Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengboran Coring

Coring adalah proses pengambilan sample atau contoh batuan dari dalam lubang bor.
Core analysis merupakan contoh tahapan analisa setelah contoh batuan bawah permukaan (core)
diperoleh. Tujuannya untuk mengidentifikasikan karakteristik bbatuan bawah permukaan yang
diwakili oleh core yang di ambil. Hasil analisa akan mendeskripsikan sifat-sifat petrofisik yang
akan digunakan dalam karakterisasi reservoir.
Data-data yang didapat dari core:
- Data Analisa inti batuan secara kualitatif
- Data Analisa inti batuan secara
kuantitaif Peralatan coring terdiri dari :
1. Core bit : adalah pahat yang khusus untuk coring berbeda dengan pahat pemboran biasa.
Pahat biasa menghancurkan batuan menjadi cutting/ssrpih akan tetapi core bit akan
memotong batuan berbentuk silinder. Pemilihan jebis core bit tergantung pada batuan
formasi yang akan diambil contohnya. Dibawah ini salah satu contoh core bit dan
rangkaian alat coring

Gambar 1. Rangkaian peralatan coring


2. Core Barrel : alat ini berfungsi untuk tempat contoh yang diperoleh dari coring yang
dapat menjaga keutuhan core dan melindungi core darui pengaruh luar misalnya
kontaminasi dengan lumpur, tekanan/beban dan lain sebagainya. Barrel ini terletak diatas
pahat ( cor bit) ada outer barrel ada inner barrel.
3. Core Catcher : berfungsi untuk menahan core/contoh batuan agar tidak jatuh dari inner
barrel.

2.1.1METODE PENGAMBILAN CORE


1. Bottom Hole Coring
Coring yang dilakukan bersamaan dengan proses pemboran, sampel di ambil pada dasar
lubang.
a. Konvensional drag bit coring
Keuntungan :
- Ukuran diameter core besar hampir sseperti ukuran lubang bor
- Presentasi perolehan core formasi tinggi
- Dapat digunakan pada sebagian besar formasi, dan tidak membutuhkan
peralatan
Kerugian :
- Pentingnya proses pencabutan drill pipe untuk menjaga kondisi core setelah
tiap core dipotong
Gambar 2. Rotary core barrel (From Moody)

b. Diamond bit coring


Keuntungan :
- Umur bit lebih panjang
- Kemungkinan pemotongan sampai 90ft core setiap running
- Presentase perolehan core tinggi
- Diameter core besar
- Dapat disesuaikan untuk berbagai formasi
Kerugian :
- Mahalnya bit dan core barrel
- Kondisi operasi yang layak dalam penggunaan metode ini
- Setiap akan mengambil core dari barrel dilakukan round tip
- Membutuhkan operator yang mengetahui operasional diamond coring
c. WireLine Coring
Pengambilan core dilakukan dengan menggunakan kabel. Tidak perlu mencabut
rangkaian pip bor pada saat mengambil core dari core barrel.
Kerugian :
- Metode ini terbatas pada formasi lunak
- Presentasi perolehan core rendah
- Diameter core lebih kecil
Keuntungan :
Biaya jauh lebih murah

Gambar 3. (kiri) Contoh side wall coring, (tengah) contoh diamond bit yang digunakan pada konvensional
coring, (kanan) contoh drag and roller bit yang digunakn pada konvensional coring

2. SideWall Coring
Pada metode ini, sampel batuan diambil dari dinding sumur yang telah dibor terlebih
dahulu pada kedalaman tertentu. Pengambilan core dilakukan saat pemboran dihentikan
sementara, dengan cara menurunkan peralatan core, yang dilengkapi dengan peluru yang
berlubang (sebagai tempat core) dan diikatkan pada kawat baja (wireline).
Peluru-peluru tersebut dioperasikan secara elektris dari permukaan dan dapat
ditembakkan secara simultan baik bersama-sama atau sendiri-sendiri. Dengan menembusnya
peluru kedalam dinding lebiang bor maka core akan terpotong dan terlepas dari formasi.
Dengan adanya kabel baja yang berhubungan dengan peluru, maka peralatan sidewall
coring beserta core dapat diangkat ke permukaan. Ukuran core yang didapat dengan cara ini
mempunyai diameter ¾ - 13/16 inci dan panjangnya hanya 2 ¼ inci. Keuntungan dari
metode ini adalah mendapatkan sampel pada kedalaman berapa pun setelah lubang dibor dan
dapat membantu interpretasi log.
Gambar 4. Pengambilan core menggunakan Wireline layne rock drilling truck (kiri),
core barrel yang berisi core (tengah), core untuk dianalisa (kanan).
Gambar 5. (Kiri )Sidewall coring gun (Schlumberger) (Kanan) Rubber sleeve core barrel (Christensen)

2.1.2 PENANGANAN CORE (CORE HANDLING)

Penanganan core adalah semua proses yang dilakukan setelah core sampai
dipermukaan. Penanganan meliputi :
 Pemotongan
 Pembungkusan
 Pemberian label
a. Pemotongan
Setelah sampai dipermukaan core dikeluarkan dari barrel dan dipotong setiap 3ft
(±1 meter) dengan menggunakan core cutter. Tujuan pemotongan ini agar memudahkan
dalam pengangkutan ke laboratorium. Kemudian disusun dalam box dan diberi tanda top
dan bottomnya.
b. Pembungkusan
Tujuan dari pembungkusan adalah agas isi core tidak mengalami perubahan fluida
serta terjadi kerusakan selama proses pengangkutan. Pembungkusan dapat dibungkos
dengan
- Lilin : core dibungkus dengan plastic tipis kemudian dibungkus dengan kertas
almunium dan diberi label diikat dengan tali dan dicelupan dalam lilin
- Pipa PVC : dilakukan dengan memasukkan core kedalam pipa PVC dan kedua
ujungnya ditutup rapat
- Fibere Glass : fiber glass sudah terpasang pada core barrel sehingga saat
dipermukaan sudah berada dalam pipa fiber glass. Kemudian core dipotong
dan diinjeksikan resin dengan maksud untuk menjaga core agar tidak
mengalami goncangan selama transportasi dan ujunya ditutup rapat.
c. Pemberian Label
Tujuan pemberian label ini agar tidak terjadi kesalahan dalam interpretasi.
Pelabelannya antara lain nama sumur, kedalaman, lapangan, nomor core, tanda panah top
dan bottom.

Gambar 6. Pembungkusan dan pemberian label hasil core

2.1.3 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI CORE


Idealnya core yang didapat mempunyai kondisi yang sama seperti sebelum diambil
(in-situ). Tetapi hal itu tidak mungkin diperoleh karena selama proses pemboran dan
pengangkatan core permukaan akan terjadi perubahan pada core dan kandungannya. Ada 2
faktor penyebab terjadinya perubahan core, yaitu 1.) Adanya pembilasan (flushing) oleh
lumpur pemboran saat operasi coring sehingga menyebabkan kandungan hidrokarbon akan
berkurang dan kandungan air meningkat. 2.) penurunan tekanan dan temperatur.
Adanya penurunan tekanan dan temperature menyebabkan gas yang terlarut dalam
minyak akan terbebaskan. Peristiwa tersebut adalah gambaran miniatur dari “Dissolved Gas
Drive” (sehingga gas terbebaskan tersebut akan mendorong minyak dan air keluar dari pori).
Akibatnya saturasi fluida dalam core yang sampai dipermukaan terdiri dari :
- Minyak sisa
- Sejumlah air yang merupakan jumlah dari filtrate lumpur dan air reservoir
- Sejumlah gas.

2.1.4 PENGAPLIKASIAN HASIL CORE

A. Terhadap pemboran
1. Pengaruh zat-zat kimia dalam batuan pada lumpur
Pada operasi pemboran kita memerlukan data coring pada lapisan yang dituju
terhadap kaitannya dalam pengaruh zat-zat kimia pada lumpur. Lumpur sangat dalam
operasi pemboran sehingga perubahan komposisi lumpur pada densitasnya karena
pengaruh larutnya zat-zat pada batuan.
2. Sifat – sifat Swelling
Clay pada batuan shale mengembang (Swell) jika menggunakan lumpur berbahan
dasar water-base mud. Sehingga kita perlu mengetahui data batuan yang bisa
didapatkan melalui coring.
3. Pemilihan jenis bit berdasarkan formasi yang akan ditembus
Kita perlu mengetahui jenis batuan yang akan ditembus melalui proses coring dalam
kaitannya dengan pemilihan jenis bit untuk optimisasi pengeboran. Pemilihan jenis
bit yang tepat dapat menghemat waktu untuk menebus formasi batuan, sehingga
optimisasi pengeboran dapat dicapai.

B. Terhadap Reserovir
1. Penentuan ketebalan lapisan, dan luas lapisan reservoir untuk menghitung luas
total
reservoir produktif
Untuk menghitung total luas reservoir kita memerlukan data
ketebalan lapisan reservoir dan luasnya. Data ini didapatkan dari hasil
analisa core pada pengeboran sumur deliniasi untuk menentukan
batasan dan tebal luas reservoir tersebut. Pada core tersebut kita akan
menganalisa apakan analisa core yang dianalisa mengandung minyak
atau tidak. Jika core pada pengeboran deliniasi tersebut mengandung
minyak maka reservoir tersebut masih ada dalam batasan reservoir
namun jika batuan core
yang di analisa tidak terdapat minyak maka sumur tersebut ada diluar reservoir.
2. Penentuan porositas dan saturasi untuk mengetahui OOIP
Kita perlu mengetahui nilai porositas dan saturasi untuk mengetahui
jumlah minyak mula-mula pada reservoir tersebut (OOIP).

Analisis core lebih dititikberatkan pada analisis sedimentologi


dalam penentuan lingkungan pengendapan. Deskripsi core dan analisis
petrografi adalah pelengkap analisis core untuk menentukan baberapa
faktor seperti lingkungan pengendapan,pengindentifikasian rekahan dan
mineralogi dan pengaruhnya terhadap kualitas batuan dan produksi.

2.2 Batubara
2.2.1 Genesa Batubara
Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berwarna coklat sampai
hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun
sehingga mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya (Anggayana, 2002). Secara garis
besar, batubara terdiri dari zat organik, air dan bahan mineral. Untuk menjadi batubara, ada
beberapa tahapan penting yang harus dilewati oleh batuan dasar pembentuknya. Tahapan penting
tersebut yaitu: tahap pertama adalah terbentuknya gambut (peatification) yang merupakan proses
mikrobial dan perubahan kimia (biochemical coalification). Serta tahap berikutnya adalah
proses-proses yang terdiri dari perubahan struktur kimia dan fisika pada endapan pembentukan
batubara (geochemical coalification) karena pengaruh suhu, tekanan dan waktu. Ada enam
parameter yang mengendalikan pembentukan batubara, yaitu adanya sumber vegetasi, posisi
muka air tanah, penurunan yang terjadi bersamaan dengan pengendapan, penurunan yang terjadi
setelah pengendapan, kendali lingkungan geoteknik endapan batubara dan lingkungan
pengendapan terbentuknya batubara. Model geologi untuk pengendapan batubara menerangkan
hubungan antara genesa batubara dan batuan sekitarnya baik secara vertikal maupun lateral pada
suatu cekungan pengendapan dalam kurun waktu tertentu (Diessel, 1992).
2.2.2 Proses Pembentukan Batubara
Batubara berasal dari tumbuhan yang disebabkan karena adanya proses-proses geologi,
kemudian berbentuk endapan batubara yang dikenal sekarang ini. Bahan-bahan tumbuhan
mempunyai komposisi utama yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Selain itu, terdapat
kandungan mineral nitrogen. Substansi utamanya adalah cellulose yang merupakan bagian dari
selaput sel tumbuhan yang mengandung karbohidrat yang tahan terhadap perubahan kimiawi.
Pembusukan dari bahan tumbuhan merupakan proses yang terjadi tanpa adanya oksigen,
kemudian berlangsung di bawah air yang disertai aksi dari bakteri, sehingga terbentuklah arang
kayu. Tidak adanya oksigen menyebabkan hidrogen lepas dalam bentuk karbondioksida atau
karbonmonoksida dan beberapa dari keduanya berubah menjadi metan. Vegatasi pada
lingkungan tersebut mati kemudian terbentuklah peat (gambut). Kemudian gambut tersebut
mengalami kompresi dan pengendapan di antara lapisan sedimen dan juga mengalami kenaikan
temperatur akibat geothermal gradient. Karena banyaknya unsur oksigen dan hidrogen yang
terlepas maka unsur karbon relatif bertambah yang mengakibatkan terjadinya lignit (brown coal).
Kemudian dengan adanya kompresi yang terus menerus serta kenaikan temperatur maka
terbentuklah batubara subbituminus dan bituminus dengan tingkat kalori yang lebih tinggi
dibandingkan dengan brown coal. Bumi tidak pernah berhenti, oleh karena itu kompresi terus
berlangsung diiringi bertambahnya temperatur sehingga moisture sangat sedikit serta unsur
karbon yang banyak merubah batubara sebelumnya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu antrasit
yang merupakan kasta tertinggi pada batubara (Cook, 1982).
2.2.3 Material Pembentuk batubara
Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batu bara dan umurnya antara lain :
a. Algae, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit
endapan batu bara dari perioda ini.
b. Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari algae. Sedikit
endapan batu bara dari perioda ini.
c. Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama pembentuk batu bara
berumur Karbon di Eropa dan Amerika utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang
biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
d. Gymnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan
heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin)
tinggi. Jenis Pterydospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama
batubara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
e. Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang
menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae.
2.2.4 Tempat terbentuk batubara
Tempat terbentuknya batubara dikenal dua macam teori :
a. Teori Insitu Teori ini mengatakan bahwa bahan – bahan pembentukan lapisan
batubara,terbentuknya di tempat dimana tumbuh – tumbuhan asal itu berada. Setelah tumbuhan
tersebut mati, belum mengalami proses transportasi, tertutup oleh lapisan sedimen dan
mengalami proses coalificaion. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara imi mempunyai
penyebaran luas dan merata kualitasnya lebih baik, karena abunya relatif kecil.
b. Teori Drift Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya
di tempat yang berbeda dengan tempat tumbuhnya semula hidup dan berkembang. Tumbuhan
yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan
sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini
mempunyai penyebaran yang tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitasnya kurang
baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama selama
proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Batubara yang terbentuk
seperti di Indonesia di dapatkan di area pertambangan batubara delta Mahakam purba,
Kalimantan Timur.
2.2.5 Jenis batubara dan sifatnya
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas, dan waktu,
batubara umumnya dibagi dalam lima jenis yaitu antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan
gambut.
1. Antrasit merupakan kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster)
metalik, mengandung antara 86-98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 80%.
Nilai yang dihasilkan hampir 15.000 BTU per pon.
2. Bituminus mengandung 68-86% unsur karbon (C) serta kadar air 8 -10% dari beratnya,
nilai panas yang dihasilkan antara 10.500-15.500 BTU per pon.
3. Sub – Bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, oleh karenanya menjadi
sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan Bituminus, dengan kandungan
karbon 3-45% dan menghasilkam nilai panas antara 8.300 hingga 13.000 BTU per pon.
4. Lignit biasa disebut juga dengan brown coal adalah batubara yang sangat lunak yang
mengandung air 35-75% dari beratnya. Lignit merupakan batubara geologis muda yang
memiliki kandungan karbon terendah, 25- 35%. Nilai panas yang dihasilkan berkisar
antara 4.000 hingga 8.300 BTU per pon.
5. Gambut Gambut berpori dan memiliki kadar air diatas 75% serta nilai kalori yang paling
rendah.
2.3 Konsep dasar well logging
Konsep dasar pengukuran well logging merupakan suatu pengukuran pada sumur atau lubang
bor secara berkesinambungan dengan beberapa parameter ukur sesuai dengan kedalaman. Sesuai
dengan tujuan logging yaitu menentukan besaran fisik batuan maka dasar dari logging sendiri
adalah sifat-sifat fisik atau petrofisik dari batuan (Harsono, 1997). Parameter fisik tersebut
berupa sifat-sifat porositas, resistivitas, temperatur, densitas, permeabilitas, dan kemampuan
cepat rambat yang direkam oleh gelombang elektron.
Well Logging secara sederhana merupakan suatu pencatatan perekaman penggambaran sifat,
karakter, ciri, data, keterangan, dan urutan bawah permukaan. Sehingga diagram yang
didapatkan akan merupakan gambaran hubungan antara kedalaman (depth) dengan karakter atau
sifat yang terdapat pada formasi. Data logging diperoleh dengan cara memasukkan alat deteksi
(sound) ke dalam lubang bor sehingga akan diperoleh kurva log yang akan memberikan
gambaran hubungan antara kedalaman dan sifat fisik batuan. Dalam eksplorasi batubara, sasaran
yang ingin dicapai adalah nilai ekonomis dari cadangan. Untuk menghitung cadangan ini
diperlukan data ketebalan lapisan batubara. Interpretasi litologi dilakukan berdasarkan data log
yang diambil.
Well logging dapat dilakukan dengan dua cara yaitu openhole logging dimana logging tidak
memakai casing dan casedhole logging dimana logging dengan memakai casing. Dalam proses
pengeboran, komponen utama yang digunakan yakni lumpur pemboran atau mud logging.
Digunakannya komponen ini adalah agar tidak terjadinya blow out saat fase pemboran sebelum
dilakukannya casing dengan sistem memberi tekanan pada formasi. Namun dalam kenyataannya
lumpur memaksa hidrokarbon masuk ke dalam formasi untuk menjauhi lubang bor dan berupaya
untuk mencegah hidrokarbon tersembur keluar permukaan. Akibatnya pada beberapa lapisan
permeabel terdapat penyusupan (infiltrasi) air lumpur pada dinding sumur sehingga memaksa
kandungan lapisan semula lebih dalam dan pada dinding sumur tersebut membentuk suatu kerak
lumpur (mud cake) yang menyebabkan diameter sumur lebih kecil.
Akibatnya pada lapisan ini terbentuk tiga daerah infiltrasi sebagai berikut :
a. Flushed zone atau Invanded zone Zona ini merupakan yang paling dekat dengan lubar sumur
bor dan terisi oleh lumpur. Sehingga jika dilakukan pengukuran fisik pada zona ini, yang dikur
bukan sifat kandungan semula (asli) melainkan sifat dari air lumpurnya.
b. Transition zone Zona ini merupakan daerah yang lebih dalam dari invanded zone atau biasa
disebut dengan zona yang berada di tengah-tengah. Daerah ini terisi oleh campuran air lumpur
dan kandungan semula.
c. Uninvanded zone Zona ini merupakan daerah yang tidak adanya pengaruh air lumpur dan
letaknya paling jauh dari lubang sumur bor.

2.3.1 Jenis logging yang digunakan


Dalam eksplorasi batubara, kombinasi log yang terdiri dari Log Gamma ray, Log Caliper, Log
Long Spaced Density, dan Log Short Spaced Density digunakan untuk mengetahui secara
langsung keadaan di bawah permukaan dengan memasukkan kombinasi alat log tersebut ke
dalam sumur bor yang pengukurannya berdasarkan sifat–sifat fisik batuan dengan target yaitu
mencari lapisan batubara.
1. Log Gamma Ray Log Gamma Ray adalah metode untuk mengukur radiasi sinar gamma yang
dihasilkan oleh unsur-unsur radioaktif yang terdapat dalam lapisan batuan di sepanjang lubang
bor. Unsur radioaktif yang terdapat dalam lapisan batuan tersebut diantaranya Uranium,
Thorium, Potassium, Radium, dan lain-lainnya. Unsur radioaktif umumnya banyak terdapat
dalam shale dan sedikit sekali terdapat dalam sandstone, limestone, dolomite, coal, gypsum, dan
lain-lainnya. Oleh karena itu shale akan memberikan response gamma ray yang sangat signifikan
dibandingkan dengan batuan yang lainnya. Log sinar gamma merekam pancaran radioaktif dari
formasi. Sinar radioaktif alami yang direkam berupa Uranium, Thorium, dan Potassium. Log
sinar gamma sederhana memberikan rekaman kombinasi dari tiga unsur radioaktif, sedangkan
spektral gamma ray menunjukkan masing-masing unsur radioaktif (Rider, 1996). Log gamma
ray memiliki satuan API (American Petroleum Institute).
Log gamma ray digunakan untuk membedakan lapisan-lapisan shale dan nonshale pada sumur-
sumur openhole atau casedhole dan juga pada kondisi ada lumpur maupun tidak. Sinar gamma
sangat efektif dalam membedakan lapisan permeable dan non-permeable karena unsur-unsur
radioaktif cenderung berpusat di dalam serpih yang non-permeable dan tidak banyak terdapat
dalam batuan karbonat atau pasir yang secara umum besifat permeable. Selain itu, Log gamma
ray dapat digunakan sebagai pengganti SP Log untuk pendeteksian lapisan permeable, karena
untuk formasi yang tidak terlalu resistif hasil SP Log tidak terlalu akurat.
Pada interpretasi lapisan batubara, nilai gamma raynya memperlihatkan harga yang paling
rendah, karena batubara sangat sedikit mengandung unsur Kalium. Respon gamma dengan harga
yang lebih besar daripada batubara diperlihatkan oleh respon lapisan keras yang banyak
mengandung silica, dan kemudian oleh respon batupasir. Respon gamma yang tinggi
diperlihatkan oleh batulanau dan batulempung (Abdullah, 2009).
2. Log Densitas Log densitas merupakan kurva yang menunjukan nilai densitas (bulk density)
batuan yang ditembus lubang bor, dinyatakan dalam gr/cc. Secara geologi bulk density adalah
fungsi dari densitas dari mineral-mineral pembentuk batuan (misalnya matriks) dan volume dari
fluida bebas yang mengisi pori (Rider, 1996). Besaran densitas ini selanjutnya digunakan untuk
menentukan nilai porositas batuan tersebut. Log densitas merupakan suatu tipe log porositas
yang mengukur densitas elektron suatu formasi. Prinsip pencatatan dari log density adalah suatu
sumber radioaktif yang dimasukkan kedalam lubang bor mengemisikan sinar gamma ke dalam
formasi. Pada formasi tersebut sinar akan bertabrakan dengan elektron dari formasi. Pada setiap
tabrakan sinar gamma akan berkurang energinya. Sinar gamma yang terhamburkan dan
mencapai detektor pada suatu jarak tertentu dari sumber dihitung sebagai indikasi densitas
formasi. Jumlah tabrakan merupakan fungsi langsung dari jumlah elektron didalam suatu
formasi. Karena itu log densitas dapat mendeterminasi densitas elektron formasi dihubungkan
dengan densitas bulk sesungguhnya didalam gr/cc. Harga densitas matriks batuan, porositas, dan
densitas fluida pengisi formasi. Log densitas merupakan log yang sangat baik digunakan untuk
megidentifikasi batubara. Pada log ini batubara memiliki harga densitas yang rendah karena
batubara memiliki density matrix yang rendah. Hal tersebut dapat menyebabkan porositas semu
batubara akan menurun sedangkan densitas batubara akan meningkat. (Franscisca, 2011).
Karakteristik masing-masing batuan pada log density sebagai berikut :
 Batubara mempunyai densitas yang rendah (1,20-1,80) gr/cc
 Konglomerat mempunyai densitas menengah (2,25 gr/cc)
 Mudstone, batupasir, batugamping mempunyai densitas menengah sampai tinggi (2,65-2,71)
gr/cc
 Batuan vulkanik bassa dan batuan vulkanik non basa mempunyai densitas tinggi (2,75-2,85)
gr/cc
2.4 Kondisi geologi regional
Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan yang terbentuk akibat aktivitas
pergerakkan tektonik antara lempeng India-Australia terhadap Eurasia. Cekungan Sumatera
Selatan mulai terbentuk selama ekstensi antar kedua lempeng tersebut yang berarah Timur-Barat
pada akhir Pra Tersier-awal Tersier. Cekungan ini secara geologi merupakan cekungan dengan
tipe foreland basin atau back arc basin (Daly, 1987). Subduksi antara Lempeng India-Australia
dengan Eurasia pada pembentukkan Sumatera memiliki pola yang khas, yaitu perubahan
penunjaman dengan gerak rotasi searah jarum jam. Akibat perubahan ini, terbentuk fase waktu
pergerakkan berdasarkan arah dari penunjaman. Subduksi antara lempeng tersebut membentuk
pola struktur sesar yang mendatar seiring rotasi berarah oblique. Sehingga pengaruh sistem sesar
Sumatera mengakibatkan terjadinya kompleksitas regime stress dan pola strain pada Sumatera
(Darman dan Sidi, 2000). Berdasarkan lembar geologi Lahat yang telah dibuat oleh Gafoer dkk
(1986), daerah penelitian terletak di atas formasi Muara Enim

2.4.1 Stratigrafi regional


Cekungan Sumatera Selatan terdiri atas batuan sedimen tersier yang terendapkan secara tidak
selaras di atas batuan dasar metamorfik dan batuan beku berumur pratersier (Koesomadinata,
1980).
Adapun urutan stratigrafi dari tua ke muda yaitu :
a. Formasi Lahat Formasi Lahat terendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar
metamorfikdan batuan beku pra-Tersier pada kala Paleosen – Oligosen Awal. Formasi ini
tersusun atas batuan sedimen dan piroklastik berupa konglemerat, breksi vulkanik, tuf, lava,
batupasir, dan endapan lahar (Koesomadinata, 1980).
b. Formasi Talang Akar Formasi Talang Akar terendapkan secara selaras di atas formasi Lahat
pada kala Oligosen Akhir – Miosen Awal. Formasi ini tersusun atas lapisan sedimen dengan
tebal hingga 1100 m berupa perselingan batulanau dan batupasir serta sisipan batubara yang
terendapkan pada lingkungan laut dangkal (Koesomadinata, 1980).
c. Formasi Baturaja Formasi Batuaraja terendapkan secara selaras di atas formasi Talang Akar
pada lingkungan laut dangkal memasukki kala Miosen Awal. Formasi ini tersusun atas lapisan
batuan sedimen dengan tebal hingga 160 m berupa batugamping, batugamping pasiran/ serpihan,
napal, dan serpih gampingan (Koesomadinata, 1980).
d. Formasi Gumai Formasi Gumai terendapkan pada lingkungan neritik menuju laut dalam pada
kala akhir Miosen Awal – awal Miosen Tengah. Formasi ini tersusun atas batuan sedimen
dengan tebal hingga 2200 m yang terdiri atas batuserpih – gampingan/ karbonan dan pirit,
batupasir – gampingan disertai sisipan batulempung, serta napal (Koesomadinata, 1980).
e. Formasi Air Benakat Formasi Air Benakat terendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai
berumur akhir Miosen Tengah – awal Miosen Akhir pada lingkungan laut dangkal. Formasi ini
tersusun atas batuan sedimen dengan tebal hingga 500 m yang meliputi perselingan batulempung
– pasir disertai sisipan konglomerat gampingan serta sisipan setempat batubara (Koesomadinata,
1980).
f. Formasi Muara Enim Formasi Muara Enim terendapkan secara selaras di atas formasi Air
Benakat berumur Miosen Akhir – Pliosen.Formasi ini merupakan formasi yang menyimpan
endapan batubara dalam jumlah besar sehingga dikenal sebagai formasi pembawa batubara.
Mengacu pada kondisi lengkap, formasi ini terbagi menjadi empat anggota yaitu anggota M1,
M2, M3, dan M4 (Shell, 1978). Masing- masing anggota memiliki karakteristik tersendiri berupa
tebal lapisan tiap sedimen. Formasi ini tersusun atas lapisan sedimen dengan tebal hingga 750 m
yang meliputi batulempung, lempung pasiran, pasir dan lapisan tebal batubara (Koesomadinata,
1980).
g. Formasi Kasai Formasi Kasai terendapkan di atas formasi Muara Enim pada lingkungan darat
berumur Pliosen Akhir – Pleistosen Awal. Formasi ini tersusun atas batuan vulkanoklastik
dengan tebal hingga 450 m berupa tuf dengan sisipan batulempung – pasir tufaan, serta setempat
konglomerat dengan kandungan fosil kayu (Koesomadinata, 1980).
2.4.2 Struktur geologi regional
Sistem Subduksi Pulau Sumatera terbagi menjadi tiga periode arah pergerakkan subduksi yang
membentuk tiga pola sesar utama pada Sumatera, yaitu sesar berarah Baratlaut-Tenggara yang
terjadi saat Jura Akhir-Kapur Akhir ketika subduksi mengalami fase kompresi, kemudian berarah
Utara-Selatan saat Kapur Akhir-Tersier Awal ketika mengalami fase tension, dan berarah
Timurlaut-Baratdaya yang terjadi saat Miosen Tengah-Resen ketika subduksi mengalami
kembali fase kompresi (Pulunggono, 1992). Memasuki kala Tersier, terjadi pola subduksi
berarah oblique berkecepatan 5-7 cm/tahun sehingga membentuk sudut N 25⁰E pada bagian
selatan dan N 031⁰E pada utara pulau Sumatera. Pergerakkan secara oblique memicu
terbentuknya zona patahan utama pembentuk Pulau Sumatera (Sesar Semangko) (Newcomb dan
McCann, 1987).
Fase pergeraklan lempeng saat itu memicu terbentukya beberapa sesar sehingga membentuk
ruang berupa horst, half graben, dan beberapa blok patahan sebagai pondasi awal terbentuknya
cekungan-cekungan tersier meliputi cekungan muka busur dan cekungan belakang busur. Daerah
penelitian termasuk kedalam cekungan Sumatera Selatan yang merupakan cekungan belakang
busur (back arc basin). Memasukki Miosen Akhir, terjadi peningkatan fase kompresi yang intens
sehingga membentuk struktur lipatan, terangkatnya batuan tua ke permukaan, dan munculnya
jajaran gunung api pada zona Bukit Barisan dari Aceh hingga Teluk Lampung (De Coster, 1974).
Oleh karena itu, pola struktur yang terdapat di Sumatera didominasi oleh struktur yang relatif
sejajar Sesar Semangko, yaitu berarah Baratlaut-Tenggara.
Akibat dinamika tersebut, cekungan ini memiliki tiga antiklinorium yang terdiri atas
Antiklinorium Palembang, Antiklinorium Pendopo-Limau, dan Antiklinorium Muara Enim.
Sistem antiklin yang berada dekat dengan lokasi penelitian adalah Antiklinorium Muara Enim
dengan ciri terdapatnya assymetrical-overtuned dengan arah umum Baratlaut-Tenggara serta
memilikki sayap perlipatan relatif curam pada bagian utara (Pulunggono, 1986). Arah tegasan
utama yang terjadi pada Antiklinorium Muara Enim berarah Timurlaut-Baratdaya dan
mempunyai sumbu lipatan yang dilalui oleh dua kelurusan, yaitu Kelurusan Gumai dengan arah
Barat-Timur dan Kelurusan Garba dengan arah Baratlaut-Tenggara (Gafoer dkk., 1986).

2.4.3 Geologi daerah penelitian


Geologi daerah penelitian disusun dengan urutan stratigrafi dari tua ke muda, yaitu kelompok
batulempung tufaan, batulanau dan batupasir dengan perselingan batubara berumur Miosen-
Pliosen yang dikenal sebagai Formasi Muara Enim. Daerah penelitian ini memiliki banyak
struktur sesar terutama sesar normal dengan arah utara-selatan. Hal ini dapat mempengaruhi
letak/posisi dimana batubara tersebut berada. Formasi Muara Enim diendapkan selaras diatas
Formasi Air Benakat. Formasi ini mewakili tahap akhir dari fase regresi Tersier, berumur
Miosen Atas yang tersusun oleh batulempung, batulempung pasiran, dan batubara. Struktur yang
terdapat pada daerah ini berbetuk antiform atau kubah, karena berasosiasi intrusi andesit di
daerah Bukit Asam yang diperkirakan terjadi setelah Orogenesa kala Pliosen-Pleistosen.
Stratigrafi lokal daerah penelitian berada pada formasi Muara Enim anggota A. Anggota ini
terdiri atas satuan batupasir sisipan batulanau, batulempung dan Seam batubara A-E, dengan
tebal formasi 100-300 m. Anggota ini terendapkan diatas formasi Air Benakat dan dibawah dari
anggota B formasi Muara Enim (Daranin, 1995).
Dalam menentukan seam suatu batubara, dapat dilihat berdasarkan karakteristik seam, jumlah
lapisan pengotor, dan litologi lapisan penutup atau overburden serta tebal lapisan. Seperti
(Gambar II.5) pada batubara A1 memiliki ketebalan dari 5 - 13,25 m dengan lapisan pengotor
berupa batulanau tufaan. Kemudian terdapat lapisan overburden setebal 0,5-4 m yang menjadi
interval terhadap batubara A2. Batubara A2 memiliki ketebalan berkisar 9,8-14,75 m dengan
beberapa lapisan pengotor. Antara batubara A2 dengan B1 terdapat lapisn overburden setebal 15-
20 m berupa perselingan batupasir dan lanau, dengan karakteristik utama ditemukannya Suban
Marker berupa batubara dan batulempung tipis. Kemudian, terdapat batubara B setebal 17 m
yang mengalami splitting (percabangan) berupa interval antara B1 dengan B2 setebal 2-5 m.
Antara batubara B dengan C, terdapat lapisan overburden setebal 25-44 m berupa perselingan
batu pasir dan batulanau. Kemudian terdapat lapisan batubara C setebal 13 m yang mengalami
splitting berupa batu lempung lanauan karbonan setebal 0,5-11,40 m.

Anda mungkin juga menyukai