Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

“ Pemikiran Politik Islam Neo Modernisme Pemikiran Politik Muhammad


Fazlurrahman, Mohammad Arkoun dan Hasan Hanafi”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pemikiran politik islam


Dosen pengampu : Dr. Nanang Nurcholis, MA.,

Oleh :

1. Ahan Farhan Jazilah (21102011043)


2. Nisa Faizatul Ulya (21102011059)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
2023

1
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam
kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya
yang telah memperjuangkan Agama Islam.
Kemudian dari pada itu, saya sadar bahwa dalam menyusun makalah ini banyak yang
membantu terhadap usaha saya, mengingat hal itu dengan segala hormat saya sampaikan
rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini
2. Teman – teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam
penyelesaian makalah.

Dalam penyusunan makalah ini saya sadar bahwa masih banyak kekurangan dan
kekeliruan, maka dari itu saya mengharapkan keritikan positif, sehingga bisa diperbaiki
seperlunya. Akhirnya saya tetap berharap semoga makalah ini menjadi butir-butir amalan
saya dan bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi seluruh pembaca. Amin Yaa
Robbal 'Alamin.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ---------------------------------------------- ---------------


DAFTAR ISI ---------------------------------------------------------------
BAB I PENDAHULUAN ----------------------------------------------------------
A. Latar Belakang --------------------------------------------------------------
B. Rumusan Masalah ----------------------------------------------------------
C. Tujuan --------------------------------------------------------------
BAB II PEMBAHASAN ----------------------------------------------------------
A. Pemikiran politik Muhammad Fazlurrahman ----------------------------
B. Pemikiran politik Mohammed Arkoun -----------------------------------
C. Pemikiran politik Hasan Hanafi -------------------------------------------
BAB III PENUTUP --------------------------------------------------------------
A. Kesimpulan --------------------------------------------------------------
B. Saran --------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------------------

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Neo Modernisme merupakan bentuk pembaharuan dalam tubuh Islam yang masih
tetap memegang teguh tradisi dan ajaran ajaran tentang akidah Islam. Substansi neo
modernisme yaitu menjwab Tantangan moderenisme barat dan tidak mau mengekor
budaya westernisasi. Implikasi pemikiran Pendidikan dalam Islam dengan neo
moderanisme terlihat dengan pandangan penidikan islam yang rasionalis-religius.
Tujuan dan Strategi pendidikan dirancang dengan Latar Belakang sistemis sesuai
perjalanan sejarah Islam Abad Pertengahan.
Neo-Modernisme dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan
pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir yang merupakan
sintesis, setidaknya upaya sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan
modernisme. Mudahnya, pola Neo-Modernisme berusaha menggabungkan dua faktor
penting; modernisme dan tradisionalisme dimana sebagaimana telah diutarakan di
atas bahwa keduanya mempunyai sisisisi kelemahan.
Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang
tegar bahkan kaku. Sedangkan Tradisionelisme Islam, merasa cukup kaya dengan
berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justru dengan kekayaan itu para pendukung
pemikiran ini sangat berorientasi kepada masa lampau dan sangat selektif menerima
gagasan-gagasan modernisasi.
Neo-Modernisme dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan
pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa modern terakhir yang merupakan
sintesis, setidaknya upaya sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan
modernism.
1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran politik Muhammad Fazlurrahman?
2. Bagaimana Pemikiran Politik Mohammed Arkoun?
3. Bagaimana Pemikiran Hassan Hanafi?
1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui Bagaimana Pemikiran Politik menurut Muhammad
Fazlurrahman!
2. Untuk mengetahui Bagaimana Pemikiran Politik Mohammed Arkoun!
3. Untuk mengetahui Bagaimana pemikiran Politik Hassan Hanafi!

4
BAB II
PEMBAHASAAN
2.2. Pemikiran Politik Muhammad Fazlurrahman
A. Biografi M. Fazlurrahman
Fazlurrahman adalah seorang pembaru pemikiran Islam par
excellent yang lahir dari tradisi keagamaan (mazhab Hanafi) yang cukup
kuat. Lahir pada tanggal 21 September 1919, Fazlurrahman kecil terbiasa
dengan pendidikan dan kajiankajian keislaman yang dilakukan oleh
ayahnya sendiri, Maulana Syahab alDin, dan juga dari Madrasah
Deoband.
Pada usia 14 tahun atau sekitar 1933 Fazlur Rahman dibawa ke
Lahore—tempat tinggal leluhurnya—dan memasuki sekolah modern.
Sekolah atau madrasah ini didirikan oleh Muhammad Qasim Nanotawi
pada 1867.8 Pun seperti itu, pada malam harinya tetap mendapatkan
pelajaran agama secara tradisional dari Maulana Shahab al-Din di tempat
tinggalnya. Semangat muda Rahman mengantarkan dia mulai gemar
belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadits dan tafsir pada usia empat
belas tahun. Lebih dari itu, karier intelektualnya ditingkatkan dengan
penguasaan berbagai bahasa: Persia, Urdu, Inggris, Perancis dan Jerman.
Bahasa Eropa kuno pun—Latin dan Yunani—ia dalami sebagai
pengetahuan yang workable.
B. Konsep Neo Modernisme M. Fazlurrahman
Gelombang pembaharuan dalam tubuh agama Islam merupakan
bagian dari jawaban “kemandulan” dunia Islam. Agama yang lahir dari
wahyu Allah kepada Muhammad ditengarai belum mampu untuk
beradaptasi dengan perkembangan zaman. Karena ada kecenderungan
bahwa agama ini hanya menginduk pada teks-teks normatif. Hingga pada
tengah-tengah arus pembaharuan, Islam dikesankan masih tetap berjalan
di tempat. Fenomena semacam ini menyulut respon dari semua pihak
untuk ikut berkomentar atas keadaan tersebut. Salah satu pertanyaan
utama yang menuntut perhatian Fazlur Rahman bersama beberapa sarjana
muslim abad ke-20 adalah, bagaimana Islam sebagai warisan agama,
budaya, politik dan etika menghadapi modernisasi dan perubahan dunia
yang sangat cepat?
Perubahan dunia dipandang sebagai sebuah tuntutan zaman.
Karena, zaman tidak mungkin stagnan tanpa perubahan sedikit pun. Alur
semacam ini dalam konteks masa perkembangan waktu disebut dengan
fase modern. Modernisasi dipahami dalam dunia Islam sebagai sebuah
fenomena Janus-Faset (berwajah ganda). Hal itu tentunya membawa
keuntungan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat muslim,
tetapi dengan akibat yang berpengaruh luas pada kebudayaan dan nilai-
nilai. Fazlur Rahman menilai, beberapa masyarakat dalam menghadapi

5
modernisasi dengan cara yang pragmatis, mengakibatkan keterputusan
yang tak terduga dengan tradisi sejarah intelektual. Oleh sebab itu, meski
modernisme sudah mencoba untuk membebaskan dalam berpikir dan
berkreasi, dianggap kurang sempurna. Maka dibutuhkan pemikiran baru
yang diasumsikan “lebih sempurna”. Maka fase yang berada setelah
modernisme disebut post modern dan disusul neomodern. Neo-
Modernisme dipandang sebagai istilah pokok dalam studi filsafat
kontemporer sebetulnya memiliki kemiripan arti dengan term post-
modernisme. Maka dari itu, terlebih dahulu dibutuhkan pengenalan
tentang post-modernisme.
Post-modernisme identik dengan dua hal. Pertama, post
modernisme dinilai sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern.
Sebab kata post atau pasca sendiri secara literal mengandung pengertian
„sesudah‟. Dengan begitu modernisasi dipandang telah mengalami proses
akhir yang akan segera digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu
postmodernisme. Kedua, post-modernisme dipandang sebagai gerakan
intelektual yang mencoba menggugat, bahkan mendekonstruksi
pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma
pemikiran modern.
Kelemahan modernism dan postmodernisme ini, kemudian
melaghirkan istilah sejenis, yaitu neo-modernisme, yakni suatu paham
yang berusaha mendekonstruksi pemahaman yang sudah mapan
sebelumnya. Neomodernisme juga diartikan sebagai mazhab pemikiran
yang berusaha memadukan antara otentitas teks dengan realitas sosial
yang dinamis.25 Maka dari itu, secara sederhana neo-modernisme dapat
diartikan dengan “paham modernisme baru”. Neo-modernisme
dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran
keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir yang merupakan
sintesis, setidaknya upaya sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme
dan modernisme.

2.3. Pemikiran Politik Mohammed Arkoun


A. Biografi Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada 1 februari 1928di Tourirt-Mimoun,
Kabiliah, yang merupakan salah satu daerah pegunungan berpenduduk
Berber di sebelah timur Aljir. Kondisi yang demikian membuatnya
menggunakan tiga bahasa, bahasa Kalibiah dalam sehari-hari, bahasa
prancis didalam sekolah dan urusan administrative dan bahasa arab
digunakan ketika duduk dibangku sekolah mennegah di Oran, kota
utaman di Aljazair bagian barat.
Pada tahun 1950-1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di
Universitas Aljir ditengah perang pembebasan Aljazair dari

6
prancis(1954-1962). Arkoun menekuni dalam bahasa dan sastra Arab
serta pemikiran islam jenjang pendikikan formal itu membuat
pergaulannya semakin erat dengan tiga bahasa tersebut, Keterlibatannya
dalam ketiga bahasa itu menjadi faktor penting untuk mempengaruhi cara
berfikir dan perkembangan pemikirannya.
B. Pemikiran Mohammed Arkoun
Kegelisahan Arkoun yang mewarnai hampir seluruh pemikirannya
adalah kenyataan adanya dikotomi-dikotomi di dalam masyarakat,
khususnya masyarakat muslim. Dikotomidikotomi tersebut secara garis
besar banyak bersentuhan dengan persoalan-persoalan partikular dengan
universal, marjianal dengan sentral.6 Problem-problem ini tampak
tercermin dari adanya pembagian-pembagian dunia secara berhadap-
hadapan, seperti Sunni dengan Syi’ah, kaum mistik dengan kaum
tradisionalis, muslim dengan non-muslim, Berber (non-Arab) dengan
Arab, Afrika Utara dengan Eropa dan sebagainya.7 Oleh karena itu dunia
yang dituju oleh Arkoun adalah dunia yang tidak berpusat, tidak ada yang
dapat disebut pinggiran dan pusat, tidak ada kelompok yang
mendominasi, tidak ada kelompok yang terpinggirkan, tidak ada
kelompok yang superior dan tidak ada kelompok yang inferior dalam
menghasilkan sebuah kebenaran. Arkoun berusaha mengajukan
pertanyaan yang kritis kepada kita: mengapa manusia tidak bisa
memandang diriya sendiri tanpa mengasingkan tetangga atau manusia
lain?. Arkoun juga bertanya pada umat Islam: dapatkah identitas umat
Islam yang beragam disatukan, baik antar sesama umat Islam atau
masyarakat non-Islam?.
 Kritik Nalar Islam
Studi sastra dan pemikiran Islam yang Arkoun tekuni baik melalui
ceramah atau tulisan memiliki tujuan untuk memadukan antara unsure
pemikiran Islam dan pemikiran Barat modern. Yang ingin dihargai dan
dipertahankan dalam pemikiran Islam adalah semangat keagamaan dan
tempat penting yang diduduki angan-angan sosial dalam masyarakat
Muslim. Sedangkan aspek negatif pemikiran Islam yang hendak
dilampaui yaitu kejumudan dan ketertutupan yang telah terjadi di
dalamnya dan menghasilkan pelbagai penylewengan dalam bidang sosial
dan politik. Menurut Arkoun, umat Islam sebagian besar dapat dikatakan
belum beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang sifatnya kaku
dan tidak dapat diperdebatkan lagi. Istilahnya umat Islam masih
terkungkung dan berpegang teguh dengan dogma-dogma agama yang
sudah tidak diperkenankan untuk mengutak-atiknya, dengan alasan
dogma tersebut dianggap mutlak kebenaranya. Hal demikian
mengakibatkan pemikiran umat Islam menjadi stagnan. Untuk itu Arkoun
menyarankan agar umat Islam bersedia melakukan pembahasan secara

7
ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan mengungkapkan etika ajaran
Al-Qur’an yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah. Dalam
melakukan “kritik nalar Islam” ini, Arkoun menggunakan metode kritik
sejarah, Arkoun melihat perlunya metode kritik untuk membaca sejarah
pemikiran Arab-Islam. Dengan historisme dimaksudkan untuk melihat
seluruh fenomena sosial dan budaya melalui perspektif historis, bahwa
masa lampau harus dilihat menurut strata historikalnya.
 Yang Terpikirkan dan Yang Tak Terpikirkan Arkoun
membagi sejarah terbentuknya nalar Arab-Islam menjadi tiga
tingkatan: pertama, klasik, sistem pemikiran yang diawali para pemula
dan pembentuk peradaban Islam. Kedua, skolastik adalah jenjang kedua
yang ditandai mulai meluasnya medan taqlid dalam sistem berpikir.
Ketiga, Modern atau kontemporer yaitu kebangkitan dan revolusi. Hal
demikian untuk menjelaskan terma-terma yang terpikirkan, yang tak
terpikirkan dan yang belum terpikirkan. “Yang terpikirkan”, maksudnya
hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkanya, yang demikian bisa
dipikirkanya, karena merupakan hal yang jelas atau boleh difikirkan.
“yang tak terpikirkan atau belum terpikirkan”, maksudnya hal-hal yang
tidak mempunyai hubungan, tidak ada terikatan antara ajaran agama dari
nilai dan norma transenden semestinya, sepertihalnya tidak ada terikatan
antara apa yang dilakukan ilmuwan dan ulama.
Pemikiran Mohammed Arkoun baik yang melalalui lisan atau tulisan
bertujuan untuk pembebasan nalar Islami dari kejumudan, keterbatasan,
dan ketertutupan, sehingga Islam kembali menjadi sarana emansipasi
umat manusia. Tujuan tersebut menurutnya dapat dicapai jika pemikiran
Islam membuka diri pada berbagai perkembangan mutakhir dari
pemikiran modern. Dengan kata lain, Arkoun mencita-citakan suatu
penggabungan unsur paling berharga dari nalar Islam dan nalar modern.
2.4. Pemikiran Hasan Hanafi
A. Biografi Hassan Hanafi
Hasan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo. Pendidikannya dimulai pada
tahun 1948 dengan menyelesaikan pendidikan dasarnya, dan melanjutkan belajar di
Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo, dimana ia menyelesaikannya dalam
empat tahun. Hasan Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin saat ia aktif belajar
di Universitas Kairo. Hanafi juga tertarik mempelajari refleksi Sayyid Qutb tentang
keadilan sosial dalam islam. Ia berfokus pada studi pemikiran agama, revolusi dan
perubahan sosial. Di antara banyak karyanya yaitu: Kiri Islam (Al Yasar Al Islami)
adalah salah satu puncak pemikirannya sejak revolusi 1952. Karya ini telah
memformulasikan bagaimana pemikiran yang sesuai tentang sumbang agama untuk
kebahagiaan umat manusia.
B. Fase Perkembangann Pemikiran Hassan Hanafi
1. Fase tahun 1960-an. Saatg itu,banyak dipengaruhi oleh paham yaang
berkembang di Mesir, yaitu Sosialistik,Nasionalistik, dan populistrik yang

8
dirumuskan daalam ideologi Pan-Arabik. Di masa ini ia banyak
merekonstruksi pemikiran islam yang dipandangnnya sedang mengalami
krisis. Ia banyak melakukan pengkajian, terutama dalam hal metode
penafsiran sebagai upaya pembaharuan ushul fiqih dan fenomenologi untuk
memahami agama dalam lingkup realitas kontemporter.
2. Fase tahun 1970-an. Di fase ini, ia banyak mengungkapkan tentang masalah
kontemporersebagai upaya untuk mencari jawaban atas kekalahan Islam,
tatkala perang melawan Israel;tahun 1967. Ia berupaya memadukan antara
semangat dalam mendalami ilmu danhubungan sosial masyarakat.
3. Fase tahun 1980-an dan awal 1990-an. Didasari oleh situasi pemerintah yang
lebih stabildibanding tahun-tahun sebelumnya, ia menulis kembali beberapa
tulisan seperti tulisan yang berjudul "al-Turast wa al-Tajdid"yang berisi
pokok-pokok ide pembaruan dantahap-tahapnya. Tulisan lainnya, yaitu "al-
Yasar al-Islami" Yang beraroma ideologi. Atas berbagai pengalaman yang
didapatkannya, jelas bahwa Hassan Hanafi adalah seorang ilmuwan yang
sangat antusias, giat, ulet, dan mempunyai kiprah besar bagi kehidupanumat
Islam dan bangsanya. Perhatiannya itu ia eksplor dalam gagasan "Kiri Islam
C. Pemikiran Teologi Transformatif Hassan Hanafi
Melalui pemikirannya, Hassan Hanafi menginginkan adanya paradigma baru
pemikiran kalam yang lebih memihak pada nasib manusia bukan nasib Tuhan.
Sekalipun begitu, Hassan Hanafi tetap masih menghendaki agar senantiasa berada
pada bingkai hakikat ilmu kalam. Hasan Hanafi hanya berusaha agar ilmu kalam
lebih "membumi", dalam artianrelevan dengan persoalan terkini dan berupaya
mempersembahkan solusi. Tampaklah bahwa pemikiran yang dipelopori oleh
Hassan Hanafi bukan lagi menjadi kalam sebagai media apologis dimensi
"kelangitan", tetapi mengarah pada cara kalam yang mampu berdialektikadengan
kenyataan yang tengah dihadapi manusia modern. Islam transformatif merupakan
corak paham yang muncul atas respon terhadapkeberadaan ajaran Islam yang seolah-
olah kurang terlibat dalam menjawab berbagai masalahyang aktual. Islam
transformatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Islam transformatif adalah Islam yang selalu berorientasi pada upaya
mewujudkan cita-cita Islam, yakni membentuk dan mengubah keadaan
masyarakat kepada cita-cita Islam.
2. Islam transformatif adalah paham Islam yang menuntut adanya
keseimbangan antara pelaksanaan aturan-aturan yang bersifat formalistik
dan simbolistik dengan misi ajaran Islam tersebut.
3. Islam transformatif adalah ajaran Islam yang lebih ditujukan untuk
mewujudkan cita-citaIslam, khususnya mengangkat derajat kaum tertindas
dan diarahkan kepada penegakannila-nilai kemanusiaan, kesamaan
kedudukan, dan sebagainya.

Demi mewujudkan keinginannya bahwa teologi perlu di rekontruksi, HassanHanafi


menegaskan sikapnya terhadap bangunan teologi yang sudah ada. Ia memandang bahwa perlu
menjaga jarak terhadap Asy’arisyah karena dinilai menjadi ideologi kekuasaan. Sementara
terhadap Mu'tazilah malah kebalikan dari Asy'ariyah yaknimendekat sebabkelompok ini
mendorong kebebasan akal. terhadap Khawarij, ia mengangkat ajaran bahwa perbuatan sebagai

9
cerminan iman, juga terhadap Syiah yang dari pengalaman revolusi Iran telah menunjukkan
kesuksesannya

Terdapat lima prinsip yang diyakininya untuk mengukuhkan keyakinnya.Prinsip-prinsip tersebut


yakni ;

1. Kemaslahatan manusia yang menjadi esensi Al-Qur'an dan Sunnah2.\


2. Kebebasan manusia sebagai entitas yang otonom3.
3. Tasawuf (menyelamatkan diri sendiri tanpa diikuti orang lain adalah egoisme;kesucian
jiwa tanpa kesucian dunia adalah naif dan destruksi),4.
4. Tujuan akhir adalah pencerahan menyeluruh yang berbasis pada kebudayaan
dankesadaran historis bukan kekuasaan,
5. Bertumpu pada realitas (bukan pada teks keagamaan)

Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi minimaldilatarbelakangi oleh tiga
hal, sebagai berikut;

1. Adanya ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai


ideologiyang hendak berebut pengaruh.
2. Teologi yang bukan semata penting pada sisi teoritis, akan tetapi juga pada kepentingan
praktis untuk mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu
kepentingan praktis ideologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan problem-
problemkemanusiaan riil.
3. Cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan
sumbangankonkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu perlu
menjadikan teologisebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensial,
kognitif, maupun kesejahteraan

10
BAB III
PENUTUP
3.3. Kesimpulan
Salah satu pertanyaan utama yang menuntut perhatian Fazlur Rahman
bersama beberapa sarjana muslim abad ke-20 adalah, bagaimana Islam
sebagai warisan agama, budaya, politik dan etika menghadapi modernisasi
dan perubahan dunia yang sangat cepat.
Neomodernisme juga diartikan sebagai mazhab pemikiran yang berusaha
memadukan antara otentitas teks dengan realitas sosial yang dinamis. Maka
dari itu, secara sederhana neo-modernisme dapat diartikan dengan “paham
modernisme baru”.
Neo-modernisme dipergunakan untuk memberi identitas pada
kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade
terakhir yang merupakan sintesis, setidaknya upaya sintesis antara pola
pemikiran tradisionalisme dan modernisme.
Arkoun menekuni dalam bahasa dan sastra Arab serta pemikiran islam
jenjang pendikikan formal itu membuat pergaulannya semakin erat dengan
tiga bahasa tersebut, Keterlibatannya dalam ketiga bahasa itu menjadi faktor
penting untuk mempengaruhi cara berfikir dan perkembangan pemikirannya.
Dikotomidikotomi tersebut secara garis besar banyak bersentuhan dengan
persoalan-persoalan partikular dengan universal, marjianal dengan sentral
Problem-problem ini tampak tercermin dari adanya pembagian-pembagian
dunia secara berhadap-hadapan, seperti Sunni dengan Syi’ah, kaum mistik
dengan kaum tradisionalis, muslim dengan non-muslim, Berber (non-Arab)
dengan Arab, Afrika Utara dengan Eropa dan sebagainya.Oleh karena itu
dunia yang dituju oleh Arkoun adalah dunia yang tidak berpusat, tidak ada
yang dapat disebut pinggiran dan pusat, tidak ada kelompok yang
mendominasi, tidak ada kelompok yang terpinggirkan, tidak ada kelompok
yang superior dan tidak ada kelompok yang inferior dalam menghasilkan
sebuah kebenaran.
Arkoun juga bertanya pada umat Islam: dapatkah identitas umat Islam
yang beragam disatukan, baik antar sesama umat Islam atau masyarakat non-
Islam.Kritik Nalar Islam Studi sastra dan pemikiran Islam yang Arkoun
tekuni baik melalui ceramah atau tulisan memiliki tujuan untuk memadukan
antara unsur pemikiran Islam dan pemikiran Barat modern.Yang ingin
dihargai dan dipertahankan dalam pemikiran Islam adalah semangat
keagamaan dan tempat penting yang diduduki angan-angan sosial dalam
masyarakat Muslim. Sedangkan aspek negatif pemikiran Islam yang hendak
dilampaui yaitu kejumudan dan ketertutupan yang telah terjadi di dalamnya
dan menghasilkan pelbagai penylewengan dalam bidang sosial dan politik.
Untuk itu Arkoun menyarankan agar umat Islam bersedia melakukan
pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan

11
mengungkapkan etika ajaran Al-Qur’an yang tidak dapat dilepaskan dari
konteks sejarah. Yang Terpikirkan dan Yang Tak Terpikirkan Arkoun
membagi sejarah terbentuknya nalar Arab-Islam menjadi tiga tingkatan:
pertama, klasik, sistem pemikiran yang diawali para pemula dan pembentuk
peradaban Islam.
Hal demikian untuk menjelaskan terma-terma yang terpikirkan, yang tak
terpikirkan dan yang belum terpikirkan.“Yang terpikirkan”, maksudnya hal-
hal yang mungkin umat Islam memikirkanya, yang demikian bisa
dipikirkanya, karena merupakan hal yang jelas atau boleh difikirkan.“yang
tak terpikirkan atau belum terpikirkan”, maksudnya hal-hal yang tidak
mempunyai hubungan, tidak ada terikatan antara ajaran agama dari nilai dan
norma transenden semestinya, sepertihalnya tidak ada terikatan antara apa
yang dilakukan ilmuwan dan ulama.
Pemikiran Mohammed Arkoun baik yang melalalui lisan atau tulisan
bertujuan untuk pembebasan nalar Islami dari kejumudan, keterbatasan, dan
ketertutupan, sehingga Islam kembali menjadi sarana emansipasi umat
manusia.
Hassan Hanafi adalah seorang ilmuwan yang sangat antusias, giat, ulet,
dan mempunyai kiprah besar bagi kehidupanumat Islam dan
bangsanya.Perhatiannya itu ia eksplor dalam gagasan "Kiri Islam
Pemikiran Teologi Transformatif Hassan Hanafi Melalui pemikirannya,
Hassan Hanafi menginginkan adanya paradigma baru pemikiran kalam yang
lebih memihak pada nasib manusia bukan nasib Tuhan.Tampaklah bahwa
pemikiran yang dipelopori oleh Hassan Hanafi bukan lagi menjadi kalam
sebagai media apologis dimensi "kelangitan", tetapi mengarah pada cara
kalam yang mampu berdialektikadengan kenyataan yang tengah dihadapi
manusia modern.
Islam transformatif adalah Islam yang selalu berorientasi pada upaya
mewujudkan cita-cita Islam, yakni membentuk dan mengubah keadaan
masyarakat kepada cita-cita Islam.
Islam transformatif adalah paham Islam yang menuntut adanya
keseimbangan antara pelaksanaan aturan-aturan yang bersifat formalistik dan
simbolistik dengan misi ajaran Islam tersebut.
Islam transformatif adalah ajaran Islam yang lebih ditujukan untuk
mewujudkan cita-citaIslam, khususnya mengangkat derajat kaum tertindas
dan diarahkan kepada penegakannila-nilai kemanusiaan, kesamaan
kedudukan, dan sebagainya.
3.4. Saran

Kami sadari bahwa dalam penulisan makalah ini penulis masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik
saran dari pembaca tentunya yang bersifat membangun.

12
DAFTAR PUSTAKA

Artikel. Hidayat,M. 2018. Pemikiran Mohammed Arkoun.


https://www.researchgate.net/publication/329883989_pemikiran_mohammed_a
rkoun
Artikel. Hanafi, I. 2015. Mengenal Neo-Modernisme Islam Pemikiran
Fazlurrahman Tentang Pendidikan. artikel pemikiran politik islam neo
modernisme fazhlur rahman - Search (bing.com)
Skripsi. Prasetyo, A. 2018. Konsep Neo-Modernisme Dalam Pendidikan
Islam Menurut Azyumardi Azra.
http://etheses.iainponorogo.ac.id/4745/1/skripsi agus prasetyo fix.pdf
Abdurrahman Wahid, "Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya," Pengantar
dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme:
Telaah atas Pemikiran Hassan Hanafi, ter. M. Imam Aziz dan M. JadulMaula
(Yogyakarta: LKíS, 1994), xii.
Suharti,Menjinakkan Barat dengan Oksidentalisme Gagasan Kiri Islam Hassan
Hanafi,Vol. IX (t.tp, 2005), hlm.358-359.
Shabri Shaleh Anwar dan Jamaluddin, Ilmu Kalam Khazanah Intelektual
Pemikiran dalam Islam, (Tembilahan:Indragiri Dot Com, 2020) hlm.16-17
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Indonesia, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001), hlm.77-84.

13

Anda mungkin juga menyukai