Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

Hernia

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah

Disusun oleh:
Mawar Indah Sari 1218100
M Nuh Baihaqi M 121810050

Pembimbing
dr. Dini Sapardini W, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
RSUD WALED KABUPATEN CIREBON
CIREBON
2022

1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN ILMU
BEDAH

TUGAS
HERNIA

TUGAS INI DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN DALAM


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH RSUD WALED

Disusun oleh:
Mawar Indah Sari 121810013
M Nuh Baihaqi M 121810050

Cirebon, Februari 2022


Pembimbing,

dr. Dini Sapardini W, Sp.B

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Tugas yang berjudul “hernia”. Penulisan
Tugas ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas Pendidikan Profesi
Dokter bagian Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Waled Cirebon. Kami
menyadari sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan sampai dengan terselesaikannya
laporan kasus ini. Bersama ini kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-
besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Catur Setiya Sulistiyana, M.Med.Ed selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yang telah memberikan sarana dan
prasarana kepada kami sehingga dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.
2. Dr. Dini Sapardini W, Sp.B selaku pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing kami dalam penyusunan tugas
ini.
3. Orang tua beserta keluarga yang senantiasa memberikan do’a, dukungan
moral maupun material.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Cirebon, 11 Februari 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................................2
KATA PENGANTAR............................................................................................................3
DAFTAR ISI..........................................................................................................................4
BAB I......................................................................................................................................5
PENDAHULUAN..................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................6
1.1 Definisi....................................................................................................................6
1.2 Etiologi....................................................................................................................7
1.3 Patofisiologi.............................................................................................................7
1.4 Gejala klinis............................................................................................................9
1.5 Penatalaksanaan...................................................................................................11
1.6 Prognosis...............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................15

4
BAB I

PENDAHULUAN

Vitiligo merupakan kelainan kulit depigmentasi umum yang diperkirakan


memiliki prevalensi 0,5-2% dari populasi di seluruh dunia. (1)
Penyakit ini ditandai
dengan hilangnya melanosit secara selektif yang menghasilkan makula putih berkapur
yang tidak bersisik. Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan besar telah dibuat
dalam pemahaman tentang patogenesis vitiligo yang sekarang jelas diklasifikasikan
sebagai penyakit autoimun. (1)
Umumnya vitiligo muncul setelah kelahiran, dapat berkembang di masa anak-
anak, onset usia rata-ratanya adalah 20 tahun. Sementara ahli berpendapat vitiligo
dijumpai baik pada pria maupun wanita, tidak berbeda signifikan dalam hal tipe kulit
atau ras tertentu.4,5 Pada 25% kasus, dimulai pada usia 14 tahun; sekitar separuh
penderita vitiligo muncul sebelum berusia 20 tahun. (2)
Penyebaran lesi tersering non-segmental atau generalisata sedangkan jenis
lainnya yang tidak banyak adalah segmental, lesi depigmentasi menyebar asimetris,
yaitu hanya pada satu sisi. Namun meskipun kasusnya tidak banyak vitiligo
segmental (SV) menyumbang 5-16% dari semua kasus vitiligo dan memiliki
distribusi gender yang relatif sama. Namun, beberapa penelitian melaporkan sedikit
dominasi perempuan.(5)
Aspek penting pada vitiligo adalah efek psikologis, terutama bila terlihat oleh
orang lain. Pasien sering mengalami efek sosial dan emosional, misalnya percaya diri
yang kurang, kecemasan sosial, depresi, stigmatisasi, dan yang paling luar biasa
adalah penolakan lingkungan. Dampak ini sedikit dijumpai pada pasien kulit putih,
karena kulit normalnya tidak berbeda mencolok dengan warna vitiligo. (3)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit, disebabkan
faktor genetik dan non genetik yang berinteraksi dengan kehilangan atau
ketahanan fungsi melanosit dan pada kenyataanya merupakan perisitiwa
autoimun. Keterangan lainnya mencakup kejadian kerusakan adesi melanosit,
neurogenik, biokimiawi, autotoksisitas. (3)

Vitiligo diklasifikasikan menjadi 2 bentuk utama yaitu: vitiligo nonsegmental


(NSV) dan vitiligo segmental (SV). Istilah vitiligo didefinisikan untuk menunjuk
semua bentuk NSV (termasuk varian akrofasial, mukosa, umum, universal,
campuran dan langka). Sedangkan Vitiligo segmental merupakan salah satu tipe
vitiligo dimana depigmentasi hanya terjadi pada satu sisi tubuh atau satu area
seperti tangan atau wajah.(1,5)

1.2 Anatomi kulit


Kulit terdiri atas tiga lapisan; epidermis, dermis dan subkutis. Di bagian dalam
dermis terdapat lemak subkutan. Kulit manusia memiliki dua tipe: kulit dengan
rambut dan kulit glabrous (tanpa rambut). Kulit glabrous dapat ditemukan pada
telapak tangan dan telapak kaki serta memiliki epidermis yang lebih tebal.(3)

Gambar 1. Bagian bagian kulit

6
Epidermis terdiri atas empat lapisan; stratum korneum, stratum granulosum,
stratum spinosum, and stratum basal. Pada kulit glabrous, lapisan tambahan
(stratum lucidum) berada di antara stratum korneum dan stratum granulosum.
Epidermis mengandung keratinosit, melanosit, sel-sel Langerhans dan sel-sel
Merkel.(3)

Dermis dibagi menjadi dermis papilar superfisial dan dermis retikular yang
terletak lebih dalam. Dermis mengandung fibroblas, sel-sel mast, histiosit,
monosit, limfosit, dan sel-sel Langerhans. Integritas dermis dipertahankan oleh
matriks penyangga yang mengandung substansi dasar dan dua tipe serat protein:
kolagen, yang memiliki daya regang yang besar dan membentuk konstituen
mayor dari dermis, dan elastin, yang menyusun hanya sebagian kecil dermis.
Pelengkap kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebaseous, dan kelenjar apokrin
serta ekrin juga terdapat pada dermis.(3)

Subkutis yang terdiri atas jaringan lemak mampu mempertahankan suhu


tubuh, dan merupakan cadangan energi, juga menyediakan bantalan yang
meredam trauma melalui permukaan kulit. Deposisi lemak menyebabkan
terbentuknya lekuk tubuh yang memberikan efek kosmetis. Sel-sel lemak
terbagi-bagi dalam lobus, satu sama lain dipisahkan oleh septa.(3)

1.3 Etiologi
Vitiligo adalah gangguan multifaktorial yang ditandai dengan hilangnya
melanosit fungsional Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk penghancuran
melanosit di vitiligo. Ini termasuk genetik, respon autoimun, stres oksidatif,
generasi mediator inflamasi dan mekanisme pelepasan melanosit. (1)

1.4 Patofisiologi
1. Genetik
studi asosiasi genome-wide (GWAS) mengidentifikasi sekitar 50 lokus
genetik yang memberikan risiko vitiligo yang bersatu dengan beberapa
penyakit autoimun lainnya, Polimorfisme dalam HLA-A dan CPVL

7
memberikan risiko genetik paling signifikan dari vitiligo. (6) asosiasi genetik
ini mendukung hipotesis bahwa terjadi interaksi kompleks antara melanosit,
imunitas bawaan dan faktor non genetic atau lingkungan dalan menginisiasi
terjadinya destruksi melanosit yang membantu memulai dan memperburuk
vitiligo.(6)

Gambar 2. Patofisiologi vitiligo


2. Mekanisme saraf
Sebuah teori yang didasarkan pada teori vitiligo segmental mengikuti alur
dermatomnya, teori ini didukung oleh kasus depigmentasi area yang
berhubungan dengan kerusakan neurologis (ensefalitis subakut, spinal cord
tumor, atau trauma). lesi kulit pasien dengan vitiligo segmental (misalnya
aktivitas asetilkolin, peningkatan katekolamin dan neuropeptide. namun,
neuropeptida mengontrol kekebalan kulit regional dan beberapa memiliki efek
penting pada melanosit.(7,5)
3. Mosaisme somatis
Karena pengamatan bahwa sebagian besar lesi vitiligo segmental tidak pas di
dalam batas garis dermatomal, tetapi segmental mirip dengan distribusi
blaschkoid dan dan pola mosaikisme. Adanya kelainan genetik menyebabkan
peningkatan apoptosis melanosis atau peningkatan kerentanan untuk
dimediasi sel imun sehingga menyebabkan rekrutmen sel radang yang
menyebabkan hancurnya melanosit.(5,6,7)

8
4. Pelapisan Kulit Mikrovaskular (microvascular skin homing): autoimune
Adanya migrasi sel T sitotoksik dari kelenjar getah bening spesifik
disepanjang system mikrovaskuler eferen melalui reseptor homing, sehingga
menimbulkan lesi “halo naevi” yang kemudian berkembang menjadi lesi
vitiligo segmental.
Respon imun yang diperantai limfosit T CD8+ terlibat dalam fase awal
vitiligo segmental.(5,6,7)
Sitotoksik serangan limfosit terhadap keratinosit mutan postzigotik telah telah
diusulkan sebagai mekanisme yang mendasari lichen striatus. Respon
inflamasi ini terutama terlihat pada lapisan basal dan suprabasal yang
menjelaskan perkembangan hipopigmentasi pascalesi.

Gambar 3. Patofisiologi vitiligo

1.5 Gejala klinis


a. Anamnesis
1. hilangnya warna hanya pada satu sisi tubuh, bisa juga mengenai
minimal satu segmen atau lebih. Bersifat stabil dan unilateral.
Distribusinya sesuai dengan satu atau lebih dermatoma tubuh yang
berdekatan atau sesuai Blaschko’s lines. Sering dimulai dimasa anak-
anak. Onset cepat. Sering terjadi pada wajah. Biasanya tidak disertai
penyakit autoimun lainnya. Pada kasus onset dini, sulit dibedakan
dengan nevus depigmentosus
2. Timbul bercak putih seperti susu/kapur onset tidak sejak lahir.

9
3. Tidak ada gejala subjektif, kadang sedikit terasa gatal.
4. Progresivitas lesi: dapat bertambah luas/menyebar, atau lambat/menetap,
kadang timbul bercak sewarna putih pada lesi tanpa diberikan pengobatan
(repigmentasi spontan).
5. Bisa didapatkan riwayat vitiligo pada keluarga (10-20%).
6. Bisa didapatkan riwayat penyakit autoimun lain pada pasien atau keluarga
(10-25%).
b. Pemeriksaan fisik
Terdapat makula depigmentasi berbatas tegas dengan distribusi pada area
wajah. Pada kasus tertentu, warna rambut di kulit kepala, bulu-alis mata, atau
janggut memudar menjadi agak putih atau keabu-abuan; warna retina berubah
atau hilang. Vitiligo juga dapat mengenai bagian tubuh yang menonjol dan
terpajan sinar surya, misalnya: di atas jari, di sekitar mata-mulut-hidung.

Gambar 4. Gambaran klinis vitiligo pada wajah

c. Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan laboratorium sebagai screening: T4, radioimmunoassay TSH
(thyroid-stimulating hormone), gula darah puasa, hitung darah lengkap
(complete blood count) atas indikasi anemia pernisiosa, Pemeriksaan dengan
lampu wood, mikroskop elektron, dan biopsi lesi boleh dilakukan bila
diperlukan. Sebaiknya semua penderita diperiksa kadar gula darahnya,
mengingat lebih rentan/berisiko menderita diabetes melitus, penyakit tiroid,
anemia pernisiosa.

10
Skor Vitiligo disease activity (VIDA) digunakan untuk mengetahui derajat
keparahan vitiligo dan keperluan terapi. Cara memberi skor VIDA adalah
sebagai berikut:

Skor VIDA menggunakan skala 6 poin untuk menilai stabilitas dan


progresivitas penyakit seiring berjalannya waktu. Sistem skoring ini dapat
digunakan untuk membantu menilai efektivitas pengobatan dalam
menghentikan dan mengembalikan area depigmentasi. Skor ini menggunakan
penilaian pasien sendiri mengenai bagaimana perjalanan penyakitnya melalui
teknik wawancara. Skor VIDA yang semakin rendah menunjukkan aktivitas
penyakit yang semakin menurun. (2)
1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan vitiligo masih salah satu yang paling sulit tantangan dermatologis,
Langkah penting dalam pengelolaan vitiligo adalah pertama-tama mengakui
bahwa itu tidak hanya penyakit kosmetik dan ada perawatan yang aman dan
efektif yang tersedia. Perawatan ini termasuk fototerapi, imunosupresan topikal
dan sistemik, dan teknik bedah, yang bersama-sama dapat membantu dalam
menghentikan penyakit, menstabilkan lesi depigmentasi dan merangsang
repigmentasi.(2,8)
Non-medikamentosa
1. Menghindari trauma fisik baik luka tajam, tumpul, ataupun tekanan
repetitif yang menyebabkan fenomena Koebner, yaitu lesi depigmentasi
baru pada lokasi trauma. Trauma ini terjadi umumnya pada aktivitas sehari-

11
hari, misalnya pemakaian jam tangan, celana yang terlalu ketat, menyisir
rambut terlalu keras, atau menggosok handuk di punggung.
2. Menghindari stres.
3. Menghindari pajanan sinar matahari berlebihan.(8)

Medikamentosa
Di tingkat pelayanan dasar (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK 1):
Jenis Terapi: topical
Di tingkat pelayanan lanjut (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK 2 atau 3):
Jenis Terapi: topikal, fototerapi, fotokemoterapi, pembedahan.

Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan vitiligo


Lini pertama
1. Topikal
- Kortikosteroid topical: triamcinolone, hydrocortisone, atau prednisone,
prednicarbate 0,25% dioleskan 2 kali sehari selama 4 bulan
- Calcineurin inhibitor (tacrolimus ointment 0,03 – 0,1%, pimekrolimus):
2. Fototerapi
- Narrowband ultraviolet B (NBUVB, 311 nm): dapat digunakan
untuk wanita hamil dan anak-anak tanpa efek fototoksik atau atrofi
epidermi, Kombinasi topical calcipotriene (analog vitamin D3 atau
analog vitamin D topikal).

12
- Excimer lamp atau laser 308 nm.
- Dermatologi Kosmetik
3. Fotokemoterapi
- Kombinasi psoralen dengan phototherapy ultraviolet A (PUVA)
Lini kedua
1. Topikal
Kombinasi kortikosteroid topikal dengan analog vitamin D3 topikal.
3. Sistemik
(untuk menahan penyebaran lesi aktif dan progresif pada VNS yang
akut/aktif) berupa pemberian betametason 5 mg dosis tunggal, dua hari
berturut-turut per minggu selama 16 minggu.
Excimer lamp atau laser 308 nm17
4. Fotokemoterapi
- Kombinasi psoralen dengan phototherapy ultraviolet A (PUVA).
- Kombinasi NBUVB dengan calcineurin inhibitor topical
- Kombinasi NBUVB dengan kortikosteroid sistemik
Lini Ketiga
Terapi intervensi/pembedahan: untuk vitiligo stabil, segmental, rekalsitran, dan
yang memberikan respons parsial terhadap terapi non-bedah. Terapi
pembedahan
dapat berupa:
1. Minipunch grafting
2. Split-skin graft.
3. Suction blister epidermal grafts (SBEG)
Teknik graft melanosit atau epidermis baik dalam suspensi epidermis atau
spesifik kultur sel primer dari melanosit.
Pembedahan boleh dilakukan pada area yang sensitif secara kosmetik jika tidak
ada lesi baru, tidak ada fenomena Koebner, tidak ada perluasan lesi dalam 12
bulan sebelumnya.

13
1.7 Edukasi
1. Vitiligo merupakan penyakit kulit kronis, progresif, sulit ditebak perjalanan
penyakitnya, tetapi dapat diobati dan tidak menular.
2. Lesi baru dapat timbul akibat gesekan, garukan, atau trauma tajam dan
trauma tumpul repetitive.
3. Respon terapi setiap pasien berbeda-beda, dan membutuhkan waktu serta
tenaga yang tidak sedikit untuk mengetahui terapi yang paling efektif untuk
setiap pasien.
4. Terapi vitiligo membutuhkan kesabaran karena respons terapi bisa cepat
maupun lambat.
5. Vitiligo dapat pula disertai kelainan autoimun lain (20-25%), sehingga
bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat diperlukan
pemeriksaan laboratorium tambahan.
6. Kelainan vitiligo dapat diturunkan (10-15%) baik berupa vitiligo atau
manifestasi autoimun lainnya.(2,8)

1.8 Prognosis
Vitiligo tidak mengancam nyawa, tetapi mengganggu secara estetika dan
menimbulkan beban psikososial. Respons terapi berbeda-beda, terutama
bergantung pada jenis vitiligo, tetapi terapi VNS memberikan respons yang
lebih
baik dibandingkan pada VS.(8)
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Bergqvista c., ezzedine k. Vitiligo: a review. Université paris-est créteil: : january


23, 2020.
2. dito a., ikrar t. Vitiligo. Vol.41 (9); university of california;usa:2017.
3. Djuanda a. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, ed 7. Fakultas kedokteran
universitas indonesia jakarta. 2015.
4. Katz gs, paller bg, wolff k. Fitzpatrick dermatology in general medicine, 8th ed.
The mcgraw hill companies. 2011
5. Speeckaert r., lambert j., bulat v., belpaire a., speeckaert m and geel n.
Autoimmunity in segmental vitiligo. Vol.11. Frontier in immunology.2020;0ct
6. Frisoli ml., essien k., harris je. Vitiligo: mechanisms of pathogenesis and
treatment. Vol.16 (20). University of medical school. Massachusetts. 2020.
7. Geel nv., haverbeke cv., speeckaert r. Pathophysiology of segmental
vitiligo.2019
8. Perdoski,2017.

15

Anda mungkin juga menyukai