Anda di halaman 1dari 75

PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

BAB I
PENDAHULUAN

Rancangan sebuah lapangan terbang adalah suatu proses yang rumit dan saling kait-mengkait,
sehingga analisa suatu kegiatan tanpa memperhatikan pengaruhnya kepada kegiatan yang lain bukan
merupakan pemecahan yang memuaskan

Sebuah lapangan terbang meliputi kegiatan yang sangat luas, yang mempunyai kebutuhan
yang berbeda, seperti misalnya kegiatan keamanan membatasi sedikit mungkin hubungan (pintu-
pintu) antara land side dan air side. Sedangkan kegiatan pelayanan membutuhkan sebanyak mungkin
pintu terbuka dari land side ke air side agar pelayanan berjalan lancar.

Rancangan induk adalah konsep pengembangan lapangan terbang ultimate, tujuan rancangan
induk adalah untuk memberikan pedoman dalam pengembangan di kemudian hari yang memadai
bagi operasi penerbangan yang selaras dengan lingkungan dan pengembangan masyarakat serta
modal transportasi yang lain.

Dengan kata lain, rancangan induk memberikan pedoman untuk:

a. Pengembangan fasilitas fisik sebuah lapangan terbang.


b. Tata guna tanah dan pengembangannya di dalam dan di sekitar lapangan terbang.
c. Menentukan pengaruh lingkungan dari pembangunan lapangan terbang dan operasinya.
d. Pembangunan untuk pembuatan jalan masuk.
e. Pembangunan kegiatan ekonomi dan kegiatan lainnya yang menghasilkan uang bagi pelabuhan
udara yang bisa dikerjakan.
f. Pembagian fase dan kegiatan prioritas yang bisa dilaksanakan sesuai rancangan induk.

Walaupun rancangan induk lapangan terbang mempunyai isi yang berbeda untuk setiap lokasi
dan berbeda untuk setiap perencana, namun paling kurang harus mengandung:

a. Ramalan kebutuhan atau permintaan.


b. Alternatif pemecahan persoalan dari kebutuhan yang diramalkan secara memadai dan
memuaskan.
c. Analisa biaya investasi.
d. Pengaruh lingkungan dan alternatif mengatasinya.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Suatu bandara mencakup suatu kumpulan kegiatan yang luas yang mempunyai
kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dan terkadang saling bertentangan antara satu kegiatan
dengan kegiatan lainnya. Misalnya kegiatan keamanan membatasi sedikit mungkin hubungan
(pintu-pintu) antara sisi darat (land side) dan sisi udara (air side), sedangkan kegiatan pelayanan
memerlukan sebanyak mungkin pintu terbuka dari sisi darat ke sisi udara agar pelayanan
berjalan lancar.

Kegiatan-kegiatan itu saling tergantung satu sama lainnya sehingga suatu kegiatan
tunggal dapat membatasi kapasitas dari keseluruhan kegiatan.Sebelum tahun 1960-an rencana
induk bandara dikembangkan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan penerbangan lokal. Namun
sesudah tahun 1960-an rencana tersebut telah digabungkan ke dalam suatu rencana induk
bandara yang tidak hanya memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan di suatu daerah, wilayah,
propinsi atau negara. Agar usaha-usaha perencanaan bandara untuk masa depan berhasil dengan
baik, usaha-usaha itu harus didasarkan kepada pedoman-pedoman yang dibuat

Berdasarkan pada rencana induk dan sistem bandara yang menyeluruh, baik
berdasarkan peraturan FAA, ICAO ataupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan dan Kepmen Perhubungan No. KM 44 Tahun 2002
tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional.

Beberapa istilah kebandarudaraan yang perlu diketahui adalah sebagai berikut


(Basuki, 1996; Sartono, 1996 dan PP No. 70 thn 2001):

 Airport: Area daratan atau air yang secara regular dipergunakan untuk kegiatan take-off and
landing pesawat udara. Diperlengkapi dengan fasilitas untuk pendaratan, parkir pesawat,
perbaikan pesawat, bongkar muat penumpang dan barang, dilengkapai dengan fasiltas
keamanan dan terminal building untuk mengakomodasi keperluar penumpang dan barang
dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi.
 Kebandar udaraan: meliputi segala susuatu yang berkaitan dengan pennyelenggaraan nadar
udara (bandara) dan kegiatan lainnya dalang melaksanakan fungsi sebgaia bandara dalam
menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalulintas pesawat udara, penumpang,
barang dan pos.
 Airfield: Area daratan atau air yang dapat dipergunakan untuk kegiatan take-off and landing
pesawat udara. fasilitas untuk pendaratan, parker pesawat, perbaikan pesawat dan terminal
building untuk mengakomodasi keperluar penumpang pesawat.
 Aerodrom: Area tertentu baik di darat maupun di air (meliputi bangunan sarana-dan
prasarana, instalasi infrastruktur, dan peralatan penunjang) yang dipergunakan baik sebagian
maupun keseluruhannya untuk kedatang, keberangkatan penumpang dan barang, pergerakan

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

pesawat terbang. Namun aerodrom belum tentu dipergunakan untuk penerbangan yang
terjadwal.
 Aerodrom reference point: Letak geografi suatu aerodrom.
 Landing area: Bagian dari lapangan terbang yang dipergunakan untuk take off dan landing.
Tidak termasuk terminal area.
 Landing strip: Bagian yang bebentuk panjang dengan lebar tertentu yang terdiri atas
shoulders dan runway untuk tempat tinggal landas dan mendarat pesawat terbang.
 Runway (r/w): Bagian memanjang dari sisi darat aerodrom yang disiapkan untuk tinggal
landas dan mendarat pesawat terbang.
 Taxiway (t/w): Bagian sisis darat dari aerodrom yang dipergunakan pesawat untuk
berpindah (taxi) dari runway ke apron atau sebaliknya.
 Apron: Bagian aerodrom yang dipergunakan oleh pesawat terbang untuk parkir, menunggu,
mengisis bahan bakar, mengangkut dan membongkar muat barang dan penumpang.
Perkerasannya dibangun berdampingan dengan terminal building.
 Holding apron: Bagian dari aerodrom area yang berada didekat ujung landasan yang
dipergunakan oleh pilot untuk pengecekan terakhir dari semua instrumen dan mesin pesawat
sebelum take off. Dipergunakan juga untuk tempat menunggu sebelum take off
 Holding bay: Area diperuntukkan bagi pesawat untuk melewati pesawat lainnya saat taxi,
atu berhenti saat taxi.
 Terminal Building: Bagian dari aeroderom difungsikan untuk memenuhi berbagai keperluan
penumpang dan barang, mulai dari tempat pelaporan ticket, imigrasi, Penjualan ticket, ruang
tunggu, cafetaria, penjualan souvenir, informasi, komunikasi, dan sebaginnya.
 Turning area: Bagian dari area di ujung landasan pacu yang dipergunakan oleh pesawat
untuk berputar sebelum take off.
 Over run (o/r): Bagian dari ujung landasan yang dipergunakan untuk mengakomodasi
keperluan pesawat gagal lepas landas. Over run biasanya terbagi 2 (dua) : (i) Stop way :
bagian over run yang lebarnya sama dengan run way dengan diberi perkerasan tertentu, dan
(ii) Clear way: bagian over run yang diperlebar dari stop way, dan biasanya ditanami rumput.
 Fillet: Bagian tambahan dari pavement yang disediakan pada persimpangan unmway atau
taxiway untuk menfasilitasi beloknya pesawat terbang agar tidak tergelincir keluar jalur
perkerasan yang ada.
 Shoulders: Bagian tepi perkerasan baik sisi kiri kanan maupun muka dan belakang runway,
taxiway dan apron.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Bagian-bagian dari bandara diperlihatkan pada Gambar 1.1. Bandara dibagi menjadi dua bagian
utama yaitu sisi udara dan sisi darat . Gedung-gedung terminal menjadi perantara antara kedua
bagian tersebut.

Gambar 1.1 Bagian – bagian Dari Sistem Bandara

Sumber: Horonjeff (1994) dan Basuki (1986)

1.2. Fasilitas

Secara umum fasilitas pada suatu bandara terbagi dalam 3 bagian yaitu; Landing Movement (LM),
Terminal Area, dan Terminal Traffic Control (TCC).

 Landing movement (LM)


Landing movement merupakan suatu areal utama dari bandara yang terdiri dari; runway,
taxiway dan apron. Didalam skripsi ini pembahasan landing movement juga dibatasi pada
3 bagian utama diatas yakni; runway taxiway dan apron.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 1.2. Landing Movement Cengkareng Airport, Jakarta

Sumber : Dr. Ari Sandhyavitri & Hendra Taufik, ST, MSc

 Terminal Area (TA)


Terminal area adalah merupakan suatu areal utama yang mempunyai interface antara
lapangan udara dan bagian-bagian dari bandara yang lain. Sehingga dalam hal ini mencakup
fasilitas-fasilitas pelayanan penumpang (passenger handling system), penanganan barang
kiriman (cargo handling), perawatan dan administrasi bandara.

Gambar 1.3. Terminal Building Changi Airport, Sinagapore

Sumber : Dr. Ari Sandhyavitri & Hendra Taufik, ST, MSc

 . Terminal Traffic Control (TTC)


Terminal traffic control merupakan fasilitas pengatur lalu lintas udara dengan berbagai
peralatannya seperti sistem radar dan navigasi.

Gambar 1.4. TCC, Simpang Tiga Airport, Pekanbaru

Sumber : Dr. Ari Sandhyavitri & Hendra Taufik, ST, MSc

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Untuk lebih jelas mengenai fasilitas bandara tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.5 berikut:

Gambar 1.5 Sketsa umum fasilitas bandara

Sumber:Dr. Ari Sandhyavitri & Hendra Taufik, ST, MSc

1.3. Karakteristik Pesawat Terbang

Adalah penting untuk menyadari bahwa karakteristik-karakteristik seperti berat operasi


kosong, kapasitas penumpang dan panjang landasan pacu tidak dapat dibuat secara tepat dalam
pentabelan karena terdapat banyak variabel yang mempengaruhi besaran-besaran tersebut, baik
internal variable yang berhubungan dengan jenis dan mesin pesawat, maupun external variable
yang berhubungan dengan keadaan lokal seperti arah dan kecepatan angin, temperatur,
ketinggian lokasi dan kemiringan memanjang landasan.

1.3.1.Klasifikasi Airport, Desain GroupPesawat dan Jenis PesawatMenurut Horonjeff (1994)


berat pesawat terbang penting untuk menentukantebal perkerasan runway, taxiway dan
apron, panjang runway lepas landas danpendaratan pada suatu bandara. Bentang sayap
dan panjang badan pesawat mempengaruhi ukuran apron parkir, yang akan
mempengaruhi susunan gedung-gedung terminal. Ukuran pesawat juga menentukan
lebar runway, taxiway dan jarakantara keduanya, serta empengaruhi jari-jari putar yang
dibutuhkan pada kurva-kurva perkerasan. Kapasitas penumpang mempunyai pengaruh
penting dalammenentukan fasilitas-fasilitas di dalam dan yang berdekatan dengan
gedung-gedungterminal. Panjang runway mempengaruhi sebagian besar daerah yang
dibutuhkan disuatu bandara. Panjang landas pacu yang terdapat pada Tabel 1.1 adalah
pendekatanpanajang landasan pacu minimum yang dipakai setelah beberapa kali tes
yangdilakukan oleh pabrik pembuat pesawat terbang yang bersangkutan.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 1.6 Besaran Dan Ukuran Pesawat Terbang

Sumber :Heru Basuki.Hal 2

Menurut Sartono (1992) karakteristik pesawat terbang yang berhubungan dengan


perancangan lapis keras bandara antara lain:

1) Beban pesawat

2) Konfigurasi roda pendaratan utama pesawat

1.3.2 Beban Pesawat


Beban pesawat diperlukan untuk menentukan tebal lapis keras landing movement yang
dibutuhkan. Beberapa jenis beban pesawat yang berhubungan dengan pengoperasian
pesawat antara lain:
a) Berat kosong operasi (Operating Weight Empty = OWE)
Adalah beban utama pesawat, termasuk awak pesawat dan konfigurasi roda pesawat
tetapi tidak termasuk muatan (payload) dan bahan bakar.
b) Muatan (Payload)

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Adalah beban pesawat yang diperbolehkan untuk diangkut oleh pesawat sesuai dengan
persyaratan angkut pesawat. Biasanya beban muatan menghasilkan pendapatan
(beban yang dikenai biaya). Secara teoritis beban maksimum ini merupakan
perbedaan antara berat bahan bakar kosong dan berat operasi kosong.
c) Berat bahan bakar kosong (Zero Fuel Weight = ZFW)
Adalah beban maksimum yang terdiri dari berat operasi kosong, beban penumpang
dan barang.
d) Berat Ramp maksimum (Maximum Ramp Weight = MRW)
Adalah beban maksimum untuk melakukan gerakan, atau berjalan dari parkir pesawat
ke pangkal landas pacu. Selama melakukan gerakan ini, maka akan terjadi
pembakaran bahan bakar sehingga pesawat akan kehilangan berat.
e) Berat maksimum lepas landas (Maximum Take Off Weight = MTOW) Adalah beban
maksimum pada awal lepas landas sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan
kelayakan penerbangan. Beban ini meliputi berat operasi kosong, bahan bakar dan
cadangan (tidak termasuk bahan bakar yang digunakan untuk melakukan gerakan
awal) dan muatan (payload).
f) Berat maksimum pendaratan (Maximum Landing Weight = MLW)
Adalah beban maksimum pada saat roda pesawat menyentuh lapis keras (mendarat)
sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan.
Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian beban pesawat saat pengoperasian dirangkum
dalam Tabel 1.2 berikut:

Tabel 1.2 Beban Pesawat Saat Pengoperasian

Sumber : Sartono (1992)

Catatan : Tanda (+) = diperhitungkan, Tanda (-) = tidak diperhitungkan

Man = Manuver (gerakan), T.o =Take off (tinggal landas), Trav = Travelling (Perjalanan),

Ld = Landing (Mendarat), Res = Reserver (cadangan )

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

1.3.3. Konfigurasi Roda Pendaratan Utama

Selain berat pesawat, konfigurasi roda pendaratan utama sangat berpengaruh


terhadap perancangan tebal lapis keras. Pada umumnya konfigurasi roda pendaratan
utama dirancang untuk menyerap gaya-gaya yang ditimbulkan selama melakukan
pendaratan (semakin besar gaya yang ditimbulkan semakin kuat roda yang digunakan),
dan untuk menahan beban yang lebih kecil dari beban pesawat lepas landas maksimum.
Dan selama pendaratan berat pesawat akan berkurang akibat terpakainya bahan bakar
yang cukup besar. Konfigurasi roda pendaratan utama, ukuran dan tekanan pemompaan
tipikal untuk beberapa jenis pesawat dirangkum dalam Tabel 1.3 berikut:

Tabel 1.3.Tipikal konfigurasi roda pesawat dan tekanan angin

Sumber: Tabel 1.2. Heru Basuki, 1986

1.4 Metode peramalan

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Rancangan lapangan induk lapangan terbang, dikembangkan berdasarkan kepada


ramalan petrmintaan.(Forecast and Demand).

Ramalan bias dibagi dalm :


- Ramalan jangka pendek sekitarlima tahun.
- Ramalan jangka menengah sekitar 10 tahun.
- Ramalan jangka pendek sekitar 20 tahun.

Jangka ramalan makin auh, ketepatan dan ketelitiannya menyusut, maka perlu disadari
bahwa ramalan jangka panjang 20 tahun hanyalah pendekatan.

Telah dikatakan bahwa beberapa ramalan seperti pergerakan pesawat, jumlah tahunan
maupun jam-jam sibuk sangat diperlukan,akan tetapi untuk untuk barang dan pos cukup
ramalan tahunan saja.

Ada beberapa cara untuk meramal permintaan (Deamnd) di waktu akan datang. Tiap –
tipa metode peramalan bias memepunyai perbedaan yang sangat besar. Ada metode ramalan
yang sangat rumit, tetapi mempunyai itngkat ketidaktentuan yang relative baik. Ada metode
yang memuaskan untuk ramalan jangka panjang.

Teknik ramalan yang paling sederhana adalah meramal kecenderungan volume lalu
linta dimasa depan, dan ramalan yang lebih komplek, rumit, adalah meramal yang berhubungan
dengan permintaan (Demand) dengan mengindahkan factor-faktor social,ekonomi,factor-faktor
teknologi, selera yang yang mempengaruhi transportasi udara.

Hubungan antara variable ekonomi, social, teknologi disatu sisi dengan permintaan
transportasi dipihak lain disebut “model permintaan” (Demand Model).

Penggunaan dan Pengembangan model permintaan diterangkan sebagai berikut:

a. Tinjau dan amati kecendrungan dari permintaan perjalanan udara (Air travel) dimasa lalu.
b. Perhatikan dan perinci pengaruh berbagai factor variasi ekonomi,sosial dan teknologi
terhadap permintaan perjalanan udara.
c. Buatlah model-model hubungan antara permintssn transport udara dan factor butir 2.
d. Proyeksikan harga – harga dari butir 3 kemaa depan.
e. Pakailah dari butir 3 dan ramalan dari butir 4 untuk mendapatkan harga ramalan dari
permintaan transport udara dimasa depan.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

BAB II
PERENCANAAN RUNWAY (LANDASAN PACU)

Dalam membuat keseragaman dari areal pendaratan (landing area) dan untuk segi keamanan,
maka untuk melayani penerbangan tingkat internasional adalah diadakan standar spesifikasi. Adanya
bandar udara yang berbeda tingkatannya terhadap pesawat yang dilayani, sehingga terdapat
perbedaan perencanaan geometriknya, Sehingga untuk perencanaan geometrik berbagai lapangan
terbang dan fungsi pelayanannya oleh ICAO diadakan klasifikasi pelabuhan udara.

1. ICAO (International Civil Aviation Organization).


ICAO membuat klasifikasi pada bandar udara menurut panjang landasannya.Panjang
landasannya diberi kode angka 1 dan seterusnya.Angka 1,lapangan terbang terpendek kurang
dari 400m ,sedangkan angka 4 terpanjang yaitu lapangan terbang denga panjang landasan 1800
m dan seterusnya.

Tabel 2.1 Klasifikasi lapangan Terbang menurut ICAO

Sumber :Tabel 1.4,Heru Basuki,1986

2. FAA (Federal Aviation Administration).


pacu tersebut, yang dibagi atas 2 kelompok yaitu Air Carrier dan General Aviation. FAA
membuat klasifikasi landasan pacu menurut fungsi landasan

 Untuk Air Carrier tidak ada klasifikasi untuk pelabuhan udara.


 General Aviation dibagi menurut berat pesawat yang dilayani oleh lapangan tersebut.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Basic Utility Stage U

Utility Basic Utility Stage II

General Aviation Basic Transport General Utility

General Transport

Gambar 2.1 Bagan alir Pembagian pesawat – pesawat umum

Sumber :Heru Basuki. 1986

Tabel 2.2 Klasifikasi Pesawat –pesawat umum

Berat
Berat biasanya
maksimum
Poros baling
Kelas umum (lb)
(%) (lb)

Basic utility stage I 75 12500  3000

Basic utility stage II 45 12500 < 8000

General utility 100 12500  12500

Sumber :Heru Basuki. 1986

Basic transport : Pesawat udara yang berbaling-baling dengan menggunakan suatu


pelabuhan udara atau pesawat bermesin turbo, jet yang beratnya sampai
6000 lb.

General transport : Pelabuhan udara yang digunakan untuk melayani penerbangan umum
dengan berat pesawat sampai dengan 75000 lb atau lebih.

Perencanaan geometrik lapangan terbang sangat bergantung terhadap dimensi pesawat


yang dilayani. Untuk dimensi yang berhubungan dengan taxiway, maka pesawat dibagi dalam
beberapa kelompok/group. Pembagian kelas ini berdasarkan dimana wingspan (lebar sayap),
under width (lebar bagian bawah) dan wheel head dan wheel base (jarak antara kepala roda
dengan roda badan). Masing-masing group terdapat beberapa jenis:

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Tabel 2.3 Klasifikasi Tipe pesawat Menurut klasnya

Jenis Pesawat

Group
I B-727-100; B-737-200; DC-9-10; DC-9-30; DC-9-40; BAC 111; B-737-100

II DC-8; B-707; B-720; B-727-200; DC-10; L-1011

III B-747

IV Semua pesawat yang lebih besar dari Group III

Sumber :Heru Basuki. 1986


Elemen-elemen dasar landasan pacu (runway):
a. Perkerasan struktural (structural pavement) yang berfungsi sebagai tumpuan pesawat.
b. Bahu landasan (shoulder) berbatasan dengan structural pavement yang direncanakan sebagai
penahan erosi akibat air dan semburan jet, serta melayani peralatan perawatan landasan.
c. Area keamanan landasan termasuk didalamnya perkerasan struktural, bahu landasan serta
area bebas halangan yang rata-rata dan pengaliran air hujan yang terjamin. Areal ini harus
mampu dilalui peralatan pemadam kebakaran, mobil ambulans, truk-truk penyapu landasan
(wheek per) dalam keadaan yang dibutuhkan yang mempu dibebani oleh pesawat yang
keluar perkerasan struktural.
d. Blast pad, suatu areal yang direncanakan untuk mencegah erosi pada permukaan yang
berbatasan dengan ujung landasan untuk pesawat yang berbadan lebar, panjang blast pad-
nya yang dibutuhkan 400 ft.
e. Perluasan daerah keamanan (safety area) dibuat jika dianggap perlu. Ukurannya tidak tentu,
tergantung kebutuhan lokal. Pesawat mengalami under shoots atau oversrun, normal panjang
safety area = 800 ft. Bahu landasan

Safety area landasan perkerasan

Perkerasan struktural

Blast Pad
Safety area yang
diperluas
Gambar 2.2 Tampang Atas landasan
Sumber ; Gambar 4-2,Heu Basuki,1986
2.1. PERENCANAAN ARAH RUNWAY DENGAN METODE WIND ROSE

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

A. Analisa Angin
Sebuahanalisa angin adalah dasar bagi perencanaan lapangan terbang, sebagai
pedoman pokok, landasan pacu sebuah lapangan terbang arahnya harus sedemikian rupa
sehingga searah dengan prevailling wind (arah angin dominan).

Ketika mengadakan pendaratan dan lepas landas, pesawat dapat melakukan manuver
sejauh komponen angin samping (cross wind) tidak berlebihan. Maksimum cross wind
yang diizinkan tergantung pada bukan saja ukuran pesawat, tetapi juga pada konfigurasi
sayap dan kondisi perkerasan landasan.

B. Arah Runway (Landasan Pacu)


Arah runway dapat ditentukan secara grafis, data angin untuk segala kondisi
penglihatan adalah sebagaimana data yang diberikan, kemudian data tersebut diplot ke
dalam diagram wind rose (mawar angin).

Persentase angin yang bersesuaian dengan arah dan rentang kecepatan yang
diberikan ditandai dalam sektor yang sesuai dengan mawar angin dengan menggunakan
skala koordinat kutub untuk arah dan besar angin.

Gambar 2.3 Wind Rose

Sumber : Gambar 3-4 Heru Basuki.1986

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Arah landasan pacu optimum dapat ditentukan dari mawar angin dengan
menggunakan suatu lembar bahan yang tembus pandang yang padanya telah dilukiskan 3
garis sejajar dan berjarak sama. Garis tengah menyatakan garis tengah landasan pacu dan
jarak antara kedua garis yang di tepi, den gan skala adalah 2 kali komponen angin sisi
yang diizinkan. Lembaran tembus pandang itu diletakkan di atas mawar angin sedemkian
rupa, sehingga garis tengah pada lembaran melalui pusat mawar angin. Dengan pusat
mawar angin sebagai titik pusat, lembaran itu diputar di atas mawar angin sampai jumlah
dari persentase yang tercakup di antara garis tepi maksimum, apabila salah satu garis tepi
pada lembaran itu membagi suatu segmen arah angin, bagian yang terbagi itu dihitung
secara visual dengan pembulatan 0,1%. Langkah berikutnya adalah membaca arah
landasan pacu skala sebelah luar mawar angin, dimana garis tengah pada lembaran itu
memotong skala arah. Sebagai langkah pertama dalam hal ini adalah memplot data
kecepatan dan arah angin ke dalam mawar angin yaitu lingkaran yang terdiri dai berbagai
sektor arah angin dan kecepatan angin.

Kemudian masing-masng arah yang ditinjau dijumlahkan, maka jumlah yang


terbesar dijadikan standar untuk menghitung dan menentukan arah landasan pacu
(runway). Dengan demikian maka diperoleh wind rose untuk masing-masing arah.
Peninjauan arah angin dilakukan pada 8(delapan) arah yaitu:

- Arah N – S. - Arah W – E.
- Arah NNE – SSW - Arah ESE - WNW
- Arah N E – SW. - Arah NW – SE.
- Arah ENE – WSW - Arah SSE - NNW

2.2. KONFIGURASI RUNWAY (LANDASAN PACU)


Konfigurasi bandar udara didefinisikan sebagai jumlah dan orientasi landasan pacu
(runway) dan letak daerah terminal relatif terhadap runway. Jumlah landasan pacu tergantung
pada volume lalu lintas dan orientasi tergantung pada arah angin dan kadang-kadang pada luas
daerah yang tersedia untuk pengembangan bandar udara. Secara umum, landasan pacu
(runway) dan landasan hubung (taxiway) harus diatur untuk :

 Memberikan pemisahan yang secukupnya dalam pola lalu lintas udara.


 Memberikan keterlambatan dan gangguan sekecil mungkin dalam operasi pendaratan,
gerakan landasan hubung dan lepas landas.
 Memberikan jarak landasan hubung yang sependek mungkin dari daerah terminal menuju
ujung landasan pacu.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

 Memberikan jumlah landasan hubung yang cukup sehingga pesawat yang mendarat dapat
meninggalkan landasan pacu secepat mungkin dan mengikuti rute yang paling pendek ke
arah terminal. (Sumber : Robert Horonjeff, 201)

Konfigurasi Runway

Terdapat banyak konfigurasi runway. Kebanyakan merupakan kombinasi dari konfigurasi


dasar. Bentuk-bentuk runway dapat dilihat pada Gambar berikut. Adapun uraian beberapa
bentuk dari konfigurasi dasar runway (Horonjeff, 1994) adalah sebagai berikut:

 Runway tunggal
Konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Kapasitas runway jenis ini
dalam kondisi VFR berkisar diantara 50 sampai 100 operasi per jam, sedangkan dalam
kondisi IFR kapasitasnya berkurang menjadi 50 sampai 70 operasi, tergantung pada
komposisi campuran pesawat terbang dan alat-alat bantu navigasi yang tersedia..

Gbr.2.4. Single runway parallel concept aerial view

Sumber: ICAO, 1984

Gambar 2.5. Single runway parallel concept – top view

sumber: ICAO, 1984

Kondisi VFR (Visual Flight Rules) adalah kondisi penerbangan dengan keadaan cuaca
yang sedemikian rupa sehingga pesawat terbang dapat mempertahankan jarak pisah yang
aman dengan cara-cara visual. Sedangkan kondisi IFR (Instrument Flight Rules) adalah
kondisi penerbangan apabila jarak penglihatan atau batas penglihatan berada dibawah
yang ditentukan oleh VFR. Dalam kondisi-kondisi IFR jarak pisah yang aman di antara
pesawat merupakan tanggung jawab petugas pengendali lalu lintas udara, sementara
dalam kondisi VFR hal itu merupakan tanggung jawab penerbang. Jadi dalam kondisi-

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

kondisi VFR, pengendalian lalu lintas udara adalah sangat kecil, dan pesawat terbang
diizinkan terbang atas dasar prinsip “melihat dan dilihat”.

 Runway sejajar
Kapasitas sistem ini sangat tergantung pada jumlah runway dan jarak diantaranya.
Untuk runway sejajar berjarak rapat, menengah dan renggang apasitasnya per jam dapat
bervariasi di antara 100 sampai 200 operasi dalam kondisi-kondisi VFR, tergantung pada
komposisi campuran pesawat terbang. Sedangkan dalam kondisi IFR kapasitas per jam
untuk yang berjarak rapat berkisar di antara 50 sampai 60 operasi, tergantung pada
komposisi campuran pesawat terbang. Untuk runway sejajar yang berjarak menengah
kapasitas per jam berkisar antara 60 sampai 75 operasi dan untuk yang berjarak renggang
antara 100 sampai 125 operasi per jam.

Gambar 2.6 Open parallel concept – Aerial view

Sumber: ICAO 1984

 Runway dua jalur


Runway dua jalur dapat menampung lalu lintas paling sedikit 70 persen lebih
banyak dari runway tunggal dalam kondisi VFR dan kira-kira 60 persen lebih banyak
dari runway tunggal dalam kondisi IFR.

Gbr 2.7 Open parallel concept – top view

sumber ICAO, 1984

 Runway bersilangan

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Kapasitas runway yang bersilangan sangat tergantung pada letak persilangannya dan pada
cara pengoperasian runway yang disebut strategi (lepas landas atau mendarat). Makin
jauh letak titik silang dari ujung lepas landas runway dan ambang (threshold) pendaratan,
kapasitasnya makin rendah. Kapasitas tertinggi dicapai apabila titik silang terletak dekat
dengan ujung lepas landas dan ambang pendaratan (Gambar 1.16). Untuk strategi yang
diperlihatkan pada Gambar 1.17 kapasitas per jam adalah 60 sampai 70 operasi dalam
kondisi IFR dan 70 sampai 175 operasi dalam kondisi VFR yang tergantung pada
campuranpesawat. Untuk strategi yang diperlihatkan pada Gambar 1.18, kapasitas per
jam dalam kondisi IFR adalah 45 sampai 60 operasi dan dalam kondisi VFR dari 60
sampai 100 operasi. Untuk strategi yang diperlihatkan pada Gambar 1.19, kapasitas per
jamdalam kondisi IFR adalah 40 sampai 60 operasi dan dalam kondisi VFR dari 50
sampai100operasi.

b
Gbr 2.8 a.Intersecting runways, b.Intersecting runways – top view

sumber :ICAO, 1984

 Runway V terbuka
Runway V terbuka merupakan runway yang arahnya memencar (divergen) tetapi tidak
berpotongan. Strategi yang menghasilkan kapasitas tertinggi adalah apabila operasi
penerbangan dilakukan menjauhi V (Gambar 1.20). Dalam kondisi IFR, kapasitas per
jam untuk strategi ini berkisar antara 50 sampai 80 operasi tergantung pada campuran
pesawat terbang, dan dalam kondisi VFR antara 60 sampai 180 operasi. Apabila operasi
penerbangan dilakukan menuju V (Gambar 1.21), kapasitasnya berkurang menjadi 50
atau 60 dalam kondisi IFR dan antara 50 sampai 100 dalam VER

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

a b

Gbr 2.9 a.Non-intersecting divergent runways, b. Non-intersecting divergent runways- Top View

sumber ICAO 1984

2.3. Pengaruh Prestasi Pesawat terhadap Panjang Runway


Untuk menghitung panjang runway akibat pengaruh prestasi pesawat dipakai suatu peraturan
b bekerja sama dengan Industri Pesawat
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat
Terbang yang tertuang dalam Federal Aviation Regulation (FAR). Peraturan-peraturan ini
menetapkan bobot kotor pesawat terbang pada saat lepas landas dan mendarat dengan
menentukan persyaratan prestasi yang
harus dipenuhi.

2.3.1. Tipe Mesin Pesawat dan Panjang Runway


Untuk pesawat terbang bermesin turbin dalam menentukan panjang runway harus
mempertimbangkan tiga keadaan umum agar pengoperasian pesawat aman. Ketiga
keadaan tersebut adalah:
1) Lepas landas normal Suatu keadaan dimana seluruh mesin dapat dipakai dan runway
yang cukup dibutuhkan untuk menampung variasi-variasi dalam teknik pengangkatan
dan karakteristik khusus dari pesawat terbang tersebut.
2) Lepas landas dengan suatu kegagalan mesin Merupakan keadaan dimana runway
yang cukup dibutuhkan untuk memungkinkan pesawat terbang lepas landas walaupun
kehilangan daya atau bahkan direm untuk berhenti.
3) Pendaratan Merupakan suatu keadaan dimana runway yang cukup dibutuhkan untuk
memungkinkan variasi normal dari teknik pendaratan, pendaratan yang melebihi jarak
yang ditentukan (overshoots), pendekatan yang kurang sempurna (poor aproaches) dan
lain-lain.
Panjang runway yang dibutuhkan diambil yang terpanjang dari ketiga analisa di atas.
Peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pesawat terbang bermesin piston secara
prinsip mempertahankan kriteria diatas, tetapi kriteria yang pertama tidak digunakan.
Peraturan khusus ini ditujukan pada manuver lepas landas normal setiap hari, karena
kegagalan mesin pada pesawat terbang yang digerakkan turbin lebih jarang terjadi.
Dalam peraturan-peraturan baik untuk pesawat terbang bermesin piston maupun untuk
pesawat terbang yang digerakkan turbin, perkataan runway dikaitkan dengan dengan
istilah perkerasan dengan kekuatan penuh (full strength pavement = FS). Jadi dalam

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

pembahasan berikut istilah runway dan perkerasan kekuatan penuh mempunyai arti
yang sama.

a.Mendarat

b. Lepas Landas Normal, Mesin Baik.

Gambar 2.10 Pengaruh Kondisi Pesawat dengan Panjang Landasan


(Sumber: Gambar 1.25. Basuki, 1986)
c. Mesin Tidak Bekerja

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Agar lebih jelas mengenai ketiga keadaan yang dimaksud diatas dapat dilihat pada
Gambar 2.10 dengan keterangan sebagai berikut:
1) Keadaan pendaratan (Gambar 2.10a), peraturan menyebutkan bahwa jarak
pendaratan (landing distance = LD) yang dibutuhkan oleh setiap pesawat terbang
yang menggunakan bandara, harus cukup untuk memungkinkan pesawat terbang
benar-benar berhenti pada jarak pemberhentian (stop distance = SD), yaitu 60 persen
dari jarak pendaratan, dengan menganggap bahwa penerbang membuat pendekatan
pada kepesatan yang semestinya dan melewati ambang runway pada ketinggian 50 ft.
2). Keadaan normal, semua mesin bekerja (Gambar 2.10b) memberikan definisi jarak
lepas landas (take off distance = TOD) yang untuk bobot pesawat terbang harus 115
persen dan jarak sebenarnya yang ditempuh pesawat terbang untuk mencapai
ketinggian 35 ft (D35). Tidak seluruh jarak ini harus dengan perkerasan kekuatan
penuh. Bagian yang tidak diberi perkerasan dikenal dengan daerah bebas (clearway =
CW). Separuh dari selisih antara 115 persen dari jarak untuk mencapai titik
pengangkatan, jarak pengangkatan (lift off distance = LOD) dan jarak lepas landas
dapat digunakan sebagai daerah bebas (clearway). Bagian selebihnya dari jarak lepas
landas harus berupa perkerasan kekuatan penuh dan dinyatakan sebagai pacuan lepas
landas (take off run = TOR).
3) Keadaan dengan kegagalan mesin (Gambar 2.10c), peraturan menetapkan bahwa
jarak lepas landas yang dibutuhkan adalah jarak sebenarnya untuk mencapai
ketinggian 35 ft (D35) tanpa digunakan persentase, seperti pada keadaan lepas landas
dengan seluruh mesin bekerja. Keadaan ini memerlukan jarak yang cukup untuk
menghentikan pesawat terbang dan bukan untuk melanjutkan gerakan lepas landas.
Jarak ini disebut jarak percepatan berhenti (accelerate stop distance = ASD). Untuk
pesawat terbang yang digerakkan turbin karena jarang mengalami lepas landas yang
gagal maka peraturan mengizinkan penggunaan perkerasan dengan kekuatan yang
lebih kecil, dikenal dengan daerah henti (stopway = SW), untuk bagian jarak
percepatan berhenti diluar pacuan lepas landas (take off run). Panjang lapangan (field
length = FL) yang dibutuhkan pada umumnya terdiri dari tiga bagian yaitu perkerasan
kekuatan penuh (FS), perkerasan dengan kekuatan parsial atau daerah henti (SW) dan
daerah bebas (CW). Untuk peraturan-peraturan diatas dalam setiap keadaan diringkas
dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
Keadaan lepas landas normal:

FL = FS + CW ( Pers.2.1)

Dimana CW = 0.50 [TOD – 1.15 (LOD)]


TOD= 1.15 (D35)
FS = TOR
TOR = TOD – CW
Keterangan:
FL : Panjang lapangan (Field Length), m

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

FS : Panjang perkerasan kekuatan penuh (Full Strength), m


CW : Daerah bebas (Clearway), m
TOD : Jarak lepas landas (Take Off Distance), m
LOD : Jarak pengangkatan (Lift Off Distance), m
D35 : Jarak pada ketinggian 35 ft, m
TOR : Jarak pacuan lepas landas (Take Off Run), m

Keadaan lepas landas dengan kegagalan mesin:

FL = FS + CW ( Pers.2.2)

Dimana CW = 0.50 (TOD – LOD)


TOD = D35
FS = TOR
TOR = TOD – CW

Keadaan lepas landas yang gagal (ditunda):

FL = FS + SW ( Pers.2.3)

Dimana FL = ASD
Keadaan pendaratan:
FS = LD
Dimana LD = SD/0.60
Keterangan:
ASD : Jarak percepatan berhenti (Accelerate Stop Distance), m
LD : Jarak pendaratan (Landing Distance), m
SD : Jarak pemberhentian (Stop Distance), m
Untuk menentukan panjang lapangan yang dibutuhkan dan berbagai komponennya yang
terdiri dari perkerasan kekuatan penuh, daerah henti dan daerah bebas, setiap persamaan
diatas harus diselesaikan untuk rancangan kritis pesawat terbang di bandara. Hal ini akan
mendapatkan setiap nilai-nilai berikut:

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

FL = (TOD, ASD, LD)/ maks


FS = (TOR, LD)/ maks
SW = ASD – (TOR, LD)/ maks
CW = (FL – ASD, CW)/ min
Dimana nilai CW minimum yang diizinkan adalah 0. Apabila pada runway dilakukan
operasi pada kedua arah, seperti yang umum terjadi, komponen-komponen panjang
runway harus ada dalam setiap arah.

2.3.2 Perhitungan Panjang Runway Akibat Pengaruh Kondisi Lokal


Lingkungan bandara yang berpengaruh terhadap panjang runway adalah: temperatur,
angin permukaan (surface wind), kemiringan runway (effective gradient), elevasi runway
dari permukaan laut (altitude) dan kondisi permukaan runway. Sesuai dengan
rekomendasi dari International Civil Aviation Organization (ICAO) bahwa perhitungan
panjang runway harus disesuaikan dengan kondisi lokal
lokasi bandara. Metoda ini dikenal dengan metoda Aeroplane Reference Field Length
(ARFL). Menurut ICAO, ARFL adalah runway minimum yang dibutuhkan untuk lepas
landas pada maximum sertificated take off weight, elevasi muka laut, kondisi atmosfir
standar, keadaan tanpa angin bertiup, runway tanpa kemiringan (kemiringan = 0). Jadi
didalam perencanaan persyaratan-persyaratan tersebut harus dipenuhi dengan melakukan
koreksi akibat pengaruh dari keadaan lokal. Adapun uraian dari faktor koreksi tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Koreksi elevasi
Menurut ICAO bahwa panjang runway bertambah sebesar 7% setiap kenaikan 300 m
(1000 ft) dihitung dari ketinggian di atas permukaan laut. Maka rumusnya adalah:

Fe = 1 + 0.07 .(h/300) ( Pers.2.4)


Dengan Fe : faktor koreksi elevasi
h : elevasi di atas permukaan laut, m
2) Koreksi temperatur
Pada temperatur yang tinggi dibutuhkan runway yang lebih panjang sebab temperatur
tinggi akan menyebabkan density udara yang rendah. Sebagai temperatur standar
adalah 15 ˚C. Menurut ICAO panjang runway harus dikoreksi terhadap temperatur
sebesar 1% untuk setiap kenaikan 1 ˚C. Sedangkan untuk setiap kenaikan 1000 m dari
permukaaan laut rata-rata temperatur turun 6.5 ˚C.
Dengan dasar ini ICAO menetapkan hitungan koreksi temperatur dengan rumus:

Ft = 1 + 0.01 (T –(15 - 0.0065h)) ( Pers.2.5)

Dengan Ft : faktor koreksi temperatur

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

T : temperatur dibandara, ˚C
3) Koreksi kemiringan runway
Faktor koreksi kemiringan runway dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Fs = 1 + 0.1 S ( Pers.2.6)
Dengan Fs : faktor koreksi kemiringan
S : kemiringan runway, %
4) Koreksi angin permukaan (surface wind)
Panjang runway yang diperlukan lebih pendek bila bertiup angin haluan (head wind)
dan sebaliknya bila bertiup angin buritan (tail wind) maka runway yang diperlukan
lebih panjang. Angin haluan maksimum yang diizinkan bertiup dengan kekuatan 10
knots, dan menurut Basuki (1990) kekuatan maksimum angin buritan yang
diperhitungkan adalah 5 knots. Tabel 2.4 berikut memberikan perkiraan pengaruh
angin terhadap panjang runway.
Tabel 2.4 Pengaru Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway

Sumber : Heru Basuki .1986

Untuk perencanaan bandara diinginkan tanpa tiupan angin tetapi tiupan angin lemah
masih baik.
5) Kondisi permukaan runway
Untuk kondisi permukaan runway hal sangat dihindari adalah adanya genangan tipis
air (standing water) karena membahayakan operasi pesawat. Genangan air
mengakibatkan permukaan yang sangat licin bagi roda pesawat yang membuat daya
pengereman menjadi jelek dan yang paling berbahaya lagi adalah terhadap
kemampuan kecepatan pesawat untuk lepas landas. Menurut hasil penelitian NASA
dan FAA tinggi maksimum genangan air adalah 1.27 cm. Oleh karena itu drainase
bandara harus baik untuk membuang air permukaan secepat mungkin.
Jadi panjang runway minimum dengan metoda ARFL dihitung dengan persamaan
berikut:
Lro = Lo x ( Ft x Fe x Fs x (1+ Persentase pengaruh angi permukaan) ( Pers.2.7)

ARFL = Lro /( Ft x Fe x Fs) ( Pers.2.8)

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Dengan Lro : Panjang runway rencana, m


Ft : faktor koreksi temperatur
Fe : faktor koreksi elevasi
Fs : faktor koreksi kemiringan
Setelah panjang runway menurut ARFL diketahui dikontrol lagi dengan Aerodrome
Reference Code (ARC) dengan tujuan untuk mempermudah membaca hubungan
antara beberapa spesifikasi pesawat terbang dengan berbagai karakteristik bandara.
Kontrol dengan ARC dapat dilakukan berdasarkan pada Tabel 2.5 berikut:

Tabel 2.5 Aerodrome Referene Code (ARC)

Sumber : Horonjeff .1994

2.4. MENENTUKAN LEBAR RUNWAY&SAFETY AREA

1). Lebar runway

Dari ketentuan pada Tabel 2.5 apabila dihubungkan dengan Tabel 2.6 berikut maka dapat
ditentukan lebar runway rencana minimum.

Tabel 2.6 Lebar Runway

Sumber : Basuki .1990

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Catatan : a = Lebar landasan presisi harus tidak kurang dari 30 m untuk kode angka 1 atau 2

Apabila landasan dilengkapi dengan bahu landasan lebar total landasan dan
bahu landasannya Paling kurang 60 m.

2) Kemiringan memanjang (longitudinal) runway Kemiringan memanjang landasan dapat


ditentukan dengan Tabel 2.7 dengan tetap mengacu pada kode angka pada Tabel 2.6.

Tabel 2.7 Kemiringan memanjang (longitudinal) landasan.

Sumber : Basuki .1990

Catatan :

1. Semua kemiringan yang diberikan dalam Persen (%)


2. Untuk landasan dengan kode angka 4 kemiringan memanjang pada seperempat pertama
dan seperempat teeakhir dari panjang landasan tidak boleh lebih dari 0.8 %.
3. Untuk landasan denga kode angka tiga kemiringan memanjang pada seperempat pertama
Dan seperempat terakhir dari panjang landasan precision aproach category II dan III tidak
Lebih 0.8%.
3) Kemiringan melintang (transversal)

Untuk menjamin pengaliran air permukaan yang berada di atas landasan perlu kemiringan
melintang dengan ketentuan sebagai berikut:

a) 1.5 % pada landasan dengan kode huruf C, D atau E.

b) 2 % pada landasan dengan kode huruf A atau B.

4) Jarak pandang (sight distance)


Apabila perubahan kemiringan tidak bisa dihindari maka perubahan harus sedemikian
hingga garis pandangan tidak terhalang dari :
a) Suatu titik setinggi 3 m (10 ft) dari permukaan landasan ke titik lain sejauh paling kurang
(10 ft) dari permukaan landasan bagi landasan- setengah panjang landasan yang tingginya
3 m landasan berkode huruf C, D atau E.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

b) Suatu titik setinggi 2 m (7 ft) dari permukaan landasan ke titik lain sejauh paling kurang
setengah panjang landasan yang tingginya 2 m (7 ft) dari permukaan landasan bagi
landasan-landasan berkode huruf B.
c) Suatu titik setinggi 1.5 m (5 ft) dari permukaan landasan ke titik lain sejauh paling kurang
setengah panjang landasan yang tingginya 1.5 m (5 ft) dari permukaan landasan bagi
landasan-landasan berkode huruf A.
5) Panjang, Lebar, Kemiringan dan Perataan Strip Landasan.
Persyaratan strip landasan menurut ICAO diberikan pada Tabel berikut :
Tabel 2.8 Panjang, Lebar, Kemiringan Dan Perataan strip Landasan

Sumber : Basuki .1990

Catatan :

a. 60 m bila landasan berinstrumen 30 m bila landasan tidak berinstrumen


b. Kemiringa transversal pada tiap bagian dari strip diluar diratakan kemiringannya
tidak boleh Lebih dari 5%.
c. Untuk membuat saluran air Kemiringan 3 m Pertama kearah luar landasan ,bahu
landasan, stopway harus sebesar 5%.
Dapat disimpulkan bahwa untuk perencanaan runway diperlukan data: temperatur,
elevasi , kemiringan efektif, karakteristik pesawat rencana dan angin. Didalam skripsi ini
tidak dibahas penentuan arah angin dominan untuk penentuan arah runway.

2.5 MENENTUKAN TEBAL PERKERASAN PADA RUNWAY

Didalam menentukan ketebalan perkerasan, terlebih dulu harus ditenyukan “pesawat rencana”
yaitu beban yang menghasilkan ketebalan yang paling besar, pesawat rencana tidak perlu harus
yang terberat. Penentuan tebal perkerasan landasan pacu dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain:

a. Berat kotor pesawat (MSTOW = Maximum Structural Take Off Weight).


b. Konfigurasi roda pendaratan utama yang terdiri dari:

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

- Single wheel gear.


- Dual wheel gear.
- Dual tandem wheel gear.
c. CBR (California Bearing Ratio) tanah dasar landasan.
d. CBR pondasi bawah landasan pacu.
e. Data Pesawat yang Dilayani.
Didalam rancangan lalulintas pesawat, perkerasan harus melayani beragam macam
pesawat, yang mempunyai tipe roda pendaratan yang berbeda – beda , dan berlainan
beratnya.Pengaruh dari semua model lalul lintas hrus dikonversika kedalam ‘Pesawat
Rencana’denga equivalent annual Depature dari pesawat – pesawat campuran tadi.

Rumus Koversinya :

( )
1/2
W2
W1
Log R1 = (Log R2) ( Pers.2.9)
Dimana:

R1 =Equivalent Annual Departure pesawat rencana.


R2 =Annual Departure pesawat-pesawat campuran (dinyatakan dalam roda pendaratan).
W1=beban roda pesawat rencana.
W2=beban roda dari pesawat yang dinyatakan.

Bagi pesawat beerbadan lebar, dianggap mempunyai berat 300.000 lbs denga roda
pendaratan Dual Tandem, dalm perhitungan Equivalent Annual Departure.Tipe roda pendaratan
juga berlainan bagi tiap –tiap jenis pesawat, maka perlu dikonversi juga. Dibawah ini diberikan
factor Konversinya.

Tabel 2.9 Faktor Konversi roda Pendaratan

Konversi dari ke Faktor Pengali

Single wheel Dual wheel 0.8

Single wheel Dual Tandem 0.5

Dual wheel Dual Tandem 0.6

Doubel Dual Tandem Dual Tandem 1.00

Dual Tandem Single wheel 2.00

Dual Tandem Dual wheel 1.70

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Dual wheel Single wheel 1.30

Doubel Dual Tandem Dual wheel 1.70

Sumber : Heru Bassuki .1986

2.5.1 Peramalan Annual Forecasting Depature Pesawat


Dalam Menentukan Annual Focasting Depature Harus Diketahui :
1. Jumlah pesawat yang akan dilayani
2. Jenis Pesawat yang akan dilayani.
3. Konfigurasi Roda pendaratan utama, dari table 1.3 hal 11.dan
4. Berat Kotor Pesawat (MSTOW = Maximum Structural Take Off Weight).Diperoleh
dari table 1.1 Karakteristik Pesawat Komersial, hal ..Waktu pengoprasian lapangan
terbang,dan kapasitas kapangan terbang untuk menghitung jumlah take off dilapangan
terbang dengan cara : jumlah pesawat dikalikan dengna waktu pengoprasian lapangan
terbang dan dikali 365 hari (1 tahun).
5. Konfigurasi Roda pendaratan utama, dari table 1.3 hal 11. Dalam menghitung
R2 ,jumlah take off dikalikan dengan faktor konversi dari tiap roda pesawat rencana
yaitu yang mengakibatkan perkerasan paling tebal. Konversi tipe roda pendaratan
yang diperoleh dari table 2.9 hal 30
2.5.2 Menghitung Eqivalent Annual Depature

Dalam menghitung R2 ,jumlah take off dikalikan dengan faktor konversi dari tiap
roda pesawat rencana yaitu yang mengakibatkan perkerasan paling tebal. Konversi tipe
roda pendaratan yang diperoleh dari table 2.9 hal 30 dan Konfigurasi Roda pendaratan
utama, dari table 1.3 hal 11.
Setelah mendapatkan nilai Annual Depature (R₂),Kemudian dihitung Equivalen Annual
Depature dengan rumus pada pers 2.8 :

( )
1/2
W2
W1
Log R1 = (Log R2) . ( Pers.2.9)

Dimana:

R1=Equivalent Annual Departure pesawat rencana.

R2=Annual Departure pesawat-pesawat campuran (dinyatakan dalam roda pendaratan).

W1=beban roda pesawat rencana.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Berat Wheel load pesawat rencana (W1) dihitung dengan menganngap 95% ditumpu
oleh roda pendaratan utama ,maka

W1 = MTOW pesawat rencana x 0.95 x ¼ ( Pers.2.10)

W2=beban roda dari pesawat yang dinyatakan.

Berat Roda Pesawat yang dinyatakan (W2):

W2 = MTOW x 0.95 x ¼ ( Pers.2.11)

2.5.3 Menghitung Tebal Perkerasan

Langkah -langkah Perhitunga tebal Perkerasan

1. Memplot nilai CBR subgrade dam MSTOW didapat tebal perkerasan total dari
Gambar 2.11,2.12 dan 2,13, berikut:

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 2.11 Kurva perencanaan perkersan fleksibel untuk daerah kritis .Single Wheel
Gear
Sumber : Grafik 6.15,Heru Basuki.1986.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 2.12 Kurva perencanaan perkersan fleksibel untuk daerah kritis .Dual Wheel
Gear
Sumber : Grafik 6.15,Heru Basuki.1986.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 2.13 Kurva perencanaan perkersan fleksibel untuk daerah kritis .Dual Tandem Gear
Sumber : Grafik 6.15,Heru Basuki.1986.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

2. Dari grafik yang sama dengan CBR 20 ,diperoleh Tebalnya ,maka subbase = Tebel
total perkerasan – tebal yang diperoleh dengan nilai CBR 20.
3. Annual depature melebihi annual depature yang ada dalam grafik maka tebal surface
aspal ditambah 1 inchi.
Tebal surface untuk daerah kritis =4 1nchi.
Tebal surface untuk daerah non kritis = 3 inchi
4. Tebal Base Coarse = Tebal pada CBR 20 – Tebal Surface
5. Chek tebal minimum base course dengan CBR tanah dasar dari Gambar 2.14 berikut:

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 2.14 Tebal Minimum Base Coarse yang diperlukan


Sumber :Gambar 6.24.Heru Basuki .1986.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 2.15 Penampang lintang Perkerasan Landasan


Sumber :GAmbar 2.25.Heru Basuki.1986

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 2.16 Bagan alir perencanaan runway metoda ICAO

Sumber : Dr. Ari Sandhyavitri & Hendra Taufik, ST, MSc

START
NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059
PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Data perencanaan :
•Data ARFL pesawat

•Elevasi, temperature, kemiringan

Pehitungan Panjang Runway

Penentuan Klasifikasi Bandara

Perhitungan Lebar Runway + Bahunya

Kofigurasi Landasan Pacu

FINISH

Gambar 2.17 Flow Chart Penentuan Geometric Runway

Start

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Data perencanaan :
•Pesawat yang dilayani

•Karakteristik Pesawat

•Konfigurasi roda pendaratan

Perjitungan pembagian pesawat/jam

Cheek terhadap kapasitas Runway

Menghitung whell load pesawat rencana

Menghitung wheel load masing-masing pesawat yang dilayani

Menghitung equivalent annual Depature

Menghitung equivalent annual Depature pesawat rencana

Analisa perhitungan tebal perkerasan

Dimensi Perkerasan Struktural

Finish

Gambar 2.18 Flowchart Perhitungan Tebal Perkerasan Runway

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

BAB III

PERENCANAAN TAXIWAY (LANDAS HUBUNG)

Taxiway adalah bagian dari lapangan terbang yang telah diberikan perkerasan yang digunakan
oleh pesawat sebelum take-off & setelah landing. Umumnya sebagai penghubung runway & apron.
Pesawat yang bergerak diatas taxiway, kecepatannya relatif rendah dibandingkan dengan pesawat
sewaktu berjalan diatas runway, karena kecepatan relative rendah, maka hal ini merupakan satu
faktor yang menyebabkan panjang & lebar taxiway lebih kecil daripada runway.Penampang taxiway
dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut

Gambar 3.1 Potongan Melintang Taxiway

Sumber : Gambar 4-6.Heru Basuki.1986

3.1. TAXIWAY (LANDAS HUBUNG)


Wheel Clearance : Perencanaan taxiway haruslah sedemikian,hingga Cockpit pesawat dimana
taxiway itu direncanakan berada diatas marking sumbu taxiway ,jarak bebas antara sisi terluar
roda utama pesawat dan sisi perkerasan taxiway luar tidak boleh lebih kecil dari harga yang
diberikan pada table 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Jarak Bebas minimu sisi terluar roda utama dengan perkerasan

Sumber : Tabel 4-7.Heru Basuki .1986

Catatan : # Taxiway direncanakan penggunaannya untuk pesawat denga wheel base sama
atau lebih besar dari 18 m (60ft).

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

#Taxiway direncanakan penggunaanya untuk pesawqat dengan wheel base kurang


dari 18 m (60ft).

Lebar : Lebar Taxiway dan lebar total taxy way bersama dengan bahu landasan pada bagian
yang lurus ridak boleh kurang dari yang ditunjukkan pada table 3.2 berikut:

Tabel 3.2 Lebar Taxiway

Sumber : Tabel 4-8.Heru Basuki .1986

Catatan : Untuk pesawat dengan batas sisi luar roda utam 9 m (30 ft)

Untuk pesawat dengan Wheel base > 18 m (60 ft)

Untuk pesawat dengan Wheel base < 18 m (60 ft)

A. Kemiringan dan jarak pandang


Persyaratan yang dibuat ICAO untuk mengatur kemiringan dan jarak pandangan (slight
distance) adalah seperti table 3.3 berikut.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Tabel 3.3 Kemiringan dan jarak pandang

Sumber : Tabel 4-9.Heru Basuki .1986

Catatan : Kemiringan transversal dari bagian strip taxiway diluar yang diratakan
kemiringan keatasnya tak boleh lebih dari 5%.

B. Kurva taxiway diusahakan sejajar mungkin. Jari-jari kurvanya harus cukup untuk belok
pesawat.Tabel 3.4 berikut memeberikan syarat-syarat jari-jari yang akan memenuhi
kebutuhan bagi pembeloknya halus bagi berbagai kecepatan pesawat.

Tabel 3.4 Kurva Taxiway

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Apabila terpaksa harus membuat belokan tajam, sehingga jari – jari tidak cukup
luas untuk menghindari keluarnya roda-roda pesawat yang sedang taxi, keluar dari
perkerasan perlu memperluas taxiway sehingga tecapai “Wheel Clearance” sepertiyang
disyaratkan pada table 3.1.Perluasan itu disebut “lebar taxiway tambahan” lihat gambar
3.2 berikut.

Gambar 3.2 Kurva Taxiway

Sumber :Gambar 4-7.Heru Basuki.1986

Untuk menjamin keselamatan pesawat yang sedang bergerak, tetapi juga


memamfaatkan ruang lapangan terbang sebesar-besarnya diadakan syarat pemisahan yang
harus dipenuhi, ICAO membuat persyaratan jarak antara sumbu taxiway dengan sumbu
landasan , sumbu taxiway dengan sunbu taxiway,dan sumbu taxiway dengan objek yang
permanen. Tabel 3.5 Jarak pemisah minimum untuk

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Sumber : Tabel 4-16.Heru Basuki.1986


Sedangkan FAA mensyaratkan sebagai berikut :

Tabel 3.6 Jarak pemisah minimum untuk taxiway

Sumber : Tabel 4-17.Heru Basuki.1986

3.2. EXIT TAXIWAY


Fungsi exit taxiway adalah untuk menekan sekecil mungkin waktu penggunaan landasan
oleh pesawat yang sedang mendarat.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

a. Exit taxiway menyudut siku


Keputusan untuk merencanakan dan membangun exit taxiway menyudut siki-siku
didasarkan pada analisa lalu linas yang ada .Apbila lalu lointas rencana pada jam-jam
puncak kuraqng dari 26 gerakan (mendarat dan lepas landas) exit taxi way cukup memadai.

b. Exit Taxiway kecepatan tinggi


Dengan perkembangan kebutuhan yang ada, maka dipakai suhu standar exit taxiway
yang dibuat ICAO, berupa rapid exit taxiway / high speed taxiway. Menentukan jarak exit
taxiway dari threshold landasan & lebar taxiway.Gambar 3.3 berikut memperlihatkan
standar perencanaan untuk rapid exit taxiway yang dibut ICAO.

Gambar 3.3 Perencanaan Untuk Rapid Exit Taxiway

Sumber : Gambar 4-9.Heru Basuki.1986

Catatan :

a. Jari jari dalm fillet pada kurve Rapid Exit Taxiway, harus cukup luasnya, sehingga
muara taxiway mudah ikenal dengan membelokkan pesawat masauk taxiway.
b. Rapid Exit Taxiway harus termaksud satu bagian yang memepunyai jarak lurus
sedemikian hingga pesawat bias berhenti penuh sebelum mendapatkan persilangan
dengan taxiway berikutnya
c. Sudut persilangan dariRapid Exit taxiway dan landasan takboleh lebih 45˚ dan
takboleh kurang dari 25˚ lebih disukai 30˚.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

A. Panjang Exit Taxiway


Kecepatan saat aproact, tingkat pengereman dan jumlah exit taxiway:

Jarak taxiway = jarak touch down + D dari Threshold (Pers. 3.1)

S 2 −S
1 22

D = 2a (Pers. 3.2)

Dimana:
D = jarak dari touch down ke titik perpotongan antara runway dan taxiway.
S1 = kecepatan touch down (m/s).
S2 = kecepatan awal ketika meninggalkan landasan (m/s).
a = perlambatan (m/s2).
Kalsifikasi pesawat menurut kecepatan Touchdown untuk perencana Exit Taxiway
diberikan pada tabel.3.7.

Tabel 3.7 Klasifikasi pesawat untuk perencanaan taxiway

Sumber : Tabel 4-11.Heru Basuki.1986

Catatan : kecepatan pesawat pada waktu touchdown diangggap rata-rata 1,3 kali kecepatan
Stall, pada konfigurasi pendarat dengan rata-rata berat pendaratn kotor 85% dari
maksimum.

3.3 HOLDING BAY

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Pada lapangan terbang yang mempunyai lalu lintas pesawat padat, sudah perlu dibangun
Holding Bay.Dengan disediakannya holding bay, maka pesawat dari apron dapat keujung
landasan dengan cepat, dan memungkinkan sebuah pesawat lain untuk menyalip masuk ujung
landasan tanpa harus menunggu pesawat didepannya yang sedang, menyelesaikan persiapan
teknis, macam-macam tipe holding bay seperti yang terlihat pada gambar 3.4, hal 44.

Keuntungan dari holding bay antara lain:

 Keberangkatan sebuah pesawat tertentu yang harus ditunda karena suatu hal padahal sudah
masuk taxiway menjelang sampai ujung landasan, tidak menyebabkan tertundanya
pesawat lain yang ada dibelakangnya.
 Pemeriksaan altimeter (alat pengukur tinggi) sebelum terbang, memprogram alat bantu
Navigasi Udara, apabila tidak bisa dilaksanakan di apron.
 Pemanasan mesin sesaat sebelum lepas landas. Sebagai titik pemeriksaan aerodrome untuk
VOR (Very High Omny Range), karena untuk pemeriksaan itu pesawat harus berhenti
untuk menerima sinyal yang benar.
a. Bentuk Holding Bay
Apron tunggu (holding apron), lantai pemanasan (run-up pad) atau kadang-kadang
disebut holding bay, ditempatkan diujung landasan pacu. Apron-apron tersebut digunakan
sebagai tempat pesawat sebelum lepas landas, apron-apron tersebut harus cukup luas
sehingga apabila sebuah pesawat tidak dapat lepas landas karena ada kerusakan mesin,
pesawat lainnya yang siap untuk lepas landas dapat melewatinya (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Contoh landasan Holding Bay untuk landasan approach presisi kode angka
No.4

Sumber : Gambar 4-10. Heru Basuki.1986

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

b. Ukuran Holding Bay


Ukuran yang diperlukan untuk sebuah holding bay tergantung kepada:

a). Jumlah dan posisi pesawat yang akan dilayani ditentukan oleh frekwensi
pemakaiannya.

b). Tipe-tipe pesawat yang akan dilayani.

c). Cara-cara / kelakuan pesawat masuk dan meninggalkan holding bay.

Pada umumnya, kebebasan ujung sayap pesawat (Wing Tip Clerance) antara
pesawat yang sedang parker, dan pesawat yang berjalan melewatinya tak boleh kurang dari
15 m (50 feet) apabila pesawat yang bergerak adalah tipe Turbo Jet, dan 10 m (33 feet)
bila pesawat yang bergerak adalah tipe Propeler.

c. Lokasi Holding Bay


Holding Bay harus ditempatkan di luar area kritis yaitu sekitar instalasi ILS
(Instrument Landing System) agar terhindar gangguan pada peralatan Bantu
pendataran.Agar tercapai operasi penerbangan yang aman dan selamat di lapangan
terbang, diperlukan jarak minimum dari sumbu landasan terbang, diperlukan jarak
minimum dari sumbu landasan ke Holding Bay atau posisi taxi holding, tidak boleh
kurang dari persyaratan yang diberikan pada tabel berikut.

Tabel 3.8 Jarak minimum sumbu landasan ke Holding Bay

Kode angka
Tipe oprasi landasan
1 2 3 4

Non instrument 30 m (100 ft) 40 m (130 ft) 75 m (250 ft) 75 m (250 ft)

Non precision 40 m (130 ft) 40 m (130 ft) 75 m (250 ft) 75 m (250 ft)
approach

Precision approach
60 m (200 ft) 60 m (200 ft) 90 m (300 ft) 90 m (300 ft)
category I

Precision approach
category II dan III 90 m (300 ft) 90 m (300 ft)

Sumber : Heru Basuki. Hal 270

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

BAB IV

PERENCANAAN APRON (TEMPAT PARKIR PESAWAT)

Apron ialah suatu areal parkir pesawat untuk memuat dan menurunkan barang. Tempat naik
dan turunnya penumpang pesawat. Perencanaan apron dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

 Karakteristik pesawat yang terdiri dari:


 Panjang pesawat.
 Lebar sayap pesawat
 Jari-jari putar pesawat.
 Jarak keamanan antar pesawat.
 Volume penerbangan.
 Kapasitas rencana lapangan terbang.

4.1 TIPE PARKIR PESAWAT TERBANG


Dalam perencanaan lapangan terbang ada beberapa tipe parkir pesawat terbang yang dapat
digunakan, yaitu:

 Tipe Noise In
Pesawat diparkir tegak lurus gedung terminal, hidung pesawat menghadap terminal.

 Angied Noise In
Pesawat diparkir menyudut dan hidung pesawat menghadap kegadung terminal.

 Pararel

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Konfigurasi parkir dengan badan pesawat/sayap pesawat menghadap gedung terminal


dengan sudt 90o

 Angied Noise Out


Konfigurasi parker sama dengan tipe Angied Noise In tetapi hidung pesawat
membelakangi gedung terminal

Macam-macam tipe parkir tersebut dapat dilihat seperti yang tercantum pada gambar Berikut: :

NOISE IN ANGIED NOISE IN

TERMINAL

PARAREL ANGIED NOISE OUT

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

TERMINAL

Gambar 4.1 Macam – macam tipe parker pesawat

Sumber :Robert horonjeff & Francis .S Mckelvey.hal 509

4.2. MENENTUKAN GATE TYPE

Area Terminal (Apron) secara khas dirancang untuk menangani Spesifikasi


Pesawat terbang yang cocok dengan dimensi ukuran-ukuran tertentu. Pada Bab 4 dari
AC 150/5360 – 13 menguraikan metodologi untuk menentukan tipe-tipe gate yang
berbada. Airport Reference Code (ARC) adalah system yang digunakan untuk
menentukan ukuran desain, dan tipe-tipe gate dengan cara mudah. Berikut adalah
tipe-tipe gate yang di kategorikan pada Bab 4 dari AC 150/5360 – 13 ;
1. Tipe Gate A. Pesawat tipe gate golongan III dengan Panjang Sayap (wingspan)
antara 79 – 118 ft
2. Tipe Gate B. Pesawat tipe gate golongan IV dengan Panjang Sayap (wingspan)
antara 118 – 171 ft
3. Tipe Gate C. Pesawat tipe gate golongan IV dengan Panjang Sayap (wingspan)
lebih besar 160 ft
4. Tipe Gate D. Pesawat tipe gate golongan V dengan Panjang Sayap (wingspan)
antara 171 – 213 ft
Sumber : AC 150/5360-13

4.3 MENENTUKAN GATE POSITION

Menentukan gate position untuk tiap jenis pesawat digunakan rumus:

c.T
G = μ
(Pers.4.1)

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Dimana:
G = jumlah gate position.
c = volume rencana opesawat tiba / berangkat perjam
T = Rata – rata gate occupancy time
 = faktor keamanan (0,65 – 0,85 T)

4.4. MENGHITUNG KAPASITAS GATE YANG DIRENCANAKAN

= Gi
C Ti. Mi

(Pers.4.2)

Dimana :

Gi = Jumlah gate

Ti = Gate accupancy time

Mi = Mix pesawat

4.5. MENENTUKAN TURNING RADIUS


Ukuran gate position tergantung dari jenis pesawat dan tipe parkir pesawat yang digunakan,
yaitu sebesar 2 x Turning Rasius + Clearance (Gambar 1. hal 58).

a. Turning Radius (R) dihitung sebagai berikut:


R = ½ (wing span + wheel track + forward roll)

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Ukuran gate position = 2 .R + Clearance

b.Menghitung Ukuran Gate Position


Tabel 4.1 Wing Tip Clearance yang disarankan oleh ICAO

Code Letter Air Craft Wing Span Forward roll

A Up to but including 15 m (49 ft) 3,0 m (10 ft)

B 15 m (49 ft) up to but not including 24 m (79 ft) 3,0 m (10 ft)

C 24 m (79 ft) up to but not including 36 m (118 ft) 4,5 m (15 ft)

D 36 m (118 ft) up to but not including 52 m (171 ft) 7,5 m (25 ft)

E 52 m (171 ft) up to but not including 60 m (197 ft) 7,5 m (25 ft)

Sumber : Heru Basuki. Hal. 213

4.6. MENENTUKAN LEBAR DAN PANJANG APRON


Dihitung dengan mengambil gate position yang paling besar ditambah wing span yang
terpanjang. Dari jenis pesawat yang akan dilayani oleh lapangan ditambah clearance. Panjang
apron diperoleh dengan menjumlahkan gate position dari ujung apron.

Gambar 2.11. Desain standar untuk apron metode FAA

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

4.7. PERENCANAAN PERKERASAN KAKU UNTUK APRON


Rigid pavement (perkerasan kaku) terdiri dari slab-slab beton yang digelar di atas tanah
granular atau sub base course yang telah dipadatkan, ditunjang oleh lapisan tanah asli
dipadatkan yang disebut dengan sub grade. Pada kondisi tertentu kadang-kadang sub base
tidak diperlukan.

Rigid pavement biasanya dipilih untuk ujung landasan. Pertemuan antara landasan pacu
dengan taxiway, apron, dan daerah-daerah lain yang dipakai untuk parkir pesawat atau daerah-
daerah yang mendapat pengaruh panas blass jet dan limpasan minyak. Dalam merencanakan
tebal slab beton digunakan metode PCA (Portland Cement Asphalt) yang didasarkan pada
faktor keamanan.

1.Faktor Keamanan (FK)


Angka keamanan untuk daerah perkerasan rigid/kritis (apron hill) adalah perbandingan
antara MR90 dengan working stress.

Tabel 4.2 angka keamanan yang dianjurkan

Angka
keamanan (FK)
Daerah perkerasan

 Kritis = apron, taxiway, ujung landasan s/d 30 m, lantai hanggar 1,7 – 2,0

 Non kritis = bagian tengah landasan, taxiway 1,4 – 1,7

Sumber :Heru Basuki. Hal. 363

2.Menentukan Working Stress (WS).


Berdasarkan persamaan

MR 90
FK = WS ( Pers. 4.3 )

MR 90
FK
dimana WS =

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

3.Menentukan Harga K (Modulus of Sub Grade Reaction)


Harga K subgrade ditentukan di lapangan dengan Test Planning Booring, dimana harga
pendekatan dari nilai K berbagai jenis dapat dilihat pada tabel

Tabel 4.3 Harga K

Harga K
Bahan subgrade
MN/m3 Psi

Sangat jelek < 40 < 150

Baik 55 – 68 200 – 250

Sangat baik > 82 > 300

Sumber :Heru Basuki. Hal. 363

4.Tebal Perkerasan Kaku (Rigid Pavement).


Menghitung Tebak perkerasan kaku dengan memasukkan parameter-parameter diatas
Kedalam grafik - grafik rencana yang sesuai.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 4.3 Kurve Evaluasi – perkerasan Rigid Single Wheel Gear

Sumber : Heru Basuki.Hal 365

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 4.4 Kurve Evaluasi – perkerasan Rigid Dual Wheel Gear

Sumber : Heru Basuki.Hal 366

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Gambar 4.5 Kurve Evaluasi – perkerasan Rigid Dual Tandem Gear


Sumber : Heru Basuki. Hal 365
5.Perhitungan Jumlah Tulangan.
Perbandingan panjang dan lebar slab beton paling baik berkisar 1 s/d 1,25. Ada 2 macam
construction joint, yaitu arah memanjang dan melintang.
Tabel 4.4 jarak joint

Tebal slab beton Melintang Memanjang

< 9 inch (25 cm ) 15 ft (4,6 m) 12,5 ft (3,8 m)


9 – 12 inch (25 – 31 cm) 20 ft (6,1 m) 20 ft (6,1 m)
> 12 inch (31 cm) 25 ft (7,6 m) 25 ft (7,6 m)
Sumber : Heru Basuki .hal 389

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

6.Perhitungan Penulangan Arah Memanjang = Arah Melintang.


3,7×L . √ L . H
1.As = FS  imperial unit (Pers. 4.4)
0,64×L . √ L . H
2.As = FS  metrik unit (Pers. 4.5)
Dimana:
As = luas penampang melintang besi untuk setiap ft atau meter lebar atau panjang
slab beton dalam inch atau cm2.
L = lebar slab (ft atau meter).
H = tebal slab (inch atau mm)
Fs = tegangan tarik baja (Psi atau MN/m2).

7.Dowel (Besi Pemindah Beban).


Dowel ini dipasang pada joint tulangan yang berfungsi sebagai besi pemindah
beban, apabila beban melintasi sambungan, dowel ini digunakan untuk mengatasi
penurunan vertikal relatif pada slab beton ujung

Tabel 4.5 Ukuran dan Jarak Dowel

Tebal slab beton Diameter Panjang Jarak

6 – 7 inch (15 – 18 cm) ¾ inch (20 mm) 18 inch (46 cm) 12 inch (31 cm)
19 inch (46 cm)
8 – 12 inch (21 – 31 cm) 1 inch (25 mm) 12 inch (31 cm)
1 ¼ inch (30 mm) 20 inch (51 cm)
13 – 16 inch (33 – 41 cm) 15 inch (38 cm)
1 ½ inch (40 mm) 20 inch (51 cm)
17 – 20 inch (43 – 51 cm) 18 inch (46 cm)
2 inch (50 mm) 24 inch (61 cm)
21 – 24 inch (54 – 61 cm) 18 inch (46 cm)

Sumber : Heru Basuki .hal 392

8.Joint.
Sambungan atau joint dibuat agar beton dapat menyusut dan mengembang tanpa
halangan, sehingga dapat mengurangi tegangan bengkok akibat gesekan, perubahan
tekanan, perubahan suhu dan kelembaban serta untuk melengkapi konstruksi.Jenis joint:
1. Expansion joint.
Berfungsi untuuk memberikan ruangan pengembangan beton dan biasanya digunakan
pada slab beton yang berpotongan. Menyudut satu sama lain. Tidak digunakan dalam
perencanaan ini karena slab sukup tebal.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

2. Constrcuction joint.Yaitu permukaan beton yang sengaja diperlemah agar bisa terjadi
penyusutan beton, tegangan susut bisa diperkecil dan jika retak, maka akan terjadi
pada daerah yang telah dipersiapkan itu.
Tipe-tipe joint ini:

a) Conctruction joint memanjang tipe G dan H.


b) Conctruction joint melintang tipe F dan H.
Construction jointTerdiri dari 2 macam, yaitu:

a) Conctruction joint memanjang.


Joint model ini terdapat pada setiap jalur pengecoran, yang dibuat dengan tepi
terkunci adalah diberi tulangan dowel sebagai pemindah beban. Joint ini bertipe C,
D dan E.

b) Conctruction joint melintang.


Untuk sambungan melintang. Dowel dipasang pada joint, dan berfungsi sebagai:

- Pemindah beban melintang sambungan.


- Mengatasi penurunan vertikal relatif pada slab beton ujung.

BAB V

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

MARKING (TANDA-TANDA VISUAL)

Tanda-tanda garis dan nomor dibuat pada perkerasan landasan dan taxiway agar pilot
mendapat alat bantu dalam mengemudikan pesawatnya mendarat ke landasan serta menuju apron
melalui taxiway. Marking ini hanya berguna pada siang hari saja, sedangkan malam hari fungsi
marking digantikan dengan sistem perlampuan.

Warna yang dipakai biasanya putih pada landasan yang mempunyai perkerasan aspal,
sedangkan warna kuning untuk taxiway dan apron.

Pada dasarnya warnanya harus mencolok terhadap sekitarnya. Jadi, kalau landasan berwarna putih
(landasan beton) harus diberi warna lain untuk markingnya.

Kedua organisasi penerbangan telah membuat standar marking. FAA dalam Advisory Circular
150/6340 1E kita pakai edisi tanggal 11-4-1980.

ICAO dalam Annox 14 Chapter 5, 6. 7 dipakai edisi kedelapan Maret 1983. Ada 4 macam tipe
marking:

a. Marking landasan.
b. Marking taxiway.
c. Marking untuk area yang dibatasi.
d. Marking untuk objek tetap.
ICAO membagi marking landasan menjadi tiga:

a. Landasan approach presisi.


b. Landasan approach non presisi.
c. Landasan non instrument.
Yang ketiga menurut FAA adalah basic runway, memang antara keduanya (FAA dan ICAO)
mengatur marking sama, hanya istilah yang kadang berbeda.

Landasan non presisi dioperasikan di bawah kondisi VFR (Visual Flight Rule). Landasan
approach non presisi, adalah landasan yang dibantu dengan peralatan VOR (Veri High Frequency
Omny Radio Range) bagi pesawat yang mendarat ke landasan dengan VOR sebagai pedoman.
Landasan instrument presisi adalah landasan yang dilengkapi dengan ILS(Instrument Landing
System).

5.1 Marking Landasan

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

a. Marking Landasan (runwaymarking)Ditempatkan di ujung landasan sebagai nomor


pengenal landasan itu, terdiri dari dua angka. Pada landasan sejajar harus dilengkapi
dengan huruf L (Left), R (Right), atau C (Central).
Dua angka tadi merupakan angka persepuluhan terdekat dai utara magnetis dipandang dari
arah approach, ketika pesawat akan mendarat.

b. Marking sumbu (runway centre line marking).


Ditempatkan sepanjang sumbu landasan berawal dan berakhir pada nomor landasan,
kecuali pada landasan yang bersilangan, landasan yang lebih dominan, sumbunya terus,
yang kurang dominan sumbunya diputus.
Merupakan garis putus-putus, panjang garis dan panjang pemutusan sama. Panjang strip
bersama gapnya tidak boleh kurang dari 50 m, tidak boleh lebih dari 75 m. Panjang strip =
panjang gap atau 30 m mana yang terbesar, lebar strip antara 0,30 m sampai 0,90 m
tergantung kelas landasannya

Gambar 5.1 Ukuran – ukuran dan bentuk angka untuk marking nomor landasan

Sumber : Heru Basuki . Hal 231

c. Marking threshold.

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Ditempatkan di ujung landasan, sejauh 6 m dari tepi ujung landasan membujur landasan,
panjang paling kurang 30 m, lebar 1,8 m
Banyaknya strip tergantung lebar landasan.

Tabel 5.1 Jumlah strip landasan

Lebar Landasan Banyaknya Strip

18 m 4

23 m 6

30 m 8

45 m 12

60 m 16

Sumber:Heru Basuki .Hal 233

d. Marking untuk jarak-jarak tetap (fixed distance marking).


Berbentuk empat persegi panjang, berwarna menyolok. Biasanya oranye. Ukurannya
panjang 45 m – 60 m, lebar 6 m – 10 m terletak simetris kanan kiri sumbu landasan.
Marking ini yang terujung berjarak 300 m dari threshold.

e. Marking touchdown zone.


Dipasang pada landasan dengan approach presisi, tapi bisa juga dipasang pada landasan
non presisi atau landasan non instrumen, yang lebar landasannya lebih dari 23 m Terdiri
dari pasangan-pasangan berbentuk segiempat di kana kiri sumbu landasan lebar 3 m dan
panjang 22,5 m untuk strip-strip tunggal. Untuk strip ganda ukuran 22,5 x 1,8 dengan jarak
1,5 m(Lihat gambar 5.2). Jarak satu sama lain 150 m diawali dari threshold, banyaknya
pasangan tergantung panjang landasan.

Tabel 5.2 Marking Touchdown

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Panjang Banyaknya

Landasan Pasangan

< 90 m 1

900 – 1200 m 2

1200 – 1500 m 3

1500 – 2100 m 4

> 2100 m 6

Sumber ;Heru Basuki.Hal 234

Gambar 5.2 Marking touchdown zone dilukiskan intuk landasan yang panjangnya 2.100
atau lebih

Sumber : Heru Basuki.Hal 235

f. Marking tepi landasan (runway side stripe marking).

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Merupakan garis lurus di tepi landasan, memanjang sepanjang landasan dengan lebar strip
0,9 m. Bagi landasan yang lebarnya lebih dari 30 m atau lebar strip 0,45 m bagi landasan
kurang dari 30 m. Berfungsi sebagai batas landasan terutama apabila warna landasan hampir
sama dengan warna shouldernya.

5.2 Marking Taxiway

- Marking sumbu taxiway adalahsebagai garis pedoman dari sumbu landasan untuk masuk ke
taxiway, berbentuk garis selebar 15 cm berwarna kuning, Untuklebih mendetail lihat gambar
5.3 Berikut.

Gambar 5.3 Marking posisi holding menurut Menurut FAA

Sumber : Heru Basuki.Hal 241

- Marking posisi taxiholding (Taxi Holding Position Marking) sebagai tanda bahwa taxiway
akan berpotongan dengan landasan pesawat harus berhenti disini sebelum mendapat perintah
masuk kelandasan.

5.3 Marking area yang dibatasi

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Landasan atau taxiway yang tidak digunakan, dan ditutup untuk kegiatan lalu lintas pesawat,
diberi tanmda silang berwarna kuning, dengan ukuran sebagai gambar berikut ini.

Gambar 5.4 Landasan yang ditutup dan marking taxiway

Sumber : Heru Basuki.Hal 243

a. Permukaan yang mampu menahan beban pesawat dan yang tidak mampu menahan berat
pesawat (taxiway dan bahunya) dipisahkan oleh taxiway slide strip marking. Pembuatan strip
taxiway sepenuhnya diserahakan sepenuhnya kepada pengelola lapangan terbang.
b. Dilandasan yang thresholdnya dpindahkan (displaced) secara permane, atau perkerasan diluar
threshold panjangnya lebih dari 60 m dibuat marking yang disebut “Prethreshold” Marking
yang bentuknya serupa kepala anak panah(Chevron).

Gambar 5.5 Pre Threshold Marking

Sumber : Heru Basuki.Hal 244

5.4 Marking untuk objek tetap

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Yang dimaksud dengan misalnya menara air, antenna, gedung/bangunan yang diperkirakan
menjadi halangan pada flight path harus diberi tanda yang menyolok, misalnya diberi warna
putih oranye berganti –ganti atau kotak-kotak.

Gambar 5.6 Contoh Marking dan Perlampuan Bangunan Tinggi

Sumber : Heru Basuki.Hal 246

BAB VI

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

PERENCANAAN BANGUNAN PELENGKAP

6.1 HANGGAR
Hanggar ialah tempat reparasi pesawat yang terlindung.
- Menghitung panjang Hanggar (P)
P = (2 x Turning Radius) + (clearance x 4) (Pers. 6.1)

- Lebar hangar
L = (2 x turning radius) + (2 x clearance) (Pers. 6.2)

6.2. CONTROL TOWER


Ditempatkan pada lokasi yang strategis, yang tugasnya mengatur lalu lintas udara.

6.3. FASILITAS AIR DAN LISTRIK


Kebutuhan air bersih untuk Bandar udara pada sat ini dipenuhi dari sumber sumur alam yang
terdapat didaerah perumahan Bandar udara yang oprasionalnya menggunakan submersible
pump.

6.4. FASILITAS DRAINASE


Sistem drainase yang baik akan menghindarka kawasan Bandar udara tergenang air, juga
menjaga stabilitas tanah tidak terganggu,terutama pada fasilitas pojok Bandar udara seperti
landasan pacu dan sebagainya. Konstruksi drinase pada umumnya di bandar udara adalah
bentuk saluran terbuka baik karena biaya pembuatan dan pemeliharaannya yang relatif murah
jika dibandingkan dengan konstruksi bawah permukaan tanah.

6.5. TERMINAL BUILDING


Diperhitungkan berdasarkan jumlah penumpang pesawat pada saat jam sibuk

Tabel 6.1 Typical terminal Building space requirements

Space Required in 1000


Facility ft2 or 1000 m2 per Typical
Peak Hour
Ticket lobby 1,0
Baggage claim 1,0
Passanger loading and assembly 2,0
Visitor waiting rooms 1,5
Imigration 1,0
Custom 3,0
Ammunities (including eating facilities) 2,0
Airline operation 5,0

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Total gross area (domestic) 25,0


Total gross area (international) 30,0

Untuk merencanakan luas ruangan yang dibutuhkan, maka harga-harga di atas dikalikan
dengan jumlah penumpang, dengan memperhitungkan faktor-faktor keamanan, kelancaran,
dan lain-lain. Dengan demikian, diperoleh masing-masing ruangan fasilitas bangunan
pelengkap sebagai berikut:
6.6. FUEL DEPUT
6.7. FASILITAS PEMADAM KEBAKARAN
6.8. TEMPAT PARKIR
Tempat parkir di suatu bandar udara harus disediakan untuk:
a. Penumpang pesawat.
Didasarkan pada jumlah penumpang pesawat yang menggunakan kendaraan pribadi dan
taxi.
b. Pengunjung atau pengantar yang datang bersama-sama dengan penumpang pesawat.
c. Penumpang yang datang hanya untuk melihat-lihat.
d. Karyawan-karyawan bandar udara
e. Mobil-mobil sewaan.
f. Orang-orang yang melaksanakan bisnis di bandar udara

Gambar 6.2 Konfigurasi parker Mobil


Sumber: Heru Basuki.hal 112

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Sumber : Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Udara tahun 2005

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Sumber : Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Udara tahun 2005

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Sumber : Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Udara tahun 2005

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Sumber : Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Udara tahun 2005

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Sumber : Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Udara tahun 2005

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059


PERENCANAAN LAPANGAN TERBANG

Sumber : Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Udara tahun 2005

NASRUDIN ADIPRATAMA KAMBEA / F 111 16 059

Anda mungkin juga menyukai