Bissmillahirrahmanirrahim
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, yang mana sebagai salah satu tugas
Makalah ini tentang : Asas Masyarakat Baru , Asas Kedua Ukhuwah Sesama Kaum
Muslimin. Dalam hal ini penulis menyadari bahwa meskipun penulis telah berupaya untuk dapat
menyusun dan menyajikan makalah yang terbaik, namun dengan segala keterbatasan, kemampuan
dan pengetahuan yang penulis miliki, maka makalah ini masih jauh dari yang diharapkan, baik
ditinjau dari aspek gaya bahasa maupun kedalaman materinya. Oleh karena itu sebagai salah satu
upaya untuk lebih menyempurnakan makalah ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan
Akhirnya atas perhatian dan bantuan dari semua pihak penulis ucapkan terima kasih.
Penulis
Halaman
BAB II PEMBAHASAN
KESIMPULAN.............................................................................. 8
PERTANYAAN…………………………………………………………………………. 8
REFERENSI……………………………………………………………………………… 9
Asas kedua yang dibangun Rasulullah saw untuk menegakkan masyarakat dan Negara Islam.
Rasulullah saw mempersaudarakan Ja‘far bin Abi Thalib dengan Mu‘adz bin Jabal,
Hamzah bin Abdul Mutthalib dengan Zaid bin Zuhair, Umar bin Khatthab dengan ‚Ütbah bin
Malik, Abdul Rahman bin Auf dengan Sa‘id bin Rabi‘ dan seterusnya. Selanjutnya Rasulullah saw
mengikat persaudaraan antara para sahabat ini dengan suatu kerangka umum berupa
Ukhuwwah dan muwalah (penyerahan loyalitas ) , seperti yang akan kita lihat. Ukhuwwah ini
juga didasarkan pada prinsip-prinsip material, di antaranya ialah ditetapkannya prinsip saling
mewatisi sesama mereka. Ikatan-ikatan perusaudaraan ini tetap didahulukan daripada hak-hak
kekeluargaan sampai terjadi perang Badar Kubra, ketika diturunkan firman Allah swt :
„…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagaimana lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah swt. Sesungguhnya
Allah swt Mengetahui segala sesuatu.“ (QS Al-Anfal (8) : 75)
Ayat ini menghapuskan hukum yang berlaku sebelumnya sehingga turunnya ayat ini
terhapuslah pengaruh Ukhuwwah Islamiyah dalam hal waris-mewarisi. Setelah itu, setiap orang
kembali kepada nasab kerabatnya masing-masing. Dan abadilah persaudaraan sesama kaum
Muslimin.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata :“ Ketika kaum Muhajirin datang ke
Madinah seorang Muhajir mewarisi seorang Anshar tanpa adanya hubungan keluarga, karena
Ukhuwwah yang telah dijalin oleh Nabi saw ketika turun ayat (artinya) : „Bagi tiap harta
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-
pewarisnya ….“ Terhapuslah hukum tersebut. Dengan demikian, berakhirlah masa keberlakuan
hukum waris-mewarisi berdasarkan ikatan ukhuwwah tersebut.
Asas kedua yang dibangun Rasulullah saw untuk menegakkan masyarakat dan Negara Islam.
Pertama,
Negara manapun tidak akan berdiri dan tegak tanpa adanya kesatuan dan dukungan ummatny.a
Sedangkan kesatuan dan dukungan tidak akan lahir tanpa adanya saling bersaudara dan
mencintai. Setiap Jama‘ah yang tidak disatukan oleh ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang
sebenarnya, tidak akan mungkin dapat bersatu pada suatu prinsip.
Oleh sebab itu, Rasulullah saw menjadian Aqidah Islamiyah yang bersumber dari Allah swt,
sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para sahabatnya, dan menempatkan semua
manusia dalam satu barusan ‚ubudiyah hanya kepada-Nya tanpa perbedaan apapun kecuali
ketaqwaan dan amal shalih. Karena tidak mungkin persaudaraan , saling tolong-menolong dan
saling mengutamakan, dapat berkembang di antara orang-orang yang dipecah-pecah oleh aqidah
dan pemikiran yang beraneka ragam, yang masing-masing senantiasa memperturutkan egoisme
hawa nafsunya sendiri.
Kedua,
Sosok masyarakat-masyarakat manapun akan berbeda dari kumpulan manusia yang bercerai
berai dengan satu hal, yaitu tegaknya prinsip saling tolong menolong, dan mendukung sesama
anggota masyarkat tersebut dalam segala aspek kehidupan. Jika prinsip saling tolong menolong
dan mendukung ini dilaksanakan sesuai prinsip keadilan dan persamaan , maka itulah
masyarakat yang adil dan sejahtera. Sebaliknya, andaikata prinsip ini dilaksankaan secara
dhalim dan tidak benar maka itulah masyarakat yang dalim dan menyimpang. Jikalau suatu
masyarakat yang sejahtera hanya bisa diwuudkan berdasarkan prinsip keadilan dalam
memanfaatkan sarana-sarana kehidupan, lalu faktor apakah yang dapat menjamin penerapan
keadilan ini secara baik ?
Karena itulah Rasulullah saw menjadikan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar sebagai
asas bagi prinsip-prinsip keadilan sosial yang telah terbuktikan sebagai sistem sosial yang paling
baik di dunia. Prinsip-prinsip keadilan ini kemudian berkembang dan mengikat menjadi hukum-
hukum dan undang-undang syariat yang tetap. Tetapi kesemua hukum dan undang-undang
syariat ini terbentuk berdasarkan pada basis pertama yaitu Ukhuwwah Islamiyah. Seandainya
Ukhuwwah Islamiyah yang agung tidak ada maka dapat dipastikan bahwa prinsip-prinsip
keadilan itu tidak akan memiliki pengaruh yang positif dan aplikatif dalam menegakkan
masyarakat Islam dan mendukung eksistensinya.
Ketiga,
Nilai yang menyertai Syiar Persaudaraan Persaudaraan yang ditegakkan Rasulullah saw , di
antara pada sahabatnya bukan sekedar syiar yang diucapkan, tetapi merupakan kenyataan yang
terlihat dalam realitas kehidupan dan menyangkut segala bentuk hubungan yang berlangsung
antara Muhajirin dan Anshar. Karenaitu Rasulullah saw menjadikan Ukhuwwah ini sebagai
tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara bersama. Dan tanggung jawab ini telah
dilaksanakan oleh mereka dengan sebaik-baiknya. Sebagai contohnya, cukuplah kami sebutkan
apa yang dilakukan oleh Sa‘d bin Rabi‘ yang dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Abdul
Rahman bin Auf untuk mengambil separuh dari kekayaan yang dimilikinya bahkan salah seorang
istrinya. Sikap persaudaraan seperti ini tidak hanya dilakukan dan ditujukan oleh Sa‘d bin Rabi‘ ,
tetapi dilakukan oleh semua sahabat dalam melakukan hubungan dan solidaritas sesama
mereka, khususnya setelah hijrah dan setelah dipersaudarakan Rasulullah saw.
Karena itu pula Allah swt menjadikan hak waris berdasarkan ikatan Ukhuwwah ini, tanpa ikatan
keluarga dan kerabat. Di antara hikmah persyariatan ini ialah untuk menampakkan Ukhuwwah
Islamiyah sebagai hakekat yang dirasakan secara nyata. Juga supaya diketahui dan disadari
bahwa ikatan persaudaraan dan kasih sayang sesama Muslim bukan sekedar slogan yang
diucapkan, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu kewajiban yang memiliki berbagai
konsekuensi sosial.
Menyangkut hikmah dihapuskannya hak waris berdasarkan ukhuwwah ini, ternyata sistem
pembagian warisan yang pada akhirnya ditetapkan pun tidak jauh berbeda. Sebab, sistem
pembagian warisan yang secara final ditetapkan juga didasarkan pada hukum Ukhuwwah
Islamiyah, yakni orang yang berlainan agama tidak boleh saling mewarisi. Selama masa pertama
hijrah masing-masing dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar harus menghadapi tanggung jawab
khusus berupa saling tolong-menolong dan saling memberikan perlindungan disebabkan oleh
perpindahan kaum Muhajirin ke Madinah meninggalkan keluarga, rumah dan harta kekayaan
mereka di Mekkah. Untuk menjamin terlaksananya tanggung jawab inilah maka Rasulullah saw
mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, dengan konsekuensi atau tuntutan
tanggung jawabnya adalah bahwa ukhuwwah tersebut harus lebih kuat pengaruhnya daripada
jalinan kerabat.
Setelah kaum Muhajirin menetap di Madinah dan semengat Islam menjadi detak jantung dan
denyut nadi kehidupan masyarakat baru, maka tibalah saatnya untuk mencabut sistem
hubungan antara Muhajirin dan Anshar yang selama ini diberlakukan. Sebab, di bawah naungan
Ikhuwwah Islamiyah dengan berbagai tanggung jawabnya akan menimbulkan perpecahan di
kalangan mereka. Tak perlu dikhawatirkan lagi jika hubungan kerabat sesama kaum Muhajirin
kembali diakui pengaruhnya di samping ikatan Islam dan Ukhuwah Islamiyah.
Di samping itu, sesungguhnya sebelum mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar ini,
Rasulullah saw telah mempersaudarakan antara sesama kaum Muhajirin di Mekkah. Ibnu Abdil
Barr berkata ;“ Persaudaraan ini diadakan dua kali : pertama antara kaum Muhajirin secara
khusus di Mekkah, kedua antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar di Madinah. “Hal ini
menegaskan kepada kita bahwa asas Ukhuwwah ialah ikatan Islam. Hanya saja setelah hijrah
perlu diperbaharui dan ditegaskan kembali karena tuntutan situasi dan pertemuan kaum
Muhajirin dan Anshar di satu negara (Madinah). Persaudaraan ini tidak berbeda dari ukhuwwah
yang didasarkan pada ikatan Islam dan kesatuan Aqidah. Bahkan merupakan penegasan secara
aplikatif terhadapnya.
Ayat ini menghapuskan hukum yang berlaku sebelumnya sehingga turunnya ayat ini
terhapuslah pengaruh Ukhuwwah Islamiyah dalam hal waris-mewarisi. Setelah itu,
setiap orang kembali kepada nasab kerabatnya masing-masing. Dan abadilah
persaudaraan sesama kaum Muslimin.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata: “Ketika kaum
Muhajirin datang ke Madinah seorang Muhajir mewarisi seorang Anshar tanpa
adanya hubungan keluarga, karena Ukhuwwah yang telah dijalin oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika turun ayat (artinya): ‘Bagi tiap harta peninggalan
dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-
pewarisnya ….” Terhapuslah hukum tersebut. Dengan demikian, berakhirlah masa
keberlakuan hukum waris-mewarisi berdasarkan ikatan ukhuwwah tersebut. “
Beberapa Ibrah
Itulah asas kedua yang dibangun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk
menegakkan masyarakat dan Negara Islam. Urgensi asas ini akan tampak dalam
beberapa aspek berikut:
Pertama, Negara manapun tidak akan berdiri dan tegak tanpa adanya kesatuan dan
dukunganummatnya. Sedangkan kesatuan dan dukungan tidak akan lahir tanpa
adanya saling bersaudara dan mencintai. Setiap Jama‘ah yang tidak disatukan oleh
ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang sebenarnya, tidak akan mungkin dapat
bersatu pada suatu prinsip. Selama persatuan yang sebenarnya tidak terwujudkan
dalam suatu ummat atau Jama‘ah maka selama itu pula tidak akan mungkin
terbentuk sebauh negara.
Tetapi persaudaran juga harus didahului oleh aqidah yang menjadi ideologi dan
faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang saling berbeda aqidah dan
pemikiran adalah mimpi dan kurafat, apalagi jika aqidah atau pemikiran tersebut
akan melahirkan perilaku tertentu dalam kehidupan nyata.
Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadian Aqidah Islamiyah
yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai asas persaudaraan yang
menghimpun hati para sahabatnya, dan menempatkan semua manusia dalam satu
barisan‚ ubudiyah hanya kepada-Nya tanpa perbedaan apapun kecuali ketaqwaan
dan amal shalih. Karena tidak mungkin persaudaraan, saling tolong-menolong dan
saling mengutamakan, dapat berkembang di antara orang-orang yang dipecah-
pecah oleh aqidah dan pemikiran yang beraneka ragam, yang masing-masing
senantiasa memperturutkan egoisme hawa nafsunya sendiri.
Sikap persaudaraan seperti ini tidak hanya dilakukan dan ditujukan oleh Sa‘d bin
Rabi‘, tetapi dilakukan oleh semua sahabat dalam melakukan hubungan dan
solidaritas sesama mereka, khususnya setelah hijrah dan setelah dipersaudarakan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Karena itu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hak waris berdasarkan
ikatan Ukhuwwah ini, tanpa ikatan keluarga dan kerabat. Di antara hikmah
persyariatan ini ialah untuk menampakkan Ukhuwwah Islamiyah sebagai hakekat
yang dirasakan secara nyata. Juga supaya diketahui dan disadari bahwa ikatan
persaudaraan dan kasih sayang sesama Muslim bukan sekedar slogan yang
diucapkan, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu kewajiban yang memiliki berbagai
konsekuensi sosial.
Selama masa pertama hijrah masing-masing dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar
harus menghadapi tanggung jawab khusus berupa saling tolong-menolong dan
saling memberikan perlindungan disebabkan oleh perpindahan kaum Muhajirin ke
Madinah meninggalkan keluarga, rumah dan harta kekayaan mereka di Mekkah.
Untuk menjamin terlaksananya tanggung jawab inilah maka Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, dengan
konsekuensi atau tuntutan tanggung jawabnya adalah bahwa ukhuwwah tersebut
harus lebih kuat pengaruhnya daripada jalinan kerabat.
Setela kaum Muhajirin menetap di Madinah dan semengat Islam menjadi detak
jantung dan denyut nadi kehidupan masyarakat baru, maka tibalah saatnya untuk
mencabut sistem hubungan antara Muhajirin dan Anshar yang selama ini
diberlakukan. Sebab, di bawah naungan Ikhuwwah Islamiyah dengan berbagai
tanggung jawabnya akan menimbulkan perpecahan di kalangan mereka. Tak perlu
dikhawatirkan lagi jika hubungan kerabat sesama kaum Muhajirin kembali diakui
pengaruhnya di samping ikatan Islam dan Ukhuwah Islamiyah.
Hal ini menegaskan kepada kita bahwa asas Ukhuwwah ialah ikatan Islam. Hanya
saja setelah hijrah perlu diperbaharui dan ditegaskan kembali karena tuntutan situasi
dan pertemuan kaum Muhajirin dan Anshar di satu negara (Madinah). Persaudaraan
ini tidak berbeda dari ukhuwwah yang didasarkan pada ikatan Islam dan kesatuan
Aqidah. Bahkan merupakan penegasan secara aplikatif terhadapnya