Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, yang mana sebagai salah satu tugas

pelajaran SIROH di SMP Swasta Nurul Ilmi padang Sidempuan.

Makalah ini tentang : Asas Masyarakat Baru , Asas Kedua Ukhuwah Sesama Kaum

Muslimin. Dalam hal ini penulis menyadari bahwa meskipun penulis telah berupaya untuk dapat

menyusun dan menyajikan makalah yang terbaik, namun dengan segala keterbatasan, kemampuan

dan pengetahuan yang penulis miliki, maka makalah ini masih jauh dari yang diharapkan, baik

ditinjau dari aspek gaya bahasa maupun kedalaman materinya. Oleh karena itu sebagai salah satu

upaya untuk lebih menyempurnakan makalah ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan

saran yang membangun dari semua pihak.

Akhirnya atas perhatian dan bantuan dari semua pihak penulis ucapkan terima kasih.

Penulis

Muflih Zaki Nasution


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR …………………………………………………......... i

DAFTAR ISI …………………………..………………………....... ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………..………………………....... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ukhuwah Islamiyah …..…………………………………….…… 3

B. Hakikat Ukhuwah Islamiyah ……….………………………………………..… 3

C. Dalil/ Hadist Tentang Ukhuwah Islamiyah ………………..……….…… 4

D. Faktor Penghambat Ukhuwah Islamiyah………………………..….….. 6

E. Urgensi Asas kedua Ukhuwah Sesama Kaum Muslimin …………. 6

BAB III KESIMPULAN

KESIMPULAN.............................................................................. 8

PERTANYAAN…………………………………………………………………………. 8

REFERENSI……………………………………………………………………………… 9
Asas kedua yang dibangun Rasulullah saw untuk menegakkan masyarakat dan Negara Islam.

Kemudian Rasulullah saw, mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum Muhajirin


dan Anshar atas dasar kebenaran dan rasa persamaan. Bahkan mereka dipersaudarakan untuk
saling mewarisi sepeninggal mereka, sehingga pengaruh Ukhuwwah Isalmiyah lebih kuat dan
membekas daripada pengaruh ikatan darah (keluarga /kekerabatan).

Rasulullah saw mempersaudarakan Ja‘far bin Abi Thalib dengan Mu‘adz bin Jabal,
Hamzah bin Abdul Mutthalib dengan Zaid bin Zuhair, Umar bin Khatthab dengan ‚Ütbah bin
Malik, Abdul Rahman bin Auf dengan Sa‘id bin Rabi‘ dan seterusnya. Selanjutnya Rasulullah saw
mengikat persaudaraan antara para sahabat ini dengan suatu kerangka umum berupa
Ukhuwwah dan muwalah (penyerahan loyalitas ) , seperti yang akan kita lihat. Ukhuwwah ini
juga didasarkan pada prinsip-prinsip material, di antaranya ialah ditetapkannya prinsip saling
mewatisi sesama mereka. Ikatan-ikatan perusaudaraan ini tetap didahulukan daripada hak-hak
kekeluargaan sampai terjadi perang Badar Kubra, ketika diturunkan firman Allah swt :

„…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagaimana lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah swt. Sesungguhnya
Allah swt Mengetahui segala sesuatu.“ (QS Al-Anfal (8) : 75)

Ayat ini menghapuskan hukum yang berlaku sebelumnya sehingga turunnya ayat ini
terhapuslah pengaruh Ukhuwwah Islamiyah dalam hal waris-mewarisi. Setelah itu, setiap orang
kembali kepada nasab kerabatnya masing-masing. Dan abadilah persaudaraan sesama kaum
Muslimin.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata :“ Ketika kaum Muhajirin datang ke
Madinah seorang Muhajir mewarisi seorang Anshar tanpa adanya hubungan keluarga, karena
Ukhuwwah yang telah dijalin oleh Nabi saw ketika turun ayat (artinya) : „Bagi tiap harta
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-
pewarisnya ….“ Terhapuslah hukum tersebut. Dengan demikian, berakhirlah masa keberlakuan
hukum waris-mewarisi berdasarkan ikatan ukhuwwah tersebut.

Asas kedua yang dibangun Rasulullah saw untuk menegakkan masyarakat dan Negara Islam.

Urgensi asas ini akan tampak dalam beberapa aspek berikut :

Pertama,
Negara manapun tidak akan berdiri dan tegak tanpa adanya kesatuan dan dukungan ummatny.a
Sedangkan kesatuan dan dukungan tidak akan lahir tanpa adanya saling bersaudara dan
mencintai. Setiap Jama‘ah yang tidak disatukan oleh ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang
sebenarnya, tidak akan mungkin dapat bersatu pada suatu prinsip.

Oleh sebab itu, Rasulullah saw menjadian Aqidah Islamiyah yang bersumber dari Allah swt,
sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para sahabatnya, dan menempatkan semua
manusia dalam satu barusan ‚ubudiyah hanya kepada-Nya tanpa perbedaan apapun kecuali
ketaqwaan dan amal shalih. Karena tidak mungkin persaudaraan , saling tolong-menolong dan
saling mengutamakan, dapat berkembang di antara orang-orang yang dipecah-pecah oleh aqidah
dan pemikiran yang beraneka ragam, yang masing-masing senantiasa memperturutkan egoisme
hawa nafsunya sendiri.

Kedua,
Sosok masyarakat-masyarakat manapun akan berbeda dari kumpulan manusia yang bercerai
berai dengan satu hal, yaitu tegaknya prinsip saling tolong menolong, dan mendukung sesama
anggota masyarkat tersebut dalam segala aspek kehidupan. Jika prinsip saling tolong menolong
dan mendukung ini dilaksanakan sesuai prinsip keadilan dan persamaan , maka itulah
masyarakat yang adil dan sejahtera. Sebaliknya, andaikata prinsip ini dilaksankaan secara
dhalim dan tidak benar maka itulah masyarakat yang dalim dan menyimpang. Jikalau suatu
masyarakat yang sejahtera hanya bisa diwuudkan berdasarkan prinsip keadilan dalam
memanfaatkan sarana-sarana kehidupan, lalu faktor apakah yang dapat menjamin penerapan
keadilan ini secara baik ?

Karena itulah Rasulullah saw menjadikan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar sebagai
asas bagi prinsip-prinsip keadilan sosial yang telah terbuktikan sebagai sistem sosial yang paling
baik di dunia. Prinsip-prinsip keadilan ini kemudian berkembang dan mengikat menjadi hukum-
hukum dan undang-undang syariat yang tetap. Tetapi kesemua hukum dan undang-undang
syariat ini terbentuk berdasarkan pada basis pertama yaitu Ukhuwwah Islamiyah. Seandainya
Ukhuwwah Islamiyah yang agung tidak ada maka dapat dipastikan bahwa prinsip-prinsip
keadilan itu tidak akan memiliki pengaruh yang positif dan aplikatif dalam menegakkan
masyarakat Islam dan mendukung eksistensinya.

Ketiga,

Nilai yang menyertai Syiar Persaudaraan Persaudaraan yang ditegakkan Rasulullah saw , di
antara pada sahabatnya bukan sekedar syiar yang diucapkan, tetapi merupakan kenyataan yang
terlihat dalam realitas kehidupan dan menyangkut segala bentuk hubungan yang berlangsung
antara Muhajirin dan Anshar. Karenaitu Rasulullah saw menjadikan Ukhuwwah ini sebagai
tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara bersama. Dan tanggung jawab ini telah
dilaksanakan oleh mereka dengan sebaik-baiknya. Sebagai contohnya, cukuplah kami sebutkan
apa yang dilakukan oleh Sa‘d bin Rabi‘ yang dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Abdul
Rahman bin Auf untuk mengambil separuh dari kekayaan yang dimilikinya bahkan salah seorang
istrinya. Sikap persaudaraan seperti ini tidak hanya dilakukan dan ditujukan oleh Sa‘d bin Rabi‘ ,
tetapi dilakukan oleh semua sahabat dalam melakukan hubungan dan solidaritas sesama
mereka, khususnya setelah hijrah dan setelah dipersaudarakan Rasulullah saw.

Karena itu pula Allah swt menjadikan hak waris berdasarkan ikatan Ukhuwwah ini, tanpa ikatan
keluarga dan kerabat. Di antara hikmah persyariatan ini ialah untuk menampakkan Ukhuwwah
Islamiyah sebagai hakekat yang dirasakan secara nyata. Juga supaya diketahui dan disadari
bahwa ikatan persaudaraan dan kasih sayang sesama Muslim bukan sekedar slogan yang
diucapkan, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu kewajiban yang memiliki berbagai
konsekuensi sosial.

Menyangkut hikmah dihapuskannya hak waris berdasarkan ukhuwwah ini, ternyata sistem
pembagian warisan yang pada akhirnya ditetapkan pun tidak jauh berbeda. Sebab, sistem
pembagian warisan yang secara final ditetapkan juga didasarkan pada hukum Ukhuwwah
Islamiyah, yakni orang yang berlainan agama tidak boleh saling mewarisi. Selama masa pertama
hijrah masing-masing dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar harus menghadapi tanggung jawab
khusus berupa saling tolong-menolong dan saling memberikan perlindungan disebabkan oleh
perpindahan kaum Muhajirin ke Madinah meninggalkan keluarga, rumah dan harta kekayaan
mereka di Mekkah. Untuk menjamin terlaksananya tanggung jawab inilah maka Rasulullah saw
mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, dengan konsekuensi atau tuntutan
tanggung jawabnya adalah bahwa ukhuwwah tersebut harus lebih kuat pengaruhnya daripada
jalinan kerabat.

Setelah kaum Muhajirin menetap di Madinah dan semengat Islam menjadi detak jantung dan
denyut nadi kehidupan masyarakat baru, maka tibalah saatnya untuk mencabut sistem
hubungan antara Muhajirin dan Anshar yang selama ini diberlakukan. Sebab, di bawah naungan
Ikhuwwah Islamiyah dengan berbagai tanggung jawabnya akan menimbulkan perpecahan di
kalangan mereka. Tak perlu dikhawatirkan lagi jika hubungan kerabat sesama kaum Muhajirin
kembali diakui pengaruhnya di samping ikatan Islam dan Ukhuwah Islamiyah.

Di samping itu, sesungguhnya sebelum mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar ini,
Rasulullah saw telah mempersaudarakan antara sesama kaum Muhajirin di Mekkah. Ibnu Abdil
Barr berkata ;“ Persaudaraan ini diadakan dua kali : pertama antara kaum Muhajirin secara
khusus di Mekkah, kedua antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar di Madinah. “Hal ini
menegaskan kepada kita bahwa asas Ukhuwwah ialah ikatan Islam. Hanya saja setelah hijrah
perlu diperbaharui dan ditegaskan kembali karena tuntutan situasi dan pertemuan kaum
Muhajirin dan Anshar di satu negara (Madinah). Persaudaraan ini tidak berbeda dari ukhuwwah
yang didasarkan pada ikatan Islam dan kesatuan Aqidah. Bahkan merupakan penegasan secara
aplikatif terhadapnya.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mempersaudarakan para


sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar atas dasar kebenaran dan rasa
persamaan. Bahkan mereka dipersaudarakan untuk saling mewarisi sepeninggal
mereka, sehingga pengaruh Ukhuwwah Isalmiyah lebih kuat dan membekas
daripada pengaruh ikatan darah (keluarga /kekerabatan).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mempersaudarakan Ja‘far bin Abi Thalib


dengan Mu‘adz bin Jabal, Hamzah bin Abdul Mutthalib dengan Zaid bin Zuhair,
Umar bin Khatthab dengan ‚Utbah bin Malik, Abdul Rahman bin Auf dengan Sa‘id
bin Rabi‘ dan seterusnya.

Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengikat persaudaraan antara


para sahabat ini dengan suatu kerangka umum berupa Ukhuwwah dan muwalah
(penyerahan loyalitas ), seperti yang akan kita lihat.

Ukhuwwah ini juga didasarkan pada prinsip-prinsip material, di antaranya ialah


ditetapkannya prinsip saling mewarisi sesama mereka. Ikatan-ikatan perusaudaraan
ini tetap didahulukan daripada hak-hak kekeluargaan sampai terjadi perang Badar
Kubra, ketika diturunkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagaimana lebih


berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Mengetahui
segala sesuatu.“ (QS Al-Anfal (8): 75)

Ayat ini menghapuskan hukum yang berlaku sebelumnya sehingga turunnya ayat ini
terhapuslah pengaruh Ukhuwwah Islamiyah dalam hal waris-mewarisi. Setelah itu,
setiap orang kembali kepada nasab kerabatnya masing-masing. Dan abadilah
persaudaraan sesama kaum Muslimin.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata: “Ketika kaum
Muhajirin datang ke Madinah seorang Muhajir mewarisi seorang Anshar tanpa
adanya hubungan keluarga, karena Ukhuwwah yang telah dijalin oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika turun ayat (artinya): ‘Bagi tiap harta peninggalan
dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-
pewarisnya ….” Terhapuslah hukum tersebut. Dengan demikian, berakhirlah masa
keberlakuan hukum waris-mewarisi berdasarkan ikatan ukhuwwah tersebut. “

Beberapa Ibrah

Itulah asas kedua yang dibangun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk
menegakkan masyarakat dan Negara Islam. Urgensi asas ini akan tampak dalam
beberapa aspek berikut:
Pertama, Negara manapun tidak akan berdiri dan tegak tanpa adanya kesatuan dan
dukunganummatnya. Sedangkan kesatuan dan dukungan tidak akan lahir tanpa
adanya saling bersaudara dan mencintai. Setiap Jama‘ah yang tidak disatukan oleh
ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang sebenarnya, tidak akan mungkin dapat
bersatu pada suatu prinsip. Selama persatuan yang sebenarnya tidak terwujudkan
dalam suatu ummat atau Jama‘ah maka selama itu pula tidak akan mungkin
terbentuk sebauh negara.

Tetapi persaudaran juga harus didahului oleh aqidah yang menjadi ideologi dan
faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang saling berbeda aqidah dan
pemikiran adalah mimpi dan kurafat, apalagi jika aqidah atau pemikiran tersebut
akan melahirkan perilaku tertentu dalam kehidupan nyata.

Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadian Aqidah Islamiyah
yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai asas persaudaraan yang
menghimpun hati para sahabatnya, dan menempatkan semua manusia dalam satu
barisan‚ ubudiyah hanya kepada-Nya tanpa perbedaan apapun kecuali ketaqwaan
dan amal shalih. Karena tidak mungkin persaudaraan, saling tolong-menolong dan
saling mengutamakan, dapat berkembang di antara orang-orang yang dipecah-
pecah oleh aqidah dan pemikiran yang beraneka ragam, yang masing-masing
senantiasa memperturutkan egoisme hawa nafsunya sendiri.

Kedua, Sosok masyarakat-masyarakat manapun akan berbeda dari kumpulan


manusia yang bercerai berai dengan satu hal, yaitu tegaknya prinsip saling tolong
menolong, dan mendukung sesama anggota masyarkat tersebut dalam segala
aspek kehidupan. Jika prinsip saling tolong menolong dan mendukung ini
dilaksanakan sesuai prinsip keadilan dan persamaan, maka itulah masyarakat yang
adil dan sejahtera. Sebaliknya, andaikata prinsip ini dilaksanakan secara zhalim dan
tidak benar maka itulah masyarakat yang zhalim dan menyimpang. Jikalau suatu
masyarakat yang sejahtera hanya bisa diwuudkan berdasarkan prinsip keadilan
dalam memanfaatkan sarana-sarana kehidupan, lalu faktor apakah yang dapat
menjamin penerapan keadilan ini secara baik?

Sesungguhnya jaminan alamiah bagi terlaksananya keadilan tersebut hanyalah


terdapat pada persaudaraan dan kasih sayang yang sebenarnya. Setelah itu baru
menyusul jaminan kekuasaan dan undang-undang.

Betapapun keinginan suatu pemerintahan untuk melaksanakan prinsip-prinsip


keadilan ini di antara warganya, namun keinginan itu tidak akan terlaksana selama
tidak didasarkan pada prinsip saling bersaudara dan mencintai sesama mereka.
Bahkan prinsip-prinsip keadilan itu, tnapa persaudaraan dan kasih sayang, hanya
akan menjadi sumber kebencian dan kedengkian sesama anggota masyarakat
tersebut.

Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan persaudaraan


antara Muhajirin dan Anshar sebagai asas bagi prinsip-prinsip keadilan sosial yang
telah terbuktikan sebagai sistem sosial yang paling baik di dunia. Prinsip-prinsip
keadilan ini kemudian berkembang dan mengikat menjadi hukum-hukum dan
undang-undang syariat yang tetap. Tetapi kesemua hukum dan undang-undang
syariat ini terbentuk berdasarkan pada basis pertama yaitu Ukhuwwah Islamiyah.
Seandainya Ukhuwwah Islamiyah yang agung tidak ada maka dapat dipastikan
bahwa prinsip-prinsip keadilan itu tidak akan memiliki pengaruh yang positif dan
aplikatif dalam menegakkan masyarakat Islam dan mendukung eksistensinya.

Ketiga, Nilai yang menyertai Syiar Persaudaraan.

Persaudaraan yang ditegakkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antara


pada sahabatnya bukan sekedar syiar yang diucapkan, tetapi merupakan kenyataan
yang terlihat dalam realitas kehidupan dan menyangkut segala bentuk hubungan
yang berlangsung antara Muhajirin dan Anshar.

Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan Ukhuwwah ini


sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara bersama. Dan tanggung
jawab ini telah dilaksanakan oleh mereka dengan sebaik-baiknya. Sebagai
contohnya, cukuplah kami sebutkan apa yang dilakukan oleh Sa‘d bin Rabi‘ yang
dipersaudarakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Abdul
Rahman bin Auf untuk mengambil separuh dari kekayaan yang dimilikinya bahkan
salah seorang istrinya.

Sikap persaudaraan seperti ini tidak hanya dilakukan dan ditujukan oleh Sa‘d bin
Rabi‘, tetapi dilakukan oleh semua sahabat dalam melakukan hubungan dan
solidaritas sesama mereka, khususnya setelah hijrah dan setelah dipersaudarakan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Karena itu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hak waris berdasarkan
ikatan Ukhuwwah ini, tanpa ikatan keluarga dan kerabat. Di antara hikmah
persyariatan ini ialah untuk menampakkan Ukhuwwah Islamiyah sebagai hakekat
yang dirasakan secara nyata. Juga supaya diketahui dan disadari bahwa ikatan
persaudaraan dan kasih sayang sesama Muslim bukan sekedar slogan yang
diucapkan, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu kewajiban yang memiliki berbagai
konsekuensi sosial.

Menyangkut hikmah dihapuskannya hak waris berdasarkan ukhuwwah ini, ternyata


sistem pembagian warisan yang pada akhirnya ditetapkan pun tidak jauh berbeda.
Sebab, sistem pembagian warisan yang secara final ditetapkan juga didasarkan
pada hukum Ukhuwwah Islamiyah, yakni orang yang berlainan agama tidak boleh
saling mewarisi.

Selama masa pertama hijrah masing-masing dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar
harus menghadapi tanggung jawab khusus berupa saling tolong-menolong dan
saling memberikan perlindungan disebabkan oleh perpindahan kaum Muhajirin ke
Madinah meninggalkan keluarga, rumah dan harta kekayaan mereka di Mekkah.
Untuk menjamin terlaksananya tanggung jawab inilah maka Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, dengan
konsekuensi atau tuntutan tanggung jawabnya adalah bahwa ukhuwwah tersebut
harus lebih kuat pengaruhnya daripada jalinan kerabat.

Setela kaum Muhajirin menetap di Madinah dan semengat Islam menjadi detak
jantung dan denyut nadi kehidupan masyarakat baru, maka tibalah saatnya untuk
mencabut sistem hubungan antara Muhajirin dan Anshar yang selama ini
diberlakukan. Sebab, di bawah naungan Ikhuwwah Islamiyah dengan berbagai
tanggung jawabnya akan menimbulkan perpecahan di kalangan mereka. Tak perlu
dikhawatirkan lagi jika hubungan kerabat sesama kaum Muhajirin kembali diakui
pengaruhnya di samping ikatan Islam dan Ukhuwah Islamiyah.

Di samping itu, sesungguhnya sebelum mempersaudarakan antara Muhajirin dan


Anshar ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mempersaudarakan antara
sesama kaum Muhajirin di Mekkah. Ibnu Abdil Barr berkata; “Persaudaraan ini
diadakan dua kali: pertama antara kaum Muhajirin secara khusus di Mekkah, kedua
antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar di Madinah.”

Hal ini menegaskan kepada kita bahwa asas Ukhuwwah ialah ikatan Islam. Hanya
saja setelah hijrah perlu diperbaharui dan ditegaskan kembali karena tuntutan situasi
dan pertemuan kaum Muhajirin dan Anshar di satu negara (Madinah). Persaudaraan
ini tidak berbeda dari ukhuwwah yang didasarkan pada ikatan Islam dan kesatuan
Aqidah. Bahkan merupakan penegasan secara aplikatif terhadapnya

Anda mungkin juga menyukai