodius
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk
3. Memerintahkan probandus memutar
kepalanya ke arah sisi yang sehat, lalu
meraba otot sternokleidomastoideus
4. Menilai otot sternokleidomastoideus apakah
menegang atau tidak (dalam kondisi normal
otot sternokleidomastoideus menegang)
5. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil pemeriksaan

9 Nervus Hipoglossus 1. Mempersiapakan alat dan bahan


pemeriksaan
(XII)
2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau
berbaring
3. Melakukan inspeksi lidah apakah simteri,
atropi, atau fasikulasi
4. Memerintahkan probandus untuk
menjulurkan, menarik atau mengangkat
lidahnya (lesi unilateral akan menyebabkan
lidah membelok ke arah sisi yang sakit saat
dijulurkan dan lidah membelok ke sisi yang
sehat saat istirahat di dalam mulut)
5. Memberikan penilaian dan pencatatan
hasil pemeriksaan
Keterangan: 0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar

90
KETRAMPILAN PENGAMBILAN DARAH UNTUK PEMERIKSAAN
LABORATORIUM

FX. Hendriyono

Dokter dalam proses menegakkan diagnosis sering perlu melakukan pemeriksaan darah,
karena dari darah banyak analit yang dapat diperiksa untuk dianalisa. Jenis pemeriksaan darah
antara lain seperti pemeriksaan : darah rutin, hemostasis, kimia klinik, imunoserologi atau kultur
darah.
Darah sebagai sampel mempunyai peran yang besar dalam proses penegakkan diagnosis,
sehingga ketrampilan pengambilan darah perlu di ajarkan dan dilatih pada mahasiswa kedokteran.
Proses pengambilan darah yang legeartis, persiapan pasien sebelum pengambilan darah, kecukupan
volum pengambilan dan kesesuaian antikoagulan menjadi fokus dalam praktikum ini.

Pengambilan darah yang legeartis harus memperhatikan alat yang digunakan yaitu :
1. Kotak kerja berisi:
- spuit + jarum atau holder + jarum (disposible)
- torniquet
- kapas alkohol
- plester
- tabung penampung darah (dengan antikoagulan atau tanpa antikoagulan)
- plastik sampah
2. Kertas kerja atau formulir permintaan yang berisi identitas pasien (patien safety)

Sebelum proses pengambilan darah, cocokan dulu identitas pasien dengan formulir
permintaan. Cara identifikasi pasien adalah sebagai berikut :

> Pasien dipanggil


Ucapkan salam, sapa, senyum
Minta pasien menyebutkan nama lengkapnyanya.
Cocokkan identitasnya pada formulir permintaan
Lanjutkan dengan meminta pasien menyebutkan tanggal lahir.
Cocokkan pada formulir permintaan
Jika pasien bisa menjawab sesuai identitas pada formulir permintaan maka lanjutkan
dengan menanyakan apakah setuju darahnya diambil dan berikan penjelasan mengapa
darah diambil, seberapa banyak dan rasa sakit yang timbul serta efek sampingnya.

> Jika jawaban pasien tidak sesuai maka dia bukan pasien yang dimaksudkan.

Dalam proses pengambilan darah identitas pasien sangat penting karena identitas yang salah
membuat hasil pemeriksaan laboratorium menjadi tidak berguna bahkan dapat membahayakan
pasien.

PERSIAPAN PASIEN
Faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi :
1. Makan : 800 kalori akan meningkatkan volume plasma
2. Merokok :
a. meningkatkan jumlah eritrosit, leukosit dan kadar hemoglobin
b. menurunkan jumlah eosinofil
3. Exercise berat :
a. Menurunkan jumlah eritrosit, kadar haptoglobin
b. Meningkatkan kadar hemoglobin
91
4. Kehamilan : hemodilusi
5. Obat :
a. Steroid : menurunkan eosinofil dan limfosit, meningkatkan neutrofil
b. Adrenalin : meningkatkan leukosit dan trombosit
6. Transfusi & donor darah : mengubah susunan darah dan plasma
7. Variasi diurnal : SI tinggi pagi hari, eosinofil lebih rendah pagi hari
8. Variasi biologik
a. in vitro : stabilitas bahan pemeriksaan
b. in vivo : hiperlipidemia, krioglobulinemia, hiperglikemia berat, eritrosit berinti,
agregasi trombosit

Proses pengambilan darah vena


1. Siapkan semua peralatan (tabung darah, spuit + jarum, kapas alkohol, torniquet,
plester/tensoplast)
2. Beri label pada tabung sesuai identitas pasien.
3. Bersihkan area tusukan dengan alkohol 70%, biarkan hingga kering
4. Jika memakai vena daerah fossa cubiti, pasang torniquet ke arah proksimal tetapi jangan
terlalu kencang. Lalu minta pasien mengepal dan membuka kepalan berkali kali hingga vena
jelas terlihat
5. Regangkan kulit diatas vena dengan jari supaya vena tidak bergerak
6. Minta pasien menarik nafas, lalu segera tusuk jarum dengan lubang jarum mengarah ke atas
hingga masuk ke dalam lumen vena.
7. Kendurkan torniquet dan buka kepalan lalu isap darah secukupnya.
8. Taruh kapas beralkohol 70% yang sudah diperas hingga kering di atas tusukan (jangan
ditekan) lalu cabut jarum.
9. Minta pada pasien untuk menekan kapas tadi selama beberapa menit (5-10 menit) atau
direkatkan dengan plester/tensoplas.
10. Masukan darah kedalam tabung melalui dinding tabung Keluarkan jarum dari semprit. Jika
memakai tabung vacum tusuk jarum ke tutup tabung dan biarkan darah mengalir sendiri
masuk ke dalam tabung melalui dinding.

Gambar 1. Lokasi pengambilan darah vena

92
Gambar 2. Pola tindakan aseptik

Gambar 3. Cara penusukan jarum yang tepat

B C

D E

Gambar 4. Beberapa kesulitan/kesalahan sehingga darah sulit di dapat

Cara memasangan torniquet yang benar :


a. ikat 7 – 10 cm di atas tempat punksi vena
b. < 1 menit
c. < 60 mmHg
Bendungan yang lama dan kencang menimbulkan hemokonsentrasi. Akibatnya hasil pemeriksaan
hematologi meningkat, kerusakan vena atau jaringan karena hipoksia
Akibatnya: kadar kalium
93
LDH
CPK meningkat
Tromboplastin jaringan

Penampung darah untuk pemeriksaan hematologi menggunakan tabung berisi antikoagulan EDTA
K3EDTA : pH 7,4 mendekati pH darah
Proporsi /perbandingannya adalah 1 mg EDTA untuk 1 mL darah
Proporsi darah dan EDTA harus tepat, karena jika :
c. Kurang, maka darah membeku
d. Berlebihan : ertirosit mengerut yang berakibat :
▪ Hematokrit rendah
▪ MCV mengecil Anemia palsu
▪ MCHC meningkat

Yang termasuk pemeriksaan hematologi antara lain :


a. Darah lengkap otomatis (Hb, jumlah leukosit, jumlah trombosit, Ht, jumlah eritrosit)
b. Retikulosit
c. LED
d. Aktivitas G6PD
e. Resistensi osmotik
f. Sitokimia
g. Parasit
h. Hapusan darah tepi (HDT)

Stabilitas penyimpanan parameter hematologi menggunakan antikoagulan K3EDTA


Parameter 20 – 25oC 4 – 8oC
Jumlah leukosit 4 jam 24 jam
Jumlah eritrosit 12 jam 24 jam
Hemoglobin 24 jam 24 jam
Hematokrit 6 jam 24 jam
MCV 6 jam 24 jam
MCH 12 jam 24 jam
MCHC 12 jam 24 jam
RDW 20 menit 24 jam
Jumlah trombosit 24 jam 24 jam
MPV 20 menit 20 menit
PDW 20 menit 20 menit

Penampung darah untuk pemeriksaan hemostasis harus menggunakan tabung berisi


antikoagulan sitrat.
Yang termasuk pemeriksaan hemostasis : PT, APTT, fibrinogen, TT
Darah yang diperlukan sebanyak 2 mL
Syarat : - Volume darah dan sitrat harus sesuai
- tidak boleh lisis
- tidak boleh ada bekuan
- 3 hari sebelumnya tidak memakai obat pengencer darah seperti aspirin

Penampung darah untuk pemeriksaan kimia darah dan serologi gunakan tabung tanpa
antikoagulan. Yang termasuk pemeriksaan kimia darah : gula darah, ureum, kreatinin, bilirubin,
SGOT, SGPT, -GT, ALP, albumin, globulin, LDH, kolesterol, trigliserida, CKMB, asam urat,
elektrolit
Yang termasuk pemeriksaan serologi : Widal, HBsAg, anti HCV, anti HAV, HIV, CRP, VDRL,
TPHA, ASTO, RF, tes kehamilan, tes narkoba
94
Plasma
Plasma 30%
75% Plasma
55%

anemia normal polisitemia

Gambar 5. Perkiraan banyaknya perolehan serum

A. Dengan antikoagulan B. Tanpa koagulan


Gambar 6. Perbedaan plasma (A) dan serum (B)

Tabel 1. Jumlah maksimal volum pengambilan darah sesuai berat badan


Berat (kg) Max. volum sekali Max. volume ≤ sebulan
2,7 – 3,6 2,5 23
3,6 – 4,5 3,5 30
4,5 – 6,8 5 40
7,3 – 9,1 10 60
9,5 – 11,4 10 70
11,8 – 13,6 10 80
14,1 -15,9 10 100
16,4 – 18,2 10 130
18,6 – 20,5 20 140
20,9 – 22,7 20 160
23,2 – 25,0 20 180
25,5 – 27,3 20 200
27,7 – 29,5 25 220
95
30,0 – 31,8 30 240
32,3 – 34,1 30 250
34,5 – 36,4 30 270
36,8 – 38,6 30 290
39,1 – 40,9 30 310
41,4 – 43,2 30 330
43,6 – 45,5 30 350

Dalam pengiriman dan penerimaan darah perhatikan apakah spesimen memenuhi syarat :

1. Apakah penampung kadaluarsa ?


2. Apakah label pada botol rusak (sulit dibaca) ?
3. Apakah darah yang diperoleh telah rusak ?
4. Apakah darah mengalami hemolisis ?
5. Apakah ada bekuan bila menggunakan antikoagulan ?
6. Apakah pengiriman tidak memenuhi syarat lama dan suhu ?
7. Apakah volume darah tidak sesuai ?
8. Apakah antikoagulan yang digunakan tidak sesuai ?
9. Apakah darah tercampur bahan infus ?

Jika jawaban salah satunya YA maka sampel darah tersebut direjek atau di batalkan sehingga harus
dimintakan sampel darah baru.

96
PEMBUATAN SEDIAAN HAPUS DARAH TEPI

1. Pilihlah kaca obyek yang tepinya rata untuk digunakan sebagai kaca pemulas (spreader). Pada
sisi pendek kedua sudut diamplas secara diagonal atau dapat digunakan kaca tutup sehingga
sediaan yang dihasilkan tidak sampai ke tepi kaca obyek.
2. Ambil kaca obyek lainnya yang bersih dan bebas lemak lalu letakkan setetes darah utuh dengan
batang gelas pengaduk kira-kira 1 cm dari ujung kaca. Letakkan kaca obyek tersebut ditempat
yang rata dengan tetesan darah di sebelah kanan.
3. Peganglah sisi kiri kaca obyek dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Kaca pemulas dipegang
dengan tangan kanan dan letakkan di depan tetesan darah yang dengan kaca obyek membentuk
sudut kira-kira 250 membuka ke kanan.
4. Kaca pemulas digeser ke arah kanan sehingga menyinggung tetesan darah. Darah tersebut akan
segera menyebar sepanjang sisi kaca pemulas.
5. Jagalah agar sudut kedua kaca obyek tetap 30 0. Kemudian doronglah kaca pemulas dengan
mantap sepanjang kaca obyek. Ulangilah untuk beberapa sediaan. Keringkan di udara, setelah
kering siap untuk diwarnai.

CARA PEMBUATAN DAN PEMBACAAN HAPUSAN DARAH TEPI

Pewarnaan sediaan apus


Untuk mendapatkan hasil pewarnaan yang baik, sediaan sudah harus dicat dalam waktu 1 jam
sesudah dibuat. Bila pengecatan ditunda, sediaan apus harus difiksasi dahulu dengan methanol.

Pewarnaan Wright :
1. Letakkan sediaan di rak pengecatan dengan sediaan menghadap sebelah atas.
2. Genangi sediaan dengan cat Wright biarkan + 1 menit kemudian tambahkan larutan penyangga
sama banyak tanpa tumpah (luber) kemudian biarkan selama 15 menit.
3. Jika waktunya sudah tercapai cucilah sediaan di bawah air kran yang mengalir pelan dan jika
sudah bersih segera keringkan dengan mendiamkannya disuhu ruang dengan posisi miring.
97
Cara pemeriksaan.
1. Periksalah sediaan apus di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah dulu (obyektif 10 x)
kalau sudah tampak jelas baca dengan pembesaran lensa objektif 40 X
a. Leukosit sebaiknya merata penyebarannya.
b. Taksirlah kesan jumlah leukosit (jumlahnya per sejumlah eritrosit). Apakah sesuai dengan
hitung leukosit, bila tidak sesuai dengan jumlah hitung leukosit maka harus diulang.
c. Periksalah sediaan dari daerah kepala sampai ekor. Umumnya bagian ekor selnya lebih
besar, seperti monosit, neutrofil. Sel yang lebih kecil seperti limfosit ada di bagian
kepala/badan.
d. Pada pengamatan sepintas catatlah bila dijumpai kelainan.
e. Pilihlah sediaan di bagian yang eritrositnya tidak saling menumpuk.
2. Hitunglah macam bentuk leukosit per 100 sel leukosit, laporkan hasilnya dalam %.
3. Cara menghitung bentuk leukosit menggunakan alat yang disebut Differential Cell Counter.
Bila tidak tersedia buatlah kolom seperti berikut :

Jenis sel Kolom


VII Jumlah
I II III IV V VI VII IX X
I
Basofil -
Eosinofil II I I I 4
Batang I I I I 4
Segmen IIII IIII IIII IIII IIII
IIII IIII IIII IIII II 55
I I II II I
Limfosit IIII
II III II III IIII IIII IIII II II 34
II
Monosit I I I 3
Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 100
Catatan untuk angka seperti romawi ditulis dengan cara di turus

Sumber kesalahan :
1. Kesalahan tehnis sediaan apus :
a. Tetesan darah terlalu banyak/sedikit.
b. Cara mendorong kaca pemulas tersendat-sendat.
c. Kaca pemulas tidak menempel dengan tepat pada kaca benda.
d. Sudut antara kaca pemulas dan kaca obyek tidak tepat 25 0, sehingga sediaan terlalu tebal dan
sebaliknya.
e. Setelah sediaan kering harus segera difiksasi, bila ditunda mengakibatkan perubahan
morfologi eritrosit.
2. Kesalahan tehnik pengecatan :
a. Bila terlalu asam hasilnya terlalu merah, dan sebaliknya bila terlalu basa hasilnya biru (pH
larutan penyangga sangat kritis, penting diperhatikan).
b. Rak pengecatan harus tepat dan benar.
c. Pembilasan yang tidak bersih.
d. Sisa air dalam sediaan mengakibatkan warnanya pucat.

98
KETERAMPILAN MENENTUKAN GOLONGAN DARAH ABO DAN RH
MENGGUNAKAN DARAH KAPILER ATAU DARAH EDTA

FX. Hendriyono

Pendahuluan.
Sejak penemuan Landsteiner (1901) sampai sekarang telah ditemukan lebih dari 100 antigen
golongan darah. Untuk kegunaan klinis yang terpenting adalah sistem golongan darah ABO dan Rh.
Pada sistem golongan darah ABO dapat dibedakan menjadi 4 golongan darah yaitu : A, B,
AB, dan O. Penggolongan darah tersebut didasarkan pada adanya antigen-A atau antigen-B pada
permukaan membran eritrosit. Orang dengan golongan darah O tidak memiliki antigen-A dan
antigen-B, golongan darah A hanya memiliki antigen A, golongan darah B hanya memiliki antigen-
B dan golongan darah AB memiliki antigen-A maupun antigen-B pada permukaan membran
eritrosit. Orang dengan golongan darah O memiliki antibodi-A dan antibodi-B, golongan darah A
hanya memiliki antibodi-B, golongan darah B hanya memiliki antibodi-A dan golongan AB tidak
memiliki antibodi-A maupun antibodi-B dalam serumnya.
Sistem Rh untuk kepentingan klinik cukup menentukan, golongan darah Rh dibedakan
menjadi golongan darah dengan Rh-positif atau Rh-negatif. Tes ini memeriksa reaksi sel eritrosit
terhadap antibodi Rh yang dikenal dengan nama anti-D. Oleh karena proses aglutinasi yang terjadi
adalah reaksi antara antigen-antibodi maka antigen (Ag) disebut juga aglutinogen dan antibodi (Ab)
disebut aglutinin.

Dasar
Penentuan golongan darah didasarkan pada reaksi antigen-antibodi yaitu suspensi eritrosit
atau whole blood direaksikan dengan antibodi yang telah diketahui. Golongan darah ditentukan
sesuai dengan antigen yang dimiliki oleh permukaan membran eritrosit, ditunjukkan dengan adanya
aglutinasi. Bila antigen ada dalam eritrosit seseorang maka serumnya tidak mengandung
antibodinya seperti terlihat pada tabel berikut ini :

Golongan Darah Antigen dalam Eritrosit Antibodi dalam Serum


O Nihil Anti-A dan anti-B
A A Anti-B
B B Anti-A
AB AB Nihil

Spesimen
Suspensi eritrosit yang akan diperiksa dari whole blood (darah utuh) atau darah EDTA (atau
darah antikoagulan lainnya yang dicuci dengan saline 0.85% 3x, lalu eritrosit yang telah dicuci
diencerkan dengan saline yaitu 0.3 mL eritrosit yang telah dicuci ditambah degan 0.3 mL saline =
suspensi 50%).

Peralatan dan reagen :


1. Suatu panel reagen yang terdiri atas :
a. Serum anti-A biasanya berwarna biru atau hijau
b. Serum anti-B biasanya berwarna kuning
c. Serum anti-AB biasanya berwarna merah muda/tidak berwarna
2. Larutan saline 0.85%
3. Pipet Pasteur, sentrifus dan mikroskop.

Cara kerja .
Menggunakan metode kaca obyek :
99
1. Pada sebuah kaca obyek teteskan 1 tetes serum anti-A di sebelah kiri, 1 tetes serum anti-B
di tengah dan 1 tetes serum anti-AB di sebelah kanan. Pada kaca obyek yang lain teteskan
1 tetes serum anti-D di sebelah kiri, 1 tetes serum yang diperiksa (kontrol) disebelah kanan.
2. Pada masing-masing serum teteskan 2 tetes whole blood EDTA atau darah kapiler,
campurkan dengan cara menggoyangkan ke depan dan ke belakang, sambil diamati
aglutinasi yang terjadi. Pengamatan dilakukan dalam waktu 2 menit setelah pencampuran
serum dan whoole blood.

Cara penilaian :

Aglutinasi terjadi pada Penilaian


Anti-A Anti-B Anti-AB Anti-D Golongan Rh
darah
+ - + - A Negatif
- + + - B Negatif
+ + + - AB Negatif
- - - - O Negatif

Serum kontrol pada penilaian ini boleh terjadi aglutinasi, bila terjadi aglutinasi dan tidak ada
kesalahan maka kemungkinan mempunyai antibodi (aglutinin) dingin/panas, perlu pemeriksaan
lebih lanjut.

Menghindari kesalahan :
1. Masing-masing tidak boleh tercemar oleh serum yang lain.
2. Kalau hasil pengamatan aglutinasi meragukan, maka dapat diamati di bawah mikroskop. (hati-
hati jangan sampai keliru dengan rouleaux).

100
DAFTAR TILIK TEKNIK PENGAMBILAN DARAH VENA PERIFER

SKOR
NO. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Menyiapkan peralatan :
Tabung penampung darah vacutainer
Spuit injeksi + jarum steril
Kapas alcohol
Torniquet
Plester
Memasang sarung tangan
2. Memberikan penjelasan kepada pasien tentang fungsi
pengambilan darah vena
- Diperagakan dengan memberikan penjelasan pada pasien
3. Memberikan penjelasan kepada pasien berapa volume darah
yang diambil
- Diperagakan dengan menunjukkan batas tinggi darah
pada tabung vacutainer
4. Menyiapkan pasien untuk proses pengambilan darah :
a. Melakukan perabaan pada vena yang akan ditusuk
b. Melakukan desinfeksi dengan kapas alkohol yang sudah
diperas kering
c. Memasang torniquet setinggi 2 jari di atas lipat siku
5. Melakukan penusukan jarum ke vena terpilih :
a. Tusuk jarum ke dalam vena terpilih dengan bagian mulut
jarum menghadap ke atas
b. Mengamati apakah darah sudah masuk ke pangkal jarum
c. Jika darah sudah tampak tekan pangkal jarum dengan
halus, lalu hisap darah sampai volume yang diinginkan
6. Melakukan penarikan jarum dan penutupan luka akibat
jarum :
a. Peras kapas alkohol hingga kering lalu letakkan di atas
kulit yang ditusuk jarum
b. Tekan dengan lembut kapas tersebut kemudian minta
pada pasien untuk menarik nafas sambil menarik jarum
ke luar
c. Letakkan spuit di atas meja lalu tekan kapas alkohol
kemudian rekatkan dengan plester
7. Memasukkan darah dari spuit ke dalam tabung vacutainer :
a. Ambil tabung lalu tusuklah tutup tabung dengan jarum
yang berisi darah
b. Biarkan darah mengalir hingga berhenti sendiri
c. Cabut jarum lalu tutup dengan penutup jarum
menggunakan satu tangan
d. Buang jarum dan spuit di tempat pembuangan biohazard
8. Membersihkan dan merapikan alat-alat yang telah
digunakan

101
DAFTAR TILIK TEKNIK PEMBUATAN HAPUSAN DARAH TEPI

SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Pemeriksa mengenakan sarung tangan
Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan
2
sediaan apus
3 Memilih kaca objek yang tepinya rata untuk kaca pemulas
Meletakkan setetes plasma darah pada kaca objek lain dengan
4 batang gelas pengaduk pada kira-kira 1 cm dari ujung kaca dan
ditengah-tengah dari kedua sisi panjang
Meletakkan kaca objek tersebut ditempat yang rata dengan tetesan
5
darah di sebelah kanan
Memegang sisi kiri kaca objek dengan ibu jari dan telunjuk tangan
6
kiri.
Memegang kaca pemulas dengan tangan kanan dan meletakkannya
7 di depan tetesan darah membentuk sudut kira-kira 25o membuka ke
kanan.
Menggeser kaca pemulas ke kanan sehingga menyinggung tetesan
8
darah.
9 Menjaga agar sudut kedua kaca objek tetap 25o – 30o
Mendorong kaca pemulas dengan mantap dan cepat sepanjang kaca
10
objek
11 Mengeringkan sediaan di udara
PEWARNAAN WRIGHT
Meletakkan sediaan pada rak pengecatan dengan arah menghadap
1
ke sebelah atas
2 Menggenangi sediaan dengan cat Wright selama 1 menit
Menambahkan larutan penyangga sama banyak tanpa tumpah dan
3
mendiamkan selama 15 menit.
Mencuci sediaan di bawah air kran atau aquadest lalu mengeringkan
4
di udara.
CARA PEMERIKSAAN
Memeriksa sediaan apus dibawah mikroskop dengan perbesaran
lemah (obyektif 10 x)
- Memeriksa penyebaran leukosit
- Menaksir kesan jumlah leukosit (jumlahnya per
1 sejumlah eritrosit
- Memeriksa sediaan dari daerah kepala sampai ekor
- Mencatat adanya kelainan
- Memilih sediaan di bagian eritrosit yang tidak
menumpuk
2 Menghitung jenis dan bentuk leukosit per 100 sel leukosit
3 Membersihkan alat-alat yang telah digunakan

102
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH

SKOR
NO. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Menyiapkan peralatan :
a. Mengambil reagen golongan darah 4 botol
b. Mengambil objek glass 2 buah
c. Mengambil batang pengaduk atau kaca tutup
d. Mengambil tabung vakutainer berisi darah
e. Memakai sarung tangan
1. Melakukan pemeriksaan golongan darah
a. Meneteskan setetes darah (20 uL) masing-
masing di sisi kiri dan kanan ke 2 kaca objek
b. Lalu aduk dengan kaca pengaduk atau ujung
kaca tutup yang berbeda
3. Menganalisa hasil pemeriksaan golongan darah
a. Setelah diaduk lalu goyang sedemikian rupa
sambil diamati perubahan yang terjadi
b. Amati apakah ada aglutinasi atau tidak, jenis
golongan darah sesuai dengan adanya aglutinasi
4. Membuat laporan hasil pemeriksaan golongan darah
a. Golongan darah A/B/AB/O
b. Rhesus + / -
5. Membersihkan peralatan yang digunakan dan simpan
kembali reagen pada suhu 2-8°C

Keterangan :
0 : tidak dilakukan
1 : dilakukan tapi tidak benar
2 : dilakukan dengan benar

103
KETERAMPILAN
ANAMNESIS PADA GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DAN METABOLISME

Pendahuluan

Anamnesis pada sistem endokrin dan metabolisme harus memperhatikan dua hal, yaitu aspek
komunikasi dan aspek anamnesis itu sendiri, sama seperti anamnesis pada sistem- sistem lain.
Sebelum mempelajari ketrampilan Anamnesis pada gangguan sistem endokrin dan metabolisme,
pelajari kembali point-point penting dalam Anamnesis secara umum yang telah dipelajari pada Fase 1.
Untuk aspek anamnesis pada sistem endokrin dan metabolisme l, hal-hal yang harus ditanyakan
formatnya sama dengan anamnesis pada umumnya, yang berbeda hanya pada penggalian mendalam
tentang keluhan utamanya (riwayat penyakit sekarang dan keluhan penyerta).
Pemahaman ketrampilan anamnesis suatu sistem harus dengan terus mengintegrasikannya
dengan pemahaman ketrampilan anamnesis sistem-sistem lain, terutama yang sudah dipelajari
sebelumnya. Penjelasan berikut ini hanya panduan, diharapkan mahasiswa bisa mengembangkannya
lebih lanjut untuk memperkaya anamnesis sistem. Selain itu, untuk memudahkan mengingat dan
memahami berbagai diagnosis banding yang bisa muncul, dianjurkan untuk membuat pohon
anamnesis menuju diagnosis banding berdasarkan penjelasan tiap keluhan utama yang diberikan pada
modul ketrampilan ini.
Sesuai dengan Anamnesis secara umum yang telah dipelajari, berikut ini adalah panduan
anamnesis untuk gangguan sistem endokrin dan metabolisme :
1. Anamnesis identitas pasien, yaitu nama lengkap, umur, jenis kelamin, alamat, dan
pekerjaan.
2. Menanyakan keluhan utama. Pada gangguan sistem endokrin dan metabolisme, keluhan
utama yang sering muncul adalah:
• Peningkatan berat badan
• Penurunan berat badan
• Tidak haid
• Perdarahan per vaginam yang tidak normal
• Kelelahan
• Sering kencing, sering makan dan sering kelelahan
3. Menggali riwayat penyakit sekarang. Berdasarkan keluhan utama, dilakukan penggalian
lebih mendalam dengan menanyakan riwayat penyakit sekarang. Seperti pada waktu
anamnesis umum, hal-hal yang harus ditanyakan adalah:

104
• Onset: kapan pertama kali muncul keluhan.
• Frekuensi: berapa sering keluhan muncul.
• Sifat munculnya keluhan: apakah keluhan muncul secara akut (mendadak), kronis
(sudah lama), atau intermitten (hilang timbul).
• Durasi: sudah berapa lama menderita keluhan.
• Sifat sakit/keluhan utama: sakitnya seperti apa, merupakan penjelasan sifat dari
keluhan utama, yang biasanya spesifik untuk setiap keluhan utama di atas. Selain itu,
perlu ditanyakan juga, apa hal yang meperberat keluhan.
• Lokasi: di mana letak pasti keluhan, apakah tetap, atau berpindah-pindah/menjalar.
• Hubungan dengan fungsi fisiologis lain: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang
diakibatkan oleh keluhan saat ini, misalnya gangguan tidur, kehilangan nafsu makan,
dan sebagainya.
• Akibat yang timbul terhadap aktivitas sehari-hari, seperti tidak dapat bekerja, hanya
bisa tiduran, dan sebagainya.
• Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: pemberian obat/tindakan tertentu,
pengambilan posisi tertentu, dan sebagainya. Apabila diberikan obat, ditanyakan pula
berapa dosis yang diberikan dan sudah berapa lama. Pada saat membicarakan obat,
yang digali tidak hanya obat yang diberikan dokter, tetapi juga obat bebas yang
dikonsumsi sendiri oleh pasien, serta obat herbal. Digali pula bagaimana efek dari
upaya untuk mengurangi keluhan itu, apakah berhasil tapi tidak maksimal, atau tidak
berhasil sama sekali.
Di bagian berikutnya akan diberikan beberapa contoh penggalian mendalam terhadap riwayat
penyakit sekarang untuk masing-masing keluhan utama di atas.
4. Menggali riwayat penyakit dahulu, baik penyakit serupa maupun penyakit lain. Selain itu,
ditanyakan juga apakah pasien pernah harus rawat inap, dan karena apa, serta berapa lama.
Bila pernah mendapat pengobatan, ditanyakan riwayat pengobatan yang telah dijalani.
Selain itu, riwayat penggunaan obat dan alkohol juga penting ditanyakan.
5. Menggali penyakit keluarga, baik yang serupa dengan yang diderita sekarang, maupun
penyakit yang diturunkan.
6. Menanyakan keluhan penyerta (keluhan sistem) yang terkait dengan gangguan neurologi.
Penelusuran anamnesis sistem harus relevan dengan keluhan utama pasien dan dugaan
terhadap diagnosis yang akan ditegakkan, termasuk diagnosis bandingnya.

105
7. Membuat resume anamnesis. Pada tahap ini, jawaban yang diberikan oleh pasien
dirangkai menjadi suatu alur riwayat penyakit yang kronologis. Jawaban pasien tidak
harus semuanya dimasukkan ke dalam resume, harus dipilah-pilah yang berguna dalam
perencanaan pemeriksaan, diagnosis, atau terapi. Hasil anamnesis disusun dimulai dari
waktu dan tanggal anamnesis, identitas, keluhan utama (KU), riwayat penyakit sekarang
(RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat penyakit keluarga (RPK)/lingkungan
(RPL), dan anamnesis sistem. Diharapkan pada bagian akhir resume anamnesis,
penganamnesis sudah bisa membuat dugaan diagnosis/diagnosis banding

Keluhan Utama yang Sering Berkaitan dengan Sistem Metabolisme dan Endokrin
◆ Peningkatan berat badan
Peningkatan berat badan biasanya diakibatkan oleh akumulasi lemak tubuh yang berlebihan,
walaupun proses seperti edema dan asites bisa menyebabkan peningkatan berat badan yang signifikan.
Peningkatan berat badan primer adalah akumulasi jaringan lemak yang diakibatkan oleh
ketidakseimbangan antara masukan kalori dan pengeluaran energi. Peningkatan berat badan juga bisa
disebabkan oleh gangguan endokrin (hiperinsulinemia, hiperkortisolism, hipotiroidism, dan
hipogonadism), sindrom genetik, dan efek samping obat (glukokortikoid, antikonvulsan, antipsikotik,
antidepresi, kontrasepsi, obat antidiabetik). Penyebab sekunder sering berada bersamaan dengan
obesitas primer. Peningkatan berat badan paling tinggi terjadi antara usia 24 sampai 34 tahun, sesudah
usia 55 tahun cenderung terjadi penurunan berat badan. Peningkatan berat badan juga cenderung lebih
tinggi pada wanita daripada pria. Anamnesis untuk keluhan ini mempunyai 2 tujuan, yaitu
membedakan antara berat badan akibat gangguan retensi cairan dan peningkatan berat badan karena
akumulasi lemak tubuh, dan mengidentifikasi penyebab sekunder dari akumulasi lemak tersebut.
Begitu pasien memberikan keluhan utama peningkatan berat badan, lakukan penggalian
tentang keluhan tersebut berdasarkan penggalian riwayat penyakit sekarang, yaitu:
• Onset dan durasi.
• Sifat munculnya keluhan: Peningkatan berat badan yang terjadi dalam waktu singkat,
misalnya beberapa hari atau beberapa minggu biasanya disebabkan oleh peningkatan berat
badan sekunder, yang bisa diakibatkan oleh gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan
penyakit hati kronis..
• Sifat keluhan: Tanyakan tentang keluhan yang menyertai peningkatan berat badan serta
kondisi yang memunculkan peningkatan berat badan:

106
➢ Apabila peningkatan berat badannya normal dan konsisten dengan pola sebelumnya,
maka masuk ke dalam peningkatan berat badan primer. Kondisi sebelumnya yang bisa
menimbulkan peningkatan berat badan primer:
❖ Faktor usia, jenis kelamin, dan peristiwa dalam kehidupan bisa menjadi
pertimbangan apakah peningkatan berat badan ini normal. Adanya kehamilan,
menyusui, menopause, menghentikan merokok, perubahan status perkawinan atau
pekerjaan, bisa mengakibatkan peningkatan berat badan.
❖ Perubahan pola diet (asupan kalori yang berlebihan), perubahan jenis makanan
(makanan berlemak mengarah pada peningkatan asupan kalori), kebiasaan makan
di luar rumah atau memakan fast food, serta alkoholism, juga bisa mengakibatkan
peningkatan berat badan.
❖ Penurunan aktivitas fisik juga bisa menyebabkan peningkatan berat badan.
❖ Depresi dan stress cenderung mendorong pasien untuk makan berlebihan sebagai
mekanisme coping.
❖ Eating disorder (biasanya pada wanita muda) seperti binge eating bisa
mengakibatkan peningkatan berat badan.
➢ Apabila peningkatan berat badannya tidak normal, dan tidak konsisten dengan pola
sebelumnya, maka masuk ke dalam peningkatan berat badan sekunder. Keluhan yang
menyertai peningkatan berat badan sekunder:
❖ Adanya peningkatan rasa haus atau sering miksi, bisa disebabkan oleh diabetes
atau penggunaan diuretik.
❖ Adanya keluhan mata kabur, bisa disebabkan oleh diabetes.
❖ Adanya konfusio, sakit kepala, kejang, gangguan penglihatan, palpitasi,
berkeringat, tremor pada saat puasa, bisa disebabkan oleh diabetes.
❖ Adanya penipisan kulit, garis-garis merah keunguan di abdomen atau pinggang,
mudah hematom, hipertensi, siklus haid yang tidak teratur, peningkatan rambut di
wajah dan akne, bisa disebabkan oleh Cushing’s syndrome.
❖ Adanya rasa lebih lelah (fatigue), kulit kering, rambut rontok, badan terasa dingin,
selera makan kurang, konstipasi, bisa disebabkan oleh hipotiroidism.
❖ Pada pria, adanya penurunan libido, kesulitan untuk ereksi, penipisan rambut di
badan dan pubis, sering mengalami hot flash, bisa disebabkan oleh hipogonadism.
Pada wanita, adanya perubahan pola siklus haid, sering mengalami hot flash,

107
insomnia, penurunan libido, dan rasa tidak nyaman/nyeri saat berhubungan seksual, bisa
disebabkan oleh hipogonadism.
❖ Adanya konsumsi obat glukokortikoid, obat antidiabetik golongan sulfonilurea dan
insulin, antikonvulsi (gabapentin, asam valproat, karbamazepin), antipsikotik
(golongan fenotiazin, butirofenon, atipikal), antidepresi (antidepresi trisiklik,
MAOI, mirtazapin), kontrasepsi oral atau injeksi, bisa meningkatkan berat badan
karena efek samping obat.
❖ Adanya rasa sesak atau tertekan di dada karena aktivitas atau stress, bisa
disebabkan oleh penyakit jantung koroner dan ansietas.
❖ Adanya sesak nafas atau batuk di malam hari, bisa disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, refluks gastroesofagus, dan penyakit paru obstruktif.
❖ Adanya ketidakmampuan berbaring telentang bisa disebabkan oleh gagal jantung
kongestif.
❖ Adanya perubahan warna kulit atau mata menjadi kuning, perubahan warna urine
menjadi seperti teh, perdarahan yang lama atau berlebihan, bisa disebabkan oleh
penyakit hati kronis.
❖ Adanya penurunan jumlah urine, bisa diakibatkan oleh gagal ginjal.
❖ Adanya keluhan mual, muntah, atau pruritus yang generalisata bisa diakibatkan
oleh gagal ginjal dan penyakit hati kronis.
❖ Adanya pembengkakan di kaki, pergelangan kaki dan tungkai, bisa disebbakan
oleh gagal jantung kongestif, gagal ginjal, penyakit hati kronis, dan stasis vena.
• Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang
diakibatkan oleh keluhan saat ini, misalnya gangguan tidur, ganggun saluran cerna, dan
sebagainya.
• Akibat terhadap aktivitas sehari-hari: tidak bisa melakukan aktivitas ringan/sedang/berat
• Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: minum obat tertentu (lengkap dengan
dosis dan durasi pemakaian obat), melakukan tindakan tertentu (upaya-upaya menurunkan
berat badan), serta hasil dari upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan (apakah
membaik, tetap, atau memburuk).
◆ Penurunan berat badan
Penurunan berat badan bisa dibagi menjadi 2 kategori, yaitu yang tidak disengaja dan yang
disengaja. Penurunan berat badan yang tidak disengaja sering terjadi pada usia lanjut dan
menunjukkan adanya kondisi medis atau psikososial yang signifikan.

108
Diagnosis banding untuk penurunan berat badan yang tidak disengaja adalah: kanker
(gastrointestinal, hepatobilier, hematologis, paru-paru, payudara, genitourinaria, ovarium, prostat),
gangguan psikiatri (depresi, ansietas), gangguan gastrointestinal (ulkus peptik, inflammatory bowel
disease, gangguan motilitas, pankreatitis kronis, malabsorpsi), gangguan endokrin (diabetes,
hipertiroidism, hipotiroidism, feokromositoma, insufisiensi adrenal), infeksi (HIV, TBC, penyakit
parasit), obat-obatan (SSRI, levodopa, metformin, digoksin, obat herbal tertentu), penyakit
kardiovaskuler (gagal jantung kongestif berat), penyakit neurologis (stroke, dementia, penyakit
Parkinson, sklerosis multipel), penyakit paru-paru (PPOM berat), penyakit ginjal (uremia, proteinuria,
pasien hemodialisis), penyakit jaringa konektif (penyakit inflamasi kronis, skleroderma), dan idiopatik.
Diagnosis banding untuk penurunan berat badan yang tidak disengaja adalah: pola diet yang
normal dengan aktivitas fisik yang teratur, anoreksia nervosa, dan bulimia.
Begitu pasien memberikan keluhan utama penurunan berat badan, lakukan penggalian tentang
keluhan tersebut berdasarkan penggalian riwayat penyakit sekarang, yaitu:
Pertama-tama, pastikan bahwa memang terjadi penurunan berat badan, misalnya dengan mewawancara
keluarga atau yang merawat. Kehilangan 4,5 kg atau lebih dari 5% berat badan baseline dalam 6-12
bulan disebut bermakna. Bisa juga dilakukan penghitungan indeks massa tubuh atau BMI, dan BMI di
bawah 18,5 dianggap underweight.
• Onset dan durasi.
• Sifat keluhan: Tanyakan tentang keluhan yang menyertai penurunan berat badan:
➢ Penurunan berat badan yang tidak disengaja:
❖ Disertai peningkatan selera makan
▪ Bisa disebabkan oleh diabetes, hipertiroidism, dan malabsorpsi
▪ Adanya rasa gelisah, berkeringat, dan badan hangat, bisa disebabkan oleh
hipertiroidism.
▪ Adanya rasa haus dan sering miksi, bisa disebabkan oleh diabetes.
▪ Sering buang air besar atau diare, serta perubahan gejala bila melakukan
perubahan jenis makanan, bisa disebabkan oleh malabsorpsi.
❖ Disertai penurunan selera makan, dan adanya:
▪ Adanya kebiasaan merokok yang signifikan atau penggunaan alkohol, bisa
diakibatkan oleh kanker aerodigestif dan genitourinaria.
▪ Adanya kelelahan, nampak pucat, limfadenopati baru, bisa disebabkan oleh
kanker hematologis.

109
▪ Adanya insomnia, gangguan konsentrasi, mudah tersinggung, cepat sedih,
kelelahan, anhedonia, bisa mengarahkan pada depresi.
▪ Adanya rasa ketakutan yang berlebihan, gelisah, cepat tersinggung, ketegangan
otot, bisa mengarahkan pada ansietas.
▪ Adanya sesak nafas dan batuk di malam hari dan kesulitan berbaring telentang,
bisa mengarahkan pada gagal jantung kongestif.
▪ Mengkonsumsi kokain, amfetamin, efedrin, 5-hidroksitriptofan, laksatif,
diuretik, melatonin, SSRI, levodopa, digoksin, metformin, teofilin, opiat,
metilfenidat, bisa mengarahkan pada penurunan berat badan yang diinduksi
oleh obat.
▪ Pernah mendapatkan obat injeksi, melakukan hubungan seksual tanpa proteksi,
atau mendapatkan transfusi darah, bisa disebabkan oleh infeksi HIV.
▪ Disertai dengan kehamilan, bisa disebabkan oleh hiperemesis gravidarum.
▪ Adanya tanda-tanda inflamasi akibat infeksi juga bisa menyebabkan penurunan
selera makan.
➢ Penurunan berat badan yang disengaja:
❖ Adanya gangguan body image atau rasa tidak puas dengan tubuhnya, bisa
mengarahkan pada anoreksia atau bulimia.
❖ Adanya kehilangan keinginan untuk makan, penurunan berat badan 15% atau lebih
di bawah berat badan ideal, adanya amenore primer atau sekudner berdurasi 3
bulan, mengarah pada anoreksia.
❖ Adanya makan yang tidak terkontrol, lalu menginduksi muntah, mengkonsumsi
laksatif, diuretik, atau melakukan enema, bisa mengarahkan pada bulimia.
❖ Pertimbangkan adanya sindrom Munchausen, dimana pasien secara sengaja
menurunkan berat badan karena meminta perhatian.
• Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang
diakibatkan oleh keluhan saat ini, misalnya gangguan tidur, gangguan saluran cerna, dan
sebagainya.
• Akibat terhadap aktivitas sehari-hari: tidak bisa melakukan aktivitas ringan/sedang/berat
• Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: minum obat tertentu (lengkap dengan
dosis dan durasi pemakaian obat), melakukan upaya tertentu, serta hasil dari upaya yang
dilakukan untuk mengurangi keluhan (apakah membaik, tetap, atau memburuk).
◆ Tidak haid (Amenore)

110
Keluhan amenore ini bisa bersifat sementara, intermitten, atau permanen, dan bisa disebabkan
oleh gangguan kongenital, neuroendokrin, atau anatomis. Amenore umumnya diklasifikasikan menjadi
primer dan sekunder, namun penyebab kedua jenis amenore ini bisa saling tumpang tindih. Diagnosis
banding untuk amenore primer adalah kehamilan, gangguan anatomis atau genetik (sindrom Turner,
agenesis Mulleri, hymen imperforata, septum vagina transversa), dan gangguan aksis hipotalamus-
hipofisis-ovarium (keterlambatan pubertas, disfungsi hipotalamus, disfungsi hipofisis, disfungsi
ovarium). Diagnosis banding untuk amenore sekunder adalah kehamilan, gangguan aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium (disfungsi hipotalamus akibat anoreksia nervosa, aktivitas fisik, stress
psikososial, tumor; disfungsi hipofisis akibat tumor pensekresi prolaktin, empty sella syndrome,
Sheehan syndrome, tumor pensekresi hormon adrenokortikotropik dan GH; disfungsi ovarium akibat
sindrom ovarium polikistik, kegagalan ovarium prematur, tumor ovarium), dan lain-lain (penyakit
tiroid, akibat obat, dan idiopatik).
Penggalian tentang keluhan tidak haid berdasarkan penggalian riwayat penyakit sekarang,
yaitu:
• Onset dan durasi.
➢ Onset ini bisa menentukan apakah amenore yang diderita adalah amenore primer atau
sekunder. Amenore primer apabila tidak ada menstruasi sampai usia 16 tahun,
sedangkan amenore sekunder apabila tidak ada menstruasi selama lebih dari 3 siklus
haid atau 6 bulan pada wanita yang sebelumnya menstruasi.
• Sifat keluhan:
➢ Amenore primer:
❖ Yang harus ditanyakan pertama adalah apakah pasien pernah melakukan hubungan
seksual dalam waktu dekat? Apabila ya, apalagi bila juga ada mual-mual di pagi
hari, maka harus dianjurkan untuk memeriksa tes kehamilan. Apabila hasilnya
negatif atau pasien menjawab tidak pada pertanyaan tentang hubungan seksual,
maka dilanjutkan dengan pertanyaan berikut:
❖ Apakah ada keterlambatan pubertas (perkembangan payudara, rambut aksilla dan
pubis) atau adanya keterlambatan pertumbuhan (tidak setinggi) dibanding teman-
teman sebayanya? Apabila ya, bisa disebabkan oleh disgenesis gonad, agenesis
Mulleri, keterlambatan pubertas fisiologis, ataupun kelainan genetik (sindrom
Turner).

111
❖ Apabila tidak ada keterlambatan pubertas (pubertas normal), bisa disebabkan oleh
obstruksi saluran keluar, atau disfungsi aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium.
❖ Apabila terdapat berat badan yang rendah, malnutrisi, atau stress psikososial yang
berlebihan, bisa disebabkan oleh disfungsi hipotalamus.
➢ Amenore sekunder
❖ Yang harus ditanyakan pertama adalah apakah pasien pernah melakukan hubungan
seksual dalam waktu dekat? Apabila ya, apalagi bila juga ada mual-mual di pagi
hari, maka harus dianjurkan untuk memeriksa tes kehamilan. Apabila hasilnya
negatif atau pasien menjawab tidak pada pertanyaan tentang hubungan seksual,
maka dilanjutkan dengan pertanyaan berikut:
❖ Apakah baru saja hamil dan melahirkan? Bila ya, ini bisa merupakan amenore
postpartum.
❖ Apakah ada riwayat aborsi, prosedur bedah atau infeksi pada uterus? Bila ya,
mungkin disebabkan oleh Asherman syndrome. Asherman syndrome adalah sinekia
(adhesi) intrauteri yang biasanya diakibatkan oleh instrumentasi pada uterus
(misalnya kuretase atau pengerokan rongga uterus).
❖ Apakah ada penurunan berat badan, malnutrisi, atau gejala depresi? Bila ya, bisa
disebabkan oleh anoreksia, amenore akibat latihan fisik, amenore akibat stress,
ataupun amenore akibat depresi.
❖ Apakah ada sakit kepala, gangguan penglihatan perifer, dan pengeluaran sekret dari
papilla mammae? Bila ya, bisa disebabkan oleh tumor hipofisis, atau Sheehan
syndrome.
❖ Apakah ada pemburukan akne, peningkatan berat badan, dan hirsutisme? Bila ya,
bisa disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik, atau hipotiroidism.
❖ Apakah pernah terpapar radiasi dosis tinggi (misalnya terapi kanker), pernah
mendapat kemoterapi kanker, dan baru-baru ini mengalami hot flash, berkeringat
malam, perubahan mood, kekeringan vagina? Bila ya, bisa disebabkan oleh
kegagalan ovarium prematur, yaitu habisnya oosit dan folikel di sekitarnya sebelum
usia 40 tahun..
❖ Apakah ada penggunaan obat-obatan baru-baru ini, misalnya kontrasepsi oral,
antagonis dopamin (haloperidol, risperidon, metoklopramid, domperidon),
antihipertensi yang menaikkan kadar prolaktin serum (metildopa, reserpin),
progestin, antagonis GnRH (danazol)? Bila ya, bisa merupakan amenore karena

112
obat. Kegagalan untuk kembali ovulasi selama 6 bulan sesudah penghentian kontrasepsi
oral disebut post-pill amenorrhea.
❖ Apakah ada penyakit lain, seperti gagal ginjal, kanker, infeksi, penyakit tiroid,
artritis rematoid juvenilis? Bila ya, bisa merupakan amenore karena penyakit
sistemik.
❖ Apakah ada kelemahan, penurunan berat badan, artritis, perubahan warna kulit?
Bila ya, bisa disebabkan oleh hemokromatosis.
• Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang
diakibatkan oleh keluhan saat ini, misalnya gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan
sebagainya.
• Akibat terhadap aktivitas sehari-hari: tidak bisa melakukan aktivitas ringan/sedang/berat
• Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: minum obat tertentu (lengkap dengan
dosis dan durasi pemakaian obat), tindakan tertentu, serta hasil dari upaya yang dilakukan
untuk mengurangi keluhan (apakah membaik, tetap, atau memburuk).

◆ Perdarahan per vaginam yang tidak normal


Perdarahan per vaginam yang tidak normal bisa dikategorikan menjadi perdarahan per
vaginam yang tidak berhubungan dan yang berhubungan dengan siklus hormonal. Perdarahan per
vaginam yang berhubungan dengan siklus haid dianggap tidak normal bila berbeda dari perdarahan
haid normal dalam hal volume, frekuensi, atau waktunya. Perdarahan per vaginam yang tidak normal
bisa diakibatkan kelainan hormonal atau kelainan struktural di traktus genitalis. Etiologinya tergantung
pada usia dan status reproduksi pasien.
Diagnosis banding untuk perdarahan per vaginam yang tidak normal adalah: kelainan traktus
genitalis (lesi benigna di serviks dan endometrium, adenomyosis; lesi maligna di serviks dan
endometrium; infeksi seperti servisitis dan endometritis; trauma laserasi, abrasi, benda asing), penyakit
sistemik (endokrinopati seperti hipotiroidism, hiperprolaktinemia, Cushing disease, sindrom ovarium
polikistik, tumor/disfungsi adrenal; koagulopati seperti trombositopenia, lekopenia, von Willebrand
disease; penyakit ginjal; penyakit hati), komplikasi akibat kehamilan (kehamilan normal, kehamilan
ektopik, penyakit trofoblastik gestasional, abortus, plasenta previa, sisa konsepsi sesudah abortus
terapeutik), faktor iatrogenik/obat (antikoagulan; IUD; terapi hormonal seperti kontrasepsi, terapi
penggantian estrogen, modulator reseptor estrogens elektif; psikotropik), dan perdarahan uterus
disfungsional/dysfunctional uterine bleeding (DUB). Sebagian besar perdarahan per vaginam

113
yang tidak normal adalah DUB, tetapi DUB haruslah diagnosis hasil eksklusi dari diagnosis- diagnosis
banding lainnya. DUB adalah perdarahan per vaginam tidak normal yang diakibat oleh hormon, dan
bukan karena penyakit struktural atau sistemik.
Penggalian tentang keluhan perdarahan per vaginam berdasarkan penggalian riwayat penyakit
sekarang, yaitu:
• Onset dan durasi.
• Frekuensi.
• Sifat munculnya keluhan.
• Sifat keluhan:
➢ Tanyakan keteraturan siklus haid, interval antar haid, hari pertama haid terakhir, serta
apakah ini perdarahan saat haid atau tidak saat haid.
➢ Kemudian ditanyakan jumlah perdarahannya, apakah meningkat atau berlebihan
(misalnya pada hipermenore, kelainan traktus genitalis, gangguan perdarahan), atau
hanya spotting atau perdarahan ringan (misalnya pada hipomenore, gangguan saluran
keluar, sikatriks). Jumlah pembalut yang dipakai serta adanya bekuan darah bisa
menunjukkan beratnya perdarahan.
➢ Tanyakan adanya tanda-tanda bahaya seperti nyeri perut, pusing atau sinkop, palpitasi
atau takikardi, dan diketahui bahwa pasien sedang hamil. Apabila jawabannya ya,
maka harus segera dievaluasi dengan melakukan pemeriksaan pelvis dengan atau
tanpa USG untuk menyingkirkan adanya kehamilan ektopik.
➢ Sesuaikan dengan usia pasien, tanyakan atau perkirakan apakah pasien belum
menopause, sedang dalam masa perimenopause, atau postmenopause. Tanyakan pula
apakah pasien sedang hamil (dengan menanyakan adanya keterlambatan haid, riwayat
hubungan seksual).
➢ Apabila pasiennya pramenopause atau perimenopause, dan sedang hamil, maka
penyebabnya bisa oleh kehamilan ektopik, abortus, penyakit trofoblas gestasional,
atau plasenta previa.
➢ Apabila pasiennya pramenopause atau perimenopause, dan tidak hamil, tanyakan
apakah ada nyeri payudara yang siklik, perubahan mood, dan rasa kembung di
abdomen? Apabila tidak, maka termasuk perdarahan anovulatorik, yang bisa
disebabkan oleh lesi di uterus, penyakit sistemik, endokrinopati, atau DUB. Apabila
ya, maka termasuk ke dalam perdarahan ovulatorik.

114
➢ Bila pasien menderita perdarahan ovulatorik, tanyakan apakah yang dialaminya adalah
menoragi (perdarahan berlebihan dan lama yang terjadi dalam interval yang
teratur/selama haid) atau perdarahan intermenstruasi. Apabila merupakan menoragi,
maka bisa merupakan perdarahan karena obat (warfarin, enoksaparin, kontrasepsi
oral), koagulopati (adanya perdarahan di tempat lain atau adanya keluhan mudah
hematom/memar), hipotiroidisme, atau lesi di uterus. Bila merupakan perdarahan
intermenstruasi, bisa akibat penggunaan kontrasepsi oral, servisitis, lesi di uterus,
ataupun trauma (misalnya hubungan seks yang kasar). Perdarahan tepat di tengah-
tengah antar haid bisa disebabkan oleh perdarahan mittelschmerz yang berkaitan
dengan ovulasi.
➢ Bila pasiennya perimenopause atau postmenopause, pikirkan kemungkinan adanya
kanker endometrium atau lesi di uterus.
• Hubungan dengan fungsi fisiologis: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang
diakibatkan oleh keluhan saat ini, misalnya gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan
sebagainya.
• Akibat terhadap aktivitas sehari-hari: tidak bisa melakukan aktivitas ringan/sedang/berat
• Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: minum obat tertentu (lengkap dengan
dosis dan durasi pemakaian obat), tindakan tertentu, serta hasil dari upaya yang dilakukan
untuk mengurangi keluhan (apakah membaik, tetap, atau memburuk).

115
DAFTAR TILIK ANAMNESIS

No Aspek yang dinilai Nilai


0 1 2
Aspek komunikasi
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih
relevan
4 Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati
Aspek anamnesis
1 Menanyakan identitas pasien: nama, umur, jenis
kelamin, alamat, pekerjaan
2 Menanyakan keluhan utama
3 Menggali riwayat penyakit sekarang
• Onset
• Frekuensi
• Sifat munculnya keluhan
• Durasi
• Sifat keluhan
• Lokasi
• Hubungan dengan fungsi fisiologis lain
• Akibat terhadap aktivitas sehari-hari
• Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan
4 Menggali riwayat penyakit dahulu:
• Ada tidaknya penyakit seperti ini sebelumnya
• Penyakit lain yang pernah diderita
5 Menggali riwayat penyakit keluarga
• Ada tidaknya penyakit serupa
6 Menanyakan keluhan penyerta (berdasarkan sistem)

7 Menggali riwayat psikososial (kebiasaan,


lingkungan, dll)
8 Membuat resume anamnesis
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar 2 =
dilakukan dengan benar

116
117
KETERAMPILAN PENYUSUNAN DIET DIABETES MELITUS DAN
DISLIPIDEMIA

Triawanti, Juhairina, Husnul Khatimah

Diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami
peningkatan kadar glukosa darah akibat kekuragan hormon insulin secara absolut atau relatif.
Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani dan perubahan perilaku tentang makanan.
Sesuai konsensus Pengelolaan DM di Indonesia (2002) oleh perkumpulan endokrinologi Indonesia,
penyakit DM dibagi dalam 4 golongan, yaitu: DM tipeI dan II, DM gestasional, dan tipe lain.
Salah satu pilar penatalaksanaan DM adalah melalui pengelolaan makanan. Penatalaksanaan
DM memerlukan pengkajian yang baik dan tepat sesuai dengan kondisi masing-masing penderita DM.
Nutritional care process (NCP) merupakan prosedur standar penatalaksanaan diet yang digunakan
untuk memecahkan permasalahan gizi dengan didahului tahapan pengkajian data yang akurat untuk
menghasilkan suatu pelayanan gizi yang berkualitas, aman dan tepat.
Pengkajian data yang tepat meliputi data-data dasar seperti :
A Antropometri yaitu data dimensi tubuh dari pasien misalnya berat badan, tinggi badan dan ketebalan
lemak tubuh.
B data-data hasil pemeriksaan laboratorium/ data Biokimia C data
hasil pemeriksaan physic/Clinic
D dan data riwayat asupan makan dari pasien/Dietary history

Tujuan Diet
Tujuan diet penyakit DM adalah membantu pasien memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk
mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik, dengan cara:
1. Mempertahankan kadar glukosa darah supaya mendekati normal dengan
menyeimbangkan asupan makanan dengan insulin (endogen atau eksogen), dengan
obat penurun glukosa oral dan aktivitas fisik
2. Mencapai dan mempertahankan kadar lipida serum normal
3. Memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat badan normal
4. Menghindari atau menangani komplikasi akut pasien yang menggunakan insulin
seperti hipoglikemia, komplikasi jangka pendek dan jangka lama serta masalah yang
berhubungan dengan latihan jasmani
5. Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal

Syarat Diet
Syarat-syarat diet penyakit DM adalah:
1. Energi cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal. Kebutuhan energi
ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan untuk metabolisme basal sebesar 25-30
kkal/kgBB normal, ditambah kebutuhan untuk aktivitas fisik dan keadaan khusus, misalnya
kehamilan atau laktasi serta ada tidaknya komplikasi. Makanan dibagi dalam 3 porsi besar, yaitu
makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi kecil untuk makanan selingan
(masing-masing 10-15%)

118
2. Kebutuhan protein normal, yaitu 1-1.5 gram/kgBB/hari (10-20%) dari kebutuhan energi total,
kecuali terdapat komplikasi ke ginjal (nefropathy diabetic) maka jumlah protein akan disesuaikan
lagi.
3. Kebutuhan lemak sedang, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total, dalam bentuk<10% dari
kebutuhan energi total berasal dari lemak jenuh, 10% dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan
sisanya dari lemak tidak jenuh tunggal. Asupan kolesterol makanan dibatasi, yaitu ≤ 300 mg/hari
4. Kebutuhan karbohidrat adalah sisa dari kebutuhan energi total, yaitu 45 -60%
5. Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak diperbolehkan kecuali jumlahnya
sedikit sebagai bumbu. Bila kadar glukosa darah sudah terkendali, diperbolehkan mengonsumsi
gula murni sampai 5% dari kebutuhan energi total
6. Penggunaan gula alternatif dalam jumlah terbatas. Gula alternatif adalah bahan pemanis selain
sakarosa. Ada 2 jenis gula alternatif yaitu yang bergizi dan tidak bergizi. Gula alternatif bergizi
adalah fruktosa, gula alkohol berupa sorbitol, manitol, silitol, sedangkan gula alternatif tak
bergizi adalah aspartam dan sakarin. Penggunaan gula alternatif hendaknya dalam jumlah
terbatas. Fruktosa dalam jumlah 20% dari kebutuhan energi total dapat meningkatkan kolesterol
dan LDL, sedangkan gula alkohol dalam jumlah berlebihan mempunyai pengaruh laksatif
7. Asupan serat dianjurkan 25g/hari dengan mengutamakan serat larut air yang terdapat dalam sayur
dan buah. Menu seimbang rata-rata memenuhi kebutuhan serat sehari
8. Pasien DM dengan tekanan darah normal diperbolehkan mengonsumsi natrium dalam bentuk
garam dapur seperti orang sehat, yaitu 3000 mg/hari. Apabila mengalami hipertensi, asupan garam
harus dikurangi 1500-2000 mg/hari.
9. Cukup vitamin dan mineral. Apabila asupan dari makanan cukup, penambahan vitamin dan
mineral dalam bentuk suplemen tidak diperlukan.

Terapi Non Farmakologi pada DM


Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis antara lain :
1. Menurunkan berat badan
2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic
3. Menurunkan kadar glukosa darah
4. Memperbaiki profil lipid
5. Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
6. Memperbaiki sistem koagulasi darah

Tujuan terapi gizi medis :


1. Kadar glukosa darah mendekati normal
• Glukosa darah berkisar 90 – 130 mg/dL
• Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dL
• Kadar A1c < 7%
2. Tekanan darah < 130/80 mmHg
3. Profil lipid :
• Kolesterol LDL < 100 mg/dL

119
• Kolesterol HDL > 40 mg/dL
• Trigliserida < 150 mg/dL
4. Berat badan senormal mungkin

Pengelolaan makan pada pasien diabet membutuhkan kolaborasi yang baik antara dokter gizi.
Dokter berperan dalam penentuan diagnosa dalam pemberian jenis obat dan dosis yang tepat untuk
kebutuhan seorang diabetisi. Ahli gizi berperan dalam menghitung kebutuhan zat gizi perhari dan
mengaplikasikan hasil perhitungan kebutuhan zat gizi dalam bahan makanan sehari. Keterangan
pemberian obat dan perencanaan makan yang baik menjaga kestabilan glukosa darah dan mencegah
timbul komplikasi lebih lanjut pada pasien DM. Pengeloalaan makan pada pasien didahului dengan
dengan tahapan sebagai berikut :
1. Penentuan kebutuhan energi
Kebutuhan energi seseorang dalam sehari adalah penjumlahan dari kebutuhan energi basal,
untuk metabolisme makanan yang dimakan energi untuk aktivitas. Kebutuhan energi ini sangat
spesifik untuk orang. Hal-hal yang mempengaruhi kebutuhan antara lain adalah: usia, komposisi
tubuh, tubuh, suhu dan jenis kelamin. Kebutuhan seseorang bisa ditentukan
dangan cara per langsung menggunakan alat pengukur energi indirect calorimetry ataupun
diperkirakan rumus tertentu. Salah satu rumus yang digunakan untuk kebutuhan energi adalah rumus
kebutuhan energi untuk pasien DM berdasarkan konsensus perkeni. Adapun tahapan yang digunakan
dalam melakukan perhitungan kebutuhan zat gizi adalah:
a. Menentukan kebutuhan energi basal (gunakan data antropometri pada awal kegiatan
assessment data berupa berat badan aktual pasien)
Kebutuhan energi basal laki-laki : 30 Kcal/ Kg BB (aktual)
Kebutuhan energi wanita : 25 Kcal/ Kg BB (aktual)
b. Mempertimbangkan faktor koreksi seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Faktor koreksi
40-59 tahun Dikurangi 5% dari total
Koreksi umur energi basal
60-69 tahun Dikurangi 10% dari
total energi basal
>70 tahun Dikurangi 20% dari
total energi basal
Diabetisi dalam kondisi istirahat (bed rest) + 10% dari total energi
basal

Aktivitas fisik Diabetisi dengan aktivitas ringan + 20% dari total energi
(melakukan pekerjaan rumah ringan (duduk- basal
duduk, nonton tv, dll)

Diabetisi dengan aktivitas sedang +30% dari total energi


(melakukan aktivitas bekerja di kantor atau basal
bekerja tanpa aktivitas fisik (kerja kantoran,
ibu rumah tangga, perawat, dokter)

Diabetisi dengan aktivitas berat (melakukan +50% dari total energi


aktivitas bekerja di kantor/dengan aktivitas basal
fisik, olahragawan, tukang becak)

120
Setelah menghitung hasil perbandingan
berat badan dan tinggi badan, akan di
Berat Badan peroleh kesimpulan indeks masa tubuh
(IMT) berdasarkan WHO. Koreksi
kebutuhan energi akan di lakukan dengan
memperhatikan IMT sbagai berikut:
Overweight – Obesitas (IMT ≥ 25) Dikurangi 20 – 30%
total energi basal
Underweight – Kurus (IMT ≤ 18.5 Ditambahkan 20 – 30%
total energi basal

Klasifikasi IMT Asia Pasifik menurut WHO (kombinasi)


Klasifikasi BMI (Kg/m2)

UNDERWEIGHT < 18.50


Severe thinness < 16.00
Moderate thinness 16.00 – 16.99
Mild thinness 17.00 – 18.49
NORMAL 18.50 – 22.9

Overweight ≥23
Dengan resiko 23,0-24,9
Obese I 25 – 29,9
Obese II ≥30

Berikut ini adalah contoh perhitungan sesuai dengan rumus dan faktor koreksi di atas:
1. Ny A, usia 41 tahun dengan kegiatan sehari-hari sebagai ibu rumah tanggan. Tidak
pernah berolah raga dan kegiatan rumah tangga. Tinggi badan 160 cm dan BB 67 kg.
Data yang di perlukan untuk menghitung kebutuhan energinya adalah:

Berat badan aktual 67 Kg


Indeksi masa tubuh (IMT) 67/1.622
(untuk menentukan derajat =26.2
obesitas) (BB(Kg)/TB2(m)) (obese I)

Kebutuhan energi basal (Kcal) = 67 X 25 = 1675 Kcal


Koreksi faktor umur (-5%) = 1675 – ( 5%X 1675) =1591.25 Kcal Koreksi
faktor aktivitas (+20%) = 1591.25 + (20%X1675) = 1926,25 Kcal
Koreksi faktor IMT/obesitas (-25%) = 1926,25 – (25%X1675) = 1507,5 Kcal Jadi
kebutuhan energi per hari untuk Ny A adalah 1507,5 Kcal di bulatkan menjadi 1500Kcal

2.Seorang pria usia 50 tahun memiliki berat badan 80 kg dengan tinggi badan 170 cm telah
didiagnosa menderita diabetes mellitus. Pekerjaan sehari-hari karyawan bagian keuangan

121
perusahaan swasta. Oleh dokter, ia disarankan untuk mengatur pola dietnya. Hitunglah
kebutuhan kalori pria tersebut!
Jawab :
Berat badan aktual : 80 kg
Indeks masa tubuh (IMT) = 80/1.702 = 27,6 (obese 1)
Kebutuhan kalori :
a. Kebutuhan basal = 80 x 30 kkal = 2400 kkal
b. Koreksi :
- Umur diatas 40 tahun = -5%
- Aktivitas sedang = +20%
- Berat badan gemuk = -25%
Total koreksi = -10%
c. Total kebutuhan kalori : 2400 – (10% x 2400) = 2160 Kkal

2. Penentuan proporsi kebutuhan zat gizi makro sebagai penghasil energi


(karbohidrat, protein lemak)
Setelah dilakukan perhitungan kebutuhan energi, langkah berikutnya adalah
menentukan
proporsi zat gizi makro. Pada pasien DM tanpa komplikasi ,proporsi zat gizi makro yang di sarankan
adalah sebagai berikut:

A. Karbohidrat : 45 – 60 % Total asupan energi


Karbohidrat menghasilkan 4 Kcal/1 g. Sumber bahan makanan mengandung karbohidrat adalah
dari bahan makanan pokok seperti nasi, serealia, gandum, jagung, kentang dan sebagainya. Meskipun
karbohidrat dibatasi pada orang DM, pembatasannya tidak boleh kurang dari 130 g/hari. Sehingga
jumlah karbohidrat yang di anjurkan untuk seseorang dengan total kebutuhan energi 1500 Kcal/hari
adalah: 1500 X 60% = 600 Kcal atau setara dengan 150 gr karbohidrat. Selain mempertimbangkan
jumlah karbohidrat, sebaiknya sumber karbohidrat yang di pilih adalah dari jenis karbohidrat
kompleks.
Contoh karbohidat sederhana adalah jenis gula dan tepung-tepungan sedangkan karbohidrat kompleks
misalnya dari serealia, biji-bijian, sayur dan buah.
Pemakaian gula pasir sebagai sumber karbohidrat masih diperolehkan pada orang diabetes asalkan
tidak melebihi 5% dari total kalori perhari, misalnya adalah pemakaian gula pasir sebagai bagian dari
bumbu dapur. Contoh pada total kalori 1500 Kcal/hari: maka 5% dari 1500 Kcal = 75 Kcal gula
pasir setara dengan 19.5 g gula pasir =+ 1.5 sdm ( untuk pemakaian 1 hari penuh). Dengan terbatasnya
gula pasir yang diperbolehkan maka seorang penderita DM sebaiknya kebijaksana dalam mengatur
pemakaian gula sehingga enak makanan tetap enak untuk dikonsumsi.Contoh bahan makanan sumber
karbohidrat yang lain dapat dilihat pada bahan makanan penukar (lampiran 1)

B. Protein: 10 – 20% total asupan energi perhari


Pada kondisi diabetes tanpa komplikasi (misalnya nephropati diabetes), kebutuhan protein di
hitung dalam kisaran 10 – 20% total protein. Dalam 1 g protein akan dihasilkan energi sebesar 4 Kcal.
Misalnya kebutuhan energi hasil perhitungan = 1600 Kcal, maka protein yang dibutuhkan adalah :
10% X 1600 Kcal= 160 Kcal atau setara dengan 160 Kcal/4
= 40 g protein perhari. Sebagai gambaran 25 g tempe mangandung 3 g protein. Pada 100 g nasi
mengandung 4 g protein. Susuanan makanan harus bener-bener tepat agar tercapai 40 g protein dalam
susunan menu sehari.

122
Protein berperan di dalam tubuh sebagai zat gizi untuk pertumbuhan dan mengganti jaringan
yang rusak. Bahan makanan sumber protein banyak terdapat pada golongan lauk hewani ( misalnya
daging, ikan, telur, ayam) susu dan golongan lauk nabati ( misalnya kacang-kacangan, tahu, tempe,
tsb).

C. Lemak : 20 – 25% total asupan energi perhari


Asupan lemak bagi diabetes diannjurkan berkisar 20 – 25% total asupan energi perhari. Dalam
1 g lemak dihasilkan energi sebesar 9 Kcal. Misalnya kebutuhan energi hasil perhitungan = 1600 Kcal,
maka lemak yang dibutuhkan adalah : 20% X 1600 Kcal = 320 Kcal atau setara dengan 320 Kcal/9 =
35.6 g lemak perhari.
Bahan makanan sumber lemak yang diberikan sebaiknya merupakan kombinasi antar lemak
jenuh (< 7% dari total asupan energi) dan lemak tidak jenuh (< 10% total asupan
energi) dan sumber kolesterol < 200mg/hari.

3. Penentuan zat gizi mikro (vitamin dan mineral)


Zat gizi mikro tidak menghasilkan energy, namun tetap harus diperhitungkan untuk penunjang
proses metabolism fisiologi didalam tubuh. Zat gizi mikro disarankan tidak dibawah kebutuhan
normal seperti yang dianjurkan dalam daftar kecukupan zat gizi yang dianjurkan (DKGA) yang
diterbitkan oleh kemenkes, 2013. Zat gizi mikro yang berperanan penting dalam metabolism glukosa
di dalam tubuh antara lain adalah zink (Zn), kromium(Cr), kalsium (Ca) dan vitamin D.

4. Prinsip Penting Pengaturan Diet Pada Diabetisi


Hal penting yang harus diingat oleh seorang diabetisi adalah untuk selalu mengkonsumsi makanannya
dengan pedoman 3J. yang di maksud dengan 3J di sini adalah
▪ Jadwal
Mengatur jadwal makan bagi seorang diabetisi sangat penting. Makan utama 3 kali sehari
akan membantu menjaga kestabilan pengaturan glukosa darah. Jadwal makan seorang
diabetisi hendaknya sesuai dengan jadwal pemberian obat anti diabetes.

▪ Jenis:
Memilih jenis makanan yang tepat untuk seorang diabetisi sangat penting. Pada dasarnya
seorang diabetisi dapat mengkonsumsi makanan dari jenis apa saja asalkan jumlah kalori yang
diberikan sesuai dengan kebutuhan energi per hari yang dibutuhkan. Pemilihan bahan
makanan menjadi lebih mudah dan fleksible bagi para diabetisi bila telah diberikan edukasi
atau pemahaman pemanfaatan bahan makanan penukar. Misalnya pada penggunaan bahan
makanan pokok, seorang diabetisi bebas memilih mengkonsumsi nasi, roti, mie, kentang
ataupun gandum asalkan bahan makan tersebut bersifat saling menggantikan dan dikonsumsi
dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan yang telah dihitung dan ditetapkan oleh dokter
bersama ahli gizi. Bahan makanantersebut bersifat saling menggantikan arena berada dalam
satu kelompok, yaitu kelompok karbohidrat. Setiap 1 porsi bahan makanan golongan
karbohidrat yang tertera dalam bahan makanan penukar tersebut semuanya mengandung nilai
zat gizi makro yang sama yaitu: energi 175 Kcal, protein 4 g dan karbohidrat 40 g (Lihat bab
daftar bahan makanan penukar). Keanekaragaman bahan makanan yang dipilih hendaknya
dapat berasal dari satu kelompok yang sama.

123
▪ Jumlah
Mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tepat pada seorang diabetisi sangat penting.
Jumlah bahan makanan yang tepat akan menjaga kestabilan glukosa darah seorang diabetisi.
Mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tepat akan menjaga keseimbangan energi pada
diabetisi sehingga tidak terjadi keseimbangan energi pada diabetisi sehingga tidak terjadi
keseimbangan energi positif (asupan makanan lebih besar dari jumlah energi yang
dikeluarkan), keseimbangan energi positif akan mengarah kepada terjadinya kejadian
overweight dan obesitas. Pengaturan asupan makanan ini sebaiknya memperhatikan komposisi
antropometri tubuh,usia, jenis kelamin, aktivitas dan faktor stress sesuai dengan perhitungan
kebutuhan energi yang telah di bahas sebelumnya.

Daftar Bahan Makanan Penukar

Daftar Bahan Makanan Penukar (DBMP) adalah suatu daftar yang berisi susunan bahan makanan yang
dapat dipilih dan digunakan oleh seorang diabetisi dalam mengatur pola makanan sehari-hari. Daftar
bahan makanan ini di susun untuk memudahkan diabetisi menerapkan prinsip tepat “JENIS DAN
JUMLAH ” dalam diet hariannya. Pada daftar bahan makanan penukar, makanan telah dikelompokkan
menjadi 8 kelompok, setiap kelompok memiliki zat gizi makro yang setara. Adapun pengelompokan
bahan makanan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kelompok karbohidrat
Kelompok karbohidrat ini merupakan kelompok bahan makanan sumber karbohidrat dan
merupakan bahan makanan utama. Jumlah bahan makanan sumber karbohidrat ini mendominasi
susunan hidangan makanan sehari-hari dalam porsi 45 – 60% total hidangan. Para diabetisi dapat
menggunakan semua bahan makanan dalam daftar kelompok bahan makanan sumber karbohidrat
ini dengan jumlah sesuai anjuran ahli gizi ataupun dokter yang merawat. Semua bahan makan
dalam kelompok karbohidrat ini dapat saling menggantikan tanpa mempengaruhi total asupan
energi asalkan sesuai dengan jumlah yang dianjurkan. Semua bahan makanan yang tertulis dalam
daftar bahan makanan ini di tuliskan per “PORSI PENUKAR”. Setiap PORSI memiliki kandungan
energi yang sama. Perbedaan jumlah gram ataupun satuan alat ukur rumah tangga dapat berbeda,
tergantung pada jenis makanannya.

2. Kelompok lauk hewani


Kelompok lauk hewani merupakan sumber protein dengan asam amino essential dan lemak dalam
bahan makanan. Semua bahan makan dalam kelompok lauk hewani ini dapat saling menggantikan
tanpa mempengaruhi total asupan energi asalkan sesuai dengan jumlah yang dianjurkan. Pada
bahan makanan kelompok lauk hewani ini dikelompokkan menjadi kelompok lauk hewani rendah
lemak, lemak sedang dan tinggi lemak. Semua bahan makanan yang tertulis dalam daftar bahan
makanan ini di tuliskan per “PORSI PENUKAR”. Setiap PORSI memiliki jumlah gram ataupun
satuan alat ukur rumah tangga yang sama. Setiap kelompok lauk yang saling menggantikan
hendaknya dapat digantikan di kelompok yang sama.

124
3. Kelompok lauk nabati
Kelompok protein nabati merupakan sumber protein dengan asam amino non essential dan
karbohidrat dalam bahan makanan. Masyarakat Indonesia biasa menggunakan bahan makanan
sumber protein nabati sebagai bagian dari lauk pada hidangan makanan utama ataupun sabagai
makanan selingan di luar jadwal makan makanan utama. Semua bahan makan dalam kelompok
protein nabati ini dapat saling menggantikan tanpa mempengaruhi total asupan energi asalkan
sesuai dengan jumlah yang dianjurkan. Semua bahan makanan yang tertulis dalam daftar bahan
makanan ini di tuliskanper “PORSI PENUKAR”. Setiap PORSI memiliki kandungan energi yang
sama. Jumlah gram ataupun satuan alat ukur rumah tangga dapat berbeda tergantung pada jenis
makanannya.

4. Kelompok sayuran
Kelompok sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, karbohidrat, dan serat.makan seorang
diabetisi hendaknya kaya akan sayur dengan minimal sajian 100g per kali makan. Konsumsi
sayuran dalam jumlah cukup akan membantu terpenuhinya kebutuhan serat.

Kelompok sayuran ini digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok sayur dengan rata-rata
kandungan energi yang sangat kecil (diabaikan) dan kandungan energi rata-rata 50 Kcal per porsi
penukar. Berta rata-rata sayuran dalam satu satuan penukar berkisar antara 50 – 100 g, bergantung
pada jenis sayurnya, misalnya kelompok sayur berdaun hijau ataukah kelompok sayur umbi-
umbian. Semua bahan makan dalam kelompok sayuran ini dapat saling menggantikan tanpa
mempengaruhi total asupan energi asalkan sesuai dengan jumlah yang dianjurkan.

5. Kelompok buah dan gula


Seperti halnya pada sayuran, kelompok buah merupakan sumber vitamin, mineral, karbohidrat dan
serat. Selain itu buah juga kaya akan anti oksidan seperti lykopene pada tomat, vitamin C pada
jeruk, vitamin A pada papaya dan sebagainya. Pola makan seorang diabetisi hendaknya secara
rutin mengkonsumsi buah-buahan dengan minimal 3 x makan dan sejumlah sajian @50-100 g.
Pada diabetisi, konsumsi buah-buahan dapat dijadikan sebagai konsumsi buah dalam jumlah
cukup tidak hanya akan membantu terpenuhinya kebutuhan serat, namun juga anti oksidan yang
sangat dibutuhkan oleh diabetisi untuk mencegah terjadinya komplikasi diabetes mellitus akibat
keberadaan radikal bebas di dalam tubuh seorang diabetisi sangat mudah memicu terjadinya efek
gangguan metabolik yang mempercepat munculnya komplikasi makro maupun mikro angiopati.

Semua bahan makan dalam kelompok buah-buahan ini dapat saling menggantikan tanpa
mempengaruhi total asupan energi asalkan sesuai dengan jumlah yang dianjurkan. Kelompok gula
dimasukkan dalam golongan ini karena dalam satu penukaran gula (1sdm=10-13 g) mengandung
energi yang setara dengan satu penukar buah yaitu 50 Kcal. Namun gula tidak mengandung
vitamin dan mineral.

6. Kelompok minyak dan makanan sumber lemak


Bahan makanan sumber lemak seringkali diabaikan dalam perhitungan asupan makanan, padahal
lemak mengandung energi yang cukup tinggi. Setiap 1 g lemak menghasilkan energi sebesar 9
Kcal. Lemak memang nampak tidak dikonsumsi secara langsung, lemak

125
(minyak) akan terserap dalam jumlah mencapai 5-10% total bahan makanan yang digoreng.
Misalnya pada tempe goreng dengan berat tempe sebelum digoreng =50 g, maka akan terserap ±
minyak sebanyak 2.5 – 5 g selama dalam proses penggorengan sehingga dalam 50 g tempe goreng
tidak hanya menghasilkan energi sebesar 80 Kcal (per satu satuan penukar tempe) namun juga
mengandung tambahan energi dari minyak sebesar 45 Kcal (per satu satuan penukar minyak).
Sehingga total tempe goreng kandungan energi per 50 g menjadi 125 Kcal (80 Kcal dari tahu dan
45 Kcal dari minyak). Memperhatikan ha tersebut minyak seringkali dianggap sebagai “pencuri
energi” karena tingginya kandungan energi yang ditambahkan. Hal ini dapat dilihat pada
kandungan energi pada beberapa cake ataupun makanan sejenis pastry yang mengandung energi
cukup tinggi meskipun ukurannya sangat kecil. Salah satu penyebabnya adalah adanya kandungan
minyak ataupun mentega pada makanan sejenis cake ataupun pastry.

7. Kelompok susu
Susu merupakan sumber kalsium yang penting bagi setiap orang. Selain mengandung kalsium,
susu mengandung energi, protein, vitamin dan mineral. Kelompok susu ini dibedakan menjadi
susu rendah lemak dan susu tinggi lemak. Susu sapi merupakan kelompok susu rendah lemak,
dalam 1 gelas susu sapi mengandung 125 Kcal, 7 g protein, 6 g lemak dan 10 g karbohidrat.

8. Kelompok lain-lain yang merupakan bahan makanan non kalori


Kelompok bahan makanan ini dilaporkan tidak menghasilkan energi di dalam tubuh. Kelompok
bahan makanan ini biasanya digunakan sesuai dengan efek yang dihasilkan. Misalnya agar-agar
untuk menghasilkan tekstur makanan yang kenyal sehingga menjadi makanan yang menarik untuk
dikonsumsi, kaldu (instan) menghasilkan aroma gurih dan sebagainya.

Setelah memahami uraian tahapan penyusunan diet di atas, aplikasi studi kasus
dapat dilihat pada contoh di bawah ini :

Tn K usia 49 tahun, bekerja sebagai seorang guru, telah didiagnosis diabetes. Ia tidak pernah sarapan
di pagi hari tapi makan nasi yang banyak di waktu makan lainnya dan ia hampir tidak punya waktu
untuk olahraga. Pada pemeriksaan fisik : TB : 165 cm ; BB 75 KG; IMT 27,5 kg/m²;
Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. A1C terakhir 8.1% GDP 106 mg/dL, GD 2
jam PP 300mg/dL. Fungsi ginjal dan fungsi hati normal, dan tidak ada proteinuria
Pertanyaan
1. Bagaimana status gizi pasien ini ?
2. Bagaimana anda mengelola diet Tn K?
3. Apakah anda akan mempertimbangkan penatalaksanaan gizi untuk pasien ini ?
4. Bagaimana anda melakukan perhitungan kebutuhan zat gizinya ?
5. Bagaimanakan komposisi zat gizi makronya ?
6. Bagaimana contoh aplikasi makanan dalam 1 kali makan dan makanan selingannya ?

126
Jawaban
1. Bagaimana status gizi pasien ini ?
Berat badan (kg) 75

Tinggi Badan (m) 1,65

Indeks Masa Tubuh (bb/tb²) 27,5 (obese I)

2. Bagaimana anda mengelola diet Tn K ?


Memberikan terapi gizi sesuai kebutuhan Tn K

3. Apakah anda akan memperimbangkan penatalaksanaan gizi untuk pasien ini?


Ya

4. Bagaimana anda melakukan perhitungan kebutuhan zat gizinya ?


Energi Basal 30Kcal/kg BB (BB aktual) 2250 (Kcal)

=30 x 75 = 2250Kcal

Usia : 48 th (-5% x 2250 = 112,5 Kcal) 2137,5 (Kcal)

Aktivitas : Ringan (+20% x 2250 = 450 Kcal) 2587,5 (Kcal)

Koreksi obesitas (-25% x 2250 = 562,5 Kcal) 2025 (Kcal)

5. Bagaimanakan komposisi zat gizi makronya ?


Perhitungan

Energi 2025 Kcal dibulatkan 2000 Kcal

Karbohidrat (60%) 60% x 2000 = 1200 Kcal = 300 g

Protein (15%) 15% x 2000 = 300 Kcal = 75 g

Lemak (25%) 25% x 2000 = 500 Kcal = 55 g

Distribusi energi / hari

Waktu Makan % Energi (Kcal) (Note: Total 2000


Kcal)
Makan Pagi (07.00) 25 500

Snack (10.00) 5 100

Makan Siang (13.00) 30 600

127
Snack (16.00) 5 100

Makan Malam (19.00) 30 600

Snack (21.00) 5 100

Contoh aplikasi menu makan siang dan snack pukul

16.00 bagi diabetisi kasus di atas.

6. Menu Makan siang


Protein
menu Bahan Penukar Berat Energi Protein Lemak KH
makanan (grams) (Kcal) (grams) (grams) (gram)

Nasi + Nasi Putih 2 200 350 8 - 80


Lalapan
Ayam 1 40 50 7 2 -
Goreng
Tempe 1 50 80 6 3 8
Bacem
Daun 1 100 50 3 - 10
Singkong
Minyak 2 10 90 - 18 -
Total 620 24 23 98

Snack Buah 2 100 100 0 0 24


16.00 Potong
%total energy

Total 720 24 23 122

Tabel 2. Contoh menu sehari diet DM 1900 kkal


Waktu Bahan makanan Penukar URT menu
Pagi Nasi 1½ p 1 gls Nasi
Telur ayam 1p 1 btr Telur dadar
Tempe 1p 2 ptg sdg Oseng-oseng tempe
Sayuran A S Sop oyong + tomat
minyak 2p 1 sdm
Pukul 10.00 Buah 1p 1 ptg sdg Pepaya
Siang Nasi 2p 1½ gls Nasi
Ikan 1p 1 ptg sdg Pepes ikan
Tempe 1p 2 ptg sdg Tempe goreng
Sayuran B 1p 1 gls Lalapan kc panjang
+ kol

128
Buah 1p ¼ bh sdg Nenas
minyak 2p 1 sdm
Pukul 16.00 Buah 1p 1 bh Pisang
Malam Nasi 2p 1½ gls Nasi
Ayam tanpa kulit 1p 1 ptg sdg Ayam bakar
Tahu 1p 1 bh bsr Tahu bacem
Sayuran B 1p 1 gls Stup buncis + wortel
Buah 1p 1 ptg sdg pepaya
minyak 2p 1 sdm

Nilai Gizi
Energi 1912 kkal Karbohidrat 299 g (62,5% energi total)
Protein 60 g (12,5% energi total) Kolesterol 303 mg
Lemak 48 g (22,5% energi total) Serat 37 g

Bahan makanan yang dianjurkan untuk diet DM :


◼ Sumber karbohidrat kompleks, misal: nasi, roti, mi, kentang, singkong, ubi dan sagu
◼ Sumber protein rendah lemak, misal: ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, tempe, tahu
dan kacang-kacangan
◼ Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang mudah dicerna.
Makanan terutama diolah dengan cara dipanggang, dikukus, disetup, direbus dan
dibakar
Bahan makanan yang tidak dianjurkan (dibatasi/dihindari)
1. Mengandung banyak gula sederhana, misal:
a. Gula pasir, gula jawa
b. Sirop, jam, jeli, buah-buahan yang diawetkan dengan gula, susu kental manis,
minuman botol ringan dan es krim
c. Kue-kue manis, dodol, cake dan tarcis
2. Mengandung banyak lemak, misal: cake, makanan siap saji, goreng-gorengan
3. Mengandung banyak natrium, misal: ikan asin, telur asin, makanan yang diawetkan

DIET DISLIPIDEMIA

Tujuan diet dislipidemia adalah untuk:


1. Menurunkan berat badan bila kegemukan
2. Mengubah jenis dan asupan lemak makanan
3. Menurunkan asupan kolesterol makanan
4. Meningkatkan asupan karbohidrat kompleks dan menurunkan asupan karbohidrat
sederhana

Syarat-syarat diet dislipidemia :


1. Energi yang dibutuhkan disesuaikan menurut berat badan dan aktivitas fisik. Bila
kegemukan, penurunan berat badan dapat dicapai dengan asupan energi rendah dan

129
meningkatkan aktivitas fisik. Penurunan asupan energi disertai penurunan berat badan
biasanya menghasilkan penurunan kadar trigliserida darah yang cepat
2. Lemak sedang, < 30% dari kebutuhan energi total. Lemak jenuh untuk diet
dislipidemia tahap I, < 10% dari kebutuhan energi total dan untuk diet dislipidemia
tahap II < 7% dari kebutuhan energi total. Lemak tak jenuh ganda dan tunggal untuk
diet dislipidemia tahap I maupun II adalah 10-15% dari kebutuhan energi total.
Kolesterol < 300 mg untuk diet dislipidemia tahap I dan < 200 mg untuk diet
dislipidemia tahap II
3. Protein cukup, yaitu 10-20% dari kebutuhan energi total. Sumber protein hewani,
terutama dari ikan banyak mengandung lemak omega-3. Sumber protein nabati lebih
dianjurkan
4. Karbohidrat sedang, yaitu 50-60% dari kebutuhan energi total
5. Serat tinggi, terutama serat larut air yang terdapat dalam apel, beras tumbuk atau beras
merah, havermout dan kacang-kacangan
6. Vitamin dan mineral cukup. Suplemen multivitamin dianjurkan untuk pasien yang
mengonsumsi ≤ 1200 kkal energi sehari.

Bahan makanan yang dianjurkan


• Sumber karbohidrat: beras, makaroni, roti tinggi serat, sereal, ubi, kentang
• Sumber protein hewani: ikan, unggas tanpa kulit, daging kurus, putih telur, susu skim,
yogurth trendah lemak, keju rendah lemak
• Sumber protein nabati: tempe, tahu dan kacang-kacangan
• Sumber lemak : minyak zaitun, wijen, margarin tanpa garam yang dibuat
• Sayuran : semua sayur dalam bentuk segar, direbus, dikukus, disetup, ditumis
menggunakan minyak tidak jenuh, dimasak dengan santan encer
• Buah : semua buah dalam keadaan segar atau bentuk jus

Bahan makanan yang tidak dianjurkan


• Sumber karbohidrat : produk makanan jadi, biskuit, krekers berlemak dan kue-kue
berlemak lainnya
• Sumber protein hewani: daging gemuk, daging kambing, daging babi, jeroan, otak,
sosis, sardin, kuning telur, susu whole, kental manis, krim, keju, es krim
• Sumber protein nabati: dimasak dengan santan dan digoreng dengan minyak jenuh,
seperti kelapa sawit
• Sumber lemak : minyak dan kelapa sawit, mentega, santan, krim, lemak babi, bacon,
mayones
• Sayuran : sayuran yang dimasak dengan mentega, minyak atau kelapa sawit dan
santan kental
• Buah : buah yang diawet dengan gula misal: buah kaleng dan buah kering

Tabel 5. Contoh menu sehari diet dislipidemia tahap I 1600 kkal


Waktu Bahan makanan Penukar URT menu
Pagi Nasi 1p ½ gls Nasi
Ikan 1p 1 ptg sdg Ikan pepes

130
Tempe 1p 2 ptg sdg Tempe bacem
Sayuran ½p ½ gls Lalapan + sambel
minyak 1p ½ sdm
Pukul 10.00 Buah 1p 1 bh Pisang
Siang Mi 1½ p 1½ gls Mi bakso campur
bakso 1½ p 15 bj sdg Pepes ikan
tahu 1p 1½ bj bsr Tempe goreng
Sayuran B 1p 1 gls Sawi
Buah 1p 2 bh sdg Jeruk manis
minyak 1p ½ sdm
Pukul 16.00 Buah 1p 1 ptg sdg pepaya
Malam Nasi 1½ p 1 gls Nasi
Ikan 1p 1 ptg Ikan bumbu kuning
tempe 1p 2 ptg sdg Oseng tempe
Sayuran B ½p ½ gls Cah sawi
minyak 1p ½ sdm

131
DAFTAR TILIK MENU DIET

Nilai
No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Menentukan status gizi pasien
2 Menghitung kebutuhan kalori pasien
3 Mengkoreksi kebutuhan kalori pasien berdasarkan
faktor koreksi
4 Menghitung komposisi karbohidrat, protein, dan
lemak
5 Membuat menu diet dengan pembagian pagi, siang,
malam dan selingan

Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar
2 = dilakukan dengan benar

132
KETERAMPILAN
PENULISAN RESEP
RASIONAL

Isnanini, Joharman

Pengertian Resep
Menurut Permenkes RI No. 35 tahun 2014, yang dimaksud dengan Resep adalah suatu
permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker Pengelola Apotek
(APA), baik berupa paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf R/ kepanjangan dari recipe, dan
berasal dari bahasa Latin, yang artinya Ambillah. Jadi sebuah resep merupakan sebuah surat dari
seorang dokter yang meminta apoteker untuk mengambilkan dan menyediakan obat yang diminta,
serta kemudian menyerahkan obat tersebut kepada pasien.

Fungsi Resep
Sebuah resep mempunyai beberapa fungsi:
1. Sebagai perwujudan cara terapi
Bila seorang dokter memberikan suatu terapi, dia pasti akan menuliskan sebuah resep, baik
pasien itu rawat jalan maupun pasien rawat inap, apalagi untuk pasien yang berobat pada dokter
praktek swasta. Obat-obat yang diberikan akan memberikan gambaran terhadap terapi yang
diberikan oleh dokter tersebut. Artinya kerasionalan terapi seorang dokter itu bisa dilihat dari
resep yang dituliskannya.
2. Merupakan dokumen legal
Sebuah resep merupakan dokumen yang diakui keabsahannya untuk mendapatkan obat yang
diinginkan oleh dokter, baik obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras maupun obat narkotik dan
psikotropik. Seorang pasien akan mudah mendapatkan obat keras, obat narkotika dan obat
psikotropika dengan sebuah resep, karena obat-obat tersebut tidak bisa didapatkan tanpa adanya
resep. Karena begitu penting sebuah resep sebagai sebuah dokumen legal, maka diharapkan
seorang dokter tidak meletakkan blanko resep sembarangan karena dapat digunakan oleh orang
lain untuk mendapatkan obat yang seharusnya tidak dia gunakan, misalnya obat narkotika dan obat
psikotropika, apalagi kalau blanko resep tersebut sudah ditandatangani oleh dokter tersebut.

133
3. Sebagai catatan terapi
Seorang dokter seharusnya menuliskan resep rangkap dua, dimana yang pertama diberikan
kepada pasien untuk menebus obat di apotek, sedangkan yang kedua sebagai arsip dan catatan
bahwa pasien tersebut sudah mendapatkan terapi dengan obat-obat yang ada di arsip tersebut,
sehingga apabila pasien itu balik lagi untuk kontrol untuk mendapatkan terapi lanjutan atau obat
yang diberikan tidak memberikan efek seperti yang diinginkan, dokter bisa memberikan obat lain.
Atau bila suatu ketika pasien itu datang lagi dengan keluhan yang sama, maka dokter tersebut
tinggal mencari arsipnya dan menuliskan terapi seperti sebelumnya, tidak perlu memberikan
terapi yang lain yangbelum tentu berhasil.
4. Merupakan media komunikasi
Sebuah resep merupakan sarana komunikasi antara dokter-apoteker-pasien. Hanya dengan sebuah
resep yang dibawa oleh pasien maka apoteker akan tahu seorang pasien akan diberikan obat apa
saja, berapa jumlahnya, apa bentuk sediaannya, berapa kali sehari digunakannya, dan kapan pasien
harus minum.
Dengan demikian sebuah resep haruslah dituliskan selengkap mungkin supaya tidak terjadi
kesalahan dalam menggunakan obat yang diberikan. Bila resep yang dituliskan tidak lengkap, ada
kemungkinan apa yang dijelaskan oleh apoteker (apoteker harus menjelaskan cara pakai obat-obat
yang diberikan supaya pasien menggunakannya dengan benar) tidak sama dengan apa yang
dijelaskan atau diinginkan oleh dokter penulis resep. Bisa dibayangkan kalau tidak ada resep maka
dokter harus memberitahukan secara lisan obat-obat yang harus diberikan kepada pasien, perlu berapa
waktu untuk mengkomunikasikan hal itu kepada apoteker, apalagi kalau pasiennya banyak, pasti akan
timbul kerepotan dan waktu yang lama.
Pada umumnya resep menggunakan bahasa Latin, dengan alasan:
1. Bahasa Latin merupakan bahasa yang sudah mati dan tidak akan berubah
2. Dapat dimengerti di seluruh dunia sebagai bahasa dalam pelayanan kefarmasian (obat)
3. Menghindari dualisme
4. Faktor psikologis, karena tidak dimengerti oleh pasien.

134
Bahasa Latin dalam resep digunakan pada:
1. Untuk penulisan:
a. Nama obat
Terutama untuk obat yang diambilkan dari bahan baku atau obat generik. Dari nama obat yang
dituliskan oleh dokter penulis resep, apoteker akan tahu obat itu diambilkan dari bahan baku, obat
generik, atau obat paten.
b. Pembuatan atau bentuk obat
Pembuatan sediaan serta bentuk sediaan obat harus ditulis bahasa Latin, supaya tidak akan ada
persepsi yang ganda antara satu daerah dengan daerah lain tentang bentuk sediaan obat yang
diberikan
c. Petunjuk penggunaan obat
Petunjuk penggunaan suatu obat yang diberikan harus dituliskan dalam bahasa Latin karena ada
kemungkinan resep tersebut dibawa keluar daerah atau malah ke luar negeri, sehingga supaya
tidak ada persepsi yang ganda harus dituliskan dalam bahasa Latin.
2. Apabila menuliskan singkatan bahasa Latin harus menggunakan singkatan yang baku,
karena ada kemungkinan orang lain tidak paham dengan singkatan yang dituliskan bila tidak
menggunakan singkatan baku. Contoh: “kalau perlu” bahasa Latinnya adalah pro renata,
biasa disingkat p.r.n., tetapi kadang-kadang ada dokter yang menuliskan kp (singkatan dari
kalau perlu), atau “tidak boleh diulang” bahasa latinnya adalah ne iteratur atau biasa
disingkat NI. Jadi dalam menuliskan singkatan tidak boleh dituliskan dalam singkatan bahasa
Indonesia, harus singkatan bahasa Latin yang baku.

Ketentuan mengenai Resep


1. Resep yang lengkap berlaku di semua apotek di semua negara. Kecuali resep-resep yang
mengandung obat golongan narkotika, maka resep ini hanya akan berlaku di wilayah
dokter tersebut berpraktek.
2. Resep yang telah diterima oleh apotek akan disimpan selama 3 tahun, setelah batas waktu
tersebut dimusnahkan, dengan sebelumnya membuat berita acara.
3. Resep yang telah diterima oleh apotek tidak boleh diperlihatkan kepada siapapun, tetapi
apabila diminta salinan resep dapat diberikan hanya kepada:
• Dokter yang menulisnya
• Pasien yang bersangkutan

135
• Badan peradilan
• Pejabat dari departemen kesehatan yang berwenang

Formula dalam resep


Obat-obat yang ditulis di dalam resep sering disebut dengan formula. Formula dibagi 3, yaitu:
1. Formula magistralis:
Berisi racikan dari senyawa murni, generik atau paten yang komposisi dan jumlahnya
ditentukan sendiri oleh dokter penulis resep.
2. Formula officinalis
- berisi obat-obat generik berbentuk sediaan jadi, atau
- berupa racikan yang komposisinya sudah baku dan tercantum dalam buku resmi seperti
Formularium Indonesia
3. Formula spesialistis
- berisi obat-obat dengan nama dagang, baik berupa racikan baku maupun racikan dari
industri farmasi
Contoh:
1. Formula magistralis

Parasetamol 120 mg
Chlorfeniramin maleat 1 mg
SL q.s.
m.f.l.a. pulv d.t.d. No. VI
S. p.r.n. t.d.d. pulv I a.c. (febris)

2. Formula officinalis

Cotrimoxazol tab 480 mg No. XX


S. b.d.d. tab II a.c. (o.12.h)

Potio nigra contra tuss. 120 ml lag I


S.p.r.n. t.d.d. C I a.c. (tussis)

136
3. Formula spesialistis

Primazole Forte tab No. X


S. b.d.d. tab I (o.12.h)

Dextral Forte caps No. X


S. p.r.n. t.d.d. cap I a.c. (tussis)

Satuan ukuran
Kadar zat berkhasiat dan zat tambahan dinyatakan dengan satuan ukuran sebagai berikut:
kilogram disingkat kg
gram disingkat g
miligram disingkat mg
mikrogram disingkat mcg
mililiter disingkat ml
meter disingkat m
sentimeter disingkat cm
gram ekivalen disingkat grek
miligram ekivalen disingkat mgrek
satuan internasional disingkat s.i.
grain disingkat gr

Resep Darurat
Untuk resep yang harus segera dilayani karena keadaan pasien yang darurat, maka dokter penulis
resep harus menuliskan istilah-istilah berikut pada bagian atas kanan resep:
i. PIM : periculum in mora = berbahaya jika ditunda
ii. Cito disp : cito dispensetur = hendaknya dibuat segera
iii. Stat : statim = cepat kerjakan
iv. Urg : urgens = penting

137
Pedoman Penulisan Resep
Sebuah resep dikatakan benar dan rasional bila memenuhi syarat:
I. Ditulis dengan cara yang benar:
a. Jelas, dapat dibaca
Resep harus dituliskan dengan jelas supaya apoteker dapat membaca dengan mudah. Bila ditulis
dengan tulisan yang tidak jelas, maka ada kemungkinan apoteker tidak dapat membaca atau malah
ada kemungkinan apoteker salah dalam membaca resep tersebut.

b. Sesuai aturan/kaidah penulisan yang berlaku


Contoh:
1. Penggunaan singkatan yang harus menggunakan bahasa Latin
Kalau singkatan itu bukan bahasa Latin, ada kemungkinan apoteker tidak tahu
artinya.
Contoh: penulisan “kalau perlu” yang kadang-kadang dituliskan kp, yang seharusnya
p.r.n.
2. Penulisan nama obat
Penulisan nama obat harus menggunakan penulisan yang baku. Tulisan itu dapat dibaca
oleh semua apotek. Ada beberapa dokter yang menuliskan resep magistralis yang berisi
berbagai macam obat yang dituliskan singkatan namanya yang hanya apotek tertentu saja
yang tahu.
c. Ditulis lengkap
Resep yang lengkap terdiri dari:
1. Nama & alamat dokter, SIP, nomor telepon, jam & hari praktek
Hal ini berguna apabila apoteker ingin menanyakan sesuatu, tulisan yang tidak jelas, atau hal-hal
lain yang tidak jelas, apoteker dapat menghubungi dokter tersebut dengan mudah baik di
rumah maupun di tempat praktek dokter tersebut.
2. Nama kota serta tanggal resep ditulis
Hal ini berguna untuk mengetahui kapan dan dimana resep itu ditulis karena ada obat-obat
tertentu, contohnya obat antihipertensi, tidak bisa ditebus lagi kalau sudah hampir satu
minggu setelah resep itu ditulis, karena ada kemungkinan tekanan darah pasien telah
berubah, tidak seperti saat dokter menuliskan resep tersebut. Sedangkan nama kota untuk
mengetahui dokter yang menuliskan resep berada di kota mana, terutama untuk obat-
obat narkotika dan psikotropika harus

138
diambil dimana dokter itu berada, supaya apoteker tahu bahwa dokter tersebut benar-benar
ada, bukan dokter yang fiktif atau palsu.
3. Superscriptio
Superscriptio biasanya ditandai dengan huruf R/. Tanda R/ singkatan dari recipe yang
berarti “harap diambil” atau “ambillah” (superscriptio). Ada hipotesis bahwa tanda R/
berasal dari tanda Jupiter, dewa utama mitologi Romawi kuno. Hipotesis yang lain
mengatakan tanda R/ itu berasal dari Ra = “mata keramat” dari “Dewa Matahari” Mesir
kuno.
4. Inscriptio
Yang dimaksud dengan inscriptio atau isi resep adalah nama setiap jenis/bahan obat yang
diberikan serta jumlahnya:
a. Jenis/bahan obat dalam resep dibedakan menjadi:
1. Remedium cardinale (obat pokok)
2. Remedium adjuvans: Bahan yang membantu kerja obat pokok
3. Remedium corrigen: Bahan yang berguna untuk memperbaiki:
- Saporis (rasa) seperti aqua menthae piperitae dan sirupus simpleks
pada sirup
- Odoris (Bau) seperti oleum rosae pada pulvis atau krim
- Coloris (warna) seperti caramel (coklat), carminum (merah)
- Solubilise untuk memperbaiki kelarutan obat utama.
Misalnya: I2 tidak larut dalam air, tetapi dengan penambahan KI
menjadi mudah larut
4. Constituen atau vehikulum
Bahan tambahan yang dipakai sebagai bahan pengisi dan pemberi bentuk untuk
memperbesar volume obat. Misalnya laktosa pada serbuk, amilum dan talk pada
bedak tabur.
b. Jumlah obat yang diberikan:
1. Sediaan padat dalam angka Romawi
2. Sediaan cair bisa dalam angka Romawi atau angka Arab
3. Sediaan setengah padat bisa dalam angka Romawi atau angka Arab

139
5. Subscriptio
Subscriptio atau petunjuk untuk meracik biasanya berisi cara pembuatan obat dan bentuk
sediaan obat yang akan dibuat dan jumlah yang diinginkan. Biasanya subscriptio hanya
ada pada resep formula magistralis

6. Signatura/transcriptio
Signatura, atau nama lainnya transcriptio, biasanya berisi petunjuk cara penggunaan obat,
seperti:
- Berapa kali sehari dipakai
- Kapan obat tersebut digunakan
- Bagaimana cara menggunakannya
- Apakah obat tersebut harus diminum sampai habis atau kalau perlu
saja
- dan sebagainya
7. Identitas penderita
Identitas penderita harus dituliskan secara lengkap, meliputi nama penderita, alamat, umur
dan berat badan pasien. Terutama untuk pasien anak, harus ada umur dan berat badan anak,
yang berguna untuk mengecek kembali dosis yang diberikan. Alamat pasien harusnya
juga dituliskan dengan lengkap, karena ada kemungkinan di apotek ada dua nama yang
sama, kalau ada alamatnya maka kemungkinan untuk tertukar akan kecil terjadi
8. Kesahan resep
Sebuah resep minimal harus ada paraf dokter di masing-masing resep yang ditulis setelah
garis pemisah antar resep. Khusus untuk resep narkotika dan psikotropika, harus
dibubuhkan tandatangan dokter si penulis resep

II. Memenuhi 5 tepat, yaitu:


1. Tepat obat
a. Rasio manfaat-resiko
Antara manfaat dan risiko (efek samping obat) haruslah dipertimbangkan secara
seksama. Bila lebih banyak manfaatnya walaupun efek sampingnya besar, maka kita bisa
memilih obat tersebut apabila tidak ada lagi obat lain yang mempunyai manfaat sebaik
obat tersebut.

140
b. Rasio manfaat-harga
Antara manfaat dan harga juga perlu dipertimbangkan; kalau ada obat yang murah
dengan manfaat yang sama, maka lebih baik kita menggunakan obat tersebut
dibandingkan dengan obat yang mahal, seperti antara obat paten dan obatgenerik.
c. Rasio terapi
Sebagai pedoman dalam terapi biasanya kita menggunakan DOEN

2. Tepat dosis
Dalam menghitung dosis kita perlu memperhatikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
dosis. Apabila dosis yang kita tuliskan melampaui dosis maksimal, maka dokter penulis resep
harus menuliskan tanda seru di belakang jumlah obatnya, yang artinya bahwa dokter tersebut
memang sengaja memberikan dosis tersebut walaupun telah melampaui dosis maksimal obat.

3. Tepat bentuk sediaan obat


Dalam menentukan bentuk sediaan obat apa saja yang akan diberikan, perlu
dipertimbangkan:
a. Efek terapi optimal
b. Efek samping maksimal
c. Aman dan cocok bagi pasien
d. Harga obat tidak terlalu mahal

4. Tepat waktu pemberian obat


Obat yang rasional mempunyai waktu pemberian yang tepat: apakah obat tersebut diberikan
sebelum makan, saat makan, sesudah makan, pagi hari, siang hari, malam ataupun sebelum
tidur. Waktu pemberian obat ini harus memperhatikan saat yang optimal obat tersebut
diabsorpsi dan efek samping minimal. Beberapa waktu pemberian obat:
a. Bila obat tersebut dihambat oleh adanya makanan, maka obat tersebut diberikan
sebelum makan. Contoh: ampicillin, absorpsinya dihambat oleh adanya makanan,
maka diberikan sebelum makan

141
b. Bila obat tersebut mengiritasi lambung, maka harus diberikan sesudah makan,
contoh: asam mefenamat
c. Bila absorpsi obat paling baik pada saat ada makanan, maka diberikan bersamaan
makanan. Contoh: obat yang berisi enzim untuk mencerna makanan
d. Untuk obat-obat yang frekuensi pemberiannya satu kali, maka lebih baik diberikan
dengan melihat cara kerja dan efeknya.
Contoh:
- Obat diuretik seperti furosemid lebih baik diberikan pagi hari
- Obat ansietas yang diberikan satu kali yang diharapkan pasien bisa
tidur lebih baik diberikan malam hari

5. Tepat penderita
Obat yang diberikan harus memperhatikan keadaan penderitanya: apakah anak-anak, dewasa,
lanjut usia, serta kondisi penyakitnya. Hal ini berpengaruh terhadap dosis dan juga bentuk
sediaan yang diberikan

142
Istilah bahasa Latin
aa Ana tiap-tiap (masing-masing)
abdom Abdomen perut
ab.in gelat Abeat in gelatinam sampai seperti selai (jelly)
ablut Ablution obat untuk mencuci
(membersihkan)
abs. febr. Absente febre pada waktu tidak demam
ac ac dan/juga
a.c. ante coenam sebelum makan
accur. accurate seksama
Accuriss. accuratisime sangat seksama
ad ad sampai
a.d. auri dextra telinga kanan
ad. Aur. ad aurem pada telinga
ad.c.trit adde cum tritu tambahkan dengan digerus
ad chart.cer. ad chartam ceratam dalam kertas berlilin
ad chart.perg. ad chartam pergameneam dalam kertas perkamen
ad 2 vic ad duas vices dalam/untuk dua kali
ad lib/ad libit ad libitum sesuka hati
ad part. dolent. ad partes dolantes pada bagian yang sakit
add adde tambahkan
add. addetur ditambahkan
addend addendus ditambahkan
ad grat.acid ad gratam acidatam sampai rasa asam yang sesuai
ad grat.sap. ad gratam saporem sampai ada rasanya
adh adhibere memakai
agit. agita, agitetur kocok, kocoklah
a.h. alternis horis tiap selang 1 jam
a.j. ante jentaculum sebelum makan pagi
a.l. auri laevae telinga kiri
alt. dieb. alterius diebus setiap tengah hari
alt. hor. alterius horis sebelum dua jam
altera hora

143
a.m. (a.merid) ante meridiem sebelum tengah hari
a.n. ante noctum sebelum malam hari
a.p. ante prandium sebelum makan malam
applic. applicatio penggunaan, pemakaian
a.u.i. (ad us.int) ad usum internum untuk obat dalam
a.u.e. (ad us.ext) ad usum externum untuk obat luar
a.u.p. (ad us.prop) ad usum proprium untuk dipakai sendiri
u.p. (us. prop) usum proprium dipakai sendiri
m.i. mihi ipsi dipakai sendiri
aq.bidest. aqua bidestilata air 2 kali suling
aq.dest. aqua destilata air suling
aq.steril. aqua sterilisata air steril
c. cum dengan
C. cochlear, ciarium sendok makan (15 cc)
c.p. cochlear pultis/parvum sendok bubur
c.th. cochlear theae sendok teh (5 cc)
c.c. centimetrum cubicum sentimeter kubik
caps.gel.op. capsulae gelatinosae kapsul dari gelatin (yang pakai
operculater tutup)
caut. caute hati-hati
clysm clysma clysma, lavement
collut. collutorium obat kumur (cuci mulut)
collut. or. collutio oris obat kumur (cuci mulut)
collyr. collyrium obat cuci mata
comp. compositus obat campuran
causpers causpersus serbuk tabur
conc. concentratus pekat
crem cremor krim
c.form. cum formula dengan formulanya
d.i.d. da in dim berikan separuhnya
da in dimido
d.in 2 plo. da in duplo berikan 2x banyaknya
d.in 3 plo.a da in triplo berikan 3x banyaknya

144
d.in 4 plo. da in quadruplo berikan 4x banyaknya
da ad lag. da ad lagenam berikan dalam botol
da ad lag. gutt. da ad lagenam guttatorium berikan dalam botol tetes
da ad vitr. da ad vitrum berikan dalam botol
da ad oll. da ad ollam berikan dalam pot
da in oll. da in ollam berikan dalam pot
d.c. durante coenam sedang makan
d.c.form. da cum formula tulis dengan formulanya
d.d. de die sehari, setiap hari
1 d.d. (s.d.d.) smel de die sekali sehari
2 d.d. (b.i.d.) atau bis de/in die 2x sehari
b.d.d.
3 d.d. (t.i.d.) atau ter de/in die 3x sehari
t.d.d.
4.d.d. (q.i.d.) atau quarter de/in die 4x sehari
q.d.d.
dext. dexter kanan
dext.et.sin. dexter et sinister kanan dan kiri
dil dilutus encer
div.in.p.aeq. divide in partes aequales bagilah sama banyak
d.s.s.ven. da sub signa veneni berikan dengan tanda racun
d.t.d. da tales doses berikan banyak dosis tsb.
dur.dol. durante dolare selagi sakit
empl. emplastrum plester
enem. enema lavement
epith. epithema obat kompres
extend. extende ulaskan
extend.cr. extende crass ulaskan tebal-tebal
extend.ter. extende termiter ulaskan tipis-tipis
ext.s.alut. extende supra alutum ulaskan di atas kulit lunak
ext.s.cor. extende supra corium ulaskan di atas kulit kaku
extr. extractum ekstrak
extr.aquos. extractum aquosum ekstrak dengan air

145
extr.fl. extractum fluidum ekstrak encer
extr.liq. extractum liquidum ekstrak encer
extr.sicc. extractum siccum ekstrak kering
extr.spir. extractum spirituosum ekstrak dengan spiritus
extr.spiss. extractum spissum ekstrak kental
f. fac, fiat, diant buat, harap buatkan
feb.dur. febri durante sewaktu demam
fom. fomentum, fomenti obat kompres (panas)
f.l.a. fac lege artis buat menurut seni
F.M.I. Formularium Nama buku yang berisi formula-
Medicamentorum Indicum formula officinalis
F.M.S. Formularium Nama buku yang berisi formula-
Medicamentorum Selectum formula officinalis
filtr. filtra, filtretur saring, harap disaring
fol. folia daun
fol.digit. folia digitalis daun
fol.pip.betl. folia Piperis Betle daun sirih
form. formula formulanya
g, gm; grm gramma gram
garg. gargarisma obat kumur
gr. granum/grain kira-kira 65mg, grain
gi.arab gummi arabicum gom arab (=acacia)
gtt. guttae tetes
gtt.ad aur. guttae ad auerus obat tetes telinga
gtt.auric guttae auriculares obat tetes telinga
gtt.nasal guttae nucila obat tetes hidung
gtt.ophth. guttae ophthalmicae obat tetes mata
h. hora jam
h.m. hora manutina pagi hari
h.s. hora somni sebelum tidur
h.v. hora vespersina pada sore hari
haust. haustus teguk sekaligus
i.m.m. in manum medici berikan ke tangan dokter

146
i.c. inter cibos antara dua waktu makan
inf. infusum air rebusan
inj. injectio obat suntik
inj.hypod. injectio hypodermica obat suntik di bawah kulit
inj.subc. injectio subcutanea obat suntik di bawah kulit
inj.i.v. injectio intra vena obat suntik di dalam vena
iter iteratur harap diulang
iter 1x iteratur 1x harap diulang 1x
lag. lagena botol
l.a. lege artis menurut aturan seni
lin. linimentum obat gosok
lc. loco pengganti
lit.or. litus oris cairan untuk dioleskan di mulut
loc.dol. locus dolens tempat yang terasa sakit
lot. lotio lotion (obat cair untuk obat luar)
liq. liquidus cair
m. mane pagi
m.et.v. mane et vespere pagi dan sore
m. misce, misceatur campurlah, harap dicampur
merid. meridie tengah hari
m.f. misce fac campur dan buatlah
m.f.l.a. misce fac lege artis campur dan buatlah menurut cara
semestinya
mg, mgm miligrama miligram
mixt. mixtura campuran
muc. gi. arab mucilago gummi arabici lendir dari acacia
n. noctum malam
N.I. ne iteratur harap jangan diulang
non. rep. non repetatur harap jangan diulang
non in lag, orig. non in lagema original jangan dalam botol asli
o.d. et o.s. atau o.d.s. oculus dexter et oculus sinister mata kanan dan kiri
o.h. omni hora tiap jam
o.b.h. omni bi horio tiap 2 jam

147
o.t.h. omni tri horio tiap 3 jam
o.4.h. omni quarter horio tiap 4 jam
o.m. omni mane tiap pagi
o.n. omni nocte tiap malam
p.p. pro paupere untuk si miskin
p.c. post coenam sesudah makan
pil. pipula pil
p.i.m. periculum in mora berbahaya bila ditunda
p.p.p. pulvis pro pilulis serbuk dengan pil
sulfur ppt. sulfur praecipitatus sulfur yang dibuat dengan cara
pengendapan
ppt praecepitatus diendapkan
p.r.n. pro re nata kalau perlu
pot potio minuman/cairan yang digunakan
untuk obat dalam
pulv. pulvis serbuk tunggal
pulv. pulveres serbuk terbagi (puyer)
pulv. adsp. pulvis adspersorius serbuk tabur
pulv. dentilfr pulvis dentilfricius tepung gosok gigi
q.s. quantum satis/sulficit secukupnya
R/ recipe ambillah
rec. recep baru, segar
rec.par. recentus paratus dibuat baru
sac. lac. atau SL saccharum lactis saccharum lactis
S. si necease sit tandailah, tulislah
s.n.s. si opus sit kalau perlu
s.o.s. solutio kalau perlu
sol. spiritus larutan
spir. sterilisatus spiritus
sterril. tinctura yang disterilkan
tet (tinct) tinctura belladonnae tinctur
tinct. bellad trochiscus tinctur belladonnae
troch tussis troche

148
tuss. tussi urgente batuk
tuss. urg usus cognitus jika batuknya amat mengganggu
u.c. usus notus aturan pakai diketahui
u.n. usus externus aturan pakai diketahui
u.e. usus veterinarius obat luar
u.v. unguentum guna kedokteran hewan
ungt. vespere salep
vesp. Unus senja hari
I Duo Satu (1)
II Tres Dua (2)
III Quattour Tiga (3)
IV Quin Que Empat (4)
V Sex Lima (5)
VI Septem Enam (6)
VII Octo Tujuh (7)
VIII Novem Delapan (8)
IX Decem Sembilan (9)
X Uno Decim Sepuluh (10)
XI Dou Decim Sebelas (11)
XII Viginti Dua belas (12)
XX Triginta Dua puluh (20)
XXX Quinquagianta Tiga puluh (30)
L Centum Lima puluh (50)
C Quinganti Seratus (100)
D Mille Lima ratus (500)
M Seribu (1000)

149
Contoh blanko resep:
1. Resep rumah sakit
10 cm
PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I
KALIMANTAN SELATAN
R U M A H S A K I T U M U M “U L I N”
BANJARMASIN
Nama Dokter : Tanda Tangan Dokter
UPF/Bagian :
……………………..
Banjarmasin, ………………
R/

15 cm

Pro :
Umur/berat badan :
Alamat :

2. Resep dokter praktek

dr. Fatih
SIP : 952/2004

Rumah: Praktek:
Jl. Banjar Indah Permai 5 Jl. Veteran No. 50
Banjarmasin Telp. 252565 Banjarmasin Telp. 272025
Banjarmasin, ………………
R/

15 cm
Pro :
Umur/berat badan :
Alamat :

10 cm

150
PERIHAL OBAT

1. TATA NAMA
Pemberian nama obat disesuaikan dengan monografi dari Farmakope Indonesia:
• Nama latin
➢ Acidum acetylsalicylicum
➢ Acetaminophenum
• Nama Indonesia
➢ Asam asetisalisilat
➢ Asetaminofen
• Nama lazim/generik
➢ Acetosal
➢ Paracetamol

2. KATEGORI OBAT
Kategori obat dibedakan menurut:

A. UU Farmasi

1. Obat Daftar O (Narkotika)

Obat Daftar O mempunyai ciri:


1. Obat diberikan kepada pasien harus dengan resep dokter, lengkap dengantanda tangannya

2. Tidak boleh mengulang pemberiannya tanpa resep yang baru

3. Disimpan di lemari khusus yang terkunci rapat dan terbuat dari kayu
4. Bila lemarinya kecil, maka harus dipaku ke dinding
Contoh obat narkotika:
- Damar Ganja : Damar yang diambil dari tanaman Ganja, termasuk hasil

pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.

- Daun Koka : Daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk

serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga

Erythroxylaceae, yang menghasilkan

151
kokaina secara langsung atau melalui perubahan kimia.
- Ekgonina : Levo-ekgonina dengan rumus kimia C9H15NO3H2O dan
ester serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi
Ekgonina dan Kokaina.
- Kokaina : Metil ester levo-benzoil ekgonina dengan rumus kimia
C17H21NO4.
- Kokaina mentah : Semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun Koka yang
dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan
Kokaina.
- Morfina : Alkaloida utama dari opium, dengan rumus kimia
C17H19NO3.
- Opium masak : Candu, Jicing, dan Jicingko.
- Opium mentah : Getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver somniferum L, yang hanya mengalami
pengolahan sekedar untuk pembungkusan dan pengangkutan
tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
- Opium obat : Opium mentah yang telah mengalami pengolahan
sehingga sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk
atau dalam bentuk lain, atau dicampur dengan zat- zat netral
sesuai dengan syarat Farmakope.
- Tanaman Ganja : Semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis,
termasuk biji dan buahnya.
- Tanaman Koka : Tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae.
- Tanaman Papaver : Tanaman Papaver somniferum L, termasuk biji, buah dan
jeraminya.
- Acetophinum : O3-asetil-7,8-dihidro-7-α (1(R)-hidroksi-1 metilbutil) O6-
metil-6,14-endoetenomorfina atau 3-0-asetiltetrahidro-7- α (1-
hidroksi-1-metilbutil) 6,14-endoeteno oripavina atau 5-asetoksi
1,2,3,3a,8,9-heksahidro-2-α (1(R)-hidroksi-1- metilbutil) 3-
metoksi-12-metil-3,9a-eteno-9,9b- iminoetanofenantro (4,5-
bcd) furan.
-Acetyldihydro- : 6-asetoksi-3-metoksi-1-metil-4,5-epoksimorfinan

152
codeinum
- Aethylmorphinum : 3-etilmorfina
- Benzoylmorphinum : Ester morfina dengan asam benzoat
- Benzylmorphinum : 3-benzil morfina
- Codeinum : 3-metilmorfina
- Codeini-N-oxidum : Kodeinaminoksida
- Codoxinum : Dihidrokodeinon-6-karboksimetiloksim
- Desomorphinum : Dihidrodeoksimorfina atau 4,5-epoksi-3-hidroksi N-
Metilmorfina
-Diaethylmorphinum : Dietilmorfina
- Dihydrocodeinum : 6-hidroksi-3-metoksi-N-metil-4,5-epoksimorfinan
- Dihydromorphinum : 3,6-dihidroksi-N-metil-4,5-epoksimorfinan
- Dimethylmorphinum : Dimetilmorfina
- Etorphinum : 7,8-dihidro-7-α (1(R)-hidroksi-1-metilbutil) O6-metil-
6,14-endoetenomorfina atau tetrahidro-7-α (1-hidroksi-1-
metilbutil) 6,14-endoeteno-oripavina
- Heroinum : Diasetilmorfina
- Hydrocodonum : Dihidrokkodeinon
- Hydromorphinolum : 14-dihidroksidihidromorfina
- Hydromorphonum : Dihidromorfinon
- Methyldesorphinum : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
- Methyldihydromor- : 6-metildihidromorfina
phinum
- Metoponum : 5-metildihidromorfinon
- Morphini : Morfina metobromida dan nitrogen pentavalen lainnya
Methobromidum
- Morphini-N-oxidum : 3,6-dihidroksi-N-metil-4,5-epoksimorfinan-7-N-oksida
- Myrophinum : Miristilbenzilmorfina
- Nicocodinum : 6-nikotilkodeina
- Nicodicodinum : 6-nikotinildihidrokodeina
- Nicomorphinum : 3,6-dinikotinilmorfina atau ester asam dinikotina dari
morfina
- Norcodeinum : N-dimetilkodeina

153
- Normorphinum : Dimetilmorfina atau N-dimetilmorfina
- Oxycodonum : 14-hidroksidihidrokodeinon atau dihidrohidroksiko-
deinon
- Oxymorphonum : 14-hidroksidihidromorfinon atau dihidrohidroksimor-
finon
- Pholcodinum : Morfolinietilmorfina
- Thebacon : Asetilhidrokodeinon atau asetildemetilo dihidrotebaina
- Thebainum : 3,6-dimetil-8-dihidromorfina
- Acetylmethadolum : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4,4-difenil heptana
- Aetylmethylthiam- : 3-etilmetilamino-1,1-di-(2’tienil)-1-butena
butenum
- Allyprodinum : 3-alil-1-metil-4-fenil-4-propionoksi piperidina
- Alphacetylmetha- : α-3-asetoksi-6-dimetilamino-4,4-difenilheptana
dolum
- Alphameprodinum : α-3-etil-1-metil-4-fenil 4-propionoksipiperidine
- Alphamethadolum : α-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
- Alphaprodinum : α-1,3-dimetil-4-fenil 4-propionoksipiperidina
- Anileridinum : Etil-1-para aminofenetil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
atau etil-1-[2-(para aminofenil) etil]-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat
- Benzethidinum : Etil-1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
- Betacetylmetha- : β-3-asetoksi-6-dimetilamino-4,4-difenilheptana
dolum
- Betameprodinum : β-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
- Betamethadolum : β-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
- Betaprodinum : β-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
- Bezitramidum : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-
benzimidazolinil) piperidina
- Clonitazenum : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol
- Dextromoramidum : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirrolidinil) butil]
morfolina
- Dextropropoxyphe- : (+)-4-dimetilamino-3-metil-1,2-difenil-2-propionoksibu-tan
num

154
- Diaetylthiambute- : 3-dietilamino-1,1-di-(2’tienil)-1-butena
num
- Diampromidum : N-[2-(metilfenetilamino) propil] propionanilida
- Difenoxinum : Asam-1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisopekotik
- Dimenoxadolum : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1 difenilasetat
- Dimepheptanolum : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
- Dimethylthiambu- : 3-dimetilamino-1,1-di-(2’tienil)-1-butena
tenum
- Dioxaphetyl- : Etil-4-morfolino-2,2-difenilbutirat

butyratum
- Diphenoxylatum : Etil-1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilpi-peridina-4-
karboksilat
- Dipipanonum : 4,4-difenil-6-piperidina-3-heptanon
- Drotebanolum : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6-β-14-diol
- Etonitazenum : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil 5-nitrobenzimidazol
- Etoxeridinum : Etil-1 [2-(2-hidroksietoksi) etil]–4-fenilpiperidina-4-
karboksilat
- Fentanylum : 1-fenil-4-N-propionil anilin piperidina
- Furethidinum : Etil-1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil) 4-fenilpiperidina-4-
karboksilat
- Hydroxypethidinum : Etil-4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat
atau etil-1-metil-4 (3-hidroksifenil) piperidina-4-
karboksilat
- Isomethadolum : 6-dimetilamino-5-metil-4,4-difenil-3-heksanon
- Ketobemidonum : 4-metahidroksifenil-1-metil-propionil pipiridina atau 4-
(3-hidroksifenil) 1-metil-4-piperidil etilketon atau 1-
metil-4-metahidroksifenil-4-propionilpiperidina
- Levomethorphanum : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
- Levomoramidum : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirrolidinil) butyl]
morfolino atau (-)-3-metil-2,2-difenil-4-
morfolinobutirilpirolidin
- Levophenacylmor- : (-)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
Phanum

155
- Levorphanolum : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
- Metazocinum : 2’ hidroksi-2,5,9-trimetil-6,7-benzomorfan atau
1,2,3,4,5,6-heksahidro-8-hidroksi-3,6,11-trimetil-2,6-
metano-3-benzazosina
- Methadonum : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanon
- Methadonum : 4-siano-2-dimetilamino-4,4-difenilbutana atau 2-dimetil-
intermedia amino-4-difenil-4-sianobutana

- Moramidum : Asam-2-metil-3-morfolino-1,1-difenil propankarboksilat

intermedia
- Morpheridium : Etil-1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
- Noracymethadolum : (±)-α-3-asetoksi-6-metilamino-4,4-difenilheptana
- Norlevorphanolum : (-)-3-hidroksimorfinan
- Normethadonum : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanon atau 1,1-difenil-1-
dimetilaminoetil butanon-2 atau 1-dimetilamino-3,3-
difenilheksanon-4
- Norpipononum : 4,4-difenil-6-piperidina-3-heksanon
- Pentazocinum : 2-dimetilalil-5,9-dimetil 2’hidroksi benzomorfina
- Pethidinum : Etil-1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
- Pethidinum : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina atau 1-metil-4-fenil-4-
intermedia A sianopiperidina

- Pethidinum : Etil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat atau etil-4-fenil-4-


piperidina karboksilat
intermedia B
: Asam-1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
- Pethidinum
intermedia C
- Phenadoxonum : 6-morfolino-4,4-difenil-3-heptanon
- Phenampromidum : N-(1-metil-2-piperidina etil) propionanilida atau N-[2-(1-
metilpiperid-2 il) etil] propionanilida
- Phenazocinum : 2-hidroksi-5,9-dimetil-2-fenetil-6,7-benzomorfan atau 1, ,
3,4,5,6-heksahidro-8-hidroksi-6,11-dimetil-3-fenetil-2,6-
metano-3-benzazosina
- Phenomorphanum : 3-hidroksi-N-fenetilmorfinan
- Phenoperidinum : Etil-1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina 4-
karboksilat atau 1-fenil-3-(4-karbetoksi-4-fenilpiperidina)

156
propanol
- Piminodinum : Etil-4-fenil-1-(3-fenilaminopropil) piperidina-4-karboksi-
lat
- Piritramidum : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(piperidino) piperidina
karboksiamida atau 2,2-difenil-4 [1-(4-karbamoil-4-
piperidinol] butironitril
- Proheptazinum : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana atau
1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksimetilenimina
- Properidinum : Isopropil-1-metil-4-difenil-4-piperidina-4-karboksilat
- Propiram : N-(1-metil-2-piperidinetil)-N,2-piridilpropionamida
- Racemethorphanum : (+)-3-metoksi-N-metilmorfinan
- Racemoramidum : (+)-4-[2-metil-4okso-3,3-difenil-4-(1-pirrolidinil) butil]
morfolina atau (+)-3-metil-2,2-difenil-4-morfolino butiril
pirrolidina
- Racemorphanum : (+)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
- Trimeperidinum : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksi-piperidina

2. Obat Psikotropika
Obat-obat yang termasuk bahan psikotropik dilengkapi dengan atau mempunyai
peraturan-peraturan khusus berupa larangan-larangan tertentu yang ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan. Obat-obat ini mempengaruhi susunan saraf pusat dengan
cara menyebabkan depresi SSP.

1. Halusinogen yang memberikan Halusinasi


Istilah-istilah lain yang digunakan adalah psikomimetik, psikotogenik, psikedelik. Suatu
bahan halusinogen dapat memberikan halusinasi pada pemakainya, yaitu suatu persepsi
internal –lepas dari persepsi eksternal- terutama dikhayalkan pemakai sebagai melihat
berbagai “warna-warni indah” yang sebetulnya tidak ada. Khayalan dapat juga sampai
berupa suara-suara yang dirasakan sangat indah bagi yang “mabuk” dengan bahan
halusinogen itu.
Termasuk halusinogen: semua obat serta semua sediaan yang mengandung obat
berikut:

1. LSD atau LSD – 25 : d-lysergic acid diethylamine


2. DMT : N,N-dimethyltryptamine

157
3. DET : N,N-diethyltryptamine
4. DMNP : 3-(1,2-dimethylheptyl)-7,8,9,10, tetrahydro-6,6,9-
trimethyl-6N-dibenzo (b,d,)pyran-1-ol
5. THC : tetrahydrocannabinol (zat yang dikandung Cannabis)
6. STP, DOM : derivat dari tetrahydrocannabinol
7. Mescaline : 3,4,5-trimethoxyphenothylamine
8. Psilocine : 3-(2-dimethylaminoethyl)indol-4-ol
9. Psilocybin : 3-(2-dimethylaminoethyl)indol-4-yl hydrogen
phosphate
10. Semua isomer dari 3-methyl-2-phenylmorpholine
2. Perangsang Susunan Saraf Pusat
1. Amfetamin
2. Deksamfetamin
3. Metamfetamin
4. Metilfenidat
5. Pipradrol
3. Penekan Susunan Saraf Pusat
1. Barbiturat dan semua derivat serta garamnya: antara lain Fenobarbital,
Amobarbital, Pentobarbital, Sekobarbital.
2. Hipnotika: antara lain Metilprilon, Metakualon, Etinamat

158
3. Obat Daftar G (Obat Keras)
>> Definisi
obat beracun yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh
manusia, dan lain-lain, obat berada baik dalam bungkusan maupun tidak.
>> Obat Daftar G hanya boleh diserahkan kepada seseorang dengan resep dokter, kecuali bila
digunakan untuk keperluan teknik. Resep yang mengandung obat daftar G tidak boleh
diulang.
>> Obat-obat yang dimasukkan ke dalam Daftar G ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan berupa “Daftar Obat Keras” dengan pemberian nomor-nomor; daftar ini secara
berkala diperbaharui. Obat keras biasanya bertanda lingkaran dengan warna merah
didalamnya dan ada tulisan huruf K.
Beberapa ketentuan lain mengenai obat daftar G menurut Kepmenkes RI No.
633/Ph/62/b tentang penetapan obat keras, yang termasuk daftar obat keras adalah:
a. Semua obat yang pada kemasan luarnya disebutkan bahwa obat tersebut hanya boleh
diserahkan dengan resep dokter.
b. Semua obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah dinyatakan
secara tertulis bahwa obat baru itu tidak membahayakan kesehatan manusia.
c. Yang dimaksud dengan obat baru ialah semua obat yang tidak tercantum dalam
Farmakope Indonesia dan Daftar Obat Keras atau obat yang secara resmi, belum
pernah diimpor atau digunakan di Indonesia, sehingga tidak diketahui khasiat dan
keamanannya.
d. Semua obat yang dipergunakan secara parenteral, baik dengan cara suntikan maupun
dengan cara pemakaian lain, dengan jalan merobek jaringan.

Obat-obat yang termasuk Daftar G antara lain:


a. Semua obat suntik, kecuali yang sudah termasuk obat Narkotika (Di Amerika, insulin
dapat dibeli bebas)
b. Semua antibiotika
c. Semua preparat sulfa (kecuali sulfaguanidin dalam jumlah tertentu)
d. Semua preparat hormon
e. Papaverin, Narcein, Noskapin serta garam-garamnya
f. Belladonna dan preparat Atropin dan obat dengan “atropine-like action”.
g. Semua derivat Barbiturat dan obat-obat kombinasi Barbiturat serta preparat yang mirip
Barbiturat: Metakualon (Mandrax)

159
h. Semua tranquilizers
i. Adrenalin serta garam-garamnya
j. Digitalis serta glikosida-glikosidanya
k. Semua derivat pirazolon: Antipirin, Piramidon, Metampiron, Fenilbutazon
l. Tricyclic-anti-depressant, seperti: Amitriptilin, Protriptilin
m. Amfetamin serta semua derivatnya Dextroamfetamin, Metilamfetamin dan garam-
garamnya.
n. Apomorfin HCl (emeticum), Dextromethorfan (antitussivum)
o. Antihistamin (ada beberapa perkecualian yang termasuk Daftar W)
p. Local anesthetic, contoh: Novocain = Procain, dan lain-lain
q. Nitrogliserin dan preparat nitrat dan nitrit lainnya untuk angina pektoris
r. Secale cornuti dan preparat-preparatnya
s. Zat-zat radioaktif
t. Hidantoin serta derivat-derivat dan garam-garamnya
u. Semua obat baru, kecuali bila oleh Depkes dinyatakan tidak berbahaya
v. Dan lain-lain

4. Obat Daftar W (Obat Bebas & Obat Bebas Terbatas)


Perbedaan obat-obat daftar W dengan daftar G adalah bahwa obat-obat yang tergolong daftar W
dapat diperoleh tanpa resep dokter, asal memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:
a. Obat-obat dalam Daftar W hanya boleh dijual dalam bungkusan asli pabrik
pembuatnya.
b. Pada waktu penyerahan obat-obat tersebut pada wadahnya harus tercantum tanda
peringatan berupa etiket khusus yang tercatat sesuai dengan ketentuan
Kementerian Kesehatan (tanda P)
c. Etiket khusus tanda peringatan (P) tersebut berwarna hitam dengan tulisan putih,
berukuran 5 x 2 cm dan memuat pemberitahuan sebagai berikut:
1. P1 : Awas! Obat Keras, baca aturan pakainya.
Contoh: - Benadryl tablet = Difenhidramin tablet, maximum 10 tablet @ 50mg
2. P2 : Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur. Jangan ditelan
Contoh: Gargarisma Kan
3. P3 : Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan
Contoh: - Obat luka: Jodium tinctuur, Mercurochroom

160
4. P4 : Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar
Contoh: Asma sigaret
5. P5 : Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan
Contoh: Sulfanilamid puyer steril 5 g
6. P6 : Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan.
Contoh: Suppositoria antihemoroid
d. Obat bebas terbatas biasanya bertanda lingkaran dengan warna biru di dalamnya.
e. Selain itu ada juga obat bebas yang dapat dibeli bebas oleh konsumen dengan
tanda lingkaran dengan warna hijau di dalamnya

B. Menurut Cara Pemberiannya, obat dibedakan menjadi:


1. Obat Dalam
Obat dalam adalah obat yang diberikan melalui mulut atau oral. Bila obat ini dibeli dengan
resep dokter, ditandai dengan etiket yang berwarna putih.
2. Obat Luar
Obat luar adalah obat yang diberikan selain melalui mulut atau oral, bisa lewat kulit, injeksi,
anus, vagina, hidung, telinga dan mata. Biasanya bila dibeli dengan resep dokter diberi etiket
dengan warna biru.

C. Menurut Khasiat/efek obat, biasanya dibagi berdasarkan kelas terapi, seperti: antibiotika,
analgetika, dan sebagainya

Penggolongan Berdasarkan Efek Farmakologi:


⚫ Tempat Kerja Dalam Tubuh
Obat dapat dibedakan berdasarkan tempat kerja di dalam tubuh, seperti:
- Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat
- Obat yang bekerja pada jantung
- Obat yang bekerja pada ginjal
- Dan lain-lain
⚫ Aktivitas Terapeutik atau penerapannya
Penggolongan obat berdasarkan aktivitas terapeutiknya seperti:
- Analgesik
- Antipiretik
- Antiinflamasi

161
- Antibiotik
- Dan lain-lain
⚫ Mekanisme Kerja Farmakologi
Selain itu obat juga dapat dibedakan berdasarkan mekanisme kerjanya seperti:
- Depresi susunan saraf pusat
- Perangsang susunan saraf pusat
- Anti histamin
- Beta bloker
- Dan lain-lain
⚫ Sumber asal atau sifat Obat
Berdasarkan sumber asalnya ada yang buatan dan ada yang alami. Berdasarkan sifat obat obat
ada yang sifatnya basa dan ada yang sifatnya asam
Contoh: Fenobarbital
- Tempat kerjanya di susunan saraf pusat
- Aktivitasnya sebagai sedatif-hipnotik
- Mekanismenya dengan cara mendepresi SSP
- Sifatnya basa lemah
D. Obat Berdasarkan Sifat Kimia
Berdasarkan sifat kimianya obat dapat dibedakan menjadi:
1. Asam
Contoh: -Asetosal
-Acidum ascorbinicum
2. Basa
Contoh: - Alukol
- Bisakodil
3. Garam
Contoh: - Natrium klorida
- Papaverin HCl
4. Garam/senyawa kompleks
Contoh: - Magnesium trisilikat
- Sianokobalamin
5. Ester
Contoh: - Kloramfenikol palmitat

162
- Adrenalin bitartrat
6. Kristal mengandung air
Contoh: - Ampisilin trihidrat
- Kalsium laktat
7.Isotop Radioaktif
Contoh: - Klormerodin Hg
- Natrii Yodida
5. DOSIS OBAT
Dosis obat biasa disebut dengan dosis:
= DOSIS LAZIM
= DOSIS TERAPETIK
Sejumlah obat (dalam satuan berat/volume/unit) yang memberikan efek terapeutik pada
penderita. Selain itu DIKENAL PULA:

1. Dosis toksik
Dosis yang menimbulkan efek toksik atau dosis yang bila diberikan kepada manusia maka
kadarnya di dalam darah akan mencapai kadar minimum toksik

2. Dosis letalis
Dosis yang bisa menyebabkan kematian

3. Dosis awal atau dosis permulaan (loading dose atau initial dose)
Dosis obat untuk memulai terapi, sehingga dapat mencapai konsentrasi terapeutik dalam tubuh
yang menghasilkan efek klinis. Dosis awal biasanya diberikan lebih tinggi daripada dosis
pemeliharaan
4. Dosis pemeliharaan (dosis maintenance)
Dosis obat yang diperlukan untuk memelihara/mempertahankan efek klinik atau konsentrasi
terapeutik obat sesuai dengan dosis regimen

5. Dosis regimen
Pengaturan dosis serta jarak-waktu antar-dosis untuk terapi dengan obat; memberikan efek
secara klinis dan/atau mempertahankan konsentrasi terapeutik obat dalam tubuh

6. Dosis maksimum
Dosis maksimal yang boleh diberikan kepada pasien. Kalau lebih dari dosis maksimum,
kemungkinan akan terjadi toksisitas.

163
6. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DOSIS
a. FAKTOR OBAT
1. SIFAT FISIKA
- Daya larut dalam air/lemak
Obat yang larut dalam air akan lebih mudah diabsorpsi lewat saluran cerna, karena
sebelum diabsorpsi obat harus larut terlebih dahulu, dan biasanya orang minum obat
selalu dengan air. Sedangkan untuk obat yang larut lemak paling baik bila diberikan
secara topikal, karena kulit kita merupakan lapisan lipofilik. Sehingga bila obat yang
larut air dosisnya akan lebih kecil bila dibandingkan dengan obat yang larut lemak bila
sama-sama diberikan secara oral.
- Bentuk kristal/amorf
Obat bentuk kristal lebih mudah larut dibandingkan dengan obat bentuk amorf, sehingga
obat bentuk kristal dosisnya lebih kecil bila dibanding dengan obat bentuk amorf.
2. SIFAT KIMIA
Sifat kimia yang perlu diperhatikan adalah seperti asam, basa, garam, ester, pH,
pKa. Obat yang sifatnya basa akan lebih mudah larut di lambung bila dibandingkan
dengan bentuk garamnya, sehingga dosisnya juga lebih kecil bila dibandingkan dengan
bentuk garamnya.
3. TOKSISITAS
Dosis obat berbanding terbalik dengan toksisitasnya. Obat yang mempunyai dosis besar
biasanya mempunyai efek toksik yang kecil, sedangkan obat yang mempunyai dosis
kecil biasanya mempunyai efek toksik yang besar.

b. CARA PEMBERIAN
Cara pemberian obat akan sangat berpengaruh terhadap dosis obat, dimana obat oral
biasanya dosisnya lebih besar bila dibandingkan dengan obat parenteral, karena obat yang
diberikan secara oral harus melalui proses absorpsi terlebih dahulu, sedangkan parenteral,
terutama IV, akan langsung masuk ke dalam darah

c. FAKTOR PENDERITA
1. UMUR
Dibedakan menjadi: anak, dewasa, geriatri.
Dosis anak-anak akan berbeda dengan dosis dewasa karena organ-organ tubuh pada
anak-anak belum terbentuk dengan sempurna, selain itu komposisi cairan

164
tubuh pada anak-anak juga berbeda. Begitu pula pada geriatri akan ada perbedaan dosis
bila dibandingkan dengan dewasa, karena pada geriatri ada kemungkinan organ tubuhnya
sudah ada yang rusak, sehingga perlu adanya penyesuaian dosis.
2. Berat Badan
Dibedakan menjadi: normal, obesitas, malnutrisi.
Berat badan khususnya pada anak-anak akan sangat mempengaruhi dosis, karena berat
badan berhubungan dengan volume distribusi obat; bila anak gemuk, maka volume
distribusinya akan besar, sehingga dia akan memerlukan dosis yang lebih dibandingkan
dengan dosis anak yang kurus. Selain itu pada anak yang malnutrisi, seperti kekurangan
protein, akan sangat mempengaruhi dosis obat yang mempunyai ikatan protein yang
besar.
3. Ras
Berhubungan dengan metabolisme obat. Ada ras yang punya sifat slow acetylators
seperti kulit putih, dan ada yang fast acetylators seperti kulit berwarna.
4. Jenis kelamin
Jenis kelamin ini terutama mempengaruhi dosis pada obat-obatan hormonal, karena
masing-masing jenis kelamin mempunyai kadar hormon yang berbeda.

5. Sensitivitas individual
Tiap individu mempunyai sensitivitas yang berbeda, tergantung pada kebiasaan
dia minum obat. Ada orang yang cukup minum 250 mg parasetamol sudah bisa
memberikan efek analgetik, tetapi juga ada orang minum parasetamol 500 mg sekalipun
masih belum memberikan efek analgetik.
6. Toleransi
Hal ini juga berpengaruh terhadap dosis yang akan diberikan. Toleransi ini juga
berhubungan dengan sensitivitas individu dari pasien tersebut dan juga sering tidaknya
dia menggunakan obat tersebut.

7. Keadaan patofisiologi
Kelainan pada organ-organ tubuh akan mempengaruhi dosis yang diberikan.Contoh:
- Kelainan pada saluran cerna mempengaruhi absorpsi obat
- Penyakit hati mempengaruhi metabolisme obat
- Kelainan pada ginjal mempengaruhi ekskresi obat

165
d. INDIKASI & PATOLOGI PENYAKIT
Indikasi dan patologi penyakit akan mempengaruhi dosis yang akan diberikan. Contoh obat
golongan barbiturat dosis untuk sedasi akan berbeda dengan dosis untuk hipnosis.
Pada PRINSIPNYA dosis harus diberikan:
- INDIVIDUAL karena adanya perbedaan dari faktor-faktor penentu dosis
- MINIMAL YANG EFEKTIF karena pada intinya obat adalah “racun”

7. CARA MENGHITUNG DOSIS OBAT


a. DOSIS OBAT UNTUK ANAK
Anak secara umum dibedakan menjadi:
1. PREMATUR
2. NEONATUS ( 0-1 BULAN )
3. INFANT( S.D. 1 TAHUN )
4. BALITA( > 1-5 TAHUN )
5. ANAK ( 6 - 12 TAHUN )

Yang menjadi masalah adalah bagaimana dengan dosis anak. Apakah dosis anak itu
½ atau ¼ atau 1/3 dari dosis dewasa?
Yang perlu diingat adalah ANAK bukan MINIATUR DEWASA, dimana
pada anak:
* ORGAN (HEPAR, GINJAL & SSP) BELUM BERFUNGSI SECARA
SEMPURNA
* DISTRIBUSI CAIRAN TUBUH BERBEDA
NEONATUS : > 29,7% DARI DEWASA
BAYI 6 BULAN : > 20,7% DARI DEWASA

FAKTOR YG PERLU DIPERHATIKAN


Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan selain faktor-faktor yang mempengaruhi dosis,
yaitu FAKTOR FARMAKOKINETIK OBAT, meliputi:
1. ABSORPSI
Kecepatan absorpsi suatu obat pada anak akan berbeda bila dibandingkan dengan
dewasa. Hal ini dipengaruhi oleh:
a. pH lambung
b. waktu pengosongan lambung
166
c. waktu transit
2. DISTRIBUSI
Distribusi obat adalah jumlah obat yang sampai ke jaringan. Distribusi obat ini
dipengaruhi oleh:
a. massa jaringan
b. kandungan lemak
c. aliran darah
d. permeabilitas membran
e. kadar protein plasma
f. volume cairan ekstrasel

3. METABOLISME
Kecepatan metabolisme obat pada anak dipengaruhi oleh:
a. ukuran hepar
b. kemampuan enzim mikrosomial
4. EKSKRESI
Terutama untuk obat yang eliminasinya melalui ginjal. Hal yang mempengaruhi ekskresi
obat adalah:
a. kecepatan filtrasi glumerolus
b. proses ekskresi & reabsorpsi tubuler

CARA MENGHITUNG DOSIS ANAK


1. DIDASARKAN PERBANDINGAN DENGAN DOSIS DEWASA:
a. UMUR
Rumus “YOUNG”
n
Da = Dd (mg)
n + 12

Rumus “DILLING”
n
Da = Dd (mg )
20

167
Da : dosis anak
Dd : dosis dewasa
n : umur anak

b. BERAT BADAN
Berat badan dewasa : 70 kg
Rumus “CLARK”
BBa
Da = x Dd (mg)
70

c. LUAS PERMUKAAN TUBUH (LPT)


Orang dewasa : 1,73 m2
Rumus “CRAWFORD-TERRY ROURKE”
LPTa
Da = x Dd (mg )
1,73

2. DIDASARKAN ATAS UKURAN FISIK ANAK SECARA INDIVIDUAL


a. sesuai dengan BB anak (dalam kg)
b. sesuai dengan LPT anak (dalam m2)

PERHITUNGAN DOSIS anak DENGAN DASAR PERBANDINGAN


DENGAN
DEWASA mempunyai beberapa kelemahan antara lain:
a. Umur
Seringkali TIDAK TEPAT karena ADA VARIASI berat badan & LPT yang berarti
b. Berat badan
TIDAK DAPAT UNTUK SEMUA OBAT, terutama untuk obat:
- Narkotika, biasanya anak lebih sensitif sehingga harus diberikan dosis yang relatif
lebih kecil
- Atropin, belladona, fenobarbital, biasanya anak lebih tahan, maka biasanya
dosisnya lebih besar
c. LPT

168
Kecuali untuk neonatus dan bayi dapat dipakai untuk semua obat, karena sebagian besar obat
didistribusikan sekurangnya dalam cairan ekstrasellular. Tetapi penghitungan dosis dengan cara
LPT ini merupakan perhitungan yang tidak praktis,karena:
- Sulitnya menghitung LPT secara akurat
- TIDAK PRAKTIS terutama UNTUK KASUS GAWAT yang perlu penanganan
segera.

8. CARA PEMBERIAN OBAT


Dalam menentukan terapi suatu obat kita perlu juga menentukan bagaimana obat itu akan
diberikan, apakah lewat oral, parenteral atau topikal. Hal yang harus diperhatikan dalam menentukan
cara pemberian obat, yaitu:
1. TUJUAN TERAPI
Tujuan terapi berhubungan dengan indikasi penyakit. Yang menjadi pertimbangannya
adalah:
a. Apakah obat yang akan kita berikan sifatnya sistemik atau lokal. Untuk pemberian
sistemik obat bisa diberikan secara oral, parenteral atau suppositoria. Sedangkan
pemberian topikal bisa dengan cara topikal (dioleskan lewat kulit), subkutan atau
inhalasi.
b. Bagaimana onset obat yang kita inginkan, apakah cepat atau lambat, begitu juga
dengan durasi. Obat yang kita ingin onsetnya cepat bisa kita berikan lewat
parenteral, sedangkan oral biasanya onsetnya lambat. Bila kita ingin obat yang
diberikan mempunyai durasi yang lama, maka kita bisa memberikannya dengan
cara oral, lebih khusus lagi dengan cara tablet sustained release.

2. KONDISI PASIEN
Kondisi pasien juga menjadi pertimbangan kita untuk menentukan cara pemberian suatu
obat, yaitu:
a. Kenyamanan dari pasien
b. Keamanan
c. Dapat menelan atau tidak
d. Sadar/tidak

169
3. SIFAT FISIKA - KIMIA OBAT
- Stabilitas
Obat yang tidak stabil dalam saluran cerna tidak akan diberikan melalui oral, maka
bisa diberikan lewat rektum dengan bentuk suppositoria
- Iritatif
Obat yang iritatif bila diberikan lewat oral dapat diberikan lewat cara lain

Macam pemberian obat:


1. ORAL
2. PARENTERAL
3. SECARA INHALASI
4. MELALUI MEMBRAN MUKOSA
5. PENGGUNAAN PADA/DALAM KULIT

I. PEMBERIAN OBAT MELALUI ORAL


1. Yang dimaksud dengan obat oral adalah bila OBAT tersebut diberikan melalui
MULUT, masuk ke KERONGKONGAN dan akhirnya masuk ke dalam saluran
gastrointestinal.
2. Efek yang dihasilkan dari pemberian oral bisa sistemik, contoh obat antipiretik; atau
lokal, contoh antasida
3. Pemberian lewat oral biasanya mempunyai sifat:
a. AMAN
Aman karena obat sebelum masuk ke dalam peredaran darah perlu adanya
pelarutan obat, terutama untuk obat berbentuk padat, setelah itu baru diabsorpsi; sehingga
memerlukan waktu yang cukup panjang untuk sampai ke dalam peredaran darah. Dengan
demikian, jumlah obat yang sampai ke reseptor tidak 100%, dan akan mudah diatasi kalau
terjadi keracunan. Berbeda bila diberikan secara parenteral, obat langsung masuk ke dalam
peredaran darah, dan bila terjadi keracunan akan sulit untuk diatasi.
b. EKONOMIS
• Harganya murah
Obat yang diberikan secara oral biasanya mempunyai harga yang lebih murah daripada
dengan cara pemberian lain, seperti parenteral, karena obat oral lebih

170
mudah dibuat dari pada obat bentuk parenteral. Pada obat oral tidak perlu dilakukan
sterilisasi, sedangkan parenteral perlu disterilisasi, sehingga harganya lebih mahal.
• Mudah digunakan
Obat oral mudah digunakan, tidak perlu keahlian khusus seperti penggunaan
parenteral.
• Mudah dibawa
Obat oral lebih praktis, sehingga bisa dibawa kemana saja dengan mudah
c. MENYENANGKAN
Faktor rasa, bau dan warna biasanya lebih diperhatikan daripada dengan cara pemberian
lain, terutama untuk obat buatan pabrik, berbeda dengan obat parenteral yang tidak terlalu
memperhatikan faktor-faktor tersebut; sehingga obat oral lebih disukai daripada bentuk
lain.
4. Ada beberapa MASALAH yang akan dihadapi bila obat diberikan secara oral:
- FISIOLOGI GIT dan hepar
Bagaimana fisiologi GIT dari penderita, apakah masih baik atau ada perubahan,
misalnya ulkus, karena kalau ada perubahan, berarti juga ada perubahan absorpsi obat.
Selain itu apakah pasien tersebut sedang diare atau tidak, juga jadi pertimbangan dalam
memberikan obat oral. Selain itu juga perlu diperhatikan apakah obat tersebut mengalami
efek lintas pertama atau tidak.
- SIFAT OBAT
Apakah obat tersebut toksik bila diberikan secara oral, contoh: asam salisilat
mempunyai sifat toksik yang besar bila diberikan secara oral, maka diberikan secara
topikal.
- BIOAVAILABILITAS
Bioavailabilitas suatu obat dipengaruhi oleh absorpsi obat tersebut, karena itu
perlu diperhatikan kapan obat diabsorpsi dan di mana diabsorpsi paling optimal

171
- BENTUK SEDIAAN
Bentuk sediaan obat yang kita pilih, apakah cair atau padat, akan mempengaruhi
absorpsi obat yang nantinya juga akan mempengaruhi onset obat. Contoh: sediaan bentuk
cair lebih mudah diabsorpsi bila dibandingkan dengan bentuk padat
- KOOPERATIFITAS PENDERITA
Keadaan pasien juga menjadi pertimbangan kita dalam menentukan bisa tidaknya
pasien diberikan obat oral. Apakah pasien itu sadar atau tidak, kalau tidak sadar tidak
bisa diberikan secara oral, tetapi diberikan dalam bentuk lain, misalnya injeksi; begitu
juga bila pasien tidak bisa menelan, dia harus diberikan dengan cara lain, kecuali kalau
obat tersebut bekerjanya di GIT.

II. PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL


1. TIDAK MELALUI USUS/GIT
Sehingga absorpsi obat tidak terganggu oleh makanan dan enzim-enzim yang ada di
saluran cerna
2. Pemberian obat secara parenteral dilakukan DENGAN SUNTIKAN dan terdiri dari
beberapa macam, yaitu:
a. I.C. (Intrakutan)
b. I.V. (Intravena)
c. INTRATHECAL
d. S.C. (Subkutan)
e. I.P. (Intraperitonial)
f. INTRA ARTERIAL
g. I.M. (Intramuskular)
h. INTRAKARDIAK
3. Selain itu dilihat dari masuknya jumlah obat, dibedakan menjadi:
a. BOLUS
Bila semua obat yang diberikan langsung masuk ke tempat suntikan
b. INFUS
Bila obat yang diberikan masuk sedikit demi sedikit ke tempat suntikan (biasanya dalam
hitungan tetes)

172
4. OBAT diberikan SECARA PARENTERAL bila:
a. Obat tidak/sedikit diabsorpsi melalui membran mukosa
b. Obat rusak/inaktif di lambung
c. Obat menyebabkan muntah
d. Respon/efek cepat atau teratur
e. Kondisi pasien muntah, tidak sadar, gangguan mental/jiwa
5. EFEK PEMBERIAN PARENTERAL bersifat:
a. Sistemik Contoh: injeksi amoksisilin
b. Lokal Contoh: anestetika lokal
6. MASALAH
a. ASEPSIS/STERIL/PIROGENITAS
Obat yang diberikan secara parenteral harus dalam keadaan asepsis/steril, karena kalau
tidak steril bisa menyebabkan infeksi.
b. TIDAK EKONOMIS:
1. MAHAL
Obat yang diberikan secara parenteral biasanya lebih mahal bila dibandingkan dengan
cara pemberian yang lain, misalnya oral, karena pembuatan sediaan parenteral sulit
dan syaratnya lebih rumit, seperti misalnya harus dalam keadaan steril, sehingga
menyebabkan harga yang lebih mahal.
2. PERLU BANTUAN
Penggunaan obat yang diberikan secara parenteral biasanya lebih sulit, karena perlu
bantuan tenaga medis untuk menyuntikkannya. Namun di beberapa negara, pasien
diabetes yang perlu insulin diajari untuk menyuntikkannya sendiri.
3. “STORAGE LIFE”
Obat yang diberikan secara parenteral mempunyai masa kadaluwarsa, sehingga bila
melebihi tanggal yang telah ditentukan tersebut, tidak bisa digunakan lagi.

c. Selain itu perlu juga dipertimbangkan keamanan penderita, karena penggunaan


obat secara parenteral bisa menyebabkan sakit pada tempat penyuntikan, iritasi,
syok dan lain-lain.

173
III. PEMBERIAN OBAT SECARA INHALASI
1. MELALUI ENDOTEL ALVEOLI/PULMO dengan CARA DIHIRUP MELALUI:
a. MULUT
Contoh: Bronkodilator
b. HIDUNG
Contoh : Anestetika umum
2. OBAT yang dapat diberikan secara inhalasi:
a. PADAT/CAIR MUDAH MENGUAP
Contoh: Bronkodilator
b. GAS
Contoh: Anestetika umum
3. EFEK yang dihasilkan CEPAT dan mempunyai:
a. AKSI LOKAL
Contoh: Bronkodilator
b. AKSI SISTEMIK
Contoh: Anestetika
4. MASALAH
a. PERLU ALAT KHUSUS
Pemberian obat melalui inhalasi memerlukan alat penyemprot khusus, dan ini biasanya
menyebabkan harga yang lebih mahal bila dibandingkan dengan pemberian oral
b. DOSIS SUKAR DIATUR
Dosis yang keluar dari alat penyemprot tergantung pada kekuatan menekan alat penyemprotnya,
bila kurang dalam melakukan penekanan, maka dosis yang keluar juga tidak seperti yang
diharapkan; begitu juga sebaliknya. Untuk ini sekarang dapat diatasi dengan memberikan
“metered aerosol” yaitu wadah yang berisi obat sebanyak 10 ml yang dapat digunakan untuk 200
kali semprotan; satu kali semprotan dapat mengeluarkan obat asma orsiprenalin sulfat sebanyak
0,75 mg
c. IRITASI
Karena diberikan melewati mukosa, terutama yang lewat hidung, maka ada kemungkinan
menimbulkan iritasi.

174
d. FAKTOR SIFAT OBAT:
1. KOEFISIEN PARTISI
Koefisien partisi lemak/air menunjukkan ratio/perbandingan konsentrasi obat dalam
dua cairan yang saling tidak bercampur.
Obat yang diberikan melalui inhalasi absorpsinya dengan cara difusi pasif. Sewaktu obat
diabsorpsi melalui membran, molekul obat melarut dalam bagian lipid dari membran
sesuai dengan kelarutannya dalam lemak dan koefisien partisi lemak-air. Bagian yang
larut lemaklah yang dapat menembus membran
2. UKURAN PARTIKEL
Partikel yang masih dapat sampai ke kantung alveolar diberikan dalam aerosol
berukuran 1-2 mikron, partikel yang lebih besar dari 10 mikron dapat menyumbat
saluran pernafasan.
e. FAKTOR ALIRAN DARAH PARU
Aliran darah paru sangat menentukan kecepatan obat terdistribusi menuju reseptor. Makin
cepat aliran darahnya, maka makin cepat juga timbul efek

IV. PEMBERIAN OBAT MELALUI MEMBRAN MUKOSA


1. Yang dimaksud dengan pemberian obat melalui membran mukosa adalah obat yang
diberikan selain melalui mukosa pada GIT DAN PARU.
2. EFEK/AKSInya:
a. LOKAL
Contoh: Antiseptik pada mukosa mulut atau tenggorokan (dekualinium HCl)
b. SISTEMIK
Contoh: Isosorbid dinitrat
3. Absorpsi melalui membran mukosa di:
a. MULUT:
- SUBLINGUAL
- BUKAL
Sublingual dan bukal biasanya aksinya bersifat sistemik
- HISAP Sifat aksinya adalah LOKAL
Absorpsi obat cara sublingual/bukal ini baik karena vaskularisasi cukup. Selain
absorpsi baik, keuntungan lainnya adalah obat tidak mengalami degradasi

175
dan biotransformasi di saluran cerna dan terhindar dari biotransformasi oleh hepar
(first-pass-effect)
b. MATA:
Biasanya melalui mukosa:
- KONJUNGTIVA
- KORNEA
Biasanya mempunyai efek LOKAL, seperti pada penggunaan:
- ANESTETIKA LOKAL
- INFEKSI SUPERFISIAL
- MIOTIK, MIDRIATIK
c. HIDUNG:
- Biasanya aksinya LOKAL
- OBAT yang bisa diberikan dalam bentuk:
>>UAP
Dengan cara dihirup. Contoh: Vicks inhaler
>> CAIRAN
Bisa berupa:
a. TETES
Contoh: Obat tetes hidung (Afrin tetes hidung)
b. SEMPROT
Contoh: Obat semprot hidung (Afrin semprot hidung)
d. TELINGA
Biasanya AKSI LOKAL DI TELINGA. Bisa berupa:
- TETES
Contoh: Gentamisin tetes telinga
- CAIRAN PENCUCI
Contoh: Solusio Perhidrol
e.VAGINA
Obat yang diberikan melalui vagina tidak diabsorpsi, karena diharapkan bekerja di
vagina itu sendiri. Aksinya lokal. Biasanya adalah obat:

- ANTIINFEKSI - SPERMISIDAL

176
f. REKTUM:
- AKSI:
>> LOKAL , Contoh: obat hemoroid
>> SISTEMIK, Contoh: anti konvulsi (diazepam)
- EFEK CEPAT karena tidak MENGALAMI “FIRST-PASS-EFFECT”
- COCOK UNTUK PENDERITA:
>> TIDAK SADAR, MUNTAH
>> TIDAK DAPAT MENELAN
- MASALAH:
>> ABSORPSI OBAT TIDAK MENENTU, karena:
• Obat tercampur dengan feses yang ada di rektum yang menghambat absorpsi
obat
• Absorpsi tidak sempurna karena cairan dalam rektum untuk disolusi obat
terbatas, tidak sebanyak cairan GIT
• Luas permukaan untuk absorpsi juga terbatas, tidak seluas permukaan GIT
>> KEPATUHAN PENDERITA
Karena penggunaan yang sulit bila dibandingkan dengan penggunaan oral, maka
penderita biasanya tidak menyukainya. Hal ini menimbulkan tingkat kepatuhan yang
rendah bila dibandingkan dengan pemberian obat dengan cara yang lain.
>> TIDAK SEMUA OBAT dapat diberikan secara suppositoria.
Beberapa obat yang dapat diberikan dengan cara suppositoria adalah:
• Spasmolitik
• Hipnotik
• Antiinflamasi

177
V. PEMBERIAN OBAT MELALUI KULIT
1. Aksinya:
- Lokal, Contoh: Calamin lotion
- SISTEMIK, Contoh: nitrogliserin transdermal
2. MASALAH:
- SIFAT OBAT
Sifat obat ini berpengaruh terhadap penetrasi/absorpsi. Sifat obat yang berpengaruh yaitu
kelarutan obat dalam lemak atau air (koefisien partisi). Bila obat itu mempunyai daya larut
yang besar pada lemak, maka akan lebih mudah diabsorpsi.
- KONDISI KULIT
Sifat dari kulit ini sifatnya individual, tergantung dari kondisi kulit pada saat pasien
menggunakan obat tersebut. Pada kulit yang rusak, maka absorpsinya lebih mudah bila
dibandingkan dengan kulit yang utuh
- BENTUK SEDIAAN
Bentuk sediaan ini juga sangat berpengaruh terhadap absorpsi obat. Salep absorpsinya
paling baik dibanding bentuk sediaan setengah padat lainnya. Sedangkan pasta biasanya
tidak untuk diabsorpsi.

9. FREKUENSI PEMBERIAN OBAT


Frekuensi pemberian obat tergantung pada:
- OBAT
Apabila t½nya panjang, maka bisa diberikan dengan frekuensi pemberian yang sedikit, begitu
juga sebaliknya.
- CARA PEMBERIAN
Obat yang diberikan secara oral biasanya pemberiannya lebih sering daripada obat yang
diberikan secara parenteral.
- KONDISI PENDERITA
Kondisi pasien ini berpengaruh terhadap cara pemberian obat, sehingga ini juga berpengaruh
terhadap frekuensi obat yang diberikan.
- BENTUK SEDIAAN
Tablet sustained-release biasanya mempunyai frekuensi pemberian yang lebih sedikit
daripada tablet biasa.

178
10. WAKTU PEMBERIAN OBAT
1. PERLU DITULIS DALAM R/ karena efek suatu obat, terutama oral, sangat
dipengaruhi oleh kapan obat itu diminum. Absorpsi yang paling baik terjadi pada
saat lambung kosong, kecuali:
a. Obat yang mengiritasi lambung, seperti asetosal, harus diberikan sesudah makan
b. Obat yang bekerja untuk mencerna makan, contoh: enzim, harus diberikan saat
makan
Selain itu juga efek dari obat juga jadi perhatian dalam menentukan waktu pemberian
obat, contoh:
a. Furosemid paling baik diberikan pada pagi hari
b. Diazepam sebagai obat sedatif paling baik diberikan pada malam hari
2. INGAT:
- MENCAPAI EFEK OPTIMAL
- EFEK SAMPING MINIMAL

3. Contoh waktu pemberian


a.c. d.c. p.c.
m v
a.n. h.s.

11. LAMA PEMBERIAN OBAT


Lama pemberian suatu obat tergantung pada:
1. PENYAKIT:
a. INDIKASI
Obat yang sama bila diberikan untuk indikasi yang berbeda maka lama pemberiannya juga
berbeda, contoh: diazepam:
a. Antikonvulsi bisa diberikan dalam jumlah sedikit karena biasanya hanya
digunakan satu botol untuk pemberian secara rektal pada saat kejang
b. Antiansietas bisa diberikan untuk 3 hari
b. PERJALANAN
a. Akut
b. Kronis

179
Pemberian untuk akut biasanya lebih sedikit daripada untuk pasien yang menderita
penyakit kronis
2. TUJUAN TERAPI
a. Kausatif
Obat kausatif biasanya lebih lama waktu penggunaannya, misalnya antibiotika 5-10 hari
b. Simptomatik
Biasanya untuk obat simptomatik hanya diberikan selama 3 hari saja, contohnya
parasetamol
3. OBAT YANG DIBERIKAN
Cara kerja obat yang diberikan juga berpengaruh terhadap lama pemberian, contoh: pada pasien
yang mengalami anemia karena cacingan, walaupun sifatnya simtomatik karena penyebabnya
adalah cacingan, tetapi karena penggunaannya dalam waktu yang panjang maka dia bisa diberikan
dalam waktu yang panjang juga.

180
DAFTAR TILIK PENULISAN RESEP RASIONAL
No. Aspek yang dinilai Nilai
1. Penulisan resep lengkap, meliputi: 0 1 2
a. Nama kota serta tanggal resep
b. Paraf atau tandatangan untuk obat narkotika
c. Superscriptio
d. Inscriptio
e. Subscriptio
f. Signatura
g. Nama pasien
h. Umur
i. Berat badan
j. Alamat pasien
2. Penulisan resep benar, meliputi:
a. Paraf atau tandatangan untuk obat narkotika
b. Superscriptio
c. Inscriptio
d. Subscriptio
e. Signatura
3. Penulisan resep rasional, meliputi:
a. Tepat obat
b. Tepat dosis
c. Tepat bentuk sediaan obat
d. Tepat waktu pemberian obat
e. Tepat penderita

181
182

Anda mungkin juga menyukai