216
217
sumur gas memiliki andil yang cukup penting dalam perencanaan pengembangan
lapangan gas.
6.2 Kontrak Gas (Gas Sales Contract)
Gas sales contract adalah suatu dokumen legal antara penjual yang
memiliki hak untuk menjual gas yang diproduksi dari lapangan gas tertentu dan
pembeli yang membeli gas dalam jumlah yang besar. Biasanya pembeli juga
mentransportasikan gas dalam pipeline system. Isi dari kontrak gas dapat
bermacam-macam, isi dari kontrak biasanya adalah prinsip utama yang akan
dipaparkan disini.
6.2.1 Lapangan
Kontrak lapangan dalam hal ini adalah mengenai luas area lapangan yang
telah disetujui untuk di eksploitasi yang tercatat dalam kontrak. Lapangan perlu di
catat dalam kontrak untuk kepentingan informasi mengenai faktor ekonomi
apabila ingin merawat atau membor ulang sumur-sumur tua atau mengusulkan
pengeboran sumur baru pada area yang sudah disetujui. Apabila luas area diluar
luas yang tertera dalam kontrak.
6.2.2 Kuantitas dan laju alir
Dasar ketentuan kontrak adalah kuantitas gas yang akan dijual dan rate
pada sales point, kualitas gas dan harga. Ketentuan kontrak dapat berubah-ubah
dalam hal kuantitas gas yang diambil dalam periode waktu tertentu disesuaikan
dengan porsi recoverable reserve di lapangan. Laju alir gas per hari yang diambil
berbeda-beda dari hari ke hari, namun pembeli dapat mengambil laju alir gas
rata-rata harian dalam suatu periode waktu biasanya tahun. Dalam kasus
sebenarnya, sumur-sumur kontraktor tidak dapat memenuhi ketentuan dari
kontrak karena rate gas yang berbeda-beda per harinya, sehingga diambil laju alir
rata-rata dengan batas maksimum dan minimum yang tetap dikontrol sehingga
kuantitas gas tetap memenuhi kebutuhan pembeli.
Dalam hal ini, engineer bertanggung jawab terhadap performance sumur
dan harus dapat mengetahui detail dari kontrak atau laju alir yang dioerbolehkan
dari produksi yang sudah ditentukan.
218
Gambar 6.1
Hubungan Pr vs t , Gp vs t, qsc vs t
(Doddy Abdasah, “Teknik Eksploitasi Gas Bumi”, 1993)
1. Media berpori
2. Gravel pack atau perforasi
3. Choke di dasar sumur
4. Tubing
5. Subsurface safety valve (SSSV)
6. Choke di permukaan
7. Well flowline
8. Separator
9. Aliran dari kompresor ke pipa dan ke konsumen
10. Tekanan di konsumen
Meskipun komponen-komponen dari sistem produksi dapat dianalisa
secara terpisah, dalam menentukan kinerja dari suatu sistem produksi gas alam,
223
semua itu harus dikombinasikan menjadi suatu sistem terpadu atau yang disebut
analisis nodal. Hal ini diselesaikan pada saat awal dengan membagi sistem nodal
menjadi dua subsistem dan menentukan pengaruh yang dibuat oleh satu atau
kedua subsistem tersebut terhadap kinerja produksi. Pemilihan titik lokasi atau
node tergantung dari tujuan analisis. Sebagai contoh, jika pengaruh dari
subsurface safety valve akan dianalisa, sistem akan dibagi pada SSSV. Gambar
6.3 mengilustrasikan titik-titik atau node yang sering digunakan dalam pembagian
tersebut.
224
Gambar 6.2.
Penurunan Tekanan Pada Sistem yang Lengkap
(Beggs, Dale. H; “Gas Production Operations”.1984)
Gambar 6.3.
Lokasi Pada Berbagai Titik-titik Atau Node
(Beggs, Dale. H; “Gas Production Operations”.1984)
225
Prosedur analisis sistem ini, pertama memilih titik (node) dan menghitung
tekanan pada titik tersebut, dimulai pada tekanan konstan pada sistem tersebut.
Tekanan konstan ini biasanya PR dan yang lain adalah Pwh atau Psep. Penjelasan
untuk aliran yang masuk titik (node) dan yang keluar dari titik dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Inflow : Pinlet - ∆P (upstream components) = Pnode
Outflow : Poutlet + ∆P (downstream components) = Pnode
Pada beberapa kasus Pinlet = PR dan Poutlet = Psep atau Pwh. Dua kriteria yang harus
dipenuhi adalah :
Aliran yang masuk ke dalam titik sama dengan aliran yang keluar dari titik.
Hanya satu tekanan yang terdapat pada titik untuk satu laju alir.
Mendapatkan laju alir dan tekanan yang sesuai dengan persyaratan
sebelumnya dapat diselesaikan secara grafik dengan memplot laju alir terhadap
tekanan pada titik pembagian atau node untuk setiap subsistem. Perpotongan dari
kurva infow dan outflow memberikan harga laju alir (kapasitas aliran) yang sesuai
dengan persyaratan bahwa laju alir inflow sama dengan laju alir outflow.
Pada penulisan ini hanya akan dibahas pengaruh ukuran tubing dan flowline,
pengaruh tekanan separator, dan pemilihan kompresor.
6.4.1 Pengaruh Ukuran Tubing Dan Flowline
Ukuran dari pipa pada sumur akan mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap kapasitas aliran dari sumur tersebut. Dalam banyak kasus, hal ini
menyebabkan sumur berproduksi dengan laju alir yang rendah sedangkan
reservoir mempunyai kapasitas cukup untuk memproduksi lebih banyak gas.
6.4.1.1.Tekanan Kepala Sumur Konstan
Kasus sederhana yang akan dibicarakan adalah tekanan kepala sumur
konstan. Kasus ini mungkin terjadi jika jarak antara kepala sumur dan separator
cukup dekat. Untuk kejadian ini, pembagian dilakukan didasar sumur yaitu di
node 6 (lihat gambar 6.3).
Persamaan untuk inflow dan outflow adalah :
Inflow : PR - ∆Pres = Pwf
226
4. Plot antara Pwf terhadap qsc pada grafik yang sama dengan grafik hasil dari
langkah 2, perpotongan antara kedua kurva tersebut memberikan harga
kapasitas aliran dan Pwf untuk ukuran tubing yang digunakan.
Untuk menentukan pengaruh dari ukuran tubing, langkah 3 dan 4 dapat diulang
untuk ukuran tubing yang lainnya.
Pengaruh dari Ptf juga dapat ditentukan dengan mengulangi langkah 3 dan
4 untuk Ptf lainnya. Untuk kasus ini, terdapat dua subsistem yang berinteraksi,
yaitu :
Reservoir.
Tubing ditambah tekanan di kepala sumur.
6.4.1.2. Tekanan Kepala Sumur Tidak Konstan
Apabila suatu sumur dilengkapi dengan flowline yang panjang, ukuran
dari flowline akan mempengaruhi kapasitas alir dari sistem tersebut. Ketika
pengaruh dari ukuran flowline diperhitungkan, ini sering digunakan untuk
membagi sistem pada wellhead menjadi dua subsistem :
Reservoir ditambah tubing
Flowline ditambah tekanan di separator
227
2 2 25 γ g q 2 T̄ Z̄ fL
p1 − p 2 =
d5 atau
( )[ ]( )
a2 a3
Tb P 1 −P2 2 2
1 a4
a
q g =a1 E . D 5
Pb TLZ γg
4. Buat plot antara Psep terhadap qsc dan tentukan harga kapasitas alir pada
berbagai harga dari Psep.
6.4.3. Pengaruh Penurunan Tekanan Reservoir Rata-rata
Analisa yang telah dikemukakan sebelumnya dilakukan pada tekanan
reservoir
(Pr) konstan. Ketika gas diproduksikan pula, Pr akan menurun sehingga
kemampuan dari sistem total akan menurun pula. Untuk menjaga agar produksi
gas tetap konstan, maka tekanan alir dasar sumur, Pwf, harus diturunkan.
Kurva Inflow Performance untuk penurunan tekanan reservoir rata-rata,
Pr, ditunjukkan pada Gambar 6.4. Penurunan kapasitas alir untuk sistem pipa
ditentukan dari plot kinerja sistem pipa pada grafik yang sama. Perpotongan dari
kurvakurva tersebut memberikan kapasitas alir sebagai fungsi waktu dengan
menurunnya tekanan reservoir rata-rata.
229
Gambar 6.4.
Kurva Inflow Performance untuk Penurunan p r
(Doddy Abdasah, “Teknik Eksploitasi Gas Bumi”, 1993)
dapat kita katakan bahwa reservoir akan berproduksi pada rate yang melebihi
kapasitas peralatan.
Gambar 6.5.
Contoh Hubungan Reservoir Dengan Kapasitas Peralatan
( Chi U. Ikoku, Natural Gs Reservoir Engineering .1959)
setiap rate lain kapasitas sumur berproduksi dibatasi oleh kapasitas reservoir dan
peralatan.
Pemasok peralatan dapat menyediakan kapasitas separator, dehidrator, dan
bagian-bagian peralatan lain. Disini hanya akan membahas metode prediksi
kapasitas peralatan-peralatan pipa, dan kompressor berhubungan dengan peralatan
produksi pada seksi ini.
6.5.1. Kapasitas Tubing
R.V. Smith mengambil suatu persamaan untuk aliran vertikal gas pada
tubing yang serupa dengan persamaan Weymouth untuk aliran horizontal :
[ ]
0,5
D 5 ( Pwf 2 −e 5 Ptf 2 ) s
q=200000 − −−
γ g T z f H ( e 5−1 )
………………………………(6- 1 )
dimana :
q = laju alir gas, scfd, diukur pada 14.65 psia dan 600F
−
z = faktor deviasi gas pada temperatur rata-rata aritmatik dan tekanan rata-rata
aritmatik
−
T = temperatur dasar sumur dan kepala sumur rata-rata aritmatik, 0R
−
f = factor friksi Moody pada tekanan dan temperatur rata-rata aritmatik
γg = SG gas (udara=1)
D = diameter string, in.
Pwf= tekanan alir dasar sumur, psia
Ptf = tekanan alir kepala sumur, psia
− − − −
s = 2 γgH/53,34 T z = 0,0375 γgH/ T z
H = perbedaan elevasi antara Ptf dan Pwf, ft
Kapasitas tubing untuk mengalirkan fluida dengan laju alir yang optimum
dapat ditentukan berdasarkan total analisis atau nodal analisis, dimana dengan
menggunakan nodal analisi maka kita dapat menentukan performance sumur.
232
( )
0 , 5394
P 2 −P
( ) ( )
1 , 07881 0, 4606
Tb 1 22 1
q=435 , 87 E D 2, 6182
Pb − γg
TL z ...........................(6-2)
dimana :
E = faktor effisiensi pipeline
Efek dari parameter-parameter design berhubungan pada pemilihan string
produksi, sistem gathering, fasilitas kompressor, dan pipeline dapat ditentukan
dengan menghitung kelakuan sistem pada berbagai kombinasi dari parameter-
parameter yang diinginkan.
[ ]
16 /3 0,5
18 , 062 T b ( P12 −P2 2 ) D
q h=
Pb −
γ g TL z
......................................(6-3)
[ ]
16 /3 0,5
433 , 49 T b (P1 2 −P 22 )D
q=
Pb −
γ g TL z
........................................(6-4)
dimana :
D = ID line, in
Tb,T = temperatur dasar dan alir, 0R
Pb,P1,P2 = tekanan dasar dan tekanan pada titik 1dan2, psia
γg = SG gas
L = panjang flowline, mi
−
z = z rata-rata antara P1 dan P2 dan temperatur T
234
1. Dimulai dari PR, tentukan Psep untuk berbagai harga qsc menggunakan
prosedur dalam menentukan pengaruh tekanan separator.
2. Memplot antara Psep dengan qsc.
3. Dimulai dari tekanan yang dibutuhkan konsumen, tentukan tekanan yang
keluar dari kompresor, Pdis, untuk berbagai harga laju alir.
4. Memplot antara Pdis terhadap qsc pada grafik yang sama yang digunakan
pada step 2. Perpotongan antara kedua kurva tersebut memberikan
kapasitas aliran atau deliverability untuk sistem yang tidak menggunakan
kompresor.
5. Memilih harga qsc dan tentukan harga Pdis, Psep dan ∆P = Pdis – Psep untuk
setiap qsc.
6. Menentukan perbandingan kompresi, r = Pdis / Psep dan power kompresor
yang diperlukan dengan menggunakan persamaan berikut :
3. 027 Psc T 1 k Z1 ( k−10 /k
w= (r −1 )
T sc (k−1 )
[( ) ]
Zsuc( k −1 )/k
hp 3, 027 Pb k Pdis
= Tsuc −1
MMscfd Tb k−1 Psuc …..........................(6-34)
dimana :
k = Cp/Cv, gas pada kondisi suction
Zsuc = faktor deviasi gas pada kondisi suction
Pb = tekanan dasar, psia
Tb = temperatur dasar, 0R
Tsuc = temperatur suction, 0R
237
( hp /MMscfd ) ( q )
BHP=
E …................................................................(6-35)
dimana :
q = laju alir gas, MMscfd
E = effisiensi total
6.7. Perencanaan Titik Serap, Penentuan Spasi Sumur dan Jumlah Sumur
Penentuan penyebaran titik serap merupakan rangkaian dari kegiatan
eksploitasi reservoir yang dilakukan setelah terbukti bahwa cadangan hidrokarbon
yang dikandungnya mempunyai arti ekonomis, atau dengan kata lain lapangan
tersebut menguntungkan (komersial). Tujuan dari penyebaran titik serap adalah
untuk mendapatkan perolehan (recovery) hidrokarbon yang berupa gas yang
sebesar-besarnya dengan jumlah sumur seminimal mungkin serta rate produksi
yang optimum. Jumlah sumur juga mempengaruhi besarnya development cost.
Semakin banyak sumur yang dibor maka biaya yang dibutuhkan juga semakin
besar, namun revenue return dari proyek akan lebih cepat. Disisi lain, lebih sedikit
sumur yang dibor, maka biaya yang dibutuhkan akan semakin sedikit namun
revenue return dari proyek juga akan semakin lama. Maka dari itu, penentuan
jumlah sumur perlu diperhitungkan agar mendatangkan keuntungan yang realistis
bagi perusahaan.
Gambar 6.6.
Kenampakan Vertikal dari Isopach Map
(Donald. L Katz, Handbook of Natural Gas Engineering, 1959)
Gambar 6.7.
Contoh dari Net Oil Isopach Map
(Donald. L Katz, Handbook of Natural Gas Engineering, 1959)
b. Penyebaran Formasi Produktif
240
Air, minyak dan gas akan diserap oleh batuan (formasi) yang porous. Dalam
akumulasinya, penyebaran hidrokarbon sebagian dikontrol oleh gaya gravitasi dan
tekanan kapiler. Gaya gravitasi akan menyebabkan fluida reservoir yang
densitasnya kecil cenderung terperangkap pada bagian atas dan sebaliknya,
sedangkan tekanan kapiler mempunyai kecenderungan fluida yang membasahi
(wetting fluid) masuk dalam pori-pori (mendesak) fluida yang tidak membasahi
(non wetting phase) dan juga dapat menghambat gaya gravitasi dalam pemisahan
antar fluidanya.
Gambar 6.8.
Ilustrasi Penyebaran Hidrokarbon didalam Reservoir
(Donald. L Katz, Handbook of Natural Gas Engineering, 1959)
Pada gambar 6.8 menunjukkan adanya kemungkinan 3 tipe akumulasi gas, yaitu :
depletion gas, assosiated gas, dan non assosiated gas.
Pada gambar A merupakan suatu akumulasi yang hanya terdiri dari gas.
Gas terletak paling atas dan air dibawahnya dengan zona transisi gas-air.
Dijumpai adanya air konat, pada kondisi ini, gas disebut non-assosiated dan tidak
dijumpai adanya akumulasi minyak. Pada gambar B merupakan kondisi jebakan
hanya terdapat minyak dan air. Minyak terdapat dibagian atas dan air dibawah
biasanya disebut air konat, pada kondisi ini gas hanya merupakan fasa terlarut
241
dalam minyak. Pada gambar C merupakan suatu akumulasi dimana minyak dan
gas berada secara bersama-sama. Natural gas menempati posisi teratas dari
jebakan dan membentuk gas cap, minyak ditengah kemudian paling bawah adalah
air. Disini terdapat zona transisi antara gas-minyak dan minyak-air. Dalam kondisi
ini, akumulasi natural gas adalah meliputi gas cap dan gas terlarut didalam
minyak.
( )
1/2
kt
r e = 0 ,00105
μφ ct
...........................................................................(6-7)
Dimana :
re = jari-jari penyerapan, ft
k = permeabilitas formasi, md
t = waktu alir, jam
μ = viskositas fluida, cp
Ø = porositas, fraksi
Ct = kompressibilitas total, psi-1
Sw = Saturasi air, fraksi
re =
√ 0, 00633 . K . dt
f . μo .c t .t De .......................................................................................... (6-
8)
243
dimana :
dt = waktu shut-in bila tekanan statik tercapai atau tekanan waktu shut-in
terakhir bila kestabilan tekanan statik tidak tercapai, hari
tDe = waktu shut-in, tanpa dimensi
= 0,28; bila tekanan statik tercapai
= 0,18; bila tekanan statik tidak tercapai
Sebenarnya hasil perhitungan akan lebih representatif bila tekanan statik
bisa dicapai, tetapi hal ini tentu saja memerlukan waktu shut-in yang lama,
dimana sering kali tidak mungkin dilakukan karena merugikan produksi.
b. Cara Matthews, Brons, dan Hazenbroek
Dalam penentuannya, Matthews dan kawan-kawan membuat grafik-grafik
untuk berbagai macam areal penyerapan yang disebut dengan grafik yang disebut
“Pressure Function”, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. Grafik tersebut
merupakan plot antara :
2,3 ( P −P )
− −
¿ ¿
P −P
PD , MBH = =
70 ,6 qμB/kh m ...................................................(6-9)
Versus :
0 , 0002637 kt
t DA =
μφ ct A ..............................................................................(6-10)
Dimana :
PD ,MBH = dimensionless pressure MBH, dari pembacaan grafik pressure function
tDA = dimensionless time, dari pembacaan grafik pressure function
P* = tekanan statik ekstrapolasi, psi
−
P = tekanan rata-rata, psi
m = kemiringan garis (slope), psi/cycle
k = permeabilitas formasi, md
h = ketebalan formasi, ft
Ct = kompressibilitas total, psi-1
Ø = porositas, fraksi
244
( )
1/2
5,615Vp
re =
φh .................................................................................(6-11)
Dimana Vp adalah volume pori dari sumur yang diuji.
6.6.1.3.3 Jari-jari Penyerapan Untuk Sumur Yang Telah Ada Interferensi
Untuk titik-titik serap yang sudah ada interferensi, jari-jari pengurasannya
ditentukan dengan metode perkiraan. Besarnya dipengaruhi oleh laju produksi
harian dan jarak antar titik serap. Apabila jarak antar titik serap A dan B adalah d,
kemudian laju produksi harian masing-masing titik serap qA dan qB, maka jari-
jari pengurasannya adalah :
qA . d
Jari-jari pengurasan A : reA = q A + qB ..........................................(6-12)
qB . d
Jari-jari pengurasan B : reB = q A + qB ...........................................(6-13)
daerah yang harus dikuras oleh sumur sehingga diperoleh keuntungan yang
maksimum.
Besarnya spasi sumur tergatung pada perkembangan jari-jari
penyerapannya, dimana jarak antar sumur penyerapannya tidak boleh lebih besar
dari dua kali jari-jari penyerapan efektif. Secara fisis sebenarnya persoalan spasi
sumur adalah mencari hubungan antara factor-faktir yang beroengaruh terhadap
efisiensi pengaliran minyak dari suatu titik penarikan ke sumur produksi.
Hubungan ini mencakup beberapa factor seperti : sifat-sifat lithologi batuan
reservoir, struktur geologi, tingkat heterogenitas dan mekanisme pendorong.
b. Struktur Geologi
Struktur geologi dapat mempengaruhi akumulasi hidrokarbon dan cara
memproduksinya, sehingga hal ini perlu dimasukkan sebagai salah satu
246
Air akan cepat merembes untuk menggantikan ruang dalam batuan yang
ditinggalkan hidrokarbon tetapi air tersebut tidak menggenangi sisipan lapisan
yang kurang permeabel. Pada keadaan ini dianjurkan untuk menggunakan spasi
sumur yang rapat untuk menghasilkan prosentasi perolehan yang lebih besar.
Beberapa ahli meneliti pengaruh spasi lebar pada reservoir-reservoir yang
batuannya sangat bervariasi dalam teksturnya, lensa-lensa batu pasir dengan
permeabilitas tinggi disisipi oleh pasir serpihan yang mempunyai permeabilitas
sangat rendah tetapi semua bagian reservoir dapat disaturasi oleh fluida
hidrokarbon. Bila mana sumur-sumur yang dimaksudkan dibor maka fluida yang
terdapat dalam pori yang lebih permeabel dengan cepat dapat terkuras, sedangkan
pada pori yang kurang permeabel pengurasannya akan kurang berarti. Air akan
cepat merembes untuk menggantikan ruang dalam batuan yang ditinggalkan
hidrokarbon tetapi air tersebut tidak menggenangi sisipan lapisan yang kurang
permeabel. Pada keadaan ini dianjurkan untuk menggunakan spasi sumur yang
rapat untuk menghasilkan prosentasi perolehan yang lebih besar.
Pada reservoir yang daerahnya terisolasi satu sama lain, akibat adanya
gejala ketidak teraturan pada batuan reservoir, terjadi hambatan aliran bebas
fluida di seluruh bagian reservoir, sehingga sumur-sumur apabila dispasi pada
jarak yang lebar-lebar tidak dapat menguras daerah tersebut. Spasi sumur yang
rapat akan memberikan jaminan bagi perolehan hidrokarbon yang lebih tinggi.
c. Heterogenitas Reservoir
Variasi sifat-sifat fisik batuan dan fluida reservoir sangat mempengaruhi
perencanaan spasi sumur suatu lapangan. Variasi sifat-sifat fisik batuan dan fluida
reservoir ini akan berpengaruh pada besarnya spasi sumur. Tingkat heterogenitas
yang tinggi menyebabkan pola spasi sumur tidak teratur.
d. Mekanisme Pendorong.
L.C. Uren membagi mekanisme pendorong reservoar yang berpengaruh dalam
perencanaan dan penentuan titik serap, menjadi :
Hydraulic control reservoir (reservoar dengan mekanisme pendorong air)
Volumetric control reservoir (reservoar dengan mekanisme pendorong gas)
248
Pada umumnya pola spasi sumur yang biasa digunakan dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu pola spasi sumur teratur dan pola spasi sumur tidak
teratur.
6.7.2.2.1. Pola Spasi Sumur Tidak Teratur
Spasi sumur yang tidak teratur dilakukan jika struktur dan stratigrafi yang
ada pada suatu lapangan kompleks dan mempunyai tingkat heterogenitas tinggi,
sehingga tidak memungkinkan dilaksanakan pola spasi sumur yang teratur. Jadi
pada prinsipnya pola spasi sumur tidak teratur adalah pola spasi sumur yang tidak
mengikuti suatu bentuk tertentu yang teratur.
6.7.2.2.2. Pola Spasi Sumur Teratur
Spasi yang teratur dilakukan jika struktur dan stratigrafi yang ada pada
suatu lapangan/ reservoar tidak kompleks, dan tingkat heterogenitasnya rendah,
atau dianggap seragam.
Pengaturan sumur-sumur secara geometri biasanya menempatkan sumur-
sumur tersebut pada deretan yang melintasi daerah penyerapan dengan jarak yang
sama, sehingga semua bagian dari reservoir dikuras secara merata. Oleh karena itu
secara geometris daerah penyerapan dapat dibagi menjadi :
1. Bentuk Bujur Sangkar dengan Empat Sumur.
Spasi sumur berbentuk bujur sangkar ini menganggap bahwa fluida akan
bergerak menuju ke sumur paling dekat sehingga daerah penyerapannya akan
berbentuk bujur sangkar pula. Luas daerah yang harus memberikan pengaliran
kepada sumur ditentukan dengan menggunakan persamaan :
S2
a=
43560 .....................................................................................(6-14)
Dimana :
a = luas daerah yang harus memberikan pengaliran kepada sumur, acre
S = Jarak antar sumur, ft
Pola spasi bujur sangkar ini ditunjukkan pada Gambar 6.9. Berdasarkan gambar
tersebut diperoleh kesimpulan bahwa jarak tempuh fluida reservoir dari titik sudut
dan titik sisi-sisinya berbeda. Oleh karena itulah dipakai istilah daerah penyerapan
250
Gambar 6.9.
Spasi Sumur Berbentuk Bujur Sangkar
(Sutarto Agus R, Kolokium “Perencanaan Eksploitasi Reservoir Gas” , 1994)
2. Bentuk Segi Tiga dengan Tiga Buah Sumur.
Tiga sumur ini membentuk segi tiga sama sisi, sehingga keadaan tersebut
diharapkan akan memberikan daerah penyerapan yang berbentuk segi enam
hexagonal. Dan luas daerah yang harus memberikan pengaliran kepada sumur
ditentukan dengan persamaan
Gambar 6.10.
Spasi Sumur Berbentuk Segitigas Sama Sisi
(Sutarto Agus R, Kolokium “Perencanaan Eksploitasi Reservoir Gas” , 1994)
Hubungan antara pola spasi sumur dengan jari-jari pengurasan dapat dilihat pada
Tabel 5-1
Tabel VI-1
Hubungan antara spasi sumur dengan jari-jari penyerapan
(Uren,1956)
Jarak antar Luas Daerah Penyerapan Jari-jari penyerapan efektif, ft
sumur, ft (acre per sumur)
Bujur sangkar Segi tiga Bujur sangkar Segi tiga
300 2,07 1,79 191 179
400 3,67 3,18 255 238
500 5,74 4,97 319 298
600 8,26 7,16 382 359
660 10,00 8,66 420 393
700 11,20 9,74 446 417
800 14,70 12,70 510 476
900 18,60 16,10 573 536
1000 23,00 19,90 637 595
1100 27,80 24,10 701 655
1200 33,10 28,60 764 714
1300 38,80 33,60 828 774
1320 40,00 34,60 841 785
1400 45,00 39,00 892 833
1500 51,70 44,80 956 893
1600 58,80 50,90 1019 952
1700 66,30 57,40 1083 1012
1800 74,40 64,40 1147 1071
Pada perhitungan spasi sumur ada beberapa teori yang dapat digunakan, yaitu :
Persamaan Darcy, Persamaan Volumetrik, Penentuan berdasarkan isochronal test
dan Penentuan berdasarkan hubungan produksi dan differential pressure
1. Persamaan Darcy
Bila sumur sudah mulai diproduksikan dan data reservoar sudah diketahui,
maka penentuan spasi sumur dapat dilakukan secara pendekatan Darcy, dimana
pola aliran radial adalah pola yang paling umum digunakan dalam pendekatan
persamaan bentuk aliran radial.
kh ( P r −Pwf )
−
−6 2 2
703×10
q=
T (μz )avg ln ( r e /r w )
….....................................................(6-18)
dimana :
q = laju alir, Mscfd
h = tebal lapisan produktif, ft
−
Pr = tekanan statik reservoir, Psi
Pwf = tekanan alir dasar sumur, Psi
re = jari-jari pengurasan, ft
rw = jari-jari sumur, ft
k = permeabilitas, darcy
= viskositas gas, cp
z = faktor deviasi gas
Setelah diketahui besarnya jari-jari pengurasan, maka dapat ditentukan jarak
(spasi) antar sumurnya, dimana jarak antar sumur yang sering digunakan adalah
merupakan kelipatan dua dari jari-jari pengurasannya. Persamaan yang
menyatakan hal tersebut adalah :
S = 2 x re….......................................................................................................(6-19)
2. Persamaan Volumetrik
Persamaan volumetrik dapat juga dijadikan acuan untuk penentuan jari-jari
pengurasan sumur. Dimana data-data yang dibutuhkan didapatkan dari data
produksi, log, PVT serta analisa core.
253
43560Vb φ (1−Swc )
G=
Bgi .....................................................................(6-20)
Vb = A x h.............................................................................................(6-
21)
dimana :
G = cadangan gas mula-mula ditempat, scf
Vb = bulk volume reservoir, Acre-ft
Ф = porositas batuan reservoir, %
Swc = saturasi air conate, %
Bgi = faktor volume formasi gas, cuft/scf
43560 = konversi dari acre-ft ke cuft
Dengan menganggap areal pengurasan berbentuk lingkaran, maka luas
areal pengurasan A = re2/43560 ft2, sehingga re dapat dihitung dengan pendekatan
sebagai berikut :
√
G. B gi
3 , 14 hϕ ( 1−S wc )
re = …......................................................................(6-22)
[ ]
rd 1
ln
rw
C2 =C 1
rd 2
ln
rw
…...............................................................................(6-23)
254
q
C=
( P −Pwf )
− n
2
r2 …..........................................................................(6-24)
Dimana :
rd1 = jari-jari pengurasan sumur kasus 1, ft
rd2 = jari-jari pengurasan sumur kasus 2, ft
rw = jari-jari lubang sumur, ft
C1 = koefisien persamaan back-pressure kasus 1
C2 = koefisien persamaan back-pressure kasus 2
−
P r = tekanan rata-rata reservoir, psi
Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi
q = laju alir fluida , scfd
n = slope pada grafik dP2 vs q untuk uji isochronal
Jari-jari pengurasan dapat dihitung dengan
( )
− 1/2
k tp
r d =0.0704
φμ .............................................................................(6-25)
dimana :
t = lama aliran, jam
k = permeabilitas formasi, md
−
P = tekanan rata-rata reservoir, psia
Ф= porositas formasi, fraksi
μ = viskositas gas, cp
4. Penentuan Berdasarkan Hubungan Produksi dan Differential Pressure
Hubungan antara produksi dan pressure differential pada setiap waktu
yang diberikan dapat ditentukan dengan persamaan :
π kh ( P2 st−P2 bh )
q= =A ( P 2 st−P 2 bh ) ,
r
μ g P atm ln e
rw …..........................................(6-26)
Dimana :
255
π kh
A=
re
μ g Patm ln
r w …...............................................................................(6-27)
√
P2 st −P 2 bh r
P= P2 bh+ ln
re rw
ln
rw …......................................................(6-28)
6.7.3. Penentuan Jumlah Sumur
Persoalan penting di dalam eksploitasi hidrokarbon dalam hubungannya
dengan pengembangan lapangan adalah jumlah sumur yang dibutuhkan dan
penyebarannya. Sebab secara singkat dapat dikatakan bahwa pengembangan
lapangan, akan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
1. Pemboran sejumlah sumur pada reservoir yang bersangkutan.
2. Kontrol gerakan atau aliran gas ke sumur-sumur yang ada.
3. Kontrol energi reservoir.
256
Dimana:
n = Jumlah sumur infill yang harus dibor untuk memenuhi MER
MERr = Maximum Efficiency Rate reservoir
qav = Laju produksi rata-rata
Jika sumur-sumur yang telah ada ternyata masih kurang, yaitu dalam arti
bahwa rate kumulatif yang didapat belum memenuhi MER nya maka dibutuhkan
pemboran sumur-sumur baru sebagai sumur tambahan. Banyaknya sumur
tambahan yang akan dibuat ditentukan oleh besarnya MER reservoir, rate
kumulatif yang telah ada, serta rate produksi rata-rata sumur infillnya. Adapun
secara matematis banyaknya sumur infill ini dapat diperoleh dengan suatu rumus:
MER r −∑ q av
ni =
q avi …………………………………………………(6-30)
Dimana:
∑ ¿ ¿ qav = Rate kumulatif dari seluruh sumur yang telah berproduksi
qavi = Rate produksi rata-rata sumur infill
ni = Banyaknya sumur infill yang harus dibor untuk memenuhi MER
Sebelum dapat menentukan berapa banyak sumur infill yang harus dibor
untuk memenuhi MER nya, maka terlebih dulu harus dapat memperkirakan rate
produksi rata-rata sumur infill yang direncanakan. Jika data-data sifat fisik batuan
reservoir seperti permeabilitas batuan, ketebalan formasi produktif, data sifat fisik
fluida reservoir berupa viscositas dan factor volume formasi, jari-jari pengurasan
serta tekanan reservoir. Maka dengan rumus Darcy dalam memperkirakan rate
produksi rata-rata sumur infill ini, sehingga selanjutnya dapat dihitung jumlah
sumur infill yang dibutuhkan.
2) Penentuan berdasarkan analisa pengujian sumur.
Penentuan jumlah sumur infill dapat pula berdasarkan atas analisa pengujian
sumur. Salah satu hasil pengujian sumur yang diperlukan disini adalah jari-jari
pengurasan, yang mana dapat diperoleh dari analisa pressure build up. Setelah
didapatkan jari-jari pengurasan sumur selanjutnya dapat dihitung seberapa jauh
sumur dapat menguras reservoir, atau disebut luas daerah pengurasan. Data lain
yang dibutuhkan adalah luas daerah cadangan.
258
Luas daerah cadangan dapat ditentukan dari peta isopach atau peta kontur
struktur bawah permukaan dengan bantuan alat planimeter, yang mana data-
datanya dapat diperoleh dari logging, analisa core, sample log. Jika luas cadangan
serta luas daerah pengurasannya telah didapat, maka banyaknya sumur yang
dibutuhkan untuk menguras reservoir, yaitu dengan suatu persamaan matematis:
A
n=
a ………………………………………………………..…… (6-31)
Dimana:
n = Jumlah sumur yang dibutuhkan untuk menguras seluruh cadangan
reservoir
A = Luas daerah cadangan
a = Luas daerah pengurasan
3) Penentuan Berdasarkan Pengaturan Pola Sumur
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa secara umum dikenal
dua macam pola spasi sumur, yaitu bujur sangkar dan segitiga sama sisi. Masing-
masing pola mempunyai areal penyerapan yang berbeda. Adapun persamaan
dalam menentukan jumlah sumur untuk masing –masing pola adalah sebagai
berikut :
Untuk pola spasi bujur sangkar:
Total Luas Lapangan
n= ×43560
D2 ………………………….............(6-32)
Untuk pola spasi segitiga sama sisi
Total Luas Lapangan
n= ×43560
0 . 866 D 2 ………………………….............(6-33)
Dimana:
D = Jarak antar sumur,ft
n = Jumlah sumur