Anda di halaman 1dari 4

Indonesia adalah Negara hukum siapa pun tidak boleh membantahkan akan hal itu, hal ini di dasari

pada pasal
1 ayat (3) UUD 1945 yang jelas menyebutkan Indonesia adalah Negara hukum, bukan lagi the rule of law
ataupun rechtstaat jadi seharusnya hukumlah yang menjadi panglima tertinggi di Negara tercinta ini.

Sistem hukum the rule of law lebih dikenal dikalangan Negara anglo saxon dengan salah satu ciri khasnya
adalah kedudukan yang sama didepan hukum atau equality before of the law. Sedangkan rechtstaat lebih
dikenal di Negara Eropa kontinental dengan salah satu cirinya adalah adanya peradilan administrasi yang
berdiri sendiri. Di Indonesia sendiri mengadopsi keduanya, dengan adanya peradilan administrasi yang mandiri
yang diatur oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, dan menjamin kedudukan yang sama di depan hukum
yang dijelaskan oleh pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Permasalahan di negara ini, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan hukum semakin banyak terjadi.
Tindakan pelanggaran hukum yang paling sering terjadi adalah perbuatan kriminal. Tingkat kriminalitas yang
semakin tinggi tentunya harus mendapatkan perhatian yang serius seperti penegakan hukum yang sungguh-
sungguh untuk dapat mengatasinya. Sebenarnya negara ini sudah memiliki instrumen yang cukup baik untuk
mengatasi hal tersebut. Negara ini sudah memiliki penegak hukum yang bisa dikatakan mumpuni meskipun
masih banyak kekurangan disani sini. Menurut keilmuan hukum, ada hukum pidana yang dapat digunakan
sebagai ilmu untuk mengatasai persoalan tersebut.

Hukum Pidana sebenarnya merupakan istilah yang mempunyai banyak pengertian.Penjelasan terhadap
pengertian hukum pidana dirasa sangat urgen, oleh kerena itu istilah hukum pidana merupakan istilah yang
mempunyai lebih dari satu makna. Hukum pidana dapat didefinisikan sebagai bagaian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk

● Menentukan Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai sanksi atau ancaman yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.
● Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah menggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
● Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang dissangka telah melanggar larangan tersebut.

Sementara pengertian hukum secara keseluruhan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau
kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama yang dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Orang yang melanggar
peraturan akan dikenakan hukuman sesuai dengan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Segala
peraturan tentang pelanggaran dan kejahatan diatur oleh Hukum Pidana. Hukum Pidana ini termasuk dalam
ranah hukum publik yang artinya hukum pidana mengatur hubungan antara warga Negara dengan
menitikberatkan kepada kepentingan umum atau kepentingan publik.

Terkait dengan penjatuhan pidana atau pengenaan pidana, tentunya tidak lain adalah berbicara mengenai
sanksi pidana. Dalam hal ini hukum pidana memiliki beberapa jenis sanksi pidana yang diatur di dalam pasal
10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satunya yang paling berat adalah pidana mati.
Sependek pengetahuan penulis sampai saat ini pidana mati masih diberlakukan dalam sistem hukum di
Indonesia. Meskipun terdapat pro dan kontra terhadap penerapan pidana mati tersebut. Banyak kalangan
bahkan dari ahli hukum sendiri terdapat perbedaan pendapat, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan
penerapan pidana mati.

Berbagai macam alasan yang mereka kemukaan terkait dengan setuju dan tidaknya pidana mati. Ada yang
berasalah setuju untuk memberikan efek jera yang jitu, ada yang mengatakan setuju supaya tidak timbul atau
muncul penjahat potensial, sehingga tujuan hukum pidana bisa tercapai dengan baik. Selain itu ada juga yang
berasalah hukuma mati sah-sah saja karena memang masih berlaku di negara ini. Kemudian dari pihak yang
tidak setuju lebih sering beralasan karena hukuman mati bertentangan dengan HAM, ada juga yang
mengatakan hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi kita. Memang sudah diatur bahwa dalam pasal 28
A UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”. Dengan demikian berarti memang tidak lah berlebihan jika pihak yang menolak hukuman mati
karena bertentangan dengan Konstitusi.

Jika kita hanya memahai pasal 28 A mungkin hal tersebut bisa jadi benar. Untuk itu sangat wajar jika sangat
banyak pro dan kontra terkait hukuman mati ditinjau dari Konstitusi. Akan tetapi jika kita tinjau lebih luas lagi
khususnya dari segi hukum ketatanegaraan, ada pihak yang sudah pernah mengajukan uji review di Mahkamah
Konstitusi terkait dengan apakah hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi atau tidak. Terhadap uji
review tersebut akhirnya lahirlah Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. Pengujian tersebut diajukan oleh pihak
yang beberapa diantaranya adalah seorang terpidana mati kasus narkotika yang hendak dieksekusi. Dalam
putusan tersebut dari pihak pemohon sendirir intinya adalah meraka menganggap bahwa hukum mati sangat
bertentangan dengan Konstitusi.

Pemberlakuan hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran terhadap Konstitusi. Sehingga mereka mengatakan
bahwa dengan adanya pasal 28 A terasebut harus lah hukuman mati ditiadakan. Sehingga sudah tidak ada lagi
hal yang bertentangan dengan Konstitusi. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa Konsitusi itu adalah
hukum yang tertinggi, hendaknya peraturan yang berada dibawahnya yang dinilai melanggar atau bertentangan
dengan Konstitusi untuk supaya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Memang secara hukum,
sah-sah saja mereka mempunyai argument yang demikia, tetapi pada kenyataannya MK mengatakan melalui
putusannya tersebut bahwa hukuman mati tidak lah bertentangan dengan Konstitusi. Meskipun di dalam
putusan tersebut terdapat perbedaan pendapat diantara para hakim.

Bisa disimpulkan disini bahwa perbedaan pendapat terkait dengan hukuman mati yang sudah terjadi berabad-
abad, bahkan dalam persidangan di MK antara para hakim juga terdapat perbedaan pendapat dengan
argumentasi masing-masing. Tetapi putusan MK tetap lah harus dihormati. Meskipun kasus yang diajukan
adalah terkait dengan hukuman mati dalam tindak pidana narkotika, tetapi menurut penulis hal ini sudah dapat
dijadikan contoh terhadap pidana mati pada umumnya. Sudah jelas menurut MK bahwa pidana mati tidak
bertentangan dengan Konstitusi.

Sementara para hakim yang lain, memiliki perbedaan pendapat bahwa hukuman mati memang bertentangan
dengan Konstitusi. Mereka beralasan bahwa hukuman mati sudah jelas-jelas bertentangan dengan hak
seseorang untuk hidup, sedangkan mereka juga ada yang mengatakan bahwa secara filosofi moral Konstitusi
tidak memberikan wewenang kepada negara untuk memberlakukan hukuman mati. Selain itu, ada yang
berpendapat jika hukum pidana bukan lah hukum yang sempurna karena sering terjadi kesalahan dalam
penegakannnya, untuk itu hukuman mati hendaknya di dijatuhkan. Bahkan ada juga hakim yang berpendapat
bahwa tidak hanya hukuman mati yang ada di UU narkotika, tetapi seruluh hukuman mati yang ada di UU
mana pun harusnya dihapus karena sudah bertentangan dengan Konstitusi.

Indonesia sangat menghargai adanya perbedaan pendapat. Untuk itu sangat wajar jika di antara para pakar
hukum pun terjadi perbedaan pendapat. Apalagi bagi kita sebagai masyarakat luas dengan berbagai latar
belakang suku, dan agama, serta adat kebiasaan yang berbeda. Tentu aka nada banyak sekali perbedaan
pendapat, khususnya terkait dengan penrapan hukuman mati.

Secara subyektif penulis sendiri sebenarnya tidak setuju dengan pemberlakukan hukuman mati. Penulis setuju
dengan pendapat hakim yang berbeda pendapat dalam putusan a quo. Penulis merasa memang hukum pidana
yang sangat luhur dan mulia, tetapi dalam pelaksanaanya masih jauh dari kata “mulia”. Penulis melihat masih
banyak oknum penegak hukum yang secara terang-terangan “menjual” hukum untuk kepentingan pribadi
mereka.

Hal ini tentu sangat buruk bagi dunia penegakan hukum di Indonesia. Apa lagi jika terkait dengan pidana mati.
Jika penegak hukum salah, atau lalai atau tidak jeli, tetapi tersangka sudah dieksukusi mati, lalu bagaimana
semua ini dapat dipertanggungjawabkan? Apakah penulis sebagai seorang praktisi hukuk harus mengatakan
berarti penegak hukum telah melakukan delik “karena kelalaiannya sehingga menyebabkan hilangnya nyawa
seseorang”. Tentunya kan tidak lucu jika demikian. Penulis akan dianggap orang yang tidak paham hukum.
Tetapi kekawatiran ini lah yang penulis rasakan. Jadi menurut penulis penerapan hukuman mati bertentangan
dengan Konstitusi. Terkait dengan pro dan kontra terhadap hukuman mati. Hendaknya lebih baik kita semua
behati-hati dalam bertindak. Baik dari pihak yang setuju atau pun tidak semua mempunyai argumen masing-
masing yang penulis yakin itu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Anda mungkin juga menyukai