Anda di halaman 1dari 26

HAK KEPEMILIKAN DALAM EKONOMI KELEMBAGAAN

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Kelembagaan yang
diampu oleh Ibu Dr. Imroatul Azizah, M.Ag.

Disusun Oleh
1. Choridatun Nafisah (G71219036)
2. Heni Rahmawati (G71219047)
3. Ratna Dwi Astutik (G71219051)

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarokatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Alhamdulillah ucapan syukur itulah yang patut kami panjatkan kehadirat allah swt,
sehingga Makalah ini dapat tersusun. Atas inspirasi, keluasan imajinasi, dan karunia Allah
Swt. Kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ekonomi Kelembagaan yaitu pembuatan
makalah tentang Hak Kepemilikan Dalam Ekonomi Kelembagaan.

Kami Menyadari bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna, dan masih banyak
kekurangan. Untuk itu kami meminta kritik dan saran yang membangun, supaya dikemudian
hari makalah kami nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian kami
memohon maaaf sebesar-besarnya apabila terdapat banyak kesalahan dalam penulisan
makalah ini.

Surabaya, 08 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
A. Pengertian Hak Kepemilikan dan Karakteristik Hak Kepemilikan........................ 3
B. Jenis-jenis Hak Kepemilikan ............................................................................... 6
C. Hak Kepemilikan dan Rezim Sistem Ekonomi ..................................................... 11
D. Hak Kepemilikan dan Ekonomi Kelembagaan ..................................................... 14
E. Hak Kepemilikan dan Efisiensi Ekonomi ............................................................. 18
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 21
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 22

iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 ......................................................................................................................... 10
Tabel 2.2 ......................................................................................................................... 17

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam masalah hak kepemilikan , banyak orang yang beranggapan bahwa (property
right) adalah benda. Namun dalam penelusuran ilmiah para ahli menunjukkan bahwa
property merupakan hak atas sesuatu namun bukan sesuatu itu sendiri. Hak yang mana
mengandung arti sesuatu yang dapat di tegakkan dan dihormati oleh pihak lain. Klaim atas
sesuatu tanpa adanya perlindungan hukum atasnya atau tanpa bisa di tegakkan tidak akan
bermakna dan memerikan manfaat apa-apa. Sejarah munculnya hak kepemilikan dapat
dilihat dari dua pendekatan, yakni teori kepemilikan individu dan teori sosial.
Hak kepemilikan menjadi salah satu faktor penting dalam pengelolaan sumber daya.
Hak kepemilikan hingga masa kini hanya mendapatkan perhatian yang sekilas dari para
peneliti ekonom dan pengambil kebijakan. Dalam pandangan kaum kapitalis, hak
kepemilikan yang harus di jaga dan di rawat adalah hak kepemilikan privat (private
property rights), sedangan dalam sistem ekonomi sosialis hak kepemilikan yang di yakini
adalah hak kepemilikan negara (state property rights). Namun pada kenyataannya di
negara berkembang yang tidak menganut (private property rights maupun (state property
rights). Melakukan analisis lebih dalam dari sekedar memilih dari kedua kutub tersebut
lebi-lebih hak kepemilikan bermakna spesifik dan dinamis sesuai dengan konteks
lingkungan sektor ekonomi yang hendak diterapkan. Yang mana dalam negara
berkembang, hak kepemilikan berhubungan dengan pertayaan yang luas dari pertumbuhan
ekonomi, demokrasi, politik, kebebasan ekonomi individu dan persolan lainnya (prasad,
2003: 742).
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa dalam macam-macam ekonomi terdapat masalah
eksternalitas . keberadaan eksternalitas juga di akaui dalam ekonomi klasik dan neo klasik.
dimana pasar tidak bisa menyelesaikan sehingga memerlukan intervensi pemerintah.
Dalam kegiatan ekonomi tujuan tepenting adalah mencapai titik efesiensi. Diama titik
efisiensi bisa di capai dengan dua cara yaitu melalui pendekatan statis dan pendekatan
dinamis. makalah ini akan membahas tentang definisi hak kepemilikan, karakterstik,
macam-macam,sistem ekonomi yang digunakan, dan efesiensi terhadap hak kepemilikan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi hak kepemilikan ( property rights)?
2. Apa saja karakteristik hak kepemilikan?
3. Apa saja macam-macam hak kepemilikan?
4. Apa saja rezim sistem ekonomialam ekonomi kelembagaan?
5. Bagaimana hak kepemilikan dalam ekonomi kelembagaan?
6. Bagamana efesiensi ekonomi dalam ekonomi kelembagaan?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui definisi hak kepemilikan (property rights).
2. Untuk mengetahui karakteristik hak kepemilikan.
3. Untuk mengetahui macam-macam hak kepemilikan.
4. Untuk mengetahui rezim sistem ekonomi dalam ekonomi kelembagaan
5. Untuk menjelaskan hak kepemilikan dalam ekonomi kelembagaan
6. Untuk menjelaskan efisiensi ekonomin dalam ekonomi kelembagaan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Kepemilikan dan Karakteristik Hak Kepemilikan


Milik secara bahasa berarti penguasaan terhadap sesuatu, atau sesuatu yang dimiliki.
Hubungan seseorang dengan sesuatu harta yang diakui oleh syara’ yang menjadikannya
mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut sehingga ia dapat melakukan
tindakan hukum terhadap harta itu, kecuali ada halangan syara’. 1
Sedangkan hak milik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata didefinisikan
sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk
berbuat bebas terhadap kebendaan tersebut dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu
kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain,
kesemuanya dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi
kepentingan umum bedasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti
rugi.2
Hak kepemilikan ditetapkan kepada individu menurut prinsip kepemilikan pribadi
(private ownership) dan bahwa sanksi atas hak kepemilikan dapat dipindahkan
(transferable) melalui izin menurut prinsip kebebasan kontrak (freedom of contract).
Melalui konsep dasar tersebut, hak kepemilikan (right of ownership) atas suatu aset dapat
dimengerti sebagai hak untuk menggunakan (right to use), untuk mengubah bentuk dan isi
hak kepemilikan (to change its form and substance), dan untuk memindahkan seluruh hak-
hak atas aset (to transfer all rights in the asset) atau beberapa hak (some rights) yang
diinginkan. Dengan deskripsi ini, hak kepemilikan hampir selalu berupa hak eksklusif
(exclusive right), tetapi kepemilikan bukan berarti hak yang tanpa batas (unrestricted
right) [Furubotn dan Richter, 2000:71-72). Sedangkan Bromley dan Cernea (1989:5)
mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba yang hanya
aman (secure) bila pihak-pihak yang respek dengan kondisi yang melindungi aliran laba
tersebut. Makna ini dengan cukup terang mendonorkan gambaran yang jelas, bahwa
sesungguhnya kepemilikan menyangkut penguasaan individu atas aset (dalam pengertian
luas bisa berupa ilmu pengetahuan/knowlegde dan ketrampilan/skill) sehingga di dalam

1
Az-Zarqa’, al-Fiqh al-Islami fi saubihi al-Jadid (Damaskus: Matabi Alif Ba’ Al-Adib, 1967-8)
2
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 1984. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Jakarta: Pradnya Paramita).
Hlm.166

3
dirinya terdapat hak menggunakan atau memindahkan atas yang asset yang
dikuasai/dimiliki.
Basis konsep ini pula yang nantinya dapat dipakai untuk memperluas cakupan dan
pemahaman terhadap hak kepemilikan. Perlu dimengerti pula, bahwa hak kepemilikan
tidak hanya merupakan bagian dari kerangka kerja kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai
bagian dan sistem aturan-aturan (system of rules) yang merupakan hasil dari proses
ekonomi yakni perilaku memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, hak kepemilikan
bisa didefinisikan sebagai hak-hak untuk memiliki, menggunakan, menjual, mengakses
kesejahteraan. Kepemilikan (property) di sini bisa berupa kepemilikan fisik (obyek
konsumen, tanah, peralatan-peralatan modal) dan kepemilikan yang tidak terlihat
(intangible property), seperti ide, puisi, dan formula/rumus kimia. Namun, barangkali di
antara sekian banyak hak kepemilikan yang ada, bentuk hak kepemilikan yang paling
penting bagi teori ekonomi adalah tenaga kerja dan alat-alat produksi (means of
production) [Caporaso dan Levine, 199287). Faktanya memang demikian, di mana
kebijakan-kebijakan hak kepemilikan terus diarahkan untuk menjamin kepastian faktor
produksi, seperti lahan, tenaga kerja, dan modal. Faktor produksi tersebut mendapatkan
prioritas untuk mendapatan kepastian hak kepemilikannya, sebab bila tidak dilindungi
dipastikan kegiatan produksi (ekonomi) akan macet. Dalam perkembangannya, sejarah
eksistensi hak kepemilikan tersebut dapat dilacak dari dua pendekatan, yakni teori
kepemilikan individu dan teori kepemilikan sosial (Furubotn dan Richter, 2000:69).
Pertama, teori kepemilikan individu merupakan representasi dari doktrin hak-hak alamiah
(natural rights), yang merupakan basis dari ekonomi klasik, yang mengarah pada
pandangan individualistik. Kedua, teori sosial berargumentasi bahwa masyarakat
menyediakan mekanisme perbaikan bagi keterbatasan-keterbatasan alamiah (natural
limitations) yang inheren dalam diri manusia (human beings).
Furubotn dan Pejovich (1972:1139) membuat ciri-ciri dan konsep hak kepemilikan
sebagai berikut: Poin inti yang harus dicatat adalah hak kepemilikan tidak merujuk kepada
hubungan antara manusia dan benda, tetapi lebih kepada hubungan perilaku sanksi di
antara manusia yang muncul dari keberadaan benda barang dan penggunaannya. Sistem
hak kepemilikan yang berlaku sebelumnya di dalam komunitas dapat dideskripsikan,
kemudian seperangkat hubungan ekonomi dan sosial akan mendefinisikan posisi masing-
masing individu dengan memfokuskan kepada pemanfaatan sumber daya-sumber daya
yang langka’. Deskripsi ini dengan jelas memberikan pengetahuan bahwa sebetulnya
persoalan penetapan hak kepemilikan bukan sekadar ingin mendata 'siapa memiliki apa',
4
namun yang lebih penting adalah penetapan hak kepemilikan akan menyodorkan fasilitas
agar antarindividu dapat mengerjakan proses pertukaran ekonomi. Apabila hal ini
direlasikan dengan teori biaya transaksi, maka fungsi dari hak kepemilikan adalah
memberikan kepastian bagi pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi sehingga
berimplikasi kepada rendahnya biaya transaksi yang terjadi. Tanpa kepastian hak
kepemilikan, setiap proses pertukaran -khususnya dalam jangka panjang-akan
menimbulkan biaya transaksi yang tinggi. Dengan kata lain, proses pertukaran (dalam
skala luas: kegiatan ekonomi) tersebut tidak efisien. Salah satu pemikir ekonomi
kelembagaan yang mengupas hubungan antara konsep hak kepemilikan dan biaya
transaksi adalah Yoram Barzel. Menurutnya (Barzel, 1997:4), dari asalnya konsep hak
kepemilikan sangat dekat dengan biaya. transaksi, di mana biaya transaksi didefinisikan
olehnya sebagai ongkos yan diasosiasikan dengan kegiatan transfer, menangkap, dan
melindungi hak-ha (transfer capture, and protection of right). Jika biaya transaksi
diasumsikan bahwa untuk aset apapun masing-masing biaya meningkat, dan bahwa baik
proteksi maupun transfer penuh dari hak-hak tersebut dicegah agar tidak muncul biaya,
maka kemudian biaya transaksi itu akan mengarahkan hak-hak yang dimiliki menjadi
tidak lengkap (complete), karena orang-orang tidak akan pernah menemukan hak-haknya
cukup berharga untuk mendapatkan potei keuntungan dari aset-asetnya. Agar hak-hak
terhadap aset yang dipunyai berlaku secara lengkap, baik pemilik maupun individu lain
yang tertarik terhadap aset tersebut harus memproses dengan pengetahuan penuh (full
knowledge) terhadap seluruh atribut dari aset tersebut. Sebaliknya, ketiga hak-hak itu
secara sempurna dirancang dengan baik, informasi produk harus menjadi tanpa biaya
(costless) untuk memeroleh dan ongkos transaksi kemudian harus menjadi nol (zero).
Dalam konteks kerangka kerja neoklasik, Tietenberg (1992; dalam Prasad, 2003:748)
menerima premis yang dikembangkan oleh aliran neoklasik dan menyarankan bahwa
struktur yang efisien dari hak kepemilikan dapat memproduksi alokasi sumber daya yang
efisien pula. Kemudian dia mengidentifikasi empat karakteristik dari hak kepemilikan
yang penting :
1. Universalitas (universality): seluruh sumber daya dimiliki secara privat dan seluruh
jatah (entitlement) dispesifikasi secara lengkap.
2. Eksklusivitas (exclusivity): seluruh keuntungan dan biaya diperluas sebagai hasil dari
kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya seharusnya jatuh ke pemilik, dan hanya
kepada pemilik, baik secara langsung (directly) maupun tidak langsung (indirectly),
melalui penjualan atau yang lain.
5
3. Transferabilitas (transferability): seluruh hak kepemilikan seharusnya dapat
dipindahkan (ditransfer) dari satu pemilik kepada pihak lain lewat pertukaran sukarela
(voluntary exchange).
4. Enforsibilitas (enforceability): hak kepemilikan seharusnya dijamin dari
praktik/pembeslahan keterpaksaan (involuntary seizure) atau pelanggaran
(encroachment) dari pihak lain.

B. Jenis-jenis Hak Kepemilikan


Didalam suatu masyarakat terbentuk beberapa jenis dari hak kepemilikan atau biasa
disebut sebagai hak milik, hak kepemilikan terdiri dari tiga (3) jenis hak kepemilikan,
diantaranya yaitu :
1) Hak kepemilikan individu (private property right/ownership)
Hak kepemilikan individu atau pribadi dalam ekonomi kelembagaan didefinisikan
sebagai setiap individu berhak untuk menguasai dan memiliki aset spesifik yang
diinginkan, dimana dengan kepemilikan tersebut individu ini berhak untuk
memperoleh keuntungan baik keuntungan yang diperoleh ini dengan cara diolah,
dijual atau dengan jalan lain. 3 Sedangkan, Winardi dalam (kamus ekonomi, 1992)
mendefinisikan hak milik pribadi sebagai hak milik atas suatu benda atau hak
eksklusif seorang manusia atau perusahaan untuk menguasai dan menikmati suatu
benda ekonomi, yang dilindungi oleh undang-undang. Biasanya dalam perbincangan
sehari-hari, istilah tersebut dihubungkan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh
individu-individu.4
Kepemilikan pribadi memberikan kewenangan bagi pemiliknya untuk bisa
menahan atau melarang orang lain tanpa hak menikmati atau menggunakannya
tanpa ijin dari pemilik. Contoh dari hak kepemilikan pribadi adalah hak atas tanah.
Meskipun tanah dapat menjadi hak umum atau negara hak atas suatu tanah dapat
menjadi hak milik pribadi jika terjadi jual beli atau tanah tersebut memang sudah
ditempati dan sudah menjadi milik seseorang atau keluarga sejak lama dan mendapat
pengakuan dari pemerintah atau masyarakat sekitar. Selanjutnya, hak kepemilikan
pribadi dapat dilihat dari perspektif kapitalis dan sosialis.
3
Nyoman Utari Vipriyanti, Teori dan Aplikasi Ekonomi Kelembagaan Bagi Perencanaan Pembangunan.
4
Meydi Muhammad Putra, Pemikiran Karl Marx Tentang Hak Milik Pibadi Ditinjau Dari Hukum Ekonomi
Islam, (Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2020), hal 1-2.
http://repository.radenintan.ac.id/11550/2/SKRIPSI%202.pdf (diakses pada tanggal 25-03-2021 pukul 13.05)

6
Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) menyebutkan
masyarakat makmur adalah masyarakat yang menerapkan aturan pasar bebas dan
pengakuan terhadap hak milik pribadi. Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang
mengizinkan dimilikinya alat-alat produksi oleh pihak swasta. Dan merupakan
sistem ekonomi yang berdasarkan atas hak milik swasta atas macam-macam barang
dan kebebasan individu untuk mengadakan perjanjian dengan pihak lain (freedom to
contract), dan berhubungan dengan aktivitas-aktivitas ekonomi yang dipilihnya
sendiri berdasarkan kepentingan sendiri serta untuk mencapai laba guna diri sendiri.
Sehingga, terlihat jelas dalam ekonomi kapitalisme kebebasan individu mendapat
tempat yang penting sehingga prinsip yang dianut adalah individualistis dan semata-
mata mengedepankan kepentingan individu.5 Sistem ekonomi kapitalis mengakui
kepemilikan pribadi tidak hanya benda-benda yang berwujud seperti, bangunan,
peralatan atau mesin, tanah dan lainnya, tetapi juga kepemilikan atas hak dari benda-
benda yang tidak berwujud seperti, hak cipta dan merek dan hak-hak lain yang
muncul dari kepemilikan saham dalam suatu perusahaan. Hak kepemilikan dalam
perspektif kapitalis diberikan kepada semua warga negara secara bebas dan bersaing,
individu yang mampu dan dapat menguasai harta benda karena modal yang dimiliki
dapat menguasai semua barang produksi. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu hak
kepemilikan pribadi justru membuat pemilik modal lebih diuntungkan dan
merugikan kaum pekerja atau buruh, sehingga pemilik modal yang kaya akan
semakin kaya sedangkan kaum pekerja yang miskin semakin miskin dan menderita.
Sosialisme merupakan suatu sistem ekonomi dimana pemerintah memiliki dan
mengelola alat-alat produksi, sehingga usaha swasta dibatasi dan dihapuskan
didalam pengelolaannya.6 Dalam perspektif ekonomi sosialis menerapkan prinsip
pembagian atau distribusi produksi dan kekayaan yang merata atau adil diantara
anggotanya. Hak kepemilikan pribadi perspektif ekonomi sosialis hampir tidak ada,
akan tetapi keberadaan perusahaan negara yang jika di Indonesia dikenal dengan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penting guna memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat.

5
Tatty Aryani Ramli, Kepemilikan Pribadi Perspektif Islam, Kapitalis, dan Sosialis, hal 8.
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/download/159/pdf (diakses pada tanggal 25-03-2021
pukul 19.52)
6
Ibid, hal 11. https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/download/159/pdf (diakses pada tanggal
25-03-2021 pukul 19.52)

7
Dari sini hak kepemilikan pribadi dalam perspektif sosialis diartikan sebagai
penguasaan atas hasil produksi yang dihasilkan secara kolektif atau bersama-sama
yang nanti pembagiannya akan diatur oleh negara secara merata dan adil diantara
kelompok masyarakat. Kepemilikan secara mutlak atau seluruhnya ada pada
penguasa dalam artian pemerintah dan kepemilikan lebih diutamakan untuk
perusahaan negara.
2) Hak kepemilikan negara (state property right/ownership)
Didalam hak kepemilikan negara (state property right) mendefinisikan sebagai
kepemilikan dan kontrol berada ditangan negara, individu dan grup atau kelompok
dapat memanfaatkan sumber daya alam akan tetapi berdasarkan keputusan dari
negara. Contoh dari hak kepemilikan negara adalah tanah negara, hutan negara dan
taman nasional. Negara dapat mengelola sendiri sumber daya alam yang dimiliki
melalui lembaga-lembaga pemerintah atau bisa juga menyewakan kepada pihak
ketiga dengan status hak pakai dalam jangka waktu tertentu (Daniel Bromley dan
Michael M. Cernea, 1989, 12).7
Adanya hak milik atau hak menguasai negara menjadi bentuk dari state property.
Dari sinilah hak menguasai negara diberikan kepada lembaga negara atau lembaga
pemerintah dan dapat mengelola sendiri sumber daya alam melalui hak pengelolaan
untuk tanah atau dengan izin usaha pertambangan yang diberikan kepada BUMN.
Akan tetapi, disisi lain negara juga dapat menetapkan pemberian kewenangan untuk
individu, badan usaha atau koperasi dan masyarakat untuk mengelola sumber daya
alam. Berdasarkan dari penjelasan yang disebutkan diatas, dapat dikatakan bahwa
sebagaian besar hak penguasaan atas sumber daya alam yang dijelaskan dalam
peraturan perundang-undangan menunjuk pada pandangan common property atau
anggota suatu kelompok dan state property. Selanjutnya, dibawah kepemilikan
negara ini, pemerintah menjadi pemilik tunggal dari sumber daya yang dimiliki
termasuk didalamnya juga akses pengelolaan sumber daya dan dapat menentukan
tingkat penggunaannya. Untuk menunjang pengelolaan dan penggunan state
property terdapat instrumen yang diterapkan agar dapat mempengaruhi perilaku
individu seperti zoning, pajak, peraturan-peraturan dan perijinan.

7
Dyah Ayu Widowati, Ananda Prima Yurista, dkk, Hak Penguasaan Atas Sumber Daya Alam Dalam Konsepsi
Dan Penjabarannya Dalam Peraturan Perundang-Undangan, (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2019),
hal 154. https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/454 (diakses pada 25-03-2021 pukul 20.50)

8
3) Hak kepemilikan komunal (communal property right/ownership)
Hak kepemilikan komunal mirip dengan hak kepemilikan individu dan dimiliki
oleh suatu kelompok biasanya masyarakat adat, sehingga orang diluar dari kelompok
ini sebagai subjek dari hak atas sumber daya alam bersama (commons resource)
dilarang dilarang menggunakan sumber daya ini dan anggota kelompok mempunyai
hak-hak dan kewajiban. Kelompok atau masyarakat yang menjadi subjek hak atas
sumber daya alam bersama (commons resource) adalah kelompok dengan
keanggotaan dan batas wilayah yang pasti, memiliki kepetingan yang sama,
memiliki norma hukum yang disepakati bersama dan dilengkapi dengan sistem
kewenangan sendiri. 8
Didalam peraturan perundang-undangan sektoral, commons property tercantum
didalam hak ulayat yang diatur undang-undang sektoral misalnya dalam UU No. 27
tahun 2007 yang mana Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk memperoleh izin
lokasi dan izin pengelolaan dalam menyelenggarakan pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. 9 Disini masyarakat adat mempunyai hak kepemilikan atas
sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang termasuk kedalam
wilayah adat tersebut. Oleh karenanya, masyarakat adat tidak memerlukan izin
dalam memanfaatkan sumber daya bersama (commons resource) tersebut dan pihak
lain atau masyarakat maupun kelompok diluar masyarakat adat tersebut tidak
diperbolehkan memanfaatkan sumber daya yang berada dalam wilayah masyarakat
adat tersebut. Hak-hak kepemilikan dalam hak kepemilikan komunal bersifat
ekslusif atau tidak dapat dipindah tangankan dan hak antar anggota kelompok atau
masyarakat adat sifatnya sama dalam mengakses atau memanfaatkan dan mengelola
sumber daya tersebut. Sehingga, hak-hak masyarakat tersebut diakui secara legal
atau defacto. Seperti yang tercantum dalam UU No. 22 Tahun 2001 menyatakan
larangan untuk menyelenggarakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi di atas tanah
milik masyarakat hukum adat. Hal ini menunjukkan bahwa UU sektoral mengikuti
rezim commons property dengan adanya peraturan mengenai hak ulayat. Namun,
terdapat juga UU yang tidak mengatur mengenai hak ulayat seperti pada UU No. 04
Tahun 2009, UU No. 30 Tahun 2007, dan UU No. 21 Tahun 2014.

8
Dyah Ayu Widowati, dkk, 2019, Hak Penguasaan Atas Sumber Daya Alam Dalam Konsepsi Dan
Penjabarannya Dalam Peraturan Perundang-Undangan, (Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada), https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/454 (diakses pada tanggal 25-03-2021 pukul
19.05)
9
Ibid, hal 156.

9
4) Hak kepemilikan terbuka (open access property right)
Hak kepemilikan terbuka (open acces property right) dikenal juga dengan hak
milik umum yang berarti bukan milik siapa-siapa dan milik semua orang. Setiap
orang dan mengambil manfaat ekonomi dan mengelola sumber daya tersebut. 10
Karena definisi dari hak kepemilikan akses terbuka tidak jelas, maka akses terhadap
sumber daya sifatnya bebas, terbuka untuk siapapun dan tidak ada regulasi yang
mengaturnya. Penerapan hak kepemilikan akses terbuka seiring waktu semakin
melemah karena intensitas modernisasi ekonomi dan karena hak kepemilikan akses
terbuka ini tidak diiringi dengan kontrol atau peraturan yang mengikat dengan jelas
terkait akses pemanfaatan/pengelolaan sumber daya sehingga menyebabkan
kerusakan dari sumber daya tersebut. Contohnya seperti setiap orang berhak
mengakses sumber daya yang tersedia seperti menangkap ikan didekat pantai dan
mengambil kayu dihutan, karena ini merupakan akses terbuka tanpa adanya
pengontrolan, sehingga orang yang memanfaatkan sumber daya tersebut dapat
mengambil ikan atau kayu sesuai dengan kemauan mereka tanpa harus repot-repot
mereboisasi pohon dan membudidayakan ikan tersebut.

Tabel 2.1: Tipe-tipe Rezim Hak Kepemilikan Berdasarkan Pemilik, Hak, dan Kewajiban
Tipe Pemilik Hak Milik Kewajiban Pemilik

Kepemilikan privat Individu Pemanfaatan yang Mencegah


bisa diterima secara penggunaan yang
sosial; control akses tidak bisa diterima
secara social

Kepemilikan Kolektif Pengeualaian Merawat, mengatur


bersama terhadap non- tingkat pemanfaatan
pemilik

Kepemilikan negara Warga Negara Menentukan aturan Menjaga tujuan-


tujuan social

Akses terbuka (tanpa Tidak ada Memanfaatkan Tidak ada

10
Ary Wahyono, 2005, Keberadaan Hak Adat Dalam Pemanfaatan Sarang Burung Walet Di Habitat Alami :
Antara Harapan Dan Kenyataan (Jurnal Masyarakat dan Budaya Volume 7 No.2), hal 102.
https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/229 (diakses pada tanggal 30-03-2021 pukul 18.27)

10
kepemilikan) (capture)

Sumber: Hanna, 1995; dalam Mappatoba, 2004:22

C. Hak Kepemilikan dan Rezim Sistem Ekonomi


Dalam rezim sistem ekonomi, ada 3 (tiga ) jenis rezim. Diantara sebagai beriku: 11
1. Rezim sistem ekonomi kapitalis
Dalam sistem ini kepemilikian dimiliki oleh swasta, sistem ini mempercayai bahwa
hak kepemilikan privat (private property rights ) yang dimediasi oleh mekanisme
pasar akan menghasilkan pencapaian ekonomi yang efisien. Hal ini terjadi karena
setiap pemilik hak kepemilikan dijamin kepastian untuk memperoleh insentif
ekonomi atas setiap aktivitas yang dilakukan, misalnya untuk menjual, mengelola ,
menyewa dan lain-lain.
2. Rezim sistem ekonomi sosialis
Dalam sistem ini kepemilikan dimiliki oleh pihak negara (state property rights).
Negara berhak memiliki dan mengolah seluruh sumber daya yang tersedia. Sistem ini
menyakini bahwa dengan basis kepemilikan negara, pemerataan ekonomi akan lebih
mudah diwujudkan dari pada hak kepemilikan yang dipegang oleh swasta. Namun
faktanya ekonomi sulit di capai di karenakan pada umumnya ekonomi yang dipegang
oleh biokrat tidak reponsif terhadap kebutuhan masyarakat. Ketiadaan pasar
menempatkan perencanaan ekonomi secara terpusat dimana supply, demand, dan
prefensi konsumen di tentukan oleh negara.
3. Rezim ekonomi campuran
Dalam sistem ini kepemilikan dimiliki oleh swasta dan negara (di campur). Setiap
negara yang menggunakan sistem ini berbeda-beda intensitasnya dalam mengijinkan
hak kepemilikan kepada sektor swasta maupun negara. Umumnya, negara diberi
ruang untuk mengelola hak kepemilikan yang strategis , seperti sumber daya air, hutan
dan lain- lain. Dengan sitem campuran ini diharapkan pertumbuhan ekonomi bisa
dicapai tanpa harus mengorbankan tujuan pemerataan pembangunan.
Harus diakui, sampai saat ini sebenarnya terdapat kecenderungan pandangan
sistem ekonomi kapitalis mengenai hak kepemilikan yang kian mendominasi dan
digunakan oleh sebagian besar negara di dunia. Bahkan negara- negara yang dulunya

11
Yustika, Ahmad Erani, 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori dan Kebijakan. Jakarta : Erlangga

11
menganut sistem hak kepemilikan negara , seperti negara-negara di Eropa timur, saat
ini secara perlahan telah mentransisikan sistem hak kepemilikannya menuju kepada
kepemilikan privat. dalam proses transisi ini tentu membutuhkan waktu dan proses
yang tidak mudah. Banyak kejadian, transfer model hak kepemilikan harus diiringi
dengan perubahan sistem ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara tersebut. Jika
sistem ekonomi berubah tanpa mengganti model hak kepemilikan. ( misalnya sistem
ekonomi kapitalis dengan hak kepemilikan negara). Maka bisa di pastikan kegiatan
akan seret atau mancet. Setidaknya, mekanisme pasar akan gagal untuk
mengalokasikan sistem “intensif “ dan disinsentif “ dalam menggerakkan kegiatan
ekonomi. demikian juga, sinyal harga tidak lagi menjadi rujukan bagi pelaku ekonomi
untuk masuk dan keluar pasar. Inilah yang menjadi latar belakang model hak
kepemilikan satu paket dengan sistem ekonomi.
Rezim hak kepemilikan privat diyakini akan memandu setiap pelaku ekonomi
memperoleh efesiensi melalui “internalisasi yang lebih besar terhadap eksternalitas “.
Jika suatu sumber daya yang langka di tempatkan dalam wilayah publik. Maka orang-
orang memiliki insentif untuk mengeksploetasi secara kompetitif terhadap sumber
daya agar memperoleh keuntungan. Sehingga dalam jangka waktu yang pendek
sumber daya tersebut akan rusak. dalam posisi inilah pemapanan hak kepemilikan
privat terhadap sumber daya, sekaligus tidak memeperolehkan pihak lain untuk
menggunakan atau mengonsunsi sumber daya tersebut akan memfasilitasi kalkulasi
rasional bagi pemiliknya untuk mendapatkan laba maupun menanggung biaya dan
pemanfaatan sumber daya tersebut.
Di pemikiran lain terdapat pandangan yang menyatakan bahwa efisiensi ekonomi
tidak boleh hanya diukur dari keuntungan terbesar yang di raih. Seharusnya efsiensi
harus didefisinisikan untuk tujuan yang lebih luas misalnya keadilan dan pemerataan
ekonomi. jika pemikiran ini di terima, maka kepemilikan privat bukanlah satu-satunya
rezim hak kepemilikan yang efisien. Bahkan, dalam beberapa aspek , bisa saja
kepemilikan privat tidak mengandaikan kesejahteraan sosial. Sebab sederhananya,
yaitu kesempatan setiap individu untuk mengakses dan memiliki property rights
tidaklah sama. Bila ini terjadi maka kesejahteraan ekonomi hanya di genggam oleh
mereka yang menguasai hak kepemilikan proporsi. inilah yang menjadi alasan bahwa
negara harus hadir untuk mengelola dan menguasai hak kepemilikan. Untuk
menghindari pemusatan kesejahteraan ekonomi cuman di tangan segelintir pelakunya
yang mempunyai akses terhadap hak kepemilikan.
12
Secara teknis, ide hak kepemilikan negara di bantu oleh beragam konsep yang
memungkinkan aspek pemerataan dan kesejahteraan ekonomi tercapai. Salah satu
argumen dari kaum sosialis yang paling terkenal adalah hak kepemilikan di tangan
negara akan mencegah praktik eksploitasi terhadap tenaga kerja atau konsentrasi
megaprofit kepada sedikit elit bisnis, seperti yang terjadi pada sistem kapitalis.
Dengan begitu model ini menggaransi bahwa ditribusi pendapatan akan lebih merata
dan negara juga tidak dikuasai oleh kelompok kecil pemilik modal kapitalis.
Penyediaan kebutuhan dasar manusia secara struktural juga lebih visibel dibawah
sosialisme pembangunan berjalan secara lebih halus, lebih rasional berdasarkan
kebutuhan dan prioritas yang lebih adil. dan tentunya lebih hemat di bandingkan
sistem ekonomi kapitalis. dengan basis itulah hak kepemilikan negara di anggap lebih
superior di bandingkan kepemilikan privat.
Mengenai konsep hak kepemilikan negara dalam sistem ekonomi sosialis ,
sebenarnya juga memiliki 4 kritikan diantara lain sebagai berikut.pertama di bawah
kekuasaan dan kontrol sosialisme, ekonomi akan dipegang oleh sekelompok biokrat
negara yang pada umumnya tidak reponsif terhadap kebutuhan masyarakat dalam
pasar singkatnya, penggantian kaum kapitakis kepada kelompok biokrat akan
menghasilkan inefiensi dan ketimpangan yang lebih besar. Kedua , menempatkan
peran wirausaha dalam sektor publik akan mengurangi pentingnya motif laba individu
dan insentif melakukan investasi, inovasi, mengambil resiko, menembangkan produk
baru dan merespon pasar baru. Ketiga sosialisme, melakukan kontrol terhadap alat-
alat produksi di tangan negara menyenankan konsentrasi kekuasaan politik berada
ditangan pihak yang ditunjuk negara. Keempat, dengan ketiiadaan pasar berarti
menempatkan dewan perencanaan pusat sebagai pihak yang memutuskan segala
urusan ekonomi, seperti penawaran permintaan, prefensi konsumen dan harga. Pada
kenyataannya, urusan itu sangatlah kompleks yang tidak mungkin seluruhnya di
kelola oleh negara sehingga akan menimbulkan pemanfaatan dan alokasi sumber daya
yang tidak efisien. 12
Dalam keadaan bertentangan dimana sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme,
keduanya memiliki dampak negatif terhadap pencapaian ekonomi, muncullah sistem
ekonomi campuran. Sisten ini mencoba mengambil dampak positif dari sistem
kapitalisme sosialisme. Tentu saja mengawinkan atau mengabungkan dua sistem

12
Ibid

13
yang berbeda tidak mudah meskupun apabila di di tinjau secara teoritis gampang
untuk di konseptualisasikan. Apabila di lihat dari hak kepemilikan sistem ekonomi
campuran memiliki dua ponsultat yaitu sebagai berikut : (i) hak kepemilikan yang di
miliki oleh sektor privat, apabila bisa memberikan insentif ekonomi yang lebih baik
bagi pelakunya. Dan (ii) hak kepemilikan harus diserahkan kepada negara jika pasar
tidak responsif terhadap tujuan sosial misalnya pemerataan pendapatan dan
eksternalitas.
Dalam kasus negara kesejahteraan, misalnya kegiatan ekonomi sebagian besar
diserahkan kepada sektor swasta sehingga secara otomatis hak kepemilikan juga di
berikan kepada sektor privat tersebut. Aplikasi ini menyebbabkan setiap individu di
beri ruang yang leluasa untuk membuka dan mendirikan usaha, memeiliki faktor-
faktor produksi seperti tanah dan mempertukarkan ketrampilan. Maka implikasinya
dalam sistem kapitalis yaitu sebagian besar kegiatan ekonomi dibimbing oleh
mekanisme pasar sehingga alokasi dan pemanfaatan sumber daya ekonomi menjadi
efisien. Sehingga pasar bisa menjadi sangat rakus apabila sumber daya ekonomi
diserahkan kepada sektor swasta. Dalam keadaan seperti ini , maka sumber daya
ekonomi yang dipegang oleh pelaku ekonomi swasta akan menimbulkan ketimpangan
kesejahteraan ekonomi. tepat pada kondisi seperti inilah negara masuk untuk
mengendalikan pasar agar tidak menimbulkan disparatis kesejahteraan melalui
kepemilikan sebagai hak milik yang dianggap strategis, seperti sumber daya air,
hutan, migas dan lain-lain. Bahkan dalam beberapa hal negara/ pemerintah mesti turut
campur dalam kegiatan ekonomi bila dirasa kepentingan sebagian rakyat belum
terpenuhi oleh sektor privat. Jadi dapat disimpulkan bahwa kepemilikan negara dalam
sistem negara kesejahteraan bukanlah karena negara lebih efisisen dari pada
kepemilkan privat, melainkan negara hadir untuk menghindari tidak tercapainya
tujuan pembangunan yang lebih luas seperti pemerataan dan keadilan.

D. Hak Kepemilikan dan Ekonomi Kelembagaan


Eksternalitas merupakan salah satu persoalan ekonomi yang kerap menjadi bahan
pedebatan dan sering terjadi dalam kegiatan ekonomi. Dalam ekonomi Neoklasik
mempunyai dua sisi pandangan yang berbeda, sisi pertama mengabaikan adanya
eksternalitas sehingga tidak menyusun secara khusus bagaimana menyelesaikannya,
sedangkan disisi lain, ekonomi klasik berpandangan bahwa eksternalitas eksis dalam
kegiatan ekonomi sehingga harus di pecahkan secara sistematis. Ekonomi Neoklasik
14
berpendapat bahwa pasar tidak akan mampu memecahkan masalah eksternalitas. Pada
titik inilah diperlukan interumen untuk bisa menangani masalah eksternalitas. Tentu saja,
makna aturan main tersebut berada di luar kerangka ekonomi pasar. Salah satu proposisi
yang diajukan oleh aliran neoklasik adalah intervensi negara perintah untuk mengatasi
kegagalan pasar dalam memecahkan kasus eksternalitas. Jadi walaupun madzab neoklasik
tetap percaya bahwa mekanisme pasar merupakan instrumen yang paling efisien
mengalokasi kegiatan ekonomi, tetapi dalam aspek-aspek tertentu seperti penanganan
eksternalitas,barang publik dan hak kepemilikan, pemerintah diharapkan ikut serta
memeperkuat mekanisme pasar.
Dengan basis pemikiran neoklasik itulah Ronald Coase (dalam Kherallah dan Kirsten
2001:14) memberikan postulat(asumsi) bahwa eksternalitas dapat diinternalisasikan
dengan kegiatan ekonomi jika hak kepemilikan telah dikelola dengan baik. Dalam
pandangannya, bila hak kepemilikan telah dimapankan dengan baik dan jika andaikan
tidak ada biaya-biaya transaksi, maka eksternalitas bisa. Hal Inilah yang sebetulnya
menjadi esensi dari Coase, dampak dari eksternalitas dapat dilakukan dengan cara
negoisasi atau tawar menawar antara pihak-pihak yang terkait untuk bersama-sama
mencari solusinya. dengan baik , maka sejatinya intervensi pemerintah (dalam wujud
apapun) tidak dibutuhkan lagi. Sebab menurutnya jika setiap hak kepemilikan telah jelas
siapa yang mempunyainya, maka hasil kegiatan ekonomi akan efisisen dengan sendirinya.
Selanjutnya, aspek distribusi dari hasil kegiatan ekonomi tersebut akan ditentukan alokasi
awal dari hak kepemilikan tersebut.
Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa Ronald Coase tidak menempatkan negara
sebagai pihak yang harus hadir untuk menyelesaikan masalah eksternalitas. Coase hanya
menyarankan aspek hak kepemilikan privat diperjelas agar persoalan eksternalitas bisa
dituntaskan melalui mekanisme pasar itu sendiri. Sebaliknya, Pigou menganggap negara
harus melakukan intervensi untuk mengatasi masalah eksternalitas misalnya melalui
instrumen pajak. Sepakat dekat ide Pigou tersebut, Millis (dalam gregory dan Stuart,
1992:188) menyebutkan setidaknya ada tiga peran yang bisa dilakukan oleh negara untuk
mengatasi masalah eksternalitas, pertama, pembagian otoritas dan tangggung jawab
antara Pemerintah pusat/negara , dan badan-badan pemerintah (misalnya pengawasan
terhadap polusi udara ) yang bisa menghambat terjadinya penyimpangan setiap program.
Dalam banyak kasus, efek eksternal yang dipicu sekat-sekat politik lokal .kadang kala
memerlukan beberapa beberapa kordinasi pada level nasional ataupun regional untuk
menyekesaika masalah. Kedua , keengganan umum untuk mengunakan kekuatan pasar
15
dalam menyelesaikan masalah eksternalitas., seperti pajak bagi penghasil polutan.
Singkatnya pelanggaran dan tata administrasi yang dilakukan oleh negara untuk
melakukan penegakan. Ketiga ketidakmauan mempertimbangkan tingkat optimal dari
kerusakan lingkungan . menyebabkan eksternalkitas hanya bisa di atasi melalui
pengeluaran sumber daya masyarakat . jadi denggan 3 peran diatas negara bisa datang
untuk menyelesaikan masalah eksternalitas. 13
Hubungan hak kepemilikan dengan ekonomi kelembagaan tidak hanya di sebabkan
oleh masalah eksternalitas saja.. Pada titik ini ekonomi kelembagaan juga peduli terhadap
urusan – urusan yang lebih besar. Seperti menguliti hubungan antara kepemilikan/
pengelolaan hak kepemilikan terhadap kesejahteraan, efesiensi, pertumbuhan ekonomi.
pembahasan seperti ini sekaligus mempelajari relavansi mengupas perbedaan antara sistem
ekonomi sosialis dan sistem ekonomi kapitalis.walaupun sistem ekonomi sosialis sudah
hampir tidak ada lagi kecuali Kuba dan beberapa negara Amerika Latin seperti Bolivia.
Sekedar ilustrasi dalam negara AS, Jerman, dan jepang merupakan penganut sistem
ekonomi kapitalis. Dalam sistem kapitalis dapat dijumpai kelembagaan ekonomi dan
politik yang berlainan diantara negara-negara tersebut. Negara AS yang dipandang sebagai
penganut pasar bebas , juga diakui sebagai negara yang getol mengampanyekan perlunya
negara menyingkir dari kegiatan ekonomi, sehingga seluruh hak kepemilikan diserahkan
kepada sektor swasta. Ekonomi yang dipraktikkan adalah desentralisasi, pasar terbuka,
pasar modal yang tidak terkonsetrasi dan regulasi antitrust sedangkan jerman adalah
negara penganut social market economy, mendesain kelembagaan ekonominya dalam
wujud pasar yang terorganisasi, pasar modal yang berpusat pada bank. Sebaliknya jepang
juga mempraktikkan sistem ekonomi pasar “ terpimpin” yang mana mengandaikan peran
negara yang cukup kuat untuk mengatur dan mengkoordinasi pasar, msalnya melalui
instrumen jaringan bisnis, kebijakan pemerintah yang terpasu untuk mempengaruhi pasar
dan intervensi pada industri-industri yang mulai menunjukkan adanya penurunan aktivitas
. dengan model kelembagaan ekonomi yang berlainana di antara negara-negara kapitalis
tersebut, tentunya juga berimplikasi teradap jensi penglahan hak kepemilikan.

13
Ibid

16
Tabel 2.2 Perbandingan kelembagaan kapitalis dan idelogi : USA, Jerman dan Jepang
Kriteria AS Jerman Jepang

Institusi politik Demokrasi liberal : Demokrasi sosial, Demokrasi


pemerintah yang biokrasi lemah, pembangunan ,
terpisah (divided ), legalitas organisasi, biokrasi kuat
kelompok kepentingan korporatis. “reciprocal consent “
yang terorganisasi antara negara dan
pasar

Institusi ekonomi Desentralisasi, pasar Pasar yang Tepimpin , tercabang


modal yang tidak terorganisasi, tiers sulit melakukan
terkonsentrasi , tradisis of firms, pasar penetrasi ke pasar,
antitrust modal yang jaringan bisnis yang
berpusat pada bank, ketat/kartel dalam
perbankan umum industri yang
menurun

Ideologi Kebebasan usaha Kemitraan sosial Technonationalism


ekonomi
dominan

Sumber : Pauly dan Reich, 1997; Dalam Jaffe, 1998:137.

Dengan kerangka kelembagaan diatas bisa diperkirakan bagaimana bentuk –bentuk


hak kepemilikan di negara-negara tersebut. Di negara AS yang menanut pasar bebas, hak
kepemilikan hampir seluruhnya di berikan kepada sektor swasta, sehingga tidak ada ruang
bagi negara untuk mengelola dan menguasai sumber daya ekonomi, termasuk
kepemilikan badan usaha negara dan jika terdapat kasus seperti eksternalitas dan
ketimpangna pendapatan, maka pasar sendiri yang akan menyelesaikannya , sementata iru
di neara yang menganut ekonomi kesejahteraan seperti swedia dan ekonomi pasar sosial
seperti jerman, negara dakam intensitas yang terbatas yang di beri ruang untuk menguasai
hak kepemilikan yang bernilai ekonomi, sehingga negara mempunyai kapasitas mengatasi
problem eksternalitas barang-barang publik dan ketimpangan ekonomi. biasanya
instrumen yang dipakai untk menuntaskan kasus- kasus adalah pajak progresif, tunjangan
sosial, dan kepemilikan badan usaha. Hal yang sama juga di lakukan dalam sistem

17
ekonomi pasar terpimpin seperti negara jepang , dimana negara diberi keleluasaan untuk
memiliki hak kepemilikan. Negara juga melakukan koordinasi yang integratif dengan
dunia usaha sektor swasta, sehingga seluruh kegiatan ekonomi bisa dikontrol dengan baik.
Dengan penetrasi negara yang begitu dalam untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi, soal-
soal eksternalitas maupun ketimpangan pandapatan bisa di hindari.

E. Hak Kepemilikan dan Efisiensi Ekonomi


Tema efisiensi ekonomi selalu relevan dalam bidang ekonomi mengingat tujuan uatam
dari kegiatan ekonomi adalah untuk mencapai efisiensi. Efisiensi didefinisikan sebagai
upaya memperoleh output yang lebih besar dengan input yang sama. 14 Efisiensi dapat
dicapai dengan dua pendekatan, yakni pendekatan statis dan pendekatan dinamis. Dalam
pendekatan statis, efisiensi ekonomi dapat tercapai melalui spesialisasi tenaga kerja
(division of labor). Asumsinya, jika setiap tenaga kerja hanya mengerjakan satu kegiatan
kecil maka tenaga kerja tersebut akan dapat dengan mudah menguasai pekerjaan tersebut
sehingga produktivitasnya menjadi lebih tinggi, begitu juga sebaliknya. Sedangkan dalam
pendekatan dinamis, efisiensi ekonomi dapat tercapai dengan meningkatkan kapasitas dan
inovasi teknologi sehingga produktivitas meningkat. Penerapan dari kedua pendekatan ini
dalam batas-batas tertentu telah teruji keberhasilannya, baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Untuk di negara maju penerapan pendekatan dinamis lebih banyak
diterapkan, sedangkan untuk negara berkembang pendekatan statis yang lebih banyak
diterapkan untuk meningkatkan efisiensi.
Efisiensi ekonomi jika dikaitkan dengan hak kepemilikan akan memiliki banyak
perspektif yang dapat digunakan15. Pertama, melihat hubungan antara hak kepemilikan
dengan kepastian hukum untuk melindungi penemuan-penemuan baru seperti teknologi.
Dalam sudut pandang ini, negara yang bisa menjamin hak kepemilikan terhadap
penemuan atau inovasi teknologi melalui hak paten dan akan berimplikasi besar terhadap
produktivitas dan efisiensi ekonomi. Jaminan terhadap hak paten akan memberi intensif
materil bagi pelaku ekonomi untuk dapat terus menemukan inovasi baru. Bila inovasi
teknologi tercipta, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi pola produksi yang
bisa meningkatkan produktivitas. Kedua, melihat hubungan antara hak kepemilikan
dengan degradasi lingkungan. Sampai dengan hari ini aktivitas ekonomi masih tergantung

14
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan Kebijakan (Penerbit Erlangga, 2013),
hal 131.
15
Ibid, hal 131.

18
dengan sumber daya alam (SDA) dan menyebabkan terjadinya eksploitasi besar sehingga
merusak lingkungan (environmental degradation). Dalam hal ini, hak kepemilikan yang
tidak jelas terhadap SDA cenderung akan merusak lingkungan dan dalam jangka panjang
akan menurunkan efisiensi ekonomi.
Untuk melihat relasi antara hak kepemilikan dan inovasi teknologi, yang sering terjadi
di negara berkembang adalah banyaknya investor asing yang pergi karena tidak ada
jaminan terhadap setiap hak kepemilikan yang diproduksi, baik dalam bentuk produk
maupun hak paten. Setiap kali muncul komoditas industri baru seperti elektronik,
software, kaset dan lain-lain selalu diiringi dengan munculnya produk-produk bajakan
yang jauh lebih murah harganya dipasar. Akibatnya produsen tidak memiliki insentif
untuk menciptakan produk baru sehingga membuat kegiatan ekonomi lesu. Bahkan dalam
kasus yang lebih buruk, produsen tersebut pindah ke negara lain yang memiliki kepastian
hukum lebih kuat. Sehingga akan berakibat pada negara yang ditinggalkan oleh investor
tersebut seperti kehilangan peluang dalam menciptakan kegiatan ekonomi yang efisien
karena tidak adanya inovasi baru akibat penegakan hukum yang lemah (lack of law
enforcement).
Sedangkan, relasi antara hak kepemilikan dan kerusakan lingkungan dapat dilihat dari
tidak adanya hak milik atas sumber daya. Kepentingan yang berasal dari luar akan
mengamnil keuntungan dari akses yang terbuka dan tanpa rasa tanggung jawab akan
mengkesploitasi secara besar seperti menangkap ikan secara berlebihan, menggunakan
lahan perkayuan desa secara berlebihan dan menyedot air tanah dalam berlebihan. Akan
tetapi, jika suatu kelompok komunal diberi hak milik terhadap sumber daya alam maka
kelompok tersebut akan mengembangan dan mengelola sumber daya alam tersebut seperti
membatasi akses orang luat terhadap SDA, mendistribusikan SDA secara merata untuk
pemenuhan anggota komunal dan lain-lain. Dalam konteks hak kepemilikan yang tidak
jelas (poorly defined property rights) dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
kegagalan pasar (market failure)16. Beberapa studi menunjukkan bahwa hak kepemilikan
yang tidak jelas cenderung mengakibatkan terjadinya penebangan hutan (forest clearing)
sebagai cara strategis untuk mengklaim hak kepemilikan hutan (Anderson dan Hill, 1999;
Mendelson, 1994; Angelsen, 1999). Hak kepemilikan negara terhadap hutan di negara-
negara berkembang cenderung melayani kepentingan penguasa di desa (Ligon dan Narain,
1999). Demikian pula inefisiensi kapasitas keuangan dan administrasi dari agen-agen

16
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan Kebijakan (Penerbit Erlangga, 2013),
hal 132

19
negara juga memperlemah setiap upaya pengawasan terhadap praktik ilegal terhadap hutan
milik negara. Menurut Hardin (1968) yang dikutip dari (Rosyadi, 2003:44-45) “tragedy of
the common” akan dapat terjadi karena tidak ada satu pun pihak yang memiliki insentif
untuk melindungi sumber daya dari eksploitasi yang berlebihan. Melalui skenario itulah
setiap hak kepemilikan yang tidak jelas selalu berpotensi menurunkan kapasitas efisiensi
ekonomi dalam jangka panjang akibat eksploitasi SDA.
Oleh karena itu, aliran hak kepemilikan menganggap bahwa hak kepemilikan swasta
(private property rights) sebagai jalan terbaik untuk memberikan insentif yang baik bagi
individu untuk melakukan tindakan yang secara sosial maupun individu efisien (Baland
dan Plateau, 1996). Sebaliknya, daripada harus memindahkan hak kepemilikan sumber
daya alam kepada individu, paham hak kepemilikan bersama (commons property rights)
menjelaskan bahwa hak kepemilikan atas SDA seharusnya dikelola dan diatur oleh
masyarakat (community) yang memberikan keuntungan bagi masyarakat maupun pihak
luar (outsiders). Penelitian yang dilakukan oleh Olstrom (1990) dan Bromley (1992)
seperti yang dikutip dari (Rosyadi, 2003: 45) menjelaskan penemuan yang impresif baik
dari sisi sejarah maupun saat ini /kontemporer, dimana masyarakat mengembangkan
kelembagaan (institutions) yang berhasil mengelola sumber daya yang dimiliki bersama
dalam jangka panjang tanpa terjebak dalam skema “tragedy of the commons” yang tetap
harus dibedakan dengan hak kepemilikan bebas/terbuka (open access property).
Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa yang paling penting adalah adanay kejelasan atau
kepastian atas hak kepemilikan sehingga setiap pengelola atau pemiliknya mempunyai
insentif untuk memakai dan melindungi hak kepemilikannya. Hak milik privat dianggap
akan memberikan insentif yang besar bagi pemiliknya untuk memanfaatkan SDA agar
diperoleh keuntungan yang besar. Sebaliknya, hak milik negara atau komunitas juga bisa
memberikan manfaat yang besar bagi pemiliknya melalui proses negosiasi dan partisipasi
yang utuh. Model-model hak kepemilikan yang dijelaskan diatas bisa diaplikasikan sesuai
dengan kondisi yang ada, sehingga sesungguhnya tidak dapat disimpulkan mana yang baik
diantara bentuk-bentuk hak kepemilikan. Lebih relevan, jika setiap pemilik dari
pengelolaan SDA diketahui dengan jelas apapun tipe hak kepemilikan yang dipakai tidak
hanya memberikan manfaat atau ekspliotasi kepada pemiliknya, tetapi pemilik tersebut
juga melestarikan dan melindungi SDA sehingga tetap terjaga dalam jangka panjang.
Yang menjadi kunci dari efisiensi ekonomi khususnya untuk kasus sumber daya alam
(SDA) adalah adanya kepastian hak kepemilikan yang dijamin melalui produk dan
pencegahan hukum (law eforcement).
20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hak milik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata didefinisikan sebagai hak
untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas
terhadap kebendaan tersebut dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan
yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya
dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan
umum bedasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.
Terdapat empat karakteristik dari hak kepemilikan yaitu Universalitas (universality),
Ekslusivitas (exclusivity), Transferabilitas (trasnfebility), dan Enforsibilitas
(enforceability).
2. Jenis hak kepemilikan dibagi menjadi 4 yaitu Hak kepemilikan individu (private
property right/ownership), Hak kepemilikan negara (state property right/ownership),
Hak kepemilikan komunal (communal property right/ownership) dan Hak kepemilikan
terbuka (open access property right).
4. Terdapat tiga (3) rezim dalam sistem ekonomi yaitu pertama, rezim sistem ekonomi
kapitalis dimana hak kepemilikian dimiliki oleh swasta, kedua rezim sistem ekonomi
sosialis dimana hak kepemilikan dimiliki oleh pihak negara (state property rights) dan
ketiga, rezim ekonomi campuran dimana kepemilikan dimiliki oleh swasta dan negara
(dicampur).
5. Hubungan hak kepemilikan dengan ekonomi kelembagaan tidak hanya di sebabkan
oleh masalah eksternalitas saja. Dimana Coase menyarankan adanya kepastian hak
kepemilikan (privat) untuk menyelesaikan problem. Pada titik ini ekonomi
kelembagaan juga peduli terhadap urusan – urusan yang lebih besar. Seperti menguliti
hubungan antara kepemilikan/ pengelolaan hak kepemilikan terhadap kesejahteraan,
efesiensi, pertumbuhan ekonomi.
6. Efisiensi ekonomi jika dikaitkan dengan hak kepemilikan akan memiliki banyak
perspektif yang dapat digunakan. Pertama, melihat hubungan antara hak kepemilikan
dengan kepastian hukum untuk melindungi penemuan-penemuan baru seperti
teknologi. Kedua, melihat hubungan antara hak kepemilikan dengan degradasi
lingkungan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zarqa’. 1967. al-Fiqh al-Islami fi saubihi al-Jadid. Damaskus: Matabi Alif Ba’ Al-Adib.
Putra Meydi Muhammad. 2020. Pemikiran Karl Marx Tentang Hak Milik Pibadi Ditinjau
Dari Hukum Ekonomi Islam. Lampung : Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Raden Intan Lampung. http://repository.radenintan.ac.id/11550/2/SKRIPSI%202.pdf
(diakses pada tanggal 25-03-2021 pukul 13.05)
Ramli Tatty Aryani. Kepemilikan Pribadi Perspektif Islam, Kapitalis, dan Sosialis.
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/download/159/pdf (diakses pada
tanggal 25-03-2021 pukul 19.52)
Subekti R. dan R. Tjitrosudibio. 1984. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Vipriyanti Nyoman Utari. Teori dan Aplikasi Ekonomi Kelembagaan Bagi Perencanaan
Pembangunan.
Widowati Dyah Ayu, Ananda Prima Yurista, dkk. 2019. Hak Penguasaan Atas Sumber Daya
Alam Dalam Konsepsi Dan Penjabarannya Dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/454 (diakses pada 25-03-2021
pukul 20.50)
Wahyono Ary. 2005. Keberadaan Hak Adat Dalam Pemanfaatan Sarang Burung Walet Di
Habitat Alami : Antara Harapan Dan Kenyataan. Jurnal Masyarakat dan Budaya
Volume 7 No.2). https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/229 (diakses pada tanggal 30-
03-2021 pukul 18.27)
Yustika, Ahmad Erani, 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori dan Kebijakan.
Jakarta : Erlangga.

22

Anda mungkin juga menyukai