Anda di halaman 1dari 19

DETEKSI RADIASI RADIONUKLIDA

oleh:
KELOMPOK 3
1. ANGGI YULINDA
2. DINA AMELIA TAMBUNAN
3. TITA LINYAN PARDEDE
4. WINDA SARI LICIANA MARPAUNG
DOSEN PENGAMPU:
1. SITI RAHMAH, S.PD., M. SC.
2. MUTIARA AGUSTINA NASUTION, S.PD., M.PD.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2023

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan modul bahan ajar Radiokimia
tentang Deteksi Radiasi Radionuklida ini tepat pada waktunya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Siti Rahmah, S.Pd.,
M.Sc. dan ibu Mutiara Agustina Nasution, S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata
Radiokimia yangtelah memberikan arahan dalam penyelesaian modul bahan ajar
ini.
Modul bahan ajar ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Radiokimia dan modul ini dibuat berdasarkan informasi dari berbagai sumber
yang tersedia terkait permasalahan yang ada. Penulis juga berterima kasih
kepada pihak yangmembantu dalam memberikan informasi untuk penyelesaian
tugas modul bahan ajar ini.
Penulis menyadari bahwa dalam hasil penulisan modul ini masih terdapat
kekurangan dan kesalahan, kami selaku penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan
saran dari pembaca. Penulis berharap modul materi ajar ini membawa manfaat
bagi kita semua.

Medan, 28 April 2023

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
I. PENDAHULUAN .................................................................................................................. 4
1.1 PENEMUAN RADIOAKTIVITAS ................................................................................. 4
1.2 DETEKTOR RADIASI.................................................................................................... 4
II. PERKEMBANGAN SISTEM DETEKSI RADIONUKLIDA ............................................. 5
2.1 Sistem Deteksi Berbasis Detektor Isian Gas .................................................................... 5
2.2 Sistem Deteksi Berbasis Detektor Sintilasi ...................................................................... 8
2.3 Detektor Zat Padat ....................................................................................................... 11
2.4 Litbang Sistem Deteksi Dan Pengukuran Radionuklida ................................................ 13
2.5 Keunggulan - Kelemahan Detektor ................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 18

3
I. PENDAHULUAN

1.1 PENEMUAN RADIOAKTIVITAS


Pada bulan Februari 1896, Henri Bequerel, ahli fisika Prancis, tertarik dengan
penemuan sinar-X oleh W.C Rontgen yang dapat menghasilkan fluoressensi pada dinding gelas
tabung sinar-X dan beberapa material lain. Di samping itu Becquerel telah mewarisi suatu
gejala yang menarik dari ayah dan kakeknya, yaitu fosforessensi, suatu gejala zat tertentu yang
dapat memancarkan sinar lemah setelah zat tersebut disinari dengan sinar kuat. Ayahnya
Edmud Becquerel (1820-1891) telah mempelajari fosforessensi garam uranium.
Sekitar tahun 1880 Henri Becquerel menyiapkan cuplikan kalium uranil sulfat,
K2UO2(SO4)2 .12H2O, dan mencatat bahwa zat tersebut berfosforessensi karena dieksitasi
oleh sinar ultraviolet. Becquerel bertanya-tanya adakah hubungan antara fosforessensi ini
dengan fluoressensi yang terjadi pada dinding tabung sinar katode yang telah diketahui
mengemisikan sinar-X? Mungkinkah material yang berfosforessensi oleh sinar tampak
mengemisikan radiasi yang daya tembusnya besar seperti sinar-X? Becquerel melanjutkan
eksperimennya dengan membungkus plat fotografi dengan kertas, menempatkan garam
uranium di atasnya, dan meletakkannya pada sinar matahari. Ketika plat foto dicuci, ternyata
film menjadi hitam, yang menunjukkan bahwa garam uranium mengemisikan radiasi yang
dapat menembus kertas. Akan tetapi, dia tetap bertanya-tanya
apakah hitamnya film hanya diakibatkan oleh radiasi yang diemisikan oleh garam uranium
akibat disinari oleh sinar matahari, atau apakah hitamnya film disebabkan oleh sinar
matahari?Pada tanggal 26 Februari 1896, Becquerel menyiapkan lagi plat foto dan garam
uranium, tetapi karena saat itu matahari tidak bersinar, akhirnya disimpan di dalam laci.
Pada tanggal 1 Maret 1896, matahari tetap belum tampak, namun plat foto tetap dicuci
dengan harapan ada pengaruh radiasi yang lemah terhadap plat film. Di luar dugaannya,
ternyata pengaruh radiasi terhadap plat foto sangat kuat. Hal ini berarti bahwa radiasi yang
berpengaruh hanya berasal dari garam uranium. Jadi Becquerel telah menemukan suatu gejala
baru, dan gejala itu oleh Madame Curie disebut radioaktivitas.

1.2 DETEKTOR RADIASI


Energi radiasi adalah tenaga yang dilepaskan oleh suatu sumber radiasi yang mana tenaga ini
dapat mengakibatkan ionisasi. Tingkat energi sumber radiasi nuklida umumnya dipengaruhi
oleh jenis radionuklida adapun beberapa jenis radionuklida yang biasa.

Alat pengukur radiasi terdiri dari alat penunjang dan detektror. Kedua komponen ini
umum ditemui pada alat pengukuran radiasi adapun yang dimaksud dengan detector adalah
suatu bahan yang sensitive terhadap radiasi pengion yang mana ketika terjadi interaksi antara
detektor dan radiasi maka akan timbul suatu reaksi yang dapat teramati atau terdeteksi.
Peralatan penunjang adalah peralatan yang umumnya berupa peralatan elektronik yang
berfungsi mengubah respon detektor menjadi suatu data yang dapat diamati oleh panca indera
dan biasanya dapat melakukan pengolahan informasi lebih lanjut. Gambar 2.1 menunjukan
struktur kontruksi alat pengukuran radiasi.

4
II. PERKEMBANGAN SISTEM DETEKSI RADIONUKLIDA

Radionuklida merupakan nuklida bersifat radioaktif yang secara spontan memancarkan


radiasi berenergi kinetik tinggi yang lazim disebut radiasi pengion. Karena kemampuan indra
manusia terbatas, keberadaan radiasi pengion tidak dapat dideteksi langsung dengan
pancaindra. Untuk mengetahui keberadaan radiasi pengion diperlukan sensor radiasi yang
mampu mengubah energi radiasi menjadi hal yang mudah terekam pancaindera. Keberadaan
radiasi pengion mulai diketahui pada akhir tahun 1895 ketika Wilhem Conrad Roentgen
menemukan radiasi sinar-X. Hanya berselang sekitar 2 bulan setelah itu, radiasi
pengion juga diketahui keberadaannya ketika Henri Becquerel menemukan unsur uranium
yang bersifat radioaktif. Kini, telah dikenal ribuan jenis bahan radioaktif, baik yang alamiah
maupun buatan manusia.
Suatu sistem deteksi radionuklida pada umumnya terdiri atas komponen utama berupa
sensor radiasi yang lazim disebut detektor dan peralatan pendukung elektronik pengubah
respon detektor menjadi pulsa atau arus listrik. Selain itu, komponen utama sistem deteksi
radionuklida dapat berupa alat baca dan perekam serta perangkat lunak pengolah data.
Perkembangan sistem deteksi radionuklida tidak terlepas dari perkembangan bahan sensor dan
komponen pendukungnya. Tonggak-tonggak penting perkembangan sistem deteksi
radionuklida diawali dengan sensor plat film fotografi pada tahun 1896, sensor berbasis
fenomena luminesens pada tahun 1901, sensor berbasis pengionan gas/udara pada tahun 1908,
dan sensor berbasis bahan semikonduktor pada tahun 1960-an. Perkembangan komponen
pendukungnya diawali dengan elektrometer untuk pengukuran muatan listrik hasil pengionan
pada tahun 1900-an, perangkat elektronik berbasis tabung triode sejak tahun 1920-an, tabung
photomultiplier tube (PMT) pada tahun 1940-an, dan transistor semikonduktor pada tahun
1950-an, yang disusul dengan rangkaian elektronik terintegrasi atau integrated circuit (IC) dan
large scale integrated circuit (LSIC) pada tahun 1960-an. Perkembangan ini melahirkan
berbagai ragam modul elektronik pengolah pulsa seperti pre-amplifier, amplifier,
diskriminator, SCA, TSCA, ADC, RDC, rangkaian koinsidensi, antikoinsidensi, dan lain-lain,
yang disusul dengan perkembangan sistem elektronik berbasis digital pada tahun 2000-an yang
secara berangsur-angsur menggantikan sistem berbasis analog. Tidak kalah pentingnya adalah
perkembangan mikroprosesor dan komputer dengan kecepatan dan kapasitas yang semakin
besar. Perkembangan tersebut mendorong peningkatan kinerja sistem deteksi radiasi yang
semula hanya mampu mencacah (counting), kemudian mampu membedakan jenis-jenis radiasi
pengion dan mengidentifikasi berbagai macam radionuklida. Secara umum, perkembangan
sensor radiasi berperan meningkatkan kepekaan deteksi, sedangkan perkembangan peralatan
pendukung elektronik dan komputer meningkatkan tingkat keakuratan dalam pencacahan dan
pengidentifikasian jenis radionuklida.

2.1 Sistem Deteksi Berbasis Detektor Isian Gas


Keberadaan sinar-X pertama kali diketahui dari berpendarnya barium-platinum-
sianida yang berada di dekat tabung sinar katoda, sedangkan radiasi pengion yang
dipancarkan unsur uranium diketahui dari plat film fotografi, yang secara kebetulanberada di
dekat unsur tersebut, menjadi hitam. J.S. Townsend pada tahun 1901 menuliskan dalam
artikelnya bahwa radiasi sinar-X dan radiasi yang berasal dari unsur uranium, thorium,
polonium, dan radium bersifat mengionkan udara yang dilintasinya, membentuk pasangan-
pasangan ion positif dan negatif di sepanjang lintasannya. Sejak saat itu, para ilmuwan
mencoba melakukan pengukuran radiasi pengion dengan menggunakan elektrometer yang
sudah lazim digunakan untuk pengukuran beda
potensial dan muatan listrik. Penemuan

5
radioaktivitas unsur thorium, polonium, dan radium oleh Marie Curie juga diperoleh berkat
jasa elektrometer yang dibuat PierreCurie dan Jacques Curie, dikenal sebagai elektrometer
Curie.
Pada tahun 1908, Hans Geiger dan Ernest Rutherford membuat alat deteksi partikel-
 berupa tabung gelas silinder memanjang yang berisi udara bertekanan rendah dan
elektroda plat sejajar yang salah satunya dihubungkan dengan sumber tegangan tinggi dan
elektrometer. Dengan alat ini, Rutherford berhasil menghitung kuantitas partikel- yang
terpancar dari satu gram radium sebanyak 3,41010 partikel per detik. Di kemudian hari,
diketahui nilai yang lebih mendekati adalah 3,71010 partikel per detik. Nilai inilah yang
kemudian didefinisikan sebagai satu Curie (Ci), yaitu suatu besaran aktivitas bahan
radioaktif dengan jumlah peluruhan sebanyak 3,71010 disintegrasi per detik, sedangkan satu
disintegrasi per detik kemudian juga didefinisikan dalam sistem satuan internasional (SI)
sebagaisatu becquerel (Bq). Sejak saat itu, sebenarnya telah lahirsebuah detektor isian
gas (gas filled detector), walau mekanismeyang terjadi di dalam detektor belum diketahui
secara jelas. Pada tahun 1928, Hans Geiger mengemukakan fenomena lucutan Geiger
(Geiger discharge) yang mendasari Hans Geiger bersama Walther Mueller dalam
pembuatan detektor isian gas yang dikenal sebagai pencacah Geiger-Mueller (GM counter).
Sejak itu, dipahami bahwa berdasarkan besar tegangan tinggi yang diberikan, ada tiga daerah
kerja detektor isian gas, yaitu daerah kamar pengionan (ionization chamber), daerah
pencacah proporsional (proportional counter), dan daerah lucutan Geiger. Hingga kini,
detektor kamar pengionan masih berperan penting sebagai alat ukur dosis radiasi dan
aktivitas radionuklida, sedangkan pencacah GM masih banyak digunakan dalam pemantauan
dan survei radiasi untuk tujuan keselamatan dan proteksi radiasi.
Detektor isian gas adalah detektor yang paling banyak digunakan untuk mengukur
radiasi. Detektor isian gas merupakan tabung tertutup yang berisi gas dan terdiri dari 2 buah
elektrode. Dinding tabung sebagai elektrode negatif (katode) dan kawat yang terbentang di
dalam tabung pada poros sebagai elektrode positif (anode). Skema detektor isian gas
disajikan pada gambar berikut.

Radiasi yang memasuki detektor akan mengionisasi gas dan menghasilkan ion-ion
positif dan ion-ion negatif (elektron). Jumlah ion yang akan dihasilkan tersebut sebanding
dengan energi radiasi dan berbanding terbalik dengan daya ionisasi gas. Daya ionisasi gas
berkisar dari 25 eV s.d. 40 eV. Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor tersebut akan
memberikan kontribusi terbentuknya pulsa listrik ataupun arus listrik. Adapun skema dari
proses ionisasi disajikan pada gambar berikut

6
Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda yang
sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan pulsa atau arus listrik. Pergerakan ion
tersebut di atas dapat berlangsung bila di antara dua elektroda terdapat cukup medan listrik.
Bila medan listriknya semakin tinggi maka energi kinetik ion-ion tersebut akan semakin
besar sehingga mampu untuk mengadakan ionisasi lain. Ion-ion yang dihasilkan oleh ion
primer disebut sebagai ion sekunder. Bila medan listrik di antara dua elektroda semakin
tinggi maka jumlah ion yang dihasilkan oleh sebuah radiasi akan sangat banyak dan disebut
proses avalanche.
Jumlah pasangan ion yang terbentuk bergantung pada jenis dan energi radiasinya.
• Radiasi alfa dengan energi 3 MeV misalnya, mempunyai jangkauan (pada tekanan dan
suhu standar) sejauh 2,8 cm dapat menghasilkan 4.000 pasangan ion per mm
lintasannya.
• Radiasi beta dengan energi kinetik 3 MeV mempunyai jangkauan dalam udara (pada
tekanan dan suhu standar) sejauh 1.000 cm dan menghasilkan pasangan ion sebanyak
4 pasang tiap mm lntasannya.
Terdapat tiga jenis detektor isian gas yang bekerja pada daerah yang berbeda yaitu
detektor kamar ionisasi, detektor proporsional, dan detektor Geiger Mueller (GM).
1. Detektor Kamar Ionisasi
Detektor kamar ionisasi beroperasi pada tegangan paling rendah. Jumlah elektron yang
terkumpul di anoda sama dengan jumlah yang dihasilkan oleh ionisasi primer. Dalam kamar
ionisasi ini tidak terjadi pelipat-gandaan (multiplikasi) jumlah ion oleh ionisasi sekunder.
Dalam daerah ini dimungkinkan untuk membedakan antara radiasi yang berbeda ionisasi
spesifikasinya, misalnya antara partikel alfa, beta dan gamma. Namun, arus yang timbul sangat
kecil, kira-kira 10-12 A sehingga memerlukan penguat arus sangat besar dan sensitivitas alat
baca yang tinggi.
2. Detektor Proporsional
Salah satu kelemahan dalam mengoperasikan detektor pada daerah kamar ionisasi
adalah out put yang dihasilkan sangat lemah sehingga memerlukan penguat arus sangat besar
dan sensitivitas alat baca yang tinggi. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, tetapi masih tetap
dapat memanfaatkan kemampuan detektor dalam membedakan berbagai jenis radiasi, maka
detektor dapat dioperasikan pada daerah proporsional.
Alat pantau proporsional beroperasi pada tegangan yang lebih tinggi daripada kamar
ionisasi. Daerah ini ditandai dengan mulai terjadinya multiplikasi gas yang besarnya
bergantung pada jumlah elektron mula-mula dan
tegangan yang digunakan. Karena terjadi multiplikasi
7
maka ukuran pulsa yang dihasilkan sangat besar.

Multiplikasi terjadi karena elektron-elektron yang dihasilkan oleh ionisasi primer dipercepat
oleh tegangan yang digunakan sehingga elektron tersebut memiliki energi yang cukup untuk
melakukan ionisasi berikutnya (ionisasi sekunder). Meskipun terjadi multiplikasi, namun
jumlah elektron yang dihasilkan tetap sebanding (proporsional) dengan ionisasi mula-mula.
Karena itu dinamakan alat pantau proporsional.
Keuntungan dari alat pantau proporsional adalah bahwa alat ini mampu mendeteksi
radiasi dengan intensitas cukup rendah. Namun, memerlukan sumber tegangan yang super
stabil, karena pengaruh tegangan pada daerah ini sangat besar terhadap tingkat multiplikasi gas
dan juga terhadap tinggi pulsa out put.
3. Detektor Geiger Mueller
Sejak ditemukan detektor radiasi pengion oleh Hans Geiger pada tahun 1908, kemudian
tahun 1928 disempurnakan oleh Walther Mueller menjadi tabung detektor Geiger-Mueller
yang konstruksinya sederhana dibandingkan dengan jenis detektor yang lain. Detektor Geiger-
Mueller terdiri dari suatu tabung logam atau gelas dilapisi logam yang biasanya diisi gas seperti
argon, neon, helium atau lainnya (gas mulia dan gas poliatomik) dengan perbandingan tertentu.
Detektor Geiger (Geiger Counter) merupakan alat ukur cacah radiasi yang berdasarkan
pada prinsip ionisasi atom-atom gas. Detektor ini berisi gas pada tekanan rendah, kawat halus
yang berfungsi sebagai anode, dan selubung silinder sebagai katode. Jika terdapat partikel dari
radiasi bahan radioaktif yang masuk melalui jendela (window) detektor, maka partikel itu
dipercepat oleh anode, sehingga dapat mengionisasi gas disekitar anode, dan akibatnya
diperoleh pulsa listrik. Cacah pulsa listrik itu sebanding dengan jumlah partikel dari bahan
radioaktif yang masuk detector.
2.2 Sistem Deteksi Berbasis Detektor Sintilasi
Detektor jenis ini merupakan alat ukur cacah radiasi oleh bahan radioaktif, atau radiasi oleh
alam pada berbagai nilai tenaga dari partikel atau foton yang dideteksi. Jika sinar jatuh pada
kristal scintilator (NaI) maka kristal berpendar. Hal ini disebabkan oleh elektron atau atom dari
kristal yang tereksitasi, dan kemudian kembali ke
arah bawah dengan mengemisi foton. Radiasi foton
8
itu mengenai katode, dan selanjutnya katode melepas elektron yang disebut radiasi fotokatode.
Selanjutnya, kelajuan elektron diperbesar dengan melewatkannya pada beda potensial
bertingkat sehingga potensialnya naik secara bertahap, serta diperkuat oleh tabung
fotomultiplier. Detektor ini juga mampu memberi informasi tenaga dari partikel atau foton
yang ditangkap oleh detektor itu.
Detektor sintilasi terdiri dari dua bagian, yaitu bahan sintilator dan photomultiplier. Bahan
sintilator merupakan suatu bahan padat, cair maupun gas, yang akan menghasilkan percikan
cahaya bila dikenai radiasi pengion. Photomultiplier digunakan untuk mengubah percikan
cahaya yang dihasilkan bahan sintilator menjadi pulsa listrik.
a. Sintilator Cair (Liquid Scintillation)
Detektor ini sangat spesial dibandingkan dengan jenis detektor yang lain karena
berwujud cair. Sampel radioaktif yang akan diukur dilarutkan dahulu ke dalam sintilator cair
ini sehingga sampel dan detektor menjadi satu kesatuan larutan yang homogen. Secara
geometri pengukuran ini dapat mencapai efisiensi 100 % karena semua radiasi yang
dipancarkan sumber akan “ditangkap” oleh detektor. Metode ini sangat diperlukan untuk
mengukur sampel yang memancarkan radiasi b berenergi rendah seperti tritium dan C14.

Masalah yang harus diperhatikan pada metode ini adalah quenching yaitu berkurangnya
sifat transparan dari larutan (sintilator cair) karena mendapat campuran sampel. Semakin pekat
konsentrasi sampel maka akan semakin buruk tingkat transparansinya sehingga percikan
cahaya yang dihasilkan tidak dapat mencapai photomultiplier.
Proses sintilasi pada bahan ini dapat dijelaskan dengan gambar di bawah. Di dalam
kristal bahan sintilator terdapat pita-pita atau daerah yang dinamakan sebagai pita valensi dan
pita konduksi yang dipisahkan dengan tingkat energi tertentu. Pada keadaan dasar, ground
state, seluruh elektron berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Ketika
terdapat radiasi yang memasuki kristal, terdapat kemungkinan bahwa energinya akan terserap
oleh beberapa elektron di pita valensi, sehingga dapat meloncat ke pita konduksi. Beberapa
saat kemudian elektron-elektron tersebut akan kembali ke pita valensi melalui pita energi bahan
aktivator sambil memancarkan percikan cahaya.

9
Jumlah percikan cahaya sebanding dengan energi radiasi diserap dan dipengaruhi oleh
jenis bahan sintilatornya. Semakin besar energinya semakin banyak percikan cahayanya.
Percikan-percikan cahaya ini kemudian ‘ditangkap’ oleh photomultiplier.
Berikut ini adalah beberapa contoh bahan sintilator yang sering digunakan sebagai detektor
radiasi.
1) Kristal NaI(Tl)
Detektor NaI(Tl) merupakan detektor jenis sintilasi.
Bahan sintilator berupa kristal tunggal Natrium Iodida yang didopping dengan sedikit
Tallium.
Sinar gamma yang terdeteksi berinteraksi dengan atom-atom bahan sintilator berupa
interaksi efek fotolistrik, hamburan Compton, dan efek pembentukan pasangan.
Elektron bebas hasil interaksi selanjutnya akan mengalami proses ionisasi dan
penetralan (excitasi).

2) Kristal ZnS(Ag)
3) Kristal LiI(Eu)
4) Sintilator Organik

b. Tabung Photomultiplier
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, setiap detektor sintilasi terdiri atas dua bagian
yaitu bahan sintilator dan tabung photomultiplier. Bila bahan sintilator berfungsi untuk
mengubah energi radiasi menjadi percikan cahaya maka tabung photomultiplier ini berfungsi
untuk mengubah percikan cahaya tersebut menjadi berkas elektron, sehingga dapat diolah lebih
lanjut sebagai pulsa / arus listrik.
Tabung photomultiplier terbuat dari tabung hampa yang kedap cahaya dengan
photokatoda yang berfungsi sebagai masukan pada salah satu ujungnya dan terdapat beberapa
dinode untuk menggandakan elektron seperti terdapat pada gambar 4. Photokatoda yang
ditempelkan pada bahan sintilator, akan memancarkan elektron bila dikenai cahaya dengan
panjang gelombang yang sesuai. Elektron yang dihasilkannya akan diarahkan, dengan
perbedaan potensial, menuju dinode pertama. Dinode tersebut akan memancarkan beberapa
elektron sekunder bila dikenai oleh elektron.

10
Elektron-elektron sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju dinode kedua
dan dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan seterusnya sehingga elektron yang
terkumpul pada dinode terakhir berjumlah sangat banyak. Dengan sebuah kapasitor kumpulan
elektron tersebut akan diubah menjadi pulsa listrik.
c. Kelebihan Detektor Sintilasi

1. Bekerja sangat cepat; yaitu dapat memberikan pulsa listrik dan kembali ke tahanan
semula, kemudian siap digunakan lagi dalam waktu yang sangat pendek (10-8 s).
2. Dapat dirancang untuk memberikan ukuran pulsa yang berbanding lurus dengan
kehilangan energy radiasi di dalam sintilator.
3. Mempunyai efisiensi pendeteksian terhadap sinar gamma lebih tinggi dibandingkan
pencacah isi gas.

2.3 Detektor Zat Padat


Berdasarkan daya hantarnya, bahan dibagi menjadi: konduktor, semikonduktor, dan
isolator.
Pada kristal, elektron berada pada tingkat-tingkat energi yang sangat berdekatan hingga
menyerupai pita energi.
Detektor ini menggunakan bahan utama semikonduktor yang merupakan gandengan
positif (P) dan negatif (N). Jika detektor tidak teradiasi, maka tidak mengalirkan arus listrik,
sedangkan apabila ada radiasi dapat memberikan lubang (hole) pada bahan gabungan, sehingga
muncul arus listrik. Alat ini cukup sederhana, hanya saja volume aktif bahan yang dimiliki
sangat kecil.
Bahan semikonduktor, yang diketemukan relatif lebih baru daripada dua jenis detektor
di atas, terbuat dari unsur golongan IV pada tabel periodik yaitu silikon atau germanium.
Detektor ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu lebih effisien dibandingkan dengan
detektor isian gas, karena terbuat dari zat padat, serta mempunyai resolusi yang lebih baik
daripada detektor sintilasi.

11
Pada dasarnya, bahan isolator dan bahan semikonduktor tidak dapat meneruskan arus
listrik. Hal ini disebabkan semua elektronnya berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi
kosong. Perbedaan tingkat energi antara pita valensi dan pita konduksi di bahan isolator sangat
besar sehingga tidak memungkinkan elektron untuk berpindah ke pita konduksi ( > 5 eV )
seperti terlihat di atas. Sebaliknya, perbedaan tersebut relatif kecil pada bahan semikonduktor
( < 3 eV ) sehingga memungkinkan elektron untuk meloncat ke pita konduksi bila mendapat
tambahan energi.
Energi radiasi yang memasuki bahan semikonduktor akan diserap oleh bahan sehingga
beberapa elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Bila di antara kedua
ujung bahan semikonduktor tersebut terdapat beda potensial maka akan terjadi aliran arus
listrik. Jadi pada detektor ini, energi radiasi diubah menjadi energi listrik.

Proses perubahan energi radiasi menjadi energi listrik


Sambungan semikonduktor dibuat dengan menyambungkan semikonduktor tipe N
dengan tipe P (PN junction). Kutub positif dari tegangan listrik eksternal dihubungkan ke tipe
N sedangkan kutub negatifnya ke tipe P seperti terlihat pada Gambar 7. Hal ini menyebabkan
pembawa muatan positif akan tertarik ke atas (kutub negatif) sedangkan pembawa muatan
negatif akan tertarik ke bawah (kutub positif), sehingga terbentuk (depletion layer) lapisan
kosong muatan pada sambungan PN. Dengan adanya lapisan kosong muatan ini maka tidak
akan terjadi arus listrik. Bila ada radiasi pengion yang memasuki lapisan kosong muatan ini
maka akan terbentuk ion-ion baru, elektron dan hole, yang akan bergerak ke kutub-kutub positif
dan negatif. Tambahan elektron dan hole inilah yang akan menyebabkan terbentuknya pulsa
atau arus listrik.
Oleh karena daya atau energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan ion-ion ini lebih
rendah dibandingkan dengan proses ionisasi di gas, maka jumlah ion yang dihasilkan oleh
energi yang sama akan lebih banyak. Hal inilah yang menyebabkan detektor semikonduktor
sangat teliti dalam membedakan energi radiasi yang mengenainya atau disebut mempunyai
resolusi tinggi. Sebagai gambaran, detektor sintilasi untuk radiasi gamma biasanya mempunyai
resolusi sebesar 50 keV, artinya, detektor ini dapat membedakan energi dari dua buah radiasi
yang memasukinya bila kedua radiasi tersebut

12
mempunyai perbedaan energi lebih besar daripada 50 keV. Sedang detektor semikonduktor
untuk radiasi gamma biasanya mempunyai resolusi 2 keV. Jadi terlihat bahwa detektor
semikonduktor jauh lebih teliti untuk membedakan energi radiasi.
Sebenarnya, kemampuan untuk membedakan energi tidak terlalu diperlukan dalam
pemakaian di lapangan, misalnya untuk melakukan survai radiasi. Akan tetapi untuk keperluan
lain, misalnya untuk menentukan jenis radionuklida atau untuk menentukan jenis dan kadar
bahan, kemampuan ini mutlak diperlukan.
Kelemahan dari detektor semikonduktor adalah harganya lebih mahal, pemakaiannya
harus sangat hati-hati karena mudah rusak dan beberapa jenis detektor semikonduktor harus
didinginkan pada temperatur Nitrogen cair sehingga memerlukan dewar yang berukuran cukup
besar.

2.4 Litbang Sistem Deteksi Dan Pengukuran Radionuklida


Pengembangan beberapa sistem deteksi radionuklida yang dilakukan meliputi kegiatan
rancang bangun, penguasaan sejumlah metode beserta validasinya, dan peningkatan kinerja
komponen-komponen sistem deteksi, yaitu detektor, sistem elektronik pengolah pulsa, serta
sistem akusisi dan analisis data. Ada empat jenis sistem deteksi radionuklida yang kami
kembangkan, yaitu sistem deteksi untuk laboratorium metrologi radiasi, untuk penelitian fisika
inti, untuk pelaksaan traktat pelarangan uji coba nuklir, dan untuk keselamatan radiasi
lingkungan. Karena masing-masing tujuan aplikasi memerlukan persyaratan dan spefisikasi
sistem deteksi yang berbeda, diperlukan beragam inovasi dalam rancang bangun, penguasaan
metode, dan usaha untuk peningkatan kinerja sistem. Secara singkat, dapat disampaikan bahwa
untuk metrologi radiasi diperlukan sistem deteksi dengan tingkat ketelitian pengukuran
(accuracy) tinggi, untuk penelitian fisika inti diperlukan sistem deteksi peka posisi dengan
detektor berukuran besar dilengkapi daya pisah posisi (position resolution) tinggi, dan untuk
mendukung rezim verifikasi Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (CTBT) diperlukan
sistem deteksi dengan kepekaan (sensitivity) tinggi.
a. Sistem Deteksi untuk Laboratorium Metrologi Radiasi
Suatu laboratorium metrologi radiasi dituntut mampu menyediakan berbagai jenis
dan bentuk sumber radiasi standar melalui penentuan aktivitas sumber tersebut, baik dengan
metode absolut (langsung) maupun metode relatif (tak langsung) dengan tingkat ketelitian
tinggi atau nilai ketidakpastian pengukuran (measurement uncertainty) rendah. Dengan
metode absolut, aktivitas cuplikan bahan baku sumber radionuklida standar diukur tanpa
harus mengalibrasi sistem deteksi yang digunakan,sedangkan dengan metode relatif, sistem
deteksi perlu dikalibrasi terlebih dahulu. Metode absolut menghasilkan sumber radiasi standar
primer, sedangkan metode relatif menghasilkan sumberradiasi standar sekunder atau tersier.
Kualitas sumber standar ditentukan oleh tingkat ketelitian, baik dalam penyiapancuplikan
maupun dalam pengukuran aktivitas. Pada umumnya, penentuan aktivitas secara absolut
menghasilkan sumber standardengan ketidakpastian pengukuran +1%–2%, sedangkan untuk
pengukuran secara relatif sebesar +2%–5%.
Sistem deteksi bermetode absolut menggunakan detektorproporsional bergeometri 4 yang
memungkinkan untuk mencacah partikel- yang terpancar dari suatu sumber cuplikan
berbentuk titik yang diletakkan di dalam detektor.
Secara teoretis, detektor bergeometri 4 memberikan

13
efisiensi deteksi mendekati100% karena hampir seluruh partikel- yang terpancar ke segala
arah berada dalam ruang aktif detektor sehingga aktivitas suatu cuplikan dapat ditentukan
dengan memperhitungkan beberapa faktor koreksi. Sejumlah faktor koreksi dapat
dieliminasi dengan teknik koinsidensi, keluaran detektor partikel- berbasisproporsional 4
dan detektor radiasi-/x berbasis sintilasi NaI(Tl) dikombinasikan menjadi suatu sistem
koinsidensi 4p-. Uji coba sistem tersebut telah dimulai sejak tahun 1982 untuk penentuan
aktivitas radionuklida pemancar partikel- dan sinar-. Pada awal pengembangannya5,6,
sistem koinsidensi 4p- telah digunakan untuk standardisasi radionuklida pemancar--
dengan bagan peluruhan sederhana seperti 60Co, 134Cs, dan 131I. Pengembangan lebih lanjut
telah dilakukan untuk standardisasi radionuklida permancar- murni seperti 90Sr, dan
radionuklida dengan bagan peluruhan kompleks seperti 153Sm. Di dalam pengembangan
sistem deteksi ini telah kami temukan pula metode baru dalam penentuan tegangan kerja
optimum detektor proporsional 4p secara cepat. Secara konvensional, tegangan kerja
detektor proporsional ditentukan melalui kurva “plateau” yang diperoleh dari pengukuran
laju cacah dengan variasi tegangan kerja. Dengan metode baru ini, tegangan kerja optimum
dapat ditentukan dalam waktu yang lebih singkat.Sambil melihat tampilan pada osiloskop,
pulsa asli dan pulsa derau keluaran detektor dipisahkan dengan sebuah rangkaian
diskriminator. Metode ini telah digunakan di Laboratorium Metrologi Radiasi di Pusat
Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR)-BATAN secara rutin.
b. Sistem Deteksi untuk Litbang Fisika Inti
Eksperimen fisika inti menggunakan siklotron dan spektrograf magnetik. Eksperimen
ini memerlukan suatu focal plane detectorsystem yang terdiri atas satu atau lebih detektor
peka posisi (position sensitive) untuk mengetahui posisi, distribusi, dan arah datangnya
partikel; detektor sintilasi dengan sintilator plastik untuk penentuan energi berkas partikel;
dan sistem elektronik pengolah pulsa keluaran detektor beserta perangkat lunaknya. Dalam
usaha ini, telah merancang detektor peka posisi baru yang akan dinjadikan komponen utama
focal plane detector system untuk eksperimen fisika inti dengan menggunakan spektrograf
magnetik RAIDEN di Research Center for Nuclear Physics (RCNP)-Osaka Univeristy.
Detektor tersebut berfungsi untuk mendeteksi spektrum energi eksitasi deuteron atau proton
keluaran spektrograf yang berkisar antara 0–6 MeV. Spektrum tersebut merupakan hasil
reaksi antara bahan target yang akan diteliti karakteristik inti atomnya dan berkas proton
atau deuteron terpolarisasi yang dipercepat dengan suatu siklotron AVF hingga mencapai
energi kinetik sebesar 65 MeV atau 56 MeV. Karena muatan listriknya, deuteron atau proton
hasil reaksi yang masuk ke dalam spektograf RAIDEN akan terputar seperempat lingkaran
dengan jari-jari sebanding dengan energi kinetiknya. Dengan demikian, hasil pengukuran
spektrum posisipartikel pada keluaran spektrograf dapat dikonversi menjadispektrum energi
eksitasi proton atau deuteron. Berdasarkan spektrum tersebut, dapat dianalisis karakteristik
inti atom bahan target. Untuk kegiatan ini diperlukan detektor peka posisi dengan panjang
minimal 1,5 m dan resolusi posisi maksimal 1,5 mm full width at half maximum (FWHM)
sehingga akan diperoleh spektrum energi partikel dengan resolusi energi sekitar 40 keV
FWHM. Dalam hal ini, kami telah merancang sebuah pencacah proporsional peka posisi
beranoda tunggal dengan panjang 1,9 m, dinding katoda di sisi depan dan belakang terbuat
dari mylar0,6 mm selebar 30 mm sebagai window (jalan masuk partikelke ruang aktif
detektor), dan kawat anoda memanjang terbuat dari bahan berhambatan listrik (resistive
anoda wire) Ni-Cr51. Posisi berkas partikel ditentukan dengan metode pembagianmuatan
(charge division method). Diawali dengan terbentuknya elektron primer di ruang aktif
detektor akibat partikel yangmelintas, akibat pengaruh medan listrik, elektron primer akan
bergerak ke arah kawat anoda terdekat, lalu terjadi
penggandaan muatan listrik yang akan segera
14
terkumpul pada anoda. Muatanlistrik tersebut kemudian terbagi ke kedua ujung kawat anoda
dan dengan rangkaian penguat awal (pre-amplifier), lalu diubahmenjadi pulsa listrik dengan
amplitudo sebanding dengan jumlah muatan pada masing-masing ujung anoda. Dari
perbandingan amplitudo kedua ujung anoda yang dihitung secara otomatik dengan bantuan
rangkaian ratio to digital converter (RDC), dapat ditampilkan spektrum posisi awal
terkumpulnya muatan sehingga posisi datangnya partikel di sepanjang kawat anoda dapat
diketahui. Dengan pencacah proporsional ini, resolusiposisi yang dicapai berkisar 1,5 mm.
c. Sistem Deteksi untuk Rezim Verifikasi CTBT
Traktat CTBT mengamanatkan Preparatory Commision for the Comprehensive
Nuclear-Test-Ban Treaty Organization (PrepCom-CTBTO) agar mengembangkan sistem
deteksi radionuklida untuk keperluan inspeksi langsung dan sebagai bagian dari sistem
pemantauan global. Selama bergabung di CTBTO, bersama para ahli dari sejumah negara
anggota, kami mendapat tugas mengembangkan sistem deteksi radionuklida untuk inspeksi
langsung tersebut. Ada empat jenis sistem deteksi yang telah dikembangkan, yaitu sistem
deteksi portabel (hand held) untuk kegiatan survei radiasi jarak pendek, sistem deteksimobile
untuk kegiatan survei radiasi dalam luasan 1.000 km2, sistem pengidentifikasi radionuklida
partikulat berbasis detektorsemikonduktor HPGe, dan sistem pemantau radio-xenon (131mXe,
133m
Xe, 133Xe dan 135Xe).
Secara umum, spesifikasi sistem deteksi untuk On-site Inspection (OSI) hampir sama
dengan yang digunakan dalam sistem pemonitoran global, yaitu mampu mendeteksi dan
mengidentifikasi radionuklida yang relevan dengan suatu ledakan nuklir yang dapat berupa
produk hasil fisi, aktivasi neutron, dan sisa bahan bakar. Sejumlah radionuklida yang
signifikan bagi CTBT yang telah ditetapkan PrepCom CTBTO adalah berupa partikulat 95Nb,
95
Zr, 97Zr, 99Mo, 103Ru, 105Rh, 115Cd, 126Sb, 127Sb,131I, 131mTe, 132Te, 133I, 136Cs, 140Ba, 140La,
147
141Ce, 143Ce, 144Ce, dan Nd serta radio-xenon. Radio-xenon merupakan gas ideal yanglebih
mudah terlepas ke atmosfer, sekalipun sumber ledakan berada di bawah tanah. Tingkat
kepekaan sistem pengidentifikasi radionuklida partikulat untuk OSI setara dengan sistem
untuk pemonitoran global yang ditempatkan di laboratorium, yaitu kemampuan mendeteksi
lepasan radinuklida 140Ba dengan minimum detectable concentration (MDC) 10–30 Bq/m3
cuplikan udara. Untuk alat deteksi radio-xenon, spesifikasi yang harus dipenuhi adalah
kemampuan mendeteksi 133Xe dengan MDC 1 mBq/m3 cuplikan udara. Sebagai pembanding,
MDC alat pemantau radioaktivitas lingkungan di PTKMR- BATAN memiliki orde 1000
kali lebih besar, yaitu sekitar1 Bq/kg cuplikan padat atau cair. Selain itu, karena peralatan
akan dibawa masuk ke suatu wilayah negara terduga pelanggar traktat, ada dua spesifikasi
tambahan, yaitu mudah diangkut dan dioperasikan di medan dengan berbagai kondisi
lingkungan yang ekstrem, dan adanya pembatasan kemampuan identifikasi hanya terhadap
radionuklida yang relevan dengan CTBT (measurementrestriction). Kemampuan identifikasi
terhadap radionuklida yang tidak relevan dengan CTBT harus dibutakan (blinding). Dengan
sejumlah persyaratan tersebut, seluruh sistem deteksi untuk OSI harus dikembangkan secara
khusus (tailored) karenatidak ditemukan di pasaran (of-the-shelf). Rancang bangun sistem
deteksi untuk OSI dibuat berdasarkan masukan para ahli dari negara-negara anggota dan
kemudian kami tuangkan dalam dokumen teknis CTBTO yang bersifat informatif16,17,18.
Berbasis dokumen ini, dapat kami susun spesifikasi teknis untuk proses pengadaan,
konstruksi, dan pengujian di laboratorium dan di lapangan. Sistem ini telah digunakan untuk
keperluan testing dan training.
Sistem deteksi portabel (hand held) untuk kegiatan survei radiasi jarak pendek
kami peroleh melalui modifikasi sistem yang telah
ada di pasaran yang berbasis sistem deteksi radiasi
15
sinar- dengan detektor sintilasi NaI(Tl)16. Persyaratan measurement restriction dan
blinding, kami realisasikan melaluipembatasan jumlah data nuklir yang disimpan di dalam
library perangkat lunaknya sehingga tampilan hasil pengukuran dan analisis hanya terbatas
pada radionuklida yang relevan dengan CTBT saja. Untuk meningkatkan kepekaan deteksi,
sistem ini dilengkapi dengan koreksi cacah latar belakang yang berasal dari radionuklida
40
K, 238U, dan 232Th. Rancang bangun sistem deteksi mobile untuk kegiatan survei radiasi
dengan medanyang luas, pada prinsipnya sama dengan sistem portabel, tetapi digunakan
detektor sintilasi dengan volume kristal yang jauh lebih besar. Sistem deteksi portabel dan
mobile telah digunakanuntuk pengujian konsep-konsep operasi OSI dan training para calon
inspektur.
d. Deteksi Radio-Xenon di Indonesia
Fasilitas produksi 99Mo sebagai generator isotop medik 99mTc berbahan baku
uranium, seperti milik PT BaTek (sekarang PT INUKI), menghasilkan produk fisi radio-
xenon dengan karakteristik yang hampir sama dengan radio-xenon dari suatu ledakan
nuklir. Karena waktu paruh radio-xenon yang paling dominan, yaitu 133Xe hanya 5,2 hari
dan disertai faktor pengenceran udara yang besar, walaupun terlepasnya radio- xenon ke
lingkungan dapat diabaikan dari aspek keselamatan radiasi. Namun, masih cukup signifikan
pengaruhnya dari aspekkinerja sistem pemantau radio-xenon CTBTO yang berada di stasiun
terdekat. Hal ini mendorong dilakukannya penelitian untuk mengetahui karakteristik lepasan
radio-xenon dari sejumlah fasilitas produksi isotop medik di seluruh dunia. Untukpenelitian
di Indonesia, kami berhasil menggalang kerja sama internasional dan mendapatkan pendanaan
dari Uni Eropa dan US DOE. Kerja sama penelitian antara BATAN, CTBTO, PT BaTekdan
PNNL-USA dilakukan untuk pengukuran radio-xenon di dua tempat, yaitu di cerobong gas
PT BaTek di Kawasan NuklirSerpong dan di Kawasan Nuklir Pasar Jumat yang berjarak 14
km dari cerobong. Untuk pengukuran di PT BaTek digunakan sistem deteksi berbasis
spektrometri- dengan detektor sintilasi LaBr3(Ce) yang dilengkapi dengan sistem pencuplik
gas, perisairadiasi, sistem pengolah pulsa, sistem penyimpan data berbasis multi channel
analyser (MCA), dan laptop. Kristal LaBr3(Ce) dipilih karena merupakan bahan sintilator
yang menghasilkan daya pisah energi terbaik di antara detektor sintilasi di pasaran. Sistem
deteksi radio-xenon yang dioperasikan sejak 1 Februari 2013 sampai dengan 22 Desember
2013 berhasil memantau 80% dari waktu produksi PT BaTek. Dalam waktu tersebut, telah
terhimpun sekitar 25 ribu data spektrum radiasi- dengan interval 10 menit. Dari pengukuran
ini diketahui bahwa aktivitas rata-rata harian radio-xenon di cerobong PT BaTek pada bulan
Februari, Maret, dan April 2013 adalah sebesar 2,81012 Bq 133Xe dan 6,51012 135Xe19. Lepasan
radio-xenon yang bersumber dari 590 Ci 99Mo dalam 6 hari produksi pada kurun waktu
tersebut sangat rendah dari aspek keselamatan radiasi, namun dapat dengan mudah terdeteksi
oleh sistem deteksi radio-xenon Swedish Automatic Unit for Noble Gas Acquisition II
(SAUNA II) yang berjarak 14 km dari cerobong lepasan di Serpong.

2.5 Keunggulan - Kelemahan Detektor


Dari pembahasan di atas terlihat bahwa setiap radiasi akan diubah menjadi sebuah pulsa
listrik dengan ketinggian yang sebanding dengan energi radiasinya. Hal tersebut merupakan
fenomena yang sangat ideal karena pada kenyataannya tidaklah demikian. Terdapat beberapa
karakteristik detektor yang membedakan satu jenis detektor dengan lainnya yaitu efisiensi,
kecepatan dan resolusi.
Efisiensi detektor adalah suatu nilai yang
menunjukkan perbandingan antara jumlah pulsa

16
listrik yang dihasilkan detektor terhadap jumlah radiasi yang diterimanya. Nilai efisiensi
detektor sangat ditentukan oleh bentuk geometri dan densitas bahan detektor. Bentuk geometri
sangat menentukan jumlah radiasi yang dapat 'ditangkap' sehingga semakin luas permukaan
detektor, efisiensinya semakin tinggi. Sedangkan densitas bahan detektor mempengaruhi
jumlah radiasi yang dapat berinteraksi sehingga menghasilkan sinyal listrik. Bahan detektor
yang mempunyai densitas lebih rapat akan mempunyai efisiensi yang lebih tinggi karena
semakin banyak radiasi yang berinteraksi dengan bahan.
Kecepatan detektor menunjukkan selang waktu antara datangnya radiasi dan
terbentuknya pulsa listrik. Kecepatan detektor berinteraksi dengan radiasi juga sangat
mempengaruhi pengukuran karena bila respon detektor tidak cukup cepat sedangkan intensitas
radiasinya sangat tinggi maka akan banyak radiasi yang tidak terukur meskipun sudah
mengenai detektor.
Resolusi detektor adalah kemampuan detektor untuk membedakan energi radiasi yang
berdekatan. Suatu detektor diharapkan mempunyai resolusi yang sangat kecil (high resolution)
sehingga dapat membedakan energi radiasi secara teliti. Resolusi detektor disebabkan oleh
peristiwa statistik yang terjadi dalam proses pengubahan energi radiasi, noise dari rangkaian
elektronik, serta ketidak-stabilan kondisi pengukuran.
Aspek lain yang juga menjadi pertimbangan adalah konstruksi detektor karena semakin
rumit konstruksi atau desainnya maka detektor tersebut akan semakin mudah rusak dan
biasanya juga semakin mahal.
Tabel berikut menunjukkan karakteristik beberapa jenis detektor secara umum
berdasarkan beberapa pertimbangan di atas.

Pemilihan detektor harus mempertimbangkan spesifikasi keunggulan dan kelemahan


sebagaimana tabel di atas. Sebagai contoh, detektor yang digunakan pada alat ukur portabel
(mudah dibawa) sebaiknya adalah detektor isian gas, detektor yang digunakan pada alat ukur
untuk radiasi alam (intensitas sangat rendah) sebaiknya adalah detektor sintilasi, sedangkan
detektor pada sistem spektroskopi untuk menganalisis bahan sebaiknya detektor
semikonduktor.

17
DAFTAR PUSTAKA

http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Dasar_04.htm
Jati B. Murdaka Eka dan Priyambodo T. Kuntoro. 2010. Fisika Dasar untuk Mahasiswa Ilmu-
ilmu Eksakta dan Teknik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Safitri Irma, dkk. 2011. Jurnal Perbandingan Karakteristik Detektor Geiger-Mueller Self
Quenching dengan External Quenching. Diakses pada tanggal 15 April 2015.
Surakhman dan Sayono. 2009. Jurnal Pembuatan Detektor Geiger-Mueller Tipe Jendela
Samping dengan Gas Isian Argon –Etanol. Diakses pada tanggal 15 April 2015.

18

Anda mungkin juga menyukai