Anda di halaman 1dari 16

Tugas Mandiri Dosen Pengampu

Psikologi Ibadah Drs.Mukhlis,M.Si

HUBUNGAN ANTARA PEMAAFAN DENGAN KESEJAHTERAAN


PSIKOLOGIS PADA KORBAN PERUNDUNGAN

Disusun Oleh:

Sekar Raudhatul Jannah


(12160123876)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2023
Latar Belakang

Kekerasan terhadap anak di sekolah dari tahun ke tahun semakin meningkat. Tindakan
kekerasan merupakan akar dari permasalahan perundungan. Perundungan (bullying) merupakan
perilaku agresi yang dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, terdapat kekuatan yang
tidak seimbang antara pelaku dan korbannya, serta memiliki tujuan untuk menyakiti dan
menimbulkan rasa tertekan bagi korbannya (Rigby, 2007).

Kowalski dan Limber (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa siswa yang
menjadi korban cyber-bullying (perundungan melalui alat elektronik) dan traditional-bullying
(perundungan secara tradisional) memiliki penghargaan diri (self-esteem) yang rendah, depresi,
kecemasan, masalah kesehatan dan sering tidak hadir di sekolah. Schneider dkk (2012) dalam
penelitiannya menemukan hasil bahwa cyber bullying (perundungan melalui alat elektronik) dan
traditional bullying (perundungan secara tradisional) menimbulkan school performance and
school attachment yang rendah, mengalami stres dan menunjukkan gejala-gejala depresi serta
menunjukkan keinginan untuk bunuh diri.

Korban perundungan mengalami rasa rendah diri, takut, tidak nyaman, serta tidak
berharga. Selain itu korban juga mengalami penyesuaian sosial yang buruk, korban merasakan
takut ke sekolah bahkan tidak mau ke sekolah, dan menarik diri dari pergaulan. Korban juga
mengalami prestasi akademik yang menurun karena mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi
dalam belajar, bahkan memiliki keinginan untuk bunuh diri dibandingkan harus menghadapi
tekanan-tekanan yang berupa hinaan dan hukuman (Rigby, 2007).

Hal tersebut jika dibiarkan dapat mempengaruhi kondisi kesejahteraan psikologis dari
korban perundungan. Rigby (2007) menyebutkan bahwa korban perundungan memiliki
kesejahteraan psikologis yang rendah. Kesejahteraan psikologis sangat penting bagi remaja
karena mempengaruhi perkembangan kepribadian yang kuat di masa depan, serta mempengaruhi
nilai-nilai, arah, dan tujuan hidup yang dipilih. Kesejahteraan psikologis pada remaja mengacu
pada perasaan puas dengan kehidupan, memiliki emosi positif, tidak adanya gangguan
psikologis, fungsi akademik tertinggi, keterampilan sosial, dukungan sosial, dan kesehatan fisik
(Khan dkk, 2015).
Kesejahteraan psikologis adalah realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu
(Ryff, 2014). Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi adalah individu yang
memiliki kondisi emosional yang positif, merasa puas dengan hidupnya, mampu melalui
pengalamanpengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif. Selain itu
individu yang mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain,
memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mengendalikan kondisi lingkungan sekitar,
mampu mengembangkan dirinya sendiri, dan memiliki tujuan hidup yang jelas (Ryff, 2014).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perundungan memiliki berbagai


macam dampak negatif pada siswa, yaitu penyesuaian sosial yang buruk, penghargaan diri
(selfesteem) yang rendah, depresi, kecemasan, masalah kesehatan, sering tidak hadir di sekolah,
bahkan hingga mengalami gejala depresi dan keinginan untuk bunuh diri. Peneliti memilih SMA
swasta di Kecamatan kota Kendal. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara perundungan
yang terjadi di SMA swasta dan SMA negeri. Namun berdasarkan wawancara yang dilakukan,
SMA swasta yang digunakan dalam penelitian ini memiliki pengawasan dan bimbingan etika
yang masih kurang dari guru. Menurut Astuti (2008) kurangnya pengawasan dan bimbingan
etika dari guru merupakan salah satu penyebab terjadinya perundungan.

A. Psychological Well-Being (Kesejahteraan Psikologi)


1. Pengertian Psychological Well-Being (Kesejahteraan Psikologi)
Ryff (1995 dalam Iriani ,2005:32-33) mengembangkan konsep psychological well-being
melalui tiga perspektif, yaitu perspektif psikologi perkembangan, psikologi klinis serta
kesehatan mental. Dari berbagai perspektif tersebut yang menyebutkan kualitas positif dari
manusia terdapat beberapa kesamaan. Ryff merumuskan beberapa kesamaan ini menjadi
enam dimensi, yaitu penerimaan diri, hubungan positif, otonomi, penguasaan lingkungan,
tujuan hidup dan pertumbuhan diri (Iriani,2005:32-33). Dengan demikian, psychological
well-being adalah suatu keadaan psikologi yang lebih sekedar bebas dari penyakit mental,
tetapi mengandung arti bahwa individu memiliki karakter positif pada penerimaan diri,
hubungan dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan
pertumbuhan diri (Iriani, 2005:32-33).
Menurut Diener, 2009 dalam beberapa tahun terakhir sebuah bentuk kesejahteraan selain
kesejahteraan subjektif mulai muncul dari teori seperti Deci dan Ryan (misalnya, Ryan &
Deci, 2000, 2001) dan Ryff (1989) didasarkan pada gagasan kebutuhan manusia yang
universal dan berfungsi efektif. Pendekatan ini diberi label "psikologis" dan sebagian
didasarkan pada teori humanistik fungsi positif. Para penulis berpendapat bahwa mereka
berbeda dari perasaan subjektif dari kesejahteraan bahkan jika mereka tumpang tindih secara
empiris. Sedangkan kesejahteraan subjektif didefinisikan sebagai evaluasi masyarakat
terhadap kehidupan mereka, kesejahteraan psikologis diperkirakan dapat mewakili fungsi
manusia yang optimal (diener, 2009).

Disisi lain, kesejahteraan psikologis juga didefinisikan sebagai kesejahteraan psikologis


individu yang memfokuskan pada upaya realisasi diri (self-realization), pernyataan diri
(personal expressiveness) dan aktualisasi diri (self-actualization) (Hauser, Springer, dan
Pudrovska, 2005).

Lain halnya dengan Hurlock (dalam Snyder dan Lopez, 2002) yang mendefinisikan
kesejahteraan psikologis sebagai sebuah kebutuhan untuk terpenuhinya tiga kebahagiaan,
yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian).
Dari beberapa rumusan-rumusan di atas, dapat disimpulkan kesejahteraan psikologis (PWB)
adalah sebuah keadaan individu yang mampu menerima dirinya apa adanya, mampu
membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap
tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup serta
mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu.

2. Aspek-Aspek Psychological Well-Being


Menurut Ryff (1995)) aspek- aspek dari psychological well being yaitu:
a. Penerimaan diri (Self acceptance).
Seseorang yang psychological well being‐ nya tinggi memiliki sikap positif terhadap diri
sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan
perasaan positif tentang kehidupan masa lalu.
b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with others).
Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat dan
saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai
komponen utama kesehatan mental. Psychological well‐being seseorang itu tinggi jika
mampu bersikap hangat dan percaya dalam berhubungan dengan orang lain, memiliki
empati, afeksi, dan keintiman yang kuat, memahami pemberian dan penerimaan dalam
suatu hubungan.
c. Kemandirian (Autonomy)
Merupakan kemampuan individu dalam mengambil keputusan sendiri dan mandiri,
mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar,
berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri, dan mengevaluasi diri sendiri
dengan standar personal.
d. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery)
Mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menyusun kontrol yang kompleks
terhadap aktivitas eksternal, menggunakan secara efektif kesempatan dalam lingkungan,
mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai
individu itu sendiri.
e. Tujuan hidup (Purpose in life).
Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayaan‐kepercayaan yang memberikan
individu suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang
berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang membuatnya merasa hidup
ini memiliki makna.
f. Pengembangan pribadi (Personal growth).
Merupakan perasaan mampu dalam melalui tahap‐tahap perkembangan, terbuka pada
pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, melakukan perbaikan
dalam hidupnya setiap waktu.

3. Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being


Terdapat beberapa faktor psychological well being yang diungkapkan oleh Ryff (1995)
diantaranya:
a. Usia
Berdasarkan penelitian dengan menggunakan desain cross sectional menunjukkan bahwa
dalam beberapa aspek kesejahteraan, seperti environmental masteri dan autonomy
mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, sedangkan personal growth dan
purpose in life mengalami penurunan dalam hal usia, terutama pada usia setengah baya
sampai usia lanjut, dan dalam dimensi self acceptence dan positive relations with others
tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal usia.
b. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin dalam kesejahteraan telah terbukti mengalami beberapa
perbedaan. Dalam semua studi terbukti wanita memiliki skor yang lebih tinggi daripada
laki- laki dalam hal positive relations with others, dan terkadang lebih tinggi pada
personal growth, sedangkan pada dimensi lain yang tersisa tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis kelamin.
c. Pemaknaan terhadap pengalaman hidup
Pengertian dari pemaknaan tersebut yaitu bagaimana individu memahami, memaknai dan
menafsirkan pengalaman hidupnya dengan cara membandingkan diri dengan orang lain,
mempertimbangkan umpan baik dari orang lain, mencari penyebab dari kejadian yang
mereka alami dan melihat pengalamanpengalaman khusus dan tindakan mereka saat itu.

B. Pemaafan
1. Pengertian
Kata pemaafan berasal dari akar kata bahasa Arab al-‘afw. Kata al- ‘afw -yang
terdiri dari tiga partikel huruf, 'ain, fa', dan satu huruf mu'tallmenurut Ibn Faris, memiliki
dua makna valid, yaitu; meninggalkan (tark al-syai’) dan mencari/menuntut sesuatu
(thalab). Kemudian muncul banyak derivasi darinya, yang tidak memiliki perbedaan
signifikan dalam hal makna. Maka, ketika dikatakan 'afw Allah 'an khalqihi, berarti
tarkuhu iyyahum fala yu'aqibhum (Allah membiarkan mereka, sehingga tidak
menghukumnya). Al-Khalil mengatakan "setiap orang yang berhak mendapat hukuman,
lalu engkau biarkan (tarakahu), maka engkau telah memaafkannya ('afaw-ta 'anhu)". Dari
kata al-’afwu juga muncul kata al-‘af iyah, yang berarti pembelaan atau penjagaan Allah
terhadap hamba-Nya.
Kata al-’afw terulang dalam al-Quran sebanyak 34 kali, 7 kali darinya berbicara
tentang pemaafan. Hal tersebut menunjukkan akhlaq saling memaafkan menjadi bagian
terpenting dalam kehidupan seorang muslim. Artinya ada konsekuensi tertentu bila
seseorang memaafkan atau tidak memaafkan terhadap seseorang yang pernah berbuat
kesalahan kepadanya. Oleh karenanya Al-‘afw (memaafkan) adalah salah satu sifat orang
yang bertaqwa kepada Allah sebagaimana al-Qur’an menjelaskannya dalam QS. Ali
’Imran: 134. Ayat tersebut mendeskripsikan sikap seorang Muslim yang bertakwa akan
menghadapi seseorang yang melakukan kekeliruan terhadapnya dengan tiga cara, yaitu
menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadap siapapun yang berbuat
kesalahan kepadanya.

Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam al-
Qur’an. Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai
shafhat karena kelapangan dan keluasannya. Dari sini, al-shafh dapat diartikan
kelapangan dada. Berjabat tangan dinamai musafahat karena melakukannya menjadi
perlambang kelapangan dada. Dari delapan kali bentuk al-safh yang dikemukakan, empat
di antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.

Pemaafan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar maaf dan imbuhan "pe-
an". Menurut Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012), maaf berarti
pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu
kesalahan. Sementara pemaafan dapat diartikan sebagai memberi ampun karena
kesalahan dan sebagainya, tidak menganggap salah lagi.6 Sedangkan dalam bahasa
Inggris, kata pemaafan diartikan dari kata forgiveness. Forgiveness berasal dari kata
forgive dan imbuhan ness. Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English,
mengartikan forgive sebagai pengampunan atau menunjukkan kebaikan hati kepada
seseorang (pardon or show mercy to somebody)-, tidak memelihara perasaan tidak
senang kepada seseorang (no longer have hard feeling towards).
Kata pemaafan juga memiliki kedekatan dengan bidang ilmu psikologi. Berbeda
dengan ahli bahasa, ahli psikologi memberi pengertian pemaafan relatif lebih luas. Oleh
ahli psikologi, pemaafan terhadap seseorang dibedakan dari excusing (membebaskan)
yang tidak mengakui ketidakadilan, reconciling (berdamai) yang melibatkan saling
percaya kedua belah pihak, dan forgetting (melupakan) yang tidak benar-benar
membebaskan.

Robert D. Enright, salah seorang ahli psikologi menyatakan bahwa pemaafan


adalah kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan
perilaku acuh-tidak-acuh terhadap orang lain yang telah menyakitinya secara tidak adil.9
Menghapus dan melupakan perilaku jahat orang lain menjadi salah satu elemen penting
pemaafan. Sebagaimana digambarkan oleh Nashori, bahwa pemaafan adalah menghapus
luka atau bekas-bekas luka dalam hati. Boleh jadi ingatan kejadian yang memilukan di
masa lalu masih ada, tetapi persepsi kejadian yang menyakitkan hati telah terhapuskan.

Adapun Thompson mendefinisikan pemaafan sebagai upaya untuk menempatkan


peristiwa pelanggaran yang dirasakan sedemikian hingga respon seseorang terhadap
pelaku, peristiwa, dan akibat dari peristiwa yang dialami diubah dari negatif menjadi
netral atau positif.11 Senada dengan ini, Walrond-Skinner menyimpulkan dengan
pertimbangan teoritis bahwa pemaafan bertindak sebagai sebuah reframe karena ia
memungkinkan seseorang untuk melihat dan mengalami (memperlakukan) kejadian masa
lalu yang menyakitkan dengan cara pandang yang berbeda. Pemaafan juga merupakan
agen pemberdayaan sementara karena ia merubah keseimbangan kekuasaan dalam
sebuah hubungan. Biasanya, kekuasaan terletak pada pelanggar (pelaku). Selain itu,
pemaafan bertindak secara paradoks untuk melepaskan (meredakan) konflik dua belah
pihak karena ia menghilangkan banyak kebingungan yang muncul dengan perasaan
ambivalensi seputar pelanggaran itu.
2. Aspek-Aspek Pemaafan
Aspek-aspek pemaafan ini tersebar dalam beberapa ayat alQur’an dan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Ali Imran: 134
Menahan amarah, memaafkan kesalahan, dan berbuat baik terhadap siapapun yang
berbuat kesalahan
b. Al-Nur: 22
Berlapang dada dan keluasan hati
c. Al-Syura: 40
Menghapus kesalahan orang lain, melupakan masa lalu yang menyakitkan hati, dan
takfir (menutup kesalahan orang lain)
d. Al-Hijr: 85
Membuka lembaran baru, dan memperbaiki hubungan menjadi indah (harmonis)
e. Ali Imran: 159
Mendoakan orang yang berbuat jahat, bermusyawarah dengan mereka, dan
menyerahkan urusan kepada Allah (tawakkal)
f. Al-Baqarah: 178
Bagi yang dimaafkan, mengikuti keinginan/permintaan korban (bekerjasama,
rekonsiliasi) dan memberikan ganti rugi (diyat) dengan baik
g. Al-Baqarah: 219
Menjadi pemaaf

Islam menganjurkan untuk memberikan maaf secara sungguhsungguh dan tidak


dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, bahkan tanpa diminta. Lebih dari itu juga
dianjurkan untuk melebihkan pemberian maaf itu dengan mendoakan orang yang berbuat
salah sebagaimana dicontohkan oleh Nabi. Dengan kata lain, pemaafan tidak hanya di
bibir, tapi sampai di hati. Islam memberikan resep agar pemaafan tuntas, yakni
memohonkan ampunan (mendoakan) bagi mereka serta bermusyawarah.
3. Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemaafan
Pemaafan dalam Islam dipengaruhi oleh satu faktor utama, yaitu faktor
religiusitas (semakin tinggi religiusitas, semakin tinggi potensi pemaafan). Agama
menjadi faktor yang sangat penting bagi seorang Muslim, karena ia menjadi pemandu
dan petunjuk atas perjalanan hidupnya di dunia dan akhirat. Tanpa bimbingan agama,
hidup seorang Muslim akan tersesat kepada jalan yang menyimpang dari ketentuan
agama dan nilai-nilai kebaikan universal. Islam mengajarkan kepada umatnya prinsip dan
nilai mulia/terpuji (akhlaq mahmudah) dalam hidup yang harus diekspresikan dalam
kehidupan sehari-hari. Jadi tidak hanya sekedar menjadi nilai dan prinsip yang diidealkan
saja dan tidak membumi. Ide dasar dari pemikiran ini adalah bahwa seorang hamba harus
mampu meniru sifat-sifat baik (asma’ al-husna) yang dimiliki oleh Allah. Seseorang
dianggap baik dalam beragama jika mampu berperilaku sesuai dengan dianjurkan agama
(akhlaq mahmudah), demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, seorang Muslim yang
baik adalah orang yang mampu memaafkan setiap kesalahan orang lain, karena
memaafkan adalah salah satu sifat yang terpuji itu dan merupakan salah satu asma’
alhusna.

Perspektif ilmu psikologi, pemaafan pada seseorang dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Tingkat Penyesalan
Tingkat penyesalan bisa jadi menjadi sebuah faktor kemauan seseorang untuk
memaafkan dan oleh karenanya menjadi sebuah pertimbangan tambahan yang
penting bagi peneliti. Pada dasarnya, sulit bagi seseorang untuk memaafkan orang
lain ketika ia tidak mengakui bahwa ia telah melakukan kesalahan atau bertanggung
jawab atas perbuatan salah mereka.

Ketika berdiskusi dengan seorang klien yang menceraikan suaminya Haucks


memahami bahwa seseorang yang sangat menyesal merasa sangat tidak bahagia
dalam perbuatannya, merasa sakit, menderita, dan, dalam beberapa kasus, takut.
Perasaan menyesal dapat menyebabkan dua hal: rasa bersalah dan belas kasih. Rasa
bersalah muncul sebagai akibat menganggap diri sendiri tidak bijak, tidak baik, tidak
beretika, atau tidak beragama. Inilah yang menjadi faktor penyebab seseorang
berpotensi memaafkan.

b. Religiusitas
Doktrin dan motivasi yang tinggi dalam agama diyakini menjadi faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kemauan seseorang untuk memaafkan orang lain. Salah satu
alasan yang mendukung tentu adalah keinginan untuk mendapatkan ampunan dari
Tuhannya dan semakin dekat dengan Tuhan. Sebuah penelitian menunjukan bahwa
kegiatan kelompok agama yang bersifat emosional seperti sharing dan doa bersama,
terbukti membantu individu memaafkan orang lain.39 Adanya pengaruh signifikan
antara religiusitas dengan sikap pemaafan seseorang juga dapat diukur melalui
intensitas hubungan seseorang dengan Tuhannya melalui kehadirannya ke tempat
ibadah. Bedell menemukan bahwa intensitas kehadiran seseorang di tempat ibadah
berpengaruh terhadap potensi pemaafannya.

Namun demikian tidak semua penelitian menggambarkan adanya pengaruh


religiusitas terhadap pemaafan. Sebuah penelitian pilot study oleh Tsang,
McCullough dan Hyot (2005) menyatakan bahwa secara tidak langsung religiusitas
memiliki potensi untuk memunculkan pemaafan pada seseorang karena pada
dasarnya setiap agama mengajarkan cinta dan kasih sayang yang mendorong sikap
memaafkan. Akan tetapi, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kecil hubungan
positif antara religiusitas dan pemaafan. Selain itu dalam penelitian yang sama,
Tsang, McCullough dan Hyot (2005) menyatakan bahwa religiusitas juga dapat
membuat seseorang melakukan pembalasan. Hal tersebut memungkinkan religiusitas
sebagai alasan seseorang untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Hasil
penelitian tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian metanalisis tentang hubungan
religiusitas dan pemaafan oleh Kurniati (2011) yang menyatakan bahwa ada
hubungan positif antara religiusitas dengan pemaafan akan tetapi tidak ada hubungan
signifikan antara religiusitas dengan unforgiveness.
c. Kualitas Hubungan Interpersonal
Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh komitmen yang
tinggi pada relasi mereka. Menurut McCullough, ada empat alasan mengapa kualitas
hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam hubungan interpersonal.
Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada dasarnya mempunyai motivasi yang
tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua, dalam hubungan yang erat ada orientasi
jangka panjang dalam menlain hubungan di antara mereka. Ketiga, dalam kualitas
hubungan yang tinggi kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu.
Keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan
pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara
mereka.

C. Kaitan Antara Pemaafan Dengan Psychological Well-Being


Shouri dan Kaur (2016) dalam penelitiannya menemukan bahwa ada hubungan positif
antara pemaafan dengan kesejahteraan psikologis pada remaja. Pemaafan dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja, forgivenees membantu remaja dalam
menguatkan hubungan sosial dan perkembangan emosional di antara remaja (Shouri dan
Kaur, 2016). Remaja dapat menjadikan pemaafan sebagai pemerkuat hubungan interpersonal
dan dapat menjadi faktor pelindung terhadap masalah interpersonal dan rendahnya
kesejahteraan psikologis (Shouri dan Kaur, 2016).

Barcaccia dkk (2017) dalam penelitiannya menunjukkan adanya hubungan positif antara
pemaafan dengan kesejahteraan psikologis pada korban perundungan. Selain itu Barcaccia
dkk (2017) menemukan bahwa remaja korban perundungan yang melakukan pemaafan
menunjukkan tingkat depresi, state anger, dan masalah perilaku yang lebih rendah dari
korban yang tidak melakukan pemaafan. Korban perundungan yang melakukan pemaafan
menjukan rendahnya rasa marah dan keinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku,
melepaskan emosi negative terhadap pelaku perundungan nampak jelas bermanfaat bagi
kesejahteraan psikologis remaja (Barcaccia dkk, 2017).
Menurut McCullough dkk (Snyder, Lopez, dan Predotti, 2011) pemaafan adalah
peningkatan motivasi prososial terhadap orang lain sehingga turunnya motivasi untuk
menghindari pelaku dan turunnya motivasi untuk menyakiti atau membalas dendam terhadap
pelaku, dan peningkatan keinginan untuk bertindak positif terhadap pelaku. Kesejahteraan
psikologis mempengaruhi perkembangan kepribadian yang kuat di masa depan, serta
mempengaruhi nilai-nilai, arah, dan tujuan hidup yang dipilih pada remaja. Remaja yang
kesejahteraan psikologis tinggi menunjukkan perasaan puas dengan kehidupan, memiliki
emosi positif, tidak adanya gangguan psikologis, fungsi akademik tertinggi, keterampilan
sosial, dukungan sosial, dan kesehatan fisik (Khan, Taghdisi, dan Nourijelyani, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Abbott, R.A., Ploubidis, G.B., Huppert, F.A., Kuh, D., & Croudace, T.J. (2009). An Evaluationof
the Precision of Measurement of Ryff’s Psychological Well-Being Scales in a Population
Sample. Soc. Ind. Res, 97, 357-373

Abul Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu'jm al-Maqayis fi al-Lughah, tahqiq Syihabudin
Abu Amar (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hal. 667

Anna Erpiana, E. F. (2018). Peran Trait Mindfulness terhadap Psychological Well-Being pada
Dewasa Awal . PSYMPATHIC : Jurnal Ilmiah Psikologi, 67-82.

Azam Bahtiar, “Al-‘Afw dalam Pemikiran al-Syatibi dan Jamal al-Banna; Studi Komparatif”,
dalam Jurnal Sintesis Volume 3 No. 1 Juni 2009

Dita Rachmayani, N. R. (2014). ADAPTASI BAHASA DAN BUDAYA SKALA


PSYCHOLOGICAL WELL-BEING. Jurnal Psikometrik, 253-267.

Epi Kurniasari, N. R. (2019). Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa. Journal of


Innovative Counseling : Theory, Practice & Research, 52-58.

Fadhillah,E.P. (2016). HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DAN


HAPPINES PADA REMAJA DI PONDOK PESANTREN. Jurnal Ilmiah Psikologi, Hal
71-79

Fitri Ardianti, M. F. (2016). PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR


YANG HAMIL DI LUAR NIKAH. Jurnal Ilmiah Psikolog, 80-88.

Frencya Halim, C. (2016). Hubungan psychological well-being dengan loneliness pada


mahasiswa yang merantau. Jurnal Psikogenesis, 1-27.

Hutapea, B. (2011). Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut
Usia Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta. Jurnal Psikologi Indonesia, 64-
71.

Lihat: Fuad Nashori, “Meningkatkan Kualitas Hidup dengan Pemaafan”, dalam Jurnal Unisia,
Vol. 32 No. 75, Juli 2011, hal. 214-215
Nayana, F. N. (2013). KEFUNGSIAN KELUARGA DAN SUBJECTIVE WELL-BEING
PADA REMAJA. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 230-241.

Ni Luh Komang Apsaryanthi, M. D. (2017). PERBEDAAN TINGKAT PSYCHOLOGICAL


WELL-BEING PADA IBU RUMAH TANGGA DENGAN IBU BEKERJA DI
KABUPATEN GIANYAR . Jurnal Psikologi Udayana, 110-118.

Prabowo, W. W. (2015). Psychological Well-Being pada Pelaku Wirausaha. Jurnal Psikologi


dan Kemanusiaan, 431-438.

Ryff, C. D. dan Keyes, C. L. M. 1995. the structure of psychological well being revisited.
Journal of Personality and Social Psychology. 69, 719-727.

Ryff, C.D dan Singer, B. H. 1996. psychology well being: meaning, measurement an
implications for psychotheraphy research. Journal of Psychotheraphy Psychosomatics,
65, 14-23.

Susilawati, M. L. (2016). HUBUNGAN RASA SYUKUR DAN PERILAKU PROSOSIAL


TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR
ANGGOTA ISLAMIC MEDICAL ACTIVISTS FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA . Jurnal Psikologi Udayana, 196-208.

Tim, al-Mu'jam al-'Arab al-Asasi (Alesco L'Arousse: al-Munazhamah al-'Arabiyah li alTarbiyah


wa al-Tsaqafah wa al-'Ulum, 1989), hal. 851

Tri Kurniati Amrilah, Prasetyo Budi Widodo, Religiusitas dan Pemaafan dalam Konflik
Organisasi pada Aktivis Islam di Kampus Universitas Diponegoro, Jurnal Empati,
Oktober 2015, volume 4(4), hal. 287-292;

Yuliana,I. KONSEP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING SERTA IMPLIKASINYA DALAM


BIMBINGAN DAN KONSELING. Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice
& Research,April 2018.

T.W. Baskin & R.D. Enright, "Intervention Studies on Forgiveness: A Meta-Analysis", dalam
Journal of Counseling & Development, Vol. 82 (Winter), 2004, hal. 77-82
R.D. Enright, Anthony Dio Martin, Emotional Quality Management: Refleksi, Revisi dan
Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi (Jakarta: Penerbit Arga. 2003), hal. 20.

Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-


Qur’an, 1990)

Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar Dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009), hal. 14

A.F. Pertiwi, “Memaafkan Orang Lain: Kajian tentang Tindakan Memaafkan pada Subjek
dengan Pengalaman Beberapa Kali Memaafkan Orang Lain”, Tesis, F.Psi. UI: Depok,
2004.

Tri Kurniati Amrilah, Prasetyo Budi Widodo, Religiusitas dan Pemaafan dalam Konflik
Organisasi pada Aktivis Islam di Kampus Universitas Diponegoro, Jurnal Empati,
Oktober 2015, volume 4(4), hal. 287-292.

Khasan Moh, PERSPEKTIF ISLAM DAN PSIKOLOGI TENTANG PEMAAFAN, Jurnal at-
Taqaddum, Volume 9, Nomor 1, Juli 2017, hal.69-91

Anda mungkin juga menyukai