Anda di halaman 1dari 59

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
DIABETES MELITUS
Pengertian
Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oelh
hipergikemia akibat defek pada :
1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati
(peningkatan produksi glukosa hepatik) dan di
jaringan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pankreas
3. Atau keduanya.

Klasifikasi Diabetes Melitus I. DM tipe I (destruksi sel , umumnya diikuti


(DM) defisiensi insulin absolut)
- Immune – mediated
- Idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari predominan
resistensi insulin dengan defisiensi insulin
relatif sampai predominan defek sekretorik
dengan resistensi insulin)
III. Tipe spesifik lain
- Defek genetik pada fungsi sel 
- Defek genetik pada kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
- Diinduksi obat atau zat kimia
- Infeksi
- Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM
- Sindrom genetik lain, yang kadang berkaitan dengan
DM
IV. DM gestasional
Diagnosis
Terdiri dari :
- Diagnosisi DM
- Diagnosis komplikasi DM
- Diagnosis penyakit penyerta
- Pemantauan pengendalian DM
Anamnesis
- Keluhan khas DM : poliuria, polidipsia, polifagia
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
- Keluhan tidak khas DM : lemah, kesemutan, gatal,
mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus
vulvae pada wanita.

Faktor risiko DM tipe – 2 - Usia > 45 tahun


- Berat badan lebih > 110% berat badan idaman
atau indeks massa tubuh (IMT) > 23kg/m²
- Hipertensi (TD ≥ 140/90 mm/Hg)
- Riwayat DM dalam garis keturunan
- Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau
BB lahir bayi > 4.000 gram
- Riwayat DM gestasional
- Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
- Penderita penyakit jantung koroner, tuberkulosis,
hipertroidisme
Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250
mg/Dl

Anamnesis komplikasi DM ( lihat komplikasi).

Pemeriksaan fisik lengkap - Tinggi badan, berat badan, TD, lingkarpinggang


termasuk - Tanda neuropati
- Mata (visus, lensa mata dan retina)
- Gigi mulut
- Keadaan kaki (termsuk rabaan nadi kaki), kulit dan
kuku
Kriteria diagnostik 1. Kadar glukosa darah sewaktu ( plasma vena) ≥ 200
DM dan gangguan mg/dL atau
toleransi glukosa
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126
mg/dL
3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dL pada 2 jam
sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO
Diagnosa Banding
Hiperglikemia reaktif, toleransi glukosa terganggu
(TGT), glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium :
Penunjang
- Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, laju endap darah
- Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
- Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur
- Kreatinin
- SGPT, Albumin/Globulin
- Kolesterol Total, kolesterol LDL, kolesterol HDL,
trigliserida
- A,C
- Albuminuria mikro
Pemeriksaan
EKG, foto thoraks, funduskopi
Penunjang lain

Terapi
Edukasi
Meliputi pemahaman tentang
- Penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan
DM
- Penyulit DM
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologi
- hiperglikemia
- masalah khusus yang dihadapi
- cara mengembangkan sistem pendukung dan
mengajarkan ketrampilan
- cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanna dengan
komposisi :
- karbohidrat 60 – 70 %
- protein 10 – 15 %
- lemak 20 – 25 %
jumlah kandungan kolesterol disarankan < 100 mg/hari.
Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak
tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid),
dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Faity Acid)
dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25
g/hr, diutamakan serat larut.
Jumlah kalori basal per hari :
- laki – laki : 30 kal/kg BB idaman
- wani
ta : 25
kal/kg
BB
idaman
Penyesu
aian
(terhada
p kalori
basal/ha
ri)
- status gizi
o BB gemuk - 20%
o Lebih - 10 %
o BB kurang + 20 %
- Umur > 40 tahun + (10 s/d 30%)
- Aktivitas
o Ringan + 10 %
o Sedang + 20 %
o Berat + 30 %
- Hamil
o Trimester I,II + 300 kal
o Trimester III + 500 kal
Rumus Broca Berat badan idaman = (tinggi badan -100) – 10%*
Pria <160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10%
lagi

BB kurang : < 90 % BB idaman


BB
normal : 90 – 110 % BB idaman BB lebih
: 110 – 120 % idaman Gemuk
: > 120 % BB idaman

Latihan jasmani :
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Prinsip
Continous – Rythmical - Interval – Progressive –
Enduranc
Intervensi Obat Hipoglikemia Oral (OHO) :
Farmakologis
- Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) :
sulfonilurea, glinid
- Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin,
tiazolidindion
- Penghambat absorbsi glukosa : penghambat
glukosidase alfa
Insulin
Indikasi :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dngan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,
Stroke)
- Kehamilan dengan DM / diabetes melitus
gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Kalau dengan
OHO tunggal sasaran kadar glukosa belum tercapai, perlu
kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang
berbeda mekanisme kerjanya.
Pengelolaan DM tipe 2 Non – farmakologis → evaluasi 2 – 4 minggu
Gemuk
(sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai : Penekanan kembali tata


laksana non – farmakologis

→ evaluasi 2 – 4 minggu
(sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai + 1 macam OHO

Biguanid/Penghambat
glukosidase α / Glitazon
→ evaluasi 2 – 4
minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran tidak
tercapai Kombinasi 2
macam OHO, antara :
Biguanid / Penghambat
glukosidase α / Glitazon
→ evaluasi 2 – 4
minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran tidak
tercapai Kombinasi 3
macam OHO
Biguanid +Penghambat
glukosidase α + Glitazon
atau
Terapi kombinasi OHO siang
hari + Insulin malam

→ evaluasi 2 – 4 minggu
(sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai :


Kombinasi 4 macam OHO
:
Biguanid +Penghambat
glukosidase α + Glitazon
+ Secretagogue atau
Terapi kombinasi OHO siang
hari + Insulin malam

→ evaluasi 2 – 4 minggu
(sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai :


Insulin
Atau

Terapi kombinasi OHO


siang hari + Insulin
malam
Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :
Insulin
Bila sasaran tercapai :
teruskan terapi terakhir
Pengelolaan DM tipe 2 Non – farmakologis → evaluasi 2 – 4 minggu
Tidak Gemuk
(sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai : non – farmakologis +


secretagogue

→ evaluasi 2 – 4
minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran tidak
tercapai Kombinasi 2
macam OHO, antara :
Secretagogue +
Penghambat glukosidase
α / biguanid/Glitazon
→ evaluasi 2 – 4
minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran tidak
tercapai Kombinasi 3
macam OHO
Secretagogue + Penghambat
glukosidase α /

biguanid/Glitazon
atau

Terapi kombinasi OHO


siang hari + Insulin
malam
→ evaluasi 2 – 4 minggu
(sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai :


Kombinasi 4 macam OHO
:
Secretagogue +
Penghambat glukosidase α
+biguanid+Glitazon
atau

Terapi kombinasi OHO siang


hari + Insulin malam

→ evaluasi 2 – 4 minggu
(sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai :


Insulin, atau

Terapi kombinasi OHO


siang hari + Insulin
malam
Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :
Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhir

Penilaian hasil terapi 1. Pemeriksaan glukosa darah


2. Pemeriksaan AIC
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan Benda Keton Kriteria Pengendalian DM
(lihat tabel)
Tabel : Kriteria Pengendalian DM
Baik Sedang Buruk

GD puasa 80 – 110 – 125 ≥ 126


(mg/dL) 100
GD 2 jam 80 – 145 – 179 ≥ 180
PP 144
(mg/dL)
A,C (%) < 6.5 6.5 – 8 ˃8
200Kolest < 200 200 – 239 ≥ 240
erol total
(mg/dL)
Kolesterol < 100 100 – 129 ≥ 130
LDL
(mg/dL)
Kolesterol ˃ 45
HDL
(mg/dL)
Trigliserid < 150 150 – 199 ≥ 200
a (mg/dL)
IMT 18.5 – 23 – 25 ˃ 25
22.9
Tekanan < 130 / 130 – 140 > 140
darah 80 80 – 90
(mmHg)
Komplikasi A. Akut
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperosmolar non ketonik
- hipoglikemia
B. Kronik
- Mikroangiopati :
o Pembuluh koroner
o Vaskular perifer
o Vaskular otak
- Mikroangiopati
o Kapiler retina
o Kapiler renal
- Neuropati
- Gabungan :
o Kardiopati : penyakit jantung koroner, kardiomiopati
- Rentan infeksi
- Kaki diabetik
Disfungsi ereksi
Prognosis
Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
KETO-ASIDOSIS DIABETIKUM
Pengertian  Kondisi dekompensasi matabolik akibat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan
merupakan komplikasi akut diabetes melitus
yang serius. Gambaran klinis utama
ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah
hiperglikemia, ketosis dan asidosis
metabolik.
 Faktor pencetus : infeksi, infark miokard akut,
penkreatitis akut, penggunaan obat golongan
steroid, penghentian atau pengurangan dosis insulin.

Diagnosis Klinis :
 Keluhan poliuri, polidipsi
 Riwayat berhenti menyuntik insulin
 Demam/infeksi
 Muntah
 Nyeri perut
 Kesadaran : kompos mentis, delirium, koma
 Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul)
 Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir
kering)
Dapat disertai syok hipovolemik
Kriteria diagnosis
Kadar gula : > 250 mg/dL
pH : < 7.35
HCO : rendah
Anion gap : tinggi
Keton serum : positif dan atau ketonuria
Diagnosa Banding Ketosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik /
hyperglycemic hyperosmolar state, ensefalopati uremikum,
asidosis uremikum, minum alkohol ketosis alkoholik, ketosis
hipoglikemia, ketosis starvasi, asidosis laktat, asidosis
hiperkloremik, kelebihan salisilat, drug-induced acidosis,
ensefalopati karena infeksi, trauma kapitis

Pemeriksaan Pemeriksaan cito : gula darah, elektrolit, ureum,


Penunjang
kreatinin, aseton darah, urin rutin, analisis darah gas
darah, EKG

Pemantauan  Gula darah : tiap jam


 Na+, K+, Cl : tiap 6 jam selama 24 jam,
selanjutnya sesuai keadaan
Analisis gas darah : bila pH < 7 saat masuk
diperiksa setiap 6 jam s/d pH > 7.1, selanjutnya
setiap hari sampai stabil.

Pemeriksaan lain
(sesuai indikasi) :
kultur darah, kultur
urin, kultur pus
Terapi Akses IV.2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way:

I. Cairan :
 NaCl 0.9 % diberikan ±1-2 L pada 1 jam
pertama, lalu ± 1 L pada jam kedua., lalu
± 0.5 L pada jam ketiga dan keempat, dan
±0.25 L pada jam kelima dan keenam,
selanjutnya sesuai kebutuhan.
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam
sekitar 5 L
 Jika Na+ > 155 mEq/L ganti cairan dengaan
NaCL 0.45 %
 Jika GD < 200 mg/dL gaanti cairan dengan
Dextrose 5%
II. Insulin (regular insulin = RI)
 Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
 RI bolus 180 mU/kgBB IV, dilanjutkan
 RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NACL 0.9%
 Jika GD < 200 mg/dL : kecepatan dikurangi
RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl
0.9%
 Jika GD stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam
RI drip 1- 2 U/jam IV, disertai
sliding scale setiap 6 jam :

GD  RI

(mg/dL) (unit, subkutan)

< 200 0
200 – 250 5
250 – 300 10
300 – 350 15
˃ 350 20
 Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dL : drip RI
dihentikan
 Setelah Sliding Scale tiap 6 jam, dapat
diperhitungkan kebutuhan insulinsehari
dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum
makan (bila pasien sudah makan)

III. Kalium
 Kalium (KCl) drip dimulai bersamaan
dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq/6
jam. Syarat : tidak ada gagal ginjal, tidak
ditemukan gelombangn T yang lancip dan
tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup
adekuat.

Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :


< 3.5  drip KCl 75 mEq/6 jam
3,0 – 4.5  drip KCl 50 mEq/6 jam
4.5 – 6.0  drip KCl 25 mEq/6 jam
> 6.0  drip dihentikan
 Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama
seminggu

IV. Natrium bikarbonat


Drip 100 mEq bila pH < 7.0 disertai KCl
26 mEq drip
50 mEq bila pH 7.0 – 7.1, disertai
KCl 26 mEq drip

Juga diberikan pada asidosis laktat dan


hiperkalemi yang mengancam.

V. Tatalaksana umum
 O2 bila PO2 < 80 mmHg
 Antibiotika adekuat
 Heparin : bila ada DIC atau hiperosmolar
(> 380mOsm/L) terapi disesuaikan
dengan pemantauan klinik ;
 Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
pernapasan, temperatur setiap jam,
 Kesadaran setiap jam
 Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
 Produksi urin setiap jam, balans cairan
 Cairan infus yangmasuk setiap jam
Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang)

Komplikasi Syok hipoglikemia, edema paru, hipertrigliseridemia, infark


miokard akut, hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia,
edema otak, hipokalsemia.

Prognosis Dubia ad malam. Tergantung pada usia, komorbid,


adanya infark miokard akut, sepsis, syok

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
HIPOGLIKEMIA

Pengertian Kadar glukosa < 60 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80
mg/dL dengan gejala klinis. Hipoglikemia pada DM terjadi
karena :
 Kelebihan obat/dosis obat : terutama insulinm atau obat
hipoglikemik oral
 Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun :
gagal ginjal kronik, pasca persalinan
 Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu
makan tidak tepat
 Kegiatan jasmani berlebihan

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis :
 Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
 Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit
bicara, kesulitan menghitung sementara
 Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau
tangan gemetar
 Stadium gangguan otak berat : tidak sadar, dengan atau tanpa
kejang
Anamnesis
 Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik
oral : dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir,
perubahan dosis
 Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
 Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
 Lama menderita DM, komplikasi DM
 Penyakit penyerta : gijal, hati, dll
 Penggunaan obat sistemik lainnya : penghambat
adrenergik β, dll Pemeriksaan fisik : pucat,
diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung,
penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal
transien.

Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum :

1. Gejala konsisten dengan hipoglikemia


2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala nereda setelah kadar glkosa plasma meningkat

Diagnosa
Hipoglikemia karena :
banding
 Obat :
(sering) :
insulin,
sulfonilurea,
alkohol
(kadang) :
kinin,
pentamindine
(jarang) :
salisilat,
sulfonemid
 Hiperinsulinisme endogen, insulinoma, kelainan sel β jenis
lain, sekretagogue
(sulfonilurea), autoimun, sekresi insulin ektopik
 Penyakit kritis : gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung,
sepsis,starvasi dan inanisi
 Defisiensi endokrin : kortisol, growth hormone, glukagon,
epinefrin
 Tumor non-sel β: sarkoma, tumor adrenokortikal,
hepatoma, leukimia, limfoma, melanoma.
o Pasca-prandial : reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi
alkohol
Pemeriksaan Kadar glukosa darah (GD), tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-
penunjang peptide

Terapi
Stadium permulaan (sadar)
 Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau
sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula
atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat.
 Hentikan obat hipoglikemik sementara,
 Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
 Pertahankan GD sekitar 200mg/dL (bila sebelumnya tidak
sadar)
 Cari penyebab.
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga
hipoglikemia) :
1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50
mL) bolus intra vena,
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan
glukometer :
- Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 25 mL
IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%
- Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 25 mL
IV
- Bila GDs 100 – 200 mg/dL tanpa bolus Dekstrosa 40%
- Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan
menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut – turut,
pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai
diatas. Bila Gds> 200 mg/dL pertimbangkan
mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0.9%
6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut – turut,
pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai
diatas. Bila Gds> 200 mg/dL pertimbangkan
mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0.9%
7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut – turut,
sliding scale setiap 6 jam

GD RI
(mg/dL) (Unit, subkutan)

< 200 0

200-250 5

250-300 10

300-350 15

>350 20

8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan


pemberian antagonis insulin, seperti : adrenalin,
kortison dosis tinggi, atau glukagon 0.5-1 mg/IV/IM
(bila penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GD sekitar 200mg/dL :
Hidrokortison 100 mg per 4 Jam selama 12 jam atau
Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6
jam dan Manitol 1.5 – 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam.
Dicari penyebab lain kesadaran menurun
Komplikasi Kerusakan otak, koma, kematian
PROGNOSIS
Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
OSTEOARTRITIS

Pengertian Osteortritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang


mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh
kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya
tulang baru pada trabekula dan tepi tulang (osteofit)

Diagnosis Osteoartritis sendi lutut :


1. Nyeri lutut, dan
2. Salah satu dari 3 kriteria berikut :
a. Usia > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitasi + osteofit

Osteoartritis sendi tangan :


1. Nyeri tangan atau kaku, dan
2. Tiga dari 4 kriteria berikut :
a. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih
dari 10 sendi tangan tertentu (DIP II dan III
kiri dan kanan, CMC 1 ki&ka)
b. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi
DIP
c. Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
d. Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan
tertentu

Osteoartritis sendi pinggul :


1. Nyeri pinggul. Dan
2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut :
a. LED < 20 mm/jam
b. Radiologi : terdapat osteofit pada femur atau
asetabulum
c. Radiologi : terdapatpenyempitan celah sendi
(superior, aksial, dan/atau medial)
Diagnoasis Banding Artritis remotoid, artritis gout, artritis septik, spondilitis
ankilosa
Pemeriksaan
 LED (pada OA inflamatif, LED akan meningkat)
Penunjang
 Analisi cairan sendi
 Radiografi sendi yang terserang
 Artroskopi
Terapi
1. Penyuluhan
2. Proteksi sendi, terutama pada stadium akut
3. Obat antiinflamasi non steroid
Diantaranya : sodium diklofenak 50 mg t.i.d,
Piroksikam 20 mg o.d, Meloksikam
7.5 mg o.d dan sebagainya
4. Steroid intraartikular untuk OA inflamasi
5. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan
ortosis
6. Operasi untuk memperbaiki deformitas
Komplikasi
Deformitas sendi

Prognosis
Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
DEMAM BERDARAH DENGUE

Pengertian Penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengan


dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypty
dan Aedes Albopictus serta memenuhi kriteria WHO
untuk demam berdarah dengan (DBD)

Diagnosis Kriteria diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus memenuhi


:

 Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari,


biasanya bifasik :
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan
berikut ini :
- Uji torniquet positif (>20 petekie dalam 2.54 cm²)
- Petekie, ekimosis atau paripurna
- Perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan,
atau tempat lain
- Hematemesis atau melena
 Trombositopenia (≤100.000/mm²)
 Terdapat minimal satu tanda – tanda plasma leakage:
- Kematokrit meningkat 20% dari
hematokrit rata – rata pada usia, jenis
kelamin, dan populasi yang sama
- Hematokrit turun hingga 20% dari hematokrit
awal, setelah pemberian cairan
- Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites dan
hipoproteinemia

Derajat
I. Demam disertai gejala konstitusional yang
tidak khas, manifestasi perdarahan hanya
berupa uji torniquet positif dan/atau mudah
memar
II. Derajat I disertai perdarahan spontan
III. Terdapat kegagalan sirkulasi : nadi cepat dan
lemah atau hipotensi, disertai kulit dingin dan
lembab serta gelisah
IV. Renjatan : tekanan darah dan nadi tidak
tertur DBD derajat III dan IV
digolongkan dalam sindrom renjatan
dengue

Diagnosa Banding Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia

Pemeriksaan
Hb, Ht, Lekosit, trombosit, Serologi dengue
Penunjang

TERAPI
Nonfarmakologis
: tirah baring,
makanan lunak
Farmakologis :
 Simtomatis : antiseptik parasetamol bila demam
- Cairan intravena : Ringer laktat atau
ringer asetat 4-6 jam/kolf Koloid/plasma
ekspander pada DBD stadium III dan IV
bila diperlukan
- Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai
indikasi
- Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III atau IV
dengan koagulasi intravaskular diseminata (KID)

Komplikasi Renjatan, perdarahan, KID

Prognosis
Bonam
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
DEMAM TIFOID

Pengertian Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi


kuman Salmonela thypi atau Salmonela partatyphi

Diagnosa  Anamnesis : demam naik secara bertangga pada


minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu)
atau remiten pada minggu kedua. Demam
terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare
 Pemeriksaan fisik : febris, kesadaran berkabutm
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah
yag berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung
merah, serta tremor). Hepatomegali,
splenomegali, nyeri abdomen, roseolae (jarang
pada orang Indonesia)
 Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis atau
lekosit normal : aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED,
anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati.
Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer
uji Widal 4 kaloo lipat setelah satu minggu memastikam
diagnosis. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan
diagnosis. Uji widal tunggal frmhsm titer antibodi O 1/320
atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong
diagnosis
Bila memenuhi 3 atau lebih kriteria khosia (1990) : hepatomegali,
Hepatitis Tifosa
ikterik, kelainan laboratorium (antara lain : bilirubin > 30.6 umol/l,
peningkatan SGOT/SGPT, penurunan indeks PT), kelainan
histopatologi.
Tifoid Karier Ditemukannya kuman Salmonela typhi dalam biakan
feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis
infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca
demam tifoid
Diagnosis Banding
Infeksi virus, malaria

Pemeriksaaan
Darah perifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur
Penunjang
darah (biakan empedu)

Terapi
Nonfarmakologis : tirah baring,
makanan lunak rendah serat
Farmakologis :
 Simtomatis
 Antimikroba
- Pilihan utama : Kloramfenikol 4 x 500
mgsampai dengan 7 hari bebas demam.
Alternatif lain :
- Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi
hematologi lebih rendah dibandingkan
klorafenikol)
- Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
- Ampisilin dan amoksisilin 50 – 150 mg/kgBB
selama 2 minggu
- Sefalosporin generasi III ; yang terbukti
efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam
dextrosa 100cc selama 2-3 x 1 gram,
sefoperazon 2 x 1 gram
- Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada
hari III atau menjelang hari IV) :
 Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloxsasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
 Kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai
gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan
neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan
otak masih dalam batas normal) langsung
diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg
dengan ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3
x 500 mg
Kasus tifoid karier :
 Tanpa kolelitiasis pilihan rejimen terapi selama
3 bulan :
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30
mg/kgBB/hari
- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30
mg/kgBB/hari
- Kotrimoksazol 2 x 2 tablet/hari
 Dengan kolelitiasis kolesistektomi + regimen
tersebut di atas selama 28 hari atau kolesistektomi
+ salah satu rejimen berikut :
- Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari
- Norfloksasin 2 x 400 mg/hari
 Dengan infeksi Schistosoma haematomium pada
traktus urinarius eradikasi
Schistosoma haematomium :

- Prazikuantel 40 mg/kg/BB dosis tunggal, atau


- Metrofonat 7.5-10 mg/kgBB bils perlu
diberikan 3 dosis, interval 2 minggu Setelah
eradikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk
tifoid karier seperti diatas.

Perhatian : pada kehamilan fluorokuinolon dan


kotrimoksazol tidak boleh digunakan. Kloramfenikol
tidak dianjurkan pada trimester III. Tiamfenikol tidak
dianjurkan pada trimester I. Obat yang dianjurkan
golongan beta laktam : ampisilin, amoksisilin dan
sefalosporin generasi III (seftriakson).
Komplikasi
Intestinal
Perdarahan intestinal, perforasi ususm ileus paralitik,
pankreatitis

Ekstra- Intestinal
Kardiovaskular (kegagalan sirkulasi
perifermiokarditis, trombosis,
tromboflebitis), hematologik (anemia
hemolitik, trombositopenia,KID), paru
(pneumonia, empiem, pleuritis),
hepatobilier (hepatitis, kolesistitis),
ginjal (giomerulonefritis, pielonefritis,
perinefritis), tulang (osteomielitis,
periostitis, spondilitis, artritis),
neuropsikiatrik (toksik tifoid)
Prognosis
Baik, bila penyakit berat, pengobatan terlambat/tidak
adekuat atau ada komplikasi berat, prognosis
meragukan/buruk.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK

Pengertian Sepsis :
Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang
disebabkan oleh infeksi

 Renjatan Septik : sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan


penurunan TDS < 90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg dari
TD awal, tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan
TD

DIAGNOSIS SEPSIS 1. SIRS ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut :


 Suhu badan > 38° C atau < 36°C
 Frekuensi denyut jantung > 90 x/menit
 Frekuensi pernapasan > 24x/menit atau PaCO <
32
 Hitung lekosit > 12.000/mm³ atau < 4.000/mm³,
atau adanya > 10% sel batang
2. Ada fokus infeksi yang bermakna
SEPSIS BERAT
Gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ
termasuk penurunan kesadaran , gangguan fungsi
hati, ginjal, paru – paru dan asidosis metabolik

Diagnosis banding Renjatan kardiogenik, rejatan hipovolemik

Pemeriksaan
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah,
penunjang
AGD, elektrolit, kultur darah adn infeksi fokal (urin,
pus, sputum,dll) disertai uji kepekaan mikroorganisme
terhadap anti mikroba, foto toraks
Terapi  Eradikasi fokus infeksi
 Antimikroba empirik, sesuai dengan :
o Tempat infeksi
o Dugaan kuman penyebab
o Profil antimikroba (farmakokinetik dan
farmakodinamik)
o Keadaan fungsi n fungsi hati)
Antimikroba definitif : bila hasil kultur
mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat
diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme
 Suportif : resusitasi ABC, oksigenasi, terapi
cairan, vasopresor.inotropik, dan transfusi
(sesuai indikasi) pada renjatan septik
diperlukan untuk mendapatkan respons
secepatnya.
o Resusitasi cairan
Hipovolemia pada sepsis segera diatasi
dengan pemberian cairan kristaloid atau
koloid. Volume cairan yang diberikan
mengacu pada respons klinis(respons terlihat
dari peningkatan tekanan darah, penurunan
frekuensi jantung, kecukupan isi nadi,
perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin,
dan perbaikan kesadaran) dan perlu
diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan
cairan (peningkatan JVP, ronki, galop S dan
penurunan saturasi oksigen).
Sebaiknya dievaluasi dengan CVP
(dipertahankan 8-12 mmHg), dengan
mempertimbangkan kebutuhan kalori perhari.
o Oksigenasi sesaui kebutuhan, Ventilator
diindikasikan pada hipoksemia yang
progresif, hiperkapnia, gangguan
neurologis atau kegagalan otot pernapasan

o Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi,


diberikan vasoaktif untuk mencapai tekanan darah
sistolik 90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin
dipertahankan > 30 ml/jam. Dapat digunakan
vasopresor seperti dopamin dengan dosis > 8
mcg.kgBB/menit, norepinefrin 0.03-1.5
mcg/kgBB/menit , fenilefrin 0.5-8 mcg/kgBB/menit
atau epinefrin 0.1-0.5 mcg.kgBB/menit. Bila terdapat
disfungsi miokard, dapat digunakaan inotropik seperti
dobutamin dengan dosis 2-28 mcg/kgBB/menit,
dopamin 3-8 mcg/kgBB/menit, epinefrin 0.1-0.5
mcg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor
(amrinon dan milrinon)
o Transfusi komponen darah sesuai indikasi
o Koreksi gangguan metabolik : elektrolit,
gula darah dan asidosis metabolik(secara
empiris dapat diberikan bila pH<7.2 atau
bikarbonat serum < 9 mEq/l, dengan
disertai upaya perbaikan hemodinamik)
o Nutrisi yang adekuat
o Terapi suportif terhadap gangguan fungsi
gunjal
o Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi
adrenal
o Bila terjadi KID dan didapatkan bukti terjadinya
tromboemboli, dapat diberikan heparn dengan
dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25
IU/kgBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan
disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1.5-2 kali
kontrol atau antiogulan lainnya.
Komplikasi Gagal napas, gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik
ireversibel
Prognosis
Dubia ad malam
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
INTOKSIKASI OPIAT

Pengertian Intoksikasi akibat penggunaan obat golongan


opiat : morfin, petidin, heroin, opium,
pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan

Diagnosis Anamnesis : informasi mengenai seluruh obat


yang digunakan, sisa obat yang ada Pemeriksaan
Fisi : pupil miosis-pin point pupil, depresi napas,
penurunan kesadaran, nadi lemah, hipotensi,
tanda edema paru, needle track sign, sianosis,
spasme saluran cerna dan bilier, kejang

Laboratorium : opiat urin positif atau kadar dalam darah


tinggi
Diagnosis banding Intoksikasi obat sedatif : barbiturat, benzodiazepin,
etanol
Pemeriksaan penunjang Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks

Terapi
A. Penanganan kegawatan : resusitasi A-B-C
(airway, breathing,circulation) dengan
memperhatikan prinsip kewaspadaan
universal. Bebaskan jalan napas, berikan
oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus
dan pemberian cairan sesuai kebutuhan
B. Pemberian antidot nalokson
1. Tanpa hipoventilasi : dosis awal
diberikan 0.4 mg IV pelan –
pelan atau diencerkan
2. Dengan hipoventilasi : dosis awal
diberikan 1-2 mg IV pelan – pelan
atau diencerkan
3. Bila tidak ada respon, diberikan nalokson
1-2 mg IV tiap 5 – 10 menit hingga
timbul respons (perbaikan kesadaran,
hilangnya depresi pernapasan, dilatasi
pupil) atau telah mencapai dosis
maksimal 10mg. Bila tetap tak ada
respon, diagnosis intoksikasi opiat perlu
dikaji ulang.
4. Efek nalokson berkurang dalam 20-40
menit dan pasien dapat jatuh kedalam
keadaan overdosis kembali, sehingga
perlu pemantauan ketat tanda vital,
kesadaran dan perubahan pupil selama
24 jam. Untuk pencegahan dapat
diberikan drip nalokson satu ampul
dalam 500 ml D5% atau NaCl 0.9%
diberikan dalam 4-6 jam
5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan
opiat urin dan lakukan rontgen toraks
6. Pertimbangan pemasangan ETT bila :
pernapasan tak adekuat setelah pemberian
nalokson yang optimal, oksigenasi
kurang meski ventilasi cukup atau
hipoventilasi menetap setelah 3 jam
pemberian nalokson yang optimal
7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk
menghindari aspirasi akibat spasme
pilorik, bila diperlukan dapat dipasang
NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas
lambung pada intoksikasi opiat oral
8. Activated charcoal dapat diberikan pada
intoksikasi peroral dengan memberikan
240 ml cairan dengan 30 gram charcoal,
dapat diberikan sampai 100 gram
9. Bila terjadi kejang dapat diberikan
diazepam IV 5-10 mg dan dapat diulang
bila perlu.
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan
klinis dan rencana rehabilitasi

Komplikasi
Aspirasi, gagal napas, edema paru akut

Prognosis
Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT

Pengertian Intokskasi akibat zat yang mengandung


organofosfat

Diagnosis Anamnesis : riwayat minum/kontak dengan zat


yang mengandung organofosfat, muntah

Pemeriksaan Fisis : bradikardia, pupil miosis,


penurunan kesadaran, tanda – tanda aspirasi
Laboratorium : pemeriksaan bahan muntah atau darah
mengandung organofosfat
Diagnosis banding -

Pemeriksaan penunjang DPL. Elektrolit, rontgrn toraks, EKG, Pemeriksaan


organofosfat
Terapi
- Bilas lambung melalui NGT
- Atropinisasi

Komplikasi
Gagal napas, blok AV
Prognosis
Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
PENYAKIT GINJAL KRONIK

Pengertian Kriteria:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau
lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glumerulus
(LFG), berdasarkan :
- Kelainan patologik atau
- Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelianan pada
komposisi darah atau urin atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. LFG < 60 ml/menit/1.73 m² yang terjadi selama 3
bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Diagnosis - Anamnesis : lemas, mual, muntah, sesak nafas, pucat,


BAK berkurang
- Pemeriksaan Fisis : anamesis, kulit kering, edema
tungkai atau palpebra, tanda bendungan paru

- Laboratorium : gangguan fungsi ginjal

Batasan dan Stadium Penyakit Kronik

LFG Dengan kerusakan Ginjal tanpa kerusakan Ginjal


(ml.menit/
Dengan Tanpa Dengan Tanpa
1,73 m²)
hipertens hipertens hipertens hipertensi
i i i

90 1 1 hipertens “Normal”


i
0 - 89 2 2 hipertens LFG
i
0 - 59 3 3 + LFG 3
5 - 29 4 4 3 4

< 15 (atau 5 5 4 5
dialisis)
Diagnosis Gagal ginjal akut
Banding

Pemeriksaan
DPL, ureum, kreatinin,UL, CCT ukur, elektrolit (Na, K, Cl,
Penunjang
Ca, P, Mg),
Profil lipid, asam urat, gula darah, AGD, SI, TIBC, feritin
serum, kormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal,
pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, foto polos
abdomen, renogram, foto thoraks, EKG, ekokardiografi,
biopsi ginjal, HbsAG, Anti HCV, anti HIV

Terapi Non farmakologis :


 Pengaturan asupan protein :
- Pasien non dialisis 0.6-0.75 gram/kgBB
ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi
pasien
- Pasien hemodialisis 1-1.2 gram/kgBB ideal/hari
- Pasien peritoneal dialisis 1.3 gram/kgBB/hari
 Pengaturan asupan kalori : 3 kal/kg/BB ideal/hari
 Pengaturan asupan lemak : 30 – 40 % dari kalori total
dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak
bebas jenuh dan tidak jenuh
 Pengaturan asupan karbohidrat : 50 – 60% dari kalori total
 Garam (NaCl) : 2 – 3 gram/hari
 Kalsium : 1400 – 1600 mg/hari
 Fosfor : 5 – 10 mg/kgBB/hari. Pasien HD : 17 mg/hari
 Kalsium : 1400-1600 mg/hari
 Besi : 10 – 18 mg/hari
 Magnesium : 200-300 mg/hari
 Asam folat pasien HD : 5 mg
 Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)
Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat
yang keluar. Kenaikan berat badan di antara waktu
HD < 5% BB kering
Farmakologis :
 Kontrol tekanan darah :
- Penghambat ACE atau antagonis reseptor
angiotensin II evaluasi kreatinin dan kalium
serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35 %
atau timbul hiperkalemi harus dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik
 Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari
pemakaian metformin dan obat – obat sulfonilurea
dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM
tipe 1 0.2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM
tipe 2 adalah 6%
 Koreksi anemia dengan target Hb 10 -12 g/dl
 Kontrol hiperfosfatemi : kalsium karbonat atau kalsium
asetat
 Kontrol osteodistrofi renal : kalistriol
 Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO, 20 – 22
mEq/l
 Koreksi hiperkalemi
 Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl,
dianjurkan golonga statin
 Terapi ginjal pengganti
Komplikasi
Kardiovaskular, gangguan keseimbangan asam basa, cairan
dan elektrolit, osteodistrofi renal, anemia

Prognosis Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
INFEKSI SALURAN KEMIH

Pengertian Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat terbentuknya


koloni kuman di saluran kemih. Kuman mencapai saluran kemih
melalui cara hematogen dan asending

Faktor Kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa


risiko obstruksi internal oleh jaringan parut, endapan obat
intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstriksi
arteri- vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan,
DM atau pengaruh obat – obatan esterogen

ISK sederhana/ tak berkomplikasi


ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan
tidak terdapat disfungsi struktural ataupun ginjal

ISK berkomplikasi :
ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria. ISK pada anak – anak, laki – laki
atau ibu hamil
Diagnosi
Anamnesis : ISK bawahh frekuensi, disuria terminal,
s
polakisuria, nyeri suprapubik. ISK atas : nyeri pinggang,
demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria

Pemeriksaan fisis : febris, nyer tekan suprabubik, nyeri ketok


sudut kostovertebra Laboratorium : lekositosis, lekosituria,
5
kulturnurin (+) : bakteriuria > 10 ml urin

Diagnosis
ISK sederhana, ISK berkomplikasi
banding

Pemeriksaa DPL, urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi
n penujang
ginjal, gula gdarah, foto BNO-IVP, USG Ginjal

Terapi Nonfamakologis
 Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
 Menjaga
hygiene
genitalia
eksterna
Farmakologis
 Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada ; Bila
hasil tes resistensi kuman sudah ada, pemberian
antimikroba disesuaikan

Tabel 1.A Antimikroba pada ISK bawah tak berkomplikasi


Antimikroba Dosis Lama terapi

Trimetoprim – 2 x 160/800mg 3 hari


sulfametoksazol

Trimetoprim 2 x 100 mg 3 hari


Siprofloksasin 2 x 100-250 mg 3 hari
Levofloksasin 2 x 250 mg 3 hari
Sefiksim 1 x 400 mg 3 hari
Sefpodoksim proksetil 2 x 100 mg 3 hari
Nitrofurantoin 4 x 50 mg 7 hari
makrokristal
Nitrofurantoin 2 x 100 mg 7 hari
monohidrat
Makrokristal
Amoksisilin/ 2 x 500 mg 7 hri
klavulanat
Tabel 2. Obat parenteral pada ISK atas akut berkomplikasi

Antimikroba Dosis
Lama terapi

Sefepim 1 gram 12
jam
Siprofloksasin 400 mg 12
jam
Levofloksasin 500 mg 24jam
Ofloksasin 400 mg 12 jam
Gentamisin 3-5mg/kgBB 24 jam
(+ampisilin)
1 mg/kgBB 8 jam
Ampisilin 1-2 gram 6 jam
(+gentamisin)
Tikarsilin – klavulanat 3,2 gram 8 jam
Piperasilin – 3,375 gram 2-8 jam
tazobaktam
Imipenem-silastatin 250-500 mg 6-8 jam
ISK pada perempuan

Perempuan dengan keluhan


disuria dan sering BAK

Pengobatan selama 3
hari

Follow up selama 4 – 7
hari

Tak bergejala Bergejala

Tak perlu Keduanya negatifPiuria tanpa bakteriuria


Piuria dengan atau tanpa bak

lanjut
Pengobatan
Observasi, pengobatan untukPengobatan
dengan analgetika saluranklamidia
kuman kemih
diperpanjang
 ISK tak bergejala pada perempuan menopause tidak perlu
pengobatan
 ISK pada perempuan hamil tetap diberikan pengobatan
meski tidak bergejala
 Pengobaan untuk ISK pada laki – laki usia <
50 tahun harus diberikan selama 14 hari ; usia
> 50 tahun pengobatan selama 4 – 6 minggu
 Infeksi jamur kandida diberikan flukonazol
200-400 mg/hari selama 14 hari, bila infeksi
terjadi pad pasien dengan kateter, kateter
dicabut lalu dilakukan irigasi kandung kemih
dengan amfoterisin selama 5 hari.

ISK Berulang

Riwayat ISK berulang

Gejala ISK
baru

Pengobatan 3 hari
Follow up selama 4 – 7 hari

Pengobatan berhasil

Pasien dengan reinfeksi berulang

Calon untuk terpai jangka panjang dosis rendah

 Terapi jangka panjang : trimetoprim – sulfametoksaszol


dosis rendah (40- 200mg) tiga kali seminggu setiap
malam, fluorokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin
makrokristal 100 mg tiap malam. Lama pengobatan 6
bulan dan bilaperlu dapat diperpanjang 1 – 2 tahun lagi.

Komplikasi Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi


kuman yang mutiresisten, gangguan fungsi ginjal

Prognosis Bonam
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
DEHIDRASI

Pengertian Berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air


lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau
hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama
(dehidrasi isotonik) atau hilangnya natrium leih banyak dari
pada hilangnya air (dehidrasi hipotonik)

Diagnosis  Riwayat asupan yang kurang atau hilangnya


cairan yang berlebihan melalui panas, keringat,
takipnea, muntah atau diare, jumlah urin sedikit
(< 30 cc/jam)
 Pada pemeriksaan fisik terdapat gangguan
kesadran, hipotensi dan jumlah urin sedikit
 Rasio ureum/kreatini < 25, umumnya kadar
natrium plasma > 145 mMol/L, BJ urin- dan
osmolalitas serum > 290mOsm/L

-
Diagnosis banding

Pemeriksaan penunjang Ureum, kreatinin, kadar Natrium plasma,


osmolaritas, CVP, BJ urin
Terapi
 Cairan kristaloid secukupnya. Pemberian
harus hati – hati utnuk mencegah
kelebihan cairan dan hiponatremia
 Jumlah cairan yang dibutuhkan dapat dihitung
dengan rumus :
o Defisit cairan : cairan tubuh total (TBW) yang
diinginkan – TBW saat ini
o TBW yang diinginkan : kadar Na/140 x TBW
saat ini
o TBW saat ini = 50% x berat badan pada
wanita 45% x berat badan
 Pada dehidrasi rigan dapat diberikan terapi
cairan per oral 1500 – 2500 ml/24 jam
(30ml/kgBB/24jam) untuk kebutuhan dasar /
pemeliharaan, ditambah penggantian defisit
cairan dan kehilangan cairan yang masih
berlangsung.
 Menghiting kebutuhan cairan sehari, dilakukan
tiap hari
 Pada pasien dehidrasi yang memerlukan
cairan infus dapat diberikan NaCl 0.9% atau
dextrose 5% dengan kecepatan 25-30% dari
jumlah cairan total perhari (termasuk
kebutihan dasar + defisit) pada dehidrasi
isotonik, sedangkan pada dehidrasi
hipernatremik diberikan NaCl 0.9% dengan
keceatan 45%

Komplikasi Gagal ginjal, delirium

Prognosis
Dubia ad bonam
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
INSTABILITASI DAN JATUH

Batasan  Ketidakmampuan seseorang untuk


mempertahankan pusat kekuatan antigrativikasi
tubuh pada dasar penyangga tubuh (kaki, saat
berdiri)
 Kondisi ini sering merupakan keluhan utama yang
menyebabkan pasien datang berobat (yaitu
keluhan utama dari penyakit – penyakit yang juga
bisa mencetuskan sindrom delirium akut (acute
confusional state)

Diagnosis Subyektif : terdapat keluhan seperti akan jatuh,


disertai/tanpa dizziness, vertigo, rasa bergoyang, rasa
tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi
mandiri atau terdapat riwayat ”jatuh”.

Obyektif : Terdapat faktor intrinsik dan ekstrinsik yang


merupakan faktor risiko.
 Faktor risiko intrinsik, antara lain : gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran spondilo-
artrosis servikalis, gangguan alat keseimbangan,
hiperagresasi trombosit, hiperkoagulasi, gagal
jantung infark miokard, infeksi sitemik, DM
dan/atau hipertensi (terutama jika tak
terkontrol), hemiparese atau monoparese inferior,
gangguan metabolik, OA genu, plantar faccilitis,
kelemahan quadriceps femoris, penyakit atau
sindrom Parkinson, demensia, gangguan syaraf
lain.
 Faktor risiko ekstrinsik : antara lain lantai licin,
alas kaki, permukaan lantai/tanah yang tidak
rata, alas kali yang tak sesuai, kain/pakaian
bagian bawah tubuh yang terjuntai.

-
Diagnosis Banding

Pemeriksaan Penunjang Diperlukan untuk membantu mengidentifikasi faktor


risiko, menemukan penyebab/pencetus :
 Elektrolit darah, terutama natrium dan kalium
 Analisis gas darah, foto toraks, foto vertebrae, foto
sendi terkait (genu, ankle), EKG
 Ureum dan kreatinin darah, hemostase, agresgasi
trombosit
 Gula darah, urin lengkap, kultur urin (MoR)
 Lakukan pemeriksaan neurologis untuk
mendeteksi defisit neurologis fokal, adalah SVD
atau TIA
 Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat
tinggal)

TERAPI
 Identifikasi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik
 Terapi selanjutnya tergantung faktor risiko yang
ditemukan
 Koreksi gangguan penglihatan dan atau pendengaran
 Latihan desensitasi faal keseimbangan
 Anti agregasi trombosit : antikoagulan
 Atasi infeksi sistemik : atasi gagal jantung; atasi
infark miokard
 Atasi artrosis sendi yang ada ; latihan peningkatan
kekuatan otot
 Rehabilitasi defisit neurologik yang ada
 Modifikasi lingkungan tempat tinggal
Komplikasi
Fraktur femur, tangan, vertebra, memar jaringan lunak,
isolasi dan depresi, imobilisasi
Prognosis
Baik
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
INFEKSI HIV/AIDS

Batasan Pasien yang terbukti terinfeksi HIV dari pemeriksaan


penunjang

Diagnosis Adanya faktor risiko penularan


Diagnosis HIV : tes ELISA 3 kali raktif dengan reagen yang berbeda

Stadium WHO :
 Stadium 1
 Asimtomatik, limfadenopati generalisata
 Stadium 2
 Berat badan turun < 10%
 Manifestasi mukokutan minor (dermatitis
seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus
oral rekuren, cheilitis angularis)
 Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
 Infeksi saluran napas atas rekuren
 Stadium 3
 Berat badan turun > 10 %
 Diare yang tidak diketahui penyebab > 1 bulan
 Demam berkepanjangan (intermitena atau
konstan). > 1 bulan
 Kandidiasis oral
 Oral hairy leucoplakia
 Tuberculosis paru
 Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
 Stadium 4
 HIV wasting syndrome
 Pneumonia pneumocystis carinii
 Toksoplasma serebral
 Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan
 Sitomegalovirus pada organ selain hati,
limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya renitis CMV)
 Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan)
atau visceral
 Progressive multifocal leucoencephalopathy
 Mikosis endemic diseminata
 Keandidiasis esophagus, trakea dan bronkus
 Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
 Septikemia salmonella non-tifosa
 Tuberkulosis ekstrapulmoner
 Limfoma
 Sarkoma Kaposi
 Ensefalopati HIV
Penyakit imunodefisiensi primer
Diagnosis Banding

Pemeriksaan Penunjang  Anti HIV ELISA


 Anti HIV Western Blot
 Antigen p-24
 Hitung CD4
 Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
 Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi
oportunitik

TERAPI
 Konseling
 Terapi suportif
 Terapi infeksi oportunitikdan pencegahan infeksi
oportunitik
 Terapi antiretrovirus kombinasi, efek samping dan
penanganannya
 Vaksinasi pada penderita HIV/AIDS
 Terapi pasca paparan HIV (post-exposure
prophylaxis)
 Penatalaksanaan infeksi HIV pada kehamilan
 Penatalaskanaan koinfeksi HIV dengan Hematitis C
dan Hepatitis B

Komplikasi
Infeksi oportunitik, kanker terkait HIV dan manifestasi
HIV pada organ lain.

Prognosis
Tergantung stadium penyakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
RENJATAN ANAFILAKSIS

Batasan Keadaan gawat darurat yang ditandai dengan


(hipotensi) penurunan tekanan darah sistolik < 90
mmHg akibat respons hipersensitivitas tipe I (adanya
reaksi antigen dengan antobodi Ig E)
DIAGNOSIS
Hipotensi, takikardia, akral dingin, oliguria yang dapat
disertai gejala klinis lain berupa :
 Reaksi sistemik ringan : rasa geli/gatal serta
hangat, rasa penuh di mulut dan tenggorokan,
hidung tersumbat dan terjadi edema disekitar
mata, kulit gatal, mata berair, bersin – bersin,
onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen
 Reaksi sistemik sedang : seperti reaksi sistemik
ringan, ditambah spasme bronkus dan atau
saluran edema saluran napas, sesak, batuk
mengi, angiodema, urtikaria menyeluruh, mual
muntah, gatal badan terasa hangat, gelisah, onset
seperti reaksi anafilaksis ringan
Reaksi sistemik berat : terjadi mendadak, seperti reaksi sistemik
ringan dan sedang yang bertambah berat. Spasme bronkus,
edema laring, suara serak, stridor, sesak napas, sianosis, henti
napas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna sehingga sakit
menelan, kejang perut, diare dan muntah. Kejang uterus, kejang
umum. Gangguan kardiovaskuler, aritmia jantung, koma

Pemeriksaan banding Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik

Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas


Pemeriksaan darah, EKG
penunjang
Terapi
A. Untuk renjatan
1. Adrenalin larutan 1 : 1000, 0.3 – 0.5 ml
subkutan/intramuskular pada lengan atas atau
paha. Bila rejatan anafilaksis disebabkan
sengatan serangga berikan suntikan
adrenalin kedua 0.1- 0.3ml pada tempat sengatan
kecuali bila sengatan di kepala, leher, tangan
dan kaki. Dapat dilanjutkan dengan infus
adrenalin 1 ml (1mg) dalam dekstrosa 5% 250
cc dimulai dengan kecepatan 1 ug/menit dapat
ditingkatkan sampai 4 ug/menit sesuai keadaan
tekanan darah. Hati – hati pada orang tua
dengan kelainan jantung atau gangguan
kardiovaskular lainnya.
2. Pasang tourniqet proksimal dari suntikan atau
sengatan serangga, dilonggarkan 1-2 menit
setiap 10 menit
3. O2 bila sesak, mengi, sianosis 3-5 l/menit dengan
sungkup atau kanul nasal
4. Antihistamin intravena, intramuskular atau oral
Rawat ICU bila dengan tindakan diatas tidak membaik,
dilanjutkan dengan terapi :
1. IVFD dekstrosa 5% dalam 0.45% NaCl 2-3 l.m2
permukaan tubuh
2. Dopamin 0.3 – 1.2 mg/kgBB/jam bila tekanan
darah tidak membaik
3. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kgBB
intravena dilanjutkan 5 mg/kgBB tiap 6 jam,
yang dihentikan setelah 72 jam

B. Bila disertai spasme bronkus maka dapat diberikan :


1. Agonis Inhalasi beta-2
2. Jika spasme bronkus menetap Aminofilin 4-6
mg/kgBB dilarutkan dalam NaCl 0.9% 10 ml
diberikan perlahan – lahan dalam 20 menit ,
bila perlu dilanjutkan dengan infus aminofilin
0.2-1.2 mg/kgBB/jam

C. Bila disertai
edema
hebat
saluran
napas atas :
Intubasi dan
trakeostomi

D. Pemantauan
paling
sedikit 24
jam
Komplikasi
Renjatan ireversibel, multi organ failure

Prognosis
Tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
DISPEPSIA

Batasan Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom


yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung,
muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa

Diagnosis Anamnesis terdapatnya kumpulan gejala tersebut diatas


:

Diagnosis Banding
 Penyakit refluks gastroesofageal
 Irritable Bowel Syndrome
 Karsinoma saluran cerna bagian ata
 Kelainan pankreas dan kelainan hati

Pemeriksaan
Endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsi,
Penunjang
pemeriksaan terhadap adanya infeksi Helicobacter
pylori, pemeriksaan fungsi hati, amilase dan lipase,
fosfatase alkali dan gamma GT, USG Abdomen

Terapi  Suprtif; nutrisi


 Pengobatan empirik selama 4 minggu
 Pengobatan berdasarkan etiologi

Komplikasi
Tergantung etiologi dispepsia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
HEMATEMESIS MELENA

Pengertian Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam ter


yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Melena
yaitu buang air besar berwarna hitam ter yang berasal
dari saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan
saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas
(proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari jejunum
proksimal, duodenum, gaster dan esophagus

Diagnosis Muntah dan BAB darah warna hitam tersindrom


sispepsia, bila ada riwayat makan obat NSAID, jamu
pegal linu, alkohol yang menimbulkan erosi/ulkus
peptikum, riwayat sakit kuning/hepatitis. Keadaan
umum pasien sakit ringan sampai berat, dapat disertai
gangguan kesadaran (prekoma/koma hepatikum), dapat
terjadi syok hipovolemik

Diagnosis Banding
Hemoptoe, hematoskezia

Pemeriksaan
Darah perifer lengkap, hemostasis lengkap atau masa
Penunjang
perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin,
elektrolit (Na,K,Cl), pemeriksaan fungsi hati
(cholinesterase, albumin/globulin, SGOT/SGPT,
petanda hepatitis B dan C), endoskop SCBA diagnostik
atau foto rontgen OMD, USG hati

Terapi Nonfarmakologis : tirah barang, puasa, diet


hati/lambung, pasang NGT untuk dekompresi,
pantau perdarahan
Farmakologis :
 Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang
terjadi dan Hb). Pada kasus varises transfusi
sampai Hb 10 gr%, pada kasus non varises transfusi
samapai Hb 12 gr%

 sementara menunggu darah dapat diberikan


pengganti plasma (misalnya dekstran/hemacel) atau
NaCl 0.9 & atau RL

 untuk penyebab nan varises:

injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat


pompa proton

sitoprotektor : sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon


3 x 1 tab

antasida

injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati


kronis atau sirosis hati

 untuk penyebab varises

somatostatin bolus 250 ug + drip mikro g/jam intraven


atau ocreotide (sandostatin) 0.1 mg/2 jam. pemberian
diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu
diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligasi varises
esophagus

propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat


ditingkatkan sampai tekanan diastolic turun 20 mmHg
atau denyut nadi turun 20 % (setelah keadaan stabil
hematermesis melena (-)
isosorbid dinitrat/mononitrat 2 x 1 tablet/hari setelah KU
stabil
Metoklorpramid 3 x 10 mg/hari
 bila ada gangguan hemostasis obati sesuai keadaan
 pada pasien dengan pecah varises/penyakit hari
kronik/sirosis hari diberikan:
laktulosa 4 x 1 sendok makan
neomisin 4 x 500 mg
obat ini diberikan sampai tinja normal
prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi
atau elektif. bedah emergensi di indikasikan bila pasien
masuk dalam keadaan gawat I-II

Komplikasi Syok hipovelemik, asirasi pneumonia, gagal ginjal akut,


sindrom hepatorenal, koma hepatikum, amenia karena
perdarahan

Prognosis Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO
2015-2016
SIROSIS HATI

Pengertian Penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan


adanya nekrosis, pembentukan jaringan ikat disertai
modul

Diagnosis Pemeriksaan fisik : stigmata sirosis (palmar eritema,


spider nevi) vena kolateral dinding perut, ikterus,
edema pretibial, asites, splenomegali

Laboratorium : rasio albumin dan globulin terbalik

Pemeriksaan Laboratorium darah (DPL, SGOT, SGPT, ALT, albumin,


Penunjang
CHE, PT, seromarker hepatitis), USG, biopsy hari, analisis
cairan asites
Terapi
Istirahat cukup

Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)

Roboransia

Mengatasi penyulit

Hipertensi portal, SBPhematemesis melena, sindrom


Komplikasi
hepatorenal, gangguan hemastasis, ensefalopati
hepatikum

Prognosis Dubia ad malam

Anda mungkin juga menyukai