Anda di halaman 1dari 19

PARIWISATA SOSIOLOGI

PARIWISATA PARADOKS: PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME TEORI KRITIS


TERHADAP EKSPLOITASI BUDAYA DI BALI

Oleh
Tri Purna Gumelar
2281011031

PROGRAM STUDI MAGISTER PARIWISATA


FAKULTAS PARIWISATA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2023
LATAR BELAKANG

Teori sosial budaya menurut Syawaludin (2017) merupakan sebagai alat (instrument)
dalam menjelaskan realita/fenomena sosial. Sebagai alat analisis (tools of analysis) terhadap
fenomena sosial yang diamati sebagai sarana atau upaya peneliti untuk melakukan konstruksi,
rekonstruksi atau dekonstruksi teori terhadap realita/fenomena sosial yang diamati dengan
persyaratan: relevan (cocok, layak), aplikabel/manajebel (dapat dilaksanakan), replikan (dapat
di daur ulang), dan konsisten (runtut dan sistematik (Syawaludin, 2017). Adapun makna
budaya adalah sebuah konsep yang luas. Bagi kalangan sosiolog, budaya terbangun dari
seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan produk-produk yang dihasilkan secara
bersama, dan menentukan cara hidup suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi
dan dimiliki manusia akibat interaksi (Syawaludin, 2107).
Pengertian dari teori sosial budaya dapat dilihat melalui pendekatan dari teori tindakan
atau action theory menurut Talcott Parson (Syawaludin, 2017). Sosial budaya berdasarkan teori
tindakan ini terdiri dari empat komponen sebagai berikut: Sistem Budaya ‘Culture System’;
yang merupakan komponen yang abstrak dari kebudayaan yang terdiri dari pikiran-pikiran,
gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir dan keyakinan-keyakinan (lazim disebut
adati-stiadat). Di antara adat-istiadat tersebut terdapat “sistem nilai budaya”, “sistem norma”
Sistem Sosial ‘Social System’; terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia atau tindakan-tindakan
dari tingkah laku berinteraksi antar individu dalam bermasyarakat. Sebagai rangkaian tindakan
berpola yang berkaitan satu sama lain, sistem sosial itu bersifat kongkrit dan nyata
dibandingkan dengan sistem budaya. Sistem Kepribadian ‘Personality System’; soal isi jiwa
dan watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian individu dalam
suatu masyarakat walaupun satu sama lain berbeda-beda, namun dapat distimulasi dan
dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam sistem budaya dan dipengaruhi oleh pola-
pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan
proses pembudayaan selama hidup, sejak kecilnya. Terakhir, sistem Organik ‘Organic System’;
melengkapi seluruh kerangka sistem dengan mengikut-sertakan proses biologik dan bio kimia
ke dalam organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah.
Berbicara mengenai sistem sosial yang bersifat konkrit dan nyata, di masa saat ini
paham kapitalisme lanjutan telah mengakuisi negara berkembang untuk berorientasi pada motif
ekonomi, seperti menurut pendapat Marx yang menawarkan sebuah teori tentang masyarakat
kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar manusia. Ia yakin bahwa manusia pada
dasarnya produktif, artinya untuk bertaham hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan
alam. Dengan bekerja seperti itu mereka menghasilkan makanan, pakaian, peralatan,
perumahan dan kebutuhan lainnya. Dorongan bekerja tersebut diwujudkan secara bersama-
sama dengan orang lain (makhluk sosial). Kapitalisme pada dasarnya adalah rangkaian struktur
masyarakat yang membuat batasan pemisah antara individu dan proses produksi, produk yang
diproses orang lain, dan akhirnya memisahkan diri individu itu sendiri dari struktur sosial
lainnya. Inilah yang diistilahkan oleh Marx dengan konsep alienasi. Alienasi terjadi karena
kapitalisme telah berkembang menjadi system dua kelas, dimana sejumlah kecil kapitalis
menguasai proses produksi, produk dan jam kerja dari orang yang berkerja. Akhirnya menjadi
suatu penghacur struktur manusia sendiri melalui apa yang dinamakan olehnya penindasan
struktur kapitalisme yang saling berhadapan yaitu struktur sosial dengan struktur ekonomi
(Rirzer, 2005). Semangat kapitalisme terdiri dari tiga hal; motif memperoleh laba (profit
motive), hidup zuhud dan sederhana (ascetic orientation) semangat misi (ideas of calling).
Dalam konteks metode penelitian pandangan Weberian memberikan pengaruh terhadap konsep
kebudayaan yakni bahwa kebudayaan membentuk kehidupan ekonomi dan politik, karenanya,
setiap tindakan didalamnya bisa di analisis dengan cara vestehen (pemahaman) (Syawaludin,
2017).
Berbicara mengenai aktivitas kapitalisme gobal yang dilihat dari “positivisme makro”
yang telah berkontribusi menjadi katalisator utama dalam membangun makro ekonomi Bali
dan Indonesia. Dapat dilihat dari sektor pariwisata Bali yang telah menjadi laboratorium hidup
pariwisata Dunia. Pariwisata Bali berkembang sebagai pariwisata budaya yang didasari oleh
budaya yang menyatu dengan adat-istiadat hinduisme. Menurut Reisinger (Fyall, Garrod, and
Leask, 2003) Perspektif etnografi pariwisata budaya adalah “A genre of special interest tourism
based on the search for and participation in deep cultural experience, whether aesthetic,
intellectual, emotional, or psychological”. Sedangkan dari perspektif antropologi menurut
Fridgen (dalam Fyall, Garrod, and Leask, 2003) Pariwisata budaya adalah “Much more than
the rituals, ceremonies, dances residents might perform for tourist at cultural centres or visitor
attractions. The richer meaning of culture refers to those activities associated with many
private and unknown traditions that are part of the local person’s daily life.” Jadi, elemen
kebudayaan seperti handycrafts, gastronomy, traditions, history, music, dance, and
architecture, whether unmanaged or staged specially for visitors, can be major visitor
attractions (Reisinger; Fyall, Garrod, and Leask, 2003). Dimana dalam pengembangan
kepariwisataan di Bali didasarkan atas budaya Bali yaitu kebudayaan masyarakat Bali yang
dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu, sehingga segala bentuk kebudayaannya baik keseluruhan
gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusia, baik bersifat fisik
maupun nonfisik akan menyesuaikan dengan nilai-nilai tersebut yang dianut (Putra, 2021).
Pariwisata budaya yang kini menjadi branding utama pariwisata Bali awalnya
merupakan inisiatif pemerintah kolonial Belanda. Ketika pemerintah kolonial mempromosikan
Bali sebagai daya tarik wisata budaya, masyarakat Bali bukannya tinggal diam, tetapi ikut aktif
berkontribusi lewat kegiatan seni budaya dan kerajinan. Oleh karena itulah, branding (tak lagi
dicetak miring) pariwisata budaya Bali lebih tepat disebutkan sebagai hasil kolaborasi kekuatan
eksternal (kolonial) dan kekuatan internal (masyarakat). Kolaborasi itu berlanjut sampai
sesudah kemerdekaan dan dewasa ini. Bedanya terletak pada posisi dan peran pemerintah yang
berkuasa. Sesudah kemerdekaan, kekuatan eksternal itu tidak hadir sebagai pemerintahan
kolonial tetapi lewat berbagai entitas seperti investor dan perusahaan multinasional, seperti
jaringan manajemen hotel atau maskapai penerbangan.
Pada proses pengembangan pariwisata budaya di Bali, atraksi yang divisualkan seperti;
bidang seni pertunjukan (performing arts) dan seni rupa (visual arts), baik dari zaman kolonial
maupun zaman sesudah kemerdekaan hingga masa sekarang ini. Tradisi dan budaya seperti
seni pertunjukan dan seni rupa ini telah bergeser fungsi seiring dengan mobilitas global
kapitalis, yaitu pada proses produksi, distribusi dan konsumsi, atau dalam istilah pariwisata
disebut komodifikasi budaya. Menurut The Oxford English Dictionary (1989), istilah
komodifikasi diciptakan dan digunakan di dunia berbahasa Inggris saja pada pertengahan 1970-
an meskipun istilah ‘komoditas’ yang merupakan nenek moyangnya telah ada sejak abad
kelima belas. Komodifikasi didefinisikan sebagai ‘tindakan’ mengubah sesuatu menjadi, atau
menjadikan sesuatu sebagai, (sekadar) komoditas; komersialisasi suatu kegiatan, dan
sebagainya, yang tidak bersifat komersial’ (Kitiarsa, 2007:6). Pada prinsipnya, komodifikasi,
seperti kata komoditas, adalah usaha untuk mendapatkan nilai tukar (exchange values) dari
unsur kebudayaan yang sebelumnya hanya dianggap memiliki nilai guna (use values).
Contoh konkrit dapat dilihat salah satunya seperti pementasan tari di Bali Hotel bukan
saja bisa dilihat sebagai bentuk pariwisata budaya, tetapi juga merupakan contoh kolaborasi
antara manajemen hotel (eksternal) dan seniman Bali (internal). Hasil kolaborasi itu adalah
wisatawan terhibur, manajemen hotel dapat bisnis, kelompok kesenian banjar dapat upah
pentas. Seniman Bali yang awalnya berkesenian untuk kesenangan dan kegiatan upacara (use
values) akhirnya mendapat nilai tukar (exchange values). Seniman yang awalnya menari untuk
ngayah (pengabdian) saat upacara di pura atau untuk tontotan masyarakat, menjadi berkesenian
mayah (menerima upah). Bentuk kolaborasi pariwisata budaya seperti itu bermunculan lebih
banyak dalam perkembangan berikutnya dan membuat komodifikasi seni budaya berawal dan
menjadi keniscayaan (Putra, 2021).
Dorongan ke arah pariwisata budaya pun dilandaskan kekhawatiran akan terjadinya
komersialisasi berlebihan atas seni dan budaya, sesuatu yang sudah dikahwatirkan Spies dan
Bonnet tahun 1920-an/1930- an yang menggangu tatanan sistem sosial (Putra, 2021) Tahun
1970-an timbul kegelisahan di Bali akan ke-tidakjelasan bentuk-bentuk kesenian mana yang
boleh dan tidak boleh dipentaskan untuk kepentingan kepariwisataan. Seminar Seni Sakral dan
Profan di bidang kesenian digelar tahun 1971 untuk menetapkan mana yang bisa dipertunjukan
untuk kegiatan keagamaaan dan mana untuk hiburan. Saat itu ditetapkan tiga kategori seni,
yaitu seni wali, bebali, dan balih-balihan. Yang pertama adalah seni sakral yang dipentaskan
untuk kepentingan upacara di tempat tertentu, yang kedua semisakral, sedangkan yang terakhir
adalah hiburan yang bisa disajikan untuk wisatawan (Putra, 2021).
Namun dewasa ini, seiring dengan masyarakat rasional kontemporer yang kemudian
meng-komodifikasikan tari Wali sebagai produk pariwisatanya, tentu hal tersebut
menimbulkan polemik sebagian kalangan dan menganggu tatanan sistem sosial. Hal tersebut
sejalan dengan Pratheep (2017) yang menemukan bahwa kegiatan pariwisata hanya
memberikan dampak positif pada skala kecil dan pihak tertentu di masyarakat sedangkan
sebagian besar masyarakat ini berdampak negatif. Dia menemukan bahwa kegiatan pariwisata
meningkatkan distorsi sosial-budaya, mengancam adat tradisional di negara atau daerah,
mendorong perdagangan ilegal benda dan hewan bersejarah, mengkomersialkan dan
mengkomodifikasi budaya tradisional (Pratheep, 2017). Hal tersebut nampaknya menjadi
perhatian besar untuk bisa memberikan pandangan lain terkait komodifikasi sehingga
eksploitasi budaya yang berlebihan dapat direda dengan pemahaman lain. Penulis berpendapat
bahwa hal telah disebutkan sebelumnya mampu direda dengan menggunakan pandangan
literatur ilmiah sejalan dengan ilmu pengetahuan yang bergerak sangat cepat. Yaitu dengan
teori sosial kritis
Kepentingan teori sosial adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari
kekejaman struktur sosial menindas. Mereka menolak memisahkan analisis dari pertimbangan
atau fakta dari nilai. Teori Kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis,
untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris.
Teori kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman
kontekstual. Dengan demikian teori kritis nerupakan dialektika antara pengetahuan yang
bersifat transendental dan yang bersifat empiris (Hardiman, 1990: 30).
Dalam tulisan ini penulis akan menfokuskan pada teori kritis generasi kedua Habermas
dan preposisi postmodernisme sebagai sanggahan realita kontekstual pariwisata budaya di Bali
sebagai aktivitas kapitalisme lanjutan. Tiga tema besar yang mewarnai seluruh madzab
Frankurt adalah, pertama menetapkan kembali persoalan-persaoalan besar dalam filsafat
melalui program penelitian interdisipliner, kedua menolak pandangan-pandangan Marxisme
ortodoks, ketiga merumuskan teori masyarakat yang memungkinkan perubahan ekonomi,
budaya, dan kesadaran atau dengan kata lain, menyusun teori dengan maksud praktis. Di sinilah
secara epistemologi, aliran teori kritis berbeda dari positivisme dan humanisme (Hardiman,
1990: 43).
Merujuk pada topik diatas, penulis merumuskan dua masalah diantaranya:
1. Mengapa komodifikasi budaya pariwisata di Bali berkontribusi memberikan dampak
pada tatanan sosio dan budaya?
2. Bagaimana paradigma teori kritis dalam menyikapi komodifikasi budaya pariwisata di
Bali?
METODE PENELITIAN

Tulisan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan riset


kepustakaan (library research) atau systematic literature review. Apa yang disebut dengan riset
kepustakaan atau sering juga disebut studi pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian (Mestika, 2008) Sedangkan menurut Mahmud dalam bukunya Metode Penelitian
Pendidikan menjelaskan bahwa penelitian kepustakaan yaitu jenis penelitian yang dilakukan
dengan membaca buku-buku atau majalah dan sumber data lainnya untuk menghimpun data
dari berbagai literatur, baik perpustakaan maupun di tempat-tempat lain (Mahmud, 2011).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa penelitian kepustakaan tidak hanya
kegiatan membaca dan mencatat data-data yang telah dikumpulkan. Tetapi lebih dari itu,
peneliti harus mampu mengolah data yang telah terkumpul dengan tahap-tahap penelitian
kepustakaan. Dalam penelitian ini penulis menerapkan metode penelitian
kepustakaan/systematic literature review, karena setidaknya ada beberapa alasan yang
mendasarinya. Pertama bahwa sumber data tidak melulu bisa didapat dari lapangan.
Adakalanya sumber data hanya bisa didapat dari perpustakaan atau dokumen-dokumen lain
dalam bentuk tulisan, baik dari jurnal, buku maupun literatur yang lain. Kedua, studi
kepustakaan diperlukan sebagai salah satu cara untuk memahami gejala-gejala baru yang
terjadi yang belum dapat dipahami, kemudian dengan studi kepustakaan ini akan dapat
dipahami gejala tersebut. Sehingga dalam mengatasi suatu gejala yang terjadi, penulis dapat
merumuskan konsep untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang muncul. Alasan ketiga
ialah data pustaka tetap andal untuk menjawab persoalan penelitinya. Bagaimanapun,
informasi atau data empirik yang telah dikumpulkan oleh orang lain, baik berupa buku-buku,
laporan-laporan ilmiah ataupun laporan-laporan hasil penelitian tetap dapat digunakan oleh
peneliti kepustakaan. Bahkan dalam kasus tertentu data lapangan masih kurang signifikan
untuk menjawab pertanyaan penelitian yang akan dilaksanakan.
Dalam penetian ini penulis mencari tema yang berhubungan dengan socio-cultural
diversity, lalu menemukan bahwa tema mengenai teori sosial kritis penting untuk diulas
mengingat bahwa saat ini isu eksploitasi budaya ini menjadi persoalan budaya terhadap
pariwisata di Bali, dan penulis mengingat bahwa Bali merupakan cerminan pariwisata dunia
yang terlihat pada segi atraksi yang menonjol, diperkuat dengan pendaftaran tari tradisional
Bali sebagai warisan takbenda UNESCO, tari tradisional Bali diakui UNESCO sebagai
Itangible Cultural Heritage of Humanity. Penulis mencari sumber artikel ilmiah terkait di situs
ResearchGate, Elsevier dan Science Direct menggunakan kata kunci berupa “teori kritis”,
“socio-cultural study”, “kapitalisme” dan “postmodernisme”.
LANDASAN TEORI

Metode kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme
yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran
Frankfurt disebut sebagai ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”.
Teori ini mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari
manipulasi teknokrasi modern (Syawaludin, 2017).
Konsep rasionalitas menjadi pokok pembahasan yang sentral sejak generasi teori kritis,
Rasionalisasi yang dipakai weber untuk berbagai konteks, seperti: segi-segi tindakan,
keputusan dan pandangan-dunia sistematis dan yang terpenting adalah rasionalitas tindakan
Rasionalitas mengacu pada perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran-saranan
berdasarkan pilihan-pilihan yang tidak masuk akal dan sarana-sarana yang tidak efisien serta
mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan orientasi yang
terencana secara konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut. Analisis-analisis weber atas
rasionalisasi masyarakat telah dipakai oleh mazhab frankfurt untuk mengkritik bentuk-bentuk
rasionalitas yang menindas dalam masyarakat dewasa ini, apa yang mereka sebut rasionalitas
teknologis (Marcuse), rasio instrumental (Habermas) atau mitos (Adorno dan Hokeimer)
(Syawaludin, 2017).
Habermas membuka jalan baru bagi teori kritis dan sekaligus membuka harapan baru
bagi terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan oleh pencerahan/rasionalisasi, yaitu
kebebasan dan otonomi dengan melanjutkan program pendahulunya untuk menunjukkan sifat
ideologis dari saintis dan mengatasi positivisme dengan menunjukkan keterkaitan teori dan
praxis (Syawaludin, 2017). Habermas mengkritik Marx yang mereduksi praxis hanya sekedar
dimensi kerja dan menambahkan dimensi yang lain yaitu komunikasi. Jadi habermas
memahami praxis sebagai kerja dan komunikasi. Dengan menunjukkan dimensi lain dalam
praxis yaitu komunikasi, Habermas menunjukkan bahwa penindasan tak dapat bersifat
menyeluruh karena di dalam komunikasi masih ada kebebasan sehingga masih ada tempat bagi
rasio kritis. Dari Habermas, rasio mendapat pemahaman baru, yaitu sebagai kemampuan
linguistik manusia. Habermas menekankan paradigma komunikasi daripada kerja. Implikasi:
memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan
komunikatif yang menghasilkan pencerahan (Anom, 2021)
Berbicara tentang kritik modernitas berarti berbicara tentang masyarakat kapitalis dan
berbicara tentang politik dan kekuasaan karena Habermas hidup di era kapitalisme lanjutan
dimana politik menjadi dominan, berbeda dengan era Marx yang didominasi oleh ekonomi
dalam kapitalisme liberal. Habermas beranggapan bahwa kekuasaan seharusnya tidak hanya
dilegitimasi tetapi juga dirasionalisasikan. Habermas melihat rasionalisasi kekuasaan sebagai
masalah yang berkaitan dengan pengilmiahan politik dalam arti didasarkan pertimbangan-
pertimbangan ilmiah sepenuhnya yang belum terwujud saat ini.
Metode yang dikemukakannya dan sangat berpengaruh bagi metode penelitian sosial
adalah praksis kritis emansipatoris. Metode ini berupaya mengungkap faktor-faktor politis dan
ideologis apa yang menjadi penghambat komunikasi . Mendeskripsikan problem struktural lalu
memberikan solusi bagaimana mewujudkan emansipatoris dan mengubah keadaan tersebut
menjadi berpihak pada masyarakat. Kepentingan metode ini adalah emansipatoris dan
pembelaan dari berbagai dominasi dan penindasan.
Kedua, Teori sosial postmodern ekstrem, teori ini menyatakan bahwa masyarakat
moden telah digantikan oleh masyarakat postmodern. Menurutnya objek konsumsi merupakan
“sesuatu yang diorganisir oleh tatanan produksi” atau “perluasan kekuatan produktif yang
diorganisir” (Maksum, 2014: 337). Teori ini dudukung salah satunya oleh Jean Baudrillard.
Jean Baudrillard adalah sosiolog teori Postmodern paling radikal dan menimbulkan banyak
amarah dalam genre ini yang berfikiran mengenai keadaan sosial masyakarat saat ini yang
dipengaruhi oleh berbagai produksi yang memperlihatkan keadaan sesungguhnya masyarakat
itu (Ritzer & Goodman, 2009: 676).
Masyarakat saat ini tidak lagi didominasi oleh produksi, tetapi didominasi kepada
media dan siberanertika serta industri dan sebagainya. Di saat masyarakat telah didominasi
oleh kode produksi dan dikontrol olehnya. Maka hal ini bertujuan dari eksploitasi dan laba
menuju kearah tanda dan sistem (Ritzer & Goodman, 2009: 677). Menurut Baudrillard,
menggambarkan dunia postmodern ditandai oleh simulasi, sulit untuk melihat hal-hal yang riil
(Ritzer & Goodman, 2009: 678). Baudrillard juga menggambarkan dunia ini sebagai
Hipperealitas. Contohnya media mulai tidak lagi menjadi cermin realitas melainkan menjadi
lebih riil dari realitas (Ritzer & Goodman, 2009: 677). Hipperealitas itu adalah efek, atau
keadaan dan pengalaman kebendaan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut (Piliang,
2003: 150).
PEMBAHASAN

Dengan mengambil alih pemikiran Marcel Mauss, Georges Bataille, Karl Marx, Roland
Barthes dan Marshal McLuhann Baudrillard memusatkan diri menganalisa modernisme dari
ranah budaya. Bertitik tolak dari itu ia menunjukkan adanya diskontinuitas budaya dalam
realitas masyarakat dewasa ini. Melalui bukunya Simulations (1983), Baudrillard
mengintrodusir karakter khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah
masyarakat yang hidup dengan silangsengkarut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai
produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte, 1994: 235). Simulacra adalah ruang
dimana mekanisme simulasi berlangsung (Syawaludin, 2017).
Merujuk Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983). Pertama,
simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri.
Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur
kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era
industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat
dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi
berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada tingkatan ini merupakan wujud
silang-sengkarut tanda, citra dan kode budaya yang tidak lagi merujuk pada representasi.
Selanjutnya dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang
dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa.
Perkembangan pariwisata di Bali termasuk ke dalam simulacra ketiga menuju kearah
yang lebih massif, tentu dengan perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini telah
menciptakan realitas-realitas baru menjadi sebuah kenyataan. Menjembatani hal tersebut dalam
konteks pariwisata di Bali, budaya telah dijual “murah” untuk kepentingan kepariwisataan.
Walaupun sebenarnya hal tersebut sangatlah legal. Dalam beberapa pandangan bahwa seni
budaya di tekan lebih “murah” untuk bisa menarik minat wisatawan, padahal hal tersebut syarat
akan historis, filosofis dan estetika. Kemudian cara hidup wisatawan juga mempengaruhi
permintaan dari pasar, yang kemudian memaksa penyedia internal, seperti masyarakat,
pengusaha dan pemerintah mencoba untuk “berinovasi”. Dalam hal ini biasa disebut dengan
komodifikasi.
Komodifikasi tidak hanya berlaku sebatas seni dan budaya yang kemudian diproduksi
dan dikonsumsi saja, tetapi jasa penyedia termasuk amenitas dan aksesibilitas juga termasuk
ke dalam komodifikasi. Dapat dilihat Canggu dan Ubud sebagai pariwisata alternatif yang
kemudian mendorong secara distorsi untuk mengubah desanya menjadi daya Tarik wisata yang
sesuai dengan gaya hidup wisatawan mancanegara, semakin banyaknya wisatawan yang
memenuhi daerah ini, tetapi tidak dibarengi dengan penguatan tata Kelola daerah yang
disesuaikan dengan masifnya kegiatan kepariwisataan ini. Tentu yang terjadi adalah
kemacetan, kebisingan, lahan tanah yang diakuisisi bule, kekurangan air bersih dan masalah
lingkungan lainnya. Hal tersebut perlu ditindaklanjuti dan dimaknai sebagai “alarm” untuk
stakeholder bisa bekerja sama untuk menyeimbangkan efek negatif dari datangnya wisatawan
yang menuju ke daerah tersebut yang sejalan dengan budaya kapitalisme lanjutan. Penelitian
lain menyatakan bahwa konsekuensi sosial budaya dari komodifikasi budaya menghancurkan
identitas lokal dan nilai-nilai budaya, standarisasi budaya, dan konflik budaya. Secara
keseluruhan, temuan paling mencolok dari studi sebelumnya menunjukkan bahwa
komodifikasi budaya melepaskan keaslian yang mengawal konsekuensi sosial budaya lainnya
(misalnya Getz & Page, 2016). Dalam kebanyakan studi, komodifikasi budaya secara eksklusif
dipersepsikan membawa isu negatif patronase pada aspek sosial budaya dan diukur sebagai
alat kapitalis untuk mendapatkan keuntungan (Iwan Nurhadi, 2022).
Sebaliknya penelitian saat ini, mencoba untuk menggali pernyataan relevan mengenai
dampak positif dari komodifikasi budaya. Bukti terbaru menunjukkan bahwa komodifikasi
budaya memperkuat identitas dan kebanggaan sebagai anggota masyarakat. Fenomena ini
dapat dijelaskan oleh fakta bahwa ketika anggota masyarakat melakukan suatu budaya, mereka
sadar bahwa mereka adalah wakil dari masyarakat dan gambaran dari cara hidup masyarakat.
Mereka menjadi citra budaya mereka dan terpesona budaya dan nilai-nilai yang tertanam di
dalamnya. Konsekuensinya, jika pertunjukan itu dimodifikasi, konsekuensi aspek sosial
budaya, politik, dan ekonomi dialami oleh seluruh kelompok (Iwan Nurhadi, 2022).
konsep konsekuensialisme kelompok yang menentang konsekuensi dari tindakan yang
hanya dilakukan dan dibagikan oleh kelompok; dengan demikian, konsekuensi baik atau
konsekuensi negatif akan berada di dalam kelompok. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa
komodifikasi budaya mendukung rasa memiliki anggota kelompok karena mereka dan seluruh
anggota akan menghadapi konsekuensinya, dan dengan demikian mereka harus
mempertimbangkan tindakan terbaik yang membawa konsekuensi yang baik. Mengingat
afinitasnya, karakteristik komunal tertanam dalam tindakan dan konsekuensi orang. Kembali
sebentar ke dampak sosiokultural positif dari komodifikasi budaya (Iwan Nurhadi, 2022). Hal
tersebut sejalan dengan paham teori funsionalisme struktural.
Pembahasan diatas selaras dengan berkembangnya realitas-realitas baru dalam kondisi
seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas
adalah realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983; Syawaludin, 2017). Baudrillard menyatakan
bahwa dalam masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, seperti
disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini. Sementara dari Mauss dan Bataille,
Baudrillard bersepakat bahwa aktivitas konsumsi manusia sebenarnya didasarkan pada prinsip
non-utilitarian (Lechte, 1994: 233). Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda
dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan
perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat atau harganya,
melainkan berdasarkan prestise dan makna simbolisnya (Lechte, 1994: 234; Syawaludin,
2017).
Mengacu Marx, terdapat dua nilai-tanda dalam sejarah kebudayaan manusia yakni,
nilai-guna (usevalue) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna merupakan nilai asli yang
secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dipandang
memiliki guna bagi kepentingan manusia. Nilai inilah yang mendasari bangunan kebudayaan
masyarakat awal. Selanjutnya dengan perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai-
tukar. Nilai-tukar dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah
lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai-
tukarnya, hal tersebut sesuai dengan kondisi realitas pariwata di Bali.
Namun secara paradoks, menurut Baudrillard, telah terjadi perubahan dalam struktur
masyarakat sebagai masyarakat konsumer: masyarakat yang haus mengkonsumsi segala
sesuatu tidak hanya objek-real, namun juga objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan
kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut,
kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media dan iklan. Tanda menjadi salah satu elemen
penting masyarakat konsumer. Sejalan dengan itu, Baudrillard mengubah periodisasi yang
dibuat Marx mengenai tingkat perkembangan masyarakat dari: masyarakat feodal, masyarakat
kapitalis dan masyarakat komunis, menjadi masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan
masyarakat massa (Syawaludin, 2017).
Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalisme-lanjut (late capitalism)
dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar telah dikalahkan oleh sebuah nilai baru, yakni nilai-tanda
dan nilai-simbol. Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang lahir bersamaan dengan semakin
meningkatnya taraf ekonomi masyarakat, lebih memandang makna simbolik sebuah objek
ketimbang manfaat atau harganya. Fenomena kelahiran nilai-tanda dan nilai-simbol ini
mendorong Baudrillard untuk menyatakan bahwa analisa komoditi Marx sudah tidak dapat
dipakai untuk memandang masyarakat dewasa ini. Hal ini karena dalam masyarakat
kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol, citra, sistem tanda
dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi.
Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan oleh Baudrillard dalam
menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan pada “nilai tanda”.
Jean Baudrillard membantah bahwa kebudayaan posmodern kita adalah dunia tanda-tanda
yang membuat hal yang fundamental – mengacu pada kenyataan – menjadi kabur atau tidak
jelas (Baudrillard, 1983). Menurutnya, tanda menjadi elemen penting dalam masyarakat
konsumtif saat ini. Sehingga penggunaan barang dan jasa bukan lagi berlandaskan kegunaan,
melainkan lebih mengutamakan tanda dari symbol yang melekat pada barang dan jasa itu
sendiri, masyarakat hanya mengkonsumsi citra yang melekat pada barang sehingga sebagai
konsumen tidak pernah merasa puas. Hal paradoks inilah yang perlu menjadi perhatian besar
terhadap komodifikasi budaya yang mempengaruhi sistem budaya dan sistem sosial pariwisata
di Bali.
Namun, eksploitasi budaya yang sejalan dengan asas konservasi, memilih dan memilah
budaya yang bisa dijadikan sebagai produk pariwisata sesuai dengan konsensusnya, tentu saja
bukan suatu yang keliru melakukan komodifikasi, karena seni seperti juga produk kehidupan
lainnya, seni atau kesenian selalu memiliki dua dimensi, yaitu nilai guna (use values), nilai
tukar (exchange values) dan mengatasi nilai symbol (symbol values) serta nilai tanda (sign
values). Seni budaya adalah hasil budi daya manusia yang sudah sewajarnya tidak sebatas
untuk dinikmati secara imajinatif, tetapi juga dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi (Putra,
2021).
Tambah penulis, dampak dari komodifikasi budaya dapat diartikulasi berdasarkan teori
literatur sosio-ekonomi yang secara kausalitas memiliki dampak yang positif. Pendekatan
perspektif sosio-ekonomi (Granovetter & Swedberg, 2019) disebutkan, keterlekatan bahwa
kegiatan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari hubungan sosial dan kelembagaan yang ada dapat
digunakan bisa menyeimbangkan dampak negatif dari datangnya wisatawan. Komodifikasi
budaya tersebut membuka relasi baru antar aktor, seperti hubungan antar personal dan
hubungan antar lembaga pemerintah, sektor swasta, pokdarwis, dan masyarakat. Dengan
hubungan yang kuat ditemukan bahwa hubungan yang mengalami komodifikasi budaya adalah
yang didorong oleh kepentingan tertentu seperti keuntungan ekonomi, sehingga perluasan
jejaring sosial bermanfaat bagi masyarakat Bali untuk mendapatkan identitas budaya yang
lebih kuat. Berkaitan dengan etika moral, menggunakan utilitarianisme Bentham (1781).
Konsep utilitarianisme menunjukkan kebahagiaan sebagai konsekuensi dari aturan dalam
masyarakat. Karena kebaikan menjadi sarana, maka secara moral, ia setuju sebagai tujuan
akhir. Namun, tujuan akhir dapat dikategorikan baik jika memiliki kesenangan intrinsik dan
tidak ada konsekuensi lebih lanjut. Suatu tujuan dianggap baik sejauh keputusan itu dibuat
berdasarkan pertimbangan kebahagiaan maksimum yang dapat diperoleh oleh sebagian besar
anggota masyarakat. Dengan masyarakat mendapatkan keuntungan dari sisi ekonomi dengan
berbagai pertimbangan dari keputusan umum, maka hal tersebut dianggap benar, demikian pula
dengan komodifikasi budaya terhadap tatanan sosio-budaya di Bali. Dengan demikian dari
kedua teori ini, dapat dimaknai sebagai batu loncatan sebagai kausalitas dari komodifikasi
budaya, untuk bisa menyeimbangi konsumsi dari wisatawan mancanegara yang semakin
kapitalis.
KESIMPULAN

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana penyesuaian rasionalitas sosial


yang ditinjau dari teori kritis Habermas dan postmodernisme Baudrillard akibat komodifikasi
sosiokultural dalam pariwisata di Bali. Eksposur dari komodifikasi tidak hanya meninggalkan
dampak negatif dari aktivitas kapitalisme lanjutan yang tidak terhindarkan, justru secara ilmiah
perlu adanya penyesuaian keadaan yang kemudian mengkaji dampak positif dari komodifikasi
budaya. Salah satunya adalah menyiratkan bahwa pengembangan pariwisata memperkuat
identitas anggota masyarakat. Pada saat yang sama, dapat diakui bahwa mempertahankan
identitas budaya menjadi upaya mereka untuk menghayati keaslian sebagai masyarakat adat
yang dalam batas tertentu dikomodifikasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Secara
keseluruhan, upaya untuk mencapai keuntungan ekonomi sekaligus mempertahankan warisan
budaya membuat masyarakat memodifikasi kegiatan ekonominya berdasarkan nilai-nilai
budaya hal tersebut sejalan dengan pernyataan teori Habermas.
Postmodernisme menurut Baudrillard merupakan transisi bentuk masyarakat massa
yang sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, nampaknya perlu dimaknai dengan
baik, eksploitasi yang menjadi komodifikasi budaya perlu selaras dengan penggunaan dan
pemanfaatan teknologi, bisa sebagai media pemasaran, promosi maupun segi regulasi. Secara
paradoks memang banyak dampak negatif dari komodifikasi budaya, tapi bagaimana
penyikapan antar aktor untuk bisa mencegah massifnya kapitalisme dengan mengembangkan
perspektif dan sumber daya yang baik.
Sejalan dengan teori Struktural fungsionalisme menurut Talcot Parsons, berkonsentrasi
pada struktur masyarakat dan antar hubungan berbgai struktur tersebut yang dilihat saling
mendukung menuju keseimbangan dinamis (Anom, 2021) jika dilihat secara realitas pariwisata
di Bali, Seiring komodifikasi budaya yang terjadi, jaringan sosial yang hidup dalam keterikatan
antar stakeholder/intra-aktor juga dimodifikasi menjadi lebih luas. Komodifikasi budaya
tersebut membuka relasi baru antar aktor, yaitu relasi di dalam komunitas, komunitas dengan
wisatawan, antara komunitas dengan pelaku usaha pariwisata (pengusaha perhotelan, agen
perjalanan, dan pemandu wisata), dan antar komunitas serta pemerintah. Relasi-relasi tersebut
dicirikan ke dalam keterlekatan relasional dan struktural. Keterikatan relasional terlihat dari
hubungan personal antara aktor-aktor tersebut sedangkan keterlekatan struktural terlihat pada
hubungan antar lembaga pemerintah, sektor swasta, Pokdarwis, dan masyarakat. Ditemukan
bahwa hubungan yang mengalami komodifikasi budaya adalah yang didorong oleh
kepentingan tertentu seperti keuntungan ekonomi, sehingga perluasan jejaring sosial
bermanfaat bagi masyarakat untuk mendapatkan identitas budaya yang lebih kuat.
Merujuk pada UU Pemajuan Kebudayaan 5/2017 dan Perda 4/2020 tentang Pemajuan
Kebudayaan Bali di mana pemanfaatan budaya bukanlah sesuatu yang tabu, sepanjang tiga
aspek lainnya, yaitu perlindungan, pengembangan, dan pembinaan terhadapnya sudah
dilaksanakan mendahului atau berjalan serentak dan seimbang dengan pemanfaatannya.
Bagaimana pun juga di Bali budaya dan pariwisata tidak lagi bisa dipisahkan karena keduanya
saling membentuk. Seperti kata Picard dalam buku Bali: Cultural tourism and touristic culture
bahwa promosi pariwisata budaya telah membuat orang Bali sadar akan memiliki kebudayaan
(1996:198). Tindakan dan regulasi yang tepat dari antar aktor seperti pergelaran PKB
contohnya, menjadi cara untuk bisa mewadahi masifnya perkembangan pariwisata di Bali. Jauh
lebih dalam pariwisata budaya yang berlandas pada sosio-ekonomi-budaya tidak hanya
berfokus pada pertumbuhan secara kontemporer, tetapi didorong untuk terus berkelanjutan
yang tidak hanya bermanfaat secara sosial-ekonomi bagi masyarakat, tetapi atensi penting
terhadap tatanan ekologis lingkungan dalam konteks keberlanjutan yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA

Baurdrillard, Jean. 1981. For a Creatique of The Political Economy of The Sign. St. Lois: Talos
Press.

Baurdrillard, Jean. 1983. Simulations. New York: Semiotext.

Fyall, Alan; Brian Garrod; Anna Leask. 2003. Managing visitors, atractions: New Directions.
Butterworth-Heinemann publication.

Nurhadi, Iwan; Titik Sumarti; Arya Hadi Dharmawan; Didin S Damanhuri.2022. Komodifikasi
Budaya dan Transisi Etis Pengembangan Pariwisata: Wawasan dari Komunitas Osing,
Indonesia. Sodalitas: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 10 (01) 2022 | 24-43.
https://doi.org/10.22500/10202238564

Bentham, J. 1781. Pengantar Prinsip Moral dan Legislasi. Di dalam Buku Batoche. Kompor.

Cohen, E. 2012. Globalisasi, krisis global dan pariwisata.Penelitian Rekreasi Pariwisata,.


37(2), 103– 111. https://doi.org/10.1080/02508281.2012.11081695

Granovetter & R. Swedberg. 2019. Sosiologi Kehidupan Ekonomi, Edisi Ketiga. Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780429494338

Hardiman. 2008. Melampaui Postitivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis Tentang


Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.

Lechte, John. 2001 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas.


Yogyakarta: Kanisius.

Ngurah Anom Kumbara, AA. 2021. Paradigma Teori-teori Studi Budaya. Denpasar: Swasta
Nulus.

Nyoman, Darma Putra I. 2021. Esensi dan komodifikasi pariwisata Bali. Pusat Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Pariwisata Bali.

Parsons, Talcott. 1937. The Structure of Social Action. Glencoe, III: Free Press.

Picard, M., 1996. Bali. Cultural tourism and touristic culture. Singapore: Archipelago Press.

Piliang, Y.A., & Jejen Jaelani. 2018. Teori Budaya Kontemporer Penjelajahan Tanda dan
Makna. Yogyakarta: Aurora.
Pratheep, PS. 2017. Dampak Pariwisata Terhadap Kebudayaan India.Konferensi
Internasional ke-4 tentang Bahasa, Masyarakat dan Budaya dalam Konteks Asia
(2016), Vol. 1(3), 429. https:// doi.org/10.18502/kss.v1i3.765

Pringle, R., 2004. A short history of Bali: Indonesia’s Hindu realm. Vol. (40). Crows Nest,
Australia: Allen & Unwin.

Ritzer, Geroge & Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Syawaludin, Mohammad. 2017. Teori Sosial Budaya dan Methodenstreit. Palembang: CV


Amanah.

Anda mungkin juga menyukai