Anda di halaman 1dari 2

Keemasan Yang Sulit Tergambarkan di Era Abbasiyah

Oleh : Ahmad Arinal Haq (22/503513/SA/21806)

: Muhammad Ahda Aufa (22/505316/SA/21987)

Dinasti abbasiyah, suatu dinasti setelah era dinasti Umayyah dan terpatri dalam otak kita,
bahwa dinasti ini sebagai era kejayaan islam. mengikuti kata Hitti, “the most brillian period”, ya
benar, era paling cemerlang dan gemilang. Mengesampingkan intrik-intrik politik yang terjadi
dalam masa awal lahirnya dinasti ini, tidak bisa dipungkiri bahwa era ini membawa kemajuan
yang pesat untuk ilmu pengetahuan pada masa itu.

Beberapa pemimpin Abbasiyah sangat mencintai ilmu.mulai dari hidupnya buku-buku


filsafat, penerjemahan literatur-literatur asing sampai adanya baitul hikmah menjadi tanda bahwa
mereka benar-benar serius dalam mengembangkan dan melestarikan ilmu pengetahuan. Peran
baitul hikmah sendiri cukup vital di sini, tak hanya sebatas perpustakaan, tempat ini juga sebagai
penelitian dan penerjemahan buku-buku asing.

Dalam konteks sejarah kesusasasteraan arab, era ini sebagai era keemasan. Karena
banyaknya perubahan-perubahan yang signifikan dari era sebelumnya. Peran masyarakat juga
penting karena mereka yang lebih terbuka dengan bangsa lain seperti bangsa Persia, Turki dan
Barbar sehnigga mucul proses asimilasi dalam dinasti ini.

Di era Umayyah hanya genre puisi yang berkembang, lain halnya dalam era Abbasiyah,
muncul berbagai variasi genre sastra. Tidak hanya apresiasi dari pemerintah, masyarakat juga
mengapreasiasi berkembangnya karya sastra. Mungkin tidak banyak perubahan dalam puisi-
puisi, akan tetapi munculnya tema baru seperti zuhdiyyat, khamriyyat, dan thardiyyah membuat
puisi-puisi di era ini semakin kaya akan pembahasan.

Seperti puisi “Al-I’tiraaf” karya Abu Nuwas yang menggambarkan sifat-sifat zuhud,
seakan-akan dia mengintropeksi dirinya sendiri, dan bisa jadi ini juga satir untuk masyarakat
Abbasiyah yang gaya hidupnya matrealistik , suka bermewah-mewahan. Ada juga sastarawan
yang karyanya terkesan filosofis yaitu Al-Ma’ari. Ia seorang sastrawan yang buta sejak kecil,
akan tetapi hasratnya untuk belajar, membawanya ke ranah panggung sastra dan menginspirasi
banyak orang, salah satunya sastrawan Mesir abad 20, yaitu Thoha Hussein. Masih banyak
penyair-penyair pada era ini yang karyanya sampai sekarang masih relevan untuk dinikmati dan
diteliti. Seperti Al-Mutanabbi, yang puisi-puisinya berserakan dalam berbagai buku-buku ilmu
Balaghoh dan Ilmu Arudh.

Untuk genre prosa, muncul cerita-cerita, hikayat dan berbagai anekdot. Salah satu karya
masterpiece zaman ini yaitu Seribu satu malam. Dongeng yang berlatar belakang budaya Arab,
India, dan Persia. Ada juga anekdot orang-orang pelit “Al-Bukhala” karya Al-Jahiz, pelopor
sastra pembaruan di era ini. Ada karya Al-Muqoffa, yaitu “kalilah wa dimnah”. Sastra
terjemahan dari Bahasa Sansekerta karya filsuf India Baidaba. Al-Muqoffa sebagai pelopor
sastra terjemah pada masa ini.

Masih banyak sastrawan yang tidak bisa penulis sebutkan disini. Dengan keterbatasan
ilmu pengetahuan dan singkatnya waktu, paling tidak dengan adanya tulisan ini, dapat membuat
kita semakin terbuka akan dunia sastra. Tidak hanya sastra Arab, tetapi dunia sastra itu sendiri,
yang berserakan sampai ujung dunia. Derasnya arus modernisasi, Sastra sebagai salah satu media
utama untuk mengenali suatu peradaban atau Kebudayaan masyarakat tertentu tidak boleh
punah.

Anda mungkin juga menyukai