Anda di halaman 1dari 30

EKONOMI KELEMBAGAAN (EKI416)

TEORI HAK KEPEMILIKAN

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE.,MP.

Oleh :

Kelompok 5

Dewa Made Aditya Pratama Putra (2107511247)

I Putu Yoga Sumakerta (2107511248)

Ni Luh Komang Santhi Purnama Sari (2107511249)

I Putu Gede Okan Bhaskara Muryananda (2107511250)

Tirta Candra Winata (2107511255)

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunianya
yang memberikan kesehatan dan kesempatan bagi kami sehingga dapat menyelesaikan paper ini
dengan tepat waktu. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Prof.
Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP. selaku dosen pengajar mata kuliah Ekonomi Kelembagaan
dan telah memberikan arahan dalam penyelesaian paper ini. Paper ini disusun dengan harapan
memberikan wawasan dan pengetahuan dalam pembelajaran “Teori Hak Kepemilikan”. Dengan
membaca paper ini kami berharap kiranya para pembaca memiliki rasa ingin tahu yang lebih
tinggi terhadap Teori Hak Kepemilikan melalui sumber lain yang tersedia baik di internet
maupun sumber lainnya.

Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan dan juga kritik yang membangun agar nanti
paper ini bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kami berharap paper ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang membaca. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Penulis

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii

BAB I .................................................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 2

BAB II................................................................................................................................. 3

2.1 Definisi dan tipe hak kepemilikan .......................................................................... 3


2.2 Hak kepemilikan dan rezim sistem ekonomi .......................................................... 8
2.3 Hak kepemilikan dan ekonomi kelembagaan ......................................................... 12
2.4 Hak kepemilikan dan efisiensi ekonomi ................................................................. 16
2.5 Studi kasus .............................................................................................................. 21

BAB III ............................................................................................................................... 26

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 26


3.2 Saran ...................................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Untuk memahami konsep dasar dari hak kepemilikan, langkah terbaik adalah
dengan mula-mula mengasumsikan bahwa seluruh kegiatan ekonomi mengambil tempat
dalam kerangka kelembagaan dasar dari negara liberal klasik (classical liberal state).
Asumsi itu menyebutkan bahwa hak kepemilikan ditetapkan kepada individu menurut
prinsip kepemilikan pribadi (private ownership) dan bahwa sanksi atas hak kepemilikan
dapat dipindahkan (transferable) melalui izin menurut prinsip kebebasan kontrak
(freedom of contract). Perlu dimengerti pula, bahwa hak kepemilikan tidak hanya
merupakan bagian dari kerangka kerja kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari
sistem aturan-aturan (system of rules) yang merupakan hasil dari proses ekonomi. yakni
perilaku memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, hak kepemilikan bisa
didefinisikan sebagai hak-hak untuk memiliki, menggunakan. menjual, dan mengakses
kesejahteraan. Kepemilikan (property) di sini bisa berupa kepemilikan fisik (objek
konsumen, tanah, peralatan-peralatan modal) dan kepemilikan yang tidak terlihat
(intangible property), seperti ide, puisi, dan formula/rumus kimia.
Mengenai rezim sistem ekonomi, setidaknya bisa didekati dalam tiga kelompok
besar. Pertama, rezim sistem ekonomi kapitalis.' Dalam sistem ini seluruh kepemilikan
dimiliki oleh sektor privat (swasta). Sistem ini percaya bahwa hak kepemilikan privat
(private property rights) yang dimediasi oleh mekanisme pasar akan menghasilkan
pencapaian ekonomi yang efisien.Hal ini terjadi karena setiap pemilik hak kepemilikan
dijamin kepastian untuk memperoleh insentif ekonomi atas setiap aktivitas yang
dilakukan misalnya untuk menjual, mengelola, menyewakan, dan lain-lain. Kedua, rezim
sistem ekonomi sosial Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang menyerahkan hak
Kepemilikan kepada sektor privat, sistem ekonomi sosialis mengandaikan hak
kepemilikan ada di tangan negara (state property rights Negara yang berhak untuk
memiliki dan mengelola seluruh sumber daya ekonomi yang tersedia seperti tanah. Hak
Kepemilikan dan Ekonomi Kelembagaan salah satu persoalan ekonomi yang kerap
menjadi bahan perdebatan adalah mengenai penanganan eksternalitas (externality). Tema

1
efisiensi ekonomi selalu relevan dalam bidang ekonomi mengingat tujuan terpenting dari
kegiatan ekonomi (setidaknya menurut paham klasik/neoklasik) adalah untuk mencapai
efisiensi. Efisiensi sendiri secara sederhana bisa didefinisikan sebagai upaya memperoleh
output yang lebih besar dengan input (faktor produksi) yang sama.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan tipe hak kepemilikan?
2. Bagaimana hak kepemilikan dan rezim sistem ekonomi?
3. Bagaimana hak kepemilikan dan ekonomi kelembagaan?
4. Bagaimana hak kepemilikan dan efisiensi ekonomi?
1.3 Tujun Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dan tipe hak kepemilikan
2. Untuk mengetahui hak kepemilikan dan rezim sistem ekonomi
3. Untuk mengetahui hak kepemilikan dan ekonomi kelembagaan
4. Untuk mengetahui hak kepemilikan dan efisiensi ekonomi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Tipe Hak Kepemilikan


Untuk memahami konsep dasar dari hak kepemilikan, langkah terbaik adalah
dengan mula-mula mengasumsikan bahwa seluruh kegiatan ekonomi mengambil tempat
dalam kerangka kelembagaan dasar dari negara liberal klasik (classical liberal state).
Asumsi itu menyebutkan bahwa hak kepemilikan ditetapkan kepada individu menurut
prinsip kepemilikan pribadi (private ownership) dan bahwa sanksi atas hak kepemilikan
dapat dipindahkan (transferable) melalui izin menurut prinsip kebebasan kontrak
(freedom of contract). Melalui konsep dasar tersebut, hak kepemilikan (right of
ownership) atas suatu aset dapat dimengerti sebagai hak untuk menggunakan (right to
use), untuk mengubah bentuk dan isi hak kepemilikan (to change its form and substance),
dan untuk memindahkan seluruh hak-hak atas aset (to transfer all rights in the asset),
atau beberapa hak (some rights) yang diinginkan. Dengan deskripsi ini, hak kepemilikan
hampir selalu berupa hak eksklusif (exclusive right), tetapi kepemilikan ɔukan berarti hak
yang tanpa batas (unrestricted right) [Furubotn dan Richter, 2000:71-72]. Sedangkan
Bromley dan Cernea (1989:5) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk
mendapatkan aliran laba yang hanya aman (secure) tila pihak-pihak yang lain respek
dengan kondisi yang melindungi aliran laba tersebut. Makna ini dengan cukup terang
mendonorkan gambaran yang jelas, bahwa sesungguhnya hak kepemilikan menyangkut
penguasaan individu atas aset dalam pengertian yang luas bisa berupa ilmu
pengetahuan/knowledge dan keterampilan/skill) sehingga di dalam dirinya terdapat hak
menggunakan atau memindahkan atas yang aset yang dikuasai dimiliki. Basis konsep ini
pula yang nantinya dapat dipakai untuk memperluas cakupan dan pemahaman terhadap
hak kepemilikan.
Perlu dimengerti pula, bahwa hak kepemilikan tidak hanya merupakan bagian dari
kerangka kerja kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari sistem aturan-aturan
(system of rules) yang merupakan hasil dari proses ekonomi, yakni perilaku
memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, hak kepemilikan bisa didefinisikan sebagai
hak-hak untuk memiliki, menggunakan. menjual, dan mengakses kesejahteraan.

3
Kepemilikan (property) di sini bisa berupa kepemilikan fisik (objek konsumen, tanah,
peralatan-peralatan modal) dan kepemilikan yang tidak terlihat (intangible property),
seperti ide, puisi, dan formula/rumus kimia. Namun. barangkali di antara sekian banyak
hak kepemilikan yang ada, bentuk hak kepemilikan yang paling penting bagi teori
ekonomi adalah tenaga kerja dan alat-alat produksi (means of production) [Caporaso dan
Levine, 1992:871]. Faktanya memang demikian, dimana kebijakan-kebijakan hak
kepemilikan terus diarahkan untuk menjamin kepastian faktor produksi, seperti lahan,
tenaga kerja, dan modal. Faktor produksi tersebut mendapatkan prioritas untuk
mendapatkan kepastian hak kepemilikannya, sebab bila tidak dilindungi dipastikan
kegiatan produksi (ekonomi) akan macet.
Dalam perkembangannya, sejarah eksistensi hak kepemilikan tersebut dapat
dilacak dari dua pendekatan, yakni teori kepemilikan individu dan teori kepemilikan
sosial (Furubotn dan Richter-, 2000:69). Pertama, teori kepemilikan individu merupakan
representasi dari doktrin hak-hak alamiah (natural rights), yang merupakan basis dari
ekonomi klasik, yang mengarah pada pandangan individualistik. Ekonom-ekonom klasik
menyimpulkan hak-hak alamiah tersebut dari teori masyarakat rasional (rational theory
of society), yang melihat manusia sebagai makhluk egois (selfish creature) yang -dalam
prosa Hume- „mencintai dirinya lebih dari manusia lain, dan cintanya terhadap manusia
lain menanggung pengaruh terbesar terhadap hubungan äan perkenalannya.’ Kedua,
teori sosial berargumentasi bał.wa masyarakat menyediakan mekanisme perbaikan bagi
keterbatasan-keterbatasan alamiah (natural limitations) yang inheren dalam diri manusia
(human beings). Dalam kata-kata Hume: „Melalui penghubung kekuatan, kekuasaan kita
akan membesar. Lewat pemisahaan kesempatan kerja, kemampuan kita akan meningkat.
Dan melalui pemberian pertolongan (succor) yang saling menguntungkan, kita akan
kurang diekspos apabila memperoleh keuntungan maupun malapetaka.’
Dalam cara pandang yang lain, Caporaso dan Levine (1992:88-89) menjelaskan
dua teori yang berbeda menger.ai hak kepemilikan, yang sebetulnya mengekspresikan
respons yang berlainan terhadap dugaan bahwa hak-hak itu semacam politik. Pertama,
aliran positivis (positivist school) berargumentasi bahwa hak-hak diciɔtakan melalui
sistern politik. Hak-hak berasal dari sistem yang mendesainnya dan dibatasi oleh apa
yang dapat ditegakkan dalam pengadilan hukum (courts of law). Dalam posisi ini, hak-

4
hak secara historis maupun empiris selalu ditentukan (determined). Kedua, aliran hak
alamiah (natural rights school) yang berargumentasi bahwa seseorang sejak lahir telah
memiliki hak (innate rights), yang kadangkala merujuk kepada hak-hak yang tidak bisa
disingkirkan (inalienable rights). Dengan begitu, aliran positivis mengidentifikasi hak-
hak dengan hukum (courts of law), sementara aliran hak-hak alamiah mencoba menggali
hak. hak tersebut dari sisi luar hukum (outside of existing law). Lebih dari segalanya, hak
kepemilikan harus dilihat dari perspektif yang dinamis, bukan statis Maksudnya, hak
kepemilikan tidak cuma merujuk kepada kondisi asli (original condition) yang harus
eksis bagi hubungan pertukaran, tetaɔi sifat dan keluasan dari hak kepemilikan harus
terbuka bagi kemungkinan terjadinya perubahan (open to change).
Furubotn dan Pejovich (1972:1139) membuat ciri-ciri dan konsep hak
kepemilikan sebagai berikut: 'Poin inti yang harus dicatat adalah hak kepemilikan tidak
merujuk kepada hubungan antara manusia dan benda, tetapi lebih kepada hubungan
perilaku sanksi diantara manusia yang muncul dari keberadaan benda/barang dan
penggunaannya. Sistem hak kepemilikan yang berlaku sebelumnya di dalam komunitas
dapat dideskripsikan, kemudian seperangkat hubungan ekonomi dan sosial akan
mendefinisikan posisi masing-masing individu dengan memfokuskan kepada
pemanfaatan sumber daya-sumber daya yang langka." Deskripsi ini dengan jelas
memberikan pengetahuan bahwa sebetulnya persoalan penetapan hak kepemilikan bukan
sekadar ingin mendata 'siapa memiliki apa' namun yang lebih penting adalah penetapan
hak kepemilikan akan menyodorkan fasilitas agar antarindividu dapat mengerjakan
proses pertukaran ekonomi. Apabila hal ini direlasikan dengan teori biaya transaksi,
maka fungsi dari hak kepemilikan adalah memberikan kepastian bagi pelaku ekonom:
untuk melakukan transaksi sehingga berimplikasi kepada rendahnya biaya transaksi yang
terjadi. Tanpa kepastian hak kepemilikan, setiap proses pertukaran -khususnya dalam
jangka panjang-akan menimbulkan biaya transaksi yang tinggi. Dengan kata lain, proses
pertukaran (dalam skala luas: kegiatan ekonomi) tersebut tidak efisien.
Salah satu pemikir ekonomi kelembagaan yang mengupas hubungan antara
konsep hak kepemilikan dan biaya transaksi adalah Yoram. Barzel. Menurutnya (Barzel,
1997:4), dari asalnya konsep hak kepemilikan. sangat dekat dengan biaya transaksi, di
mana biaya transaksi didefinisikan olehnya sebagai ongkos yang diasosiasikan dengan

5
kegiatan transfer, menangkap, dan melindungi hak-hak (transfer, capture, and protection
of rights). Jika biaya transaksi diasumsikan bahwa untuk aset apapun masing-masing
biaya meningkat, dan bahwa baik proteksi maupun transfer penuh dari hak-hak tersebut
dicegah agar tidak muncul biaya, maka kemudian biaya transaksi itu akan mengarahkan
hak-hak yang dimiliki menjadi tidak lengkap (complete), karena orang-orang tidak akan
pernah menemukan hak-haknya cukup berharga untuk mendapatkan potensi keuntungan
dari aset-asetnya. Agar hak-hak terhadap aset yang dipunyai berlaku secara lengkap, baik
pemilik maupun individu lain yang tertarik terhadap aset tersebut harus memproses
dengan pengetahuan penuh (full knowledge) terhadap seluruh atribut dari aset tersebut.
Sebaliknya, ketiga hak-hak itu secara sempurna dirancang dengan baik, informasi produk
harus menjadi tanpa biaya (costless) untuk memperoleh dan ongkos transaksi kemudian
harus menjadi nol (zero).
Dalam konteks kerangka kerja neoklasik, Tietenberg (1992; dalam Prasad, 2003:
748) menerima premis yang dikembangkan oleh aliran neoklasik dan menyarankan
bahwa struktur yang efisien dari hak kepemilikan dapat memproduksi alokasi sumber
daya yang efisien pula. Kemudian dia mengidentifikasi empat karakteristik dari hak
kepemilikan yang penting:
1. Universalitas (universality): Seluruh sumber daya dimiliki secara privat dan seluruh
jatah (entitlement) di spesifikasi secara lengkap.
2. Eksklusivitas (exclusivity): seluruh keuntungan dan biaya diperluas sebagai hasil dari
kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya seharusnya jatuh ke pemilik, dan hanya
kepada pemilik, baik secara langsung (directly) maupun tidak langsung (indirectly),
melalui penjualan atau yang lain.
3. Transferabilitas (transferability): seluruh hak kepemilikan seharusnya dapat
dipindahkan (ditransfer) dari satu pemilik kepada pihak lain lewat pertukaran sukarela
(voluntary exchange).
4. Enforsibilitas (enforceability): hak kepemilikan seharusnya dijamin dari
praktik/pembeslahan keterpaksaan (involuntary seizure) atau pelanggaran
(encroachment) dari pihak lain.

Tabel 7.1 : Tipe-tipe Rezim Hak Kepemilikan Berdasarkan Pemilik, Hak, dan Kewajiban

6
Tipe Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik
Pemanfaatan yang bisa Mencegah penggunaan yang
Kepemilikan
Individu diterima secara tidak bisa diterima secara
Privat
sosial;kontrol akses sosial
Kepemilikan Pengecualian terhadap Merawat, mengatur tingkat
Kolektif
bersama non-pemilik pemanfaatan
Kepemilikan
Warga negara Menentukan aturan Menjaga tujuan-tujuan sosial
negara
Akses terbuka
Tidak ada Memanfaatkan (capture) Tidak ada
(tanpa akses)
Sumber : Hanna, 1995, dalam Mappatoba, 2004:22

Pada akhirnya, bila dipilah-pilah jenis-jenis hak kepemilikan yang eksis dalam
masyarakat. setidaknya terdapat tiga tipe yang penting, yakni hak kepemilikan individu
(private property right/ownership), hak kepemilikan negara (state property
right/ownership), dan hak kepemilikan komunal (communal property right/ownership)
[Pejovich, 1995:66]. Hak kepemilikan individu/ pribadi dimaksudkan bahwa setiap
individu berhak menguasai dan memiliki aset spesifik yang diinginkan. Dengan hak
kepemilikan tersebut dia berhak memperoleh keuntungan, entah dengan cara diolah,
dijual, atau dengan jalan lain. Sedangkan hak kepemilikan negara diartikan bahwa aset
spesifik hanya dibolehkan menjadi milik negara sehingga individu/pribadi tidak
diperkenankan untuk memilikinya. Sementara itu, hak kepemilikan komunal tidak lain
merupakan kepemilikan yang dipunyai oleh kelompok yang telah terdefinisikan dengan
baik (well-defined group) dari orang-orang (people) yang bergabung untuk
menggenggam aset yang tidak bisa dipindahkan (nontransferable asset). Diluar itu,
memang masih ada beberapa jenis hak kepemilikan lain, misalnya hak kepemilikan
terbuka (open access property right), namun eksistensinya saat ini semakin melemah
seiring dengan intensitas modernisasi ekonomi (secara lebih rinci bisa dilihat dalam
Tabel 7.1). Jadi, intinya hak kepemilikan dalam literatur ekonomi kelembagaan baru (new
institutional economics) dapat dipisahkan dalam empat tipe berikut (Swallow/Bromley,
1995; Kirk, 1994):

 Rezim kepemilikan individu/pribadi (private property regime). yakni hak


kepemilikan dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh individu sebagai pemiliknya.

7
 Rezim kepemilikan bersama (common property, regime), yakni hak kepemilikan
dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh komunitas.
 Rezim kepemilikan negara (state property regime). yakni hak kepemilikan dan
aturan-aturan yang ditetapkan oleh negara.
 Rezim akses terbuka (open access regime), yakni hak kepemilikan aturan-aturan
yang tidak ditetapkan (not assigned) oleh siapapun.

Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, secara umum diasumsikan


bahwa kualitas hak kepemilikan, yang direfleksikan oleh adanya aturan hukum dan
jaminan hak milik, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional lewat empat
mekanisme kausalitas berikut (Opper, 2008:392).

1. Jaminan hak kepemilikan mengurangi ketidakpastian sehingga meningkatkan


investasi nasional maupun penanaman modal asing.
2. Hak kepemilikan. mempengaruhi investasi dalam teknologi dan sumber daya insani
human development).
3. Keamanan hak kepemilikan mereduksi biaya transaksi, yang membuat perilaku privat
tidak mendapat ruang untuk mendapat "hak khusus" dalam kerangka kerja
kelembagaan yang mapan.
4. Ketiadaan jaminan hak kepemilikan menyebabkan misalokasi sumber daya ekonomi,
misalnya jika seseorang yang dekat dengan kekuasaan memanfaatkan kesempatan
memperoleh hak khusus dengan jalan menggantikan aturan main yang mapan.

Disini, keberhasilan ekonomi kerap kali diperoleh melalui hubungan personal, posisi
tawar, dan korupsi dengan jaringan politik (politicized networks), sedangkan prinsip
efisiensi ekonomi hanya memberikan kontribusi yang kecil/minor.

2.2 Hak Kepemilikan dan Rezim Sistem Ekonomi


Jika berbicara mengenai rezim sistem ekonomi, setidaknya bisa didekati dalam
tiga kelompok besar. Pertama, rezim sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ini seluruh
kepemilikan dimiliki oleh sektor privat (swasta). Sistem ini percaya bahwa hak
kepemilikan privat (private property rights) yang dimediasi oleh mekanisme pasar akan
menghasilkan pencapaian ekonomi yang efisien. Hal ini terjadi karena setiap pemilik hak

8
kepemilikan dijamin kepastian untuk memperoleh insentif ekonomi atas setiap aktivitas
yang dilakukan misalnya untuk menjual, mengelola, menyewakan, dan lain-lain. Kedua,
rezim sistem ekonomi sosial. Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang
menyerahkan hak kepemilikan kepada sektor privat, sistem ekonomi sosialis
mengandaikan hak kepemilikan ada di tangan negara (state property rights negara yang
berhak untuk memiliki dan mengelola seluruh sumber daya ekonomi yang tersedia seperti
tanah. Dengan basis kepemilikan negara tersebut, sistem ini yakin bahwa pemerataan
ekonomi akan lebih mudah diwujudkan ketimbang hak kepemilikan dipegang oleh swasta
Ketiga, rezim sistem ekonomi campuran. Sistem ekonomi ini mengawinkan kepemilikan
di tangan swasta dan negara, setiap negara yang mengadopsi sistem ini berbeda-beda
intensitasnya dalam mengijinkan hak kepemilikan kepada sektor swasta maupun negara
Umumnya, negara diberi ruang mengelola hak kepemilikan yang strategis, seperti sumber
daya air, hutan, dan lain-lain. Dengan sistem campuran ini, diharapkan pertumbuhan
ekonomi bisa didapat tanpa harus mengorbankan tujuan pemerataan pembangunan.
Harus diakui, sampai hari ini terdapat kecenderungan pandangan sistem ekonomi
kapitalis mengenai hak kepemilikan kian mendominasi dan diadopsi oleh sebagian besar
negara di dunia. Bahkan, negara-negara yang dulunya menganut sistem hak kepemilikan
negara, seperti negara-negara Eropa Timur. saat ini secara perlahan telah mentransisikan
sistem hak kepemilikannya menuju kepada kepemilikan privat. Proses transisi itu
tentunya tidak berlangsung seketika (over night), tetapi melalui proses yang panjang dan
berliku. Dalam banyak kejadian, transfer model hak kepemilikan ini berjalan sepaket
dengan perubahan sistem ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara tersebut. Jika
sistem ekonomi berubah tanpa penggantian model hak kepemilikan (misalnya sistem
ekonomi kapitalis dengan hak kepemilikan negara), maka bisa dipastikan kegiatan
ekonomi akan macet. Setidaknya, mekanisme pasar akan gagal untuk mengalokasikan
sistem insentif dan disinsentif dalam menggerakkan kegiatan ekonomi. Demikian pula,
sinyal barga tidak lagi menjadi rujukan bagi pelaku ekonomi untuk masuk' atau 'keluar'
pasar. Inilah yang menjadi latar belakang model hak kepemilikan satu paket dengan
sistem ekonomi.
Seperti yang telah disinggung sedikit di atas, rezim hak kepemilikan privat
diyakini akan memandu setiap pelaku ekonomi memperoleh efisiensi melalui

9
"internalisasi yang lebih besar terhadap eksternalitas. Jika suatu sumber daya yang langka
(scarce) ditempatkan dalam wilayah publik (public domain), maka orang-orang memiliki
insentif untuk mengeksploitasi secara kompetitif terhadap sumber daya tersebut agar
memperoleh keuntungan (benefits), sehingga dalam jangka waktu yang tidak lama
sumber daya tersebut akan rusak. Dalam posisi inilah pemaparan hak kepemilikan privat
terhadap sumber daya (sekaligus tidak membolehkan/mengeksklusi pihak lain untuk
menggunakan/mengonsumsi sumber daya tersebut) akan memfasilitasi kalkulasi rasional
(rational calculation) bagi pemiliknya untuk mendapatkan lahan maupun menanggung
biaya atas pemanfaatan sumber daya tersebut. Selanjutnya, jika hak milik tersebut
ditransfer kepada pihak lain yang menawar dengan harga paling tinggi (buds the highest
price). maka tujuan kesejahteraan sosial akan tercapai (maximized) [Aoki, 2001:35-36]
Dengan basis pemikiran inilah pendukung arus utama hak kepemilikan priva percaya
bahwa efisiensi ekonomi akan tercapai.
Tentu saja pandangan itu bukan merupakan satu-satunya pemikiran. yang hidup
dalam isu manajemen hak kepemilikan: Di kutub pemikiran lain. terdapat pandangan
yang menyatakan bahwa efisiensi ekonomi tidak boleh hanya diukur dari keuntungan
(profit) terbesar yang bisa diraih. Seharusnya efisiensi harus didefinisikan untuk tujuan
yang lebih luas, misalnya keadilan dan pemerataan (ekonomi). Jika pemikiran ini
diterima, maka private property rights tentu bukanlah satu-satunya rezim hak
kepemilikan yang efisien. Bahkan, dalam beberapa aspek, bisa saja hak kepemilikan
privat tidak mengandaikan kesejahteraan sosial. Sebabnya sederhana, yakni kesempatan
setiap individu untuk mengakses dan memiliki property rights tidaklah sama. Bila ini
yang terjadi. maka keuntungan (kesejahteraan) ekonomi hanya digenggam oleh mereka
yang menguasai hak kepemilikan. Proposisi inilah yang menjadi alasan bahwa negara
harus hadir untuk mengelola dan menguasai hak kepemilikan (dalam cakupan dan skala
tertentu) untuk menghindari pemusatan kesejahteraan ekonomi cuma ditangan segelintir
pelakunya yang mempunyai akses terhadap hak kepemilikan.
Secara teknis, ide hak kepemilikan negara tersebut didukung oleh beragam
konsep yang memungkinkan aspek pemerataan dan kesejahteraan ekonomi tercapai.
Salah satu argumen dari kaum sosialis yang paling terkenal adalah hak kepemilikan di
tangan negara akan mencegah praktik eksploitasi terhadap tenaga kerja (buruh) atau

10
konsentrasi megaprofit kepada sedikit elit bisnis, seperti yang terjadi dalam sistem
ekonomi kapitalis Dengan begitu, model ini menggaransi bahwa distribusi pendapatan
akan lebih merata (more equal) dan negara juga tidak akan dikuasai oleh kelompok kecil
pemilik modal (kapitalis). Penyediaan kebutuhan dasar manusia (basic human needs)
secara struktural juga lebih visibel di bawah sosialisme karena produksi tidak hanya
ditujukan meraih keuntungan swasta (private profit). Akhirnya, dibawah sosialisme
pembangunan berjalan secara lebih halus (smooter), lebih rasional, berdasarkan
kebutuhan dan prioritas, lebih adil/patut (equitable), dan kurang boros dibandingkan
sistem ekonomi kapitalis (Jaffee, 1998:121). Dengan basis itulah dianggap hak
kepemilikan negara lebih superior ketimbang hak kepemilikan privat.
Sungguh pun begitu, model ekonomi sosialis tersebut bukannya tanpa kritik,
khususnya mengenai konsep hak kepemilikan negara. Sekurangya terdapat empat kritik
terhadap model ekonomi sosialis tersebut (Jaffee, 1998:121). Pertame. di bawah
kekuasaan dan kontrol sosialisme, ekonomi akan dipegang oleh sekelompok birokrat
negara yang umumnya tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat (pasar).
Pendeknya, penggantian (replacement) kaum kapitalis kepada kelompok birokrat akan
menghasilkan inefisiensi dan ketimpangan yang lebih besar. Kedua, menempatkan peran
wirausahawan dalam sektor publik akan mengurangi pentingnya motif laba individu
(private prof motive) dan insemi melakukan investasi, inovasi, mengambil risiko,
mengembangkan produk baru dan merespons pasar baru. Ketigo, sosialisme, melalui
kontrol terhadap ala-ala produksi di tangan negara menyebabkan konsentrasi kekuasaan
politik berada di tangan pihak yang ditunjuk oleh negara (state managers) atau birokrat
(party bureaucrats). Keempat, ketiadaan pasar berarti menempatkan dewan perencanaan
pusat (central planning board) sebagai pihak yang memutuskan segala urusan ekonomi,
seperti penawaran, permintaan, preferensi konsumen, dari harga Faktanya, urusan itu
sangatlah kompleks yang tidak mungkin dikelola seluruhnya oleh negara sehingga
berpotensi menimbulkan pemanfaatan dan alokasi sumber daya yang tidak efisien.
Dalam posisi yang saling bertentangan antara kapitalisme dan sosialisme itulah,
dimana keduanya memiliki efek negatif terhadap pencapaian ekonomi, lalu muncul
sistem ekonomi campuran (mixed economic system). Sebutan dari sistem ekonomi
campuran itu sendiri bermacam-macam, seperti welfare state, social market economy,

11
dan lain-lain. Inti dari sistem ini adalah mencoba mengambil hal yang terbaik, dari
kapitalisme maupun sosialisme, sehingga efek-efek negatif yang ditimbulkan dari kedua
sistem ekonomi tersebut bisa direduksi. Tentu saja mengawinkan dua sistem ekonomi itu
bukanlah perkara yang mudah, meskipun secara teoritis gampang untuk
dikonseptualisasikan. Dalam beberapa hal proses integrasi di antara dua sistem tersebut
bila ditinjau dari sisi hak kepemilikan berujung kepada dua postulat berikut:
1. Hak kepemilikan dipunyai oleh sektor privat sepanjang itu bisa memberikan insentif
ekonomi yang lebih baik bagi pelakunya; dan
2. Hak kepemilikan harus diserahkan kepada negara jika pasar tidak responsif terhadap
tujuan sosial (misalnya pemerataan pendapatan) dan eksternalitas. Dengan dua
postulat itulah masing-masing instrumen yang bagus dari kapitalisme dan sosialisme
diambil untuk kemudian diaplikasikan dalam sistem ekonomi campuran.

2.3 Hak Kepemilikan dan Ekonomi Kelembagaan


Hak Kepemilikan dan Ekonomi Kelembagaan salah satu persoalan ekonomi yang
kerap menjadi bahan perdebatan adalah mengenai penanganan eksternalitas (externality),
Ekonomi neoklasik, di satu sisi, mengabaikan adanya eksternalitas sehingga tidak
memformulasikan secara khusus bagaimana menyelesaikannya. Sementara itu, ekonomi
neoklasik di sisi lain berpandangan bahwa eksternalitas eksis dalam kegiatan ekonomi
sehingga harus dipecahkan secara sistematis. Ekonomi neo klasik berpendapat bahwa
pasar tidak bisa menyelesaikan masalah eksternalitas, seperti halnya pasar tidak akan
mampu memecahkan persoalan hak kepemilikan (property rights) dan barang publik
(public goods) Pada titik inilah diperlukan instrumen 'aturan main' (institutions) untuk
bisa menangani masalah eksternalitas. Tentu saja, makna aturan main tersebut berada di
luar kerangka ekonomi pasar (market economy). Salah satu proposisi yang diajukan oleh
aliran neoklasik adalah intervensi negara/pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar
dalam memecahkan kasus eksternalitas. Jadi, meskipun mazhab neoklasik tetap percaya
bahwa mekanisme pasar merupakan instrumen yang paling efisien mengalokasikan
kegiatan ekonomi, tetapi dalam aspek-aspek tertentu (seperti penanganan eksternalitas,
barang publik, dan hak kepemilikan) pemerintah diharapkan hadir untuk memperkuat
mekanisme pasar.

12
Dengan basis pemikiran neoklasik itulah Coase (dalam Kherallah dan Kirsten,
2001:14) memberikan postulat bahwa eksternalitas dapat diinternalisasikan (internalized)
dalam kegiatan ekonomi jika hak kepemilikan telah dikelola dengan baik (well
established). Dalam pandangannya, bila hak kepemilikan telah diamankan dengan baik
dan jika diandaikan tidak ada biaya-biaya transaksi, maka eksternalitas bisa
diinternalisasikan di antara dua pelaku privat melalui proses tawar-menawar (bargaining)
dan negosiasi (negotiations). Inilah yang sebetulnya menjadi esensi dari 'Coase Theorem.
Argumen Coase tersebut sekaligus menolak pemikiran Pigou yang mengajukan
instrumen pajak untuk mengatasi masalah eksternalitas. Bagi Coase, jika hak kepemilikan
telah diatur dengan baik, maka sejatinya intervensi pemerintah (dalam wujud apapun)
tidak dibutuhkan lagi. Sebab, menurutnya, jika setiap hak kepemilikan telah jelas siapa
yang mempunyainya, maka hasil kegiatan ekonomi (outcome) akan efisien dengan
sendirinya. Seterusnya, aspek distribusi dari hasil kegiatan ekonomi tersebut akan
ditentukan oleh alokasi awal dari hak kepemilikan tersebut (initial allocation of the
property rights).
Dari deskripsi di atas, terlihat bahwa Coase tidak menempatkan negara sebagai
pihak yang harus hadir untuk menyelesaikan kasus eksternalitas, Coase hanya
menyarankan aspek hak kepemilikan (privat diperjelas dan dimapankan agar persoalan
eksternalitas bisa dituntaskan melalui mekanisme pasar itu sendiri. Sebaliknya. Pigou
menganggap negara harus melakukan intervensi untuk mengatasi masalah eksternalitas,
misalnya melalui instrumen pajak. Menyepakati ide Pigou tersebut, Mills calam Gregory
dan Stuart. 1992:188) menyebut sedikitnya ada tiga peran yang bisa dilakukan oleh
negara untuk mengatasi masalah eksternalitas Pertama, pembagian otoritas dan tanggung
jawab antara pemerintah lokal, pemerintah pusat negara, dan badan-badan pemerintah
(misalnya pengawasan polusi udara) yang bisa menghambat terjadinya penyimpangan
setiap program. Dalam banyak kasus. efek eksternal yang dipicu oleh sekat-sekat politik
lokal (local political boundaries) kadangkala memerlukan beberapa bentuk koordinasi
pada level nasional maupun regional untuk dapat menyelesaikannya. Kedua, keengganan
umum untuk menggunakan kekuatan pasar dalam menyelesaikan masalah eksternalitas,
seperti pajak bagi penghasil polutan. Singkatnya, pelarangan dan tata administrasi dapat
dilakukan oleh negara untuk melakukan penegakan (enforcement), Ketiga, ketidakmauan

13
mempertimbangkan tingkat 'optimal' dari kerusakan lingkungan (environmental
disruption) menyebabkan eksternalitas hanya bisa diatasi melalui pengeluaran sumber
daya masyarakat (society's resources). Jadi, dengan tiga peran itulah negara bisa datang
untuk menuntaskan masalah eksternalitas.
Lepas dari perdebatan tersebut, hubungan antara hak kepemilikan dan ekonomi
kelembagaan tidaklah hanya dipicu oleh masalah eksternalitas semata. di mana Coase
menyarankan adanya kepastian hak kepemilikan (privat) untuk menyelesaikan problem
eksternalitas. Pada titik ini, ekonomi kelembagaan juga peduli terhadap urusan-urusan
yang lebih besar, seperti menguliti hubungan antara kepemilikan/pengelolaan hak
kepemilikan terhadap kesejahteraan, efisiensi, pertumbuhan ekonomi. Pembahasan soal
ini sekaligus agak mengurangi relevansi perlunya mengupas perbedaan antara
kelembagaan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, karena-senang atau tidak-ciri sistem
ekonomi sosialis seperti yang dipelajari hampir sudah tidak ada lagi contohnya di dunia
(kecuali Kuba dan beberapa negara Amerika Latin, seperti Bolivia). Namun, tidak lantas
kelembagaan ekonomi kapitalisme lantas berwujud tunggal, karena varian dari sistem
ekonomi kapitalis sendiri bermacam-macam. Secara prinsip mayoritas negara-negara di
dunia saat ini menggunakan sistem pasar, tetapi derajat dan model pengelolaannya
berbeda-beda.
Sekadar ilustrasi, jika digunakan negara AS, Jerman, dan Jepang sebagai sampel
dari penganut sistem ekonomi kapitalis; maka akan dijumpai kelembagaan ekonomi (dan
politik) yang berlainan di antara negara-negara tersebut, AS, yang dipandang sebagai
penganjur pasar bebas (liberalism), diakui sebagai negara yang getol mengampanyekan
perlunya negara menyingkir dari kegiatan ekonomi, sehingga seluruh hak kepemilikan
diserahkan kepada sektor swasta. Aturan main (institutions) ekonomi yang dipraktikkan
adalah desentralisasi, pasar terbuka, pasar modal yang tidak terkonsentrasi, dan regulasi
antitrust. Sedangkan Jerman, yang diyakini sebagai contoh negara penganut social market
economy, mendesain kelembagaan ekonominya dalam wujud pasar yang terorganisasi
(secara implisit ada peran negara untuk mengorganisasi pasar), pasar modal yang
berpusat pada bank (bank-centered capital markets), dan penggunaan perbankan umum
(universal bank). Sebaliknya, Jepang yang mempraktikkan sistem ekonomi pasar
'terpimpin (guided market system)-mengandaikan peran negara yang cukup kuat untuk

14
mengatur dan mengkoordinasi pasar, misalnya melalui instrumen jaringan bisnis,
kebijakan pemerintah yang terpadu untuk mempengaruhi pasar, dan intervensi pada
industri-industri yang mulai menunjukkan adanya penurunan aktivitas (Tabel 7.2).
Dengan model kelembagaan ekonomi yang berlainan di antara negara-negara kapitalis
tersebut, tentunya juga berimplikasi terhadap jenis pengelolaan hak kepemilikan
(property rights).

Tabel 7.2 Perbandingan Kelembagaan Kapitalis dan Ideologi : USA, Jerman, dan Jepang
AS Jerman Jepang
Demokrasi liberal: Demokrasi pembangunan
pemerintah yang terpisah Demokrasi sosial; birokrasi lemah; (developmentmental)
Institusi Politik (diveded), kelompok legalitas organisasi korporatis birokrasi kuat;
kepentingan yang (corporatist) "reciprocal consent"
terorganisai antara negara dan pasar

Terpimpin, tercabang, sulit


Desentralisasi; pasar melakukan penetrasi ke
Pasar terorganisasi; tiers of firms ;
terbuka; pasar modal yang pasar; jaringan bisnis yang
Institusi Ekonomi pasar modal yang berpusat pada
tidak terkonsentrasi; tradisi ketat/kartel dalam industri
bank; perbankan umum (universal)
antitrust yang menurun (declining
industry)

Ideologi Ekonomi Kebebasan usaha (free Kemitraan sosial (sosial


Technonationalism
Dominan enterprises liberalism) partnership)

Sumber : Pauly dan Reich, 1997, dalam Jaffee, 1998: 137

Dengan kerangka kelembagaan di atas bisa diperkirakan bagaimana bentuk-


bentuk hak kepemilikan di negara-negara tersebut. Di AS yang menganut pasar bebas,
hak kepemilikan hampir seluruhnya diberikan kepada sektor swasta (private property
rights) sehingga tidak ada ruang bagi negara mengelola dan menguasai sumber daya
ekonomi, termasuk kepemilikan badan usaha negara. Tentu saja, jika terdapat kasus-
kasus semacam eksternalitas dan ketimpangan pendapatan, maka pasar sendiri yang akan
menyelesaikannya. Sementara itu, di negara yang menganut ekonomi kesejahteraan
(seperti Swedia) dan ekonomi pasar pasar sosial semacam Jerman, negara dalam
intensitas yang terbatas diberi ruang untuk menguasai, hak kepemilikan yang bernilai:
ekonomi, sehingga negara mempunyai kapasitas mengatasi problem eksternalitas,
15
barang-barang publik dan ketimpangan ekonom Biasanya, instrumen yang dipakai untuk
menuntaskan kasus-kasus tersebut adalah pajak progresif tunjangan sosial. dan
kepemilikan badan usaha. Hal yang mirip juga dilakukan oleh sistem ekonomi pasar
terpimpin (Jepang sebagai sampelnya), di mana negara diberi keleluasaan untuk memiliki
hak kepemilikan. Sebagai tambahan, dalam sistem ekonomi terpimpin tekanannya adalah
negara melakukan koordinasi yang integratif dengan dunia usaha (sektor swasta)
sehingga seluruh kegiatan ekonomi bisa dikontrol dengan baik Dengan penetrasi negara
yang begitu dalam untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi, soal- soal eksternalitas
maupun ketimpangan pendapatan bisa dihindari.
Akhirnya, hak kepemilikan tidaklah statis, tetapi selalu berubah sesuai dengan
kebutuhan dan situasi. masyarakat. Dalam bahasa yang lebih tegas, hak kepemilikan atas
aset-aset yang pasti (certain assets) berubah seiring dengan perubahan waktu dan
teknologi. Jika manusia yang hidup di bumi masih sedikit, maka tidak ada persoalan
kelangkaan sumber daya. Namun, bila jumlah manusia yang tinggal di bumi kian banyak,
sumber daya semakin terbatas dan kelembagaan (aturan main) baru harus dibuat.
Misalnya, suku-suku asli bisa saja menyingkirkan para pendatang dari pemanfaatan
kepemilikan. Seterusnya, apabila kelompok-kelompok terus tumbuh dan aturan informal
untuk meregulasi penggunaan kepemilikan gagal menjalankan fungsinya, maka hak
kepemilikan bersama mengalami tekanan hebat, yang kemudian hak kepemilikan privat
(individu) menjadi sebuah alternatif yang paling mungkin untuk diambil [Kasper dan
Streit: 183-185].

2.4 Hak Kepemilikan dan Efisiensi Ekonomi


Tema efisiensi ekonomi selalu relevan dalam bidang ekonomi mengingat tujuan
terpenting dari kegiatan ekonomi (setidaknya menurut paham klasik/neoklasik) adalah
untuk mencapai efisiensi. Efisiensi sendiri secara sederhana bisa didefinisikan sebagai
upaya memperoleh output yang lebih besar dengan input (faktor produksi) yang sama.
Dalam pendekatan ekonomi kelembagaan, efisiensi tersebut bisa dicapai melalui dua
cara, yakni pendekatan statis dan pendekatan dinamis. Dalam pendekatan statis. efisiensi
ekonomi dicapai melalui spesialisasi tenaga kerja (division of labor). Asumsinya, jika
setiap tenaga kerja hanya mengerjakan satu kegiatan kecil, maka dia akan mudah

16
menguasai pekerjaan tersebut sehingga produktivitas menjadi lebih tinggi: demikian
sebaliknya. Sedangkan dalam pendekatan dinamis, efisiensi ekonomi diperoleh dengan
jalan meningkatkan kapasitas dan inovasi teknologi sehingga produktivitas menjadi
meningkat. Kedua pendekatan ini dalam batas-batas tertentu telah teruji keberhasilannya,
baik di negara maju maupun negara berkembang. Umumnya, di negara maju pendekatan
dinamis yang lebih banyak diadopsi, sedangkan di negara berkembang pendekatan statis
yang lebih banyak dipakai untuk meningkatkan efisiensi.
Jika persoalan efisiensi ekonomi tersebut dikaitkan dengan hak kepemilikan,
maka cukup banyak perspektif yang bisa digunakan. Pertama, melihat hubungan antara
hak kepemilikan dengan kepastian hukum untuk melindungi penemuan-penemuan baru
(seperti teknologi). Dalam sudut pandang ini, negara yang bisa menjamin hak
kepemilikan terhadap penemuan/inovasi teknologi (lewat paten) akan memiliki implikasi
yang besar terhadap produktivitas dan efisiensi ekonomi. Logikanya sederhana, jaminan
terhadap hak paten akan memberi insentif material bagi pelaku ekonomi (maupun para
ahli) untuk terus menemukan inovasi baru. Bila inovasi (teknologi) tercipta, maka secara
langsung akan mempengaruhi pola produksi yang bisa meningkatkan produktivitas.
Kedua, melihat hubungan antara hak: kepemilikan dengan degradasi lingkungan. Seperti
dimaklumi, sampai hari in ketergantungan aktivitas ekonomi terhadap sumber daya alam
(SDA) mash sangat besar, khususnya di negara berkembang. Ketergantungan terhadap
SDA menyebabkan terjadinya kecenderungan melakukan eksploitasi sebesar-besarnya
sehingga berpotensi merusak lingkungan (environmental degradation). Dalam konteks
ini, hak kepemilikan yang tidak jelas terhadap SDA cenderung akan merusak lingkungan
dan dalam jangka panjang akan menurunkan pertumbuhan (efisiensi) ekonomi.
Sekadar ilustrasi, untuk melihat relasi antara hak kepemilikan dan inovasi
teknologi, peristiwa yang sering terjadi di negara berkembang adalah banyak investor
(khususnya asing) yang hengkang karena tidak ada jaminan terhadap setiap hak
kepemilikan yang diproduksi, baik dalam bentuk produk maupun hak paten." Setiap
muncul komoditas industri yang baru (misalnya elektronik, software, kaset. dan lain-lain)
selalu diiringi dengan munculnya produk-produk bajakan yang membanjiri pasar dengan
harga yang jauh lebih murah. Akibatnya, produsen tidak memiliki insentif menciptakan
produk baru sehingga membuat kegiatan ekonomi lesu. Bahkan, dalam kasus yang

17
ekstrem. produsen tersebut pindah ke negara lain yang lebih memiliki kepastian hukum,
sehingga membuat negara yang ditinggalkan investasinya menjadi macet. Cerita akhirnya
mudah ditebak, negara tersebut menjadi tidak dapat mempercepat kegiatan ekonomi
sehingga kehilangan kesempatan untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang
menjanjikan. Lebih naas lagi, negara tersebut juga kehilangan peluang menciptakan
kegiatan ekonomi yang efisien karena tidak ada inovasi baru akibat penegakan hukum
yang lemah (lack of law enforcement).
Dari kacamata relasi antara hak kepemilikan dan kerusakan lingkungan, tanpa hak
milik atas sumber daya alam yang ditegakkan, kepentingan yang berasal dari luar akan
mengambil keuntungan dari akses yang terbuka dan, tanpa rasa tanggung jawab sama
sekali atas perbuatan mereka, mengeksploitasi modal secara berlebihan dengan cara,
misalnya, menangkap ikan secara berlebihan, menggunakan lahan perkayuan desa secara
berlebihan, dan menyedot air tanah dalam jumlah berlebihan. Tetapi, bila kelompok
komunal tertentu diberi hak milik terhadap sumber daya alam, maka kelompok tersebut
akan mengembangkan mekanisme untuk membatasi akses oleh orang luar,
mendistribusikan tanggung jawab pengelolaan, mengalokasikan hak-hak penggunaan di
antara kelompok, pemantauan dan pemenuhan/pelaksanaan. Contoh-contoh dari sistem
pengelolaan sistem komunal mencakup contoh untuk hutan-hutan di Jepang; perikanan di
Turki; irigasi di India selatan; dan padang penggembalaan di pegunungan Alpen Swiss,
Himalaya, dan Andes (seperti dikutip dari World Bank, 2001:130). Contoh-contoh
tersebut membuktikan bahwa adanya kepastian terhadap hak kepemilikan akan
mendonasikan kegiatan ekonomi dalam pengertian positif, yakni pertumbuhan ekonomi
dan tanggung jawab melestarikan lingkungan.
Seterusnya, kerangka kerja ekonomi mikro menjelaskan, dibawah berbagai bentuk
kegagalan pasar, dalam sektor kehutanan perilaku pelaku-pelaku ekonomi diandaikan
sebagai agen yang merusak hutan (Wibowo dan Byron, 1999). Dalam konteks ini, hak
kepemilikan yang tidak jelas (poorly defined property rights) dianggap sebagai penyebab
utama terjadinya kegagalan pasar (market failure). Beberapa studi menunjukkan bahwa
hak kepemilikan yang tidak jelas cenderung mengakibatkan terjadinya penebangan hutan
(forest clearing) sebagai cara strategis untuk mengklaim hak kepemilikan lahan
(Anderson dan Hill, 1999;Mendelson, 1994; Angelsen, 1999). Secara alamiah, hak

18
kepemilikan negara terhadap hutan di negara-negara berkembang cenderung melayani
kepentingan penguasa di desa (Ligon dan Narain, 1999). Demikian pula, inefisiensi
kapasitas keuangan dan administrasi dari agen-agen negara juga memperlemah setiap
upaya pengawasan terhadap praktik ilegal terhadap hutan milik negara. Menurut Hardin
(1968), 'tragedy of the common' akan terjadi karena tidak satupun pihak yang memiliki
insentif untuk melindungi sumber daya dari eksploitasi yang berlebihan (seperti dikutip
dari Rosyadi, 2003:44-45). Melalui skenario itulah setiap hak kepemilikan yang tidak
jelas selalu berpretensi menurunkan kapasitas (efisiensi) ekonomi dalam jangka panjang
akibat eksploitasi SDA.
Oleh karena itu, aliran hak kepemilikan menganggap bahwa hak kepemilikan
swasta (private property rights) sebagai jalan terbaik untuk memberikan insentif yang
yang baik bagi individu demi mau melakukan tindakan yang secara sosial maupun
individu efisien (Baland dan Plateau, 1996). Sebaliknya, daripada harus memindahkan
hak kepemilikan sumber daya alam kepada individu, paham hak kepemilikan bersama
(common property right school) berargumentasi bahwa hak kepemilikan atas SDA
seharusnya dikelola dan diatur oleh masyarakat (community), yang memberikan
keuntungan bagi masyarakat maupun pihak luar (outsiders). Riset empiris yang dilakukan
oleh Olstrom (1990) dan Bromley (1992) melaporkan penemuan yang impresif, baik dari
sisi sejarah maupun saat ini (kontemporer). di mana masyarakat mengembangkan
kelembagaan (institutions) yang memampukan mereka mengelola sumber daya yang
dimiliki bersama secara sukses dalam jangka waktu yang lama tapa terjebak dalam skema
'tragedy of the commoms." Tentu saja ini harus dibedakan dengan hak kepemilikan
bebas/ terbuka (open-access property), di mana yang terakhir in mengandaikan hak
kepemilikan yang tidak jelas (property rights are not assigned) [seperti dikutip dari
Rosyadi, 2003: 45].
Dengan begitu, kesimpulan umum yang bisa diambil adalah adanya hubungan
yang kuat antara hak milik yang jelas dan kualitas lingkungan (Dasqupta et. al, 1995).
Misalnya, para petani dengan hak atas tanah yang aman lebih besar kecenderungannya
mau melakukan investasi dalam konservasi tanah, teknik-teknik pembudidayaan yang
berkesinambungan, dan praktik perlindungan lingkungan lain (Feder, 1987). Di samping
itu, karena untuk mendapatkan hak-hak kepemilikan yang sah, masyarakat setempat

19
selama ini justru mau melakukan penghutanan kembali atas lahan-lahan yang telah
mengalami degradasi di India dan Nepal (Lynch dan Talbott, 1995). Demikian pula,
menetapkan hak-hak penggunaan atas air, perikanan, dan perkayuan akan memberikan
suatu insentif dan sarana yang jelas bagi pengelolaan sumber daya (Bank Dunia, 1997)
[seperti dikutip dari World Bank, 2001:130]. Penemuan-penemuan tersebut semakin
meyakinkan bahwa kepastian hak kepemilikan akan menyumbangkan efisiensi ekonomi
karena setiap hasil pemanfaatan atas hak kepemilikan hanya akan jatuh kepada pihak
pemilik. Sebaliknya, apabila terdapat kerusakan terhadap hak kepemilikan, maka biaya
yang keluar atas kerusakan hak kepemilikan tersebut cuma ditanggung oleh pemiliknya.
Dari paparan tersebut, terlihat bahwa yang paling penting adalah adanya
kejelasan/kepastian atas hak kepemilikan sehingga setiap pengelola/pemiliknya
mempunyai insentif untuk memakai dan melindungi hak kepemilikannya. Hak milik
privat, seperti yang telah dideskripsikan di muka, dianggap akan memberi insentif yang
besar bagi pemiliknya untuk memanfaatkan agar diperoleh keuntungan yang besar.
Sebaliknya, hak milik negara atau komunitas juga bisa mendonorkan kemampuan yang
besar bagi pemiliknya melalui proses negosiasi dan partisipasi yang utuh. Model-model
hak kepemilikan tersebut bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga
sesungguhnya tidak dapat disimpulkan mana yang lebih baik di antara bentuk-bentuk hak
kepemilikan tersebut. Lebih relevan dari itu, jika setiap pemiliknya diketahui dengan
jelas, apapun tipe dari hak kepemilikan tersebut, maka tidak hanya mewartakan para
pemiliknya untuk memanfaatkan atau mengeksploitasi hak milik, tetapi juga melestarikan
dan melindunginya sehingga tetap terjaga bagi kepentingan jangka panjang. Inilah yang
menjadi kunci efisiensi ekonomi (khususnya untuk kasus sumber daya alam), yakni
adanya kepastian hak kepemilikan yang dijamin melalui produk dan penegakan hukum
(law enforcement).

2.5 Studi Kasus


EKSISTENSI TEORI HAK MILIK PRIBADI DALAM KEPEMILIKAN PERSEROAN
TERBATAS (DARI PERSPEKTIF SISTEM KAPITALISME DAN SISTEM
EKONOMI PANCASILA)
 Latar Belakang

20
Telah diterima secara umum bahwa hak milik merupakan salah satu hak dasar
manusia dengan jangkauan yang luas. Bahkan menurut Immanuel Kant, tanpa
adanya pengakuan atas hak-hak kepemilikan, maka tidak akan tercipta
ketertiban bermasyarakat (civil social oder) sehingga tidak akan ada sistem
hukum yang dapat tercipta. Apabila tidak ada sistim hukum yang tercipta
karena tidak adanya hak kepemilikan maka tidak akan ada negara. Hal ini terjadi
karena konsep hak miliklah yang menjadi landasan kepemilikan wilayah suatu
negara, wilayah dimana negara dapat memberlakukan kekuasaanya terhadap
pendududuk yang mendiami wilayah tersebut. Dengan demikian lembaga hak
milik ini justru lebih fundamental dari negara itu sendiri karena merupakan
persyaratan penting dari keberadaaan suatu negara. Disini, wilayah suatu negara
merupakan hak milik negara tersebut. Hak-hak para pemegang saham yang
diatur dan dilindungi dalam undang-undang perseroan terbatas serta anggaran
dasar perseroan terbatas, sebenarnya tidak terlepas dari konsep mengenai hak
milik ini. Gagasan tentang hak milik telah menjadi perhatian khusus terutama dari
para teoretisi aliran hukum kodrat sepanjang zaman, dari zaman Yunani kuno
hingga di abad modern ini. Dari sekian banyak pendapat para teoretisi hukum
kodrat tersebut, dapat diangkat sebagai gambaran disini adalah pendapat dari
John Locke yang sering dijadikan rujukan dan bahkan dianggap sebagai bapak
teori hak milik pribadi (father of possessive individualism), yang
menghubungkan hak milik pribadi kepada barang-barang milik atau kepemilikan
atas suatu barang. Menurut Locke hak atas barang milik ini merupakan hak asasi
dan manusia memiliki hak atas barang milik tersebut berkat tenaga fisiknya atau
karya tangannya, sehingga patut untuk dilindungi. Negara membutuhkan
kehadiran para pemilik modal guna menggerakan roda ekonomi. Atas nama
investasi, negara memberikan banyak kemudahan dan hak-hak istimewa kepada
para pemodal untuk menanamkan modalnya dalam bentuk berbagai badan
usaha, diantaranya adalah perseroan terbatas. Selanjutnya, yang menjadi
persoalan adalah para pemodal ini (yang terdiri dari seseorang atau
sekelompok orang) dalam melakukan investasi didorong oleh motif untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, yang dalam realisasinya sering kali

21
merugikan bahkan mengorbankan hak dan kepentingan orang banyak kaum
mayoritas tanpa modal. Disini negara seharusnya hadir sebagai regulator
yang dapat melindungi kepentingan masyarakat secara luas demi mencapai
kesejahteraan bersama. Setiap orang seharusnya memiliki kesempatan untuk
menyumbangkan pikiran dan tenaganya bagi kesejahteraan bersama, tidak
semata-mata didasarkan pada penguasaan atas sumber daya berupa modal.
Kontribusi setiap individu tersebut seharusnya dihargai secara layak. Namun
demikian, dalam dunia ekonomi negara tidak dikehendaki untuk ikut
campur tangan dalam mengatur pasar.
 Pembahasan
1. Landasan Filosofis Teori Hak Milik Pribadi, Implementasi Teori
Hak Milik Pribadi Dalam Pemilikan Perseroan Terbatas
Teori hak milik pribadi sebagai hak alami telah melewati banyak perdebatan
dalam sejarah. Disini akan diuraikan pendapat atau pandangan dari
beberapa pemikir di masa lampau yang turut terlibat dalam polemik
mengenai ide atau gagasan tentang hak milik pribadi. Untuk itu akan
dibahas secara ringkas pendapat dari kaum Stoa, dan Immanuel Kant. Para
pemikir ini telah dicatat oleh sejarah sebagai orang-orang yang turut berjasa
dalam menyumbangkan pemikirannya dalam meletakan dasar-dasar dari
teori hak milik, namun demikian sampai dewasa ini perdebatan tersebut
belum dapat dikatakan sudah final.Pandangan dari pemikir di masa lampau
diuraikan sebagai berikut:
- Kaum Stoa Dan Aristoteles
Perdebatan awal mengenai hak milik pribadi sebagai hak alami telah
dimulai sejak zaman Yunani kuno. Pandangan yang dianggap
menonjol adalah yang dikemukakan oleh aliran filsafat Stoa dan
Aristoteles. Menurut kaum Stoa, tidak ada hak milik pribadi sebagai
hak alami. Secara alami hanya ada milik bersama. Harta milik hanya
bisa menjadi milik pribadi entah karena seseorang sudah lama sekali
menguasainya, atau karena dia memperolehnyamelalui proses hukum,
atau pembelian atau dengan penjatahan. Melalui cara-cara seperti

22
itu, hal tertentu yang secara alami merupakan milik bersama
berubah status menjadi milik pribadi. Aristoteles tidak sependapat
dengan pandangan kaum Stoa tersebut. Menurut dia lembaga hak milik
adalah hak alami karena merupakan watak bawaan manusia untuk
memiliki suatu benda. Manusia akan lebih bertanggung jawab atas
harta miliknya sendiri daripada terhadap harta yang dimiliki secara
komunal. Mereka akan menjaga harta milik bersama hanya apabila
berdampak terhadap kepentingan pribadi mereka. Aristoteles juga
menambahkan argumentasi etis dalam mendukung hak milik pribadi,
menurut dia dengan menguasai hak milik akan memudahkan seseorang
untuk membantu orang lain.
- Immanuel Kant
Hak milik semata-mata didasarkan pada alasan rasional (rational
argumentation) serta berlaku bagi setiap orang, sepanjang yang
bersangkutan adalah manusia bebas serta memiliki alasan yang
praktis.14Hak kepemilikan timbul karena manusia bersifat
rasional, manusia mengatasi alam dan memiliki hak tak terbatas
untuk memanfaatkan alam. Namun Kant tidak sependapat dengan
Locke bahwa orang-orang bisa menjadikan sesuatu sebagai milik
mereka hanya dengan memadukan tenaga mereka dengan suatu bahan
baku yang lain. Menurut Kant hak kepemilikan tidak dapat eksis jika
hak itu tidak diakui oleh orang lain. Hak kepemilikan pribadi
hanya bisa muncul sebagai akibat dari pemecahan masalah yang
disepakati tentang hak kepemilikan ”umum, sehingga dalam
lingkungan alamiah semua lahan akan dikelola secara bersama. Dasar
dari pemikiran Kant tersebut diatas karena menurut dia setiap orang
bisa menemukan di dalam dirinya sendiri suatu basis bagi hak dan
kewajiban terhadap orang lain. Jika manusia sekedar binatang
maka dia tidak mempunyai kewajiban apapun, namun jika manusia
adalah malaikat yang tidak memiliki nafsu kebinatangan sama
sekali, maka manusia tidak membutuhkan apapun. Namun pada

23
kenyataannya manusia adalah binatang yang rasional yang lebih
menggunakan akal dalam bertindak, daripada menyerah pada godaan
nafsu kebinatangan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa kepemilikan adalah
relasi antara seorang pemilik dengan benda miliknya, yang
memungkinkan pemilik dengan bebas menggunakan benda tersebut, atau
menyerahkan hak-hak tertentu terhadapnya kepada orang lain, serta
mengalihkan ataumelarang orang lain menguasai benda tersebut tanpa
persetujuannya. Disini, asas larangan (exclusion) adalah suatu yang inheren
dalam kepemilikan, tanpa adanya segregasi antara pemilik dengan bukan
pemilik, maka makna kepemilikan menjadi hampa. Ketika semua orang dapat
“memiliki” suatu barang maka hal tersebut sama saja dengan mengatakan
bahwa tidak seorangpun memilikinya, seperti udara yang bisa dihirup oleh
semua orang. Tenaga seseorangpun juga dianggap sebagai hak milik yang
dapat dinilai dengan uang dapat dibeli atau dijual.
2. Harmonisasi Posisi Hak Milik Pribadi Dalam Kerangka Ekonomi Pancasila
Disamping sisi baiknya, sistem kapitalisme juga telah melahirkan
kekejamannya sendiri. Menurut Max Weber, kapitalisme mendidik dan
memilih insan-insan ekonomi yang dibutuhkannya melalui suatu proses
“survival of the fittest” (yang kuat yang menang) dalam bidang ekonomi.
Lebih lanjut menurut Weber, ekonomi kapitalis telah berubah menjadi kosmos
raksasa tempat dimana manusia dilahirkan dan menghadapkan dirinya dengan
manusia lain. Hal ini memaksa setiap individu sejauh dia terlibat di dalam
hubungan pasar, untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
kapitalistik. Ini berlaku bagi siapa saja, pengusaha pabrik yang bertindak
berlawanan dengan norma-norma kapitalis akan lenyap dari dunia ekonomi;
demikian halnya dengan seorang pekerja yang tidak dapat atau tidakmau
menyesuaikan diri dengan norma-norma itu pasti akan terlempar ke
jalanan tanpa memiliki pekerjaan. Dengan kata lain, dalam masyarakat
kapitalis agar seseorang dapat merubah nasib atau bertahan hidup maka dia
harus bersaing dengan orang lain.

24
 Kesimpulan
Landasan filosofis teori hak milik pribadi, implementasi teori hak milik pribadi
dalam pemilikan Perseroan Terbatas dilihat dari Kepemilikan yang merupakan
relasi antara seorang pemilik dengan benda miliknya, yang memungkinkan
pemilik dengan bebas menggunakan benda tersebut, atau menyerahkan hak-
hak tertentu terhadapnya kepada orang lain, serta mengalihkan atau melarang
orang lain menguasai benda tersebut tanpa persetujuannya. Asas yang demikian
melahirkan apa yang dikenal sebagai hak absolut yang bersifat kebendaan.
Dalam konteks pemilikan dan pengendalian pada perusahaan tertutup, teori
hak miliklah yang dapat memberikan penjelasan yang memadai terhadap
dominasi pemegang saham mayoritas. Dalam perusahaan tertutup, pemegang
saham pengendali memiliki landasan doktrinal (melalui teori hak milik baik
secara filosofis, yuridis maupun ekonomi) yang kuat untuk mengendalikan suatu
perseroan. Namun dalam pelaksanaan hak tersebut harus mengakui eksistensi
pemegang saham minoritas sehingga tidak boleh merugikan kepentingan
dan hak pemegang saham minoritas. Upaya harmonisasi posisi hak milik pribadi
dalam kaitannya dengan keberadaan hak-hak dan kepentingan orang lain dalam
kerangka ekonomi Pancasila adalah kepentingan pemegang saham pengendali
(pemilik modal) harus ditempatkan secara seimbang dalam hubungannya
dengan kepentingan pemegang saham lainnya (pemegang saham minoritas).
Pemegang saham mayoritas tidak boleh semena-mena dalam mengendalikan
jalannya perusahaan. Untuk terwujudnya sistem ekonomi Pancasila diperlukan
kehadiran negara sebagai regulator sekaligus sebagai wasit yang baik dengan
mengeluarkan produk hukum yang melindungi kepentingan semua pihak
serta penegakkan hukum yang tidak memihak, berdasarkan asas bahwa
semua orang setara di depan hukum.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Hak kepemilikan bisa didefinisikan sebagai hak-hak untuk memiliki, menggunakan.
menjual, dan mengakses kesejahteraan. Kepemilikan (property) di sini bisa berupa
kepemilikan fisik (objek konsumen, tanah, peralatan-peralatan modal) dan
kepemilikan yang tidak terlihat (intangible property), seperti ide, puisi, dan
formula/rumus kimia.
2. Harus diakui, sampai hari ini terdapat kecenderungan pandangan sistem ekonomi
kapitalis mengenai hak kepemilikan kian mendominasi dan diadopsi oleh sebagian
besar negara di dunia. Bahkan, negara-negara yang dulunya menganut sistem hak
kepemilikan negara, seperti negara-negara Eropa Timur. saat ini secara perlahan telah
mentransisikan sistem hak kepemilikannya menuju kepada kepemilikan privat.
3. Hak Kepemilikan dan Ekonomi Kelembagaan salah satu persoalan ekonomi yang
kerap menjadi bahan perdebatan adalah mengenai penanganan eksternalitas
(externality), Ekonomi neoklasik, di satu sisi, mengabaikan adanya eksternalitas
sehingga tidak memformulasikan secara khusus bagaimana menyelesaikannya.
4. Jika persoalan efisiensi ekonomi tersebut dikaitkan dengan hak kepemilikan, maka
cukup banyak perspektif yang bisa digunakan. Melihat hubungan antara hak
kepemilikan dengan kepastian hukum untuk melindungi penemuan-penemuan baru
(seperti teknologi). Dalam sudut pandang ini, negara yang bisa menjamin hak
kepemilikan terhadap penemuan/inovasi teknologi (lewat paten) akan memiliki
implikasi yang besar terhadap produktivitas dan efisiensi ekonomi.
3.2 Saran
Meskipun kelompok kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan paper ini,
akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal
ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan kami dan sumber yang kami dapatkan.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan
sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya. Sehingga bisa terus menghasilkan paper dan
karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

26
DAFTAR PUSTAKA

Mantili, R. (2022). ACTA DIURNALJurnal Ilmu Hukum Kenotariatan. EKSISTENSI TEORI


HAK MILIK PRIBADIDALAM KEPEMILIKAN PERSEROAN TERBATAS(DARI
PERSPEKTIF SISTEM KAPITALISME DAN SISTEM EKONOMI PANCASILA), 251-
269.

Yustika, P. D. (2020). Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan Kebijakan). Jakarta:


Erlangga.

27

Anda mungkin juga menyukai