Anda di halaman 1dari 21

PROSES EMOSI DI TEMPAT KERJA

Setelah membaca bab ini, Anda diharapkan dapat ...


• Menghargai cara-cara di mana organisasi tradisional digambarkan
sebagai rasional dan logis, serta mampu memberikan argumen mengapa
emosi harus dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan organisasi.
• Memahami konsep kerja emosional sebagai komunikasi yang dalam
beberapa hal tidak otentik dan dilakukan untuk kepentingan organisasi.
• Mampu membandingkan kerja emosional dengan pekerjaan emosional—
emosi otentik yang juga merupakan bagian dari pekerjaan banyak
pekerja.
• Melihat cara di mana emosi meresap dalam hubungan dengan rekan
kerja kita, baik dalam cara yang memuaskan maupun merusak.
• Memahami peran komunikasi dalam menyebabkan stres dan kelelahan
kerja, serta dalam membantu organisasi dan individu mengatasi stres
dan kelelahan kerja.
Ada tradisi rasionalitas dalam pertimbangan kita tentang kehidupan
organisasi. Pikirkan, misalnya, beberapa model organisasi yang kita lihat di
paruh pertama buku ini—memaksimalkan efisiensi dalam pabrik yang
mirip mesin, meningkatkan efektivitas sistem organisasi, memanfaatkan
sumber daya manusia, bahkan mengelola budaya perusahaan—semua
model ini menunjukkan bahwa organisasi dijalankan melalui pemikiran
rasional. Hal yang sama berlaku untuk proses yang telah kita
pertimbangkan sejauh ini di paruh kedua buku ini, termasuk pengambilan
keputusan, manajemen konflik, kepemimpinan, dan perubahan organisasi.
Bahkan ketika kita melihat tren saat ini dalam literatur manajemen populer
—semuanya mulai dari manajemen pengetahuan dan organisasi
pembelajaran hingga strategi "money ball" dalam bisnis dan bisbol—
asumsinya adalah bahwa organisasi yang sukses adalah tempat di mana
pikiran tenang dan pemikiran logis berlaku.
Sejak awal tahun 1990-an, minat terhadap sisi emosional kehidupan
organisasi semakin meningkat, dan semakin banyak diakui adanya
ketegangan antara emosi dan rasionalitas di tempat kerja. Beberapa dekade
yang lalu, para sarjana hubungan manusia menganjurkan untuk melihat
lebih dekat perasaan manusia dalam organisasi, tetapi satu-satunya
perasaan yang dipertimbangkan pada saat itu adalah "kepuasan". Namun,
peneliti sekarang mulai melihat seberapa kompleks kehidupan emosional di
dalam organisasi. Dalam bab ini, kami menjelajahi masalah-masalah ini
dengan pertama-tama mempertimbangkan bagaimana para sarjana
terdorong untuk melihat emosi dalam kehidupan organisasi. Kami akan
mengkaji emosi sebagai bagian dari pekerjaan dan melihat cara di mana
emosi meresap dalam hubungan organisasi. Kami kemudian akan
mempertimbangkan satu area emosi di tempat kerja yang telah menerima
banyak perhatian penelitian: studi tentang stres, kelelahan kerja, dan
dukungan sosial di organisasi.
EMOSI DI TEMPAT KERJA
Sebagian besar model kehidupan organisasi melihat tempat kerja sebagai
lingkungan yang diatur oleh logika dan rasionalitas. Menurut model-model
ini, pekerjaan terdiri dari tugas-tugas dan fungsi kognitif yang diperlukan
untuk tugas-tugas tersebut. Kami melatih orang-orang dalam logika dan
mekanika tentang bagaimana melakukan pekerjaan mereka. Kami
mengelola konflik dan perubahan dengan berpikir logis tentang apa yang
terbaik untuk perusahaan dan karyawan. Dan ketika kami membuat
keputusan, kami dengan hati-hati menimbang pro dan kontra dari setiap
keputusan dan membuat pilihan logis yang akan memaksimalkan
keuntungan dan meminimalkan kerugian.
Tentu saja, siapa pun yang telah menghabiskan waktu di sebuah organisasi
mengakui seberapa tidak akuratnya deskripsi di atas. Interaksi kita sering
kali diatur oleh emosi yang kuat daripada logika yang tenang. Biasanya,
kita membuat pilihan tentang pekerjaan dan karier berdasarkan perasaan
insting daripada daftar pro dan kontra. Sayangnya, para teoretikus
organisasi butuh waktu untuk mengikuti ide-ide umum ini tentang
kehidupan organisasi. Namun, para sarjana sekarang mulai menghargai
nuansa emosional yang sangat lazim di tempat kerja.
Pergeseran fokus ini dapat diilustrasikan dengan melihat kembali diskusi
kita tentang pengambilan keputusan dalam Bab 8. Kami mencatat dalam
bab itu bahwa para sarjana jarang melihat pengambilan keputusan sebagai
proses yang sepenuhnya logis dan berdasarkan data. Orang-orang (di
tempat kerja atau di tempat lain) jarang mengikuti langkah-langkah yang
ditentukan untuk mendefinisikan masalah, menetapkan kriteria, mencari
informasi, mengevaluasi alternatif, dan mencapai keputusan. Tetapi bahkan
ketika para teoretikus menjauh dari model yang sepenuhnya logis ini,
mereka beralih ke model-model yang mempertimbangkan konsep
rasionalitas terbatas di tempat kerja (misalnya, March & Simon, 1958;
Simon, 1987). Pengambilan keputusan tidak bisa sepenuhnya rasional
karena adanya batasan kognitif dan situasional terhadap rasionalitas.
Namun, rasionalitas masih menjadi norma; hanya terbatas. Namun, para
sarjana komunikasi Dennis Mumby dan Linda Putnam (1992) membalikkan
gagasan ini dengan menyarankan agar kita tidak membatasi rasionalitas,
tetapi membatasi emosionalitas. Para sarjana ini meminta kita untuk mulai
melihat kehidupan emosional sebagai fokus sentral penelitian organisasi
dan mempertimbangkan cara-cara di mana memperhatikan emosi dapat
membawa pemahaman baru tentang tempat kerja.
Sekarang kita beralih ke beberapa area penelitian di mana para sarjana
telah merespons panggilan ini dengan memperhatikan emosi dalam
kehidupan organisasi (lihat Miller, 2013, untuk tinjauan penuh tentang
literatur ini). Pertama-tama, kita akan melihat penelitian yang telah
mempertimbangkan emosi sebagai bagian dari pekerjaan. Kemudian, kita
akan melihat emosi organisasional yang muncul melalui hubungan dengan
rekan kerja dan orang lain, serta mempertimbangkan gagasan umum
tentang aturan emosi dan kecerdasan emosional.
Emosi sebagai Bagian dari Pekerjaan
Ada berbagai macam pekerjaan di mana interaksi dengan klien adalah
aspek sentral dari pekerjaan tersebut. Dalam banyak kasus, komunikasi
antara karyawan dan klien melibatkan beberapa tingkat konten emosional
atau afektif (lihat Waldron, 1994). Beberapa contoh sangat jelas. Perawat
dan dokter berinteraksi dengan pasien yang sekarat di sebuah hospis,
berurusan dengan keluarga yang stres di unit perawatan intensif, dan
berbagi kebahagiaan dalam ruang persalinan. Pendeta memberi nasihat
kepada jemaat yang sedang mengalami masalah, menghibur keluarga yang
berduka, dan bergembira dengan pasangan pengantin baru. Komunikasi
emosional juga merupakan persyaratan dalam pekerjaan yang kurang jelas.
Pramugari harus terlihat bahagia dan perhatian sepanjang penerbangan
lintas negara yang panjang (setidaknya di kelas pertama!). Penagih utang
harus tetap tegas dan menghindari segala bentuk simpati dalam interaksi.
Tip seorang pelayan di bar sangat bergantung pada mempertahankan
perilaku ramah dan ceria.
Arlie Hochschild adalah sarjana pertama yang secara sistematis mengkaji
fenomena ini dalam bukunya yang berjudul The Managed Heart (1983). Ia
menggunakan istilah "emotional labor" untuk merujuk pada pekerjaan di
mana para pekerja diharapkan menampilkan perasaan tertentu untuk
memenuhi harapan peran organisasi. Hochschild berpendapat bahwa ketika
melakukan emotional labor, para pekerja dapat melakukan surface acting
atau deep acting. Sebagai contoh, studi asli Hochschild tentang emotional
labor melibatkan pramugari maskapai penerbangan. Pramugari yang
melakukan surface acting mungkin hanya menampilkan senyuman palsu
untuk memenuhi persyaratan maskapai agar terlihat ramah di dalam
pesawat. Namun, pramugari juga mungkin mencoba menampilkan emosi
yang lebih realistis dengan menggunakan teknik deep acting, seperti
membayangkan kabin pesawat sebagai ruang tamu yang ramah atau
merasa simpati terhadap stres yang mungkin dirasakan penumpang yang
marah.

Sejak buku Hochschild, konsep emotional labor telah dikembangkan lebih


lanjut oleh para sarjana dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk sosiologi,
manajemen, dan komunikasi. Beberapa penelitian melibatkan studi kasus
pekerja dalam pekerjaan yang melibatkan emotional labor, termasuk
pelayan restoran (Leidner, 1993), pramugari (Murphy, 1998), pekerja di
pusat panggilan darurat (Shuler & Sypher, 2000; Tracy & Tracy, 1998),
karyawan kapal pesiar (Tracy, 2000), penasihat keuangan (Miller & Koesten,
2008), petugas pemasyarakatan (Tracy, 2005), pemadam kebakaran (Scott
& Myers, 2005), dan hakim (Scarduzio, 2011). Penelitian lainnya telah
mencoba mengembangkan model proses emotional labor (misalnya, Kruml
& Geddes, 2000; Morris & Feldman, 1996) yang mempertimbangkan faktor-
faktor seperti pemicu emotional labor (misalnya, gender, persyaratan tugas,
kedekatan pemantauan), dimensi emotional labor (misalnya, frekuensi
tampilan emosional, variasi ekspresi emosi, tingkat disonansi emosional),
dan konsekuensi emotional labor (misalnya, kelelahan emosional dan
ketidakpuasan kerja).
Beberapa generalisasi dapat dikemukakan tentang kumpulan karya tentang
emotional labor:
• Sebagian besar penelitian mempertimbangkan pekerja layanan depan
dalam organisasi yang mengizinkan (dan membayar) emosi dalam
pelayanan kepada pelanggan. Oleh karena itu, emotional labor dianggap
sebagai cara untuk meningkatkan keberhasilan dan keuntungan
organisasi.
• Sebagian besar penelitian mempertimbangkan emosi yang secara
eksplisit dikendalikan melalui pelatihan dan panduan karyawan.
Misalnya, Steinberg dan Figart (1999, hlm. 9) mengutip panduan
karyawan di sebuah toko makanan gourmet yang mengarahkan: "Dalam
keadaan apa pun, pelanggan tidak boleh pernah bertanya-tanya apakah
Anda memiliki hari yang buruk. Masalah Anda harus disembunyikan
dengan senyuman."
• Sebagian besar penelitian mempertimbangkan tampilan emosional yang
diciptakan melalui deep acting atau surface acting—dengan kata lain,
tampilan emosional yang pada beberapa cara bukanlah ekspresi otentik
dari emosi saat ini atau yang melekat.
• Ketika para pekerja melakukan emotional labor, mereka sangat sadar
bahwa mereka berperan untuk kepentingan manajerial dan (terkadang)
keuntungan pribadi (Miller, Considme & Garner, 2007).
• Emotional labor membawa potensi dampak negatif pada pekerjaan seperti
stres dan kecemasan, terutama ketika para pekerja merasa ada disonansi
antara keyakinan bahwa mereka "berpura-pura" dalam pekerjaan.
Namun, tidak semua emosi terkait pekerjaan memiliki karakteristik seperti
itu. Ashforth dan Humphrey (1993) menunjukkan hal ini ketika mereka
menyatakan: "Masalah dengan konsepsi emotional labor ini adalah bahwa
hal itu tidak memperhitungkan kejadian di mana seseorang secara spontan
dan sungguh-sungguh mengalami dan mengungkapkan emosi yang
diharapkan" (hlm. 94). Jelas, ada saat-saat ketika para pekerja merasakan
emosi dalam pekerjaan dan mengungkapkan emosi tersebut dalam
interaksi. Misalnya, seorang guru mungkin merasakan kegembiraan—dan
mengungkapkan kegembiraan tersebut—ketika seorang murid akhirnya
memahami pembagian. Seorang perawat mungkin merasakan kesedihan—
dan mengungkapkan kesedihan tersebut—ketika seorang pasien meninggal.
Jenis emosi yang jujur dalam pekerjaan—apa yang Miller et al. (2007) sebut
sebagai emotional work—melibatkan orang-orang yang tidak berada dalam
pekerjaan layanan depan tetapi memegang posisi profesional dalam industri
seperti perawatan kesehatan, pendidikan, atau layanan manusia. Pekerja
dalam peran-peran ini jarang mendapatkan petunjuk tentang manajemen
emosi yang secara eksplisit diuraikan dalam panduan karyawan atau
selama sesi pelatihan. Namun, orang-orang seperti ini jelas menghadapi
banyak emosi dalam pekerjaan mereka—baik yang jujur maupun yang
dikelola. Misalnya, seorang perawat harus menghadapi emosi yang jujur
(misalnya, kesedihan karena pasien meninggal) dan mengungkapkan emosi
yang mungkin sebenarnya tidak dirasakannya (misalnya, berurusan dengan
pasien yang sulit dengan cara yang ceria atau profesional).
Beberapa sarjana telah lebih lanjut menyelidiki pentingnya emosi dalam
pekerjaan melalui pertimbangan tentang kasih sayang di tempat kerja.
Misalnya, Miller (2007) mengamati sejumlah pekerjaan yang melibatkan
emotional work dalam pertimbangannya terhadap pekerja yang terlibat
dalam komunikasi yang penuh kasih sayang. Dalam wawancara dengan
pekerja dalam berbagai jenis pekerjaan pelayanan manusia, dia
menemukan bahwa pekerja berkomunikasi secara emosional dengan
melibatkan proses pengamatan, menghubungkan, dan merespons (lihat
juga Kanov et al., 2004). Pekerja yang terlibat dalam emotional work harus
memperhatikan kebutuhan kasih sayang dan detail kehidupan klien yang
akan mengarah pada komunikasi yang tepat. Kemudian, mereka harus
terhubung dengan klien dengan mengambil sudut pandang orang lain dan
membentuk ikatan empati. Akhirnya, mereka harus merespons dengan
perilaku verbal dan nonverbal yang dapat membuat perbedaan bagi klien
yang bermasalah. Way dan Tracy (2012) lebih lanjut mengembangkan model
ini dalam studi tentang pekerja hospice. Para peneliti ini menyoroti baik
hadiah yang diperoleh pekerja melalui pekerjaan yang penuh kasih.
Emosi sebagai Bagian dari Hubungan Kerja
Emosi bukan hanya penting ketika menjadi bagian yang diwajibkan dalam
pekerjaan seseorang. Sebenarnya, individu dalam semua peran organisasi
merasakan emosi di tempat kerja. Beberapa sarjana berpendapat bahwa
kita seharusnya lebih memperhatikan emosi yang muncul dari hubungan di
tempat kerja daripada emosi yang diperlukan oleh pekerjaan tersebut
(Waldron, 2012). Miller et al. (2007) menyebut jenis emosi ini di tempat
kerja sebagai "emosi dalam bekerja", dan Sandelands dan Boudens (2000)
dengan tegas berpendapat bahwa kita seharusnya melihat bukan pada sifat
pekerjaan itu sendiri, tetapi pada hubungan dengan orang lain di tempat
kerja sebagai sumber utama emosi organisasi. Setelah meninjau banyak
narasi tentang kehidupan kerja, para sarjana ini menyimpulkan:
Ketika orang berbicara tentang pekerjaan mereka dan perasaan
mereka, mereka jarang berbicara tentang apa yang mereka lakukan di
tempat kerja atau arti dari pekerjaan tersebut. Mereka hampir secara
eksklusif berbicara tentang keterlibatan mereka dalam kehidupan
kelompok.... Perasaan tidak diidentifikasi dengan evaluasi terhadap
pekerjaan, bahkan kurang lagi dengan pertumbuhan pribadi dan
perkembangan. Sebaliknya, perasaan sangat terkait dengan tempat
dan aktivitas seseorang dalam kehidupan kelompok serta tempat
pekerjaan mereka dalam skema yang lebih besar. (Sandelands &
Boudens, 2000, hlm. 52).
Sejumlah aspek hubungan kerja sebagian besar bersifat emosional.
Seringkali kita memiliki rekan kerja (atau atasan atau karyawan) yang
disukai atau tidak disukai, yang memunculkan kegembiraan atau
kekesalan, yang membuat tergugah atau kesal. Kerja kita dengan rekan
kerja ini dapat menciptakan dan mempertahankan emosi, termasuk
kemarahan, frustrasi, kegembiraan, kegembiraan, atau kebosanan. Di sisi
positif dari spektrum emosi ini adalah emosi belas kasihan yang ditekankan
dalam bagian terakhir. Selain mempertimbangkan belas kasihan sebagai
bagian dari pekerjaan, para sarjana juga telah bekerja pada cara di mana
anggota organisasi mengkomunikasikan belas kasihan dalam hubungan
kerja (lihat Sorotan pada Scholarship di Bab 4). Para sarjana ini melihat
belas kasihan sebagai bentuk "pembicaraan sehari-hari" di organisasi (Frost
et al., 2006) dan percaya bahwa budaya belas kasihan dapat ditanamkan
melalui kepemimpinan yang efektif: "selalu ada kesedihan di suatu tempat
di ruangan ... Anda tidak bisa menghilangkan penderitaan seperti itu, dan
Anda tidak dapat meminta orang untuk memeriksa emosi mereka di pintu.
Tetapi Anda dapat menggunakan kepemimpinan Anda untuk memulai
proses penyembuhan "(Dutton, Frost, Worline, Lilius & Kanov, 2002, hlm.
61).
Di ujung negatif spektrum lainnya, konten emosional dari hubungan kerja
dapat mencakup pelecehan psikologis terhadap orang lain melalui
intimidasi di tempat kerja. Seperti yang dijelaskan oleh Lutgen-Sandvik
(2006), intimidasi adalah "agresi verbal dan nonverbal yang persisten di
tempat kerja yang mencakup serangan pribadi, pengucilan sosial, dan
sejumlah pesan menyakitkan dan interaksi yang bermusuhan" (hlm. 406).
Intimidasi dilaporkan dialami oleh 90% orang dewasa pada suatu titik
dalam kehidupan kerja mereka dan dapat menyebabkan penderitaan besar
bagi para korbannya (Tracy, Lutgen-Sandvik & Alberts, 2006). Misalnya,
Lutgen-Sandvik (2008) melaporkan tentang trauma dan stigmatisasi
intimidasi ketika para pekerja mencoba memahami pelecehan tersebut
dalam cahaya ide mereka tentang diri sendiri dan orang lain. Para korban
intimidasi ini menemukan diri mereka "menghadapi kehilangan yang
dirasakan terhadap reputasi profesional, identitas organisasi dan rasa
percaya diri, serta kehilangan keyakinan inti tentang keadilan atau
kesetaraan" (Lutgen-Sandvik, 2008, hlm. 110). Seperti penciptaan budaya
belas kasihan, namun, mungkin saja pemimpin dan anggota organisasi
berperan dalam mentransformasi lingkungan intimidasi yang negatif
(Cowan, 2012; Lutgen-Sandvik & Tracy, 2012).
Selain contoh-contoh belas kasihan dan intimidasi, perasaan dan tampilan
emosional - baik positif maupun negatif - meluap dalam semua jenis
hubungan organisasi. Waldron (2000) berpendapat bahwa ada beberapa
aspek hubungan kerja yang menciptakan potensi emosi intens di
organisasi. Beberapa aspek tersebut meliputi:
• Ketegangan antara publik dan pribadi dalam hubungan kerja:
Pertimbangkan, misalnya, kasus di mana teman di luar tempat kerja
adalah atasan dan bawahan di tempat kerja. Atau pertimbangkan situasi
di mana pengungkapan pribadi diungkapkan dalam pertemuan publik.
Singkatnya, emosi umumnya ada di tempat kerja karena pribadi dan
publik seringkali bertentangan dalam kehidupan organisasi.
• Jaringan relasional dan "kegemparan" emosional: Waldron (2000) juga
menunjukkan bahwa emosi dapat menyebar dengan cepat di tempat
kerja. Satu komentar negatif dalam pertemuan dapat menyebabkan
pemberontakan umum. Rumor tentang kemungkinan pengurangan
karyawan menyebabkan kepanikan luas. Atau, dalam basis sehari-hari,
keluhan terus-menerus tentang tempat kerja dapat "menyebar seperti
wabah dari pekerja ke pekerja" (Korkki, 2013).
• Kesetiaan yang bertentangan: Karena organisasi adalah sistem yang
kompleks, pekerja seringkali memiliki banyak kesetiaan. Konflik dapat
melibatkan perbedaan antara apa yang terbaik untuk individu dan apa
yang terbaik untuk perusahaan. Atau seorang individu mungkin
merasakan kesetiaan yang bertentangan terhadap berbagai departemen
atau individu di organisasi. Atau kesetiaan mungkin berkembang kepada
kelompok subkultural yang terbentuk di tempat kerja. Dalam semua
kasus ini, emosi yang intens (pengkhianatan, dedikasi, cemburu)
mungkin ditemukan.
• Hak-hak dan kewajiban emosional di tempat kerja: Akhirnya, Waldron
(2000) berpendapat bahwa kebanyakan tempat kerja mencakup rasa
moralitas hubungan yang kuat - apa yang adil, benar, dan adil dalam
hubungan kerja. Ketika norma-norma ini terganggu, emosi yang kuat
dapat terlihat. Sebagai contoh, Waldron (2000) mengutip seorang wanita
yang dituduh "mendapatkan promosi dengan cara tidur" oleh rekan kerja:
"Saya mengangkat tinju saya dan memukulinya, dan berkata [kepadanya]
'ajukan pengaduan'. Saya tidak pernah lagi mendapatkan komentar,
langsung ke wajah saya, tentang apa yang telah saya lakukan" (Waldron,
2000, hlm. 72).

Aturan Emosi dan Kecerdasan Emosional


Emosi, oleh karena itu, merupakan bagian sentral dari kehidupan
organisasi baik dalam hal interaksi dengan pelanggan atau klien maupun
dalam hal interaksi dengan anggota lain dari organisasi. Beberapa sarjana
baru-baru ini melihat seluruh area ini dengan mencoba memahami aturan
emosi untuk tampilan emosional di tempat kerja dan memahami peran
yang mungkin dimainkan oleh kecerdasan emosional dalam berbagai
interaksi di tempat kerja. Misalnya, Kramer dan Hess (2002) melakukan
survei pada berbagai pekerja untuk mempelajari aturan yang dirasakan
yang mengatur kehidupan emosional dalam sebuah organisasi. Aturan-
aturan ini dirangkum dalam Tabel 11.1. Fakta bahwa pekerja merasakan
adanya aturan-aturan ini dengan jelas menunjukkan bahwa ada standar
untuk ekspresi emosional baik dengan rekan kerja maupun dengan
pelanggan dan klien. Sebagai contoh, aturan yang paling sering dikutip
adalah kebutuhan untuk "profesional." Aturan ini menunjukkan standar
pengendalian emosi saat berinteraksi dengan klien dan rekan kerja.
Misalnya, mengekspresikan kemarahan melalui teriakan dan umpatan
mungkin akan dianggap sebagai pelanggaran aturan ini, begitu pula dengan
ekspresi frustrasi atau kesedihan melalui menangis. Namun, perlu dicatat
bahwa aturan-aturan tampilan emosi ini bukanlah hukum yang baku tetapi
akan bervariasi dari tempat kerja ke tempat kerja dan akan berubah seiring
waktu. Misalnya, Scott dan Myers (2005) menggambarkan cara di mana
pemadam kebakaran pemula harus disosialisasikan ke dalam strategi
untuk mengelola emosi pekerjaan yang sangat stres mereka, dan Morgan
dan Krone (2001) mempelajari sejauh mana "improvisasi" dalam perilaku
emosional dapat menyebabkan pelonggaran aturan tampilan profesional di
tempat kerja.
Tabel 11.1 Tampilan Aturan Emosi
Aturan Keterangan
"Mengekspresikan emosi dengan Individu harus memiliki kendali
cara profesional." atas emosi dan menjaga suasana
kerja yang serius di tempat kerja.
"Mengekspresikan emosi untuk Tampilan emosi harus dikelola
memperbaiki situasi." untuk mencegah atau memperbaiki
masalah dan menciptakan iklim
kerja yang positif.
"Mengekspresikan emosi kepada Emosi positif dan negatif harus
orang yang tepat." ditujukan kepada orang yang tepat
di tempat yang tepat.
"Mengekspresikan emosi untuk Tampilan emosi harus dikelola
membantu individu." untuk memberikan dukungan dan
membantu orang lain.
"Jangan mengelola emosi untuk Tampilan emosi tidak boleh dikelola
keuntungan pribadi dengan dengan cara yang hanya untuk
merugikan orang lain." kepentingan diri sendiri.
"Pengungkapan emosi tertentu Pekerja harus menjaga kendali yang
selalu tidak pantas." sesuai dengan peran terhadap
emosi positif dan tidak boleh
menyalahgunakan orang lain.
Tabel disarikan dari Kramer, M. W. & Hess, J. A. (2002). Communication rules for
the display of emotions inorganizational settings. Management Communication
Quarterly, 16, 66–80.

Terakhir, penting untuk mempertimbangkan konsep kecerdasan emosional


yang belakangan ini menjadi terkenal di media manajemen populer
(Goleman, 1995). Konsep ini menunjukkan bahwa ada beberapa orang yang
secara alami lebih baik dalam memahami dan mengelola konten emosional
dalam hubungan kerja, dan kecerdasan emosional juga merupakan
keterampilan yang dapat dikembangkan melalui pelatihan. Kecerdasan
emosional melibatkan pemahaman yang jelas tentang kebutuhan emosional
situasi serta kesadaran diri dan kendali diri yang diperlukan untuk
menggunakan tampilan emosi yang tepat dalam menghadapi situasi
tersebut. Pada dasarnya, mereka yang memiliki "nilai kecerdasan
emosional" (EQ) yang tinggi memiliki pemahaman yang jelas tentang aturan
tampilan emosi dan kemampuan untuk mengikuti dan menyesuaikan
aturan tersebut jika diperlukan. Meskipun konsep kecerdasan emosional
telah diterima oleh banyak manajer praktisi, beberapa sarjana juga telah
mengkritiknya (lihat Dougherty & Krone, 2002; Fineman, 2000) yang
berpendapat bahwa konsep kecerdasan emosional adalah contoh lain
bagaimana organisasi berusaha mengubah emosi menjadi produk yang
dapat dipasarkan yang akan meningkatkan keuntungan organisasi -
mungkin dengan merugikan perasaan otentik anggota organisasi. Selain itu,
beberapa penelitian telah mempertanyakan rekomendasi populer tentang
kecerdasan emosional sebagai "menyesatkan karena mereka tampaknya
menyajikan studi ilmiah yang mendukung klaim mereka, padahal
sebenarnya tidak melakukannya" (Zeidner, Matthews & Roberts, 2004, hlm.
393).

STRES, KELELAHAN, DAN DUKUNGAN SOSIAL DI TEMPAT KERJA


Dalam bab ini sejauh ini, kita telah mempertimbangkan kepentingan emosi
di tempat kerja. Pada sisa bab ini, kita akan melihat satu area emosi yang
telah mendapat perhatian besar dari para sarjana organisasi: pertimbangan
tentang stres dan kelelahan serta peran komunikasi dalam menyebabkan
dan mengatasi emosi penting ini di tempat kerja.
Penelitian tentang stres di tempat kerja telah menghasilkan beragam istilah
yang digunakan untuk menggambarkan berbagai aspek fenomena ini.
Dalam beberapa kasus, penggunaan istilah-istilah ini dapat
membingungkan. Pertimbangkan, misalnya, konsep sentral stres. Beberapa
sarjana menggunakan istilah ini untuk merujuk pada aspek-aspek tempat
kerja yang sulit ditangani, sedangkan yang lain menggunakannya untuk
merujuk pada hasil negatif yang timbul dari kondisi kerja ini. Untuk tujuan
bab ini, kita akan berbicara tentang stres sebagai area penelitian umum
dan menggunakan istilah yang lebih spesifik untuk merujuk pada aspek-
aspek terperinci dari proses stres.
Proses stres dapat dikonseptualisasikan dengan baik sebagai proses di
mana beberapa aspek lingkungan - yang disebut sebagai pemicu stres -
menciptakan tekanan pada individu - yang disebut sebagai kelelahan - yang
dapat mengakibatkan hasil negatif psikologis, fisiologis, dan organisasional.
Model dasar ini diilustrasikan dalam Gambar 11.1. Beberapa bagian berikut
menjelaskan model ini dengan mempertimbangkan kelelahan, pemicu stres,
dan hasil. Kita akan memulai dengan menjelajahi konsep kelelahan yang
berada di tengah model ini.
Pemicu Stress Kelelahan Dampak
Faktor-faktor Tegangan yang timbul Dampak fisiologis,
lingkungan yang sulit akibat pemicu stres sikap, dan
ditangani oleh yang berkelanjutan: organisasional dari
individu: burnout:

beban kerja, kelelahan emosional, penyakit jantung


konflik peran, depersonalisasi, koroner,
ketidakjelasan peran, berkurangnya tekanan darah tinggi,
peristiwa kehidupan, pencapaian pribadi kepuasan kerja yang
konflik antara rumah rendah,
dan pekerjaan komitmen yang
berkurang,
pergantian karyawan
Gambar 11.1 | Model Dasar Stres di Tempat Kerja
Model dasar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Burnout
Istilah burnout, yang pertama kali digunakan oleh Freudenberger (1974),
mengacu pada "kelelahan" akibat tekanan kerja. Burnout adalah kondisi
kronis yang terjadi ketika stres kerja harian mempengaruhi karyawan.
Konseptualisasi burnout yang paling umum diterima telah dikembangkan
oleh Maslach dan rekan-rekannya dalam studi mereka tentang pekerja
sektor pelayanan manusia (Maslach, 1982; lihat juga Cordes & Dougherty,
1993). Maslach melihat burnout terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait.
Dimensi pertama adalah kelelahan emosional yang sebenarnya merupakan
inti dari fenomena burnout. Karyawan mengalami kelelahan emosional
ketika mereka merasa lelah, frustrasi, habis tenaga, atau tidak mampu
menghadapi hari kerja lainnya. Dimensi kedua dari burnout adalah
kurangnya pencapaian pribadi. Aspek fenomena burnout ini mengacu pada
karyawan yang melihat diri mereka sebagai gagal, tidak mampu secara
efektif memenuhi persyaratan pekerjaan. Dimensi ketiga dari burnout
adalah depersonalisasi. Dimensi ini relevan hanya bagi karyawan yang
harus berkomunikasi secara interpersonal dengan orang lain (misalnya,
klien, pasien, siswa) sebagai bagian dari pekerjaan mereka. Ketika
mengalami burnout, karyawan seperti itu cenderung "melihat orang lain
melalui kacamata berwarna karat—mengembangkan pendapat buruk
tentang mereka, mengharapkan yang terburuk dari mereka, dan bahkan
secara aktif tidak menyukai mereka" (Maslach, 1982, hlm. 4).
Pertimbangkan contohnya Rhoda, seorang pekerja sosial yang telah bekerja
dengan keluarga-keluarga di daerah perkotaan selama lebih dari lima belas
tahun. Rhoda memasuki profesi ini sebagai pekerja yang sangat termotivasi
dan idealis. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menjadi burnout akibat
rutinitas pekerjaan yang melelahkan setiap hari. Rhoda menunjukkan
ketiga dimensi burnout yang telah diuraikan di atas. Seiring berjalannya
waktu, ia berhenti melihat kliennya sebagai individu dengan masalah
khusus dan sekarang menyebut mereka dengan nomor kasus. Ia bahkan
terdengar memanggil beberapa klien yang sulit "orang rendahan." Tidak
mengherankan, Rhoda kesulitan memotivasi dirinya sendiri untuk pergi
kerja setiap hari dan fisiknya lelah serta mentalnya terkuras saat pulang.
Ketika ia memikirkan apa yang awalnya ingin dicapai sebagai seorang
pekerja sosial, Rhoda merasa sangat sedih, merasa bahwa ia tidak banyak
membuat perbedaan bagi siapa pun yang ia layani.
Menuju sindrom burnout ini terdapat berbagai macam faktor stres
organisasional, meskipun tidak semua faktor stres akan menyebabkan
burnout pada semua individu. Tiga faktor stres di tempat kerja yang paling
sering diidentifikasi adalah beban kerja, konflik peran, dan ambiguitas
peran (Miller, Ellis, Zook & Lyles, 1990). Beban kerja telah dikaitkan dengan
burnout baik secara kuantitatif—memiliki "terlalu banyak" pekerjaan untuk
dilakukan—maupun secara kualitatif—memiliki pekerjaan yang "terlalu
sulit." Stres beban kerja dapat berasal dari berbagai sumber organisasional.
Misalnya, seorang guru mungkin merasa kelebihan beban karena jumlah
murid yang diajar dan kebutuhan untuk berpartisipasi dalam komite
sekolah serta memproses banyak dokumen. Konflik peran dan ambiguitas
peran juga merupakan faktor stres penting di tempat kerja. Konflik peran
terjadi ketika ada dua atau lebih persyaratan peran yang saling
bertentangan, sementara ambiguitas peran terjadi ketika terdapat
ketidakpastian tentang persyaratan peran. Burnout juga dapat disebabkan
oleh stresor di luar tempat kerja, termasuk peristiwa besar dalam
kehidupan seperti perceraian, pensiun, kehamilan, atau pindah yang
berdampak pada burnout yang dirasakan di tempat kerja. Mungkin lebih
penting daripada peristiwa besar dalam kehidupan ini adalah kerumitan
sehari-hari dan beban emosional dalam menyeimbangkan kehidupan kerja
dan kehidupan di rumah (lihat, misalnya, Golden, Kirby & Jorgenson,
2006). Seperti yang diketahui oleh setiap orang tua yang bekerja, hampir
tidak mungkin untuk menjaga rumah dan kantor sebagai dua wilayah yang
terpisah, dan faktor stres di salah satu domain ini secara tidak
terhindarkan mempengaruhi domain lainnya. Kami akan membahas isu
persimpangan antara pekerjaan dan kehidupan di rumah secara lebih
lengkap dalam Bab 12.
Di ujung lain dari model, Figure 11.1 menunjukkan bahwa burnout dapat
memiliki berbagai efek fisiologis, sikap, dan organisasional. Secara fisiologis,
burnout telah dikaitkan dengan hasil seperti penyakit jantung koroner dan
tekanan darah tinggi. Lebih banyak penelitian telah menyelidiki hasil sikap
dari burnout. Misalnya, penelitian yang mempertimbangkan berbagai
macam pekerjaan dan pekerja telah menghubungkan burnout dengan
tingkat kepuasan kerja yang lebih rendah (Miller et al., 1990). Demikian
pula, pekerja yang mengalami burnout sering memiliki tingkat komitmen
yang lebih rendah karena mereka menjadi kecewa dengan organisasi atau
pekerjaan yang menimbulkan stres. Seperti yang dicatat oleh Maslach
(1982) tentang pekerja sektor pelayanan manusia: "Seorang perawat
kejiwaan menjadi tukang kayu, atau seorang konselor beralih menjadi
petani. Mereka bersumpah bahwa mereka tidak akan pernah kembali ke
pekerjaan asli mereka dengan tumpukan orang dan tuntutan emosionalnya"
(p. 81). Akhirnya, hasil perilaku yang paling umum terkait dengan burnout
di dalam organisasi adalah pergantian karyawan (misalnya, Ellis & Miller,
1993).
Komunikasi sebagai Penyebab Burnout
Ada banyak cara di mana komunikasi berkontribusi terhadap pengalaman
burnout di organisasi. Beberapa karakteristik tempat kerja yang telah
diidentifikasi sebelumnya - beban kerja, konflik peran, dan ambiguitas
peran - dapat berfungsi sebagai faktor stres dan menyebabkan burnout.
Salah satu cara di mana komunikasi di tempat kerja dapat memengaruhi
burnout adalah melalui variabel-variabel ini. Interaksi komunikatif,
misalnya, jelas berkontribusi secara signifikan terhadap beban kerja
seseorang. Komunikasi juga dapat memengaruhi pengalaman konflik peran
dan ambiguitas peran. Misalnya, model perkembangan peran Graen (Graen
& Scandura, 1987) yang telah kita bahas di Bab 7 menggambarkan
bagaimana interaksi antara atasan dan bawahan membantu menentukan
harapan saat seseorang belajar tentang pekerjaan dan organisasi. Jika
komunikasi dalam tahap sosialisasi yang krusial ini tidak memadai, konflik
peran dan ambiguitas peran kemungkinan akan terjadi.
Dengan demikian, komunikasi dapat berperan dalam menyebabkan
burnout melalui pengaruhnya terhadap faktor-faktor stres di tempat kerja
seperti beban kerja, konflik peran, dan ambiguitas peran. Namun, ini bukan
satu-satunya cara di mana komunikasi berperan dalam proses burnout.
Sebenarnya, komunikasi juga berperan dalam menciptakan stres melalui
proses komunikasi emosional yang telah dibahas sebelumnya dalam bab
ini. Sekarang kita akan mempertimbangkan dua cara di mana aspek
emosional pekerjaan berkontribusi terhadap stres dan burnout.
Emosional Buruh sebagai Penyebab Burnout. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya dalam bab ini, tenaga emosional adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan pekerjaan di mana emosi spesifik diperlukan
sebagai bagian dari pekerjaan tersebut. Pekerja dalam pekerjaan layanan
yang membutuhkan tenaga emosional harus bertindak sesuai dengan yang
ditentukan oleh organisasi - kasir yang ramah, penjaga penjara yang tegas,
konselor yang simpatik. Jadi, apa hubungan tenaga emosional dengan
burnout? Banyak peneliti berpendapat bahwa keduanya erat terkait.
Misalnya, perkembangan konsep tenaga emosional oleh Hochschild
mengindikasikan bahwa pekerja yang terlibat dalam tenaga emosional
berisiko psikologis yang serius. Dikatakan bahwa bahaya utama dari tenaga
emosional adalah tampilnya emosi yang sebenarnya tidak dirasakan. Morris
dan Feldman (1996) menyebutnya sebagai "disonansi emosional" dan
berpendapat bahwa ini adalah faktor utama yang menyebabkan
konsekuensi negatif seperti burnout, ketidakpuasan kerja, dan pergantian
pekerjaan. Meskipun penelitian tentang hubungan antara tenaga emosional
dan burnout agak bervariasi, jelas ada kemungkinan bahwa tampilnya
emosi palsu dapat - dalam beberapa situasi - memiliki efek merugikan bagi
para pekerja.
Empati, Komunikasi, dan Burnout. Bidang kedua dari penelitian
mengenai emosi dan burnout telah mempertimbangkan bukanlah emosi
"yang ditentukan" dan "dikelola" dari tenaga emosional, tetapi emosi alami
yang sering muncul dalam pekerjaan layanan manusia. Secara khusus,
Miller, Stiff, dan Ellis (1988) telah mengeksplorasi peran komunikasi
emosional dan burnout dengan mengembangkan dan menguji model
komunikasi, empati, dan burnout untuk pekerja layanan manusia. Mereka
pertama-tama mencatat bahwa individu sering memilih pekerjaan-
pekerjaan ini (misalnya, perawatan kesehatan, pekerjaan sosial, pengajaran)
karena mereka "berorientasi pada orang" dan merasakan tingkat empati
yang tinggi terhadap orang lain. Miller dan rekan-rekannya (1988)
kemudian membedakan dua jenis empati - yaitu, kontaminasi emosional
dan perhatian empatik. Kontaminasi emosional adalah respons afektif di
mana seorang pengamat mengalami emosi sejalan dengan orang lain.
Sebagai contoh, seorang direktur pemakaman yang selalu merasa sedih
ketika berbicara dengan klien yang berduka sedang mengalami kontaminasi
emosional. Dalam kata lain, kontaminasi emosional melibatkan "merasakan
bersama" orang lain. Di sisi lain, perhatian empatik adalah respons afektif
di mana seorang pengamat memiliki respons emosional yang tidak sejalan.
Sebagai contoh, seorang konselor yang berurusan dengan klien yang
histeris mungkin merasa prihatin tetapi tidak berbagi histeria klien
tersebut. Oleh karena itu, perhatian empatik melibatkan "merasakan
untuk" orang lain.
Bagaimana kedua dimensi empati ini mempengaruhi komunikasi para
pekerja layanan manusia? Miller dan rekannya (1988) berspekulasi bahwa
perhatian empatik seharusnya membantu karyawan berkomunikasi secara
efektif, sedangkan kontaminasi emosional seharusnya menghambat
interaksi yang efektif. Pemikiran mereka serupa dengan argumen yang
disampaikan oleh Maslach (1982):
Memahami masalah seseorang dan melihat dari sudut pandangnya
seharusnya meningkatkan kemampuan Anda dalam memberikan
layanan atau perawatan yang baik. Namun, pengalaman secara tak
langsung terhadap pergolakan emosional orang tersebut akan
meningkatkan kerentanan Anda terhadap kelelahan emosional.
Kontaminasi emosional sebenarnya adalah semacam kelemahan atau
kerentanan daripada kekuatan. Orang yang perasaannya mudah
terangsang (tetapi tidak selalu mudah dikendalikan) akan mengalami
kesulitan yang jauh lebih besar dalam menghadapi situasi yang penuh
tekanan emosional daripada orang yang kurang mudah terpengaruh
dan lebih terlepas secara psikologis. (hal. 70).
Miller dan rekan-rekannya (1988) lebih lanjut menghipotesiskan bahwa
pekerja yang responsif secara komunikatif akan mengalami lebih sedikit
burnout dan memiliki lebih banyak komitmen terhadap pekerjaan mereka.
Model yang dikembangkan oleh para peneliti ini disajikan dalam Gambar
11.2. Dalam sebuah studi terhadap pekerja rumah sakit, mereka
menemukan dukungan untuk model mereka, dengan memastikan bahwa
perhatian empatik meningkatkan responsivitas komunikatif, sedangkan
kontaminasi emosional mengurangi responsivitas. Selain itu, mereka
menemukan bahwa pemberi perawatan yang responsif secara komunikatif
lebih tidak mungkin mengalami burnout. Model mereka telah mendapatkan
dukungan dan pengembangan lebih lanjut melalui penelitian terhadap
pekerja yang memberikan layanan untuk klien yang tidak memiliki tempat
tinggal (Miller, Birkholt, Scott & Stage, 1995), perawat (Omdahl &
O'Donnell, 1999), perencana keuangan (Miller & Koesten, 2008), dan
pekerja layanan manusia (Snyder, 2012). Kontaminasi emosional juga
dikaitkan dengan burnout di kalangan guru (Bakker & Schaufeli, 2000) dan
pekerja perawatan onkologi (LeBlanc et al., 2001).
Penelitian ini memberikan bukti bahwa komunikasi emosional di tempat
kerja dapat berdampak buruk, tetapi hanya dalam kondisi tertentu. Secara
khusus, ketika seseorang dalam situasi memberikan perawatan merasakan
bersama dengan klien dan berkomunikasi sesuai dengan itu, burnout
kemungkinan akan terjadi. Sebaliknya, pemberi perawatan yang merasa
untuk klien dan berkomunikasi sesuai dengan itu tidak mungkin menderita
efek burnout. Pola ini mengarah pada rekomendasi awal bahwa dokter dan
pekerja layanan manusia lainnya harus berusaha mengadopsi sikap
perhatian yang terlepas, di mana kepedulian terhadap klien dapat
dipertahankan tanpa melibatkan keterlibatan emosional yang kuat (Lief &
Fox, 1963). Baru-baru ini, para sarjana menjadi khawatir tentang bahaya
pekerja kesehatan menjadi terlalu terlepas - dengan merugikan klien dan
keluarga (Fox, 200 6; Halpern, 2001). Oleh karena itu, beberapa ahli telah
beralih untuk merekomendasikan agar para dokter dapat melawan burnout
dengan terlibat dalam empati yang lebih tulus yang tercermin dalam proses
tindakan yang dalam yang telah kita bahas sebelumnya dalam bab ini
(Larson & Yao, 2005).
Dalam penelitian ini, penting untuk memahami bahwa pengaruh emosional
dalam komunikasi dan hubungannya dengan burnout dapat berbeda
tergantung pada jenis empati yang dialami oleh pekerja. Kontaminasi
emosional, di mana pekerja merasakan emosi yang sejalan dengan orang
lain, cenderung meningkatkan risiko burnout. Di sisi lain, perhatian
empatik, di mana pekerja merespons dengan emosi yang tidak sejalan
dengan orang lain, cenderung mengurangi risiko burnout. Oleh karena itu,
penting bagi pekerja dalam bidang pelayanan manusia untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi emosional yang efektif dan
memahami peran empati dalam interaksi mereka.
Dalam kesimpulan, komunikasi dan emosi berperan penting dalam
pengalaman burnout di tempat kerja. Beban kerja, konflik peran,
ambiguitas peran, dan emosional labor dapat menjadi faktor penyebab
burnout. Kontaminasi emosional dan perhatian empatik mempengaruhi
interaksi komunikatif pekerja, yang pada gilirannya berhubungan dengan
tingkat burnout yang dialami. Penting untuk mengembangkan pemahaman
yang lebih baik tentang peran komunikasi dan emosi dalam konteks
pekerjaan, sehingga strategi yang efektif dapat dikembangkan untuk
mengurangi risiko burnout dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Mengatasi Kelelahan
Sejauh ini, kita telah melihat asal mula terjadinya burnout di tempat kerja,
yang menggambarkan gambaran yang cukup suram tentang kehidupan
organisasi. Namun, ada cara-cara untuk mengatasi burnout. Pada bagian
ini, kita akan melihat secara singkat strategi individu dan organisasi dalam
mengatasi burnout, dan kemudian kita akan memperluas pembahasan
tentang peran partisipasi dalam pengambilan keputusan dan dukungan
sosial sebagai strategi komunikasi untuk mengurangi burnout.
Strategi Penanganan Individu dan Organisasi. Ada banyak cara individu
dapat bereaksi terhadap burnout. Beberapa reaksi ini - seperti minum
berlebihan, penggunaan obat-obatan, dan absensi yang berlebihan - jelas
tidak berfungsi dengan baik. Namun, individu juga dapat mengatasi
burnout dengan cara yang dapat memperbaiki pengalaman burnout dan
dampak negatifnya. Misalnya, beberapa ahli telah menunjukkan berbagai
jenis pengatasi untuk menghadapi stres kehidupan dan stres organisasi
(Folkman, Lazarus, Gruen & DeLongis, 1986). Tiga jenis pengatasi telah
diidentifikasi. Pengatasi yang berpusat pada masalah melibatkan
penanganan langsung terhadap penyebab burnout. Pengatasi yang berpusat
pada penilaian melibatkan perubahan cara seseorang memandang situasi
stres. Pengatasi yang berpusat pada emosi melibatkan penanganan hasil
afektif negatif dari burnout.
Misalkan ada seorang insinyur bernama Peter yang merasa terlalu
terbebani dengan jumlah pekerjaan yang harus diselesaikannya.
Pekerjaannya tidak memberinya waktu untuk keluarganya, dan ia selalu
merasa tertekan oleh atasan untuk melakukan lebih banyak di pekerjaan.
Ada beberapa cara yang bisa digunakan oleh Peter untuk mengatasi situasi
ini. Dia bisa menggunakan pengatasi yang berpusat pada emosi dengan
menggunakan teknik relaksasi yang dirancang untuk mengurangi
ketegangan terkait pekerjaan. Atau dia bisa menggunakan pengatasi yang
berpusat pada penilaian dengan meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia
perlu bekerja keras untuk maju di perusahaan dan bahwa pengorbanan
keluarga dalam jangka pendek diperlukan untuk keamanan jangka
panjang. Atau dia bisa menggunakan pengatasi yang berpusat pada
masalah dengan mendelegasikan sebagian tanggung jawabnya, berbicara
dengan atasan tentang pengurangan bekerja, atau menggunakan teknik
manajemen waktu. Strategi ini mungkin bervariasi dalam efektivitas mereka
dalam mengurangi stres Peter. Namun, kemungkinan strategi yang
berpusat pada masalah akan menghasilkan pengurangan burnout terkait
pekerjaan yang paling tahan lama dan memuaskan.
Organisasi juga dapat berperan dalam mengurangi burnout (lihat Pines,
Aronson & Kafry, 1981). Program sosialisasi dapat dirancang untuk
meningkatkan kejelasan definisi peran karyawan. Beban kerja dapat
dipantau dan dikendalikan dengan hati-hati. Para pekerja yang terlibat
dalam pekerjaan dengan tingkat stres tinggi atau emosional dapat diberikan
"waktu istirahat" selama hari kerja atau cuti untuk mengisi energi. Konflik
antara rumah dan pekerjaan dapat diakui melalui penyediaan fleksibilitas
waktu dan penitipan anak di tempat kerja. Semua strategi organisasi ini
dapat menghilangkan penyebab burnout atau mengurangi dampak
negatifnya. Mungkin cara paling penting untuk mengatasi burnout, namun,
muncul melalui interaksi komunikatif. Mari kita lihat dua cara komunikatif
penting dalam mengatasi burnout: partisipasi dalam pengambilan
keputusan dan dukungan sosial.
Strategi Komunikatif: Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan.
Strategi komunikatif pertama dalam mengatasi burnout di tempat kerja
adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan (PDM). Kita sudah
membahas secara detail proses partisipasi dalam Bab 8 sebelumnya. Secara
khusus, kita mencatat bahwa PDM dapat meningkatkan kepuasan dan
produktivitas kerja melalui peningkatan aliran informasi (model kognitif)
dan pemenuhan kebutuhan tingkat tinggi pekerja (model sikap). Penelitian
juga menunjukkan bahwa PDM dapat mengurangi burnout di tempat kerja.
Miller dan rekan-rekannya (1990) menemukan bahwa partisipasi yang
dirasakan dapat mengurangi burnout pada sampel karyawan rumah sakit.
Ray dan Miller (1991) mencapai kesimpulan serupa dalam penelitian
mereka terhadap guru sekolah dasar. Dalam sebuah penelitian
eksperimental, Jackson (1983) menemukan bahwa karyawan yang memiliki
kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengalami
tingkat ketegangan yang lebih rendah dan lebih sedikit niat untuk
meninggalkan pekerjaan mereka.
Mengapa PDM dapat berfungsi dalam mengurangi burnout terkait
pekerjaan? Beberapa penjelasan mungkin memungkinkan. Pertama, adalah
mungkin bahwa PDM berfungsi untuk mengurangi dua faktor pemicu stres
di tempat kerja yang telah kita bahas sebelumnya - konflik peran dan
ambiguitas peran. Seperti yang dicatat oleh Jackson (1983), PDM harus
mengarah pada "pengetahuan yang lebih akurat tentang (a) harapan formal
dan informal yang dipegang oleh orang lain terhadap pekerja, dan (b)
kebijakan dan prosedur formal dan informal organisasi, serta perbedaan di
antara keduanya" (hlm. 6). Selain efek ini pada definisi peran, juga mungkin
bahwa karyawan yang berpartisipasi merasa lebih dihargai oleh organisasi
dan merasakan rasa pengaruh dan kontrol yang lebih besar di tempat kerja.
Strategi Komunikatif: Dukungan Sosial. Salah satu pendekatan
komunikatif kedua dalam mengatasi stres dan burnout di tempat kerja
adalah dukungan sosial. Telah ada banyak penelitian tentang dukungan
sosial sebagai cara untuk melindungi individu dari tekanan besar dan kecil
dalam kehidupan (lihat Albrecht, Burleson & Goldsmith, 1995, untuk
tinjauan). Pada bagian ini, kita fokus pada peran dukungan sosial sebagai
cara untuk mengatasi stres terkait pekerjaan dan burnout dengan
mempertimbangkan fungsi dukungan sosial, sumber dukungan sosial
untuk mengurangi tekanan di tempat kerja, dan mekanisme melalui mana
dukungan sosial mengurangi burnout. Namun, perlu dicatat bahwa
dukungan sosial bukanlah obat mujarab dan tidak semua orang di tempat
kerja memiliki kompetensi komunikatif untuk memberikan dukungan yang
efektif (Wright, Banas, Bessarabova & Bernard, 2010).
Berbagai jenis tipologi telah diajukan untuk mengkategorikan dukungan
sosial (lihat, misalnya, House, 1981). Sebagian besar tipologi melibatkan
tiga fungsi utama dukungan sosial:
• Dukungan emosional melibatkan memberi tahu orang lain bahwa mereka
dicintai dan diurus. Dukungan emosional dapat melibatkan pesan yang
meningkatkan harga diri orang lain ("Saya tahu kamu cukup cerdas
untuk berhasil dalam tes ini") atau pesan yang menunjukkan rasa
hormat tanpa syarat ("Kamu tahu saya akan bangga padamu apa pun
yang kamu lakukan"). Atau dukungan emosional dapat melibatkan
memberikan tempat bergantung atau teman untuk mengeluh ("Kamu
selalu bisa datang kepada saya ketika kamu memiliki masalah").
• Dukungan informasional melibatkan memberikan fakta dan saran untuk
membantu individu mengatasi tekanan. Beberapa jenis dukungan
informasional dapat membantu di tempat kerja. Pertama, informasi dapat
membantu mengurangi pemicu stres terkait pekerjaan seperti konflik
peran dan beban kerja (misalnya, menjelaskan deskripsi pekerjaan atau
memberikan strategi manajemen waktu). Kedua, dukungan informasional
dapat memberikan saran untuk mengatasi tekanan burnout (misalnya,
menyarankan klub kesehatan yang baik untuk olahraga).
• Dukungan instrumental melibatkan bantuan fisik atau materi yang
membantu individu mengatasi stres dan tekanan. Misalnya, rekan kerja
dapat membantu menyelesaikan proyek saat seseorang berjuang dengan
tenggat waktu yang ketat. Atasan dapat mengirim seorang karyawan ke
seminar manajemen untuk pelatihan terkait pekerjaan tambahan.
Pasangan dapat memasak makan malam. Singkatnya, dukungan
instrumental melibatkan menyediakan sumber daya dan tenaga yang
diperlukan karyawan untuk mengatasi burnout di tempat kerja.
Berbagai orang dapat memberikan dukungan yang diperlukan individu
untuk mengatasi burnout. Tiga sumber dukungan yang paling umum
adalah atasan, rekan kerja, dan teman serta keluarga:
• Dukungan dari atasan cenderung datang dalam bentuk dukungan
instrumental dan informasional. Seorang atasan memiliki pengetahuan
untuk memberikan dukungan informasional dan akses ke sumber daya
untuk memberikan dukungan instrumental. Misalnya, seorang atasan
dapat mengurangi ambiguitas peran dengan duduk bersama seorang
karyawan dan menjelaskan harapan pekerjaan (dukungan informasional).
Seorang atasan juga dapat mengurangi beban kerja dengan
memberitahukan manajemen tentang kebutuhan akan pekerja tambahan
(dukungan instrumental).
• Dukungan dari rekan kerja cenderung datang dalam bentuk dukungan
informasional dan emosional. Rekan kerja (terutama karyawan yang
sudah lama) seringkali dapat memberikan informasi berharga tentang
cara mengatasi tekanan organisasi. Rekan kerja juga sangat penting
sebagai sumber dukungan emosional karena mereka memiliki
pemahaman yang jelas tentang konteks tempat kerja. Ray (1987)
mengutip seorang pekerja pusat penitipan anak tentang hal ini: "Ketika
saya mencoba memberi tahu suami atau teman-teman saya seperti apa
rasanya bekerja, menghadapi 15 anak yang berteriak, berkelahi,
menuntut perhatian selama 8 jam nonstop, mereka tidak benar-benar
mengerti. Satu-satunya orang yang benar-benar merasakannya seperti
saya adalah orang-orang yang saya kerjakan" (hlm. 174). Namun,
penelitian terbaru menunjukkan kemungkinan bahaya dari jenis
dukungan ini, karena interaksi dengan orang lain di tempat kerja
kadang-kadang dapat menarik perhatian pada seberapa stresnya tempat
kerja tersebut (Beehr, Bowling & Bennett, 2010).
• Dukungan dari teman dan keluarga biasanya datang dalam bentuk
dukungan emosional dan instrumental. Teman dan keluarga mengenal
individu dengan baik sehingga dapat memberikan dukungan harga diri
dan tempat bergantung. Teman dan keluarga juga dapat memberikan
dukungan instrumental dengan membebaskan individu dari tanggung
jawab di rumah. Misalnya, seorang wanita mungkin mengurus anak-
anak untuk beberapa waktu agar suaminya dapat menghabiskan waktu
ekstra menyelesaikan proyek kantor.
RANGKUMAN
Dalam bab ini, kita telah melihat area penting dalam bidang ilmu
komunikasi organisasi yang sedang berkembang: pertimbangan emosi di
tempat kerja. Pertama, kita melihat beberapa area studi yang menekankan
peran emosi di dalam organisasi. Ini termasuk pertimbangan terkait
perawatan emosional, pertimbangan terkait emosi dalam pekerjaan di
bidang pelayanan, dan penelitian tentang emosi dalam hubungan organisasi
yang berkelanjutan. Kemudian, kita membahas area khusus mengenai
emosi dan komunikasi di tempat kerja: penelitian tentang stres, burnout,
dan dukungan sosial. Pertama, kita melihat sindrom burnout dan
kemudian melihat penyebab dan dampak burnout di tempat kerja serta
peran komunikasi dalam menyebabkan dan membantu individu mengatasi
burnout.
Seperti dalam bab-bab sebelumnya, penting untuk melihat topik kita dalam
konteks berbagai pendekatan dalam komunikasi organisasi (lihat Tabel
11.2). Pendekatan klasik dalam komunikasi organisasi sebagian besar
mengabaikan emosi secara umum dan burnout secara khusus. Bahkan,
seorang karyawan yang mengalami burnout hanya dianggap sebagai gigi
dalam mesin yang harus diganti. Emosi juga diabaikan oleh banyak sarjana
dalam pendekatan hubungan manusiawi, sumber daya manusia, dan
sistem. Meskipun para teoritisi hubungan manusiawi mempertimbangkan
perasaan seperti kepuasan kerja dan semuanya ini akan melihat burnout
sebagai masalah yang harus diatasi, emosi ditempatkan di posisi belakang
dalam pekerjaan dari semua pendekatan tersebut.
Sebagian besar karya yang sedang berkembang tentang emosi di organisasi
berasal dari pendekatan kultural dan feminis dalam ilmu pengetahuan
organisasi. Misalnya, Meyerson (1994, 1998) telah membandingkan budaya
dua setting perawatan kesehatan dalam hal stres dan burnout. Analisisnya
menunjukkan perbedaan dalam budaya organisasi (misalnya, satu budaya
melihat burnout sebagai "penyakit," sementara yang lain melihatnya
sebagai hasil alami dari pekerjaan sosial) yang menyoroti aspek emosional
dari budaya organisasi dan kekuatan mode organisasi yang lebih feminin.
Terkait dengan hal ini, beberapa peneliti berpendapat bahwa pelaksanaan
kerja emosional adalah proses yang "bergender" (misalnya, Hall, 1993).
Terakhir, dalam bidang dukungan sosial, Kirby (2006) berpendapat bahwa
banyak program dan kebijakan organisasi sekarang mengambil tugas
dukungan yang dulunya menjadi tanggung jawab keluarga dan teman.
Perkembangan ini sesuai dengan kajian kritis yang menunjukkan cara-cara
meningkatnya kontrol organisasi atas area kehidupan kita yang semakin
luas.

Tabel 11.2 Pendekatan terhadap Proses Emosi


Pendekatan Bagaimana Emosi dipertimbangkan
Klasik Emosi tidak dilihat sebagai masalah kecuali dalam
hal
menurunkan produktivitas kerja. Jika kondisi kerja
menyebabkan burnout, karyawan dapat digantikan
dengan cepat.
Hubungan Hanya kepuasan kerja yang dipertimbangkan. Stres
Manusia dan burnout diatasi melalui dukungan emosional
atau cara lain untuk meningkatkan harga diri
karyawan.
Sumber Daya Emosi jarang dipertimbangkan dalam organisasi
Manusia yang dirancang secara rasional. Stres dan burnout
kemungkinan akan diatasi melalui partisipasi atau
perubahan struktural yang dirancang untuk
meningkatkan kontrol karyawan.
Sistem Emosi dipandang sebagai peluang pemahaman.
Stres dan burnout dapat dikurangi melalui
komunikasi dalam jaringan pertukaran informasi
dan dukungan sosial.
Budaya Budaya organisasi yang berbeda memberikan sistem
nilai yang berbeda dalam hal ekspresi emosi, kasih
sayang, dan tampilan emosional negatif seperti
pelecehan.
Konstitutif Sistem dan kondisi organisasi yang menciptakan
stres dan burnout diciptakan secara sosial melalui
interaksi partisipan organisasi.

Kritis Emosi dipandang sebagai indikator ketimpangan di


tempat kerja. Para sarjana kritis akan ingin
mendidik pekerja untuk menolak menerima kondisi
yang menyebabkan stres dan burnout.
Feminis Perubahan dalam mempertimbangkan emosi
dipandang sebagai langkah penting untuk
menghindari pemahaman patriarkis tentang
pengorganisasian. Nilai feminis akan mendorong
kasih sayang sebagai nilai di tempat kerja.

Anda mungkin juga menyukai