Anda di halaman 1dari 18

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DALAM PENURUNAN STUNTING

DI KECAMATAN MANDREHE KABUPATEN NIAS BARAT

TUGAS MATA KULIAH PERENCANAAN


DOSEN PENGAMPU :
Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si

OLEH
EKA PUTRA JAYA GULO, S.TP
NIM : 227003005

PROGRAM STUDI PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PEDESAAN


FAKULTAS SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam perencanaan suatu pembangunan sangat diperlukan perencanaan yang sangat
matang agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pembangunan. Menurut Todaro
(2006) bahwa kegagalan pembangunan atau perkembangan yang memprihatinkan
bersumber dari kegagalan proses perencanaan itu sendiri . Perencanaan pembangunan
daerah merupakan suatu proses penyusunan tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur
pemangku kepentingan, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu.
Pertanian merupakan sektor prioritas dan basis ekonomi bagi masyarakat perdesaan.
Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian
masyarakat karena sebagai penyedia bahan pangan untuk ketahanan pangan masyarakat, sebagai
instrument pengentasan kemiskinan, penyedia lapangan kerja serta sumber pendapatan
masyarakat. Menurut Sudalmi (1981) Secara luas pembangunan pertanian bukan hanya proses
atau kegiatan menambah produksi pertanian melainkan sebuah proses yang menghasilkan
perubahan sosial baik nilai, norma, perilaku, lembaga, sosial dan sebagainya demi mencapai
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat yang lebih baik.
Pertanian menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan mendorong pertumbuhan industri
hilir yang kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi secara nasional cukup besar. Pembangunan
pertanian salah satunya dengan pengembangan budidaya tanaman pangan khusus padi. Padi
sangat memegang peranan penting sebagai pemasok kebutuhan konsumsi penduduk Indonesia.
Kabupaten Nias Barat merupakan daerah otonomi baru (DOB) yang terbentuk pada
tahun 2008 sesuai dengan Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Kabupaten Nias Barat di Provinsi Sumatera Utara dengan luas daratan sebesar 520,34 Km.
Sesuai dengan Data BPS (2021) Kabupaten Nias Barat pada tahun 2021 memiliki jumlah
penduduk sebanyak 90.585 Jiwa yang terdiri dari 44.101 laki – laki atau sekitar 48,68 persen dan
46.484 perempuan atau sekitar 51,32 persen yang tersebar di 8 (delapan) Kecamatan dan 105
(seratus lima) Desa yang ada di Kabupaten Nias Barat dengan jumlah penduduk yang terbanyak
berada di Kecamatan Mandrehe yaitu 22.176 jiwa. Pada tabel dibawah ini dapat kita lihat
penyebaran jumlah penduduk Kabupaten Nias Barat menurut Kecamatan yang ada sebagai
berikut :

25.000

20.000

15.000

10.000
Series1
5.000

Gambar 1. Jumlah penduduk menurut Kecamatan yang ada di Kabupaten Nias Barat
Kabupaten Nias Barat sebagaian besar mata pencarian penduduknya adalah petani,
baik petani tanaman pangan maupun hortikultura. Kabupaten Nias Barat memiliki luas baku
sawah seluas 2.280 Ha yang tersebar di 6 (enam) Kecamatan diantara 8 (delapan) Kecamatan
yang ada, dapat dilihat pada pada gambar dibawah ini :

541 324
Sirombu
295 Lahomi

261 Mandrehe
385 Moro'o
475 Mandrehe Utara
Mandrehe Barat

Gambar 2. Luas Baku Sawah (Ha) yang ada di Kabupaten Nias Barat
Berdasarkan Badan Pusat Statistik Sumatera Utara (2021) Kabupaten Nias Barat
memiliki persentase stunting tertinggi diantara Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera
Utara sebesar 26,42 %. Persentase Penduduk miskin ini sangatlah ekstrim sehingga
menyebabkan masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yaitu makanan
pokok. Menurut Hayati (2009:18), makanan pokok adalah makanan yang dikonsumsi dalam
jumlah paling banyak dibandingkan jenis makanan lain dan mengandung zat tepung sebagai
sumber tenaga untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Makanan pokok di Kabupaten Nias
Barat yaitu beras yang diolah menjadi nasi. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut
menyebabkan prevalensi kasus gizi buruk dan angka stunting sebesar 43,96% (berdasarkan data
studi status gizi balita Indonesia, 2019). Berdasarkan Permenkes Nomor 29 Tahun 2019, Gizi
Buruk adalah keadaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi sangat kurus, disertai atau tidak
edema pada kedua punggung kaki, berat badan menurut panjang badan atau berat badan
dibanding tinggi badan kurang dari -3 standar deviasi dan/atau lingkar lengan atas kurang dari
11,5 cm pada Anak usia 6-59 bulan. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya
kekurangan gizi menahun (Wiku A, 2005). Penyebaran kasus gizi buruk terbesar berada di
wilayah Kecamatan Mandrehe sebanyak 10 orang dan total kasus gizi buruk per Juni 2022 di
Kabupaten Nias Barat sebanyak 23 orang. Berdasarkan latar belakang masalah ini maka
Penelitian ini diangkat dengan Judul Perencanaan Pembangunan Pertanian Dalam Penurunan
Stunting Di Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias Barat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini
adalah tinggi angka kasus gizi buruk dan stunting di Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias
Barat.

1.3 Tujuan Penelitian


Penilitian ini bertujuan untuk menyususn perencanaan dalam upaya pengembangan
sektor pertanian khususnya padi demi penurunan stunting di Kecamatan Mandrehe.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Dijadikan alat evaluasi dalam kerangka arah pembangunan daerah dalam penurunan
angka stunting dan gizi buruk di Kecamatan Mandrehe pada khususnya dan pada
umumnya di Kabupaten Nias Barat.
2. Sebagai bahan referensi bagi akademisi untuk lebih banhyak lagi melakukan kajian dan
penelitian tentang penurunan angka Stunting dan Gizi Buruk di Kecamatan Mandrehe
pada khususnya dan pada umumnya untuk Kabupaten Nias Barat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori


2.1.1 Teori Perencanaan Wilayah
Perencanaan wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yanhg
dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi
suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah tertentu, dengan
memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki
orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan
Bratakusumah, 2003).
Dalam upaya pembangunan wilayah, masalah yang terpenting yang menjadi perhatian
para ahli ekonomi dan perencanaan wilayah adalah menyangkut proses pertumbuhan ekonomi
dan pemerataan pembangunan. Perbedaan teori pertumbuhan ekonomi wilayah dan teori
pertumbuhan ekonomi nasional terletak pada sifat keterbukaan dalam proses input-
output barang dan jasa maupun orang. Dalam sistem wilayah keluar masuk orang atau barang
dan jasa relatif bersifat terbuka , sedangkan pada skala nasional bersifat lebih tertutup
(Sirojuzilam, 2007).
Perencanaan Wilayah merupakan satu-satunya jalan yang terbuka untuk menaikkan
pendapatan per kapita, mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesempatan
kerja (Jhingan, 2000). Perencanaan Pembangunan Daeraha dalah “Suatu usaha yang sistematik
dari pelbagai pelaku (aktor), baik umum (publik) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok
masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan
keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi dan aspek lingkungan lainnya dengan cara :
a. secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah ;
b. merumuskan tujuan dan kebijakan pembangunan daerah ;
c. menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi) ;
d. melaksanakannya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia sehingga peluang
baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara
berkelanjutan” (Solihin, D, 2005).
Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayahdapat dibagi
atas empat komponen yaitu :
a. Physical Planning (Perencanaan fisik). Perencanan yang perlu dilakukan
untukmerencanakan secara fisik pengembangan wilayah. Muatan perencanaan inilebih
diarahkan kepada pengaturan tentang bentuk fisik kota dengan jaringan infrastruktur kota
menghubungkan antara beberapa titik simpul aktivitas. Teori perencanaan ini telah
membahas tentang kota dan sub bagian kota secara komprehensif. Dalam perkembangannya
teori ini telah memasukkan kajian tentang aspek lingkungan. Bentuk produk dari
perencanaan ini adalah perencanaan wilayah yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota
Medan dalam bentuk master plan (tata ruang, lokasi tempat tinggal, aglomerasi,
danpenggunaan lahan).
b. Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro). Dalam perencanaan ini
berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat ekonomi wilayah
menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori ekonomi makro yang berkaitan
dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan,distribusi
pendapatan, tenaga kerja, produktivitas, perdagangan, konsumsi
daninvestasi. Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan
ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk produk dari
perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitaslembaga keuangan, kesempatan
kerja, tabungan).
c. Social Planning (Perencanaan Sosial). Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan,
kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja,wanita, anak - anak
dan masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk
membuat perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di daerah.
Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.
d. Development Planning (Perencanaan Pembangunan). Perencanaan ini berkaitan dengan
perencanaan program pembangunan secara komprehensif guna mencapai pengembangan
wilayah.
Fianstein dan Norman (1991) tipologi perencanaan dibagi atas empat macam yang
didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam perencanaan tersebut dapatdijelaskan sebagai
berikut:
a. Traditional planning (perencanaan tradisional). Pada jenis perencanaan ini perencana
menetapkan maksud dan tujuan untuk merubah sebuah sistem kota yangtelah rusak.
Biasanya pada konsep perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan
perbaikan pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional memiliki program inovatif
terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan menggunkan standard an metode yang
professional.
b. User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna). Konsep
perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk mengakomodasi
pengguna dari produk perencanaan tersebut, dalam hal ini masyarakat Kota. Masyarakat
yang menentukan produk perencanaan harus dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.
c. Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi). Pada perencanaan ini berisikan program
pembelaan terhadap masyarakat yang termarjinalkan dalam proses pembangunan kota
dalam hal ini adalah masyarakat miskin kota. Pada perencanaan advokasi akan
memberikan perhatian khusus terhadap melalui program khusus guna meningkatkan taraf
hidup masyarakat miskin.
d. Incremental Planning (Perencanaan dukungan). Pada perencanaan yang bersifat
dukungan terhadap sebuah proses pengambilan keputusan terhadap permasalahan-
permasalahan perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam
terhadap permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif
sebuah kebijakan.

2.1.2 Pembangunan Pertanian


Pembangunan dapat diartikan sebagai upaya atau proses perbaikan yang berkelanjutan
dan berkesinambungan pada suatu masyarakat tertentu atau keseluruhan masyarakat (Todaro,
2000). Pembangunan pertanian dapat dimaknai sebagai suatu proses yang memiliki tujuan untuk
menambah hasil produksi pertanian pada setiap pelaku ekonomi (produsen) yakni petani.
Pertambahan hasil pertanian pada akhirnya akan mempengaruhi peningkatan produktifitas dan
pendapatan petani (Mosher, 2002). Setiap upaya dalam usaha untuk mewujudkan pembangunan
pertanian, diperlukan andil besar dari pemerintah untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang
mendorong pembangunan pertanian sehingga dapat dirasakan oleh seluruh pihak dalam usaha
pertanian. Insentif berupa kemudahan untuk mendapatkan faktor input (masukan) dalam
produksi pertanian memungkinkan para petani dengan skala kecil untuk memperluas hasil
produksi pertanian (produktivitas) merupakan kewajiban bagi pemerintah (Todaro, 2000). Dalam
pemahaman yang luas, pembangunan pertanian bukan hanya sekedar proses atau kegiatan yang
dilakukan untuk bisa menambah produksi pertanian tetapi lebih dari itu, pembangunan pertanian
merupakan sebuah proses yang dapat melakukan perubahan sosial demi tercapainya
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Pembangunan pertanian harus menjadi fokus utama
pemerintah untuk dapat mewujudkan pembangunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh dan
sungguh–sungguh. Alasan dasar yang menjadi pertimbangan pada penempatan pembangunan
pertanian pada prioritas utama diantaranya adalah:
1. Dilihat dari sisi potensi sumber daya pertanian yang besar
2. Kontribusi hasil produksi pertanian terhadap pendapatan nasional
3. Nilai ekspor komoditas pertanian yang tinggi
4. Komposisi yang tinggi pada penduduk yang bekerja pada sektor pertanian.
5. Peran dan sumbangsih hasil produksi pertanian terhadap pemenuhan kebutuhan pangan
masyarakat.
6. Sektor unggulan pada masyarakat pedesaan (Hanani et al., dalam Yustika, 2006).
Sesuai dengan teori pembangunan pertanian menurut Yustika (2006), diketahui bahwa
jumlah masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada jenis sektor perekonomian tertentu
adalah dasar dari pertimbangnya pentingnya melakukan pembangunan ekonomi pada sektor
tersebut. Indonesia dengan predikat sebagai negara agraris membawa kesimpulan bahwa
pembangunan pertanian adalah tindakan mutlak pemerintah untuk segera diwujudkan. Sektor
pertanian menjadi tumpuan kehidupan masyarakat indonesia hampir mencapai angka 87,4 persen
dari total seluruh sektor ekonomi di Indonesia. Melihat dari sisi kesempatan kerja yang dapat
ditawarkan dari sektor pertanian, 64 persen proporsi tenaga kerja Indonesia dapat terserap pada
sektor pertanian. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat dibentuk berdasarkan fakta data
adalah pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang paling penting dalam perekonomian
Indonesia.
Pembangunan pertanian yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah untuk segera
diwujudkan sedikit terhambat karena beberapa kebijakan yang tidak mendukung. Kerugian
petani akibat kebijakan impor beberapa komoditas pertanian yang pernah dilakukan pihak swasta
merupakan contoh salah satu kasus penghambat pembangunan pertanian (Yustika, 2006). Hal
tersebut tidak sejalan dengan asas pembangunan pertanian yang berusaha membuat masyarakat
petani berada pada kondisi yang lebih sejahtera. Pembangunan pertanian pada prosesnya tidak
pernah bersih dari setiap permasalahan yang akan menghambat proses pencapaian tujuan
kesejahteraan masyarakat petani. Masalah dasar yang menjadi penghambat pelaksanaan
pembangunan pertanian diantaranya adalah:
1. Komposisi besar masyarakat yang berada pada bidang usaha sektor pertanian dan
terpusatnya kegiatan ekonomi membuat nilai pendapatan menjadi kecil. Produktifitas
hasil pertanian menjadi hal yang membuat pembangunan pertanian sulit dilaksanakan
tanpa hambatan.
2. Pendapatan yang sulit untuk ditingkatkan pada masing–masing individu pelaku usaha
sektor pertanian. Produktifitas yang rendah membuat pendapatan perkapita yang diterima
masing-masing petani menjadi relatif rendah. Penyelesaian masalah produktifitas melalui
analisis faktor produksi perlu dilakukan lebih mendalam (Prayitno, 1996).
Kurangnya penyediaan prasarana pemasaran, sifat tradisional dalam bercocok tanam,
teknologi dan pengetahuan yang rendah oleh petani, serta kesulitan dalam pemenuhan faktor
masukan (input) produksi pertanian merupakan beberapa hal sebagai katup pemicu rendahnya
nilai produktifitas dari hasil pertanian (Prayitno, 1996). Perhatian dan keseriusan dari Pemerintah
Daerah sebagai pemegang hak otonomi untuk menetapkan kebijakan guna meningkatkan
pembangunan pertanian harus mulai dipersiapkan. Aksi Pemerintah Daerah dapat dimulai
dengan melakukan peningkatan prasarana petani, bahkan sampai pada titik pemberian subsidi
untuk mendapatkan faktor masukan (input) yang lebih baik meliputi bibit pertanian, pupuk
pertanian dan alat–alat pertanian yang modern. Bentuk aksi Pemerintah Daerah tersebut
memungkinkan untuk dapat terciptanya peningkatan pendapatan masing–masing petani di
pedesaan.
Dalam setiap upaya pembangunan pertanian, konsekuensi secara linier yang harus siap
dilaksanakan adalah pembentukan kebijakan–kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kepada
masyarakat petani. Kebijakan–kebijakan dalam ruang lingkup pembangunan pertanian secara
prioritas utama tercakup dalam hal insentif terhadap faktor input produksi petani. Insentif–
insentif dan kesempatan usaha ekonomi pertanian yang mudah, memungkinkan masyarakat
petani untuk meningkatkan nilai produktifitas dan berimbas pada peningkatan jumlah pendapatan
yang diterima (Todaro, 2000).
Syarat yang harus terpenuhi dalam upaya pembangunan pertanian menurut A.T Mosher
(1966) terdapat lima persoalan. Ketika salah satu syarat dalam pembangunan pertanian tidak
terpenuhi dan tidak terlaksana dengan baik maka upaya pembangunan pertanian dalam suatu
masyarakat petani dianggap telah mengalami kegagalan. Berikut adalah lima syarat mutlak
pembangunan pertanian:
1. Tersedianya tempat pemasaran hasil produksi pertanian.
2. Penggunaan tekhnologi dalam proses produksi pertanian yang terus berkembang dan
maju.
3. Kemudahan mendapatkan faktor input dan alat–alat produksi pertanian.
4. Terdapat stimulus positif bagi petani untuk melakukan proses produksi pertanian.
5. Sarana transportasi dan pengangkutan bagi pemasaran hasil pertanian (Mubyarto, 2002).
Sesuai dengan syarat mutlak keberhasilan pembangunan pertanian yang
dikemukakan oleh A.T Mosher (1966) maka dalam upaya pembangunan pertanian yang sukses
dan sesuai tujuan harus memperhatikan:
Pertama, Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004
dilimpahkan hak otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sesuai dengan
kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
bertanggung jawab penuh pada keberhasilan pembangunan pertanian. Dukungan Pemerintah
Daerah dapat berupa pemberiaan kesempatan yang mudah bagi petani untuk mendapkan faktor
masukan (input) untuk setiap proses produksi pertanian. kemudahan yang ditawarkan dapat
melalui pengadaan dana yang berupa bantuan benih, bantuan pupuk dan alat-alat pertanian yang
disubsidi.
Kedua, prioritas sektor pertanian dalam upaya pengenaan strategi kebijakan
pembangunan ekonomi masyarakat. Sektor industri yang berkembang di dalam suatu daerah
dapat dijadikan sebagai mitra untuk melaksanakan pembangunan pertanian. Langkah yang dapat
diambil adalah dengan melalui penggunaan hasil produksi pertanian untuk dipergunakan sebagai
bahan baku bagi produksi sektor industri. Dengan demikian, perkembangan sektor pertanian
akan berimbas positif pada perkembangan sektor industri. Begitu pula sebaliknya, perkembangan
sektor industri akan ikut mengkatrol perkembangan sektor pertanian.
Ketiga, pengurangan adopsi teknologi dari negara atau dari daerah lain.
Ketergantungan yang dirasakan masyarakat petani dalam suatu daerah terhadap daerah lain
dalam hal penggunaan tekhnologi pertanian merupakan awal dari tersumbatnya keberhasilan
pembangunan pertanian. Upaya untuk menciptakan sebuah sistem pertanian baru yang tidak
tergantung pada teknologi yang berasal dari luar negeri atau luar daerah perlu untuk segera
diwujudkan. Resiko terburuk yang harus ditanggung masyarakat petani ketika menggunakan
teknologi yang bukan berasal dari daerah mereka sendiri adalah kegagalan panen dan
tanggungan beban finansial yang semakin luas.
Keempat, posisi petani adalah sumber informasi yang akurat dan tepat. Pengenaan
strategi kebijakan pembangunan pertanian wajib hukumnya untuk disesuaikan dengan
permasalahan masyarakat petani dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya petani.
Perbedaan permasalahan dan perbedaan karakteristik masing–masing masyarakat petani dalam
suatu daerah menjadi dasar penentu pembuatan kebijakan pembangunan pertanian yang dibeda–
bedakan setiap daerah. Kebanyakan kasus, Pemerintah Daerah selaku pemegang hak otonom
cenderung menerapkan strategi kebijakan pembangunan pertanian berdasarkan data permukaan
tanpa pernah perduli untuk masuk lebih dalam mengetahui akar permasalahan sektor pertanian
kepada masyarakat petani yang bersangkutan.
Kelima, konsep ekonomi berkelanjutan perlu untuk tetap ditanamkan pada setiap perilaku
produksi dalam sektor pertanian. Kelestarian alam dan seluruh sumber daya yang digunakan
dalam setiap proses produksi sektor pertanian membuat sebuah jaminan yang pasti tentang
kemanfaatan dimasa yang akan datang. Keseriusan untuk memperhatikan lima hal seperti yang
dikemukakan di atas dengan menggunakan dasar syarat mutlak pencapaian pembangunan
pertanian oleh A.T Mosher (1966) merupakan kunci sukses untuk mencapai pembangunan
pertanian. Pembangunan pertanian yang berhasil akan mampu meningkatkan kesejahteraan
petani melalui peningkatan produktifitas dan pendapatan.

2.1.3 Stunting dan Gizi Buruk


Stunting merupakan sebuah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, hal ini menyebabkan adanya gangguan di
masa yang akan datang yakni mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan
kognitif yang optimal. Anak stunting mempunyai Intelligence Quotient (IQ) lebih rendah
dibandingkan rata – rata IQ anak normal (Kemenkes RI, 2018).
Stunting didefinisikan sebagai keadaan dimana status gizi pada anak menurut TB/U
dengan hasil nilai Z Score = <-2 SD, hal ini menunjukan keadaan tubuh yang pendek atau sangat
pendek hasil dari gagal pertumbuhan. Stunting pada anak juga menjadi salah satu faktor risiko
terjadinya kematian, masalah perkembangan motorik yang rendah, kemampuan berbahasa yang
rendah, dan adanya ketidakseimbangan fungsional (Anwar, Khomsan, dan Mauludyani, 2014).
Stunting menjadi masalah gagal tumbuh yang dialami oleh bayi di bawah lima tahun
yang mengalami kurang gizi semenjak di dalam kandungan hingga awal bayi lahir, stunting
sendiri akan mulai nampak ketika bayi berusia dua tahun (Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, 2017). Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Schmidt bahwa
stunting ini merupakan masalah kurang gizi dengan periode yang cukup lama sehingga muncul
gangguan pertumbuhan tinggi badan pada anak yang lebih rendah atau pendek (kerdil) dari
standar usianya (Schmidt, 2014).
Status gizi pada seorang balita (1 – 5 tahun) membutuhkan nutrisi yang lebih banyak
karena pada masa inilah dianggap sebagai masa keemasan. Dalam masa ini seorang anak akan
mengalami perkembangan fisik, mental, dan akan menemukan berbagai hal yang baru, sehingga
terpenuhinya nutrisi pada masa ini sangatlah berperan penting (Hasdianah, Siyoto, &
Peristyowati, 2014).
Penilaian status gizi pada dasarnya bisa dilakukan dengan empat macam penilaian
yakni ada antropomentri, klinis, biokimia dan biofisik (Supriasa, 2012).
a. Pengukuran Antropomentri Antropomentri berasal dari kata antrophos yakni tubuh dan
metros yakni ukuran. Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang
berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi
seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh
seseorang (Supriasa, 2012).
b. Indeks Antropomentri
1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Indeks status gizi BB/U merupakan indeks
masalah gizi yang digambarkan secara umum. BB/U yang rendah umumnya
disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) ataupun sedang menderita diare serta
penyakit infeksi lainnya (masalah gizi akut) yang tidak dijadikan indikasi masalah
gizi kronis dan akut (Trihono, 2015).
2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Indeks status gizi berdasarkan TB/U ini dapat
menunjukan masalah gizi yang bersifat kronis. Hal ini disebabkan karena keadaan
yang berlangsung cukup lama seperti kemiskinan, perilaku hidup yang terbilang tidak
sehat, dan kurangnya asupan gizi yang didapatkan anak baik sejak di dalam
kandungan yang mengakibatkan seorang anak menjadi pendek (Trihono, 2015). 3)
Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Indeks BB/TB memberikan indikasi
terhadap masalah gizi akut yang terjadi pada peristiwa yang tidak lama seperti adanya
wabah penyakit dan kekurangan makanan yang akan mengakibatkan seseorang
nampak kurus (Trihono, 2015).
Cara Pengukuran Antopomentri Pengukuran berat badan, panjang/tinggi badan
dimaksudkan untuk bisa mendapatkan data status gizi sebuah penduduk (Riskesadas, 2007).
Pengukuran Panjang Badan (PB) dapat digunakan bagi anak usia 0 – 24 bulan
dengan pengukuran terlentang, jika pengukuran pada usia anak 0 – 24 bulan dilakukan secara
berdiri maka pengukuran dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm. Sedangkan untuk pengukuran
Tinggi Badan (TB) dapat digunakan bagi anak dengan usia diatas 24 bulan, jika pada usia diatas
24 bulan pengukuran dilakukan dengan cara terlentang maka dikoreksi dengan mengurangkan
0,7 cm (Kemenkes RI, 2010).
a. Pengukuran Tinggi Badan Pengukuran tinggi badan ini dilakukan pada responden yang
sudah bisa berdiri. Pengukuran tinggi badan (microtoise) yang mempunyai kapasistas
ukur hingga 2 meter dengan ketelitian 0,1 cm (Riskesdas, 2007).
b. Persiapan Pengukuran Tinggi Badan
1. Menggantungkan bandul benang untuk memasang microtoise di dinding sehingga
dapat tegak lurus.
2. Letakan alat pengukur di lantai yang datar tidak jauh dari keberadaan bandul dan
menempel pada dinding. Pastikan dinding rata dan tidak ada lekukan maupun
tonjolan.
3. Tarik papan penggeser tegak lurus ke atas sehingga dapat sejajar dengan benang
berbandul yang tergantung. Tarik hingga angaka pada jendela baca menunjukan
angka 0 (nol). Rekatkan dan lakban pada bagian atas microtoise.
4. Menghindari adanya perbuahan posisi pita berikan perkeat atau lakban pada posisi 10
cm dari bagian atas microtoise.
c. Prosedur Pengukuran Tinggi Badan
1. Meminta responden untuk melepas alas kaki (sepatu/sandal), topi (penutup kepala).
2. Memastikan bahwa alat geser berada diposisi atas.
3. Meminta responden untuk berdiri tegak di bawah alat geser.
4. Posisikan kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat dan tumit menempel pada
dinding dimana microtoise terpasang.
5. Pastikan pandangan lurus kedepan dan posisi tangan tergantung bebas.
6. Menggerakan alat geser hingga menyentuh bagian atas kepala responden, pastikan
pada bagian tengah kepala. Dengan catatan bahwa bagian belakang alat geser tetap
menempel dinding.
7. Baca hasil tinggi badan pada bagian jendela baca ke arah angka yang lebih besar (ke
bawah). Pembaca tepat berada di depan jendela baca pada garis merah, sejajar dengan
mata petugas.
8. Pencatatan dilakukan dengan ketelitian hingga satu angka dibelakang koma (0,1 cm)
seperti contoh 157, 3 dan 163,9.
d. Klasifikasi Status Gizi Buruk
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi
Indeks Status Gizi Z Score
BB/U Gizi Buruk Zscore < 3,0 SD
Gizi Kurang Zscore - 3,0 SD s/d Zscore < -2,0 SD
Gizi Baik Zscore -2,0 SD s/d 2,0 SD
Gizi Lebih Zscore > 2,0 SD
TB/U Sangat pendek Zscore <-3,0 SD
Pendek Zscore - 3,0 SD s/d < -2,0 SD
Normal Zscore -2,0 SD s/d 2 SD
Tinggi Zscore >2 SD
BB/TB Sangat Kurus Zscore <-3,0 SD
Kurus Zscore - 3,0 SD s/d < -2,0 SD
Normal Zscore -2,0 SD s/d 2,0 SD
Gemuk Zscore >2,0 SD
Sumber : Kepmenkes No. 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropomentri penilaian
status gizi anak
2.2 Hasil Penelitian Terdahulu
Berikut beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini :
Arifin, dkk (2012) menyatakan bahwa produktivitas tertinggi dalam pertanian di
kabupaten Wonosobo adalah tanaman sayuran. Jenis komoditas tanaman yang dapat
dikembangkan adalah komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan kompetitif dan
komparatif.
Ramlawati (2020) menyatakan bahwa Salah satu pengoptimalan sumber daya guna
menunjang pembangunan wilayah kecamatan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
komoditi-komoditi pertanian sehingga strategi pembangunan wilayah kecamatan di Kabupaten
Tolitoli di sektor pertanian dapat diarahkan pada prioritas pengembangan komoditi pertanian
basis yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan keseimbangan wilayah kecamatan. Penentuan
prioritas pengembangan komoditi pertanian.
Rini Archda Saputri (2019) menyatakan bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa,
selain program-program yang berasal dari pemerintah pusat, Kabupaten Bangka dan Bangka
Barat telah memiliki program-program inovasi sendiri dalam upaya percepatan
penurunan/penanggulangan stunting di daerahnya. Kesimpulannya, ada hal yang harus diperbaiki
agar program/kegiatan yang dilakukan bisa lebih efektif menurunkan stunting adalah dengan
melakukan pendataan secara terpadu sehingga program atau kegiatan yang dilakukan bisa tepat
sasaran dan efektif dalam menurunkan stunting. Hal tersebut karena selama ini pendataan belum
dilakukan secara terpadu, sehingga balita stunting tidak teridentifikasi secara jelas, hanya berupa
data gambaran umum saja, tidak berdasarkan nama, alamat balita stunting tersebut.
Arum Fitria Ardiyani (2019) yang penelitian tesisnya berjudul Peran IMP Dalam
Mengatasi Masalah Stunting di Kampung KB „Ngudi Kencana‟ Desa Kalitinggar Kidul
Kecamatan Padamara Kabupaten Purbalingga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
IMP (Institusi Masyarakat Pedesaan) telah melaksanakan 6 (enam) peran baktinya untuk
menurunkan angka stunting di wilayah. Keenam peran bakti tersebut adalah pengorganisasian;
pertemuan; KIE dan Konseling; pencatatan, pendataan, dan pemetaan sasaran; pelayanan
kegiatan; dan kemandirian.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data


3.1.1 Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data kuantitatif, data kuantitatif yaitu data
– data yang bias diukur, diberi nilai numerik dan dihitung yang bersumber dari hasil observasi
dan pengukuran yang berbentuk atau terdapat perhitungan angka yang dilakukan oleh instansi
Pemerintah. Adapun penjelasan data – datanya sebagai berikut :
a. Data Primer adalah sumber data yang dikumpulkan secara langsung melalui sumber
utama melalui observasi dan wawancara langsung kepada petani dan masyarakat
b. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari data yang telah ada. Dalam penelitian
ini menggunakan data – data dari instansi Pemerintah yang terkait.
3.1.2 Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini berdaasarkan time series yaitu dari tahun ke tahun.
Analisa ini diperoleh dari :
a. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias
b. Badan Perencanaan, Penelitian dan Pembangunan Daerah Kabupaten Nias Barat
c. Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Barat
d. Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kabupaten Nias Barat
e. Dinas Sosial Kabupaten Nias Barat

3.2 Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Populasi dapat didefinisikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau
subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dari definisi diatas, maka penelitian ini tidak
menggunakan teknik populasi melainkan mengunakan teknik time series dari tahun ke tahun.
Data–data tersebut terdapat di Dinas Kesehatan kabupaten Nias Barat dan instansi – instansi
terkait yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang di miliki oleh populasi
tersebut atau sebagian dari populasi yang diteliti. Berdasarkan pengertian di atas pengambilan
data dalam penelitian ini tidak menggunakan teknik sampling melainkan menggunakan teknik
time series yang di ambil dari tahun ke tahun, dalam penelitian ini peneliti mengambil data dari
tahun pertahun. Data tersebut di ambil dari instansi – instansi pemerintah yang ada
sangkutpautnya dengan apa yang akan di teliti oleh peneliti seperti, dinas pertanian dan badan
pusat statistik Kabapaten Nias Barat.

3.3 Desain Penelitian


Penelitian menggunakan metode analisis shift share, Location Quotient (LQ). Analisis
shift share digunakan untuk mengetahui komoditas – komoditas tanaman pangan yang memiliki
keunggulan kompetitif di Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias Barat sedangkan hasil analisis
Location Quetient (LQ) dapat diketahui komoditas – komoditas yang memiliki keungulan
komparatif di Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias Barat. Dari hasil analisis Shift Share dan
Location Quotient (LQ) akan diketahui komoditas-komoditas tanaman pangan yang dapat
dikembangkan di Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias Barat. Komoditas tanaman pangan yang
dapat dikembangkan di kecamatan Mandrehe adalah komoditas tanaman pangan yang memiliki
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif atau salah satunya.

3.4 Teknik Pengambilan Data


Teknik pengambilan data dalam penelitian ini yaitu mengambil data pada instansi –
instansi pemerintah di Kabupaten Bangkalan seperti badan pusat statistik Kabupaten Nias dan
instansi pemerintah lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan peneliti tulis atau
teliti, yang kemudian akan di ambil data yang akan di olah menjadi data yang peneliti inginkan
untuk di teliti sesuai variabel variabel penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Solihin Wahab. (2005). Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara.
Adisasmito, Wiku. 2008. Sistem Kesehatan. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Archibugi. F., 2008. Pengantar Perencanaan Regional. From the Political Debate to the
Methodological Reconstruction.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias. 2021. Nias Barat Dalam Angka. Diakses dari
https://niasbaratkab.bps.go.id/. Pada tanggal 22 Desember 2022.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2020. Studi Status Gizi Balita Terintegrasi Susenas 2019
Jhingan, M. L, 2002. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada
Hayati A. W. (2009). Buku Saku Gizi Bayi. Jakarta: EGC
Riyadi dan Bratakusumah, Deddy Supriyady. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah Strategi
Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah.PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Sirojuzilam. (2007). Analisis Ketimpangan Ekonomi Wilayah Barat dan Wilayah Timur Propinsi
Sumatera Utara dan Kaitannya Dengan Perencanaan Wilayah. Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Barat di
Provinsi Sumatera Utara ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4930).

Anda mungkin juga menyukai