Anda di halaman 1dari 40

PETUNJUK PRAKTIKUM

Teknik
Pengendalian
dan Konservasi
Lingkungan

DEPERTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM


UNIVERSITAS PADJADJARAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas selesainya Modul Praktkum Ekoteknologi Sumberdaya
Lahan dan Air
Modul praktikum ini berisi tentang model-model ekoteknologi yang dapat dilakukan di
lahan sebagai upaya untuk melakukan penerapan ekoteknologi.
Semoga buku petunjuk praktikum ini dapat digunakan sebagai mana mestinya sebagai
pelengkap perkuliahan.

Tim Penyusun
Dwi Rustam Kendarto
ACARA I

KONTRAK PRAKTIKUM TEKNIK PENGENDALIAN DAN


KONSERVASI LINGKUNGAN

DESKRIPSI:
Praktikum ekoteknologi sumberdaya lahan dan air merupakan praktikum mata kuliah
ekoteknologi sumberdaya lahan dan air yang berisi model-model dan praktek kegiatan-
kegiatan yang bersifat ekoteknologi dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air .
CAPAIAN PEMBELAJARAN:
Mahasiswa mempunyai pemahaman yang menyeluruh mengenai ekoteknologi
sumberdaya lahan dan air dan mampu menjelaskan dan menyusun secara sederhana mengenai
ekoteknologi.
DAFTAR ACARA PRAKTIKUM
No Pertemuan Acara Jenis
kegiatan
1 1 Kontrak Praktikum Resitasi
2 2 Pengukuran Nilai EC, TDS dan pH Pengamatan
3 3 Pengukuran TSS, Suhu, dan kekeruhan Pengamatan
4 4 Pengukuan karakteristik badan air hidrometrik pengukuran
5 5 Preparasi alat dan bahan pengukuran BOD Pekerjaan lab
6 6 Pengukuran BOD Pekerjaan lab
7 7 Preparasi dan pengukuran kadar COD Pekerjaan lab
8 8 Penggunaan hydroseeding untuk perlindungan Pekerjaan
dan perbaikan tanah-tanah marginal lapangan
9 9 Penggunaan hydroseeding untuk perlindungan Pekerjaan
dan perbaikan tanah-tanah marginal lapangan
10 10 Inventarisasi dan Identifikasi Sumber Analisis lab
Pencemar Domestik dan Pertanian di Daerah
Aliran Sungai
11 11 Praktikum Lapangan (DAS Cikumutuk)* di Field trip
Gabung dengan Praktikum Teknik Pengelolaan
DAS
12 12 Ujian Praktek

PENJELASAN DAN ATURAN


1. Praktikum merupakan bagian dari perkuliahan
2. Nilai praktikum menjadi komponen penilaian dalam nilai akhir mata kuliah
3. Mahasiswa wajib mengikuti praktikum
4. Mahasiswa hadir paling lambat 10 menit setelah acara dimulai
5. Mahasiswa berperan aktif dalam kegiatan praktikum dan penyusunan laporan
6. Mahasiswa wajib mengikuti ujian praktikum jika di selenggarakan
7. Mahasiswa mentaati peraturan yang telah ditetapkan di laboratorium
8. Ketika praktikum berlangsung dan setelah paktikum mahasiswa menjaga kenyaanan
dan kebersihan laboratorium
ACARA II
PENGUKURAN NILAI EC, TDS DAN PH
I. Pendahuluan
Kualitas air merupkan salah satu parameter untuk menguji dan memantau keberhasilan
pengendalian dan konservasi lahan dan air. Parameter kualitas air yang dipantau mengacu pada
jenis konservasi dan pengendalian yang dilakukan serta tujuan tindakan pengendalian dan
konservasi tersebut. Beberapa parameter kualitas air antara lain, daya hantar lintrik atau
electrical conductivity, pH dan Total Disolved Solids.
Electrical Conductivity
Electrical conductivity atau elektro konduktivitas atau daya hantar listrik suatu larutan
nutrisi dipengaruhi oleh nilai kepekatan suatu larutan. Semakin pekat larutan nutrisi maka
semakin tinggi daya hantar listriknya atau nilai EC nya, begitu pula sebaliknya jika nilai EC
rendah maka nilai kepekatannya juga rendah. Satuan yang digunakan pada alat EC Meter
adalah mS/cm (mili siemen/cm) atau mmho/cm (milli hos/cm). Namun dilapangan banyak
yang menyebut satuan tersebut dengan EC saja, misalnya 1 ec atau 2 ec. Mengenai penggunaan
alat pengukuran mana yang harus kita gunakan, apakah TDS atau EC tergantung pada diri kita
masing-masing karena keduanya memiliki fungsi yang sama.
EC singkatan dari “Electrical Conductivity” alat ini digunakan untuk mengukur
kepekatan suatu larutan (dalam hal ini adalah larutan nutrisi hidroponik). TDS Meter dan EC
Meter sebenarnya memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk mengukur kepekatan suatu larutan
nutrisi hidroponik. Hanya saja pengukurannya menggunakan unit yang berbeda, TDS untuk
mengukur konsentrasi atau jumlah partikel terlarut sedangkan EC untuk mengukur nilai
konduktivitasnya. EC Meter merupakan alternatif dari TDS Meter untuk mengukur kepekatan
suatu larutan nutrisi hidroponik. EC Meter dan TDS Meter sama-sama bisa digunakan untuk
mengukur kepekatan suatu larutan nutrisi hidroponik, jika tidak ada TDS Meter anda bisa
menggunakan EC Meter, atau sebaliknya
pH meter
PH meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur derajat keasaman atau kebasaan
(pH) suatu benda baik padat maupun cair. Dalam hal tanam menanam PH meter berfungsi
untuk mengukur nilai pH media tanam baik media non tanah maupun media tanah dan untuk
mengukur pH larutan nutrisi hidroponik. pH air diukur sebelum dan sesudah dilakukan
penambahan nutrisi hidroponik. Pengukuran pH ditentukan dengan angka 1 hingga 14, dimana
angka 7 menunjukkan pH netral. Sedangkan angka dibawah 7 hingga angka 1 menunjukkan
kondisi asam dan angka diatas 7 hingga 14 adalah basa.
Pengukuran pH media tanam atau larutan nutrisi juga merupakan kegiatan yang wajib
dilakukan dalam hal bercocok tanam hidroponik maupun konvensional. Sebab unsur-unsur
mineral didalam air hanya dapat larut dan diserap oleh akar tanaman pada angka pH tertentu,
yaitu antara 5,5 hingga 7,0 (netral). Pengukuran pH larutan nutrisi hidroponik menjadi sangat
penting, sebab nilai pH larutan menentukan larut tidaknya unsur mineral, penyerapan akar
tanaman dan pada akhirnya menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Jika
larutan pH suatu larutan nutrisi terlalu rendah (asam) atau terlalu tinggi (basa) tanaman akan
tumbuh tidak normal atau kerdil. pH larutan nutrisi yang dapat ditolelir olah tanaman adalah
netral yaitu antara 5,5 – 7,0 dimana pada angka pH tersebut unsur – unsur mineral didalam air
dapat larut dan diserap dengan baik oleh akar tanaman.
Total Disolved Solids (TDS)
TDS adalah singkatan dari “Total Disolved Solids” atau dalam bahasa indonesianya
adalah “jumlah padatan terlarut”. Jadi TDS meter memiliki pengertian “alat untuk mengukur
jumlah padatan atau partikel terlarut didalam air “. Alat ini biasa digunakan untuk mengukur
jumlah partikel terlarut pada air minum dan juga digunakan untuk mengukur kepekatan larutan
nutrisi hidroponik atau dengan kata lain konsentrasi larutan nutrisi. Pengukuran nutrisi
hidroponik adalah suatu hal yang mutlak dan sifatnya sangat penting. Sebab jika larutan tidak
diukur, bisa jadi tanaman kekurangan nutrisi atau kelebihan yang akan menjadi racun yang
dapat membunuh tanaman itu sendiri. Satuan yang digunakan pada TDS meter adalah ppm,
sedangkan ppm adalah singkatan dari “Part Per Million” atau sepersejuta bagian. ppm
merupakan satuan pengukuran jumlah partikel terlarut yang diukur menggunakan TDS meter.
Mengukur kepekatan nutrisi menjadi sangat penting dalam berhidroponik, sebab kita bisa
mengetahui dengan pasti berapa kebutuhan nutrisi suatu tanaman. Seperti yang sudah saya
katakan diatas, jika larutan nutrisi tidak diukur kita tidak akan tahu apakah larutan yang kita
buat itu cukup dan sesuai dengan kebutuhan tanaman, apakah kurang atau bahkan melebihi.
Perlu diketahui juga, bahwa kebutuhan nutrisi (dalam hal ini nilai ppm) setiap jenis tanaman
itu berbeda-beda. Tanaman anggrek misalnya membutuhkan kepekatan larutan nutrisi yang
rendah antara 300 – 400 ppm. Sayuran daun berbeda lagi, yaitu antara 900 – 1200 ppm,
sedangkan untuk tanaman sayuran buah seperti cabai dan tomat membutuhkan kepekatan
nutrisi yang lebih tinggi, yaitu antara 1500 – 2000 ppm.
Sedikit tentang nilai EC meter dan TDS Meter yang kadangkala membingungkan bagi
hidroponikers pemula, sekali lagi bahwa kedua alat tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu
untuk mengukur kepekatan suatu larutan nutrisi hidroponik. Agar tidak bingung sebaiknya
gunakan salah satu dari kedua alat tersebut. Dari beberapa artikel yang saya baca 1 mS/cm atau
1 EC = 500 – 700 ppm. Kenapa angka ppm nya tidak pasti? Sebab setiap merk TDS Meter
mengkonversi angka EC yang berbeda-beda, ada TDS Meter yang mengkonversi 1 mS/cm =
500 ppm dan ada pula yang mengkonversi 700 ppm. Namun anda tidak perlu khawatir dengan
perbedaan tersebut, sebab selisih angka tersebut masih dalam batas toleransi tanaman. Artinya
jika tanaman seharusnya membutuhkan nilai ppm 500, tapi diberikan larutan dengan ppm 700
itu tidak masalah karena hal itu tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan
tanaman masih bisa tumbuh normal.
II. Tujuan
Mahasiswa mampu mengukur dan memahami nilai parameter EC, pH dan TDS dalam
pemantauan kualitas air
III. Metode
Pengukuran terhadap sempel air yang diperoleh dari berbagai sumber untuk
menentukan nilai parameter kualitas air.
IV. Tugas
1. Mahasiswa mengambil sampel dari berbagai sumber air; air sungai air sumur, air limbah
domestic dan sebagainya
2. Mahasiswa mengukur pH, EC dan TDS sampel air yang telah diambil
3. Pengukuran sampel air dilakukan dalam minimal 3 kali ulangan
4. Melakukan pembandingan dengan kelompok lain untuk mengetahui kualitas sampel air
yang diambil antar kelompok
5. Melakukan analisis parameter kualitas air terhadap kondisi lingkungan
6. Membuat laporan
ACARA III
PENGUKURAN TSS, SUHU, DAN KEKERUHAN
I. Pendahuluan
Parameter fisik kualitas air sebagai indikator keberhasilan pengendalian dan konservasi
lahan antara lain tanah tererosi yang terangkut oleh runoff. Pemantauan parameter fisik dampak
erosi lahan yaitu total suspended solids (TSS),dan kekeruhan.
Salah metode uji padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) secara
gravimetric. Metode ini digunakan untuk menentukan residu tersuspensi yang terdapat dalam
contoh uj air dan air limbah secara gravimetri. Metode ini tidak termasuk penentuan bahan
yang mengapung, padatan yang mudah menguap dan dekomposisi garam mineral. Padatan
tersuspensi total (TSS) residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran
partikel maksimal 2µm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid.
Prinsip Contoh uji yang telah homogen disaring dengan kertas saring yang telah
ditimbang. Residu yang tertahan pada saringan dikeringkan sampai mencapai berat konstan
pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC. Kenaikan berat saringan mewakili padatan tersuspensi
total (TSS). Jika padatan tersuspensi menghambat saringan dan memperlama penyaringan,
diameter pori-pori saringan perlu diperbesar atau mengurangi volume contoh uji. Untuk
memperoleh estimasi TSS, dihitung perbedaan antara padatan terlarut total dan padatan total.
Bahan yang digunakan dalam pengujian TSS adalah
a) Kertas saring (glass-fiber filter) dengan beberapa jenis: 1) Whatman Grade 934 AH, dengan
ukuran pori (Particle Retention) 1,5 µm ( Standar for TSS in water analysis). 2) Gelman type
A/E, dengan ukuran pori (Particle Retention) 1,0 µm ( Standar filter for TSS/TDS testing in
sanitary water analysis procedures). 3) E-D Scientific Specialities grade 161 (VWR brand
grade 161) dengan ukuran pori (Particle Retention)1,1 µm ( Recommended for use in
TSS/TDS testing in water and wastewater). 4) Saringan dengan ukuran pori 0,45 µm.
b) Air suling.
Peralatan yang digunakan dalam pengujian TSS
a) desikator yang berisi silika gel;
b) oven, untuk pengoperasian pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC;
c) timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg;
d) pengaduk magnetik;
e) pipet volum; 1 dari 6 SNI 06-6989.3-2004
f) gelas ukur; g) cawan aluminium;
h) cawan porselen/cawan Gooch;
i) penjepit;
j) kaca arloji; dan
k) pompa vacum.
Persiapan dan pengawetan contoh uji
Persiapan contoh uji Gunakan wadah gelas atau botol plastik polietilen atau yang setara.
Pengawetan contoh Awetkan contoh uji pada suhu 4ºC, untuk meminimalkan dekomposisi
mikrobiologikal terhadap padatan. Contoh uji sebaiknya disimpan tidak lebih dari 24 jam. Agar
pengujian memperoleh hasil yang valid, diperlukan pengurangan gangguan dengan cara:
a) Pisahkan partikel besar yang mengapung.
b) Residu yang berlebihan dalam saringan dapat mengering membentuk kerak dan menjebak
air, untuk itu batasi contoh uji agar tidak menghasilkan residu lebih dari 200 mg.
c) Untuk contoh uji yang mengandung padatan terlarut tinggi, bilas residu yang menempel
dalam kertas saring untuk memastikan zat yang terlarut telah benar-benar dihilangkan.
d) Hindari melakukan penyaringan yang lebih lama, sebab untuk mencegah penyumbatan oleh
zat koloidal yang terperangkap pada saringan.
Persiapan pengujian TSS
Persiapan pengujian di lakukan dengan peralatan kertas saring atau cawan Gooch dengan
prosedur:
a) Letakkan kertas saring pada peralatan filtrasi. Pasang vakum dan wadah pencuci dengan air
suling berlebih 20 mL. Lanjutkan penyedotan untuk menghilangkan semua sisa air, matikan
vakum, dan hentikan pencucian.
b) Pindahkan kertas saring dari peralatan filtrasi ke wadah timbang aluminium. Jika digunakan
cawan Gooch dapat langsung dikeringkan..
c) Keringkan dalam oven pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC selama 1 jam, dinginkan
dalam desikator kemudian timbang.
d) Ulangi langkah pada butir c) sampai diperoleh berat konstan atau sampai perubahan berat
lebih kecil dari 4% terhadap penimbangan sebelumnya atau lebih kecil dari 0,5 mg.
Prosedur pengujian TSS
a) Lakukan penyaringan dengan peralatan vakum. Basahi saringan dengan sedikit air suling.
b) Aduk contoh uji dengan pengaduk magnetik untuk memperoleh contoh uji yang lebih
homogen.
c) Pipet contoh uji dengan volume tertentu, pada waktu contoh diaduk dengan pengaduk
magnetik 2 dari 6 SNI 06-6989.3-2004
d) Cuci kertas saring atau saringan dengan 3 x 10 mL air suling, biarkan kering sempurna, dan
lanjutkan penyaringan dengan vakum selama 3 menit agar diperoleh penyaringan sempurna.
Contoh uji dengan padatan terlarut yang tinggi memerlukan pencucian tambahan.
e) Pindahkan kertas saring secara hati-hati dari peralatan penyaring dan pindahkan ke wadah
timbang aluminium sebagai penyangga. Jika digunakan cawan Gooch pindahkan cawan dari
rangkaian alatnya.
f) Keringkan dalam oven setidaknya selama 1 jam pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC,
dinginkan dalam desikator untuk menyeimbangkan suhu dan timbang.
g) Ulangi tahapan pengeringan, pendinginan dalam desikator, dan lakukan penimbangan
sampai diperoleh berat konstan atau sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% terhadap
penimbangan sebelumnya atau lebih kecil dari 0,5 mg. CATATAN 1 Jika filtrasi sempurna
membutuhkan waktu lebih dari 10 menit, perbesar diameter kertas saring atau kurangi volume
contoh uji.
Perhitungan
mg TSS per liter = (A-B) x 1000 Volume contoh uji, mL
dengan pengertian:
A adalah berat kertas saring + residu kering, mg;
B adalah berat kertas saring, mg.
Agar hasil yang diperoleh menunjukkan nilai yang valid, maka perlu diterapkan jaminan mutu
melalui tindakan antara lain:
a) Gunakan alat gelas bebas kontaminasi. B
b) Gunakan alat ukur yang terkalibrasi.
c) Dikerjakan oleh analis yang kompeten.
d) Lakukan analisis dalam jangka waktu yang tidak melampaui waktu simpan maksimum 24
jam
Pengukuran suhu
Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu benda dan alat yang
digunakan untuk mengukur suhu adalah termometer. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
untuk mengukur suhu cenderung menggunakan indera peraba. Tetapi dengan adanya
perkembangan teknologi maka diciptakanlah termometer untuk mengukur suhu dengan valid.
Pada abad 17 terdapat 30 jenis skala yang membuat para ilmuan kebingungan. Hal ini
memberikan inspirasi pada Anders Celcius (1701 - 1744) sehingga pada tahun 1742 dia
memperkenalkan skala yang digunakan sebagai pedoman pengukuran suhu. Skala ini
diberinama sesuai dengan namanya yaitu Skala Celcius. Apabila benda didinginkan terus maka
suhunya akan semakin dingin dan partikelnya akan berhenti bergerak, kondisi ini disebut
kondisi nol mutlak. Skala Celcius tidak bisa menjawab masalah ini maka Lord Kelvin (1842 -
1907) menawarkan skala baru yang diberi nama Kelvin. Skala kelvin dimulai dari 273 K ketika
air membeku dan 373 K ketika air mendidih. Sehingga nol mutlak sama dengan 0 K atau -
273°C. Selain skala tersebut ada juga skala Reamur dan Fahrenheit. Untuk skala Reamur air
membeku pada suhu 0°R dan mendidih pada suhu 80°R sedangkan pada skala Fahrenheit air
membuka pada suhu 32°F dan mendidih pada suhu 212°F.
Pengukuran kekeruhan
Turbidimeter merupakan salah satu alat yang berfungsi untuk mengetahui/mengukur tingkat
kekeruhan air. Turbidimeter memiliki sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat dinyatakan
sebagai perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang tiba. Intensitas cahaya
yang dipantulkan oleh suatu suspensi adalah fungsi konsentrasi jika kondisi-kondisi lainnya
konstan

Gambar Turbidimeter
Cara penggunaan turbidimeter
• Memasang/menyamungkan turbidimeter dengan sumber listrik, didiamkan selam 15
mnit
• Sebelum digunakan alat harus di set terlebih dahulu (dikalibrasi), angka yang tertera
pada layar harus 0 (nol) atau dalam keadaan netral
• Sampel dimasukkan pada tempat pengukuran yang adapada turbidimeter
• Melakukan pengukuran dengan menyesuaiakn nilai pengukuran dengan cara memuta
tombolpengatur hingga nilai tertera pada layar sama dengan turbidimeter sesuai dengan
nilai standar.
• Membaca skala pengukuran kekeruhan
• Pengukuran sampel harus dilakukan sebanyak 3 kali dengan menekan tombol
pengulangan pengukuran untuk setiap pengulangan agar data yang diperoleh valid,
hasilnya dirata-ratakan
II. Tujuan
Mahasiswa mampu menganalisis kadar TSS, ph dan turbididi saatu sampel air secara
benar
III. Metode
Metode yang digunakan adalah metode analitik deskriptif dengan melakukan
pengukuran langsung terhadap sempel tanah yang telah diambil dari lokasi yang telah
ditentukan.
IV. Tugas
1. Mahasiswa menentukan titik sampel dan sumber sampel air yang akan diuji
2. Mengambil sampel air dengan metode grab sampel dan mencatat lokasi pengambilan
sampel dalam posisi GPS
3. Melakukan pengujian sampel air dengan penguji samapel yang tersedia
4. Melakukan analisis hasil pengukuran sampel air dengan membandingkan dengan lokasi
yang dilakukan oleh kelompok lain
ACARA IV
PENGUKUAN KARAKTERISTIK BADAN AIR HIDROMETRIK
I. Pendahuluan
Ada tiga komponen utama badan air; yakni kompenen hidrologi, komponen fisik-kimia
dan komponen biologi.
Badan air terdiri dari badan air tergenang (standing water/lentik) dan badan air mengalir
(flowing water/lotik)
Badan air tergenang (Standing Water/Lentik) Perairan tergenang khususnya danau biasanya
memiliki stratifikasi secara vertikal akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu
pada kolom air yang terjadi secara vertikal. Perairan tergenang terbagi dalam beberapa zona
yakni:
1. zona bentos (dasar), meliputi: a. Supra-litoral b. Litoral c. Sub-litoral, dan d. Profundal
2. Zona kolom air (open water zone) a. Zona limnetik b. Zona tropogenik c. Zona kompensasi,
dan d. Zona tropolitik
Berdasarkan intensitas cinar matahari perairan tergenang secara vertical terbagi dalam:
1.  Zona Eufotik: lapisan yang masih mendapat cukup sinar matahari.
2.  Zona kompensasi: Lapisan dengan intensitas cahaya sebesar 1% dari intensitas cahaya
permukaan.
3.  Zona Profundal: Zona di bawah zona kompensasi, dengan intensitas cahaya sangat kecil
atau bahkan tidak ada.

Gambar pembagian zona perairan


Salah satu contoh perairan menggenang yang utama adalah perairan danau. Morfometri
perairan menentukan karakteristik utama danau yang membedakannya dengan perairan
menggenang lain, yaitu:
a. Tepi perairan. Tepi perairan adalah habitat biota air litoral. Tepi perairan danau terjal,
menunjukkan sempitnya daerah litoral. Karena itu, keragaman biota airnya lebih sedikit
dibanding perairan dangkal.
b. Kedalaman. Danau memiliki kedalaman yang perbedaannya sangat signifikan dibanding
tipe perairan darat menggenang lainnya. Kedalaman perairan danau bisa mencapai lebih dari
500 m, bagian tengah biasanya terdalam. Kedalaman perairan danau memungkinkan
terjadinya stratifikasi kolom airnya akibat daya tembus sinar matahari dan perubahan
(penurunan) suhu perairan. Stratifikasi akibat sinar matahari menghasilkan zona tembus
cahaya (zona fotik) dan zona gelap, tidak tembus cahaya (zona afotik). Di zona fotik terjadi
proses fotosintesis oleh biota plankton sehingga zona ini kandungan unsur haranya
berkurang (miskin unsur hara) namun kadar O2 meningkat sebagai hasil proses ini.
Sebaliknya, di zona afotik, karena tidak terjadi proses fotosistensis, kandungan unsur
haranya masih tinggi (kaya unsur hara). Antar kedua zona ini ada percampuran massa air.
Makin ke dalam (ke bawah) kadar O2 berkurang, sebaliknya, kadar CO2 meningkat.
Sebagaimana diketahui ada sifat antagonis antara O2 dan CO2. Stratifikasi akibat penurunan
suhu menghasilkan zona epilimnion dengan massa air yang hangat di bagian atas dan zona
hypolimnion dengan massa air yang dingin di bagian bawah. Zona pemisah antar kedua zona
ini disebut termoklin (thermocline). Massa air antara kedua zona ini tidak bercampur.
c. Fluktuasi muka air . Fluktuasi atau naik-turunnya permukaan air danau relatif kecil
dibanding tipe perairan darat menggenang lainnya. Karena itu, ekosistem perairan danau
sangat stabil sehingga mampu mendukung kehidupan biota airnya secara optimal.
d. Daerah surutan (draw-down). Danau memiliki daerah surutan yang sempit, sehingga beban
masukan bahan organik dari dalam perairannya sendiri (autochthonous) sedikit, kecuali jika
ada intervensi langsung seperti budidaya ikan dengan tambahan pakan.
e. Daerah Tangkapan Air (DTA). Daerah tangkapan air merupakan sumber air utama bagi
perairan danau. Semakin luas daerah ini, semakin banyak massa air yang tertampung di
perairannya. Tentunya pasokan yang masuk dari luar (allochthonous) tidak hanya air saja
melainkan berbagai beban cair dan padat lainnya.
f. Jumlah teluk. Adanya teluk di perairan danau menyebabkan air danau tenang. Ketenangan
massa air dapat memicu perkembangan biota air secara optimal.
g. Garis pantai adalah zona pertemuan daratan dengan perairan. Di zona tersebut terjadi
penelusupan unsur hara (nutrient influx) dari daratan ke perairan. Makin panjang garis
pantainya, makin besar telusupan unsur hara daratan ke perairan.
h. Masa simpan air. Makin lama massa air tersimpan di perairan, kemurnian airnya makin
terjamin karena ada kesempatan partikel-partikel dalam air untuk mengendap. Selain itu,
ekosistem perairannya sangat stabil. Masa simpan air (water retention time) danau adalah
yang terlama dibanding tipe perairan darat menggenang lainnya, sesuai fungsinya sebagai
penyimpan air.
i. Pengeluaran air. Pengeluaran air (outlet) perairan danau berada di bagian atas melalui
sungai, berarti keluarnya air dari kolom epilimnion yang fotik. Kualitas air ini miskin unsur
hara namun kaya biota renik karena mengalami proses fotosintesis. Air yang keluar bersih,
sehingga air yang kotor atau tercemar tetap tertinggal di danau.

Gambar pembagian zona berdasarkan suhu


Zona perairan mengalir
Salah satu contoh perairan mengalir adalah sungai. Sungai dicirikan oleh arus yang
searah relatif kencang, dengan kecepatan berkisar antara 0,1–1,0 m/detik, serta sangat
dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase. Pada perairan sungai, biasanya terjadi
percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air
seperti pada perairan tergenang. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena
yang biasa terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna sangat dipengaruhi oleh ketiga
variabel tersebut.
Karakteristik morfometrik perairan mengalir menentukan proses sedimentasi, erosi dan
pembentukan sungai. Karakteristik morfometri perairan juga menentukan proses hidro-kimia
air terutama dalam kaitnnya dengan kemampuan tubuh air dalam memperbaiki kualitas secara
mandiri.
I. Tujuan
Mahasiswa mampu menidentifikasi morfometri perairan tergenang dan peraian
II. Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode survey
terhadap perairan tergenang dan perairan mengalir

III. Tugas
1. Mahasiswa mengamati perairan tergenang dan perairan mengalir
2. Mahasiswa mengukur parameter morfometri perairan mengalir, meliputi kecepatan arus,
dimensi alur, karakteristik alur, karakteristik lingkungan; tutupan vegetasi, dan lain-lain
3. Mahasiswa melakukan analisis perairan tergenang dan perairan mengalir
4. Mahasiswa membuat laporan
ACARA V DAN VI
PREPARASI ALAT DAN BAHAN PENGUKURAN BOD SERTA
PENGUKURAN BOD
I. Pendahuluan
Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan oleh seluruh makhluk hidup. Oleh
karena itu, sumber daya air tersebut harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan
baik oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan
harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan
generasi mendatang. Walaupun demikian, ternyata tidak semua air dapat secara langsung
digunakan untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, tetapi harus memenuhi kriteria dalam
setiap parameternya masing-masing.
Berbagai sumber air yang dipergunakan untuk keperluan hidup dan kehidupan dapat
tercemar oleh berbagai sumber pencemaran. Limbah dari makhluk hidup, seperti manusia,
hewan, dan tumbuh-tumbuhan dapat menjadi penyumbang pencemaran terhadap air yang akan
dipergunakan, baik untuk keperluan makhluk hidup maupun untuk keperluan kehidupan yang
lain. Keberadaan zat-zat beracun atau muatan bahan organik yang berlebih akan menimbulkan
gangguan terhadap kualitas air. Keadaan ini akan menyebabkan oksigen terlarut dalam air
berada pada kondisi yang kritis atau merusak kadar kimia air.
Rusaknya kadar kimia air tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi dari air itu sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas
perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik
dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan kegiatan biologis yang dilakukan oleh
organisme aerobik atau anaerobik. Sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun
menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun.
Dalam menentukan kualitas air atau baik buruknya perairan dapat ditentukan oleh
berbagai faktor salah satunya yaitu penentuan kadar BOD (Biological Oxigen Demand).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan praktikum penentuan BOD agar dapat
diketahui jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bekteri untuk mengurai hampir semua zat
organik yang terlarut dan tersuspensi dalam air limbah atau air hujan.

II. Tujuan Praktikum


Adapun tujuan umum dari praktikum kali ini yaitu mengukur nilai BOD beberapa air
limbah dengan tanpa menggunakan refluks.
III. Alat dan Bahan
Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :
1. Botol kosong
2. Erlenmeyer
3. Pipet
4. Tabung reaksi
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah :
1. Akuades
2. Larutan ml 𝐻2 𝑆𝑂4 6N
3. Larutan Kl
4. Larutan 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 0,1 N
5. Larutan MnSO4 : larutkan 480 g MnSO4 . 4H2O atau 400 g MnSO4 2H2O kedalam 400-
600 ml air suling, selanjutnya disaring da diencerkan hingga 1 liter.
6. Larutan alkali yodida-natrium-azida: larutkan 500 g NaOH atau 700 g KOH kedalam
500-600 ml akuades, lalu campur dengan larutan yang mengandung 150 g Kl atau 135
g Nal didalam 200-300 ml akuades. Kedua larutan ini dicampur dengan larutan yang
mengandung 10 g NaN3 (Natrium azida) didalam 40 ml air suling (hati-hati karena
larutan beracun dan membentuk panas), selanjutnya campuran tersebut diencerkan
dengan air suling sampai 1 liter.
7. Larutan 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 0,025 N : yang dibuat melarutkan 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 .5H2O didalam akuades
masak yang telah dingin sampai 1 liter, kemudian ditambahkan 0,4 g atau 1 pelet NaOH
untuk mengawetkan.
8. Larutan indikator pati: 6 g pati kentang ditambahkan air suling sedikit sehingga
berbentuk pasta, kemudian diencerkan hingga 1 liter, didihkan beberapa menit dan
diamkan selama semalam. Larutan yang bening bagaian atas, diambil dan diawetkan
dengan 2tetes toluen (C6H5CH3) atau 1,25 g asam salisilat 4 gramZnCl 2 perliter atau
1% amilum.
9. Sampel air adalah air sungai,air limbah ndustri, air selokan, air limbah rumah tangga.
IV. Prosedur Praktikum
Persiapan Sampel
1. Sampel air disaring melalui gelass wool atau kapas untuk menghilangkan komponen-
komponen kasar dari bahan tersuspensi.
2. Sampel air diencerkan 1/100, 1/150, dan 1/33 dengan menambahkan 3,6 dan 9 ml
larutan sampel ke dalam air secukupnya hngga mencapai 300 ml.
3. Setiap botol di isi dengan air secukupnya, hingga pada waktu ditutup, batas air akan
naik sampai diatas leher botol.
4. Blanko akan dibuat dengan mengisi botol hanya dengan air saja.
5. Botol-botol yang sudah terisi harus bebas dari glembung-glembung udara.
6. setelah botol ditutup, lalu diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20oC.
Pengukuran BOD
1. Tutup botol dibuka dan kedalam botol ditambahkan 2 ml pereaksi MnSO4 dan 2 ml
pereaksi alkali-iodida-azida (digunakan pipet mekanis). Ketika menambahkan setiap
pereaksi, ujung pipet diletakan dibawah permukaan cairan botol.
2. Setelah botol ditutup kembai, bagian atas dibilas dengan air.
3. Setiap botol dikocok baik-baik selama kira-kira 30 detik untuk menyebarkan presipitan
secara merata keseluruh botol.ulangi pengocokan setelah presipitan mulai mengendap.
4. Botol-botol dibiarkan hinggga presipitan mulai mengendap separuhnya.
5. Setiap botol diasamkan dengan menambahkan 2 ml H2SO4 6N.
6. setelah botol ditutup kembali dengan bagian atasnya dibilas, botol segera dikocok
selama 30 detik.
7. Sampel sebanyak 50 ml dititrasi dengan 0,025 N N〖Na〗_2 S_2 O_3 hingga tombul
warna kuning.
8. Tambahkan 1 ml larutan indikator pati yang akan mengbah warna contoh menjadi biru.
9. Secara perlahan-lahan titrasi dilanjutkan dengan menambahkan larutan 〖Na〗_2 S_2
O_3 ( larutan Na-tiosulfat)tetes demi tetes hingga warna biru hilang dan contoh tidak
berwarna.
10. Catat volume larutan Na-tiosulfat yang akan digunakan sebagai jmlah sisa oksigen
dalam botol
11. Nilai BOD dihitung hanya dari pengenceran-pengenceran yang mengalami reduksi
paling sedikit 2 ppm oksigen, yang diproleh dengan cara memebandingkan dengan
blanko (air) dan didalamnya paling sedikit terdapat 1 ppm.
12. Nilai-nilai BOD yang terletak diantara batas-batas ini dapat dirata-ratakan untuk
menentukan BOD dari contoh asal.
ACARA VII
PENGUKURAN COD
I. Pendahuluan
Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak,
bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya air tersebut harus dilindungi
agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia dan makhluk hidup lainnya.
Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan
memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang.
Di indonesia banyak sekali pabrik yang membuang limbah yang sudah tidak diolah
ataupun belum diolah ke perairan, limbah yang dibuang keperairan ini dapat menimbulkan
pencemaran air. Sehingga pencemaran air ini banyak menimbulkan masalah baik yang yang
dirasakan secara langsung maupun tidak langsung. Industri biasanya membuang berbagai
macam polutan kedalam air, limbahnya sepeti logam berat, minyak, nutrien dan padatan. Air
limbah ini memiliki efek termal terutama yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik, selain itu
juga dapat mengurangi kadar oksigen dalam air.
COD atau chemical oxygen demand merupakan parameter yang umum dipakai untuk
menentukan tingkat pencemaran bahan organik pada air limbah. Angka COD merupakan
ukuran pencemarai air oleh zat –zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui
proses mikrobiologis, dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air. Oksigen
terlarut yang terkandung dalam air dapat digunakan sebagai tanda derajat pengotor air baku.
Semakin besar oksigen yang terlarut, maka semakin kecil derajat pengotorannya dan
sebaliknya. Sehingga untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi didalam air dapat
dilakukan dengan melakukan pengujian COD guna menentukan tingkat pencemaran airnya.
II. Tujuan
Mahasiswa mampu mengukur kadar COD sampel air dari sumber air yang telah
ditentukan secara benar
III. Metode
Metode pengukuran COD cukup kompleks, karena menggunakan peralatan khusus
reflux, penggunaan asam pekat, pemanasan, dantitrasi (APHA, 1989, Umaly dan Cuvin, 1988).
Peralatan reflux diperlukan untuk menghindari berkurangnya air sampel karena pemanasan.
Pada prinsipnya pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu kalium bikromat
(K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan volume diketahui) yang telah ditambahkan
asam pekat dan katalis perak sulfat, kemudian dipanaskan selama beberapa waktu. Selanjutnya,
kelebihan kalium bikromatditera dengan cara titrasi. Dengan demiki ankalium bikromat yang
terpakai untuk oksidasi bahan organic dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat
ditentukan. Kelemahannya, senyawa kompleks anorganik yang ada di perairan yang dapat
teroksidasi juga ikut dalam reaksi (De Santo, 1978), sehingga dalam kasus-kasus tertentu nilai
COD mungkin sedikit ‘over estimate’ untuk gambaran kandungan bahan organik.

Gambar 1.Peralatan reflux untuk pengukuran COD(Sumber: Boyd, 1979)


IV. Alat dan Bahan
Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah
1. Erlenmeyer
2. Pipet ukur 0,5 ml dan 1 ml
Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah
1. Aquades
2. Air limbah 2 ml
3. Larutan Amilum
4. Larutan KI 30%
5. Larutan Amilum
6. Larutan K2Cr2O7
7. Larutan Na2S2O3
V. Metode Praktikum
Adapun metode yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah
1. Mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum
2. Mengambil sampel ar limbah sebanyak 2 ml menggunakan pipet dan memasukannya
ke dalam erlenmeyer.
3. Menambahkan aquades sebanyak 8 ml, kemudian mengocok campuran tersebut.
4. Setelah mengocok, ambil 2,5 ml dari campuran tersebut.
5. Menambahkan 10 ml larutan pengoksidasi (K2Cr2O7)
6. Mengocok larutan tersebut, kemudian memanaskan larutan tersebut selama 10 menit.
7. Setelah itu dinginkan sampai dengan suhu kamar.
8. Selanjutnya menambahkan 10 ml larutan KI 30%.
9. Mengocok kembali, kemudian melakukan titrasi dengan N2S2O3.
10. Menambahkan larutan amilum sebanyak 0,5 ml atau 10 tetes.
11. Melarutkan sampel sampai berwarna hijau tosca.
12. Melakukan perhitungan nilai COD yang dihasilkan.
ACARA VIII dan IX
PENGGUNAAN PENGGUMBAL ALAMI UNTUK PENUTUP TANAH
RAMAH LINGKUNGAN
TIU
Mahasiswa mampu mengetahui kekuatan tanah sebelum dan setelah diberi pemantap tanah
TIK
Mahasiswa dapat membandingkan bebeapa konsentrasi pemantap tanah terhadap daya tahan
terhadap penetrasi, sehingga dapat diketahui daya tahan terhadap erosi
I. DASAR TEORI
Hydroseeding berasal dari kata hydro dan seeding yang berarti campuran antara air dan
bibit yang dikombinasikan sedemikian rupa sehingga tercipta formula yang berguna dalam
revegetasi pada lahan yang rusak. Tehnik Hydroseeding berawal dari negara Amerika Serikat
sebagai solusi atas permasalahan penanaman secara manual memakan waktu sangat lama
dalam proses penanaman tumbuhan,umumnya dilakukan pada areal lahan yang luas.
Hydroseeding umumnya dilakukan pada areal lahan bekas pertambangan yang mempunyai
lapisan top soil buruk dengan tidak adanya kandungan unsur hara sehingga mempengaruhi
sedimentasi tanah. Penerapan hydroseeding sangat memungkinkan digunakan untuk kegiatan
konservasi tanah terutama tanah-tanah marginal dan kegiatan revegetasi lahan yang baru
dibangun. Dibandingkan dengan cara konvensional atau teknik penanaman bibit secara
konvensionalpada tanah, teknik hydroseeding ini lebih cepat dalam proses penyemprotan dan
pertumbuhan jenis–jenis tanamannya karena formula hydroseeding yang menggunakan
formula dengan komposisi antara mulsa, serat dan campuran biji – bijian Cover crop sehingga
tercipta keragaman hayati dan meningkatnya unsur hara pada lapisan tanah atas (top soil).
Angka keberhasilan atau kerapatan tanaman yang tumbuh di atas lahan dapat mencapai hampir
98%, hal ini yang menyebabkan teknik hydroseeding lebih disukai dalam reklamasi lahan
tambang atau revegetasi di tanah lereng (tebing) bekas timbunan atau galian.
Upaya revegetasi lahan bekas tambang dan lahan-lahan marginal menggunakan
hydromulsa tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No P-4 Tahun
2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan. Halaman 19, point e. tentang upaya memperkecil
erosi, disebutkan bahwa hydroseeding mampu mengurangi dan memperkecil dampak erosi
yang terjadi di permukaan lahan (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2011).
Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No 28 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara Bidang Pasca Tambang dan
Reklamasi dinyatakan bahwa pemerintah sangat mengakomodir penggunaan hydroseeding
sebagai bagian dari penanganan pengelolaan lingkungan pertambangan melalui penetapan
hydroseeding sebagai salah satu bidang usaha dan jasa dalam pertambangan khususnya pasca
tambang yang harus dilakukan (Kementerian Energi dan Sumbedaya Mineral , 2009).
Aplikasi hydroseeding di lahan miring dapat menurunkan tingkat erosi lahan karena
bibit hydroseeding yang dapat tumbuh menjadi penutup lahan dapat meningkatkan daya
cekeram akar terhadap tanah sehingga jumlah tanah tererosi semakin rendah hal ini terbukti
hasil pengamatan terhadap kekuatan agar dalam menahan tanah ditunjukan dengan
peningkatan kekuatan geser tanah di lahan tanah berpasir di kawasan beriklim mediteran
(Mazzuoli, 2016).
Revegetasi dengan metode hydroseeding pada lahan marginal atau lahan miring merupakan
metode yang cepat dan tepat dalam menangani berbagai tingkat kesulitan pada area tambang.
Keuntungan yang didapat dengan metode ini adalah sebagai berikut (Green Persada Enviro,
2017); (1) efisiensi waktu dengan kecepatan respon pertumbuhan tanaman yang cepat, dalam
jangka waktu 3 – 6 bulan permukaan lahan dapat tercover vegetasi, sehingga akan mengurangi
terjadinya resiko erosi, (2) mengurangi penggunaan tanah subsoil/topsoil ketebalan lapisan
minimal 30 cm atau tanpa topsoil sekalipun dengan tetap memberikan jaminan keberhasilan,
(3) cocok untuk penanganan pada berbagai jenis tanah (send, clay, sub soil) dan pada berbagai
tingkat kemiringan lahan (area sloop) dari 30o hingga 50o (4) hydroseeding merupakan teknik
yang tepat, guna meningkatkan ketersediaan hara tanah, karena komposisi campuran nutrient
organic dalam bentuk cair akan terinfiltrasi secara langsung ke dalam lapisan tanah dan
menyebar secara merata ke permukaan lahan,(5) kehadiran bintil akar (nodule) pada tanaman
hasil hydroseeding menunjukkan adanya hubungan mutualisme antara system perakaran
dengan bakteri penambat nitrogen (bakteri Rizobium). Bintil-bintil akar (nodule) akan
melepaskan senyawa nitrogen organik ketanah pada sekitar perakaran tanaman legume, (6)
kombinasi berbagai jenis species tanaman yang memiliki manfaat langsung sebagai penyetabil
permukaan lahan, sumber pakan ternak atau protein, dan berperan dalam perbaikan iklim mikro
serta memiliki nilai ekonomis di masa depan.
Hydroseeding merupakan salah satu teknik revegetasi yang dapat dilakukan untuk
lahan-lahan marginal dan lahan bekas tambang dengan beberapa keunggulan antara lain (Green
Persada Enviro, 2017):
1. Revegetasi menggunakan hydroseeding memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi
meskipun pada kondisi tanah yang kritis (miskin hara). Penggunaan tehnik yang tepat,
revegetasi di areal pertambangan dapat dilakukan, sehingga hal ini akan berangsur
memperbaiki kondisi fungsi lingkungan pada area Tambang.
2. Kemampuan hydroseeing dalam percepatan perbaikan dan pemulihan kondisi fisika dan
kimia tanah cukup tinggi karena komposisi material hydroseeding sudah dilengkapi
dengan campuran berbagai macam bahan organik yang terfungsi sebagai penyuplai
nutrisi bagi tanaman serta pemilihan spesies tanaman yang dapat tumbuh dengan cepat
(fast growing) dan adaptif terhadap lingkungannya.
3. Covering lahan yang cepat di areal yang telah dilakukan hydroseeding mengurangi
terjadinya resiko erosi dan sedimentasi.
4. Biaya perawatan (maintenance) rendah sehingga mengurangi beban pengeluaran biaya
perusahaan tambang.
5. Keragaman spesies yang bervariatif tergantung tujuan dan lokasi lahan akan menunjang
perbaikan kesuburan tanah dan lingkungan secara bertahap. Keragaman species tersebut
mewakili covering lahan dan secara bertahap akan memperbaiki kondisi fisik dan kimia
tanah secara menyeluruh, dan menunjang terbentuknya siklus hara secara alami
.Kombinasi jenis tanaman yang biasa digunakan dalam revegetasi lahan bekas tambang
menjadi hutan yakni;
• Grass species (dari jenis species rumput)
• Legume species (dari jenis legume)
• Tree species (dari jenis pohon)
Salah satu bahan mulsa cair adalah mulsa yang berupa hasil pencacahan bahan mulsa
dari rumput yang mengandung serat cukup banyak, namun demikian penambahan jenis mulsa
lainnya sangat memungkinkan, misalnya mulsa dari bahan legume atau kekacangan.
Penggunaan mulsa rerumputan (jerami, rumpur, ilalang) ternyata cukup baik dalam
peningkatan kadar bahan organik top soil hasil degradasi rumput (Jauregui, 2013) Penggunaan
campuran legume di mulsa ternyata mempunyai keuntungan, terutama berkenaan dengan
peningkatan kandungan Nitrogen dalam topsoil dan peningkatan kandungan lignin (Jauregui,
2013). Campuran mulsa rerumputan dan mulsa legume dalam upaya peningkatan kecepatan
dekomposisi di top soil tanah menunjukkan bahwa campuran mulsa rumput dan legume
menempati posisi di antara mulsa rumput dan mulsa legume untuk peningkatan jumlah nitrogen
dan lignin dengan peningkatan jumlah bahan organic (Jauregui, 2013). Hasil penelitian
Jauregui memberikan beberapa hal yang dapat membuka penelitian lanjutan berkaitan dengan
beberapa pertanyaan berkaitan hasil penelitian mengenai jenis mulsa terhadap karakteristik
tanah. Pertanyaan yang perlu dijawab dengan penelitian baru adalah berapa proporsi mulsa
grass dan legume yang dapat digunakan sebagai mulsa namun memberikan dampak omtimum
terhadap produktivitas lahan, selain itu tingkat perkecambahan pada hydroseeding terhadap
jenis benih yang campurkan kedalam hydroseeding tinggi.
Hydromulsa kadang-kadang dinamakan juga dinamakan hydroseeding dalam proses
penanaman rumput. Proses berjalan cukup cepat, efisien dan ekonomis. Proses penanaman
rumput biasanya lebih efektif daripada penanaman secara konvensional dan secara ekonomi
juga lebih baik daripada secara konvensional. Proses dimulai dari campuran mulsa, benih
pupuk dan air dalam tangki mesin hidromulsa. Material campuran kemudian dipompa dari
tangki menggunakan tangki dan sprayer dari tampungan.Bentuk hydroseedingsering berupa
lumpur, seperti bubur kertas berwarna hijau, setelah bubur tersebut diaplikasikan ke tanah,
material meningkatkan pertumbuhan awal dengan menyediakan lingkungan mikro yang
bermanfaat untuk benih berkecambah.
Hydroseeding merupakan teknik aplikasi suatu campuran antara mulsa, benih, pupuk
dan emulsi penstabil melalui peralatan hidromulsa, yang dapat digunakan untuk menutup
menutup permukaan tanah dari erosi oleh air dan angin. Secara praktis hydroseeeding dapat di
juga dikatakan hidromulsa, penanaman hidrolik, mulsa benih hidrolik, hidraseeding pollutants
control. Beberapa keuntungan aplikasi hydroseeding terpadu pada lahan antara lain; penurunan
sedimen terlarut, penurunan sedimen yang dihasilkan oleh lahan terbuka sampai 70%, sebagai
mulsa, sebagai pengendali erosi, peningkatan kadar hara tanah. Beberapa kendala dalam
aplikasi hydroseeding antara lain jika aplikasi hydroseeding tanpa di bantu teknik konservasi
lainnya, bahan hydroseeding akan mudah hanyut terbawa air limpasan ketika jeda waktu antara
aplikasi dan kejadian hujan dekan, sehingga perlu pertimbangan cuaca dalam aplikasi
hydroseeding terutama di daerah tropis. Aplikasi hydroseeding masih memerlukan irigasi agar
kelembaban hydroseeding dapat terjaga sehingga bibit dapat berkecambah.
Kombinasi benih rumput, legume dan pohon perlu dikaji untuk mendapatkan
hydromulsa yang mampu tumbuh secara cepat dan memberikan perlindungan optimum
terhadap lahan, terutama berkaitan dengan tujuan revegetasi yang dilakukan. Kombinasi dan
jenis benih yang campur dalam hydroseeding ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai dari
aplikasi hydroseeding, jika tujuannya membuat tanaman penutup tanah, maka penggunaan
benih pohon dalam campuran hydroseeding tidak diperlukan, dan pemilihan jenis legume yang
cocok juga menjadi bahan pertimbangan. Aplikasi hydroseeding untuk melakukan revegetasi
lahan bekas tambang dengan tujuan untuk menghutankan kembali lahan tersebut memerlukan
kombinasi hydroseeding yang lengkap antara benih rumput, legume dan pohon dalam
campuran hydromulsa.
Kombinasi antar bibit dalam hydroseeding terutama bibit tanaman local akan menjadi
kajian yang cukup menarik karena penggunaan bibit local dan campuran dari berbagai bibit
belum teruji dalam memberikan tingkat keberhasilan revegetasi secara optimum. Kajian
perkecambahan hydroseeding yang digunakan ketika telah diaplikasikan kelahan menjadi
kajian untuk memperoleh variasi tingkat perkecambahan hydroseeding. Penggunaan bibit
tanaman local seringkali memberikan keterbatasan dalam perkecambahan dibandingkan bibit-
bibit hydroseeding yang telah dijual dipasaran (Graca Olievera, 2013), namun demikian bibit
local memberikan keunggulan dalam kemampuan upaya pelestarian jenis tanaman local.
Keragaman bibit dan kerapatan bibit yang digunakan menjadi bahan pertimbangan yang
penting dalam keberhasilan aplikasi hydroseeding terutama dalam penambahan bibit local
dalam campuran hydroseeding (Graca Olievera, 2013). Hasil penelitian Olievera,2013
menunjukkan bahwa penggunaan bibit tanaman local menyebabkan ketidakseimbangan
pertumbuhan tanaman mulai dari perbedaan perkecambahan sampai pertumbuhan tanaman,
sehingga terjadi dominasi jenis tanaman terhadap tanaman lain. Analisis perkecambahan
menunjukkan bahwa penambahan bibit tanaman local memberikan dampak terjadinya
penurunan tingkat perkecambahan dari hydroseeding yang telah diaplikasikan (Clemente A.S.,
2016). Hasil penelitian Clemente, 2016 juga menunjukkan bahwa hanya sedikit benih dari
tanaman local (mediteran) yang mampu berkecambah.
Aplikasi hydroseeding terhadap suatu lahan dapat dilakukan dengan penyemprotan
hydroseeding terhadap lahan yang akan direvegetasi secara langsung, namun dapat pula
dilakukan sebagai salah satu jenis upaya revegetasi saja sehingga dapat dipadukan dengan
kegiatan lain. Kegiatan revegetasi merupakan kegiatan terpadu dalam memperbaiki lahan
marginal melalui berbagai teknik revegetasi. Paduan teknik revegetasi diharapkan akan
meningkatkan keberhasilan penanganan lahan marginal. Model aplikasi hydroseeding dengan
geo-jute memberikan dampak yang sangat positif dibandingkan dengan aplikasi hydroseeding
saja, namun demikian kombinasi model antara hydroseeding dan geojute yang optimum
menjadi bahan kajian yang masih terbuka. Aplikasi geo-jute pada lahan miring mempunyai
kemampuan dalam perlindungan tanah terhadap erosi sebelum tanaman tumbuh hydroseeding
tumbuh dan kuat ( (Nurpilihan, 2011), selanjutnya geo-jute akan terdegradasi menjadi bahan
organik bila bahan geoj-jute dari bahan yang ramah lingkungan (Mohammad Shariful Islam,
2013).
Salah satu komponen hydroseeding adalah xat penggumpal bahan yang digunakan
untuk meningkatkan kemampuan hyroseeding dalam menahan erosi aatau berfungsi sebagai
pemantap tanah, karena tanpa adanya komponen penggumpal maka bahan organic, benih dan
seresah akan terbawa air ketika hujan terjadi. Bahan pemantap tanah ramah lingkungan yang
dapat digunakan antara lain Xantan Gum, CMC dan Guar Gum.
1. Xantan Gum
Xanthan gum dihasilkan melalui fermentasi dekstrose dengan bakteri Xanthomonas
compestris. Xanthan gum berupa bubuk berwarna krem yang dengan cepat larut dalam air
panas atau air dingin membentuk larutan kental yang tidak tiksotrofik. Xanthan gum pada
konsentrasi rendah larutannya kental, pada perubahan suhu terjadi sedikit perubahan
kekentalannya, mantap pada rentangan pH yang luas, mantap pada keadaan beku. Xanthan
gum dinyatakan aman digunakan dalam pangan sebagai pemantap, pengemulsi, pengental,
dan pendorong buih pada pangan (Tranggono, dkk, 1989) dalam (Capah, Suhaidi, &
Siahaan, 2005). Telah dilakukan pengembangan formulasi suspensi rifampisin yang
mengandung 100 mg/5 ml, menggunakan serbuk kristal - rifampisin dengan rentang ukuran
partikel 5 - 20 um. Zat pengental terbaik yang digunakan adalah agar 0,15% dan xanthan
gum 0,2%. Hasil evaluasi stabilitas secara fisik menunjukkan bahwa suspensi yang
menggunakan xanthan gum lebih baik Universitas Sumatera Utara daripada suspensi
dengan agar. Hasil uji ketersediaan hayati terbanding kedua suspensi terhadap suspensi
yang beredar di pasaran adalah 84,0% untuk suspensi dengan xanthan gum dan 88,36%
untuk suspensi dengan agar (Haryadi, dalam Tranggono, 1989). Xanthan gum dapat
membentuk larutan kental pada konsentrasi rendah (0,1% – 0,2%). Pada konsentrasi 2% -
3% terbentuk gel. Xanthan gum dapat dicampur dengan protein atau polisakarida lain.
Xanthan gum ini membentuk film yang liat dan lentur (deMan, 1997) (Capah, Suhaidi, &
Siahaan, 2005)
Xanthan gum merupakan polisakarida ekstraseluler yang berasal dari kedelai, jagung, atau
produk tanaman lainnya yang disekresikan oleh mikroorganisme Xanthomonas campestris.
Melalui proses enzimatik yang kompleks, Xanthomonas campestris menghasilkan
polisakarida pada permukaan dinding selnya selama siklus hidup normal. Di alam, bakteri
ini ditemukan pada daun sayuran Brassica seperti kol atau kubis. Secara komersil, xanthan
gum diproduksi dari kultur murni bakteri secara aerobik melalui proses fermentasi
(Mandala dan Bayas, 2004) dalam (Ario, Julianti, & Yusraini, 2015). Struktur kimia
xanthan gum (Tucson, 2008) dalam (Ario, Julianti, & Yusraini, 2015) dapat dilihat pada
Gambar 2. Xanthan gum bersifat stabil pada kisaran pH 6 – 9 dan perubahan pH juga
mempengaruhi viskositas xanthan gum. Xanthan gum memiliki viskositas tinggi pada
konsentrasi rendah, perubahan suhu pada kisaran 60 – 70 °C memberikan 16 efek yang
kecil terhadap viskositas xanthan gum. Xanthan gum mudah larut dalam air panas atau air
dingin (McNelly dan Kang, 1973)dalam (Ario, Julianti, & Yusraini, 2015).. Struktur kimia
xanthan gum Xanthan gum telah banyak digunakan sebagai bahan tambahan pada pati
dalam makanan karena dapat meningkatkan karakteristik fisik dari beberapa pasta pati
seperti pati kentang, ketela, jagung dan terigu (Ferrero, dkk., 1994) dalam (Ario, Julianti,
& Yusraini, 2015). Keuntungan penggunaan xanthan gum dalam pembuatan roti adalah
mampu berinteraksi dengan komponen lain, seperti pati dan protein. Xanthan gum bersifat
mengikat air selama pembentukan adonan sehingga saat pemanggangan, air yang
dibutuhkan untuk gelatinisasi pati tersedia dan gelatinisasi lebih cepat terjadi. Xanthan gum
dapat membentuk lapisan tipis dengan pati sehingga dapat berfungsi seperti gluten dalam
roti (Whistler dan Miller, 1993). Xanthan gum diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan adonan roti untuk menahan gas yang dihasilkan selama fermentasi sehingga
dapat memberikan mutu produk olahan. Xanthan gum memiliki sifat pengemulsi karena
adanya kompleks antara gliadin dengan xanthan gum. Roti yang dihasilkan pun 17
memiliki kestabilan, penampakan elastis, dan sifat mutu lain yang diinginkan meski
xanthan gum diberikan dalam konsentrasi rendah (Sibuea, 2001)dalam (Ario, Julianti, &
Yusraini, 2015)
2. Guar Gum
Guar gum merupakan penstabil yang relatif murah dan efektif mengurangi efek yang tidak
diinginkan dari heat shock dalam es krim. Guar gum adalah hidrat yang baik dalam air
dingin, dan sering digunakan dalam kombinasi dengan karagenan.(Lim, Kardono, & Kam,
2015)
Guar gum merupakan suatu galaktomanan yang diekstrak dari biji kacang guar. Secara
kimia, guar gum merupakan polisakarida yang terdiri dari galaktosa dan manosa. Sekitar
85% dari guar gum merupakan guaran, yaitu suatu polisakarida yang larut dalam air yang
terdiri dari rantai lurus manosa dengan 1β→4 yang terhubung dengan unit-unit galaktosa
melalui ikatan 1α→6.
Perbandingan manosa dan galaktosa yaitu 2:1. Guar gum merupakan emulsifier yang lebih
baik karena memiliki lebih banyak titik cabang galaktosa (FAO, 2014) dalam (Ario,
Julianti, & Yusraini, 2015). Guar gum adalah bahan pengental yang murah dan juga
merupakan bahan penstabil (Naresh dan Shailaja, 2006). Guar gum memiliki rantai yang
lebih tersubstitusi dengan galaktosa, sehingga gum ini lebih mudah larut di dalam air
dibandingkan gum biji jenis lainnya. Gum ini juga dapat dilarutkan dalam air dingin dan
memberikan kekentalan yang tinggi dalam konsentrasi rendah 14 (Syafarini, 2009).
Struktur kimia guar gum Guar gum dapat membantu mengentalkan, mengikat, dan
menstabilkan bahan dalam makanan. Dalam makanan, tepung guar gum dapat menarik dan
mengikat air sehingga terjadi proses pengentalan makanan. Guar gum dapat digunakan
dalam resep tepung putih bagi mereka dengan alergi gluten. Selain itu guar gum juga dapat
digunakan sebagai pengganti tepung dan lemak dalam resep untuk membantu mengurangi
kadar kalori pada makanan namun tetap mempertahankan makanan sesuai dengan
ketebalan dan tekstur yang diinginkan. Guar gum mengandung, setidaknya hanya 1 kalori/g
dibandingkan dengan karbohidrat 4 kalori/g, dan lemak pada 9 kalori/g (McWilliams,
2011) (Ario, Julianti, & Yusraini, 2015). Guar gum terdispersi dalam air dingin atau panas
untuk menghasilkan dispersi koloid dengan viskositas yang sangat tinggi. Sifat ini
membuat guar gum sangat bernilai tinggi di industri makanan, kosmetik, pengeboran
minyak, dan farmasi. Kapasitas air yang unik dari olahan guar gum membuat guar gum
menjadi cukup ideal untuk diet penurunan berat badan. Serat dalam guar gum 15 dapat
membantu meningkatkan viskositas dari isi lambung sehingga waktu pengosongan
lambung tertunda. Tingkat pencernaan dan waktu pengosongan lambung dapat membantu
merasa lebih kenyang untuk jangka waktu yang lama, sehingga asupan kalori dari makanan
menurun (Kobayashi, 2012) dalam (Ario, Julianti, & Yusraini, 2015). Viskositas guar gum
dipengaruhi oleh suhu, pH, kehadiran garam, dan padatan lainnya. Semakin rendah suhu,
peningkatan viskositas dan viskositas puncak akan semakin rendah. Di atas suhu 80 °C
viskositas akhir sedikit berkurang. Bubuk halus guar gum membengkak lebih cepat dari
pada bubuk yang kasarnya. Viskositas larutan guar gum meningkat secara bertahap dengan
meningkatnya konsentrasi guar gum dalam air (Gupta dan Arora, 2011). (Ario, Julianti, &
Yusraini, 2015)
3. Carboxymethyl Cellulose (CMC)
CMC merupakan turunan selulosa yang paling banyak digunakan dalam pengolahan
pangan. Perlakuan terhadap selulosa menggunakan larutan NaOH 18% menghasilkan
selulosa alkali. Jika selulosa alkali direaksikan dengan garam natrium dari asam kloroasetat
maka dihasilkan eter karboksimetil selulosa. CMC mempunyai struktur molekul yang
panjang dan cukup kaku tetapi mempunyai muatan negatif dari gugus karboksil. Gaya
tolak-menolak elektrostatik akibat muatan negatif gugus karboksil menyebabkan molekul
CMC dapat larut dalam air dan membentuk larutan. Larutan CMC bersifat sangat kental
dan stabil. Di pasaran, CMC tersedia dalam berbagai tingkat kekentalan. CMC biasa
digunakan sebagai pengental atau untuk memperbaiki tekstur berbagai produk pangan
seperti jeli, bahan isian, saus, dan keju oles. CMC menghambat pembentukan kristal es
pada es krim dan menstabilkan serta membentuk tekstur yang lembut. (Hermana, Bulan, &
Sebayang, 2017)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Xantan Gum dan Guar Gum yang cukup potensial
sebagai bahan pemantap tanah, oleh sebab itu dalam penelitian ini, digunakan xantan
gum dan guar gum.
II. ALAT DAN BAHAN
Alat:
- Media tempat aplikasi pemantap tanah
- Penetrometer
- Soil temperature
- Pompa semprot
Bahan
- Tanah
- Xantan gum dan guar gum dalam beberapa konsentrasi
III. METODE KERJA
1. Buat media tanam (tanah) yang akan digunakan sebagai tempat aplikasi
2. Tempat dalam wadah atau media budidaya (bisa lahan)
3. Buat larutan xantan gum dan larutan guar gum dengan beberapa konsentrasi
(0,1%, 0,25%, 0,5%)
4. Aplikasikan larutan tersebut ke media tanam dengan pompa semprot
5. Ukur tahanan penetrasi dengan penetrometer selama bebeapa hari
IV. TUGAS
1. Buat data hasil pengukuran dalam grafik
2. Analisis hasil pengukuran
ACARA X
INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI SUMBER PENCEMAR
DOMESTIK DAN PERTANIAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI
I. Pendahuluan
1.1.Pencemaran Air dan Faktor Penentunya
Perubahan sifat fisik, kimia, biologi yang tidak dikehendaki pada perairan, udara dan
tanah. Menurut Saeni (1989) pencemaran adalah akibat kegiatan manusia yang menyebabkan
penambahan bermacam-macam bahan berbahaya kedalam lingkungan dan berakibat buruk
bagi ekosistem didalamnya.
Berdasarkan Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan hidup adalah masuk dan
dimasukkanya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lainnya kedalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan.
Pencemaran air diakibatkan masuknya bahan pencemar (polutan) yang dapat berupa
gas, bahan – bahan terlarut, dan partikulat. Pencemar dapat masuk kebadan air dengan berbagai
cara misalnya melalui atmosfir, tanah, limpasan (run off) pertanian, limbah domestik dan
perkotaan, serta pembuangan industri (Effendi 2003).
1.2. Sumber Pencemar
Sumber pencemar yang memberikan beban pada perairan berdasarkan lokasinya
dibedakan menjadi sumber pencemar pada titik tertentu (point sources), dan sumber pencemar
yang tersebar (non point sources). Sumber pencemar titik merupakan beban pencemar keluar
atau berada pada satu titik dan mudah terukur, spasial, dan bersifat local, serta karakteristiknya
seragam, misalnya pencemar yang berasal dari outlet IPAL suatu industri. Sedangkan sumber
pencemar yang tersebar adalah beban pencemar tersebar dari beberapa spasial, biasanya sulit
terukur kuantitas dan kualitasnya, dan karakteristiknya tidak seragam. Sumber pencemar
tersebar ini misalnya limpasan air dari daerah pertanian yang membawa pestisida dan pupuk
(Effendi 2003). Sumber pencemar tersebar (non point source) sebarannya sangat bergantung
pada variable curah hujan, jenis tanah dan topografi lahan. Sumber pencemar tersebar berasal
dari aktifitas pertanian dan perternakan, akifitas manusia dan larian sedimen dari hutan.
1.3. Sumber Pencemar Tersebar (Non Point Source)
Pencemar non point sources adalah pencemaran air yang disebabkan oleh
curah hujan atau pencairan salju bergerak di atas atau melalui tanah, ketika air bergerak lebih
atau melalui tanah , itu membawa polutan alami maupun polutan yang dihasilkan dari aktivitas
manusia, dan akhirnya polutan tersebut akan berkumpul pada danau, sungai, lahan basah,
perairan pantai maupun air tanah.
Pencemaran non point sources mencakup kelebihan pupuk, herbisida dan insektisida
dari lahan pertanian. Pencemar non point sources dari pemukiman dapat berupa minyak, lemak
dan bahan kimia beracun dari limpasan kegiatan domestik dan produksi. Sedimen kegiatan
konstruksi, tanaman, lahan dan hutan yang terbawa aliran terutama aliran air hujan. Asam yang
berasal dari kegiatan pertambangan dan hujan asam, bakteri dan zat organik dari ternak, limbah
hewan peliharaan serta sistem septic tank rusak yang terbawa aliran.
Tingginya pencemaran non point sources terjadi pada awal musim hujan disebabkan
air hujan membawa larian pencemar dari darat ke lingkungan perairan. Pengelolaan yang tepat
adalah dengan mengurangi bahan-bahan pencemar tersebut terpapar ke lingkungan yang
dimungkinkan akan terikut pada aliran air hujan baik pada aliran atas permukaan tanah maupun
aliran air tanah.
Untuk meminimalkan pencemar non point sources dapat dilakukan dengan cara-cara
sederhana seperti:
1. Pengelolaan sampah rumah tangga, sisa-sisa bahan kimia dihindarkan untuk mengalir atau
masuk pada drainase;
2. Menghindarkan tumpahan minyak, oli pada tanah atau sesuatu yang mempunyai peluang
untuk mengalir pada drainase atau saluran air;
3. Memeriksa rutin kondisi seftic tank rumah tangga sehingga berfungsi dengan baik;
4. Menggunakan produk detergen dan pembersih yang rendah pospor;
5. Menstabilkan daerah yang rawan erosi dengan penanaman tanaman cover crop;
6. Konstruksi yang mempertimbangkan tata cara pengendalian sedimen;
7. Pengelolaan air limbah pertambangan;
8. Pengelolaan hutan dengan konservasi;
9. Mengelola kotoran ternak dengan meminimalkan kontaminasi pada tanah dan perairan;
10. Mengurangi erosi tanah dengan menggunakan praktik-praktik konservasi dan praktek
manajemen pertanian yang ramah lingkungan;
11. Pengurangan penggunaan pestisida dan herbisida;

Beban pencemaran sumber non point sources belum dapat diukur secara langsung
dilapangan. Untuk memperkirakan besarnya beban pencemaran sumber non point sources
digunakan pendekatan faktor emisi. Potensi beban pencemaran limbah domestik dihitung
menggunakan formula sebagai berikut (Iskandar 2007):
PBP= Jumlah Penduduk x Faktor emisi x rek
Tabel 1. Faktor Emisi Limbah Domestik
No Parameter Faktor Emisi (gr/hr)

1 TSS 38
2 BOD 40
3 COD 55
Sumber : Iskandar (2007)
Faktor emisi limbah domestik adalah rasio potensi beban pencemaran pada perhitungan
setiap orang. Perhitungan potensi beban pencemar non point sources berasal dari
kegiatan domestik menunjukan besaran beban pencemar yang dihasilkan akibat aktifitas
sehari-hari pada setiap orang.
Tabel 2. Nilai Rasio Ekivalen Kota
No Daerah Rasio Ekivalen
1 Kota 1
2 Pinggiran kota 0,8125
3 Pedalaman 0,6250
Sumber : Iskandar (2007)
Pola hidup mempengaruhi besaran beban pencemar yang dihasilkan pada
setiap orang. Pola hidup pada suatu dikota berbeda dengan pola hidup didaerah yang tingkat
kehidupannya masih alami. Beban pencemaran yang dihasilkan dikota lebih tinggi
dibandingkan didesa atau daerah pinggiran yang masih banyak mengandalkan kebutuhannya
dari alam sehingga nilai rasio beban pencemar dikota lebih tinggi dari didesa. Beban
pencemaran sumber non point sources pada pertanian digunakan konversi luas lahan dan jenis
budidaya terhadap parameter limbah pertanian:
Tabel 3. Perkiraan Beban Limbah dari Pertanian
No Jenis Pertanian Beban Pencemar Limbah Pertanian
BOD N P TSS Pestisida
Kg/Ha/Musim Tanam Lt/Ha/Musim
Tanam
1 Sawah 225 20 10 0,4 0,16
2 Palawija 125 10 5 2,4 0,08
3 Perkebunan 32,5 3 1,5 1,6 0,024
lain
COD dihitung dengan mengalikan BOD x 1,5
Sumber : Iskandar (2007)
Untuk parameter COD dihitung dengan mengalikan BOD dengan Jenis pertanian
mempengaruhi beban pencemaran yang dihasilkan, pertanian yang menggunakan
pengairan lebih tinggi menghasilkan beban pencemaran sebab genangan air
menyebabkan tingkat pembusukan bahan organik yang lebih tinggi. Beban pencemaran sumber
non point sources pada perternakan digunakan konversi pada tabel berikut (Iskandar 2007) :
Tabel 4. Konversi Beban Limbah dari Perternakan
No Jenis Ternak BOD COD
gr/ekor/hari
1 Sapi 292 716
2 Kerbau 206 529
3 Kuda 226 558
4 Kambing 34 93
5 Domba 56 136
6 Ayam 3 6
7 Bebek 0,9 2,2
Sumber : Iskandar (2007)
Jenis ternak menghasilkan beban pencemaran yang berbeda, makin besar ternak makin
besar rasio beban pencemar yang dihasilkan. Sapi merupakan ternak yang menghasilkan beban
pencemar yang terbesar disebabkan sistem pencernaan sapi hanya mencerna 50% selulosa
dalam makanannya dan sisanya masih terdapat didalam tinjanya. Tinja sapi yang masih
mengandung bagian besar dari bahan organik sehingga menjadi beban bagi lingkungan untuk
menguraikannya.

1.4. Bahan Pencemar (Polutan)


Bahan pencemar (polutan) adalah bahan – bahan yang bersifat asing bagi
alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu ekosistem sehingga
mengganggu peruntukan ekosistem itu sendiri. Berdasarkan cara masuknya ke dalam
lingkungan bahan pencemar dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
1. Polutan Alamiah yaitu polutan yang memasuki lingkungan (badan air) secara alami,
misalnya letusan gunung berapi, tanah longsor, atau banjir.
2. Polutan Antropogenik yaitu polutan yang masuk ke lingkungan (badan air) akibat aktifitas
manusia seperti limbah domestik, limbah industry, kegiatan pertambangan, pertanian dan
perikanan.
Polutan antropogenik dapat dikendalikan dengan mengendalikan langsungke
sumbernya (aktifitas manusia) sedangkan polutan alamiah sulit dikendalikan karena berasal
dari aktifitas alam dan mempunyai volume yang tinggi (Effendi 2003). Berdasarkan sifat
toksiknya, polutan dibedakan menjadi polutan yang bersifat tak beracun dan polutan yang
bersifat beracun. Polutan yang bersifat tak beracun ini hanya akan menggangu fungsi
lingkungan jika jumlahnya berlebihan yang menyebabkan keseimbangan lingkungan
terganggu. Sedangkan polutan yang bersifat beracun adalah polutan yang dalam jumlah yang
kecil saja dapat mengakibatkan kematian (lethal) ataupun terganggu pertumbuhan, tingkah
laku, dan karakteristik morfologi mahluk hidup.
1.5.Parameter Kunci Pencemaran Air
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, menetapkan 3 parameter fisika, 27 parameter kimia anorganik,
2 parameter mikrobiologi, 2 parameter radioaktivitas, dan 12 parameter kimia organik. Tapi
jika ingin dilakukan analisa pada seluruh parameter maka akan menyebabkan ketidakefektifan
pada waktu penelitian, terutama waktu analisa laboratorium dan waktu pengambilan sample
dilapangan sedangkan belum tentu bahan pencemar tersebut dominan pada objek penelitian
yang kita ambil. Parameter pencemar pada objek pencemar tergantung jenis pencemar pada
sumber pencemarnya.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Laksana
Pengendalian Pencemaran Air pada lampiran III tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air
Limbah menyarankan penggunaan parameter kunci seperti bahan organik, hidrocarbon, tar dan
solven cukup diwakili oleh parameter BOD (biologycal oxigen demand) dan COD (chemical
oxygen demand), sedangkan NaOH dan HCl cukup diwakili dengan parameter pH, katalis atau
spent catalyst dapat diwakili oleh logam berat, parameter lainnya seperti padatan tersuspensi
(suspended solid), dan parameter prioritas yang lain seperti ammonia, sianida, dan fenol. Hanya
parameter yang penting atau parameter kunci (key parameters) yang harus dikendalikan.
Penerapan parameter kunci berguna untuk mengurangi biaya pemantauan.
Aktifitas antropogenik berdasarkan pengamatan dari penulis, dimana penulis memang
berdomisili pada wilayah tersebut adalah perkebunan, permukiman, industri hasil perkebunan
dan penambangan emas di badan sungai dengan menggunakan kapal keruk atau kapal sedot
(dompeng). Berdasarkan informasi awal tersebut, penulis memilih lima parameter kunci yang
akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu BOD (biologycal oxygen demand) dan COD
(chemical oxygen demand) untuk mendeteksi sumber pencemar pertanian, perkebunan,
permukiman dan industri, dan TSS (total suspended solid) aktivitas penambangan, serta
parameter pH dan DO (dissolved oxigen).
BOD secara tidak langsung menggambarkan jumlah bahan organik, sebab bahan
organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable) seperti lemak, protein,
kanji (starch), glukosa, aldehida, ester, dan sebagainya serta hewan dan tumbuhan yang telah
mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Jika masuk ke badan air, maka
bakteri akan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air untuk proses pembusukan dan
dergadasi zat organic tersebut menjadi carbondioksida dan air. COD menggambarkan jumlah
total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang
dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara
biologis (non-biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Jika pada perairan terdapat bahan organic
yang resisten terhadap degradasi biologis, misalnya selulosa, tannin, lignin, fenol, polisakarida,
benzena, dan sebagainya, maka lebih cocok dilakukan pengukuran nilai COD dibandingkan
dengan nilai BOD (Effendi, 2003).
Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga
dan industri, misalnya pabrik bubur kertas (pulp), pabrik kertas, dan industri makanan. Perairan
yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian.
Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan
pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat
mencapai 60.000 mg/liter (US-EPA 1997).
TSS atau total padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter
> 1 μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter 0,45 μm. TSS terdiri atas
lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah
atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. TSS atau total padatan tersuspensi adalah bahan-
bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter
0,45 μm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama
disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Rahayu et al. 2009).
Sedimentasi atau pengendapan yang akan menjadi masalah tersendiri di bagian hilir
sungai. Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) yang terdapat hampir di sepanjang
Sungai Batanghari bagian tengah hingga bagian hulu yang menggunakan kapal keruk atau
kapal penyedot (dompeng), besar kemungkinan berpotensi meningkatkan kadar TSS di sungai
ini.
1.6. Daya Tampung Beban Pencemaran Air
Daya tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu
sumber air, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut
menjadi cemar. Besaran beban yang dapat diterima suatu sumber air (Daya Tampung Beban
Pencemaran) dapat didefinisikan sebagai berikut) :
DTBP = BP sesuai peruntukan kelas – (BP sungai + BP yang masuk)
Dimana BP yang masuk bersumber dari beban pencemar sumber pencemar titik
(point sources) dan sumber pencemar tersebar (non point sources). BP sungai adalah beban
pencemar yang memang telah ada dalam air dan BP sesuai peruntukan adalah beban pencemar
yang dapat diterima sungai berdasarkan tanpa merubah kelas air sungai tersebut.
1.7. Pengendalian Pencemaran Air
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata
Laksana Pengendalian Pencemaran Air, pengendalian upaya pencegahan dan penanggulangan
pencemaran air dan serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan
baku mutu air peruntukkannya. Usaha pengendalian dan pencegahan pencemaran lingkungan
dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pemanfaatan teknologi pencegahan dan
penanggulangan pencemaran, pendekatan hukum dan kelembagaan, pendekatan sosial
ekonomi dan budaya dengan penerapan pelaksanaan pengelolaan lingkungan.
Teknologi pencegahan pencemaran merupakan suatu teknologi yang yang diterapkan
pada suatu proses kegiatan untuk mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan dari
kegiatan tersebut. Teknologi tersebut dapat berupa teknologi dalam proses kegiatan dan
teknologi yang mengolah sisa dari kegiatan (limbah). Selain mengolah limbah, memanfaatkan
kembali limbah yang dihasilkan merupakan cara yang efektif untuk mengurangi pencemaran,
limbah dimanfaatkan menjadi bahan baku suatu produk yang mempunyai nilai ekonomi atau
limbah dimanfatkan sebagai sumber energy, pemanfaatan limbah adalah memperpanjang daur
hidup dan manfaat suatu materi. Penerapan suatu sistem atau teknologi pada suatu proses yang
dapat mencegah atau memperkecil terjadinya limbah merupakan cara yang sangat efektif dalam
mengurangi terjadinya pencemaran air. Selain itu cara ini juga menimbulkan efisiensi dalam
suatu proses sehingga menimbulkan implikasi ekonomi bagi kegiatan tersebut.
Dari sisi regulator, penetapan suatu standar dalam pengendalian pencemaran
merupakan salah satu solusi yang cukup efektif. Standar memberikan arahan bagi pihak-pihak
pelaku kegiatan untuk melakukan pengelolaan lingkungan sehingga dapat meminimalkan
beban yang masuk kelingkungan yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan khususnya
lingkungan perairan. Standar-standar tersebut dapat berupa baku mutu suatu suatu air limbah
(effluent), baku mutu suatu perairan (stream), dan standar pengelolaan lingkungan suatu
kegiatan.
Perencanaan tata ruang wilayah memberikan peranan yang sangat penting dalam upaya
pengendalian pencemaran, dalam perencanaan tersebut harus mempertimbangkan daya dukung
dan daya tampung lingkungan, jika daya dukung dan daya tampung lingkungan terlampaui oleh
kegiatan didalamnya maka kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi beban pencemar yang
masuk pada lingkungan akan berkurang dan akan menimbulkan pencemaran dan kerusakan
lingkungan.
Fungsi pelaksanaan pengelolaan linkungan yang dilakukan oleh kegiatan yang ada pada
suatu wilayah memberikan peranan yang cukup besar dalam upaya pengendalian pencemaran,
pelaksanaan dari stakesholder terkait untuk melakukan pengelolaan sangat bergantung dari
pengendalian dan pengawasan dari pemerintah selaku regulator dalam pengelolaan lingkungan
dan kesadaran dari stakesholder pelaku kegiatan untuk melaksanakannya.
Ruang lingkup pengendalian pencemaran air pada Permen LH No 1 Tahun 2010 adalah
meliputi inventarisasi sumber pencemar, penetapan daya tampung beban pencemaran air,
penetapan kebijakan pengendalian pencemaran air yang dapat berupa perizinan, pemantauan
kualitas air, dan pengawasan pelaksanaan pengendalian pencemaran air oleh suatu kegiatan,
dan penyediaan data dan informasi berkaitan dengan pengendalian
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kegiatan pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air dilaksanakan secara terpadu dengan menggunakan pendekatan ekosistem.
Keterpaduan tersebut dilaksanakan melalui tahapan perencanaan, implementasi, pengamatan
dan evaluasi.
II. Tujuan
Mahasiswa mampu menghitung beban pencemaran yang mengalir ke badan air dari
aktivitas yang terjadi dan membuat rencana upaya penurunan beban pencemaran yang terjadi
III. Alat dan Bahan
3.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut.
1. Alat tulis
2. Kalkulator
3.2 Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
1. Data faktor emisi domestik rumah tangga
2. Data faktor non point source dari penggunaan lainnya
3. Data faktor emisi perikanan
4. Data faktor emisi pertanian
5. Data faktor emisi ternak
IV. Prosedur Praktikum
Prosedur perhitungan beban pencemaran adalah sebagai berikut.
1. Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Memilih daerah yang akan di hitung nilai beban pencemarannya.
3. Mencari data yang dibutuhkan pada data dengan tahun yang sama, yaitu 2014.
4. Melakukan perhitungan beban pencemaran melalui pendekatan emisi untuk masing-
masing kegiatan mengacu pada standar emisi persatuan kegiatan.
5. Menghitung total beban pencemaran yang masuk ke sungai persatuan waktu.

Anda mungkin juga menyukai