Anda di halaman 1dari 2

BENCI SEPAK BOLA

Muhammad Irham Fahrodzi Ashar

Aku sangat menyukai sepak bola sejak masih kecil, namaku Ihsan Besari biasa dipanggil Ican.
Sejak kecil aku selalu bermimpi untuk menjadi seperti idolaku Leo Messi. Aku pertama kali melihatnya di
layar kaca pada Piala Dunia tahun 2014. Aku melihat bola itu menari-nari di atas lapangan ulah kaki
mungilnya.

Suatu hari di lapangan yang kosong, aku dengan bola kesayanganku berlarian dan
menggelinding di atas tanah yang berlumpur. Tiba-tiba ada seseorang datang menghampiriku, dia
adalah bapakku.

“Sudah berapa kali bapak bilang jangan kau main bola,pulang kau sana!” kata bapak dengan nada suara
yang tinggi.

“Iya pak,Ican minta maaf.Ini Ican pulang,” ucapku kala itu.

Aku pun pulang dengan raut wajah penuh kecewa. Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku
berhenti ketika melihat poster idolaku mengangkat piala di sebuah tiang listrik. Setelah berdiri cukup
lama di depan poster itu, aku melanjutkan perjalananku menuju rumah. Sambil berjalan aku memainkan
bola kesayanganku hingga tiba di depan rumah.

“Assalamualaikum ibu,Ican pulang,”

“Waalaikum salam nak,kok tumben pulangnya cepat tidak seperti biasanya?” tanya ibu.

“Iya bu,tadi Ican disuruh pulang sama bapak waktu main bola dilapangan,” aku menjawab pertanyaan
ibu.

“Ohh Bapak,yasudah kamu mandi dulu sana kemudian makan siang. Ibu udah buatin ayam rica-rica
kesukaan kamu,”

Akupun bergegas masuk dan pergi mandi. Setelah mandi aku melihat adikku keluar dari
kamarnya, kami berdua memanggil ibu untuk makan siang bersama. Seusai makan adik menanyakan
bapak pergi kemana.

“Bapak sepertinya pergi mengajar di Masjid Al-Karim,” Ibu menjawab pertanyaan adikku.

Setelah mendengar jawaban ibu, adikku Kembali ke kamarnya. Aku yang masih berada di dapur
berinisiatif untuk membantu ibu mencuci piring. Setelah mecuci piring, aku pun Kembali ke kamarku. Di
dalam kamar, aku berbaring di atas kasur dan bertanya-tanya mengapa bapak tidak suka melihatku
bermain bola. Akupun memilih untuk tidur siang dengan penuh rasa penasaran.

Aku terbangun tepat sebelum adzan shalat ashar berkumandang, aku bergegas mengambil
wudhu kemudian menuju ke masjid. Aku yang masih dipenuhi rasa penasaran mencoba bertanya
kepada teman-teman bapak yang ada di masjid, namun tidak ada yang mengetahuinya. Setelah shalat
akupun pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku melihat sandal bapak sudah berada di depan
pintu. Akupun masuk ke rumah mencari bapak, namun sayang dia terlihat sangat lelah.
Keesokan harinya, ketika kami berkumpul di meja makan untuk sarapan. Aku melihat wajah
adikku yang pucat dan terlihat sangat lemas. Setelah sarapan, bapak dan ibu memutuskan untuk pergi
ke rumah sakit yang ada di kota.

“Ican, ibu sama bapak ma uke kota membeli sesuatu. Tolong jaga adikmu dengan baik!” pesan ibu
sebelum mereka berangkat.

Akupun dengan senang hati menjaga adikku di kamarnya. Saat ia terbaring, ia menunjukkan
sebuah poster. Di dalamnya berisi pengumuman untuk seleksi bakat bakat muda sebagai masa depan
timnas Indonesia nanti, namun aku melihat jadwal yang tertera dalam poster itu seleksinya akan dimulai
setengah jam lagi. Kebetulan seleksinya dilaksanakan di lapangan yang ada di kampung.

“Bang Ican kalau mau pergi,pergi aja bang. Aku bisa kok tinggal sendirian, kejar mimpi abang untuk jadi
seperti idola abang. Buat aku, bapak, dan ibu bangga bangga!” ucap adikku.

Aku yang penuh semangat kemudian bersiap-siap kemudian pamit meninggalkan adikku
sendirian di rumah. Aku pergi ke Lapangan berjalan kaki dengan membawa bola kesayanganku.
Sesampainya di lapangan aku langsung mendaftarkan diri kemudian mengikuti seleksi tersebut. Aku bisa
dibilang salah satu yang paling menonjol saat seleksi dan benar saja, aku mendapatkan sertifikat lolos
seleksi. Akupun sangat senang dan akan akan segera pulang kerumah untuk menunjukkan sertifikat itu
kepada adikku.

Sesampainya di rumah, aku melihat bapak dan ibu sudah menunggu di depan rumah. Dengan
penuh rasa senang aku pun menghampiri mereka, tetapi raut wajah ibu yang terlihat sedih membuatku
terdiam ketika berada di dekat mereka

“Kemana saja kau ini, kau lebih mementingkan bola mu itu dibanding nyawa adikmu?” ucap bapak
dengan penuh emosi.

Aku cuma bisa menangis setelah melihat adikku sudah meninggal. Aku yang tadinya penuh rasa
senang dan semangat menggebu-gebu untuk menunjukkan sertifikat seketika tertunduk meratapi
kenyataan bahwa adikku sudah tiada.

“Makanlah kau bola itu!” kata bapak sambal melemparkan bola kepadaku.

Sejak kejadian itu, aku masih belum bisa memaafkan diriku sendiri. Aku dengan berat hati harus
membakar sertifikat itu, aku merasa terpukul atas kepergian adikku. Sejak saat itu juga aku menendang
bola kesayanganku untuk terakhir kalinya dengan sangat kencang . Aku berjanji mulai sekarang, aku
tidak akan pernah mau bermain bahkan melihat bola lagi.

Anda mungkin juga menyukai