Anda di halaman 1dari 3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Identifikasi dan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
A. Definisi Identifikasi
Identifikasi merupakan kegiatan awal yang mendahului proses
asesmen. Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan sebagai
menemukan atau menemukenali. Lebih lanjut identifikasi adalah kegiatan
mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai sebagai proses penjaringan
atau proses menemukan kasus yaitu menemukan anak yang mempunyai
kelainan/masalah, atau proses pendeteksian dini terhadap anak berkebutuhan
khusus. Dalam hal ini identifikasi dimaksudkan sebagai usaha seseorang
(orang tua, masyarakat, maupun tenaga kependidikan) untuk mengetahui
apakah seorang anak mengalami kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional,
dan sensoris neurologis dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal).
Marendra (2003) berpendapat setelah dilakukan identifikasi dapat
diketahui kondisi seseorang anak, apakah pertumbuhan dun
perkembangannya mengalami kelainan atau tidak. Bila mengalami kelainan,
dapat diketahui pula apakah anak tergolong gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran dan bicara, gangguan intelektual, gangguan fisik, gangguan
emosi dan perilaku, lamban belajar, mengalami kesulitan belajar spesifik,
autis, berbakat, ADHD (Attention Deficit Hyperactifity Disorders) atau
gangguan perhatian dan hiperaktif.
Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih
menekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong
anak berkebutuhan khusus atau bukan. Menurut Scot Danforth (2006), dalam
pelaksanaan identifikasi biasanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang
dekat (sering berhubungan/bergaul] dengan anak. seperti orang tuanya,
pengasuh, guru dan pihak lain yang terkait dengannya. Setelah dilakukan
identifikasi langkah selanjutnya, yang sering disebut asesmen, dan bila
diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog,
neurolog, orthopedagog, therapis, dan tenaga ahli lainnya.

B. Definisi Asesmen
Istilah asesmen berasal dari Bahasa Inggris yaitu assessment yang
berarti penilaian suatu keadaan. Penilaian yang dimaksud dalam hal ini
berbeda dengan evaluasi. Apabila evaluasi dilaksanakan setelah anak itu
belajar dan bertujuan untuk menilai keberhasilan anak dalam mengikutl
pelajaran, maka asesmen tidak demikian. Menurut Lerner (1998), dalam
asesmen penilaian dilakukan pada saat anak belum diberikan pelajaran atau
setelah dari hasil deteksi ditemukan hahwa ia diperkirakan anak berkebutuhan
khusus. Asesmen bukan pula tes, bukan tetapi tes merupakan bagian dari
asesmen.
Sejalan dengan uraian sebelumnya, menurut Marnat, G. [2003]
mendefinisikan asesmen sebagai berikut: Assessment refers to the gathering
of relevant information to help an individual make decisions. Assessment in
educational settings is a multifaceted process that involves for more than the
administration of a test. Uraian tersebut menjelaskan bahwa asesmen
merupakan usaha untuk menghimpun informasi yang relevan guna
memahami atau menentukan keadaan individu. Dalam bidang pendidikan
asesmen merupakan berbagai proses yang rumit untuk lebih melengkapi hasil
dari tes yang diberikan kepada siswa.
Pada sisi lain Marnat, G. (2003) berpendapat, dalam proses asesmen
terdapat empat aspek pertanyaan penting yang harus diungkap terkait dengan
kondisi seorang individu yaitu (a) kemumpuan atau keterampilan apa yang
sudah dimiliki. (b) hambatan atau kesulitan apa yang dialami, (c) mengapa
hambatan atau kesulitan itu dialami, (d) kebutuhan-kebutuhan (dalam hal
pendidikan dan belajar) apa yang seharusnya dipenuhi.
Hays, P. A. (2007) mendefinisikan asesmcn sebagai proses
pengumpulan informasi tentang kondisi seorang anak yang akan digunakan
untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan anak
tersebut. Tujuan utama dari asesmen adalah untuk memperoleh informasi
yang dapal digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan
program pembelajaran bagi anak yang bersangkutan.
Pendapat Lerner (1998), asesmen adalah proses penilaian, pengukuran
dan/atau screening terhadap anak untuk mendapatkan informasi mengenai
aspek-aspek perkembangan dan perilaku anak bcrdasarkan kriteria tertentu
sehingga dapat dilakuknn diagnosis dan intervensi secara tepat sesuai
kebutuhannya. Dalam uraian ini kegiatan asesmen merupakan tindak laniut
dari kegiatan identifikasi. Kegiatan asesmen dilakukan untuk mendapatkan
informasi yang lebih rinci, mendalam dan terukur, tentang aspek tertentu dari
anak berkebutuhan khusus. Mcnurut Hays, P. A, (2007) aspek yang
menentukan asesmen diantaranya dapat mencakup: (a) kecerdasan; (b)
kepribadian; (c) persepsi; (d) kematangan; (e) emosi; (f) bahasa; (g) motorik
(h) prestasi akademik dan non akademik; (i) aspek lain sesuai keperluan.
Menurut Salvia dan Ysseldyke seperti dikutip oleh Lerner (1988:54)
dalam Dr. Mulyono Abdurrahman (1995), dalam kaitannya dengan upaya
penanggulangan kesulitan belajar, asesmen dilakukan untuk lima keperluan,
yaitu untuk (1) penyaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referral), (3)
klasifikasi (classification), (4) perencanaan pembelajaran (instructional
planning), dan (5) pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress).
Karena sifatnya lebih rinci, mendalam dan terukur, maka alat yang
digunakan dalam asesmen lebih terstandar dibandingkan dengam alat yang
digunakan dalam identifikasi. Kegiatan asesmen biasanya dilakukan oleh
tenaga profesional yaitu mereka yang memiliki kualifikasi, kompetensi dan
kewenangan khusus untuk pelaksanaan asesmen. Diantaranya adalah
psikolog, ortopedagog. dokter, terapis dan ahli lain.

Anda mungkin juga menyukai