Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“Masjid dalam Sudut Pandang Fiqih Arsitektur “

OLEH:
QUROTUL AINI DWI RATNA CHOIRANI (210606110047)
INKA MAULIDAH (210606110085)

Dosen Pengampu:
Yulianto M.Pd. I

STUDI FIKIH KELAS D


JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah swt. atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis mampu
menyelesaikan makalah dengan judul “Masjid dalam sudut pandang fiqih arsitektur”.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini untuk memenuhi tugas ujian akhir semester
matakuliah Studi Fiqih yang diampu oleh Bapak Yulianto, M.Pd.I. Makalah ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan menganai masjid dala lingkup fiqih arsitektur

Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Bapak Yulianto, M.Pd. I. selaku dosen
pengampu matakuliah Studi Fiqih. Penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak lain yang
telah menyumbangkan ilmu dan pengetahuannya sehingga penulis mampu menyelesaikan
makalah ini

Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah, hal ini disebabkan keterbatasan
pengetahuan dari penulis. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Mohon maaf bila ada kesalahan kata dalam makalah ini.

Malang, 1 Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………………………………………………
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….…ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….…. iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
Latar Belakang………………………………………………………………………1
Rumusan Masalah……………………………………………………….…...……...2
Tujuan Penelitian…………………………………………………….……...………2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………3
Ragam nama masjid berdasarkan kapasitas bentuk arsitektural…………………….3
Hukum Pembangunan Masjid…………………………………….………………...5
Hukum Tanah untuk membangun masjid………………………….…….…………7
Hukum fikih mengenai tata ruang dan material pada masjid………………………7
Hukum menghias masjid…………………………………………………………...9

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………...13


DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata “Masjid” berasal dari kata sajada-sujud yang berarti patuh, taat, serta
tunduk penuh hormat, takzim. Sujud dalam syariat yaitu berlutut, meletakkan dahi
kedua tangan ke tanah adalah bentuk nyata dari arti kata tersebut. Oleh karena itu
bangunan yang dibuat khusus untuk sholat disebut masjid yang artinya: tempat untuk
sujud (Shihab, 1997: 459). Masjid dengan huruf jiim yang dikasrahkan adalah tempat
khusus yang disediakan untuk shalat lima waktu. Sedangkan jika yang dimaksud
adalah tempat meletakkan dahi ketika sujud, maka huruf jiim-nya di fat-hah-kan
(Ash-Shan’ani: II:179). Adapun definisi secara istilah antara lain: “masjid adalah
tempat yang dijadikan dan ditentukan untuk tempat manusia mengerjakan shalat
jamaah (tempat yang ditentukan untuk mengerjakan ibadah kepada Allah SWT)”.
(H.A. Shiddieqy,1975, hal 251).
Salah satu indikasi penting dalam membangun masjid ialah membangun
masjid dengan motivasi taqwa Motivasi tersebut dikemukakan indikatornya dalam
bentuk prilaku. Motivasi taqwa ditandai oleh kelurusan dan hati para aktivisnya.
Mereka tidak mempertukarkan kejujuran dan kebenaran dengan usaha mencari
keuntungan duniawi. Kejujuran dan kebenaran tetap ditegakkan walau dengan itu
menghadapi resiko kerugian duniawi. Sebaliknya pendirian masjid dengan motifasi
kejahatan ditandai perilaku jahat, pembangkangan, tempat rekayasa memecah belah
persatuan umrnat Islam serta sebagai markas pengintai bagi gerak-gerik umat Islam
yang selalu berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan (QS. 9: 107-110).
Fungsi primer masjid adalah untuk tempat shalat, dan tentunya pembangunan
dan perancangan masjid harus disesuaikan dengan kaidah fiqih. Terdapat
keberagaman arsitektur masjid diseluruh dunia. Namun pada dasarnya dalam setiap
pembangunan masjid harus didasari oleh pengetahuan dan teori teori keislaman. Hal
ini juga terdapat dalam kajian kajian fiqih arsitektur. Maka dari ini itu mengkaji hal
ini lebih dalam kami tertarik untuk membuat makalah dengan judul “Masjid dalam
sudut pandang fiqih arsitektur”.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah definisi dan ragam nama masjid berdasarkan kapasitas bentuk
arsitektural?
2. Bagaimanakah ragam hukum fikih pembangunan masjid?
3. Bagaimanakah ragam hukum tanah untuk pembangunan masjid?
4. Bagaimanakah hukum fikih mengenai tata ruang dan material pada masjid?
5. Bagaimana hukum menghias masjid?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui definisi dan ragam nama masjid berdasarkan kpasitas bentuk
arsitektural.
2. Untuk mengetahui ragam hukum fikih pembangunan masjid.
3. Untuk mengetahui ragam hukum tanah untuk pembangunan masjid.
4. Untuk mengetahui hukum fikih mengenai tata ruang dan material pada masjid.
5. Untuk mengetahui bagaimanakah hukum menghias masjid.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan ragam nama masjid berdasarkan kapasitas bentuk arsitektural
Masjid adalah tempat ibadah umat Islam atau Muslim. Masjid memiliki arti
harfiah yakni 'tempat sujud'. Beberapa sebutan lain yang berkaitan dengan masjid di
Indonesia di antaranya mushalla, langgar atau surau. Istilah-istilah tersebut
diperuntukkan bagi bangunan untuk sholat yang merupai masjid, namun karena
umumnya berukuran kecil, tidak digunakan untuk sholat jumat dan iktikaf. Selain
digunakan sebagai tempat ibadah, masjid juga digunakan untuk berbagai kegiatan
seperti perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al-Qur'an.
Rumah ibadah bagi umat Islam atau yang biasa disebut masjid ternyata
memiliki banyak jenis. Di Indonesia sendiri terdapat delapan jenis masjid yang dapat
ditemukan di berbagai daerah, setiap masjid dibedakan lokasi keberadaan dan
fungsinya.
Adapun jenis atau tipologi masjid tersebut ditetapkan oleh Kemenag, atau
ditetapkan pemerintah setempat berdasarkan rekomendasi dari Kemenag atau KUA.
Penetapan jenis masjid juga dapat dilakukan karena faktor lain, seperti faktor sejarah
dan sebagainya.
Tipologi menurut tempat, Masjid Transit: Masjid ini terdapat biasanya di
objek-objek wisata maupun Masjid yang merupakan Masjid sebagai tempat istirahat
dalam perjalanan sepertinya Masjid yang berada di jalan tol. Masjid Wilayah: Masjid
Ini perbedaannya dalam pengguna, karena Masjid ini banyak digunakan oleh
kebanyakan masyarakat yang menempati tempat atau wilayah tertentu.
Tipologi menurut shalat Masjid: adalah tempat ibadah yang luas ruangan dan
besar bangunannya dapat menampung ratusan lebih orang. Dipergunakan untuk shalat
wajib, jum’atan maupun saat hari raya islam yang memerlukan ruangan yang luas.
Adakalanya Masjid sering dipergunakan untuk melangsukan pernikahan. Langgar:
adalah tempat ibadah yang luas ruangan dan besar bangunannya dapat menampung
puluhan orang. Dipergunakan untuk shalat wajib, namun jarang dipergunakan untuk
shalat jum’at. Umumnya langgar terdapat di pesantren-pesantren dan RT/RW yang
merupakan bagian dari cabang Masjid. Mushalla: adalah tempat ibadah yang luasnya
dapat mewadahi ratusan orang, luasan bangunannya menyesuaikan kapasita.
Umumnya mushalla terdapat di tempat ramai seperti; pasar, terminal, mall dan lain-
lain.
3
Berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Menteri Agama Nomor 394 Tahun
2004, keputusan tersebut membagi Masjid menjadi beberapa kelas: Masjid Tingkat Pusat
disebut Masjid Negara, Masjid Tingkat Propinsi disebut Masjid Raya, Masjid Tingkat
Kabupaten/Kota disebut Masjid Agung, Masjid Tingkat Kecamatan disebut Masjid Besar,
Masjid Tingkat Desa/Kelurahan disebut Masjid Jami, Masjid yang berada pada masyarkat
biasa.

Masjid Negara, yang dimaksud dengan masjid negara di sini bukanlah masjid
ikonis milik Malaysia, tetapi masjid yang terletak di Ibu Kota Negara Indonesia, yang
menjadi pusat kegiatan keagamaan di tingkat kenegaraan. Dilansir dari laman
simas.kemenag.go.id, masjid negara Indonesia adalah Masjid Istiqlal, merupakan
salah satu masjid terbesar di Asia Tenggara yang terletak di Jakarta.

Masjid nasional merupakan masjid yang terletak di Ibu Kota Provinsi yang
ditetapkan oleh Kemenag sebagai masjid nasional dan menjadi pusat kegiatan agama
Islam di tingkat Pemerintah Provinsi. Salah satu contoh masjid nasional yang ada di
Indonesia yaitu Masjid Nasional Al-Akbar, atau dikenal juga dengan nama Masjid
Agung Surabaya. Masjid ini merupakan masjid terbesar kedua yang ada di Indonesia
setelah Masjid Istiqlal.

Masjid raya merupakan masjid yang terletak di Ibu Kota Provinsi yang
ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kemenag
Provinsi sebagai masjid raya yang dijadikan sebagai pusat agama Islam di tingkat
Provinsi. Beberapa contoh masjid raya yaitu Masjid Raya Medan, dan Masjid Raya
Baiturrahman Aceh.

Masjid Agung merupakan masjid yang berada di Ibu Kota Kabupaten atau
Kota dan ditetapkan oleh Bupati atau Walikota berdasarkan rekomendasi dari Kepala
Kantor Kemenag Kabupaten atau Kota tersebut. Masjid Agung menjadi pusat
kegiatan keagamaan Pemerintah dan masyarakat muslim di tingkat Kabupaten atau
Kota. Contoh masjid agung di antaranya Masjid An-Nur Riau, Masjid Islamic Center
Samarinda Kalimantan Timur, Masjid Agung Semarang Jawa Tengah, Masjid Al-
Markaz Al-Islami Sulawesi Selatan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Masjid Besar berada di Kecamatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah


setingkat Camat atas rekomendasi dari Kepala KUA kecamatan sebagai masjid besar,
yang menjadi pusat kegiatan keagamaan di wilayah kecamatan.

4
Masjid Jami, Jika masjid besar terletak di wilayah Kecamatan, masjid Jami
merupakan masjid yang dijadikan sebagai pusat keagamaan di wilayah pedesaan atau
kelurahan, yang ada di pusat pemukiman.
Masjid bersejarah merupakan masjid yang terletak di kawasan peninggalan
Kerajaan atau Wali Penyebar Agama Islam atau masjid yang memiliki nilai besar
dalam sejarah perjuangan bangsa. Biasanya masjid bersejarah dibangun oleh Raja,
Sultan atau Para Wali, dan Pahlawan Pejuang Kemerdekaan. Banyak masjid
bersejarah yang ada di Indonesia dengan usia bangunan ratusan tahun, di antaranya
Masjid Raya Baiturrahman Aceh yang dibangun oleh Sultan Alaidin Mahmud Syah I
pada tahun 1292 Masehi, Masjid Wapauwe Ambon berdiri sejak 1414 Masehi, dan
Masjid Agung Demak dibangun pada 1420 Masehi Oleh Sunan Kalijaga, serta masih
banyak lagi masjid bersejarah yang lainnya.
Masjid di tempat public, Masjid jenis inj terletak di kawasan publik untuk
memfasilitasi masyarakat dalam melaksanakan ibadah
B. Hukum Pembangunan Masjid
Terdapat beberapa hukum mengenai pembangunan masjid. Berkenan dengan
hukum pembangunan masjid tersebut, ulama berpendapat bahwa secara individual
hukumnya adalah sunnah. Hal ini didasarkan dari hadist yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Ibnu Hibban dan Bazzar:

"Barang siapa membangun sebuah masjid karena mengharapkan keridhaan Allah,


maka Allah akan membangunkan pula untuknya sebuah rumah dalam surga”

Selain itu dalam pembangunan masjid hal lain yang harus diperhatikan adalah
sumber pendanaan pembangunan. Berdasarkan QS: At-Taubah ayat 16, sebagian
ulam berpendapat tidak boleh seorang muslirn minta bantuan pada orang kafir untuk
membangun masjid, karena ini tennasuk memakmurkan dalam arti fisik, dimana Allah
SWT sendiri telah melarang untuk memperkenankan kaum musyrikin memakmurkan
masjid-masjid Allah. Tetapi yang tampak dalam ayat, adalah boleh, sebab yang
terhalang hanya "penguasaannya" yang seolah-olah mereka itu sebagai
pengawas/ta'mir masjid. Adapun minta bantuan kepada orang kafir dalam bentuk

5
pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan, seperti mengukir batu,
memasang batu dan sebagainya tidak terlarang. Demikian menurut pendapat sebagian
besar ahli fiqih.
Al-Qur'an maupun Al-Hadits banyak memberikan perhatian kepada masalah
pembangunan masjid. Islam memerintahkan kepada ummatnya agar dalam setiap
tempat, dimana ummat Islam berkumpul atau bertempat tinggal untuk membangun
bangunan khusus yang disebut masjid. Bahkan di tempat tinggal seperti rumah yang
cukup besar, juga ummat Islam diperintahkan agar menyediakan ruangan khusus
untuk shalat dan sujud (mushalla atau masjid). Banyak hadits-hadits Rasullullah SAW
yang memerintahkan kepada umat Islam untuk membangun masjid tersebut
diantaranya:

Artinya: "Barang siapa membangun masjid karena Allah, maka baginya Allah
akan membangun gedung di surga" (HR. Bukhari dan Muslim). Keterangan-
keterangan hadits di atas, merupakan kekuatan pendorong bagi umat Islam untuk
berlomba-lomba membangun masjid. Setiap tempat, kampung atau desa yang
berhimpun di dalamnya umat Islam, pasti akan didapatkan bangunan masjid. Bahkan
terkadang saling berdekatan antara masj id yang satu dengan masj id lainnya. Namun
ada fenomena yang menarik untuk diperhatikan, bahwa keberadaan masjid yang
banyak dan berdekatan itu terkadang sering menimbulkan konflik antar urnat itu
sendiri. Masjid yang satu merasa tersaingi oleh masj id lainnya. Akhirnya saling
memaki antar kelompok masjid. Oleh karena itu masjid bukan lagi tempat yang
amgan, menenteramkan serta menyejukkan jiwa, melainkan telah menjadi pemicu dan
sumber konflik. Kecenderungan ini semakin meningkat pada saat umat ditekan pada
fanatisme golongan, partai politik dan kepentinganbersifat pragmatis lainnya,
sehingga tidak ada nilai spiritualitas pemakmuran masjidnya. Hal ini sebagaimana
diprediksikan oleh Rasullullah bahwa pada suatu masa akan terjadi pembangunan
masjid yang saling bersaing tetapi nilai spiritualitas pemakmurannya sangat kering.
Etika pembangunan masjid seperti di atas, haruslah mendapat perhatian kaum
muslimin yang hendak mendirikan masjid. Etika ini penting agar pembangunan
masjid yang dilaksanakan dapat menjaga keutuhan umat. Oleh karena itu para ulama

6
menyarankan untuk tidak membangun masjid pada tempat yang jaraknya sangat dekat
dengan masjid yang ada, clan menyarankan untuk memakmurkan masjid yang sudah
ada. Hal ini dimaksudkan agar keutuhan umat tetap terj aga dan tidak terjadi
keretakan. Di samping itu syi'amya akan lebih tampak jika pemakmuran masj id terse
but dilakukan secara bersama-sama dalam jamaah yang satu.
C. Hukum Tanah untuk membangun masjid
Ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa membangun masjid di kota-kota
dan di desa-desa hukurnnya adalah fardhu kifayah. Akan tetapi, dilarang mendirikan
masjid di kuburan sebagai penghormatan terhadap orang yang dikubur, hal ini sesuai
dengan hadist Rasulullah saw yang berbunyi:

"Allah telah membinasakan kaum Yahudi, karena mereka menjadikan kubur para nabi
mereka sebagai masjid-masjid. Apabila mati salah seorang dari mereka yang saleh
mereka itu lantas mendirikan di atas kuburnya satu masjid" (H.R. Muslim).
D. Hukum fikih mengenai tata ruang pada masjid.
Merujuk pada Fanani (2009: 75), tipologi arsitektur masjid ditinjau dari aspek
tata ruangnya terdiri dari tiga jenis, yakni (1) tipe Madinah; (2) tipe Arab; dan (3) tipe
Persia. Tipe pertama disebut tipe Madinah oleh Fanani (2009: 74) dikarenakan
merujuk pada bentuk awal Masjid Nabawi yang merupakan model awal tata ruang
arsitektur masjid. Seiring dengan meluasnya wilayah yang didiami umat Islam dan
berpengaruhnya faktor kondisi setempat, baik kondisi tapak maupun budaya, serta
semakin Tata Ruang Masjid 183 meningkatnya jumlah pemeluk Islam, mendorong
terbentuknya tipe baru yang oleh Fanani (2009: 74) dinamakan tipe Arab yang
merupakan perkembangan dari tipe Madinah yang mengalami perluasan ke arah kiri
dan kanan kiblat, sehingga membentuk tata ruang yang memanjang ke samping
sebagaimana didapati di Masjid Agung Damaskus. Tipe ketiga yang oleh Fanani
(2009: 74) disebut dengan tipe Persia juga merupakan pengembangan dari tipe
Madinah yang mengalami perluasan mengikuti poros kiblat, sehingga membentuk tata

7
ruang yang memanjang ke arah belakang sebagaimana Masjid Agung Samara (lihat
gambar 7.4). Fanani (2009: 74) menyatakan ketiga tipe tersebut merupakan tipe
umum tata ruang masjid yang diterapkan secara luas di seluruh wilayah umat Islam
dengan kedudukan tipe pertama sebagai tipe awal yang berkembang menjadi tipe
kedua dan ketiga yang merupakan tipe turunan atau pengembangan tipe pertama.
Husain (2011: 31) menjelaskan ruang salat disebut juga dengan istilah al-
haram yang berarti area suci atau alqiblah yang berarti area kiblat. Dua penyebutan
untuk ruang salat merupakan syarat sahnya pelaksanaan ibadah salat yang diwadahi di
dalam ruang salat, yakni ruang yang digunakan harus suci dari najis dan menghadap
kiblat ke arah Ka’bah. Untuk memasuki ruang salat, merujuk pada pengamatan yang
dilakukan oleh Pijper (1984: 21), masjid-masjid di Jawa cenderung memiliki jumlah
pintu ganjil, seperti satu, tiga atau lima. Pada umumnya masjid-masjid di Jawa
memiliki tiga buah pintu untuk memasuki ruang salat dengan posisi satu di depan dan
dua lainnya di sisi kiri dan kanan ruang salat. Mengenai jumlah pintu yang ganjil,
Pijper (1984: 21) menduga hal tersebut didasari pemahaman umat Islam terhadap
kedudukan angka ganjil yang dinilai istimewa. RUANG SHALAT jendela ruang salat
masjid di Jawa dibedakan oleh Pijper menjadi empat tipe meliputi tipe (1) jendela
dengan penutup dari kayu; (2) jendela dengan teralis tanpa kaca dan penutup; (3)
jendela dengan kaca berwarna; dan (4) jendela dengan kaca bening yang merupakan
tipe jendela paling baru di antara tipe lainnya.
Menelisik bagian dalam ruang salat, Pijper (1984: 26) mengamati tiga cara
yang dilakukan umat Islam untuk mengatur dan meluruskan shaf salat, yakni, (1)
menggunakan tikar untuk menutup lantai sekaligus sebagai batas shaf salat; (2) lantai
dari semen berwarna abu-abu yang diselingi tegel berwarna sebagai batas shaf salat;
atau (3) menggunakan tali tambang yang diikat di dinding sisi kiri dan kanan ruang
salat. Seiring perkembangan zaman, sebagaimana dinyatakan oleh Husain (2011: 31),
ruang salat dilengkapi dengan bangunan kecil yang ditinggikan melebihi permukaan
lantai ruang salat yang dinamakan dengan Dakkah atau Mifhal untuk digunakan oleh
muadzin mengumandangkan iqamat maupun membacakan AlQur’an, terutama
menjelang pelaksanaan Salat Jumat. RUANG WUDHU Mengenai air yang digunakan
untuk wudu terdapat perbedaan berdasarkan kondisi lingkungan masjid. Kulah yang
berada di daratan tinggi diisi air yang mengalir dari sumber mata air terdekat dari
masjid, sementara masjid yang berada di daratan rendah memanfaatkan air hujan dari
atap masjid yang diteruskan ke dalam kulah. Kedua, kulah yang terletak di bagian
8
depan masjid di dalam bangunan berbentuk segi delapan yang terbuka di seluruh
sisinya. Ketiga, kulah terdapat di bagian bawah bangunan menara. Keempat, wudu
dilakukan di sungai yang berdekatan dengan masjid. menyediakan pijakan kaki dari
batu 188 Buku Ajar Arsitektur Masjid Dimensi Idealitas dan Realitas yang
menghubungkan ruang wudu dengan serambi masjid. menempatkan gentong berisi air
di depan ruang serambi untuk digunakan jamaah membersihkan kaki sebelum
memasuki serambi masjid. membuat kolam dangkal di bagian depan dan di sisi ruang
serambi yang di Jawa Barat disebut kolem dan di Jawa Tengah disebut blumbang.
Piijper (1984: 47) menyatakan, kolam sejenis yang terdapat di masjid, pada masa
Hindu-Budha terdapat di area candi yang digunakan untuk menyucikan diri dengan
cara mandi sebelum beribadah. tiga cara yang dilakukan umat Islam setelah berwudu
di bangunan terpisah atau di sungai sekitar masjid agar tidak terkena kotoran,
sehingga tubuhnya tetap suci untuk memasuki ruang salat:
Serambi difungsikan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan agar
tidak mengganggu ibadah salat di ruang utama masjid dan merupakan perluasan ruang
salat ketika ruang utama masjid tidak dapat mewadahi jumlah jamaah seperti pada
pelaksanaan ibadah Salat Jumat dan Salat Hari Raya, maupun difungsikan untuk
pelaksanaan ibadah salat fardhu jika ruang utama masjid sedang mengalami perbaikan
atau jika terjadi pemadaman listrik saat pelaksanaan ibadah salat Magrib, Isya, dan
Subuh (Husain: 2011: 40). Faktor yang melatarbelakangi terbentuknya dua tipe
serambi dilatarbelakangi kondisi lingkungan sertempat di mana tipe kedua pada
umumnya dimiliki masjid yang berada di lingkungan yang berhawa dingin, sehingga
membutuhkan ruang serambi yang tertutup untuk memberikan kehangatan kepada
jamaah. Berkebalikan dengan tipe pertama yang pada umumnya dimiliki masjid di
lingkungan dataran rendah, sehingga membutuhkan serambi yang terbuka untuk
memberikan kesejukan kepada jamaah dengan cara memasukkan aliran angin ke
dalam bangunan masjid. Ruang serambi di masjid-masjid Jawa, sebagaimana diamati
oleh Pijper (1984, 19-20) digunakan untuk mewadahi beragam kegiatan dalam rangka
menjaga kesucian ruang utama masjid agar selalu siap untuk digunakan melaksanakan
ibadah salat.
E. Hukum material dan menghias masjid
Menghiasi masjid dengan ukiran yang terbuat dari emas dan perak menurut
kalangan ulama dua mazhab sebelumnya, yaitu Hanafi dan Maliki, adalah makruh.
Kemakruhan utamanya terjadi manakala hiasan tersebut ditaruh pada dinding bagian
9
mihrab (pengimaman) atau dinding bagian arah kiblat. Alasan yang digunakan ada
dua yaitu mengganggu kekhusyukan orang yang shalat. Batas kemakruhan adalah bila
proses menghiasi tersebut ada unsur takalluf (berusaha kuat untuk memenuhi bagian
mihrab dengan ukiran emas).
Alasan kemakruhan adalah tindakan mengukir dinding dengan emas adalah
bagian dari perbuatan menyia-nyiakan harta sehingga mentasharrufkan harta tersebut
ke pihak lain yang lebih membutuhkan dianggap sebagai yang lebih utama dari
mengukir itu sendiri. Nah, bagaimana dengan mazhab Syafii dalam memandang
hukum ukiran dengan bahan emas yang terdapat di masjid tersebut? Salah satu ulama
otoritatif dari kalangan mazhab Syafii, yaitu Az-Zarkasy, sebagaimana dikutip dalam
Kitab Hawasyi ala Multaqal Abhar, juz I, halaman 214, menyatakan: 
َ ‫ش َّك َأنَّهُ الَ يَ ُجو ُز‬
‫ص ْرفُ َغلَّ ِة َما َوقَفَ َعلَى َع َما َرتِ ِه فِي َذلِ َك‬ ْ ‫ش ا ْل َم‬
َ َ‫ َوال‬،‫س ِج ِد‬ ِ ‫قَال ال َّز ْر َك‬
ُ ‫ يُ ْك َرهُ نَ ْق‬:‫ش ُّي‬
  Artinya, “Al-Zarkasy berkata, ‘Makruh hukumnya mengukir masjid (dengan
bahan emas), serta tidak diragukan lagi bahwa tidak boleh menyalurkan hasil
pengeolaan wakaf imarah masjid untuk dana ukiran itu.’” (Hawasy ala Multaqal
Abhar, juz I, halamn 214). Hukum asal mengukir masjid dengan bahan emas di
kalangan mazhab Syafii adalah sepakat dengan dua mazhab pendahulunya, yaitu
Hanafi dan Maliki dalam hal kemakruhannya. Bahkan penggunaan hasil pengelolaan
aset wakaf untuk membeli hiasan ukiran emas hukumnya disebut sebagai la yajuz
(tidak boleh). Dalam istilah yang dipergunakan oleh Imam Al-Qadli Husain
disebutkan:
ِ ‫ص َوالت َّْز ِو‬
‫يق‬ ِ ‫ص ْرفُ َها ِإلَى الت َّْج‬
ِ ‫صي‬ َ ‫لا َ يَ ُجو ُز‬
Artinya, “Tidak boleh menyalurkan aset hasil pengelolan wakaf imarat masjid
untuk menovasi dan membuat ukiran masjid,” (Hawasy ala Multaqal Abhar, juz I,
halaman 214). Dalam Mu’jamul Wasith, disebutkan bahwa makna tajshish adalah
sama dengan tahrik yang bermakna aktif menggerakkan. Sementara itu dalam Mu’jam
al-Ghany disebutkan makna tajshish dihubungkan dengan tembok suatu bangunan,
sehingga bermakna seolah renovasi. Maka dari itulah penulis memaknai tajshish di
sini sebagai dana renovasi masjid.  Dasar kemakruhan ini disandarkan pada sebuah
riwayat yang datang dari Ibnu Mas’ud yang suatu ketika ia bepergian melewati
sebuah masjid yang dipenuhi hiasan emas (muzakhraf). Demi melihat hal itu, ia lalu
berkata: 
‫اطي ِن‬
ِ ‫س‬َ ‫سا ِكينُ َأ ْح َو ُج ِمنَ اَْأل‬
َ ‫ ا ْل َم‬،‫ لَ َعنَ هَّللا ُ َمنْ فَ َعل َه َذا‬:‫ َأ ْو قَال‬،ُ‫لَ َعنَ هَّللا ُ َمنْ َز ْخ َرفَه‬

10
Artinya, “Semoga Allah melaknati orang yang telah menghiasi masjid dengan
emas!” Maksud dari perkataan ini adalah, ‘Semoga Allah melaknati orang yang telah
melakukan perbuatan itu, sementara orang-orang miskin yang ada disekitarnya lebih
membutuhkan untuk dibantu dibanding membangun mercusuar-mercusuarnya.’”
(Hawasy ala Multaqal Abhar, juz I, halaman 214). Menangkap pengertian riwayat ini,
pada hakikatnya membangun asathin (masjid yang dijadikan sebagai mercusuar)
bukan sesuatu yang dilarang. Hanya saja konteks masyarakat yang ada disekeliling
masjid dan lebih membutuhkan menjadikan membangun masjid dengan megah
menjadi hal yang dibenci oleh kalangan sahabat, seperti ibnu Mas’ud di atas.
Padahal ini dalam rangka membangun, apalagi dalam kerangka menambahi
masjid yang sudah megah dengan ukiran-ukiran yang terbuat dari bahan emas.
Hukumnya jelas adalah makruh tanzih. Terkait dengan sumber dana untuk menghias,
Al-Baghawy di dalam Syarhus Sunnah sebagaimana dikutip oleh pengarang Kitab
‘Umdatul Qary, juz IV, halaman 204, menyatakan bahwa:
ْ ‫يش ا ْل َم‬
‫س ِج ِد بِ َما الَ ِإ ْح َكا َم فِي ِه‬ ُ ِ‫الَ يَ ُجو ُز تَ ْنق‬
Artinya, “Tidak boleh mengukir masjid dengan dana yang diambil dari dana
bukan diperuntukkan untuknya.” (‘Umdatul Qary, juz IV, halaman 204).
Maksud dari pernyataan Al-Baghawy di sini menguatkan keterangan tentang
penggunaan hasil pengelolaan harta wakaf, yaitu bahwa harta wakaf tidak
diperkenankan dipergunakan untuk tazwiqu/tanqisyul masjid (membeli ukiran emas
untuk masjid). Yang diperbolehkan pemakaiannya adalah dana khusus yang
disumbangkan oleh orang tertentu dan digunakan untuk membuat ukiran. Al-
Baghawy lebih lanjut menyatakan:
ِّ ‫ ا ْل ِج‬- ‫ص ِة‬
‫ص‬ َّ َ‫س ِج َد بِا ْلق‬
ْ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َبنَى ا ْل َم‬ ِ ‫ فَِإنَّ ُع ْث َمانَ َر‬،‫س‬ َ ‫َوقَال فِي ا ْلفَتَا َوى فَِإنْ َكانَ ِفي ِإ ْح َك ٍام فَالَ بَْأ‬
َ ‫ َوا ْل ِح َجا َر ِة ا ْل َم ْنقُو‬- ‫َوا ْل ِجي ِر‬
‫ش ِة‬
Artinya, “Di dalam kitab Fatawi al-Baghawi, al-Baghawy menyatakan bahwa
jika aset yang dipergunakan itu memang sudah dimahkumkan (diperuntukkan) oleh
donaturnya untuk membeli ukiran, maka hukumnya adalah la ba’sa (tidak apa-apa)
menyalurkannya untuk keperluan membeli ukiran.” (‘Umdatul Qary, Juz IV, halaman
204). Berkaitan dengan soal harta yang sudah dikhususkan penyalurannya untuk
membuat ukiran ini, Ar-Rafi‘i memiliki pandangan lain, sebagamana hal ini dinukil
oleh pengarang kitab Kifayatun Nabih fi Syarhit Tanbih sebagai berikut: 
‫ في جواز الصرف في هذه الحالة إلى نقش المسجد وتزويقه وجهان‬:"‫قال في "الجرجانيات‬

11
Artinya, “Ia berkata dalam Al-Jurjaniyat tentang bolehnya menyalurkan harta
dalam kondisi tertentu untuk membeli ukiran masjid, menghiasnya, yang disampaikan
melalui dua versi pendapat.” (Kifayatun Nabih fi Syarhit Tanbih, XII, halaman 84).
Maksud dari “kondisi tertentu” sebagaimana dimaksudkan oleh Ar-Rafi‘i di atas,
adalah kondisi ketika surplus terjadi pada kas harta wakaf mutlaq akibat pengelolaan,
maka surplus tersebut bisa disalurkan untuk membeli ukiran atau kebutuhan menghias
masjid. Namun, penyaluran kas yang surplus tersebut ada tambahan ketentuan oleh
pengarang At-Tahdzib, yaitu tidak boleh lebih dari separuh kas yang ada.
‫ثم كالم المتولي الذي حكيناه من قبل مصرح بأن ريع الوقف على المسجد إذا خرب يصرف إلى‬
‫عمارة مسجد آخر ولو وقف على المسجد مطلقا ففي "التهذيب" التسوية بينه وبين أن يقف على عمارة‬
‫المسجد‬
Artinya, “Kemudian pendapat dari Al-Mutawally sebagaimana telah kita
sampaikan sebelumnya, menjelaskan bahwa hasil pengelolaan harta wakaf atas suatu
masjid, ketika ada masjid lain yang roboh, maka kas wakaf masjid tertentu itu bisa
disalurkan ke masjid lain yang terancam roboh tersebut, meskipun aset yang
dipergunakan berasal dari harta wakaf mutlaq untuk masjid tersebut. Dalam Kitab At-
Tahdzib disebutkan bahwa penyalurannya harus disamakan antara masjid yang
terancam roboh itu dan masjid asal untuk keperluan imarah masjid.” (Kifayatun Nabih
fi Syarhit Tanbih, XII, halaman 84). Nah, penjelasan Ar-Rafi ‘i sebelum ini berlatar
belakang penjelasan terakhir. Jadi, saat harta aset wakaf masjid sudah surplus, dan
diperlukan adanya upaya mengondisikan jamaah agar ia merasa betah di masjid
melalui upaya memperindah masjid (tazwiq), maka hukumnya boleh menggunakan
aset wakaf yang sudah surplus tersebut demi menarik maslahah lain bagi masjid
dalam rangka imarah masjid (manajemen memakmurkan masjid). Di dalam kitab
yang sama, Al-Ghazali bahkan menyatakan harta tersebut diperbolehkan untuk
membangun menara jika menara tersebut memang diperlukan. Sebenarnya masih
banyak pendapat yang lain yang belum penulis nukil. Tapi kiranya, tulisan ini sudah
cukup dalam memberikan penjelasan mengenai hukum menghias masjid dalam
mazhab Syafii berikut sumber dananya yang telah ditahqiq oleh para mushannif.
Terkait sumber dana ini, qaul yang muktamad adalah dana menghias masjid harus
diperoleh dari sumber alokasi khusus bukan wakaf. Harta aset wakaf hanya bisa
diperuntukkan untuk keperluan menghias dengan catatan ada kemaslahatan yang
kembali kepada masjid, semisal memakmurkan masjid dengan jamaahnya yang betah

12
berada di dalamnya. Itu pun juga masih dengan catatan, jika dan aset wakaf tersebut
terjadi surplus, dan penggunaannya tidak melebihi dari separuh dana yang ada.

13
BAB III

KESIMPULAN

Dari serangkaian pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya masjid


diartikan sebagai lahan yang kepemilikannya bersifat umum dan tidak pribadi, yang
dijadikan sebagai tempat khusus untuk ibadah. Kepemilikan masjid dipandang
sebagai milik Allah dengan tujuan sebagai tempat salat. Tipologi masjid dibedakan
berdasarkan tempat, shalat, dan berdasarkan klasidfikasi yang dikeluarjan Menteri
Agama Nomor 394 Tahun 2004. Merujuk pada Fanani (2009: 75), tipologi arsitektur
masjid ditinjau dari aspek tata ruangnya terdiri dari tiga jenis, yakni (1) tipe Madinah;
(2) tipe Arab; dan (3) tipe Persia. Adapun hukum menghias masjid adalah haram,
makruh, dan mubah sesuai dengan kondisi keadaan sekitar masjid, niat pembangunan
masjid, dana waqaf dan fatwa yang dianut.

14
DAFTAR PUSTAKA

dminwebmhs. (2021, August 13). Masjid dalam Fungsi, Arti dan Tonggak Sejarahnya -

Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) UII. Retrieved December 1, 2022, from

Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) UII website:

https://kemahasiswaan.uii.ac.id/masjid-dalam-fungsi-arti-dan-tonggak-sejarahnya/

#:~:text=Dalam%20perkembangannya%20saat%20ini%20masjid,hari%20raya

%20menurut%20%E2%80%9CSidi%20Gazabla.

Tempo.co. (2021, April 24). Ketahui 8 Level Masjid di Indonesia, Beda Masjid Raya dan

Masjid Agung. Retrieved December 2, 2022, from Tempo website:

https://ramadan.tempo.co/read/1455984/ketahui-8-level-masjid-di-indonesia-beda-

masjid-raya-dan-masjid-agung

BAGIAN 2 KAJIAN RANCANGAN 2.1 Kajian Pustaka. (n.d.). Retrieved from

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/14077/6_BAB%202.pdf?

sequence=6&isAllowed=y

dari, K. (2004, February 9). tempat ibadah umat Islam. Retrieved December 1, 2022, from

Wikipedia.org website: https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid

Jalil, A. (2018). SIFAT TAKALLUF; JAUH DARI KETULUSAN HATI | Psikologi.

Retrieved December 1, 2022, from Ugm.ac.id website:

https://abduljalil.web.ugm.ac.id/2018/03/11/sifat-takalluf-jauh-dari-ketulusan-hati/

15

Anda mungkin juga menyukai