Anda di halaman 1dari 3

Kesempurnaan Ibadah Puasa

Oleh : Samsul Hadi, S.Ag


PAIF Kementerian Agama Kab. Pemalang

Keistimewaan bulan Ramadhan sebenarnya telah dikenal sejak masa jahiliyah oleh
berbagai bangsa dan agama. Bangsa-bangsa sebelum Islam telah mengisi keistimewaan
itu dengan berbagai ritual. Aktivitas berpuasa pun telah ada sejak sebelum kedatangan
Islam. Mereka berpuasa mulai pertengahan Sya’ban dengan tujuan menyambut
datangnya musim panas dan mendekatkan diri kepada tuhan mereka. Islam tidak saja
mengistimewakan bulan itu, melainkan juga memuliakannya, yaitu dengan
diwajibkannya umat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Dalam al-
Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183, disebutkan

ْ‫ﺻﯾَﺎ ُم َﻛﻣَﺎ ُﻛﺗِبَ َﻋﻠَﻰ اﻟﱠ ِذﯾْنَ ﻣِن‬


‫ﯾٰ ٓ ﺎ َ ﱡﯾﮭَﺎ اﻟﱠ ِذﯾْنَ اٰ َﻣﻧ ُْوا ُﻛﺗِبَ َﻋﻠَ ْﯾ ُﻛ ُم اﻟ ﱢ‬
‫َﻗ ْﺑﻠِ ُﻛ ْم ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻛ ْم َﺗ ﱠﺗﻘ ُْو ۙ َن‬

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Di leluhur kita, istilah puasa memiliki ragam sebutan sesuai dengan daerah dan wilayah
masing-masing. Namun, istilah shaum atau shiyam menjadi yang populer digunakan
lantaran kedua kata ini merupakan diksi asli dari perintah kewajiban berpuasa,
sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur’an. Disebutkan dalam buku al-Mu’jam al-
Mufahras li Alfadzil Quranil Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, bahwa kata
shaum tersebut satu kali dalam Al-Qur’an, yaitu pada Surat Maryam: 26,

‫َﻓ ُﻛﻠِﻲْ َواﺷْرَ ﺑِﻲْ َوﻗَرﱢ يْ َﻋ ْﯾ ًﻧ ۚﺎ َﻓ ِﺎﻣﱠﺎ ﺗَرَ ﯾِنﱠ ﻣِنَ ا ْﻟ َﺑﺷَرِ اَﺣَ ًد ۙا َﻓﻘ ُْوﻟ ِْٓﻲ‬
‫ِاﻧﱢﻲْ َﻧ َذرْ تُ ﻟِﻠرﱠ ﺣْ ﻣٰ ِن ﺻ َْوﻣًﺎ َﻓﻠَنْ ا ُ َﻛﻠﱢ َم ا ْﻟﯾ َْو َم ِاﻧْﺳِ ًّﯾ ۚﺎ‬

Maka makan, minum dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang,
maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.”

1
Puasa dalam ayat itu berarti diam dan menahan diri untuk tidak berbicara. Arti kata
tersebut telah dikenal sebelum Islam datang. Jadi, secara etimologi, shaum ataupun
shiyam mempunyai arti imsâk (menahan), shamt (diam tidak bicara), rukûd (diam tidak
bergerak), dan wuqûf (berhenti). Dengan demikian secara bahasa puasa berarti
meninggalkan atau tidak makan-minum, tidak berbicara, dan tidak melakukan aktivitas
apapun. Makna harfiah ini kemudian menjadi makna pakem yang melekat pada istilah
shaum dan shiyam sampai saat ini.
Dalam lingkup syari’at atau disiplin fiqih Islam, Shaum atau shiyam dimaknai sebagai
aktivitas menahan diri, dengan disertai niat, dari makan, minum, berhubungan badan,
dan segala hal yang membatalkan sejak terbitnya fajar sampai terbenam matahari.
Adapun kesempurnaan dan kelengkapan ibadah puasa itu adalah dengan menghindari
segala larangan dan tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang haram. Rasulullah saw
bersabda :

ْ‫ َﻓﻠَﯾْسَ ِ ﱠ ِ ﺣَ ﺎﺟَ ٌﺔ ﻓِﻲ أَن‬،ِ‫ﻣَنْ ﻟَ ْم َﯾ َدعْ ﻗ َْو َل اﻟزﱡ ورِ َواﻟ َﻌ َﻣ َل ِﺑﮫ‬
‫َﯾ َدعَ َط َﻌﺎ َﻣ ُﮫ َوﺷَرَ ا َﺑ ُﮫ‬

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan berbuat keji, Allah tidak butuh
orang itu meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari).
Dari beberapa keterangan tersebut jelaslah bahwa puasa itu bukan saja menahan diri
dari lapar, haus bahkan tak berhubungan suami istri, tapi juga mengendalikan diri dari
syahwat lain yang bisa merusak puasa. Misalnya, sedang puasa tapi suka menggunjing
orang, bertengkar, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, puasa yang bercampur dengan
perkataan atau perbuatan keji atau dusta, minimal dapat mengurangi puasa, bahkan
pada puncaknya tidak diterima Allah. Dengan demikian, shaum yang diiringi perkataan
dan perbuatan dusta, maka tidak akan dianggap oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ث‬
ِ ‫ﺻﯾَﺎ ُم ﻣِنَ اﻟﻠﱠﻐْ وِ َواﻟرﱠ َﻓ‬
‫ إِ ﱠﻧﻣَﺎ اﻟ ﱢ‬، ‫ب‬ ِ َ‫ﺻﯾَﺎ ُم ﻣِنَ اﻷَﻛْ لِ َواﻟﺷﱠر‬ ‫ﻟَﯾْسَ اﻟ ﱢ‬
‫ إِﻧﱢﻲ ﺻَﺎ ِﺋ ٌم‬، ‫ إِﻧﱢﻲ ﺻَﺎ ِﺋ ٌم‬: ‫ك َﻓ ْﻠ َﺗﻘُ ْل‬َ ‫ك أَﺣَ ٌد أ َْو ﺟَ ُﮭ َل َﻋﻠَ ْﯾ‬
َ ‫ َﻓﺈِنْ ﺳَﺎ ﱠﺑ‬،
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah

2
dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang
mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku
sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib
wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Kesimpulannya : Seseorang yang masih gemar melakukan maksiat di bulan Ramadhan
seperti berkata dusta, menfitnah, dan bentuk maksiat lainnya yang bukan pembatal
puasa, maka puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang
sempurna di sisi Allah. Semoga kita dijauhkan dari melakukan hal-hal semacam ini.
Aamiin

Anda mungkin juga menyukai