Disusun oleh:
Fakultas Hukum
Universitas Dipnegoro
Semarang
2022
DAFTAR ISI
2
ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI ADVOKAT
3
Kelemahan tersebut terdiri atas kelemahan yang dapat diasah kemudian
menjadi keunggulan dan kelemahan yang sulit untuk diubah menjadi kelebihan
sehingga kamu harus mencari solusi agar kelemahan ini tidak menimbulkan
keresahan. Contoh: kamu memiliki kekurangan dalam berbicara di depan umum
sehingga hal tersebut membuatmu kesulitan untuk menjadi seorang pengacara yang
handal dalam bersidang oleh karenanya kamu harus mencari solusi dengan
melakukan terapi dan pelatihan dalam berbicara. Ketiga, Opportunity atau
kesempatan, Peluang adalah faktor eksternal dalam meraih impian Anda yang
cenderung berkontribusi pada kesuksesan Anda. Contoh: Anda tumbuh dan
dibesarkan dari orang tua yang berprofesi di bidang hukum
(jaksa/pengacara/hakim/lainnya) dan Anda memiliki mimpi untuk berprofesi seperti
orang tua Anda, dengan adanya privilege tersebut dapat menjadi faktor peluang
bagi anda untuk mendapatkan ilmu dan informasi mengenai profesi di bidang
hukum. Keempat, threat atau tantangan, Ancaman dalam SWOT mengacu pada
area yang berpotensi menimbulkan masalah. Ancaman berbeda dari kelemahan
karena ancaman bersifat eksternal dan umumnya di luar kendali. Contoh:
persaingan untuk menjadi seorang pengacara Anda harus bersaing dengan jutaan
mahasiswa lulusan hukum yang ada di Indonesia, oleh karenanya dengan adanya
tentangan ini Anda harus memiliki pembeda dari yang lain sehingga Anda mampu
bersaing dan menjadi pengacara yang berkompeten dibidangnya.
Konsistensi adalah kunci untuk perubahan yang berkelanjutan dan tahan
lama. Jadi jangan mencoba memindahkan gunung, sebaliknya, cukup bawa batu-
batu kecil, satu demi satu batu. Jangan menjadi kelinci, jadilah kura-kura karena
lambat dan mantap memenangkan perlombaan. Sesuai tweet baru-baru ini oleh
pakar pembentuk kebiasaan modern James Clear: “When making plans, think big.
When making progress, think small”.
4
Setelah melakukan analisis SWOT sebagai refleksi terhadap diri sendiri,
langkah selanjutnya dalam merealisasikan Thinking Big, Dreaming Big kita
harus mempersiapkan beberapa aspek:
1. Legal Aspect
Untuk menjadi seorang pengacara, Anda harus mempersiapkan baik
secara kemampuan maupun legalitas untuk berpraktek. Anda harus
memiliki izin yang diberikan oleh negara melalui sumpah yang
dilaksankan di pengadilan dalam pengangkatan menjadi pengacara. Selain
itu pula, anda harus memiliki kartu tanda anggota dari organisasi
pengacara/advokat yang kredibel.
2. Capital
Ketika Anda hendak membuka praktek dalam memberikan
pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan, Anda
harus mempersiapkan modal untuk memenuhi keperluan dalam menunjang
pemberian pelayanan tersebut. Untuk membuka praktek, anda harus
memiliki kantor yang nyaman, aman, dan dapat diakses oleh semua orang.
3. Human Resources
Dalam memberikan pelayanan harus memiliki sumber daya manusia
yang berkualitas unggul dan memiliki ciri khas yang dapat dibedakan dari
lawyer lainnya.
4. Market Development/Networking
Dalam membangun karir sebagai lawyer, Anda harus mampu
menjalin relasi dengan siapa saja sehingga Anda dapat dikenal dengan
banyak orang yang mana hal tersebut membawa dampak positif dalam
membangun kepercayaan publik dan integritas.
5. Client Loyalty
Hal utama selain persiapan internal, Anda harus dapat membangun
ikatan batin atau chemistry dengan klien sehingga klien merasa puas atas
pelayanan yang Anda berikan. Hal tersebut dapat membantu Anda dalam
mendapatkan klien yang setia dalam menggunakan jasa Anda.
5
diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya pada
kehidupan masyarkat. Etika sangat berkaitan erat dengan moral atau moralitas
yang berarti sikap manusia mengenai ajaran baik-buruk terhadap kehidupan di
masyarakat. Sikap manusia yang berbeda-beda sehingga pandangan seseorang
mengenai suatu norma berbeda dengan pandangan dari orang lain. Dengan
adanya perbedaan itu perlu dibuatkan standar yang ideal secara normatif yang
disebut sebagai tata atau aturan.
Tata itu berbentuk aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah
laku manusia dalam pergaulan hidup sehingga kepentingan masing-masing
dapat terpelihara. Tata aturan tersebut berisikan norma-norma yang memiliki 2
macam isi yaitu berupa perintah dan larangan. Perintah adalah suatu keharusan
bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik.
Sedangkan larangan adalah keharusan seseorang untuk tidak berbuat sesuatu
oleh karena akibatnya dipandang buruk
6
5. Sebagai pemberi arah atau petunjuk bagi profesi tertentu
sekaligus menjamin mutu moral profesi tersebut dalam
masyarakat.
C. Jabatan Profesi
Tidak semua aktivitas pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang
dikatakan sebagai profesi. Terdapat perbedaan antara pekerjaan biasa (common
job) dengan pekerjaan profesi (professional job). Perbedaan tersebut ialah pada
pekerjaan profesi terdapat kode etik profesi yang mengatur perintah dan
larangan perbuatan dari profesi tersebut. Sedangkan pada pekerjaan umum
(common job) tidak ada tata aturan mengenai kode etik. Misalnya, kita
bandingkan antara seorang pengacara dan sopir angkot. Pada kedua pekerjaan
tersebut memiliki beberapa kesamaan:
- Knowledge in position: untuk menjadi seorang pengacara harus
memiliki pengetahuan di bidang hukum, sedangkan untuk menjadi
seorang sopir angkot harus memiliki pengetahuan mengenai cara
mengemudikan mobil angkot,
- Skills: untuk menjadi pengacara anda harus ahli dalam penyelesaian
sengketa sehinga dibutuhkan kompetensi-kompetensi layaknya seorang
pengacara, sedangakan untuk menjadi sopir angkot anda harus ahli
dalam mengemudikan mobil angkot selayaknya.
- Permanent: menjadi seorang pengacara adalah sebuah profesi permanen
yang tidak memiliki batas waktu, begitu pula dengan menjadi seorang
sopir angkot tidak ada batas masa selama masih adanya yang
membutuhkan.
- Social service: menjadi seorang pengacara atau soopir angkot sama-
sama bergerak dalam bidang pelayanan jasa.
7
Jabatan profesi merupakan implementasi dari sebuah pekerjaan profesi
dimana pekerjaan tersebut diberikan oleh negara melalui organisasinya kepada
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, karena dianggap telah
memiliki kompetensi dan kapasitas untuk menjalankan jabatan dan pekerjaan
tadi harus dijalankan berdasaran peraturan perundang-undangan dan kode etik.
Implementasi dari pekerjaan profesi harus berdasarkan peraturan perundang-
undangan khususnya bagi profesi pengacara mengacu pada UU Nomo 18
Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik yang disahkan pada 20 Mei 2002.
Berdasarkan posisi jabatan sebagai seorang pengacara, terfapat harapan
dan ekspektasi yang diberikan oleh para kliennya:
1. Tujuan/fungsi dari suatu profesi (Goals of The Role):
- Law Enforcement
Sebagai seorang pengacara yang memiliki kompetensi di bidang
hukum harus memiliki jiwa yang berintegritas tinggi dalam
menegakkan hukum materiil.
- Public Service
Tujuan dari jabatan atas profesi harus dipusatkan sebagai bentuk
pelayanan publik, bukan sekedar untuk kepentingan pribadi atau
golongan tertentu.
- Member of an organization
Harus terdaftar sebagai anggota dari suatu organisasi advokat
sehingga kredibelitas sebagai seorang lawyer dapat dijalankan
sebagaimana yang diatur dalam dasar hukumnya.
2. Gambaran dan Harapan Seorang Klien terhadap Seorang Advokat yang
akan menjadi kuasanya (Image and Dream of The Role):
2.1 Gambaran seorang klien terhadap Advokat (image):
- A flamboyant person adalah orang yang dapat memikat lawan
bicaranya melalui gaya penampilan, tindakan dan bertutur
kata;
- A friendly person adalah orang yang ramah dalam berperilaku
dan bertutur kata;
8
- An easy person to talk with adalah orang yang mudah diajak
bicara dan tidak mudah tersulut amarah;
- An energic person adalah orang yang energik dan memiliki
semangat untuk menyelesaikan kasus;
- An open person adalah seorang advokat yang memiliki
pemikiran terbuka dalam menerima suatu sengketa kliennya
dan tidak menghakiminya;
- A person willingly to hear adalah seorang advokat yang
bersedia untuk mendengarkan persoalan/permasalahan yang
dihadapi oleh kliennya; serta
- A trusty person adalah seorang advokat yang mampu untuk
dipercayakan dalam menyimpan rahasia kliennya.
2.2 Harapan/ekspektasi seorang Klien terhadap Advokatnya
(Dream/expactations):
- Abble to settle case adalah seorang advokat mampu
menyelesaikan kasus kliennya;
- Able to keep the secret adalah seorang advokat mampu
menjaga rahasia kliennya sehingga tidak merugikannya;
- Able to be working in group adalah seorang advokat yang
mampu bekerja dengan individu lain atau suatu kelompok agar
memudahkan dalam mendapatkan informasi atau bukti dalam
mengupayakan penyelesaian sengketa klien;
- Able to bring a legal solution adalah seorang Advokat yang
mampu memberikan solusi hukum namun tidak boleh atau
dilarang untukmenjanjikan kemenangan atas suatu perkara dari
kliennya;
- Able to bring a legal enlightment adalah seorang Advokat yang
mampu membawa pencerahan hukum dengan bahasa yang
mudah untuk dipahami oleh orang awam.
3. Paradigma/bentuk hubungan antara Seorang Advokat dengan Kliennya
(Model of Relationship):
9
3.1 Menurut Robert Veath, terdapat 4 tipe atau model dalam hubungan
antra lawyer dan kliennya:
a) Engineering model
Hubungan antara lawyer dank lien seperti hubungan antara
dokter dan pasiennya. Seorang pasien yang merasakan sakit
di dada sebelum ia memutuskan untuk berkonsultasi ke
dokter ia telah melakukan penyembuhan alternative yang
berdasarkan pengetahuannya. Namun dikarenakan sakit yang
tak kunjung sembuh, pasien berinisiatif untuk berkonsiultasi
ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut yang
berupa diagnose. Disini dokter tidak dapat memaksakan
keputusannya kepada pasien bahwa pasien harus di operasi,
namun pilihan untuk jadi atau tidaknya operasi harus
berdasarkan keputusan pasien itu sendiri.
Berdasarkan contoh tersebut, pada model ini, lawyer
menganggap bahwa kliennya memiliki pengetahuan yang
cukup dan mampu untuk mengambil keputusan sendiri atas
perkaranya setelah lawyer memberikan saran atau legal
opinion. Lawyer tidak dapat serta merta meminta klien untuk
menandatangani surat kuasa.
b) Priestly model
“Priestly” berarti pendeta, diambil contoh dari hubungan
antara pendeta denga n umatnya yang melakukan pengakuan
dosa dengan harapan orang yang telah berbuat dosa dapat
diampuni dosa-dosanya dan merasa lega.
Pada model ini, hubungan lawyer dengan klien ialah klien
yang datang dan meminta kepada lawyer merupakan
seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan
kurang mampu untuk mengatasi perkaranya sendiri dan tidak
mampu untuk mengambil keputusan sendiri oleh karenanya
lawyer sangat dibutuhkan dalam mengambil keputusan atas
perkara yang dialaminya.
10
Pada hubungan ini, lawyer tidak diperkenankan untuk melempar
kembali keputusan apa yang harus diambil kepada klien karena
klien tidak berdaya untuk mengambil keputusan dengan
sendirinya.
c) Collegial model
Pada model ini, hubungan antara klien dan lawyer ialah sebagai
kolega atau kerabat atau teman yang cukup dekat.
Proses pembahasan hingga pengambilan keputusan didasarkan
pada diskusi yang terjadi antara kedua pihak
d) Contractual/covenant model
Pada model ini, hubugan antara lawyer dan klien didasarkan
kepada perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah
pihak
Lawyer hanya dapat melaksanakan hak dan kewajibannya
sebagaiman ruang lingkup yang diperjanjikannya dengan klien
begitu pula dengan klien, ia dapat melakukan hak dan
kewajibannya sesuai dengan perjanjian dan selama ia melakukan
konsultasi terlebih dahulu kepada lawyernya sebelum
mengambil suatu tindakan yang memiliki akibat hukum
Apabila salah satu pihak melanggar atas apa yang telah
diperjanjikan maka hubungan antara keduanya dapat dibatalkan.
3.2 Menurut Letty Russel, terdapat 2 (dua) model hubungan yang dapat
terjadi antara seorang Advokat dengan kliennya yakni sebagai
berikut:
a) Partnertship
Hubungan yang terjalin antara seorang advokat dengan kliennya
berupa kemitraan yang mengakui otonomi klien yang dilayani
dan mengedapankan rasa solidaritas kepadanya.
b) Combination of Collegial and Contructual model
Hubungan yang terjalin antara seorang advokat dengan kliennya
merupakan gabungan dari model kolega dan model kovenan
yang artinya dalam menyelesaikan kasus kedua pihak tersebut
11
selayaknya kerabat yang mendiskusikan permasalahan bersama
denga memerhatikan batasan-batasan yang tertuang di dalam
suatu perjanjian yang telah disetujui oleh klien dan advokatnya.
3.3 Menurut David Switzer, terdapat 1 (satu) model hubungan yang
dapat terjadi antara seorang Advokat dengan kliennya yakni sebagai
berikut:
a) Clown Model = trained professional with a high sense of
humanity
Hubungan yang terjalin antara seorang Advokat dengan
kliennya didasarkan pada tindakan professional yang tumbuh
dari rasa kemanusiaan dan pemahamannya terhadap
kemanusiaan orang lain. Seorang advokat harus terbuka dan
jelas dalam berkomunikasi.
12
akan menghabiskan waktu berjam-jam di meja untuk mempelajari perkara
hukum yang ditangani. Dengan membaca bertumpuk-tumpuk berkas dan
mempelajari kronologi perkara, tentu akan menghabiskan banyak waktu. Kedua,
mampu menjadi pembaca yang teliti dan update tentang berbagai aturan hukum
terbaru. Seorang advokat dituntut untuk gemar membaca. Sebab mempelajari
berkas perkara dengan baik adalah kemampuan yang sangat mahal, dan
mengetahui informasi terbaru tentang peraturan-peraturan yang berlaku adalah
kunci utama. Sehingga kemampuan membaca dengan teliti menjadi prioritas
penting.
Ketiga, siap belajar menjadi penulis yang baik. Selain kuat membaca,
seorang advokat juga dituntut untuk dapat menyampaikan apa yang ada
dipikirannya dalam bentuk tulisan, dengan bahasa yang baik dan benar, dan
sesuai dengan kaidah hukum. Jangan sampai penjelasan yang disampaikan
berputar-putar dan para pihak yang terlibat dalam suatu perkara ataupun proyek
hukum tidak mudah mencerna informasi yang anda berikan. Keempat, mampu
menguasai bahasa hukum dengan baik. Advokat juga harus mampu menguasai
bahasa hukum dan menyampaikannya dengan yang baik, dan disesuaikan
dengan kondisi. Saat berhadapan dengan klien, kamu harus menerjemahkan
bahasa hukum ke dalam bahasa keseharian yang digunakan. Tujuannya tentu
agar klien dapat mengerti dengan perjalanan perkara. Kemudian ketika sidang,
kamu juga dituntut untuk dapat berbahasa dengan menggunakan istilah-istilah
hukum yang baik.
Kelima, siap melindungi hak orang lain. Advokat juga harus melindungi
hak-hak mereka yang tidak mampu melakukannya untuk diri mereka sendiri.
Tak jarang seorang advokat juga sering berbicara atas nama orang, kelompok,
atau tujuan lain, dan dalam beberapa kasus, seorang advokat juga bisa
menjadi mediator yang baik. Keenam, siap menjadi orang yang memiliki etika
yang baik. Menjadi advokat juga berarti bertanggung jawab untuk memberi tahu
klien mereka tentang risiko yang terlibat dalam suatu kasus. Tanggung jawab
advokat adalah untuk menyediakan klien dengan semua informasi yang mereka
butuhkan untuk membuat keputusan. Seorang advokat juga bertanggung jawab
untuk memastikan bahwa klien mereka memahami apa yang mereka
13
tandatangani. Advokat juga harus berhati-hati, agar tidak menciptakan situasi di
mana klien mereka ditempatkan dalam resiko yang tinggi. Pada posisi ini,
advokat juga diharapkan mampu memberikan nasihat kepada klien tentang cara
menghindari masalah hukum dan membantu mereka mengatasi masalah saat
muncul. Ketujuh, siap bermental baja. Karena sebagai advokat yang andal,
tentunya harus siap untuk menghadapi tekanan dari klien, kolega, maupun mitra.
Jangan sampai tekadmu runtuh dengan gertakan dari pihak lain. Atau jangan
sampai kejujuranmu runtuh akibat tawaran-tawaran yang tidak baik dari pihak-
pihak lainnya.
Persaingan antar lulusan fakultas hukum semakin ketat, namun tetap ada
peluang bagi mereka yang mampu menyesuaikan diri. Selain adaptif, lulusan
hukum diharuskan kreatif jika ingin mampu bersaing di dunia global. Peluang
memasuki pasar global jasa hukum tetap terbuka bagi lulusan hukum khususnya
advokat Indonesia. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI),
Achmad Zen Umar Purba menyebut salah satu kunci agar mampu bersaing di
dunia global ialah kepekaan advokat atas perkembangan isu hukum mulai dari
skala lokal hingga global. Perkembangan teknologi dan mudahnya akses
informasi justru ikut membantu lulusan hukum untuk menembus pasar
internasional.
Penguasaan bahasa internasional menjadi kunci penting untuk suksed dan
punya daya tawar apabila berkeinginan untuk bersaing di dunia global. Due
diligence adalah pasar utama yang dimasuki para lulusan hukum yang
menjalankan profesi corporate lawyer. Kemampuan melakukan due dellignence
bagi pengacara yang ingin go international semakin penting setelah
Intertnational Bar Association (IBA) menerbitkan pratical on business and
human rights for business lawyers atau IBA practical guide . Sejak 2015, IBA
practical guide menjadi pedoman bagi advokat lintas negara melakuka due
diligence bisnis dan hak asasi manusia atas permintaan korporasi kliennya. IBA
practical guide merupakan turunan dari United Nations Guiding Princioles on
Business and Hman Rights (UNGPS), merupakan sebuah produk hukum tak
mengikat dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Di Indonesia melalui kementerian hukum dan HAM sedang menyusun
14
parameter impelmentasi dari UNGPS dalam konteks hukum Indonesia.
Meskipun tak mengikat secara hukum, pemerintah berharap kalangan
professional hukum mengikuti due diligence bisnis dan hak asasi yang sudah
disepakari lintas negara.
Kebutuhan atas para pengacara handal di level dunia sebenarnya tidak
hanya terkait dengan klien perusahaan multinasional namun juga sengketa bisnis
yang melibatkan pemerintah. Pemerintah Indonesia telah berulang kali
menghadapi sengketa di forum arbitrase internasional. Menteri hukum dan
HAM, Yasonna H. Laoly, tegas menyataka bahwa Indonesia masih kekurangan
lawyer yang handal. Oleh karena itu, pemerintah pernah menyewa lawyer asing
untuk mewakili Indonesia di forum arbitrasi Internasional. Kesempatan untuk
bersaing di dunia akan tetap terbuka sepanjang Advokat Indonesia selalu
mengasah dirinya dan memanfaatkan peluang. Mungkin pertemuan tahunan IBA
pada Oktober 2017 di Sydney menjadi salah satu kesempatan untuk mencoba
bagi para Advokat Indonesia. Dengan kesempatan tersebut diharapkan Advokat
Indonesia semakin memahami IBA Practical Guide serta membangung jaringan
dengan advoka dan perusahaan luar negeri. Seperti kata Martin Solic, Presidan
IBA saat ini, tapat tahunan kali ini menghadirkan ‘an unparalleled opportunity
to exchange knowledge and to create and renew a global network of colleagues
and business contracts’.
15
Kata advokat berasal dari bahasa latin yaitu advocare yang
berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Artinya
advokat adalah untuk membela, untuk meminta bantuan seseorang,
untuk menjamin atau menjamin. Sedangkan di dalam bahasa Inggris
menggunakan istilah Advocate yang berfungsi to speak in favor of or
defend by argument, to support, indicate or recommend publicly.
Yang berarti advokat berfungsi untuk untuk berbicara mendukung
atau membela argumen, untuk mendukung, menunjukkan atau
merekomendasikan publik.
Dalam perkembangannya, penggunaan istilah
advokat/avocaat/advocet atau lawyer digunakan hampir di seluruh
negara. Begitu juga di Indonesia yang menyesuaikan dengan
menggunakan istilah advokat atau lawyer dalam menyebut profesi
pengacara. Dalam praktek hukum di Indonesia, istilah advokat dan
lawyer memiliki perbedaan arti yang cukup signifikan. Perbedaan
tersebut terletak pada peran yang dijalankan antara advokat dan
lawyer. Secara umum, advokat atau pengacara mempunyai peran
sebagai penasihat hukum, sedangkan lawyer atau ahli hukum berperan
memberikan konsultasi hukum.
Sebelum diundangkan dan berlakunya Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat, istilah antara advokat, pengacara,
penasihat hukum, hingga konsultan hukum memeliki pengertian yang
berbeda-beda sehingga mengandung pemaknaan yang berbeda pula.
Seperti pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menggunakan istilah Penasehat Hukum,
begitu juga di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau KUHAP menggunakan istilah Penasehat
Hukum, sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung menggunakan penyebutan pengacara atau
advokat. Sebelum ada UU Advokat, pengacara diartikan sebagai
seseorang yang berprofesi untuk memberikan jasa hukum di dalam
pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktik
16
beracara yang dimilikinya. Jika ingin memberikan jasa di luar wilayah
kerjanya, maka pengacara tersebut harus mendapatkan izin dari
wilayah lain yang akan ditanganinya. Sedangkan, penasehat hukum
diartikan sebelum adanya UU Advokat adalah seseorang yang
memberikan bantuan atau nasihat hukum, baik dengan bergabung atau
tidak dalam suatu persekutuan penasihat hukum, baik sebagai mata
pencaharian atau tidak, yang disebut sebagai pengacara/advokat dan
pengacara praktek. Dalam Surat Edaran No. 8 Tahun 1987 tentang
Penjelasan dan Petunjuk-Petunjuk Keputusan Bersama ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman No
KMA/005/SKB/VII/1987 dan No: M.03-PR.08.05 Tahun 1987,
membagi dua kategori penasehat hukum, yaitu:
(1) Para pengacara advokat yang telah diangkat oleh Menteri
Kehakiman dan atas dasar itu memperoleh izin melakukan
kegiatan berpraktek hukum di manapun.
(2) Para pengacara praktek yang diberi izin oleh para Ketua
Pengadilan Tinggi untuk berpraktek hukum di dalam daerah
hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Kedua profesi ini sama-sama pemberi bantuan jasa hukum. Di
dalamnya termasuk memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dan
dapat ditemukan dalam suatu wadah yang bernama firma hukum.
Namun perbedaan penggunaan istilah tersebut sudah tidak lagi
terjadi saat ini sejak diundangkan dan diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mana telah
menguraikan definisi dari advokat sebagaimana tertuan di dalam Pasal
1 ayat (1) bahwa:
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan Undang-Undang ini.”
17
2) Istilah yang digunakan di Luar Negeri:
Dalam bahasa Belanda, kata Advocaat berarti procereur yang
artinya pengacara sedangkan dalam bahasa Perancis, advokat berarti
barrister atau counsel, pleader yang mana dalam bahasa Inggris semua
terminology tersebut diartikan sebagai aktivitas di pengadilan. Luhut
M.P menerangkan di dalam bukunya yang berjudul Advokat and
Contempt of Court kata advocaat yakni seorang yang telah resmi
diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar mester
in de rechten (Mr.). Pada zaman Belanda kata advokat selalu bersamaan
penyebutannya dengan prosureur (pengacara), tetapi menurut Subekti ia
membedakan istilah advokat dengan prosureur. Menurutnya advokat
adalah seorang pembela dan penasihat sedangkan prosereur adalah
seorang ahli hukum acara yang memberikan jasa-jasa dalam mengajukan
perkara ke Pengadilan dan mewakili orang-orang yang berpekara di
muka pengadilan.
ABA (American Bar Association) sendiri mendefinisikan:
adalah orang yang memenuhi syarat dengan pendidikan dan pelatihan
atau pengalaman kerja di kantor pengacara, kantor hukum, korporasi,
badan pemerintah, atau badan lainnya yang melakukan pekerjaan legal
substansif yang didelegasikan kepadanya namun dibawah tanggung
jawab langsung pengacara. Definsi ini menyatakan bahwa
tanggungjawab hukum untuk pekerjaan paralegal bersandar langsung di
bawah pengacara.
Di Inggris terdapat perbedaan antara Solicitor dengan Barrister.
Pengertian solicitor menurut Legal Profession Uniform Law (NSW),
adalah praktisi hukum yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana
hukum dan memiliki sertifikat praktik. Sertifikat ini diperoleh setelah
menjalani Pelatihan Praktek Hukum (PLT) dan diterima praktik hukum.
Pengacara kemudian harus menyelesaikan 18-24 bulan praktik yang
diawasi sebelum mereka menerima sertifikat praktik. Untuk pengacara
yang menangani perselisihan, sebagian besar waktunya dihabiskan di
luar pengadilan dan berurusan dengan hal-hal persiapan litigasi seperti
18
menyiapkan klaim dan bukti atau melakukan negosiasi penyelesaian.
Namun, pengacara akan muncul di pengadilan kecuali pengacara
diperlukan.
Jika masalah pengadilan melibatkan masalah yang kompleks,
seorang pengacara dapat menginstruksikan seorang pengacara untuk
hadir di pengadilan atas nama klien mereka. Klien tidak dapat
mempertahankan pengacara secara langsung. Seorang pengacara adalah
advokat ahli. Mereka memberikan nasihat hukum spesialis di bidang
hukum tertentu. Pengacara menghabiskan banyak waktu mereka
mewakili individu dan bisnis di pengadilan. Pengacara menjadi
pengacara setelah memenuhi ujian dan persyaratan untuk otoritas
Pengacara negara bagian mereka yang relevan.
Hubungan antara pengacara dan pengacara mirip dengan dokter
umum (GP) Anda dan spesialis yang mereka rujuk kepada Anda. GP
Anda akan menilai masalah Anda, melakukan beberapa tes pendahuluan
dan memberi Anda nasihat mereka. Namun, mereka kemudian dapat
merujuk Anda ke seorang spesialis untuk mempelajari saran itu dan
mendapatkan pendapat ahli mereka. Dokter umum dan spesialis Anda
akan sering bekerja sama untuk membantu Anda.
Seorang pengacara akan membantu pengacara pengajar mereka
dengan menyusun dokumen pengadilan. Mereka juga akan fokus
memberikan saran strategis tentang bagaimana kasus ini akan berjalan.
Pengacara juga dapat menyiapkan pengajuan ketika kasus tersebut
dilanjutkan ke persidangan. Dengan kata lain, seorang pengacara
melibatkan seorang pengacara untuk item pekerjaan tertentu yang
membutuhkan keterampilan dan saran khusus mereka, dan klien tidak
perlu khawatir tentang duplikasi pekerjaan.
19
persamaannya, bisnis dan profesi advokat sama-sama membutuhkan sebuah
jaringan sosial yang luas untuk meningkatkan kualitas kerjanya sehingga
menghasilkan penilaian yang baik di publik. Sedangkan perbedaan antara
keduanya ialah bahwa profesi advokat merupakan pelayanan publik dalam
memberikan jasa bantuan hukum yang didasarkan pada peraturan perundang-
undangan dan kode etik advokat. Bisnis juga memberikan pelayanan kepada
publik namun ia tidak memiliki kode etik yang mengikat dalam memberikan
pelayanan. Selain itu pencapaian target atau goals antara profesi advokat dan
bisnis berbeda, profesi advokat memiliki tujuan utama yaitu memberikan
pelayanan hukum yang baik dan prima sedangkan bisnis lebih mengedepankan
keuntungan atau profit.
Selain itu dalam menjalankan tugasnya, profesi advokat memiliki
kewajiban-kewajiban yang tidak boleh dilanggar dalam memberikan pelayanan
hukum sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat dan Kode Etik Profesi Advokat. Adapun kewajiban
profesi advokat berdasarkan UU Advokat sebagai berikut:
a) Pasal 18, bahwa:
(1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang
membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis
kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial
dan budaya.
(2) Advokat tidak dapat diidentikan dengan klienya dalam membela
perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
b) Pasal 19, bahwa:
(1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang.
(2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap
penyitaan atau pemeriksaan adan perlindungan terhadap
penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
c) Pasal 20, bahwa:
20
(1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan
dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
(2) Advokat dilarag memegang jabatan lain yang meminta
pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat
atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan
tugas profesinya.
(3) Advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas
profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.
d) Pasal 22, bahwa:
(1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
e) Pasal 25, bahwa Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang
pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Apabila mengacu pada Kode Etik Advokat, terdapat kewajiban yang harus
ditaati oleh advokat yakni sebagaimana yang tertuan di dalam Pasal 8 bahwa:
a) Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah
dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan/atau
bentuk yang berlebihan.
b) Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu
tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.
c) Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat
mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat
atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk
memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.
d) Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang
tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat
hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan.
e) Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi
dirinya dan/atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-
tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah
ditanganinya kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu
21
bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib
diperjuangkan oleh setiap Advokat.
f) Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera
dari suatu lembaga peradilan tidak dibenarkan untuk memegang atau
menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja
selam 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.
H. Lawyer as a Officium Nobile
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (selanjutnya
KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium
nobile). Kata ”nobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia
atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan
ungkapan yang kita kenal ”noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang
terhormat (honorable), murah hati (generous), dan bertanggung jawab
(responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti
bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berprilaku jujur dan
bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat
tersebut akan selalu berperilaku demikian.
Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU
Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat
dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan
diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban
mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (nobile officium), dengan hak
eksklusif:
(a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat,
(b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili
kliennya, dan
(c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya.
Akan tetapi jangan dilupakan bahwa hak dan kewenangan istimewa ini
juga menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu:
menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu
mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai
integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta,
22
oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak
menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that
certain of their brethren are quilty)
Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas, dalam asas-asas
etika (canons of ethics) American Bar Association (1954; selanjutnya ABA)
termasuk dalam asas mengenai ”Menjunjung Kehormatan Profesi” (upholding
the honor of the profession), di mana dikatakan (terjemahan bebas) bahwa
advokat itu harus selalu berusaha menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa
profesi dan berusaha untuk tidak saja menyempurnakan hukum namun juga
penyelenggaraan sistem peradilannya (the administration of justice).
Lebih lanjut lagi disebutkan olehnya Bagian dari kewajiban advokat
kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka
yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan
bahwa seorang advokat ”tidak dapat menolak dengan alasan…kedudukan sosial”
orang yang memerlukan jasa hukum tersebut dan juga di Pasal 4 kalimat:
”mengurus perkara cuma-cuma” telah tersirat kewajiban ini.
Dan asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8: ”…..kewajiban
untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang
tidak mampu”. Asas etika ini dalam ABA dikenal sebagai ”Kewajiban Mewakili
Orang Miskin” (duty to represent the indigent). Meskipun di Indonesia telah ada
lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi lemah ini, khususnya
dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro
Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat atau kantor
advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus diutamakan oleh
profesi terhormat ini. Mengurus perkara ”cuma-cuma” tidak saja untuk perkara
pidana (criminal legal aid) tetapi juga untuk perkara perdata (civil legal aid).
Dengan adanya di indonesia lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan
peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer, maka tentunya bantuan
hukum ini harus juga mencakup perkara mempergunakan media massa untuk
mencari publisitas. Tetapi contoh di atas untuk ”contempt of court” adalah
berbeda. Kesimpulannya adalah bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan
23
adanya pelecehan terhadap pengadilan yang dilakukan seorang advokat dengan
mempengaruhi pengadilan melalui media massa (obstruction of justice).
Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22
menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para
teman sejawatnya harus bercirikan ”keterbukaan” (candor, frankness) dan
”kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku
curang (mislead, deceive) terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya.
Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi : dia berkewajiban untuk loyal
(setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam
berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah ”the duty of fidelity”
kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang ”hubungan
(advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah
”the duty of good faith” dan ”the duty of honorable dealing”. Menurut pendapat
saya KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat
dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang
mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.
Jabatan advokat sebagaimana dalam kode etik advokat dikatakan bahwa
profesi advokat adalah suatu profesi atau jabatan yang mulia atau Nobile
Officium. Pertanyaanya kenapa disebut demikian, karena jabatan advokat dalam
kenyataannya berdiri diatas dua kaki yang kaki yang kokoh yaitu diatas jabatan
profesional dengan kriteria sebagaimana disebutkan diatas, juga beridi tegak
diatas jabatan kepercayaan. Dalam menjalankan pekerjaanya seorang lawyer
harus berpijak pada jabatan profesi yang memiliki keahlian profesi, pelayanan
kepada publik, terikat pada kode etik profesi yang mengatur tentang perilaku dan
etika yang harus dijalankan selama memangku jabatan tersebut, juga harus
memiliki suatu kemampuan yang istimewa yaitu memegang jabatan
kepercayaannya. Klien memberikan pekerjaan kepada seorang lawyer artinya dia
memberikan kepercayaan penuh kepada lawyer untuk menangani perkaranya
termasuk disana adalah menjaga semua kerahasiaan informasii yang diberikan.
Ini suatu pekerjaan yang sangat mulia. Karena itu profesi advokat disebut
sebagai jabatan yang mulia.
24
Etika profesi bagi seorang profesiaonal yang bergerak di bidang tertentu
dituangkan dalam suatu bentuk yang disebut "kode etik". Kode etik merupakan
suatu sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis tentang apa yang benar
dan baik serta apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Hal ini
menegaskan bahwa kode etik adalah sebagai suatu dasar acuan tentang
perbuatan apa yang dianggap benar dan salah serta perbuatan apa yang harus
dilakukan dan harus dihindari.
Dalam bidang hukum khususnya profesi Advokat memiliki suatu aturan
profesional yang dituangkan dalam Kode Etik Advokat Indonesia yang disahkan
pada tanggal 23 Mei 2002. Pasal 1 Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan
bahwa Advokat adalah orang yang berpraktek memeberi jasa hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi syarat persyaratan perundang-
undangan yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum,
Pengacara Prektek ataupun Konsultan Hukum. Sebagai seseorang yang bergerak
di bidang hukum Advokat dituntut agar dapat menegakkan hukum berdasarkan
nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Keadilan harus terwujud dalam semua lini
kehidupan dan semua produk manusia harus mengandung nilai-nilai keadilan.
Adapun keadilan menurut hukum adalah (legal justice) keadilan yang telah
dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban dimana pelanggaran
terhadap pelanggaran ini akan ditegaskan lewat proses hukum (Fuady, 2007:
118). Aristoteles menganggap bahwa keadilan dapat tercipta ketika kita
mematuhi hukum, karena pada dasarnya hukum tercipta demi kebahagia
masyarakat. Konsep keadilan yang digagas oleh Aristoteles terbagi menjadi dua,
yaitu keadilan distributif (iustitia distributive) dan keadilan remedial atau
korektif. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa sesuai
kedudukannya, sedangkan keadilan korektif lebih menekankan pada penggantian
kerugian atau pemulihan pada keadaan semula sebagai sebuah sarana untuk
menyeimbangkan ketidakseimbangan karena keadilan. Masyarakat sebagai
konsumen hukum harus dapat menikmati cita rasa keadilan sehingga masyarakat
dapat merasakan kebahagian.
Dalam menciptakan keseimbangan antara penegakkan hukum dengan cita
rasa keadilan maka komponen aparat hukum baik sebagai produsen hukum
25
maupun para penegak hukum garus mampu menjadi produsen keadilan (justice
producer) dengan cara menempatkan dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan
ke dalam suatu produk hukum. Artinya keadilan harus dimasukkan dalam
perundang-undangan sebagai roh daripada hukum itu sendiri, tidak hanya itu
para penegak hukum harus memperjuangkan rasa keadilan bagi masyarakat
dengan cara mengasah kemampuan dan harus menumbuhkan integritas moral
yang tinggi. Salah satu pilar penegak hukum yang dituntut untuk
memperjuangan keadilan bagi masayarakat adalah profesi Advokat.
Pasal 3 huruf (g) Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa
Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi
terhormat (officium nobile). Dapat kita lihat pada aturan profesional tersebut
bahwa ini menjadi dasar moral atau pedoman seorang Advokat untuk mengabdi
kepada masyarakat, bagi orang-orang miskin dan buta hukum. Penulis
berpendapat bahwa sebagai seorang profesional di bidang hukum seorang
Advokat tidak dapat memperjuangkan keadilan apabila dalam mengemban tugas
sebagai seorang Advokat hanya mengharapkan imbalan materi semata, keadilan
tidak dapat diraih dengan seberapa besar materi yang diberikan, tetapi
bagaimana kemampuan dan hati nurani dalam memberikan jasa hukum terbaik
dengan ingat bahwa perjuangan mencari keadilan adalah sebuah perjuangan
yang mulia dan terhormat. Apabila Advokat bisa menerapkan prinsip tersebut
dalam mengemban tugas, maka tidak mungkin ada anggapan dalam masyarakat
bahwa profesi Advokat adalah profesi yang materialisme hanya mementingkan
uang semata dan menghalalkan segala cara serta rela membela yang salah demi
hanya untuk mendapatkan uang yang banyak.
Kesimpulanya, bahwa officium nobile adalah profesi mulia dan terhormat
yang dijalankan oleh seorang Advokat, dengan mengaharuskan bersikap sopan
terhadap semua pihak. Sehingga profesi terhormat ini sudah semestinya menjadi
acuan dan pedoman bagi seseorang yang menjalankan tugas sebagai Advokat
untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Dengan
berpedoman pada Kode Etik Advokat Indonesia, seorang Advokat diharapkan
mampu menjalankan tugas yang terhormat serta perjuangan yang mulia demi
26
terciptanya penegakkan hukum yang menempatkan keadilan sebagai roh
daripada hukum itu sendiri.
27
secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan
iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Namun pada tahun 2013 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan atas
pengujian Pasal 16 UU Advokat mengenai hak imunitas advokat. Menurut MK,
peran advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan
hukum lain untuk kepentingan hukum klien dapat dilakukan baik di dalam
maupun di luar pengadilan. Peran advokat di luar pengadilan tersebut telah
memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan
hukum nasional, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
UU Advokat yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon dengan UU Nomor 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dimana MK menemukan perbedaan
mengenai perlindungan advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam
menjalankan profesinya. Perbedaan dimaksud telah menimbulkan perlakuan
yang berbeda antara advokat dan Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada
timbulnya ketidakpastian hukum yang adil di antara kedua profesi tersebut.
Dalam hal ini, imunitas advokat juga dibatasi oleh iktikad baik, yang
didefinisikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU Advokat, yang dimaksud
dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan
28
berdasarkan hukum untuk membela kepentingan klien. Iktikad baik yang
bersifat objektif dalam hal ini adalah sebuah tindakan harus berpedoman
pada norma kepatutan, yaitu pada apa yang dianggap patut pada
masyarakat. Dalam perspektif subjektif artinya pada kejujuran dan sikap
batin seorang advokat saat melakukan tugasnya. Selain itu, Itikad baik erat
kaitannya dengan kode etik/kaidah-kaidah profesi. Keberadaan kode etik profesi
sangat vital untuk menjaga agar advokat dalam beracara selalu berpedoman pada
nilai-nilai etika profesi. Kode etik profesi juga memiliki kapasitas yang penting
dalam menjaga advokat agar mengabdi pada masyarakat serta menjaga
kepercayaan masyarakat yang telah diberikan kepadanya.
29
wadah tunggal sudah terpecah dengan masing-masing mengklaim sebagai
pengurus yang sah. Di samping itu, berbagai pengurus advokat dari organisasi
lainnya juga mengajukan permohonan penyumpahan.
Ketiga, bahwa UUD 1945 menjamin hak untuk bekerja dan memperoleh
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (tidak terkecuali advokat)
sesuai ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2).
Keempat, bahwa di beberapa daerah tenaga advokat dirasakan sangat
kurang karena banyak advokat yang belum diambil sumpah atau janji sehingga
tidak bisa beracara di pengadilan sedangkan pencari keadilan sangat
membutuhkan advokat.
Kelima, bahwa advokat yang telah bersumpah atau berjanji di sidang
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sebelum maupun
sesudah terbitnya UU Advokat, tetap dapat beracara di pengadilan dengan tidak
melihat latar belakang organisasinya.
Keenam, bahwa terhadap advokat yang belum bersumpah atau berjanji,
Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap advokat
yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Advokat atas
permohonan dari beberapa organisasi advokat yang mengatasnamakan PERADI
dan pengurus organisasi advokat lainnya hingga terbentuknya UU Advokat yang
baru.
Ketujuh, setiap kepengurusan advokat yang dapat mengusulkan
pengambilan sumpah atau janji harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana
ditentukan dalam UU Advokat selain yang ditentukan dalam angka 6 tersebut di
atas.
Kedelapan, dengan diterbitkannya surat ini, maka Surat Ketua MA
Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 perihal Penyumpahan Advokat
dan Surat Nomor 052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011 perihal
Penjelasan Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 dinyatakan tidak
berlaku.
1. Professional Skill of Lawyer
1) Indonesia Citizen, diatur di dalam:
30
o Pasal 3 ayat (1) huruf a UU Advokat berbunyi “Untuk dapat
diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. warga negara Republik Indonesia.
o Pasal 2 Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat Indonesia adalah
Warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan
kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang
dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-
Undangn Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta
sumpah jabatannya”.
2) Law Granted (Graduate from school of Law), diatur di dalam:
o Pasal 3 ayat (1) huruf e UU Advokat berbunyi “Untuk dapat
diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
3) Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), diatur di dalam:
o Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat berbunyi “Untuk dapat diangkat
menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
f. lulusan ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat.
4) Job Training Granted, diatur di dalam:
o Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat berbunyi “Untuk dapat
diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
g. magang sekurang-kurangnya 2 tahun terus menerus pada kantor
Advokat.
5) National Selection Test Pass, diatur di dalam Pasal
2. Personality of Lawyer
1) No double job, diatur di dalam:
31
o Pasal 20 ayat (1) UU Advokat berbunyi “Advokat dilarang
memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas
dan martabat profesinya”.
o Pasal 3 huruf f Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat tidak
dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan
kebebasan, derajat, dan martabat Advokat”.
2) Keeping tightly secret information of client, diatur di dalam:
o Pasal 19 ayat (1) UU Advokat berbunyi “Advokat wajib
merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari
Kliennya karena hubungan profesinya kecuali ditentukan lain oleh
Undang-Undang”.
o Pasal 4 huruf h Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat wajib
memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh
klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah
berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu”.
3) Respect to client, diatur di dalam:
o Pasal 6 huruf c UU Advokat berbunyi “Advokat dapat dikenai
tindakan dengan alasan:
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan
pernyatan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum,
peraturan perundang-undangan, atau pengadilan.”
o Pasal 3 huruf h Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat dalam
menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak
namun wajib mempertahankan hak dan martabat Advokat”.
4) Entitle to reject a case, diatur di dalam:
o Pasal 3 huruf a Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat dapat
menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap
orang yang memerlukan jasa dan/atau bantuan hukum dengan
pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan
bertentangan dengan hati nuraninya, tetap tidak dapat menolak
dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku,
32
keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan
sosialnya”.
5) Having a personal integrity, diatur di dalam:
o Pasal 3 huruf b,c, dan g Kode Etik Advokat berbunyi:
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata
untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan
tegaknya hukum, kebeneran dan keadilan.
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri
serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan
hak-hak asasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat
sebagai profesi terhormat (officium nobile).
K. Hubungan-Hubungan yang Terjalin Antara Advokat dengan Klien dan
Teman Sejawat
1. Lawyer-Client Relationship
1) Protection of client diatur di dalam:
o Pasal 19 ayat (2) UU Advokat, berbunyi “Advokat berhak atas
kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas
berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksan dan
perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik
Advokat”.
o Pasal 4 huruf h dan I Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat wajib
memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh
klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah
berakhirnya hubungan antara Advokat dan Klien itu”.
o Pasal 3 huruf c Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat dalam
menjalankan profesiya adalah bebas dan mandiri serta tidak
dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak asasi
manusia dalam Negara Hukum Indonesia”.
2) No withdrawal from job handling of a client case without any
accountable reason, diatur di dalam:
33
o Pasal 10 ayat (1) UU Advokat, berbunyi “Advokat berhenti atau
dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
a. Permohonan sendiri;
b. Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan hukuman 4 tahun atau lebih;
c. Berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
o Pasal 4 huruf i Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat tidak
dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan keadanya pada saat
yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan
dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi
klien yang bersangkutan dengan tidak mengurangi ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 huruf a”.
3) No profit goals with client, diatur di dalam:
o Pasal 22 ayat (1) UU Advokat , berbunyi “Advokat wajib
memberikan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan
yang tidak mampu”.
o Pasal 3 huruf d Kode Etik Advokat, berbunyi “Dalam menentukan
besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan
kemampuan klien”.
4) No guarantee for win to client but guarantee for freedom to client, diatur
di dalam:
o Pasal 4 huruf c Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat tidak
dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang
ditanganinya akan menang”.
34
b) Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat
menyesatkan klien dengan perkara yang sedang diurusnya.
c) Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa
perkara yang ditanganinya akan menang.
d) Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib
mempertimbangkan kemampuan klien.
e) Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya
yang tidak perlu.
f) Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan
perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia
menerima uang jasa.
g) Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut
keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
h) Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang
diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap
menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat
dan klien itu.
i) Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan
kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau
pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak
dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3
huruf a.
j) Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau
lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan
kepentingan-kepentingan tersebut apabila dikemudian hari timbul
pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
k) Hak retetnsi advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan
menimbulkan kerugian kepentingan lain.
2. Lawyer-Lawyer Relationship
1) Keeping colleague’s reputation, respect and trust each other, diatur di
dalam:
35
o Pasal 5 huruf c Kode Etik Advokat berbunyi “Keberatan-Keberatan
terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan
Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan
untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media
massa atau cara lain”.
2) No cheating client from professional colleague, diatur di dalam:
o Pasal 5 huruf d Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat tidak
diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman
sejawat”.
3) Friend in job not enemy, diatur di dalam:
o Pasal 5 huruf a Kode Etik Advokat berbunyi “hubungan antara
teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati,
saling menghargai, dan saling mempercayai”.
4) Respect to colleague when client moving to, diatur di dalam:
o Pasal 5 huruf e Kode Etik Advokat berbunyi “Apabila klien hendak
mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat
menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian
kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien
untuk memunhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat
semula”.
Hubungan antara Advokat dengan teman sejawat selain yang telah
disebutkan di atas, berdasarkan Pasal 5 Kode Etik Advokat tentang Hubungan
dengan klien terdapat 11 bentuk hubungan antara lain:
a) Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap
saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.
b) Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan
satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak
menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan
maupun tertulis.
c) Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang
dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan
36
kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan
untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain.
d) Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien
dari teman sejawat.
e) Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang
baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti
pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan
berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya
apabila masih ada terhadap Advokat semula.
f) Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap
Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan
kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk
mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi
Advokat terhadap klien tersebut.
37
mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki oleh advokat dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya. Adapun hak-hak tersebut antara lain:
(1) Pasal 14 bahwa Advokat bebeas mengeluarkan pendapat atau
pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggng
jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada
kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pasal 15 bahwa Advokat bebas dalam menjalankan tugas
profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung
jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pasal 16 bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata
maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya denga itikad
baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.
(4) Pasal 17 bahwa dalam menjalankan profesinya Advokat berhak
memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya baik dari
instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan
kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan
kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Selain diatur di dalam pasal tesebut, hak imunitas juga diatur di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 50 bahwa orang yang melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak boleh dipidana.
Perihal hak imunitas advokat yang tertuang di dalam Pasal 16 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terdapat pembatasan.
Pembatasan terhadap pasal tersebut dilakukan melalui uji materiil oleh
Mahkamah Konstitusi yang mana dikeluarkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013. Para pemohon uji materiil Pasal 16 UU
Advokat mendalilkan bahwa dalam memberikan perlindungan kepada advokat
untuk tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan
tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan klien di dalam
persidangan padahal pemberian jasa hukum oleh advokat juga dilaksanakan di
luar pengadilan. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor
38
006/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004, mempertimbangkan, “UU Nomor
18/2003 Tentang Advokat adalah Undang-Undang yang mengatur syarat-
syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang
memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam
memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena
itu, tujuan Undang-Undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai
organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa
advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan
penyalahgunaan jasa profesi advokat”. Berdasarkan pertimbangan hukum di
atas, menurut Mahkamah, antara UU yang dimohonkan diuji oleh Pemohon
dengan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang dijadikan
salah satu argumentasi pemohon, terdapat perbedaan mengenai perlindungan
advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan profesinya. Perbedaan
dimaksud telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan
Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum
yang adil diantara kedua profesi tersebut.
Mahkamah melihat keadaan demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”. Keadaan tersebut juga bertentangan dengan prinsip negara
hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan
demikian menurut Mahkamah, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian
hukum, juga untuk mewujudkan keadilan bagi kedua profesi tersebut,
Mahkamah perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU Advokat harus
dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan
klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Dengan pendapat tersebut maka Mahkamah menyatakan, Pasal 16
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak
dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas
39
profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam
maupun di luar sidang pengadilan. Pengertian lebih luas dijabarkan oleh
Keputusan Mahkamah Konstitusi dengan tambahan frasa kata di luar Pengadilan
sehingga maksud dari itikad baik dalam menjalankan profesi harus ditafsir
sebagai:
(1) Advokat tidak boleh disamakan dengan kliennya
(2) Advokat tidak dapat dituntut perdata maupun pidana dalam
tugasnya.
(3) Secara teori Nisbi, seorang advokat dapat membuka rahasia jabatan
sangat tergantung pada konsidi yang dipertimbangkan secara rasio
itikad baik.
(4) Instrumen hak ingkar merupakan kewajiban hukum dalam jabatan
advokat dia hanya kalah jika undang-undang memanggil untuk
kewajiban memberi keterangan dimuka pengadilan.
(5) Berkaitan dengan proses penyidikan bagi Profesi Advokat
dilakukan pemaggilan melalui organisasi setempat.
Penerapan hak imunitas dalam membela kepentingan klien harus ditafsir
sebagai menjalankan tugas profesi yang dikaitkan dengan itikad baik untuk
mengukur benar atau salahnya perbuatan Advokat. Advokat tidak dapat
langsung diidentifikasikan secara subjektif sebagi telah melakukan perbuatan
kejahatan atau pelanggaran pidana sebagaimana yang telah dilakukan oleh
perbuatan kliennya.
40
pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi
Advokat. Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan
alasan:
41
Saat ini mengenai pengawasan terhadap penegakan tugas dan fungsi
advokat dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Advokat yang diatur di dalam
BAB IX Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Berdasarkan
Pasal 26 UU Advokat, Dewan Kehormatan Advokat memiliki beberapa tugas
dan fungsi yakni sebagai berikut:
42
(3) Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa pengaduan pada
tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat
terakhir.
(4) Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:
a. Dewan Pimpinan cabang/daerah dimana teradu sebagai
anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabag/Daerah.
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan
Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota.
c. Pengadu/Teradu
43
pemeriksaan dengan pemanggilan pihak-pihak terkait, proses selanjutnya
memasuki sidang yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 14 Kode Etik Advokat:
44
b. Menerima pengadan dari pengadu dan mengadili serta
menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu; atau
c. Menolak pengaduan dari pengadu.
(2) Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang
menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal Kode Etik yang
dilanggar.
(3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan suara
terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang terbuk dengan atau
tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan setelah
sebelumnya memberitahukan hari, tanggal, dan waktu persidangan
tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
(4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak
membuat catatan keberatan yang dilampirkan di dalam berkas
perkara.
(5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis
yang apabila berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal
mana tersebut disebut dalam keputusan yang bersangkutan.
45
mendapat sanksi peringatan keras masih mengulangi
melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana
dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan
merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat
yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan
terhormat.
(2) Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu
harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi advokat diluar
maupun dimuka pengadilan.
(3) Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara
untuk waktu tertentu dan/atau pemecatan keanggotan organisasi
profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan
dicatat dalam daftar Advokat.
(1) Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan permohonan
banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat.
(2) Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang
sifatnya wajib harus disampaikan melalui Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah dalam waktu 21 hari sejak tanggal yang
bersangkutan menerima salinan keputusan.
(3) Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima Memori
Banding yang bersangkutan selaku pembanding selambat-
lambatnya dalam waktu 14 hari sejak penerimaannya mengirimkan
46
salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya
selaku terbanding.
(4) Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding
selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari sejak penerimaan
Memori Banding.
(5) Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan
Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya
untuk itu.
(6) Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya
pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
(7) Dewan kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima
permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang
diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja
permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah
pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan
Pusat.
47
Pimpinan Pusat atau Organisasi profesi untuk memecat orang yang
bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi.
1) Contoh Kasus 1
Salah satu pelanggaran yang terjadi tampak dalam kasus Dr.
Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M. Dalam kasus tersebut terjadi
pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Advokat Indonesia khususnya
yang berkaitan dengan profesionalitas advokat dalam hal wewenang
advokat dalam menerima perkara. Permasalahan ini dimulai pada tahun
2002 di mana saat itu Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., menjadi
kuasa hukum pemerintah untuk melakukan audit terhadap keluarga
Salim, diantaranya yaitu perusahaan Sugar Group Company, tetapi pada
tahun 2006 Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M. malah beralih menjadi
kuasa hukum dari keluarga Salim dalam perkara buntut 6 penjualan aset.
Hal ini dianggap melanggar Kode Etik Profesi Advokat karena
semestinya advokat tidak boleh menjadi penasehat hukum dari kedua
belah pihak dalam perkara yang berbeda, dimana kedua belah pihak
adalah pihak yang sama. Perbuatan yang dilakukan oleh DR. Todung
Mulya Lubis,S.H., LL.M., dianggap melanggar Undang-Undang Nomor
18 tahun 2003 tentang Advokat yaitu pasal 4 ayat (2) mengenai Sumpah
Advokat dan pasal 6 mengenai alasan pemberian tindakan terhadap
Advokat. Selain melanggar Undang-Undang Nomor18 tahun 2003
tentang Advokat, DR. Todung Mulya Lubis , S.H., LL.M., juga
melanggar Kode Etik Advokat Indonesia yaitu pasal 3 huruf (b) dan
pasal 4 huruf (J) mengenai hubungan advokat dengan klien. Khusus
pasal 4 huruf (J) yang berbunyi :” Advokat yang mengurus kepentingan
bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya
dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian
hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang
bersangkutan”,dari isi pasal 4 huruf (J) Kode Etik Advokat Indonesia
dapat dilihat bahwa apa yang telah dilakukan oleh DR. Todung Mulya
48
Lubis,S.H., LL.M., memang telah melanggar Kode Etik Advokat
Indonesia, dalam dunia advokat hal ini sering disebut dengan istilah
conlict of interest. Setelah terbukti melanggar UndangUndang Nomor 18
tahun 2003 dan Kode Etik Advokat Indonesia DR. Todung Mulya Lubis
, S.H., LL.M., dijatuhi sanksi pemberhentian secara tetap dari advokat
oleh Dewan Kehomatan Kode Etik Profesi Advokat organisasi advokat
PERADI karena DR. Todung Mulya Lubis,S.H.,LL.M., merupakan
anggota dari organisasi advokat tersebut, kemudian DR. Todung Mulya 7
Lubis,S.H.,LL.M., mengajukan banding ke organisasi advokat KAI dan
beliau dijatuhi hukuman tidak dapat menjalankan profesi advokatnya
selama satu setengah bulan oleh Dewan Kehormatan Kode Etik Profesi
Advokat KAI.
2) Contoh Kasus 2
Dewan Kehormatan Daerah (DKD) Perhimpunan Advokat
Indonesia (Peradi) Jakarta memutus Fredrich Yunadi diberhentikan tetap
atau dipecat sebagai advokat. Dirinya dinyatakan terbukti bersalah
melanggar Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) karena menelantarkan
klien setelah menerima honorarium sebesar Rp450 juta.
Putusan ini dibacakan dalam sidang pembacaan putusan DKD
Peradi Jakarta Jumat (2/2) tadi di kantor Dewan Pimpinan Nasional
(DPN) Peradi Grand Slipi Tower lantai 11, Jl S.Parman Kav. 22-24,
Jakarta Barat 11480. Fredrich diadukan oleh pemilik Apartemen
Kemanggisan Residence, Kebon Jeruk, Jakarta Barat yang menggunakan
jasa Fredrich sebagai kuasa hukumnya.
Para klien yang merupakan konsumen unit di apartemen tersebut
menggunakan jasa Fredrich untuk mengurus upaya hukum praperadilan
dan laporan pidana terhadap pengembang apartemen. Saat itu,
pengembang Apartemen Kemanggisan dinyatakan pailit sehingga tidak
bisa melanjutkan pembangunan. Para calon pemilik yang telah
membayar lunas maupun mencicil pembelian melakukan upaya hukum
karena merasa dirugikan.
49
Nahas bagi mereka, setelah dijanjikan kemenangan dan
membayar honorarium advokat, Fredrich ternyata tidak memenuhi janji
manisnya. Segala cara untuk membuka komunikasi dengan Fredrich atas
nasib mereka ternyata berujung buntu. Fredrich susah dihubungi apalagi
ditemui. Akhirnya mereka mengadu kepada Dewan Kehormatan Peradi
dan dimulailah proses persidangan etik terhadap Fredrich. Ketua Majelis
Kehormatan yang menyidangkan Fredrich dipimpin oleh Alex Rasi
Wangge yang menjabat sebagai Sekretaris DKD Peradi Jakarta.
3) Contoh Kasus 3
Selain kasus DR.Todung Mulya Lubis,S.H.,LLM, kasus
pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia dilakukan oleh M. Assegaf,
SH dan Wirawan Adnan, SH di mana keduanya adalah Advokat yang
menjadi kuasa hukum dari Pollycarpus Budihari Priyanto dalam kasus
pembunuhan aktivis HAM Munir. M. Assegaf, SH dan Wirawan Adnan,
SH terbukti melanggar Pasal 7 huruf (e) Kode Etik Advokat Indonesia
yaitu : “ Advokat tidak dibenarkan mengajarkan dan atau mempengaruhi
saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau
oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana”. Kasus ini Kasus ini
bermula ketika M Assegaf dan Wirawan Adnan selaku tim kuasa hukum
Pollycarpus Budihari Priyanto pada 11 Agustus 2007 mengirimkan surat
kepada Kepala Badan Intelijen Negara untuk 8 mengklarifikasi
kebenaran pernyataan saksi agen BIN Raden Mohammad Padma Anwar
dalam kasus pembunuhan Munir. Keduanya juga meminta BIN
menjelaskan soal keterangan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra
Setyawan yang mengaku pernah menerima surat dari BIN untuk
menugaskan Pollycarpus ke bagian pengamanan dalam penerbangan
Munir ke Belanda. Surat itu dinilai sebagai usaha mempengaruhi Raden
Mohammad Padma Anwar karena secara struktural Raden adalah
bawahan Kepala BIN, oleh sebab itu Dewan Kehormatan Peradi DKI
Jakarta menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada M. Assegaf, SH dan
Wirawan Adnan, SH.
50