Anda di halaman 1dari 104

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Naluri seksual bagi orang yang telah dewasa muncul dari

ketertarikan terhadap lawan jenisnya untuk mendapatkan keturunan,

ketertarikan secara seksual ini antara lain bisa dilihat dari bentuk fisik

wanita dengan payudara dan pinggul yang besar, sementara lelaki

yang kekar berotot dianggap memiliki potensi seksual yang besar.

Naluri seksual merupakan anugerah Tuhan bagi manusia,

dengan adanya naluri seksual, eksistensi manusia bisa berlangsung

terus karena kehidupan seseorang akan terus bisa dilanjutkan oleh

keturunannya. Namun apabila naluri seksual yang dilakukan tanpa

tata aturan akan mendatangkan kekacauan di dalam masyarakat.

Beberapa kekacauan itu antara lain, berjangkitnya penyakit kelamin,

perkelahian, dan kesulitan penentuan ayah seorang anak. Oleh sebab

itu, sejak dulu manusia telah membuat perangkat tata nilai dan norma-

norma, baik dalam agama, adat istiadat, maupun hukum tertulis yang

mengatur hubungan perilaku seksual, agar fungsi reproduksi manusia

dapat berlangsung tanpa mengganggu ketertiban sosial. Pada setiap

masyarakat, keabsahan hubungan seksual dibuat melalui pernikahan.

Hubungan seksual antara laki-laki dan wanita dapat dikatakan

sebagai kebutuhan primer yang secara alamiah menuntut untuk


2

dipenuhi. 1
Berbeda dengan narapidana yang sedang menjalani

pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan, pemenuhan kebutuhan

untuk berhubungan seksual dengan pasangannya akan menjadi

persoalan yaitu apabila kebutuhan untuk berhubungan seksual muncul

menuntut segera terpenuhi sementara kesempatan untuk melakukan

hal ini tidak ada. Terpidana penjara yang menjalani pidananya di

Lembaga Pemasyarakatan, pada dasarnya selama menjalani pidana

telah kehilangan kebebasan bergerak juga mengalami derita-derita

atau kehilangan-kehilangan yang menyebabkan mereka tidak dapat

memenuhi kebutuhan dasar dalam hidup mereka sebagai manusia.

Drs. Didin Sudirman, Bc.IP, Msi mengatakan : Secara fisik

kebebasan bergeraknya sangat terbatas maka penyaluran seksual

adalah merupakan suatu masalah yang muncul akibat dari

pemenjaraan. Berbagai mekanisme penyaluran seksual dikenal dalam

kosa kata masyarakat penjara, antara lain istilah homobo’olabui,

eentogan, memerian, anak-anakan, prostitusi, penyalah-gunaan ijin

berobat dan sebagainya. 2

Lebih lanjut dijelaskan oleh Drs. Didin Sudirman, Bc.IP, Msi

sebagai berikut ;

Homobo’olabui adalah kosakata yang sebagian berasal dari


bahasa sunda. Bo’ol artinya anus, bui artinya penjara dan homo
1
Termasuk dalam kebutuhan primer selain seks adalah kebutuhan-kebutuhan
badaniah, misalnya kebutuhan akan makanan (lapar), minuman (haus), tidur,
temperature yang sesuai dengan temperature tubuh dan sebagainya. Jadi, kebutuhan
primer adalah kebutuhan bawaan yang tidak dipelajari atau disebut juga kebutuhan
fisiologis (physiological needs).
2
Drs. Didin Sudirman, Bc.IP, Msi., Sosiologi Penjara, Buku Materi Kuliah Akademi
Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta, 2003, Hlm.232
3

seperti yang kita sudah kenal yaitu hubungan seksual sejenis.


Jadi homobo’olabui artinya hubungan seksual yang dilakukan
dalam penjara. Terjadinya homo seksual di dalam penjara
dapat diakibatkan oleh pemerkosaan antara narapidana yang
kuat (brengos) terhadap narapidana yang lemah. Biasanya
yang menjadi korban adalah narapidana yang berusia muda,
kulit bersih dan berperilaku seperti wanita. Ada juga yang
sudah menjadi pasangan tetap, artinya secara sosial ia sudah
memproklamirkan bahwa ada hubungan ”suami-isteri” diantara
mereka. Dalam kosakata di penjara dikenal dengan ”anak-
anakan” bagi karakter wanita, dan ”bapak-bapakan” bagi
karakter suami. Disamping itu ada juga narapidana yang
melacurkan diri, yaitu ia bersedia menjadi pasangan homo
dengan bayaran tertentu. Penulis pernah melihat ketika
bertugas di Lapas Cirebon, seorang narapidana yang pantatnya
(ketika ditelanjangi) terdapat tulisan Rp. 100,-. Konon ia
berperan sebagai ”wanita” pelacur yang bersedia menjadi
pasangan homo bagi narapidana yang memerlukannya.

”Eentogan” (entog=bebek - bhs sunda) dan ”memerian”


(meri=itik – bhs sunda), suatu kosakata untuk menunjukan
adanya perilaku seksual dengan cara narapidana dapat
berhubungan seksual dengan isterinya. Akan tetapi cara untuk
memperoleh hubungan itu dengan jalan yang melanggar
aturan. ”Eentogan” adalah melakukan hubungan seksual
dengan isterinya di suatu ruangan di dalam kantor penjara.
Sudah barang tentu dengan membayar sejumlah uang kepada
petugas penjaga. Dalam kosakata yang lebih baru lagi,
fenomena tersebut diistilahkan dengan ”wartil” (warung itil,
itil=vagina – bhs sunda) yang konon wanitanya juga diambil dari
pelacur jalanan. Sedangkan ”memerian” adalah melakukan
hubungan seksual denganisterinya di luar penjara, akan tetapi
pengeluarannya tidak melalui prosedur resmi, akan tetapi
merupakan kebijakan dari penjaga. Dan sudah barang tentu
dengan pembayaran sejumlah uang.disamping itu ada
fenomena lain, yaitu menggunakan kesempatan berhubungan
dengan isterinya ketika ia diijinkan secara sah keluar penjara,
misalnya dalam rangka berobat di rumah sakit luar Lapas dan
sebagainya. 3

Fenomena penyimpangan seksual yang terjadi di dalam

Lembaga Pemasyarakatan menunjukkan bahwa kebutuhan

3
Ibid. Hlm. 232-234
4

berhubungan secara seksual merupakan naluri biologis manusia yang

menghendaki pemenuhannya walaupun kesempatan untuk

pemenuhan kebutuhan seksual di dalam Lembaga Pemasyarakatan

sangat terbatas, fenomena ini menunjukan adanya mekanisme

penyaluran seksual yang muncul dalam masyarakat penjara.

Disadari bahwa narapidana adalah tetap sebagai manusia yang

mempunyai hak dan tanggung jawab sebagai manusia yang hidup.

Hak itu timbul dari adanya kebutuhan manusia yang harus tetap ada

sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Mengacu kepada pasal 14

ayat 1(j) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, yang berbunyi ”Narapidana berhak mendapatkan

kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga,

mencermati pasal ini dapat dikatakan sebagai landasaan hukum yang

merupakan salah satu upaya dalam rangka mengatasi dampak

kehilangan hubungan seksual dengan lawan jenis di dalam Lembaga

Pemasyarakatan. Dengan adanya pemberian cuti mengunjungi

keluarga bagi narapidana, diharapkan seorang narapidana dapat

memenuhi kebutuhan hubungan seksual (heterosexual relationship)

dengan suami / istrinya yang sah secara hukum di tempat

kediamannya dan mempererat ikatan kekeluargaan diantara mereka.

Namun hal ini sangat berlainan dengan survey pendahuluan yang

penulis lakukan di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta diperoleh

data bahwa pelaksanaan Cuti Mengunjungi Keluarga di Lembaga


5

Pemasyarakatan Purwakarta tidak optimal, sejak Tahun 2007

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta belum melaksanakan program

Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) bagi narapidana, seperti pada tabel

1 di bawah ini.

Tabel 1
Rekapitulasi Pelaksanaan CMK di Lapas Purwakarta
Januari s/d Oktober 2007

Pelaksanaan Cuti Mengunjungi Keluarga


No Keterangan
Bulan Jumlah

1 Januari
2 Pebruari
3 Maret
4 April
5 Mei N I H I L N I H I L
6 Juni
7 Juli
8 Agustus
9 September
10 Oktober

Sumber: Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga


Pemasyarakatan Purwakarta Tanggal 31 Oktober 2007.

Kembali lagi antara das sollen dengan das sein yang sangat

berlainan, pasal 14 ayat 1(j) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

menyatakan adanya hak narapidana untuk dapat melakukan cuti

mengunjungi keluarga namun kenyataannya dalam periode Januari

sampai dengan Oktober 2007 tidak pernah diimplementasikan oleh

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta padahal cuti mengunjungi

keluarga bagi narapidana sangat dibutuhkan sekali.


6

Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk

meneliti dampak dari kehilangan hubungan heteroseksual yang

diderita oleh narapidana kaitannya dengan hak mereka tentang cuti

mengunjungi keluarga, selama menjalani masa hukuman di dalam

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta dan menuliskan hasilnya

dalam skripsi berjudul : DAMPAK KEHILANGAN HUBUNGAN

HETEROSEKSUAL NARAPIDANA KAITANNYA DENGAN PASAL 14

AYAT 1 (J) UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG

PEMASYARAKATAN. (KAJIAN TERHADAP NARAPIDANA DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN PURWAKARTA).

B. Identifikasi Masalah

Adapun yang menjadi identifikasi permasalahan dalam

penulisan skripsi ini adalah, sebagai berikut :

1. Mengapa pelaksanaan pasal 14 ayat 1(j) Undang-undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta tidak optimal ?

2. Bagaimanakah dampak kehilangan hubungan heteroseksual di

dalam Lembaga Pemasyarakatan kaitannya dengan pasal 14

ayat 1(j) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan ?

3. Bagaimanakah solusi untuk mengatasi dampak kehilangan

hubungan heteroseksual di dalam Lembaga Pemasyarakatan ?


7

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah ;

1. Memberikan keterangan tentang pelaksanaan pasal 14 ayat 1(j)

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, di Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta yang tidak optimal.

2. Memberikan keterangan tentang dampak kehilangan hubungan

heteroseksual di dalam Lembaga Pemasyarakatan kaitannya

dengan pasal 14 ayat 1(j) Undang-undang Nomor 12 Tahun

1995.

3. Memberikan keterangan tentang solusi / jalan keluar dalam

mengatasi dampak kehilangan hubungan heteroseksual di

dalam Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

Hasil penelitian ini dapat disumbangkan sebagai penambah

khasanah penelitian di  bidang Hak Asasi Manusia, khususnya

tentang dampak kehilangan hubungan heteroseksual di dalam

Lembaga Pemasyarakatan.

2. Bagi Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta.


8

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan hal-hal baru

dalam rangka proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta, menambah wawasan pembinaan khususnya tentang

mengatasi dampak kehilangan hubungan heteroseksual di dalam

Lembaga Pemasyarakatan

3. Bagi Penulis.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana untuk

menambah wawasan tentang dampak kehilangan hubungan

heteroseksual di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan

merupakan sarana untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang

diperoleh di bangku kuliah di lapangan.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam sistem peradilan pidana, Lembaga Pemasyarakatan

merupakan salah satu fungsi dari penegakan hukum, yaitu sebagai

tempat pelaksanaan hukuman bagi orang yang dalam persidangan

pidana dinyatakan terbukti melakukan kejahatan, dan orang tersebut

harus menjalani hukuman penjara sebagaimana diputuskan oleh

pengadilan.

Bachsan Mustafa, S.H., mengatakan bahwa;

Pada waktu ini yang diikuti adalah teori campuran ini, sebagai
konsekwensi logis, bahwa fungsi hukum adalah
”PENGAYOMAN”, mengayomi – melindungi masyarakat dan
sekaligus memperbaiki penjahat, karena itu istilah ”RUMAH
PENJARA” diganti dengan ”LEMBAGA PEMASYARAKATAN”,
9

suatu lembaga yang mempunyai merehabilitir penjahat, setelah


menjalani hukumannya dan mengembalikannya ke dalam
masyarakat agar ia menjadi manusia yang berguna. Dalam
lembaga ini ”NARAPIDANA” dididik untuk memperoleh
berbagai kejuruan yang dapat mereka manfaatkan kelak
apabila mereka ke luar dari lembaga tersebut. 4

Petrus Irwan Panjaitan, S.H., M.H., dan Pandapotan

Simorangkir mengatakan bahwa :

Bagi Lembaga Pemasyarakatan, tujuan pembinaan pelanggar


hukum tidak semata-mata membalas tapi juga perbaikan
dimana falsafah pemidanaan di Indonesia pada intinya
mengalami perubahan seperti apa yang terkandung dalam
sistem pemasyarakatan yang memandang narapidana orang
tersesat dan mempunyai waktu untuk bertobat. Berbeda halnya
dengan Gestichten Reglement 1917 No. 708 yang menyatakan
bahwa narapidana adalah seorang yang terhukum. 5

Istilah “Pemasyarakatan”, untuk pertama kali secara terbuka

dikemukakan oleh Sahardjo,SH., dalam pidato penerimaan gelar

doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia

tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya itu beliau memberikan rumusan

dari tujuan pidana penjara sebagai berikut :

“Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena


hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar
bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota
masyarakat sosialis Indonesia yang berguna, dengan
perkataan lain, tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan”6

Sementara itu oleh Prof Sudarto, SH., dikatakan, bahwa Jelas

sekali beliau telah meletakkan dasar untuk pembinaan para terhukum


4
Bachsan Mustafa, S.H., Sketsa Dari Tata Hukum Indonesia, Penerbit Armico,
Bandung, Edisi kedua 1982, Hal.88-89.
5
Petrus Irwan Panjaitan, S.H., M.H., dan Pandapotan Simorangkir, S.H., Lembaga
Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta,1995, Hal. 63.
6
Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman, pada Pidato Penganugerahan Gelar
Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum di Universitas Indonesia, tanggal 5 Juli
1963. hal. 21.
10

ialah yang lazim disebut “treatment philosophy”, atau

“behandelingsfilosofie”. Hemat kami, istilah “pemasyarakatan” dapat

disamakan dengan “resosialisasi” dan / atau “rehabilitasi”.7

Bambang Purnomo mengatakan : Sahardjo, SH., yang dikenal

sebagai tokoh pembaharu di dalam dunia kepenjaraan Indonesia,

telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana,

memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita, adalah:

1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai


manusia;
2. Tiap orang adalah mahluk kemasyarakatan, tidak ada orang
yang hidup di luar masyarakat;
3. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak,
jadi diusahakan supaya mempunyai mata pencaharian. 8

Selanjutnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, menjadi dasar pelaksanaan pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan)

menyebutkan, sistem pemasyarakatan adalah rangkaian kegiatan

penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan

pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga bisa diterima kembali di

masyarakat.

Oleh Bambang Purnomo9 dikemukakan, kegiatan

pemasyarakatan merupakan cara pelaksanaan pidana penjara berupa

7
Prof Sudarto, SH. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung,
1986,Hlm.73.
8
Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem
Pemasyarakatan, Jogjakarta Liberty, 1985, hal. 176.
9
Ibid. hal. 143.
11

sistem proses konversi yang melibatkan hubungan interelasi, interaksi

dan integritas antara komponen masyarakat, dan komponen penegak

hukum yang menyelenggarakan proses pembinaan terhadap

komponen narapidana, dengan sasaran untuk menghasilkan

pembinaan seseorang menjadi warga yang baik dan berguna dalam

masyarakat. Dengan demikian sistem pemasyarakatan menjadi suatu

sistem terbuka (open system) yang mempunyai bagian masukan

(input) komponen narapidana dalam proses pembinaan dan hasil

pembinaan menjadi seorang warga masyarakat yang berguna

(output).

Dari pendapat diatas nampak bahwa tujuan pembinaan

narapidana telah mengalami perkembangan yang menuju kepada

upaya memulihkan kesatuan hubungan antara narapidana dengan

masyarakat dengan harapan agar narapidana kembali melaksanakan

fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat dan tidak

melanggar hukum lagi, untuk mewujudkan tujuan pembinaan

sebagaimana tersebut diatas (resosialisasi) maka kepada narapidana

hendaknya diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk dapat

menjalin hubungan dengan kehidupan masyarakat melalui program

pembinaan yang diberikan kepada mereka. Program pembinaan Cuti

Mengunjungi Keluarga berdasarkan pasal 14 ayat 1(j) Undang-undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bagi narapidana

merupakan program dalam rangka menjaga kesatuan hubungan


12

masyarakat yaitu dengan keluarganya juga dalam rangka memenuhi

kebutuhan biologisnya.

F. Metode Penelitian

Prof. Dr. Soerjono Soekanto,SH.MA., berpendapat substansi

dari suatu karya ilmiah di bidang hukum, biasanya dinilai dari segi

analitis dan konstruksinya. Artinya, suatu gejala hukum tidak hanya

dianalisa serta dikonstruksikan. Analisa dan konstruksi tersebut, harus

dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. 10

Dalam penelitian ini, metode yang dilakukan penulis adalah

sebagai berikut :

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan yuridis empirik, artinya penelitian dilakukan

terhadap peraturan pasal 14 ayat 1(j) Undang-undang Nomor

12 Tahun 1995 yang berisi tentang hak narapidana untuk

mendapatkan cuti mengunjungi keluarga sebagai suatu gejala

hukum yang timbul dalam suatu komunitas masyarakat di

Lembaga Pemasyarakatan.

2. Populasi dan Sampel.

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Adanya

keterbatasan waktu, tenaga dan dana membuat penulis tidak

10
Prof. Dr. Soerjono Soekanto,SH.MA., Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah
Bidang Hukum, Cet. 4, Jakarta, Ghalia Indonesia,1991, Hlm.7- 8.
13

dapat meneliti keseluruhan populasi, untuk itu penulis meneliti

sampelnya saja. Sampel adalah bagian dari populasi yang

dianggap dapat mewakili keseluruhan populasi, untuk

mendapatkan sampel yang mampu mewakili keseluruhan

populasi (representatif) penulis menggunakan teknik

penentuan sampel purposive sampling. Purposive sampling,

yaitu metode pengambilan sampel dengan menerapkan syarat

tertentu yaitu narapidana dimaksud telah berusia dewasa, baik

yang belum dan yang sudah berkeluarga yang sedang

menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

agar relevan dengan penelitian.

3. Responden.

Responden yaitu narapidana yang diambil secara acak

dengan jumlah 55 orang sebagai sumber data, penentuan

responden dalam penelitian ini atas dasar sifat–sifat atau ciri–

ciri tertentu yang dianggap memiliki pengetahuan atau yang

berhubungan langsung dengan subyek dan obyek penelitian.

4. Alat Pengumpul Data

Upaya pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

beberapa cara – cara sebagai berikut :

a. Observasi.

Melihat langsung keadaan yang sebenarnya terhadap

fenomena di lapangan selama mengadakan penelitian.


14

b. Interview.

Pengumpulan data dengan cara tanya jawab terhadap

pejabat struktural, petugas, dan narapidana secara

langsung. Dengan menggunakan pedoman wawancara

terstruktur (Directive Interview).

c. Penelitian Kepustakaan

Penelitian ini didukung oleh buku–buku, literatur dan

dokumentasi sebagai bahan bagi penulis dalam

memberikan beberapa penjelasan terutama yang

berhubungan dengan pengertian–pengertian secara teori.

d. Kuesioner.

Yaitu dengan pengisian kuesioner tipe pilihan (Forced and

Multiple Choice) oleh responden/ narapidana Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta.

5. Analisa Data

Dalam rangka untuk mendapatkan kesimpulan dari hasil

penelitian yang dilakukan, digunakan metode deskriptif

kualitatif, yaitu dengan menggambarkan hasil penelitian apa

adanya kemudian dibahas dengan menggunakan teori dan

peraturan perundang-undangan yang ada, untuk kemudian

ditarik suatu kesimpulan. Penelitian deskriptif bertujuan untuk


15

pemecahan masalah secara sistematis dan faktual mengenai

fakta-fakta dan sifat-sifat populasi. 11

6. Jadwal Penelitian

Proses pengumpulan data dan penyusunan skripsi akan

dilaksanakan dengan jadwal sebagai berikut ;

Tabel 2
Jadwal Penelitian
Tahun 2007

Unsur Pelaksana / Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV


Waktu

Persiapan Septembe
Pengumpulan Data r Oktober
Analisa data Nopember
Laporan Desember

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab yang didalam masing–

masing bab dapat penulis jelaskan sebagai berikut ;

Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang penulisan, identifikasi

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka

penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan pustaka yang berisi tentang pengertian dampak

kehilangan hubungan heteroseksual, pengertian pasal 14 ayat

1(j) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995.

11
Drs. Cholid Narbuko dan Drs.H.Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Penerbit Bumi
Aksara, Jakarta, 2002, Hlm.44.
16

Bab III Obyek penelitian berisi tentang gambaran umum Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta yang meliputi sejarah berdirinya

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta, struktur organisasi

keadaan petugas, keadaan penghuni, dan proses pembinaan

di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta.

Bab IV Merupakan suatu hasil penelitian dan pembahasan tentang

karakteristik respoden, penegakkan hukum pasal 14 ayat 1(j)

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, dampak kehilangan

hubungan heteroseksual narapidana.

Bab V Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan

saran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
17

A. Dampak Kehilangan Hubungan Heteroseksual

1. Pengertian Dampak Kehilangan Hubungan Heteroseksual

Pengertian dampak menurut Pius Abdillah berarti

melanggar, mengenai, membentur. 12 Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia berarti pengaruh kuat yang mendatangkan

akibat. 13

Pengertian heteroseksual menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia berarti melakukan hubungan seksual secara berlainan

jenis.14 Bagi yang telah menikah pengertian hubungan

heteroseksual merupakan suatu hak dan kewajiban bagi mereka

untuk berhubungan intim dengan pasangannya. Drs. Bimo Walgito

berpendapat bahwa :

“Hubungan seksual merupakan bersatunya alat genetal pria


dan wanita, yaitu masuknya alat genetal pria (penis) ke
dalam vagina wanita. Namun sebenarnya dalam hubungan
seksual ini bukanlah semata–mata bertemunya secara
fisiologik antara seorang wanita dengan seorang pria, tetapi
juga bertemunya keadaan psikologik dari kedua individu”. 15

Hubungan seksual yang wajar adalah hubungan seksual

dengan lawan jenis atau heteroseksual adapun diluar

heteroseksual dapat dikatakan mempunyai kelainan seksual.

12
Pius Abdillah & Drs. Anwar Syarifuddin, Kamus Saku Bahasa Indonesia, Penerbit
Arkola, Surabaya, Hlm. 78.
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm. 234.
14
Ibid
15
Drs. Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, Yogyakarta : Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1984, hlm 67.
18

Mengenai kelainan seksual dijelaskan oleh Dr. Sarlito Wirawan

Sarwono sebagai berikut;

... pada manusia normal, obyek tingkahlaku seksual adalah


manusia dari lawan jenisnya, tetapi pada orang yang
menderita kelainan seksual jenisnya jenis ini obyeknya bisa
berupa orang dari jenis kelamin yang sama homoseksual
pada pria dan lesbian pada wanita, anak di bawah umur
(fedofili), hewan (sodomi) pakaian (fetisisme) dan lain-lain.
Obyek pemuasan seksual tetap lawan jenisnya, tetapi
caranya yang tidak biasa misalnya memamerkan alat
kelamin (ekshibisionis), mengintip (voyeuris), menyakiti
partnernya atau disakiti oleh partnernya (sadis atau
masokhis).16

Keabsahan hubungan seksual dengan lawan jenis dalam

masyarakat kita dibuat melalui pernikahan, hubungan seksual di

luar pernikahan, dalam masyarakat dianggap sebagai pelanggaran

norma. Di dalam Agama Islam disebut zinah dan harus

mendapatkan hukuman berat. Begitu juga dalam hukum adat

beberapa daerah, pelakunya dianggap telah menodai nama baik

keluarga dan seluruh masyarakat di lingkungan itu.

Kaitannya kebutuhan untuk berhubungan seksual dengan

Lembaga Pemasyarakatan bahwa di dalam Lembaga

Pemasyarakatan terpidana penjara diharuskan hidup di lingkungan

masyarakat yang bukan menjadi pilihannya karena adanya

keputusan hakim, sehingga kesempatan untuk behubungan secara

seksual dengan suami / istrinya akan terhalang. Dimana mereka

hidup dalam masyarakat penjara yang anggota–anggotanya terdiri

16
Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikilogi, Cetakan ke-8, PT. Bulan
Bintang, Jakarta, 2003, Hlm. 116.
19

dari satu jenis kelamin saja. Undang–undang No. 12 tahun 1995

tentang Pemasyarakatan, pasal 12 menyebutkan :

(1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di


LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar;
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau
perkembangan pembinaan.
(2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan
di LAPAS Wanita.

Mengenai masyarakat penjara di Indonesia Thomas

Sunaryo mengatakan, ”Penjara itu miniatur masyarakat. Banyak

persoalan kemanusiaan di sana," ungkap ahli kriminologi sekaligus

pengamat Lembaga Pemasyarakatan (LP) dari Universitas

Indonesia (UI). Lebih lanjut Thomas mengungkapkan :

”Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya merupakan sebuah


lingkungan yang unik. Unik, karena terdiri atas manusia dari
golongan yang beragam, kaya, miskin, suku, maupun
agama. Unik, karena penjara itu mirip gabungan organisasi
ketentaraan dengan rumah sakit jiwa. Mirip tentara karena
setiap orang diperlakukan seragam. Mirip rumah sakit jiwa
karena lingkungan penjara merupakan lingkungan yang
antitesis terhadap kebebasan orang bertindak. Ini
menyebabkan derita psikologis yang lebih berat daripada
hukuman fisik. Lembaga Pemasyarakatan termasuk
lingkungan yang tidak pernah dilihat orang atau unseen
environment. Orang tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya.
Lembaga Pemasyarakatan, baik manusia maupun
lingkungan sosialnya, sebenarnya mencerminkan miniatur
dari masyarakat kita. Di situ banyak sekali persoalan
kemanusiaan, bukan cuma masalah narapidana kabur. Itu
hanya seperti puncak gunung es.” 17

17
Susana Rita, Penjara adalah Miniatur Masyarakat, Kompas,19 Mei 2007,hal. 5.
20

Thomas menggambarkan situasi penjara yang

dianalogikannya dengan gabungan rumah sakit jiwa dan

ketentaraan. Sedemikian menyedihkan sehingga tak hanya

narapidana yang enggan berdekatan dengan lingkungan tersebut.

Mayoritas petugas LP atau sekitar 70 persen pun mengaku ingin

pindah ke bagian lain jika memungkinkan. Fakta tersebut

merupakan hasil penelitian yang dilakukan ahli kriminologi

sekaligus pengamat pemasyarakatan itu. Penelitian dilakukan di 20

LP di seluruh Indonesia. Penelitian dilakukan bekerja sama dengan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan

HAM pada 2005.18

Sementara itu ditegaskan oleh Widiada Gunakaya 19,

memang demikianlah kenyataannya bahwa pidana penjara dan

pelaksanaannya itu mengandung dampak negatif (impact), yaitu

”kesakitan” yang oleh Gesham M. Sykes dalam bukunya ”The

Society of Captives” disebut ”the pains of imprisonments” itu tidak

hanya diakibatkan oleh hilangnya kemerdekaan bergeraknya saja,

melainkan juga diakibatkan oleh wujud bagaimana caranya

kemerdekaan bergerak itu hilang selama pelaksanaan pidana

penjara. Pendapat Gesham M. Sykes yang dikutip oleh Widiada

Gunakaya tersebut, menjelaskan ”the pains of imprisonments” itu

dapat berbentuk atau berwujud kehilangan-kehilangan:


18
Ibid
19
A. Widiada Gunakaya S.A.,S.H., Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Penerbit
Armico, Bandung, 1988, Hal. 34.
21

1) loss of dignity and personality


2) loss of autonomy
3) loss of liberty
4) loss of security
5) loss of goods and service
6) loss of heterosexual relationship
7) loss of the coming future
8) loss of profit
9) loss of the functioning member
10)and other pains, misalnya yang diakibatkan oleh adanya moral
rejection yang datang dari masyarakat..”

Selanjutnya Widiada Gunakaya mengatakan : “The pains of

imprisonments” itu jelas merendahkan martabat dan eksistensi

narapidana sebagai manusia. Dalam hubungannya dengan setting

yang totaliter di dalam penjara, sekalipun berada di bawah payung

reformasi, resosialisasi maupun rehabilitasi. 20

Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

(pasal 1 ayat 6 UU No.12 Tahun 1995). Dengan demikian seorang

terdakwa manakala telah divonis oleh hakim dengan putusan

pidana penjara atau pidana hilang kemerdekaan bergerak, maka

terdakwa tersebut menjadi berstatus terpidana, sebagai tempat

menjalani masa hukuman atau pidana ini, terpidana ditempatkan

pada Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1

ayat 3 UU No.12 Tahun 1995 yaitu Lembaga Pemasyarakatan

yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk

20
Ibid, Hal. 38-39.
22

melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik

Pemasyarakatan.

Hakim sewaktu memvonis seseorang dengan pidana

penjara, tidak mencantumkan dalam vonisnya bahwa terpidana

penjara akan dihilangkan pula kemungkinan untuk melakukan

hubungan heteroseksual, tetapi dengan sendirinya hubungan

heteroseksual tersebut ikut tercabut bersamaan dengan pidana

penjara yang dijatuhkan, hal ini karena peraturan Lembaga

Pemasyarakatan yang ketat dan mengikat terpidana.

Didin Sudirman, Bc.IP., SH. berpendapat :

Apabila kebutuhan seksual penghuni Lapas tidak


diakomodir penyalurannya (secara normal) sebagai akibat
dari prinsip bahwa hal itu merupakan resiko yang melekat
pada perbuatan jahatnya (dengan demikian penghuni akan
merasakan ”derita-nya” dan oleh sebab itu fungsi retributive
dari proses pemidanaan sedang berjalan), maka situasi
yang demikian cenderung akan terjadi penyimpangan
seksual baik secara psikologis maupun secara sosiologis. 21

Dengan demikian dari beberapa pendapat di atas

pengertian dampak kehilangan hubungan dengan lawan jenis (loss

of heteroseksual relationships) diartikan sebagai akibat atau

pengaruh yang muncul dari suatu keadaan atau perlakuan karena

kehilangan pemenuhan kebutuhan heteroseksual.

B. Cuti Mengunjungi Keluarga Bagi Narapidana (pasal 14 ayat 1(j)

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995)

21
Warta Pemasyarakatan Nomor 10 – Th. III – Juli 2002, Hlm. 37-38.
23

1. Pengertian Cuti Mengunjungi Keluarga Bagi Narapidana

Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M-

03.PK.04.02 tahun 1991 tentang Cuti Mengunjungi Keluarga yang

selanjutnya disebut CMK adalah cuti yang diberikan oleh Kepala

LAPAS kepada Narapidana dan anak Didik Pemasyarakatan, berupa

izin untuk mengunjungi keluarga di tempat kediamannya selama

jangka waktu 2 (dua) hari atau 2 x 24 jam.

Dengan pidana penjara yang dijalani narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan, bukan berarti hak-haknya dicabut. Pemidanaan

pada hakikatnya mengasingkannya dari lingkungan masyarakat serta

sebagai pembebasan rasa bersalah dan sebagai penjeraan.

Penghukuman bukan bertujuan mencabut hak asasi yang melekat

pada dirinya sebagai manusia. Dalam Pasal 14 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 yang menetapkan, bahwa narapidana berhak:

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;


b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti mass media lainnya
yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang
dilakukannya;
h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang
tertentu lainnya;
i. mendapat pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
24

Kebutuhan seksual narapidana adalah persoalan yang

manusiawi. Sesuai konsep pemasyarakatan yang dianut di Indonesia,

narapidana hanya dirampas kemerdekaannya, bukan dibebani balas

dendam sehingga hak–hak asasinya sebagai manusia harus

diperhatikan termasuk dalam pemenuhan kebutuhan heteroseksual.

2. Tata Cara dan Syarat Cuti Mengunjungi Keluarga

Adapun tata cara dan syarat pelaksanaan CMK menurut

Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia NOMOR : M-01.PK.03.02 Tahun 2001 yaitu:

a. Izin CMK bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan,


dikeluarkan oleh Kepala LAPAS.
b. Izin CMK sebagaimana dimaksud harus diberitahukan kepada
Kepala BAPAS, setempat.
c. Dalam hal kediaman Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan tidak terdapat BAPAS, maka pemberitahuan
diberikan kepada Kepala LAPAS terdekat.

Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang dapat diberi

izin CMK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. masa pidana paling singkat 12 (dua belas) bulan bagi


Narapidana dan Anak Pidana;
b. telah menjalani status Anak Negara atau Anak Sipil paling
singkat 6 (enam) bulan;
c. tidak terlibat perkara lain yang dijelaskan dalam surat
keterangan dari pihak Kejaksaan Negeri setempat;
d. telah menjalani ½ (satu per dua) dari masa pidananya bagi
Narapidana dan Anak Pidana;
e. telah berada dalam tahapan pembinaan 6 (enam) bulan kedua
bagi Anak Negara dan Anak Sipil;
f. berkelakuan baik dan tidak pernah melakukan pelanggaran tata
tertib dalam tahun berjalan;
25

g. ada permintaan dari salah satu pihak keluarga yang harus


diketahui oleh Ketua RT dan Lurah atau Kepala Desa
setempat;
h. ada jaminan keamanan termasuk jaminan tidak akan melarikan
diri dari pihak keluarga yang diketahui oleh Ketua RT dan Lurah
atau Kepala Desa setempat, dan
i. telah layak untuk diberikan izin CMK berdasarkan
pertimbangan yang diberikan oleh Tim Pengamat
Pemasyarakatan atas dasar Laporan Penelitian
Kemasyarakatan dari BAPAS setempat, tentang pihak keluarga
yang akan menerima Narapidana atau anak Didik
Pemasyarakatan, keadaan lingkungan masyarakat sekitarnya
dan pihak-pihak lain yang ada hubungannya dengan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang
bersangkutan;

3. Sanksi

Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang

melaksanakan CMK dinyatakan melakukan pelanggaran disiplin

apabila :

a. tidak melapor kepada pihak Ketua RT atau pejabat


keamanan setempat;
b. melampaui batas waktu pelaksanaan CMK yang diizinkan;
c. melarikan diri atau menyalahgunakan pelaksanaan CMK
untuk kepentingan lain dalam bentuk apapun.

Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang melakukan

pelanggaran disiplin dikenakan hukuman disiplin sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hukuman disiplin dicatat dalam

Register F serta 1 (satu) tahun berikutnya tidak berhak mendapatkan

CMK. Pasal 47, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan;
26

(1) Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau


menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan
ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya.
(2) Jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat berupa :
a. tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi Narapidana
atau anak Pidana; dan atau
b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan
disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib :
a. memperlakukan Warga Binaan Pemasyarakatan secara
adil dan tidak bertindak sewenang-wenang; dan
b. mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib
LAPAS.
(4) Bagi Narapidana atau anak Pidana yang pernah dijatuhi
hukuman tutupan sunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a, apabila mengulangi pelanggaran atau berusaha
melarikan diri dapat dijatuhi lagi hukuman tutupan sunyi
paling lama 2 (dua) kali 6 (enam) hari.

4. Prosedur Tetap (PROTAP)

Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor :

E.22.PR.08.03 Tahun 2001 Tentang Prosedur Tetap Pelaksanaan

Tugas Pemasyarakatan. Dalam hal pengeluaran Narapidana / Anak

Didik Pemasyarakatan untuk melaksanakan Cuti Mengunjungi

Keluarga bagi Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan diberikan

sebagai upaya untuk memelihara kerukunan rumah tangga bagi

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan, berupa

kesempatan berkumpul bersama di tempat kediaman keluarganya

selama dalam jangka waktu 2 (dua) hari atau 2 x 24 jam (diluar waktu

dalam Pejalanan).
27

Unit kerja yang bertugas dalam pengeluaran Narapidana / Anak

Didik Pemasyarakatan untuk keperluan Cuti Mengunjungi Keluarga

(CMK) adalah : Kalapas, Pembinaan, TPP, Administrasi Kamtib, KPLP

dan Balai Pemasyarakatan (Bapas).

1. PEMBINAAN

a. Wali narapidana

Mengajukan nama-nama Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan yang telah mengajukan permohonan CMK

dan memenuhi syarat administratif dan fasilitatif kepada

Sekretaris TPP.

b. Sekretaris TPP

1) Menyiapkan berkas-berkas Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan yang bersangkutan, yaitu :

- Kartu Pembinaan.

- Litmas dari Bapas atau yang dilegalisir oleh

Bapas.

- Salinan Putusan Pengadilan (ekstrak vonis).

- Surat keterangan asli dari Kejaksaan bahwa

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan tidak

mempunyai perkara lagi.

- Salinan Daftar huruf F.

- Salinan Daftar perubahan atau pengurangan

masa pidana.
28

- Surat keterangan kesehatan dari dokter.

- Perhitungan eksiprasi assimilasi.

2) Membuat risalah singkat pembinaan Narapidana /

Anak Didik Pemasyarakatan yang akan disidangkan

yang meliputi kegiatan pembinaannya dan keadaan

perilakunya selama yang bersangkutan berada di

Lapas.

3) Membuat undangan dan menyampaikan undangan

singkat TPP yang dilampiri dengan risalah singkat

pembinaan Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada

angka 2).

2. TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP)

a. Melaksanakan sidang TPP.

b. Membuat berita acara persidangan yang ditanda tangani

oleh seluruh anggota yang hadir.

c. Membuat dan menyampaikan rekomendasi TPP kepada

Kalapas.

3. KALAPAS

a. Mempelajari rekomendasi TPP.

b. Memerintahkan kepada unit Pembinaan untuk membuat

keputusan CMK berdasarkan rekomendasi TPP dengan

tembusan kepada Bapas.


29

c. Memerintahkan kepada unit pembinaan untuk membuat

daftar Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan yang

akan diberikan CMK dan melaporkan jadual

pelaksanaan CMK Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan kepada Kakanwil setempat dengan

tembusan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

d. Memerintahkan kepada unit pembinaan untuk

melaksanakan CMK.

4. PEMBINAAN

Membuat dan menyerahkan surat pengantar beserta

tembusan keputusan CMK kepada unit Administrasi Kamtib.

5. ADMINISTRASI KAMTIB

a. Membuat surat perintah pengawalan berdasarkan

keputusan CMK.

b. Menyampaikan surat perintah pengawalan dan

keputusan CMK kepada Kepala KPLP.

6. KPLP

a. Petugas pengawal menyampaikan surat perintah dan

keputusan CMK kepada Karupam.

b. Karupam memerintahkan kepada petugas pengamanan

blok untuk memanggil Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan yang bersangkutan.

c. Petugas Pengamanan blok melakukan :


30

1) Mencocokka surat keputusan CMK dengan nama

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan yang

akan melaksanakan CMK.

2) Menyerahkan Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan kepada Karupam.

d. Karupam melakukan :

1) Mencocokkan surat keputusan CMK dengan

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan yang

bersangkutan.

2) Mencatat nama Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan, alamat tujuan CMK dan nama

pengawalnya pada buku laporan.

3) Mencatat nama Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan yang keluar pada buku

pengeluaran Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan dan ditandatangan oleh petugas

pengawalan

4) Petugas pengawal membawa buku pengeluaran

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan dan

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan yang

dikawalnya kepada petugas Portir.

e. Petugas Portir melakukan :


31

1) Meneliti dan menjaga agar jumlah Narapidana /

Anak Didik Pemasyarakatan yang berada di ruang

portir seimbang dengan kekuatan penjagaan pada

portir.

2) Setelah yakin dengan kekuatan penjagaan di portir,

petugas portir membuka pintu II dan memerintahkan

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan masuk

dengan tertib, kemudian mengunci kembali.

3) Mencocokkan dan mencatat nama Narapidana /

Anak Didik Pemasyarakatan, jam keluar / masuk,

tujuan CMK dan nama pengawalnya pada buku

laporan.

4) Mencatat nama Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan yang keluar pada papan lalu lintas

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan keluar

pintu.

5) Membuka Pintu I dan memerintahkan Narapidana /

Anak Didik Pemasyarakatan keluar pintu.

6) Menutup dan mengunci kembali pintu I dengan

sempurna.

f. Petugas pengawal mengantar / menjemput Narapidana /

Anak Didik Pemasyarakatan yang melaksanakan CMK

kepada / dari keluarganya dan mengisi serta


32

menandatangi berita acara serah terima Narapidana /

Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangutan dengan

disaksikan oleh ketua RT setempat.

g. Dalam hal pelaksanaan CMK tanpa pengawalan maka

Kepala KPLP membuat dan menandatangani berita

acara serah terima dengan pihak keluarga yang

menjemput / mengantar Narapidana / Anak Didik

Pemasyarakatan di Lapas.

Sehubungan dengan landasan dan sasaran berlakunya cuti

mengunjungi keluarga (CMK) sebagaimana dijelaskan diatas, maka

agar peraturan CMK dapat berfungsi dengan baik, diperlukan

keserasian dalam hubungan antara lima faktor yang oleh R. Otje

Salman, SH., disebutkan sebagai 5 faktor penegakkan hukum, yakni :

1. Hukumnya atau peraturan itu sendiri.


2. Penegak hukumnya.
3. Fasilitas.
4. Kepatuhan hukum dari warga masyarakat.
5. Kebudayaan.22

Berkaitan dengan salah satu hak narapidana yaitu cuti

mengunjungi keluarga (CMK) Petrus Irwan Panjaitan, S.H., M.H.

berpendapat ;

.... adanya pengakuan undang-undang terhadap hak-hak


narapidana, belum ada manfaatnya bagi pembinaan apabila
tidak diwujudkan; hal itu, sama halnya dengan kejahatan.
Persoalan sekarang, siapa sebenarnya yang memiliki
22
R. Otje Salman, SH., Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Armico,
Bandung, Cetakan keempat, 1989, Hlm.53.
33

wewenang untuk mengetahui, apakah benar hak-hak yang


dimiliki oleh napi yang diakui undang-undang itu dilindungi dan
dijalankan.23

Dalam konsideran Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan menyebutkan, bahwa pada hakikatnya

warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya

manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu

sistem pembinaan yang terpadu. Kalimat ini menegaskan, sistem

pemenjaraan yang sebelumnya diberlakukan bagi warga negara yang

melakukan tindak pidana tak sesuai lagi dengan dasar negara,

Pancasila. Oleh karena itu perlakukan yang baik dan manusiawi bagi

narapidana dalam proses pembinaan ketika menjalani masa

pidananya di Lembaga Pemasyarakatan harus tetap memperhatikan

hak asasi manusia-nya.

Sementara itu, berkaitan dengan Cuti Mengunjungi Keluarga

Didin Sudirman, Bc.IP., SH., mengutip pendapat Nitibaskara sebagai

berikut ;

.... berbagai penjara di negara-negara maju telah mengadakan


program pembinaan yang berupa sex visits (kesempatan bagi
narapidana yang tidak mempunyai istri untuk menyalurkan
kebutuhan seksualnya dengan teman kencannya atau dengan
pelacur di dalam Lapas), conjugal vicits (kesempatan bagi
narapidana untuk berhubungan dengan istrinya disalah satu
ruangan di dalam Lapas) dan family visits (program ini ditujukan
untuk keluarga dekat terpidana, baik pria maupun wanita
dewasa atau belum dewasa tidak semata-mata untuk
keperluan pemenuhan biologis, melainkan berperan sebagai
sublimasi). Program-program pembinaan tersebut dipercaya
23
Petrus Irwan Panjaitan, S.H., M.H., dan Pandapotan Simorangkir, S.H., Lembaga
Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta,1995, Hal.75.
34

oleh pakar bahwa penyimpangan seksual di penjara dapat


dikurangi apabila para terpidana diizinkan menerima
”kunjungan” suami istrinya.24

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kebutuhan

berhubungan heteroseksual narapidana terkait dengan persoalan hak

asasi manusia yang sesungguhnya merupakan persoalan seluruh

umat manusia di dunia. Hal ini karena setiap manusia dilahirkan

beserta martabat kemanusiaan yang dianugerahkan Tuhan

kepadanya. Di dalam hak asasi manusia terkandung martabat

kemanusiaan, yaitu hal-hal yang harus dipenuhi agar harga diri dan

nilai kemanusiaan yang ada pada pada diri seseorang dapat terjaga.

Menghargai dan melindungi martabat kemanusiaan merupakan tugas

bersama yang membutuhkan partisipasi berbagai pihak, termasuk

menghargai dan melindungi martabat narapidana di dalam Lembaga

Pemasyarakatan. Persoalan penegakan hak asasi manusia di

Lembaga Pemasyarakatan sungguh menjadi kepentingan bersama

yang patut dikedepankan.

BAB III

OBYEK PENELITIAN

LEMBAGA PEMASYARAKATAN PURWAKARTA

A. Sejarah, Lokasi dan Kondisi Bangunan

24
Op. Cit. Warta Pemasyarakatan,
35

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta diklasifikasikan sebagai

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB merupakan salah satu unit

pelaksana teknis pemasyarakatan yang berkedudukan di wilayah kerja

Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Propinsi

Jawa Barat.

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta berdiri pada Tahun 1872

merupakan bangunan penjara peninggalan zaman penjajahan

Belanda. Bangunan penjara ini merupakan jawatan Kepenjaraan yang

dulunya diperuntukkan untuk menghukum orang-orang yang

merupakan penjahat politik dan penjahat kriminal memang digunakan

terutama bagi orang-orang yang menentang kebijakan pemerintah

Belanda kala itu.

Perkembangan selanjutnya setelah Belanda kalah perang

dengan Jepang, penggunaan penjara ini masih sama yaitu untuk

memenjarakan orang-orang yang dianggap musuh oleh rezim yang

berkuasa saat itu. Pada waktu Belanda menjadi penjajah maka penjara

ini dipergunakan untuk menghukum kaum pribumi dan musuh-musuh

Belanda seperti Jepang dan lainnya agar tidak menentang kebijakan

yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Begitu pun

sebaliknya ketika Jepang menguasai Indonesia maka penjara ini

dipergunakan untuk menghukum orang-orang pribumi dan orang-orang

Belanda yang menjadi musuh Jepang pada saat itu. Hal seperti itu

terjadi sampai pada masa kemerdekaan negara Indonesia pada


36

tanggal 17 Agustus 1945, yang pada akhirnya penjara ini menjadi milik

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai dengan tahun 1964

fungsi penjara ini masih sama yaitu untuk memidana orang.

Setelah tahun 1964 penjara ini masih menjadi hak milik negara

Indonesia hanya namanya saja yang diganti menjadi Lembaga

Pemasyarakatan, yaitu setelah diadakannya Konferensi Djawatan

kepenjaraan di Lembang Bandung pada tanggal 27 April 1964 yang

dihadiri oleh Kepala-Kepala Kepenjaraan yang antara lain diputuskan

untuk merubah system kepenjaraan menjadi sistaem pemasyarakatan,

maka sejak itu pula penjara berubah menjadi Lembaga

Pemasyarakatan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia, Nomor: M.01.PR.07.03 tahun 1985 tentang Struktur

Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan dan Keputusan

Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,

Nomor: M.05.PR.07.03 Tahun 2003 tanggal 16 April 2003 tentang

Perubahan Status Rumah Tahanan Negara menjadi Lembaga

Pemasyarakatan, salah satunya adalah yang tadinya Rumah Tahanan

Negara Purwakarta berubah status menjadi Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta.

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta beralamat di Jalan Mr.

Dr. Kusumahatmaja No. 14 Telp. (0264) 200170 Fax. 211369


37

Purwakarta. Mempunyai tugas melaksanakan pemasyarakatan

narapidana / anak didik, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

a Sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Nagri Tengah;

b Sebelah Selatan berbatasan Alun-alun Kiansantang dan

Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Purwakarta.

c Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Nagri Kaler;

d Sebelah Barat berbatasan dengan Masjid Agung

Purwakarta.

Bangunan gedung mengalami renovasi, namun tidak merubah

bentuk posisi kamar penghuni. Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

telah beberapa kali melakukan renovasi, renovasi terakhir pada Tahun

2006 yaitu pada bangunan kamar penghuni Blok A dengan menambah

satu lantai. Gedung Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta dibangun

diatas tanah seluas : 6500 M 2, dengan luas bangunan : 5023 M 2

kondisi bangunan terpelihara baik, dan terurus. Daya muat formil

Lapas Purwakarta 250 orang, daya muat riil 467 orang rata-rata sehari.

B. Sistem Pemasyarakatan

Visi sistem pemasyarakatan yaitu:25 “memulihkan kesatuan

hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan

pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan mahkluk

25
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
manusia Republik Indonesia, “Pemasyarakatan Dalam Prospeksi Membangun
Manusia Mandiri” (Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Tahun
2001-2005)
38

Tuhan Yang Maha Esa”. Demikian halnya dengan misinya adalah:

“melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan

warga binaan pemasyarakatan dalam kerangka penegakan hukum,

pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan

perlindungan hak asasi manusia”. Oleh sebab itu Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta mempunyai fungsi:

a. Melakukan pembinaan narapidana / anak didik;


b. Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan
mengelola hasil kerja;
c. Melakukan bimbingan sosial / kerohanian narapidana /
anak didik;
d. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib
lembaga pemasyarakatan;
e. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga. 26

Tujuan yang ingin dicapai dalam pembinaan narapidana, yaitu

“membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia

seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung

jawab”.27

Sistem Pembinaan Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan

azas:

1. pengayoman
2. persamaan perlakuan dan pelayanan
3. pendidikan
4. pembimbingan
5. penghormatan Harkat dan Martabat manusia
26
Lihat Pasal 3, Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.01.PR.07.03 Tahun 1985
27
Lihat pasal 3 UU No.12 Tahun 1995
39

6. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya


penderitaan, dan
7. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga
dan orang-orang tertentu.28

Sasaran pembinaan dan pembimbingan warga binaan

pemasyarakatan adalah meningkatkan kualitas warga binaan

pemasyarakatan yang pada awalnya sebagian atau seluruhnya dalam

kondisi kurang, yaitu:

a. Kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;


b. Kualitas intelektual;
c. Kualitas sikap dan perilaku;
d. Kualitas profesionalisme / keterampilan; dan
e. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani.29

C. Organisasi dan Tata Kerja

Adapun struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI

No.M.01.PR.07.03 Tahun 1985, yaitu;

Kepala Lapas
Purwakarta

TPP Kasubag TU

Kaur Kepegawaian Kaur Umum


& Keuangan
28
Lihat pasal 5 UU No.12 Tahun 1995
29
Ibid
40

Kasi Kasi Adm


KPLP Kamtib
Binadiker

Kasubsi
Kasubsi Keamanan
Kegiatan Kerja
Rupam I

Rupan II Kasubsi Kasubsi


Perawatan Pelaporan
Rupan II
Kasubsi
Rregistrasi
Rupan II

Sumber : Kasubbag Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta dipimpin oleh seorang

Kepala, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh;

a). Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata

usaha dan rumah tangga lembaga pemasyarakatan dan

mempunyai fungsi melakukan urusan kepegawaian dan

melakukan urusan surat menyurat, perlengkapan dan rumah

tangga, yang membawahi:

1. Urusan Kepegawaian dan Keuangan mempunyai tugas

melakukan urusan kepegawaian dan keuangan;

2. Urusan Umum mempunyai tugas melakukan urusan surat

menyurat, perlengkapan dan rumah tangga;

b). Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik dan Kegiatan Kerja

mempunyai tugas memberikan bimbingan pemasyarakatan


41

narapidana / anak didik dan bimbingan kerja, mempunyai fungsi

melakukan registrasi dan membuat statistik, dokumentasi sidik jari

serta memberikan bimbingan kemasyarakatan bagi narapidana /

anak didik, mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi

narapidana / anak didik, memberikan bimbingan kerja,

mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan mengelola hasil kerja,

yang membawahi:

1. Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan

mempunyai tugas melakukan pencatatan, membuat statistik,

dokumentasi sidik jari serta memberikan bimbingan dan

penyuluhan rohani, memberikan latihan olah raga,

peningkatan pengetahuan, asimilasi, cuti dan penglepasan

narapidana / anak didik;

2. Sub Seksi Perawatan Narapidana / Anak Didik mempunyai

tugas mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi

narapidana / anak didik;

3. Sub Seksi Kegiatan Kerja mempunyai tugas memberikan

bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan

mengelola hasil kerja;

c). Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib mempunyai tugas

dan fungsi mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan

pembagian tugas pengamanan, menerima laporan harian dan

berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta


42

menyusun laporan berkala dibidang keamanan dan menegakkan

tata tertib, terdiri dari;

1. Sub Seksi Keamanan mempunyai tugas mengatur jadwal

tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas

pengamanan;

2. Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib mempunyai tugas

menerima laporan harian dan berita acara dari satuan

pengamanan yang bertugas serta menyusun laporan berkala

dibidang keamanan dan menegakkan tata tertib;

d). Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai

tugas menjaga keamanan dan ketertiban lembaga

pemasyarakatan, mempunyai fungsi melakukan penjagaan dan

pengawasan terhadap narapidana / anak didik, melakukan

pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

D. Keadaan Pegawai / Petugas

Jumlah pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

sebanyak 67 orang pegawai. Berikut data keadaan pegawai Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta berdasarkan pendidikan, golongan dan

posisi tugas.

Tabel 3
Keadaan Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tanggal 31 Oktober 2007

No Tingkat Pendidikan Jumlah


43

1 Sarjana Strata 2 (S2) 2 Orang


2 Sarjana Strata 1 (S1) 5 Orang
3 Diploma IV 1 Orang
4 Akademi / Diploma III 5 Orang
5 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 53 Orang
6 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 1 Orang
7 Sekolah Dasar -
Jumlah 67 Orang

Sumber : Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

Tabel 4
Keadaan Pegawai Berdasarkan Golongan Kepangkatan
Tanggal 31 Oktober 2007

No Golongan Kepangkatan Jumlah

1 Golongan Kepangkatan IV 1 Orang


2 Golongan Kepangkatan III 35 Orang
3 Golongan Kepangkatan II 31 Orang
4 Golongan Kepangkatan I -
Jumlah 67 Orang

Sumber : Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

Tabel 5
Keadaan Pegawai Berdasarkan Penempatan Dalam Tugas
Tanggal 31 Oktober 2007

No Penempatan Dalam Tugas Jumlah

1 Kalapas 1 Orang
2 Sub Bagian Tata Usaha 10 Orang
3 Seksi Pembinaan / Binadik 13 Orang
4 Seksi Administrasi Kamtib 6 Orang
5 Kesatuan Pengamanan Lapas 37 Orang
Jumlah 67 Orang
Sumber : Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta
44

E. Keadaan Penghuni

Keadaan penghuni keseluruhan pada bulan Oktober 2007 di

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta sebanyak 449 orang, dengan

perincian 323 orang narapidana dan 126 orang tahanan. Tabel berikut

ini menunjukkan jumlah penghuni yaitu narapidana dan tahanan.

Tabel 6
Klasifikasi Penghuni Berdasarkan Lama Pidana,
Status Penahanan dan Jenis Kelamin
Tanggal 31 Oktober 2007

JENIS KELAMIN
NO LAMA PIDANA DAN STATUS JUMLAH
P W

1 B1 (MP 1 TAHUN LEBIH)


270 6 276
2 BIIa (MP 3 BLN LEBIH S/D 1 TAHUN)
45 - 45
3 BIIb (MP 1 HARI S/D 3 BULAN)
- - -
4 BIIIs(PENGGANTI DENDA)
2 - 2
5 AI (TAHANAN KEPOLISIAN)
40 2 42
6 AII (TAHANAN KEJAKSAAAN)
30 - 30
7 AIII (TAHANAN PN)
47 3 50
8 AIV (TAHANAN PT)
2 - 2
9 AV (TAHANAN MA)
2 - 2

JUMLAH 438 11 449


Sumber : Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga
Pemasyarakatan Purwakarta.

Tabel 7
      J u m l a h  

Pasal
N0 Jenis Kejahatan Tahanan Narapidana Ket
KUHP
    P W P W  
1 2 3 4 5 6 7 8

1 Kejahatan politik 104 - 129          

2 Kejahatan thd Kepala Negara 130 - 139          

3 Kejahatan terhadap Ketertiban 154 - 181 5   11   170 KUHP

4 Pembakaran 187 - 188     1    

5 Penyuapan 209 - 210          


45

6 Kejahatan Mata Uang 244 - 251     11   245 KUHP

7 Pemalsuan surat/ Materai 253 - 275     1    

8 Kejahatan susila 281 - 297 5   14    

9 Perjudian 303     3    
10 Penculikan 324 - 336 1   2    

11 Pembunuhan 338 - 350     5   338 KUHP

12 Penganiayaan 351 - 356 4 1 7   351 KUHP

13 Pencurian 362 - 364 56 1 68    

14 Perampokan 365 2   33    

15 Memeras / Mengancam 368 - 369 1   2    

16 Penggelapan 372 - 375 7 2 23 1 372 KUHP

17 Penipuan 378 - 395 7 1 38 3 378 KUHP

18 Penadahan 480 - 481 2   2    

19 Perlindungan Anak UU 23/02 2   10    

20 Kejahatan Narkotika UU 22/97 12   75 1 88

21 Kejahatan Psikotropika UU 05/97 6   7 1 14

22 Kejahatan Korupsi UU 31/99 2   1    

23 Kehutanan UU 41/99 8   2    

24 Kecelakaan menyebabkan mati 359 - 361 1       359 KUHP

25 Senjata Tajam UU Darurat UU 12/51     1    

26 Kejahatan dalam Jabatan 413 - 436          

  J u m l a h   121 5 317 6 449


DATA TAHANAN / NARAPIDANA MENURUT JENIS KEJAHATAN
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN PURWAKARTA
TANGGAL : 31 OKTOBER 2007

Sumber : Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga


Pemasyarakatan Purwakarta.

Tabel 8
JUMLAH PENGHUNI BERDASARKAN AGAMA
BULAN : OKTOBER 2007

PENGHUNI

NO AGAMA ANAK
NAPI TAHANAN JUMLAH JUMLAH
DIDIK
KESELURUHAN
P W P W P W P W
                   
1 ISLAM 285 6 126 4 13  0 424 10 434
46

                   
2 KRISTEN 14 1 0       14 1 15
                     
3 KATHOLIK             0 0 0
                     
4 HINDU             0 0 0
                     
5 BUDHA             0 0 0
                     
6 LAIN-LAIN                  
                     
JUMLAH 299 7 126 4 13 0 438 11 449

Sumber : Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga


Pemasyarakatan Purwakarta.

F. Fasilitas

a. Sarana Pengamanan

Agar ketertiban dan keamanan di dalam Lembaga dapat

terlaksana dengan baik, maka diperlukan sarana dan prasarana

Pengamanan yang memadai. Untuk itu pihak Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Purwakarta dilengkapi dengan berbagai

sarana yang tercantum pada tabel 9.

Tabel 9
Daftar Sarana dan Prasarana Penunjang Pengamanan

No Nama Barang Jumlah Keterangan

1. Handy Talky 12 Baik


2. Pemadam Kebakaran 3 Baik
3. Lonceng Isyarat 4 Baik
4. Jam Kontrol 3 Baik
5. Lampu Senter 6 Baik
47

6. Metal Detektor 20 Baik


7. Borgol 93 Baik
8. Tongkat Listrik 1 Baik
9 Helmet 20 Baik
10. Rompi Huru-hara 20 Baik
11. Tongkat Karet 2 Baik
12. Tameng Perisai 20 Baik
13. Telepon 2 Baik
14. Denah Lapas 2 Baik
15. Lemari Senjata 1 Baik
16. Kunci Gembok 300 Baik
17. Tongkat Listrik 2 Rusak
18. Senjata Genggam Revolver 4 Baik
19. Jumlah Amunisi 102 89 Baik 13 Rusak
20. Pistol Bernadely - -
21. Jumlah Amunisi - -
22. Kaliber 32 CA 3 Baik
23. Jumlah Amunisi 120 Baik
24. Senjata Otomatis Ringan - -
25. Jumlah Amunisi - -
26. Karabyn 2 1 Baik 1 Rusak
27. Jumlah Amunisi 125 113 Baik 12 rusak
28. Gerand - -
29. Jumlah Amunisi - -
32. Gas Air Mata 4 Baik

Sumber : Sub Seksi Keamanan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Purwakarta

b. Sarana Pembinaan
48

Sarana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta ini

berupa :

1. sarana ibadah : terdapat mesjid, mushola, dan gereja

2. sarana olah raga : tersedia lapangan volley, ruangan lapangan bulu

tangkis, basket, tenis meja.

3. sarana kegiatan kerja : terdapat 6 buah mesin bubut kayu, 6 buah

mesin jahit, seperangakat peralatan las listrik, 10 buah peralatan

cetak pot bunga, seperangkat alat pembuatan kesedan,

seperangkat alat sablon.

4. sarana kesenian : seperangkat alat band, seperangkat gamelan.

5. sarana perpustakaan : menyedikan buku-buku agama, buku-buku

umum, majalah, kitab AL Quran, Novel.

Masalah makanan bagi para Narapidana merupakan salah satu

kebutuhan pokok selama mereka berada dalam Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta. Pihak Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta dalam tiap-tiap bulannya menguarkan biaya untuk

kebutuhan makan narapidana berkisar antara 19 sampai 24 juta, yang

kesemuanya merupakan anggaran dari pemerintah pusat.

(wawancara dengan petugas perawatan Lembaga Pemasyarakatan

pada tanggal 20 Oktober 2007)

c. Sarana Perawatan, Kesehatan dan Pendidikan

Setiap narapidana sesuai UU N0 12 Th 1995 pada dasarnya

mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani


49

maupun jasmani serta pendidikan dan pengajaran, namun karena yang

bersangkutan berstatus narapidana maka pelaksanaannya dalam

batas-batas yang diijinkan. Dalam rangka menumbuhkembangkan

kelakuan budi pekerti, sehat jasmani dan rohani, daya nalar serta

kepekaan sosial, maka dilaksanakan program pembinaan narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta yang mengacu pada Keputusan

Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Nomor: M.02-PK.04.10 tahun

1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana / Tahanan, antara lain:

1. Pembinaan Kepribadian, terdiri dari:

a. Pembinaan Kesadaran Beragama, dilakukan tiap hari Selasa

bekerja sama dengan Yayasan Baitul Maal Pupuk Kujang –

Cikampek, tiap hari Kamis dengan Departemen Agama

setempat. Melalui pembinaan kesadaran beragama diharapkan

mereka akan sadar bahwa dengan mendekatkan diri kepada

Tuhan Yang Maha Esa akan ditemukan kedamaian, dan hidup

menjadi bermakna dengan melakukan ajaran agama secara baik.

b. Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, dilaksanakan

melalui upacara setiap hari senin, upacara peringatan hari-hari

besar nasional, upacara hari kesadaran nasional setiap tanggal

17, diharapkan menyadarkan mereka agar menjadi warga negara

yang baik dapat berbakti bagi bangsa dan negaranya.

c. Pembinaan Kemampuan Intelektual, agar pengetahuan serta

kemampuan berpikir narapidana semakin meningkat sehingga


50

dapat melakukan kegiatan yang positif selama dalam pembinaan

dilaksanakan melalui kelompok belajar paket A, B dan C

bekerjasama dengan Dinas Pendidikan setempat.

d. Pembinaan Kesadaran Hukum melalui penyuluhan dan dialog

interaktif bertujuan untuk mencapai tingkat kesadaran hukum

yang tinggi, narapidana menyadari akan hak dan kewajibannya

dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan.

e. Pembinaan Mengintegrasikan Diri Dengan Masyarakat,

dilaksanakan melalui Kunjungan, Asimilasi ke dalam atau ke luar,

Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat dan Cuti

Menjelang Bebas. Pengertian dari keluarga dan masyarakat

sangat diperlukan agar narapidana tidak merasakan suatu

kelainan dari masyarakat dimana mereka akan kembali berada

menjadi anggotanya.

2. Pembinaan Kemandirian, di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

kegiatan pembinaan kemandirian antara lain dilakukan melalui

pembuatan pot bunga, pembuatan, kesed dari sabut kelapa,

pembuatan sapu ijuk, pembuatan karbol wangi, menjahit,

pencukuran rambut, pertukangan kayu, las listrik, sablon, dll .

3. Pembinaan Jasmani, Rekreasi dan Perawatan Kesehatan. Dalam

rangka menjaga kondisi kesehatan jasmani, kepada narapidana

diberikan kegiatan olah raga, kesenian, dan rekreasi di dalam

lembaga pemasyarakatan sesuai dengan fasilitas yang tersedia,


51

Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) dilakukan tiap hari Rabu dan

Jumat pagi secara bersama-sama yang dilakukan di lapangan.

Adapun perawatan kesehatan dengan memberikan pelayanan

dokter yang bekerja sama dengan Pusat Kesehatan Masyarakat

setempat.

G. Pola Kehidupan Narapidana

a. Karakteristik Penempatan

Penempatan bagi Narapidana tidak mengalami pembedaan,

artinya tidak ada penempatan berdasarkan kriteria apapun. Namun

bagi Narapidana baru masuk akan dikarantina terlebih dahulu,

ditempatkan secara terpisah selama seminggu.

b. Karakteristik Perlakuan

1. Keamanan

Penjagaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta ini, terdapat 4 regu pengamanan, masing-masing regu

berkekuatan 9 orang. yaitu yang ditempatkan di pos atas (2 orang)

dan yang ditempatkan di bawah terdiri dari (1 orang) Komandan

regu dan (1 orang) wakil komandan serta di blok lingkungan (5

orang). Dari data yang penulis peroleh selama Tahun 2007 ini

keadaan keamanan di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

dapat dikatakan kondusif.

Tabel 10
Rekapitulasi Gangguan Keamanan
52

Tanggal 31 Oktober 2007

No Gangguan Keamanan Jumlah Keterangan

1. Melarikan diri
2. Perkelahian
3. Pembunuhan NIHIL NIHIL
4. Memeras
5. Narkoba

Sumber : Kasubsi Keamanan Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta.

2. Tata Tertib dan Aturan

Para Narapidana telah dijadwalkan kegiatan sehari-harinya,

antara lain, sebagai berikut:

- mulai dari bangun pagi

- melakukan senam pagi

- sekolah Agama Islam

- kegiatan Kesenian

- ceramah yang dilakukan oleh Warga Binaan maupun dari luar

- sholat Dzuhur dan Ashar bersama

- acara makan (pagi,siang,malam)

- apel (pengecekkan)

- dimasukan kedalam sel (sekitar pukul 17.00 WIB)

ketika masuk dan keluar semua Narapidana harus tepat waktu dan

juga pada saat makan harus berada ditempat.

3. Perawatan Sosial
53

Untuk perawatan medis, terdapat raung kesehatan, dan juga

petugas kesehatan, dan obat-obatan dan apabila Narapidana

mengalami sakit yang parah akan dibawa ke Rumah Sakit di luar

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta.

Kegiatan perawatan, kesehatan dan pendidikan adalah

bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pola pembinaan

narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan yang pada

hakekatnya agar mereka menjadi manusia yang berfungsi sebagai

mahluk individu dan mahluk sosial secara optimal yang

bertanggung jawab dan taat hukum.

Adapun jadwal waktu berkunjung bagi Tahanan /

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta diberikan

setiap hari. Dari pukul 08.00 sampai pukul 16.30. Kebijakan ini

diambil dengan pertimbangan bahwa anggota keluarga tahanan /

narapidana yang ingin berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan

biasanya mempunyai waktu luang ketika hari liburan karena

kesibukan rutinitas kerja mereka.


54

TABEL 11
JADWAL KEGIATAN PEMBINAAN NARAPIDANA / TAHANAN
No Waktu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu

1 05.00 – 07.00 Sholat/Bangun Pagi Sholat/Bangun Pagi Sholat/Bangun Pagi Sholat/Bangun Pagi Sholat/Bangun Pagi Sholat/Bangun Pagi Sholat/Bangun Pagi
2 07.00 – 07.30 Apel & Makan Pagi Apel & Makan Pagi Apel & Makan Pagi Apel & Makan Pagi Apel & Makan Pagi Apel & Makan Pagi Apel & Makan Pagi
3 07.30 – 08.00 Upacara Bendera Senam Senam Senam Senam Senam Rekreasi/Hiburan
4 08.00 – 09.00 Tafsir Quran Kegiatan Kerja Aqidah/Akhlak Aqidah/Akhlak Jumat Bersih Fiqih/Tauhid Rekreasi/Hiburan
5 09.00 – 10.00 Kegiatan Kerja Kegiatan Kerja Kegiatan Kerja Kegiatan Kerja Jumat Bersih Kegiatan Kerja Rekreasi/Hiburan
6 10.00 – 11.00 Kegiatan Kerja Fiqih/Tauhid Kegiatan Kerja Kegiatan Kerja Jumat Bersih Kegiatan Kerja Rekreasi/Hiburan
7 11.00 – 12.00 Kegiatan Kerja Kegiatan Kerja Pengajian Pengajian Jumat Bersih Kegiatan Kerja Rekreasi/Hiburan
8 12.00 – 13.00 Apel/Sholat Apel/Sholat Apel/Sholat Apel/Sholat Apel/Sholat Apel/Sholat Apel/Sholat
9 13.00 – 15.00 Makan/Istirahat Makan/Istirahat Makan/Istirahat Makan/Istirahat Makan/Istirahat Makan/Istirahat Makan/Istirahat
10 15.00 – 17.00 Olah Raga Sore Olah Raga Sore Olah Raga Sore Olah Raga Sore Olah Raga Sore Olah Raga Sore Olah Raga Sore
11 17.00 – 19.00 ISOMA ISOMA ISOMA ISOMA ISOMA ISOMA ISOMA
12 19.00 – 19.30 Apel Malam Apel Malam Apel Malam Apel Malam Apel Malam Apel Malam Apel Malam
13 19.00 – 05.00 Istirahat Istirahat Istirahat Istirahat Istirahat Istirahat Istirahat

LEMBAGA PEMASYARAKATAN PURWAKARTA

Sumber : Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta.


H. Proses Pemasyarakatan Narapidana

Proses pemasyarakatan narapidana dibagi menjadi empat

tahap, yaitu:30

Tahap I : Tahap Maximum Security, sampai batas 1/3 dari masa

pidana yang sebenarnya.

Tahap II : Tahap Medium Security, sampai batas ½ dari masa

pidana yang sebenarnya.

Tahap III : Tahap Minimum Security, sampai batas 2/3 masa pidana

yang sebenarnya.

Tahap IV : Tahap Integrasi, dari selesainya 2/3 masa pidana yang

sebenarnya sampai habis masa pidananya.

Pentahapan Proses Pemasyarakatan Narapidana tersebut

dijabarkan sebagai berikut:

1. Tahap Pertama, terhadap setiap narapidana yang masuk di

Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui

segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk: sebab-sebabnya ia

melakukan pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang

dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman

sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain

yang telah menangani perkaranya. Pembinaan tahap ini disebut

pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian

dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan


30
Berdasarkan SE. No. Kp 10.13/3/1/ tanggal 8 Februari 1965, telah ditetapkan
pemasyarakatan sebagai proses dalam pembinaan dan dilaksankan melalui empat
tahap.
56

pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang

waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai

narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya.

Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam Lembaga

Pemasyarakatan dan pengawasannya maksimum (maximum security).

2. Tahap Kedua, jika proses pembinaan terhadap narapidana

yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa

pidana yang sebenarnya dan menurut pengamatan Tim Pengamat

Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain

menunjukkan keinsafan, perbaikan disiplin dan patuh pada peraturan

tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan, maka kepada

narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan

melalui pengawasan medium security.

3. Tahap Ketiga, jika proses pembinaan terhadap narapidana

telah dijalani 1/2 (setengah) dari masa pidana yang sebenarnya dan

menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan telah dicapai cukup

kemajuan-kemajuan, baik secara fisik ataupun mental dan juga segi

keterampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas

dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian yaitu:

pertama, waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai 1/2

(setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih

dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan

pengawasannya sudah memasuki tahap medium security. Kedua,


57

dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3

(dua pertiga) masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana

sudah memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan

Pembebasan Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan

pengawasan minimum security.

4. Tahap Keempat, jika proses pembinaan telah menjalani 2/3

(dua pertiga) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-

kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pembinaan pada tahap ini disebut

pembinaan tahap akhir yaitu kegiatan berupa perencanaan dan

pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap

lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana

yang bersangkutan. Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana

yang memenuhi syarat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau

Pembebasan Bersyarat. Proses pemasyarakatan narapidana dilalui

tahap demi tahap, oleh Soegondo 31 proses pemasyarakatan ini harus

dilalui oleh setiap narapidana sejak masuk Lembaga Pemasyarakatan

sampai lepas yang sesungguhnya kembali ke tengah-tengah

masyarakat.

Dalam seluruh proses pembinaan yang dilakukan selalu

melibatkan anggota TPP. Anggota TPP melaksanakan sidang untuk

menentukan apakah WBP tersebut layak untuk memasuki ke tahap

pembinaan berikutnya. Adapun realisasi dan rencana program


31
Soegondo, Peranan Sistem Pemasyarakatan Dalam Penegakan Hukum di
Indonesia Menyongsong Pembangunan Jangka Panjang II, Hasil Seminar tentang
Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Semarang: 1994, hal. 10.
58

Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat, dapat

dilihat pada tabel berikut ;

Tabel 12
Realisasi dan Rencana Pengusulan PB, CMB ,CB.
Di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta
Tanggal 1 Oktober 2007

RENCANA PENGUSULAN
SEPTEMBER
NO OKTOBER NOPEMBER DESEMBER JUMLAH
PB CMB CB PB CMB CB PB CMB CB PB CMB CB

                           
1 9 2 - 6 2 10 6 2 8 10 1 12 68

                           

Keterangan :
PB : Pembebasan Bersyarat
CMB : Cuti Menjelang Bebas
CB : Cuti Bersyarat

Dalam mendukung Proses Pembinaan warga binaan

pemasyarakatan (WBP), Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

memberikan kegiatan kerja, antara lain :

a. Menjahit

b. Pembuatan Pot Bunga

c. Pengelasan

d. Perkayuan

e. Budidaya Tanaman

Disamping kegiatan kerja, Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta juga memberikan bekal rohani yaitu :


59

a. Shalat berjamaah

b. Baca Al-Qur’an

c. Ceramah-ceramah agama

d. Kebaktian

Selain itu di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta juga

diberikan pendidikan Budi Pekerti dan Kejar Paket A, B, C. Untuk

kegiatan kesenian yang dapat berjalan antara lain :

a. Karawitan

b. Qasidah

c. Paduan suara

d. Grup Band.

Dalam rangka program kesehatan jasmani Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta mengadakan kegiatan olahraga berupa

olahraga bola volley, bola basket, futsal, bulutangkis, fitness dan

senam kesegaran jasmani.


60

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Tabel 13 Jenis Kelamin Responden

No Jenis Kelamin Jumlah %


1 Laki – laki 49 89.09 %
2 Perempuan 6 10.91 %
55 100 %

Dari 55 responden, terdapat 89.09 % (49 responden)

Narapidana dengan jenis kelamin laki-laki, sedangkan yang berjenis

kelamin perempuan 10.91 % (6 responden).

Tabel 14 Usia Responden

No Usia Jumlah %
1 21 – 30 24 43.64 %
2 31 – 40 21 38.18 %
3 41 – 50 7 12.73 %
4 51 – 60 3 5.45 %
55 100 %

Dari 55 responden, terdapat 43.64% (24 responden)

Narapidana dengan umur antara 21-30 tahun, 38.18 % (21 responden)

Narapidana dengan umur berkisar dari 31-40 tahun, Narapidana yang

berumur 41-50 tahun terdapat 12.73 % (7 responden), serta terdapat

5.45 % (3 respnden) Narapidana yang berumur antara 51-60 tahun.

Tabel 15 Agama Responden


61

No Agama Jumlah %
1 Islam 50 90.90%
2 Kristen Protestan 4 7.28%
3 Kristen Katolik 1 1.82%
4 Budha - -
55 100%

Sebagian besar dari responden mayoritas adalah beragama

Islam sebanyak 90.90% (50 Narapidana) dan hanya 5 orang yang

beragama Kristen.

Tabel 16 Pendidikan Responden

No Pendidikan Jumlah %
1 SD 11 20%
2 SMP 11 20%
3 SMA 26 47.27%
3 PT 7 12.73%
55 100%

Sejumlah 20%, Narapidana yang mencapai pendidikan sampai

tingkat SD, 20%, Narapidana mencapai tingkat SMP dan 47.27%,

Narapidana yang mencapai pendidikan SMA serta 12.73% Narapidana

yang mencapai Perguruan Tinggi.

Tabel 17 Pekerjaan Responden

No Pekerjaan Jumlah %
1 Pegawai Negeri 3 5.46%
2 Pegawai Swasta 15 27.27%
3 Pedagang 23 41.82%
4 Tidak Bekerja 14 25.45%
55 100%

Narapidana yang memiliki pekerjaan sebagai Pegawai Negeri

hanya terdapat 5.46%, sejumlah 27.27% narapidana sebagai Pegawai

Swasta dan sejumlah 41.82% narapidana dengan mata pencaharian


62

berdagang atau berwiraswasta dan yang tidak memiliki pekerjaan

terdapat 25.45%.

Tabel 18 Tindakan Pelanggaran

No Pasal Jenis Pelanggaran Jumlah %


1 PS. 245 Pengedaran uang palsu 1 1.82%
2 PS. 285 Perkosaan (Susila) 5 9.09%
3 PS. 332 Melarikan perempuan 1 1.82%
4 PS. 338-350 Pembunuhan 2 3.64%
5 PS. 351-352 Penganiayaan 1 1.82%
6 PS. 362-363 Pencurian 4 7.27%
7 PS. 365 Pencurian dengan kekerasan 6 10.91%
8 PS. 378 Perbuatan curang (penipuan) 10 18.18%
9 PS. 170 Perkelahian 1 1.82%
10 PS. 480 Penadahan 3 5.45%
11 PS. 359 Kelalaian lalulintas 1 1.82%
12 UU 31/99 Korupsi 1 1.82%
13 UU. 19/76 Narkotika 19 34.54%
55 100

Dari tabel diatas terlihat bahwa jenis pelanggaran narkotika

memiliki angka yang paling banyak sejumlah % (19 orang), tempat

kedua ditempati dengan jenis pelanggaran penipuan sejumlah 18.18%,

dan tempat ketiga ditempati jenis pelanggaran dengan pasal 365

(pencurian dengan kekerasan) sejumlah 10.91% (6 Narapidana).

Tabel 19 Lamanya Masa Hukuman

Lamanya Masa
No Jumlah %
Hukuman
1 1 tahun-5 tahun 35 63.64%
2 6 tahun-10 tahun 14 25.45%
3 11 tahun-15 tahun 5 9.09%
4 16 tahun-20 tahun 1 1.82%
5 21 tahun-25 tahun - -
55 100%
63

Narapidana yang mendapatkan masa hukuman antara 1 tahun

– 5 tahun mencapai 63.64%, 25.45% mendapatkan masa hukuman

antara 6 tahun – 10 tahun, dan mereka yang mendapatkan masa

hukuman antara 11 tahun – 15 tahun sebanyak 9.09%, yang masa

hukumannya 16 tahun – 20 tahun terdapat 1.82% dan Narapidana

dengan masa hukuman antara 21 tahun – 25 tahun tidak ada.

Tabel 20 Lamanya Narapidana Berada Di Lembaga Pemasyarakatan

No Lamanya di LP Jumlah %
1 Dibawah 1 tahun 28 50.91%
2 1 tahun – 5 tahun 27 49.09%
3 6 tahun – 10 tahun - -
4 11 tahun – 15 tahun - -
55 100%

Lamanya masa hukumanantara 1 tahun – 5 tahun menempati

jumlah terbanyak sebanyak 50.91% (28 Narapidana) dan di bawah 1

tahun sejumlah 49.09% (27 Narapidana). Narapidana yang berada di

LAPAS selama antara 6 tahun – 10 tahun, dan Narapidana yang

berada di LAPAS selama di atas 10 tahun tidak ada.

Tabel 21 Suku Responden

No Suku Jumlah %
1 Sunda 44 80%
2 Jawa 3 5.45%
3 Madura 1 1.82%
4 Betawi 1 1.82%
5 Sumatera 6 10.91%
55 100%
64

Suku Sunda merupakan suku yang menduduki urutan terbanyak

sejumlah 80% (44 Narapidana), disusul oleh Sumatera dengan jumlah

10.91% (6 Narapidana), lalu suku Jawa sebanyak 5.45% (3

Narapidana) Betawi dan Madura masing-masing 1.82%.

Tabel 22 Status Responden

No Status Jumlah %
1 Menikah 42 76.36%
2 Tidak Menikah 13 23.64%
55 100%

Tabel 23 Status Pelanggar

No Status Pidana Jumlah %


1 Residivis 17 30.91%
2 Non-Residivis 38 69.09%
55 100%

Narapidana yang berstatus Residivis sebanyak 30.91% (17

Narapidana), dan yang Non-Residivis sejumlah 69.09% (38

Narapidana).

Tabel 24 Perasaan Responden Terhadap Pelanggaran Yang

Dilakukan

No Perasaan Jumlah %
1 Menyesal 51 92.73%
2 Kurang Menyesal - -
3 Tidak Menyesal 4 7.27%
55 100%

Terdapat 92.73% Narapidana menyatakan rasa menyesal

mereka terhadap tindak kejahatan yang mereka lakukan dan 7.27%


65

Narapidana menyatakan rasa tidak menyesal dengan alasan bahwa

apa yang telah terjadi bukanlah seluruhnya kesalahan mereka,

Tabel 25 Pandangan Responden Terhadap Kegiatan Di Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta

No Pandangan Jumlah %
1 Bermanfaat 51 92.73%
2 Tidak Bermanfaat 1 1.82%
3 Kurang Bermanfaat 3 5.45%
55 100%

Sebanyak 92.73% responden menyatakan bahwa kegiatan

pembinaan di LAPAS memiliki manfaat bagi mereka, namun 5.45%

yang menyatakan bahwa pembinaan tersebut kurang memiliki manfaat

bagi mereka dan perlu adanya perubahan antara lain dengan

penambahan jenis kegiatan, penambahan fasilitasnya. Dan sejumlah

1.82% Narapidana menyatakan bahwa kegiatan pembinaan tersebut

tidak memiliki manfaat bagi mereka dan hanyalah kegiatan pengisi

waktu luang saja.

Tabel 26 Peran Responden Terhadap Kegiatan Di Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta

No Peran Serta Jumlah %


1 Aktif 51 92.73%
2 Kurang Aktif 4 7.27%
55 100%

Sebagian besar responden menyatakan keaktifan mereka di

dalam mengikuti kegiatan mereka sebanyak 92.73% dan sekitar 7.27%


66

(4 Narapidana) menyatakan kurang aktifnya mereka dalam mengikuti

kegiatan.

B. Penegakkan hukum (Pasal 14 ayat 1 (J) UU No.12 Tahun 1995)

Pada tahun 1946 PBB membentuk komisi hak-hak asasi

manusia (Commission of Human Right) yang berhasil merumuskan

naskah Pengakuan hak-hak asasi manusia yang dikenal dengan

“Universal Declaration of Human Rights”. Melalui sidangnya, naskah

itu diterima dan  disetujui oleh PBB pada 10 Desember 1948. Oleh

karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak

Asasi Manusia (HAM).  Adapun instrumen-instrumen Hak Asasi

Manusia di Indonesia yaitu ;

a. Undang-undang Dasar 1945; terdapat dalam Pembukaan UUD

1945, Batang Tubuh (pasal-pasal) UUD 1945 yaitu pasal 28A-

28J.

b. Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang hak asasi

manusia; Piagam Hak Asasi Manusia, meliputi Pembukaan

UUD dan Pasal-pasal (10 bab dan 44 pasal).

c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi

manusia.

Hak Asasi Manusia dikelompokkan menjadi;


67

 Hak untuk hidup


 Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
 Hak mengembangkan diri
 Hak memperoleh keadilan
 Hak atas kebebasan pribadi
 Hak atas rasa aman
 Hak atas kesejahteraan
 Hak turut serta dalam pemerintahan
 Hak wanita
 Hak anak

Sementara itu dalam aliran filsafat hukum Analytical

Jurisprudence yang dipelopori oleh John Austin menyebut empat macam

unsur yang harus dikandung dalam hukum positif, yakni :

a. perintah (command)
b. sanksi (sanction)
c. kewajiban (duty)
d. kedaulatan (severeignity). 32

Austin secara tegas melepaskan hukum dari masalah keadilan. Ia

menggantikan “kebaikan dan keburukan” sebagai landasan hukum

dengan “kekuasaan dari penguasa”. Selanjutnya definisi John Austin

tentang hukum (positif) adalah sebagai berikut :

“Hukum adalah peraturan-peraturan yang berisi petunjuk, yang


diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh
makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap
mereka itu.” 33

Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang

dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang

diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar. Semua

32
Achmad Roestandi, SH., Responsi Filsafat Hukum, Penerbit Armico, Bandung,
1992, Hlm. 80.
33
Ibid
68

hukum positif adalah ”perintah dari yang berdaulat” atau ”command of

sovereign” atau ’command of law-giver”.

Tanggung jawab negara dalam hal pemajuan dan penegakan hak

asasi manusia (HAM) secara teoritis dapat dilihat bahwa negara itu

sebagai organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi kekuasaan, negara

harus punya kekuasaan yang dapat mengendalikan rakyatnya.

Pengendalian kekuasaan dapat melalui konstitusi (Undang-undang

dasar negara). Dalam setiap konstitusi, paling tidak ada satu muatan

mengenai perlindungan HAM.

Pemajuan dan penegakkan hak asasi manusia (HAM) di dalam

Lembaga Pemasyarakatan yaitu dengan lahirnya Undang-undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang mengakomodir

hak-hak narapidana. Mengantisipasi akan hak berkeluarga dan

melanjutkan keturunan yang merupakan kebutuhan akan berhubungan

seksual narapidana, salah satu pasal muncul yaitu Pasal 14 ayat 1 (J)

UU No.12 Tahun 1995 yang menyebutkan; hak narapidana untuk

mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga.

Dalam bab I telah disinggung oleh penulis bahwa implementasi

pasal 14 ayat 1 (J) UU No.12 Tahun 1995 di Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta ternyata tidak optimal, berdasarkan


69

wawancara dengan pejabat terkait diperoleh keterangan sebagai

berikut ; 34

... dari penghuni yang mengajukan CMK ya..., diproses ya


sesuai dengan prosedurnya, kita lapor ke Bapas dan ke Kanwil juga,
dan setelah itu sebelumnya lapor setelah itu... ya bisa diproses oleh
Lapas, tapi selama ini,... tidak ada warga binaan pemasyarakatan yang
minta mengajukan untuk melaksanakan CMK... kalau memang tidak
ada ya... gimana. Karena itu dasarnya disamping sudah ada SK
Asimilasi ... juga harus ada permohonan dari pihak keluarga itu ya,
kalau tidak ada ya... tidak diproses, kalau ada ya diproses.
Saya rasa mereka sudah tahu ada CMB, mengenai hak
mereka.... Bahkan disamping ada PB, CMB, juga CMK mereka sudah
tahu. Mengenai sosialisasi hal itu sudah ada. Apalagi sekarang sudah
ada CB mereka sudah tahu semua, dari jauh-jauh harilah lah sesuai
pasal 14 Undang-undang No.12 Tahun 1995 disitu ada bahwa warga
binaan bisa mengikuti PB, CMB, CMK, kalau disana belum ada CB.
Bagi yang ingin CMK memang prosedurnya harus ada
permohonan dari keluarga ya.. diproses karena syaratnya CMK itu bagi
mereka yang sudah ada Litmas-nya dari Bapas tidak bisa warga
binaan minta CMK hari ini harus pulang hari ini..... karena harus kita
laporkan ke Kanwil.

Sementara itu salah seorang responden yang belum pernah

melaksanakan CMK namun pernah keluar Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta untuk mengunjungi keluarganya dengan alasan tertentu

menuturkan kepada penulis sebagai berikut; 35

...eee kesan untuk saya sementara ini bisa mengatakan artinya


berkesannya karena, karena pendidikan yang ada di lapas ini sangat
menunjang dan berarti untuk kehidupan nanti bekal di luar ya... dan
pesan kepada warga binaan, e berlanjut ya mengenai terutama
pendidikan kerohanian maupun dalam keahlian supaya dia mempunyai
apa namanya skill untuk bekal dia ke luar dan menjadi manusia yang
baik nantinya.
...eee nggak kalau masalah CMK mungkin kalau untuk pribadi
saya itu, karena sudah beberapa kali pulang ya, jadi artinya cukup lah
rasanya kecuali CMK untuk yang belum pernah pulang sama sekali

34
Hasil wawancara dengan pejabat Kasi Binapi Giatja berinisial ES, di Lembaga
Pemasyarakatan Purwakarta, 3 Desember 2007.
35
Hasil wawancara dengan seorang narapidana berinisial AS, di Lembaga
Pemasyarakatan Purwakarta, 7 Desember 2007.
70

dimohon lah kepada Bapak-bapak pimpinan untuk menjalankan


sebagaimana undang-undang ke-HAM-an artinya mungkin lebih dari
sekian tinggal berapa bulan ataupun dalam masa pidanya sudah habis
ada sisa ya... silakan saja hubungi ke kantor ya...

Sementara itu salah seorang responden yang belum pernah

sekali pun CMK atau keluar Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta,

menuturkan sebagai berikut;36

...CMK kalau memang harus, apa pak ?..... harus asimilasi


terus peraturannya yang menyulitkan lagi harus apa, harus
setengahnya dulu gitu kan... bisa ngak kalau misalkan harus menjalani
apa, sepertiganya kita bisa mengunjungi kasarnya bisa nggak. Kalau
seperti saya, saya vonis 15 tahun gitu kan, nah saya kan sudah
menjalani 4 tahun, bisa nggak CMK persyaratan saya kan sudah ada,
jaminan keluarganya sudah siap, keluarga mau menerima.... tapi
belum dapat melaksanakan.

Dari beberapa hasil wawancara di atas dapat penulis katakan

bahwa ketidakoptimalan pasal tersebut karena apresiasi dari

narapidana sendiri untuk mendapatkan hak CMK – nya masih kurang

yaitu tidak adanya narapidana yang mengajukan permohonan CMK,

hal ini terkait dengan persyaratan yang harus dipenuhi cukup ketat.

Namun demikian demi kepastian hukum, pasal 14 ayat 1 (J) UU

No.12 Tahun 1995 harus betul-betul dilaksanakan agar pasal itu

sendiri menjadi efektif. Selanjutnya wawancara dengan pejabat terkait

sebagai berikut: 37

Ya... mungkin untuk ke depannya bisa dilaksanakan lagi ya...


kalau yang sudah mendapatkan asimilasi dan aaa nanti kalau ada
permohonan keluarga bisa diproses. Tiga tahapan pembinaan itu
memang harus dilaksanakan dan .... Disamping sudah ada litmas dari

36
Hasil wawancara dengan seorang narapidana berinisial HES dengan hukuman 1
tahun penjara, di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta, 7 Desember 2007.
37
Wawancara dengan seorang pejabat Kasi Binapi Giatja berinisial ES, di
Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta, 3 Desember 2007.
71

Bapas juga harus ada permohonan dari keluarganya ya... mungkin


akan dibahas lagi dan disosialisasi bagi warga binaan lagi keluarga
misal mau mengajukan asimilasi , CMB ... maaf CMK... dan saya rasa
sama ya dengan LP - LP yang lain, juga seperti ini. Apabila mereka
diberikan CMK sekiranya ada hal-hal yang tidak diharapkan sehingga
mereka gagal untuk proses... dalam hal ini harus dilihat kasusnya ya.
Keamanannya terancam misalnya oleh warga sekitar dan sebagainya.
Sebelum CMK diberikan ada beberapa pertimbangan ya misalnya
apakah tidak membahayakan dirinya, apakah diterima oleh warga
masyarakat.

Bila dilihat dari berlakunya pasal 14 ayat 1 (J) UU No.12 Tahun

1995 dalam kenyataan sehari-hari dalam masyarakat maka pasal

tersebut di atas dapat kita lihat dari 5 faktor penegakkan hukum,

berdasarkan hasil kuesioner dari responden yang penulis edarkan di

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta hasilnya sebagai berikut ;

1. Hukum / Peraturannya

Tabel 27
Pendapat Responden Tentang Ketentuan Pasal 14 ayat 1 (J)
UU No.12 Tahun 1995
No. Kategori Frekuensi Prosentase
1 Memadai 50 orang 90.91%
2 Tidak memadai 5 orang 9.09 %
Jumlah 55 orang 100 %

Dari seluruh responden yang berjumlah 55 orang tersebut,

diketahui 50 orang menjawab “ Ya “. Dari 50 orang tersebut

terdapat 42 orang yang menikah, dan 13 orang yang belum

menikah tetapi pernah melakukan hubungan heteroseksual. Usia

mereka berkisar antara 20 tahun sampai dengan 52 tahun.


72

Dan yang menjawab “ Tidak “ sebanyak 5 orang. Dari orang

tesebut 2 orang belum menikah dan belum melakukan hubungan

heteroseksual. Usia 2 orang tersebut 25 tahun dan 23 tahun. 3

orang yang lain menikah dan berusia antara 40 tahun sampai

dengan 50 tahun. Dengan demikian berdasarkan data pada tabel di

atas pasal 14 ayat 1 (J) UU No.12 Tahun 1995 yang berisi tentang

cuti mengunjungi keluarga bagi narapidana masih cukup memadai.

Cuti mengunjungi keluarga sebagai salah satu bagian dari

proses pembinaan narapidana merupakan satu kesatuan rangkaian

dalam kerangka sistem peradilan terpadu (Criminal Justice System)

diharapkan agar narapidana mampu mempererat ikatan keluarga,

tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya, jika

mereka bebas dari hukumannya, mereka dapat diterima kembali

oleh masyarakat, lingkungannya dan dapat hidup secara wajar

seperti sediakala.

Upaya Negara dalam hal pemajuan dan penegakkan hak

asasi manusia antara lain melalui pengkajian dan menghapuskan

berbagai bentuk kebijakan, perundangan dan peraturan pemerintah

yang bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai

kemanusiaan. Pasal 14 ayat 1 (J) UU No.12 Tahun 1995 dapat

dikatakan merupakan tanggung jawab Negara untuk terus menerus

memperkuat perlindungan hak asasi manusia (HAM) di dalam

Lembaga Pemasyarakatan.
73

Adanya model pembinaan CMK bagi narapidana tidak

terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak

memberikan bekal bagi narapidana dalam menyongsong

kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas).

Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan penjara

telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang

lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi

dan misi lembaga ini untuk menyiapkan para narapidana kembali

ke masyarakat.

2. Petugas / Faktor Sumber Daya Manusia

Petugas Lembaga Pemasyarakatan sebagai unsur utama,

tenaga penggerak organisasi dalam pelaksanaan pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan harus mampu berdisiplin dan

melaksanakan tugasnya dengan baik.

Tabel 28
Pendapat Responden Tentang Kinerja Petugas

No. Kategori Frekuensi Prosentase


1 Menjalankan dengan baik 53 orang 96.36 %
2 Tidak menjalankan dengan baik 2 orang 3.64 %
Jumlah 55 orang 100 %

Dari seluruh responden yang berjumlah 55 orang tersebut,

diketahui 53 orang menjawab “ Ya “. Dan yang menjawab “ Tidak “


74

sebanyak 2 orang. Tugas pembina Lembaga Pemasyarakatan

sesungguhnya lebih mulia daripada para guru dan dosen, karena

objek yang harus dibina adalah orang-orang yang secara nyata

mempunyai kekurangan dalam hal prilaku serta tidak mempunyai

keinginan secara tulus untuk dibina.

Menarik apa yang dikatakan oleh Thomas Sunaryo sebagai

berikut ;

Di sisi lain, ada petugas LP berkuasa yang menekankan pada


pendekatan keamanan, bukan pembinaan. Karena memang
yang dibutuhkan di dalam penjara pendekatan keamanan.
Kenapa? Karena kalau ada narapidana yang ribut-ribut atau
lari, dia ditegur atasan. Tapi, kalau salah pembinaan, dia tidak
kena masalah. Di dalam LP, ada hubungan simbiosis
mutualisme dan diskriminasi di dalam relasi antara napi dan
petugas. Ini terjadi karena dua kepentingan tadi, napi ingin
mengurangi penderitaannya. Ia menyogok. Petugas
memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya.38

Dalam hal menjaga keamanan dan ketertiban petugas

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta, dapat dikatakan telah

melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, hal ini

dibuktikan dengan keadaan Lembaga Pemasyarakatan yang aman,

kondusif, jarang terjadi gangguan keamanan dan pelarian.

Namun demikian bila dilihat dari kwalitas pendidikannya yang

sebagian besar lulusan SMA, para petugas belum sepenuhnya

dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri,

mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh

bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan

38
SusanaRita, Loc. cit., hal. 5
75

humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan

mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.

3. Fasilitas / Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana di Lembaga Pemasyarakatan yang

digunakan untuk melaksanakan pembinaan narapidana harus

memadai agar proses pembinaan dapat berjalan dengan lancar

antara lain seperti ; kondisi bangunan Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta yang sudah direnovasi, alat-alat yang digunakan untuk

pelaksanaan pembinaan ketrampilan kerja, pembinaan olah raga,

kesenian dan hiburan.

Tabel 29
Pendapat Responden Tentang
Fasilitas Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta

No. Kategori Frekuensi Prosentase


1 Memadai 45 orang 81.82 %
2 Tidak memadai 10 orang 18.18 %
Jumlah 55 orang 100 %

Dari seluruh responden yang berjumlah 55 orang tersebut,

diketahui 45 orang menjawab “ Ya “. Dan yang menjawab “ Tidak “

sebanyak 10 orang. Gedung Lembaga Pemasyarakatan

merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan

gedung yang layak dan memadai dapat mendukung proses

pembinaan yang sesuai dengan harapan.


76

Namun demikian salah satu yang menjadi masalah yaitu over

crowded yang cukup berpengaruh pada program pembinaan.

Bagaimana mau membina dengan optimal kalau tempatnya

dipadati orang dan ruangannya terbatas. Dari kapasitas 250 orang,

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta pada saat ini dihuni oleh

449 orang.

4. Kesadaran hukum masyarakat

Kesadaran hukum masyarakat harus betul-betul menunjang

dan membantu dalam proses pembinaan narapidana, jadi warga

masyarakat jangan menambah hukuman lagi bagi mereka yang

sudah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan dengan main hakim

sendiri (Zakelijkhed), namun peran serta masyarakat sangat

dibutuhkan dalam rangka pengembalian narapidana agar diterima

kembali oleh masyarakat.

Tabel 30
Pendapat Responden Tentang Kesadaran Hukum Masyarakat

No. Kategori Frekuensi Prosentase


1 Mendukung 53 orang 96.36 %
2 Tidak mendukung 2 orang 3.64 %
Jumlah 55 orang 100 %

Dari seluruh responden yang berjumlah 55 orang tersebut,

diketahui 53 orang menjawab “ Ya “. Dan yang menjawab “ Tidak “

sebanyak 2 orang. Dari data di atas sebagian besar (96.36%)

responden mengatakan bahwa kesadaran hukum warga


77

masyarakat masih mendukung mereka terutama dalam hal

pelaksanaan CMK.

Namun demikian menanggapi tentang Cuti Mengunjungi

Keluarga, Didin Sudirman, Bc.IP., SH., berpendapat :

....... di Indonesia telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri


Kehakiman Nomor : M-03.PK.04.02 tahun 1991 tentang Cuti
Mengunjungi Keluarga. Dalam keputusan tersebut diatur
bahwa bagi narapidana yang sedang menjalani hukuman di
Lapas dapat diberikan cuti mengunjungi keluarga berupa
kesempatan berkumpul bersama di tempat kediaman
keluarga selama waktu paling lama 2 x 24 jam diluar waktu
perjalanan. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana
reaksi masyarakat yang tidak setuju (terutama yang
menganut paham ”formalistis”). Karena menurut pendapat
mereka, program tersebut telah menghilangkan hakekat dari
pemidanaan itu sendiri.39

Memperhatikan pendapat di atas, dalam hal pelaksanaan

pembinaan di luar Lapas terutama pelaksanaan CMK kesadaran

hukum masyarakat dapat dikatakan masih rendah, masyarakat

belum mengerti dan menyadari bahwa pada hakekatnya

penjatuhan pidana penjara, bukan merupakan tindakan balas

dendam negara, akan tetapi pengayoman yang dimaksudkan

bukan hanya mengayomi masyarakat, tetapi juga mengayomi

orang yang tersesat, dalam hal ini narapidana. Narapidana harus

diubah perilakunya, bukan dengan cara penyiksaan tetapi melalui

pembinaan dan bimbingan.

5. Kebudayaan

39
Warta Pemasyarakatan, Nomor 10 – Th. III – Juli 2002, Hlm. 38
78

Budaya berarti budaya masyarakat tidak lagi cenderung

emosional dalam menanggapi para bekas narapidana. Stigmatisasi

dari masyarakat terhadap bekas narapidana menyebabkan mereka

enggan untuk berhubungan dengan narapidana.

Tabel 31
Pendapat Responden Tentang Budaya Masyarakat

No. Kategori Frekuensi Prosentase

1 Mendukung 20 orang 36.36 %


2 Tidak mendukung 35 orang 63.64 %
Jumlah 55 orang 100 %

Dari seluruh responden yang berjumlah 55 orang tersebut,

diketahui 20 orang menjawab “ Ya “. Dan yang menjawab “ Tidak “

sebanyak 35 orang. Hasil data ini berlainan dengan pendapat

responden tentang kesadaran hukum masyarakat yang masih

mendukung mereka. Dari data di atas sebagian responden

(63.64%) mengatakan bahwa budaya warga masyarakat tidak

mendukung mereka.

Terkait dengan budaya masyarakat dalam hal menanggapi

bekas narapidana dikatakan oleh Hasbullah sebagai berikut ;

Kondisi ini nampak dalam kehidupan sehari-hari, sangat


jarang kita dengar seorang sipir mendapat penghargaan atas
dedikasi dan pengabdiannya dalam menjaga dan membina
agar para tahanan dan napi bisa tetap menjalani masa
hukumannya. Sementara ketika terjadi sesuatu ketika
menjalankan tugas, cemoohan dan cacian datang silih
berganti.40
40
http://www.depkumham.go.id/xdepkumhamweb/home.htm., Senin 16 Juli 2007,
13.30
79

Sementara itu Prof DR Mohammad Mustofa, MA.,

mengatakan ;

”Masyarakat sampai sekarang masih mencap narapidana


sebagai sampah masyarakat dan tak perlu diperhatikan,
sehingga berdampak, logis mereka tidak begitu dipedulikan
pembinaannya penyelenggaraan sampai pada perencanaan
anggaran belanjanya. 41

Kesuksesan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan juga

sangat bergantung sampai sejauh mana tingkat partisipasi

masyarakat, karena pada akhirnya mereka harus berintegrasi

dengan masyarakat, sementara yang sering didapatkan seorang

narapidana yang sudah berubah atau sudah baik sekalipun,

masyarakat masih mencapnya jahat, masyarakat menganggap

narapidana adalah sampah masyarakat.

C. Dampak Kehilangan Hubungan Heteroseksual Di Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta

1. Kebutuhan Untuk Melakukan Hubungan Heteroseksual

Lingkungan tempat pelaksanaan pidana penjara yaitu

Lembaga Pemasyarakatan, tidak sama dengan lingkungan di

masyarakat bebas. Mereka hidup dan bergaul dengan orang–orang

yang satu jenis kelamin, kalaupun ada yang dihuni oleh pria dan

wanita, mereka masing–masing menempati blok–blok yang terpisah.


41
Prof DR Mohammad Mustofa, MA. Penjara Pilihan Terakhir. Majalah FIGUR,
Edisi III, Tahun 2006. Hlm.34
80

Padahal sebagai manusia normal mereka membutuhkan pergaulan

dengan lawan jenisnya khususnya yang telah berkeluarga,

membutuhkan rasa kasih sayang dan hubungan biologis

heteroseksual. Dalam Al Quran, Allah berfirman dalam Surat Ar-

Rum ayat ke-21 yang artinya sebagai berikut : 42

Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia


menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar
kamu cenderung dan merasa tentetram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berpikir.

Dari hasil kuesioner, kehilangan hubungan heteroseksual

merupakan suatu derita yang sangat berat dirasakan, karena

narapidana sendiri yang langsung merasakan derita kehilangan

hubungan heteroseksual. Adapun hasil dari sejumlah responden itu

adalah sebagai berikut :

Tabel 32
Pendapat Responden Tentang Kebutuhan Untuk Melakukan
Hubungan Heteroseksual
No. Kategori Frekuensi Prosentase
1 Ya 47 orang 85.45 %
2 Tidak 8 orang 14.55 %
Jumlah 55 orang 100 %

Dari seluruh responden yang berjumlah 55 orang tersebut,

diketahui 47 orang menjawab “ Ya “. Dari 47 orang tersebut

terdapat 42 orang yang menikah, dan 2 orang yang belum menikah


42
Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1 – Juz 30, Departemen Agama RI, Penerbit
Mekar, Surabaya, Edisi Tahun 2002, Hlm. 572
81

tetapi pernah melakukan hubungan heteroseksual. Usia mereka

berkisar antara 20 tahun sampai dengan 52 tahun.

Dan yang menjawab “ Tidak “ sebanyak 8 orang. Dari orang

tesebut 2 orang belum menikah dan belum melakukan hubungan

heteroseksual. Usia 3 orang tersebut 25 tahun dan 23 tahun, 3

orang yang lain menikah dan berusia antara 40 tahun sampai

dengan 51 tahun.

Penderitaan akibat hilangnya kebebasan berhubungan

seksual terungkap saat wawancara penulis dengan responden

berinisial E 43 sebagai berikut ;

Hilangnya kebebasan seksual (suamji istri) dikhawatirkan


salah penyaluran yang bisa saja menimbulkan penyakit akhlak yang
baru, seperti homoseksual (penyimpangan seksual) dan disaat
keluarga (istri) tidak tahan godaan akibat tidak tersalurnya hasrat
oleh suami, terjadilah perselingkuhan yang dilakukan istri di luar, dan
pada akhirnya bisa menimbulkan dendam, keinginan melarikan diri,
lebih jauh menimbulkan kasus baru seperti membunuh istri dan
kawan selingkuhnya. Hilang kemerdekaan dan kebebasan
narapidana kami sadari akibat salah kami sendiri, tetapi ada qodrat
Illahi atas mahkluk yang tidak bisa dikesampingkan, yaitu keperluan
biologis, dan jikapun dapat diminimalkan dengan kegiatan olah raga,
pendekatan kepada Allah dan lain-lain, tetapi qodrat Allah atas
mahkluk mengenai hasrat biologis tersebut, tidak akan punah atau
hilang, karena itu sudah doktrin Sang Pencipta atas mahkluk,
jangankan manusia hewanpun demikian.

Sebagai manusia, terpidana juga sama dengan kita, yaitu

memiliki potensi-potensi biologis yang menghendaki untuk dipenuhi

kebutuhannya. Oleh karena itu sudah sewajarnya mereka memiliki

keinginan untuk melakukan hubungan heteroseksual, dan ternyata


43
Hasil jawaban kuesioner dengan responden berinisial E, salah satu narapidana
Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta, 4 Desember 2007.
82

seperti yang tertera pada tabel tersebut diatas, banyak dari

terpidana di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta yang

menginginkan untuk melakukan hubungan heteroseksual, yaitu dari

55 terpidana yang ada, didapat 47 orang (85.45%) yang

menginginkan untuk berhubungan heteroseksual, sedangkan yang

tidak menginginkan hanya 8 orang (14.55%).

2. Wujud dari Dampak Kehilangan Hubungan Heteroseksual di Dalam

Lembaga Pemasyarakatan

Narapidana merasakan derita, karena berinteraksi didalam

suatu ruangan yang sempit dan terbatas dengan orang yang sama,

tanpa dikehendaki oleh narapidana. Sisi lain dari dampak pidana

penjara diakui oleh Thomas Sunaryo ; 44

”Orang dipenjara itu kehilangan kemerdekaan. Mereka setiap


hari berada di dalam sekat-sekat. Itu pasti membosankan.
Belum lagi hilangnya komunikasi dengan orang yang
mempunyai hubungan emosional. Ini berakibat macam-
macam; cepat marah, kehilangan kreativitas, kehilangan
semangat, apatis, dan perilaku berpura-pura.”

Dari derita kehilangan hubungan heteroseksual di dalam

Lapas yang dirasakan tersebut mengakibatkan narapidana mencari

jalan keluar sendiri di dalam mengatasi deritanya. Adapun wujud dari

derita kehilangan hubungan heteroseksual ini dapat dilihat dari

jawaban responden pada kueisioner yang penulis edarkan kepada

para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta sebagai

berikut :

44
SusanaRita, Loc. cit., hal. 5
83

Tabel 33
Pendapat Responden Tentang Wujud Dari Dampak Kehilangan
Hubungan Heteroseksual Di Dalam LAPAS

No. Kategori Frekuensi Prosentase

Kurang semangat dalam


1.
mengikuti kegiatan pembinaan 35 orang 63.64 %

2. Keinginan melarikan diri 2 orang 3.64 %

3. Malas bekerja / tidak produktif 18 orang 32.72 %


4. Menggangu keamanan - -
Jumlah 55 orang 100%

Dari tabel tersebut diatas dapat kita ketahui narapidana yang

kurang semangat dalam mengikuti kegiatan pembinaan sebanyak 35

Responden (63.64%). Mereka mengikuti kegiatan pembinaan yang

diberikan hanya sekedarnya dan tidak serius.

Terdapat sebanyak 2 Responden (3.64%) narapidana memiliki

keinginan untuk melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan untuk

memenuhi kebutuhannya melakukan hubungan heteroseksual. Hal ini

harus benar-benar diperhatikan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan, yaitu terjadinya pelarian narapidana dari Lembaga

Pemasyarakatan.

Pengaruh dari kehilangan hubungan heteroseksual adalah

para terpidana tersebut merasa malas bekerja / kurang produktif

sebanyak 18 Responden (32.72%) dan hanya sekedar mengisi waktu

luang saja dalam mengikuti kegiatan yang diberikan oleh pihak

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta. Sedangkan Narapidana yang


84

melakukan tindakan yang mengganggu keamanan di Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta tidak ada.

3. Upaya Narapidana Ketika Hasrat Berhubungan Biologis Muncul

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan hubungan heteroseksual

pada narapidana, maka berbagai cara dilakukan sebagai upaya jalan

keluar bagi mereka ketika hasrat untuk melakukan hubungan

heteroseksual muncul. Upaya yang dilakukan oleh narapidana untuk

mengatasi hasrat berhubungan heteroseksual itu menurut hasil

penelitian sebagai berikut :

Tabel 34
Pendapat Responden Tentang Apa Yang Dilakukan Ketika Hasrat
Berhubungan Biologis Muncul
No. Kategori Frekuensi Prosentase
1. Onani & Mengkhayal 19 34.55 %
2. Melakukan dengan teman - -
3. Olahraga 7 12.73 %
4. Mendekatkan diri kepada Tuhan 29 52.72 %
Jumlah 55 100%

a. Onani/Masturbasi & Mengkhayal

Terdapat 19 orang responden (34.55%) yang melakukan

kegiatan onani / masturbasi di Lembaga Pemasyarakatan

Purwqakarta. Dalam Kamus Bahasa Inggris masturbation diartikan

sebagai onani atau perancapan. 45 Apabila derita kehilangan

45
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Penerbit PT
Gramedia, Jakarta, Cetakan XXVI, 2005, Hlm. 374.
85

hubungan heteroseksual tersebut sudah mencapai puncaknya dan

bagi narapidana tidak ada penyaluran yang wajar, maka biasanya

mereka melakukan onani atau biasa juga disebut dengan

masturbasi, yang biasanya dilakukan pada malam hari didalam

kamar atau tempat-tempat tersembunyi. Dan bagi sesama

terpidana, onani atau masturbasi ini sudah merupakan hal yang

wajar. Sementara itu A salah satu responden menuturkan sebagai

berikut;46

Sebagai manusia yang normal saya pernah melakukan itu


pak, tapi setelah saya membaca sebuah Hadist Rosululloh
; ”Jika seseorang jinah dengan tangannya sendiri dosanya
sama seperti, menjinahi ibu kandungnya sendiri”. Dan
setelah onani bukannya enak tapi sakit punya saya. Saran
saya kenapa di LP tidak ada fasilitas untuk berhubungan
dengan istri atau kamar khusus. Tolong pak kalau bisa ini
sebagai masukan. Trima kasih.

Kegiatan masturbasi dan mengkhayal bagi narapidana

merupakan perbuatan yang sudah tidak aneh lagi. Bermula dari

mengkhayal dengan cara membayangkan bentuk erotis seksual

dari lawan jenisnya, dengan membuat, mendapatkan gambar-

gambar dan tulisan-tulisan porno/cabul, sehingga narapidana dapat

berkhayal setiap saat. Kemudian terus meningkat hingga sampai

pada perbuatan masturbasi untuk menyalurkan dorongan hasrat

seksual yang melandanya. Dengan dilakukannya masturbasi ini

maka lepaslah untuk sementara waktu dorongan seksualnya.

Perbuatan tersebut masih terus dilakukan selama hasrat


46
Hasil jawaban kuesioner dengan responden berinisial H, salah satu narapidana
Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta, 5 Desember 2007.
86

seksualnya masih timbul dengan kuatnya, hingga perbuatan ini

merupakan suatu kebutuhan yang harus dilakukan dimana

narapidana menjadi terbiasa. Indracaya Anton berpendapat bahwa:

“ Masturbasi diambil dari bahasa Inggris, masturbation yang


artinya, berusaha merangsang diri sendiri atau orang lain
dengan segala cara untuk beroleh kenikmatan seksual
tanpa hubungan intim. Asal distimulir saja. Dalam
masturbasi tidak harus orgasme, sebab kenikmatan
seksual yang dicapai dengan cara merangsang diri sendiri
atau orang lain dengan cara tertentu sudah termasuk
masturbasi “. 47

Kegiatan mengkhayal dan onani / masturbasi menimbulkan

dampak negatif yaitu sikap pasif terpidana yang diwujudkan

dengan malas bekerja atau tidak sungguh-sungguh mengikuti

kegiatan. Apabila kegiatan mengkhayal dan onani / masturbasi

mulai dirasakan jenuh dan membosankan atau dorongan

seksualnya kurang terpuaskan maka mereka akan mencari bentuk

lain dari cara melepaskan dorongan seksualnya, antara lain

melakukan hubungan dengan sesama narapidana.

b. Melakukan Dengan Teman

Diantara narapidana timbul suatu tujuan pemuasan seksual

yang sama. Hal inilah yang mengakibatkan kecenderungan yang

tinggi bagi Narapidana dalam memenuhi kebutuhan biologis

dengan cara sesama jenis kelamin.

Masalah homoseksual/lesbianisme bagi masyarakat

Indonesia sangat jarang, langka dan bahkan hampir tabu untuk


47
Indracaya Anton, Menyingkap Tirai Psikologi Psikoseksual & Seksologi,
Yogyakarta, Galang Press, 2000, hlm 121.
87

dibicarakan secara terbuka. Hal ini mengingat masyarakat

Indonesia adalah masyarakat yang masih memegang teguh

norma-norma ketimuran (kesusilaan), sehingga masyarakat

berasumsi bahwa homoseksual/lesbianisme merupakan perbuatan

yang tidak wajar. Melalui wawancara yang penulis lakukan kepada

beberapa responden dari narapidana pada Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta, didapat bahwa diantara mereka tidak

ada yang pernah melakukan hubungan seksual dengan sesama

narapidana.

c. Olahraga

Diantara para narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta terdapat 7 orang responden (12.73%), yang

menggunakan olahraga sebagai sarana untuk pelampiasan hasrat

seksual mereka. Hasil wawancara dengan salah satu responden

sebagai berikut :48

”Wujud penderitaan ini sebenarnya lebih mengarah pada


penyesalan bahwa saya sebagai seorang suami tidak bisa
memberikan nafkah batiniah untuk istri saya dan adanya
hasrat-hasrat yang selalu tertahan dan menimbulkan
kurang semangatnya dalam mengikuti kegiatan pembinaan.
Ketika hasrat berhubungan itu muncul saya biasanya
mencoba menepis hasrat itu dengan memperbanyak olah
raga karena dengan aktifitas sejenak saya bisa melupakan
hasrat itu”.

Menurut beberapa narapidana, olahraga yang mereka

lakukan dapat mengurangi hasrat seksual mereka. Ketika sedang


48
Hasil jawaban kuesioner dengan responden berinisial I, salah satu narapidana
Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta, 5 Desember 2007.
88

berolahraga mereka benar-benar berkonsentrasi dalam

berolahraga sehingga mereka dapat melupakan pikiran yang

berorientasi pada hasrat untuk berhubungan heteroseksual.

Setelah berolahraga tersebut mereka merasakan sesuatu yang

lain, yaitu perasaan puas karena telah berolahraga dan hasrat

untuk berhubungan heteroseksual hilang untuk sementara karena

energi yang ada telah berkurang digunakan untuk berolahraga.

d. Mendekatkan Diri Pada Tuhan

Ketika hawa nafsu untuk melakukan hubungan

heteroseksual datang, terdapat 29 responden (52.72%) narapidana

yang menyalurkan dengan cara mendekatkan diri pada Tuhan

Yang Maha Esa. Bagi narapidana yang beragama islam, mereka

menyalurkannya dengan melakukan shalat, mengaji, dan berdzikir.

Bagi yang beragama selain islam, mereka berdoa dan membaca

Alkitab sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-

masing.

Dari hasil wawancara dengan salah satu responden sebagai

berikut : 49

Perasaan saya tiba-tiba muncul atau datang pengen


hubungan sek tapi mengingat dan menimbang lama sekali
untuk hidupnya. Apalagi di dalam LP sedangkan di
masyarakat juga, saya kalau hubungan sek harus
dibayang-bayang dulu. Dari pada menjalankan yang bukan-
bukan contoh seperti onani dan lain-lain. Saya mending

49
Hasil jawaban kuesioner dengan responden berinisial P, salah satu narapidana
Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta, 5 Desember 2007.
89

wirid ambil air wudhu. Demikian pengalaman saya di dalam


LP.

Sementara itu responden yang lain menuturkan sebagai

berikut: 50

Pengalaman saya bila untuk upaya ketika hasrat atau


libido seksual muncul, saya lebih mendekatkan diri pada
Allah SWT ambil air wudhu dan saya sholat tahajud,
pikiran dan hasrat atau libido seksual saya lebih tenang
dan jernih itu terjadi ketika saya sebagai status menjadi
tahanan dalam waktu satu bulan di Lembaga
Pemasyarakatan Purwakarta. Alhamdulillah setelah itu
sampai sekarang saya tidak merasakan derita lagi
meskipun tidak munafik saya juga ingin melakukan itu
mungkin setelah saya keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan ini.

Cara mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa ini

menurut para narapidana dianggap efektif, karena dengan lebih

mendekatkan diri kepada Tuhan mereka dapat mengingat dosa-

dosa yang telah mereka lakukan yang menyebabkan mereka

masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan memohon ampun

atas dosa-dosa mereka. Dengan cara seperti itu mereka dapat

menghilangkan perasaan dan hasrat untuk melakukan hubungan

heteroseksual ataupun pikiran-pikiran kotor lainnya, karena selalu

ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

4. Harapan / Keinginan Narapidana

Para narapidana yang mengalami derita kehilangan

hubungan heteroseksual memiliki harapan-harapan dalam diri

50
Hasil jawaban kuesioner dengan responden berinisial H, salah satu narapidana
Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta, 5 Desember 2007.
90

mereka untuk mengetahui hal tersebut penulis mendapatkan

datanya melalui kuesioner yang diberikan kepada para narapidana

di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta yang hasilnya sebagai

berikut :

Tabel 35
Pendapat Responden Tentang Apa Yang Diinginkan Terpidana

No. Kategori Frekuensi Prosentase

Memperbanyak kegiatan
1. 8 14.55 %
Olahraga
Memperbanyak kegiatan
2. 15 27.27 %
Agama
Memberikan waktu kunjungan
3. 4 7.27 %
yang lama
Mendapatkan cuti mengujungi
4. 28 50.91 %
keluarga (CMK)
Jumlah 55 100%

a. Memperbanyak Kegiatan Olahraga

Terdapat 8 responden (14.55%) narapidana yang

menginginkan kegiatan olah raga diperbanyak waktunya, jadwal

olahraga yang telah ada dirasakan masih kurang bagi beberapa

narapidana. Mereka menginginkan kegiatan olahraga diadakan

setiap hari agar energi mereka dapat terkuras untuk olahraga

sehingga mereka tidak lagi memikirkan tentang kebutuhan

untuk hubungan heteroseksual.

b. Memperbanyak Kegiatan Keagamaan


91

Terdapat 15 responden (27.27%) yang menginginkan

kegiatan keagamanan diperbanyak. Beberapa narapidana

menginginkan kegiatan keagamaan yang telah ada untuk dapat

lebih ditingkatkan. Mereka menginginkan pembimbing

keagamaan yang datang lebih sering berkunjung untuk

memberikan bimbingan kerohanian kepada mereka. Karena

dengan kegiatan keagamaan tersebut mereka dapat lebih

mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dapat

menghilangkan pikiran mereka mengenai kebutuhan hubungan

heteroseksual.

c. Memberikan Waktu Kunjungan Yang Lama

Terdapat 4 responden (7.27%) menginginkan waktu

kunjungan yang lama. Para narapidana sangat menginginkan

untuk dikunjungi oleh keluarga mereka. Para narapidana

tersebut juga menginginkan waktu kunjungan yang diberikan

agar ditambah lebih lama. Hal ini karena dengan adanya

keluarga yang mengunjungi, mereka dapat melepaskan

kerinduan kepada keluarga mereka dan dapat melupakan

keinginan mereka mengenai kebutuhan hubungan

heteroseksual.

d. Mendapatkan Cuti Mengunjungi Keluarga

Terdapat 28 responden (50.91%) menginginkan

mendapatkan cuti mengunjungi keluarga. Para narapidana yang


92

telah memenuhi syarat sangat menginginkan mendapatkan cuti

mengunjungi keluarga (CMK). Dengan mendapatkan CMK

tersebut mereka dapat melepaskan hasrat seksualnya secara

wajar dengan istri/suami-nya. Selain itu mereka juga dapat

melepaskan kerinduan dengan anggota keluarga lainnya.

D. Solusi Untuk Mengurangi Dampak Kehilangan Hubungan

Heteroseksual Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan

Derita kehilangan hubungan heteroseksual tidak bisa diatasi

secara menyeluruh, solusi yang dapat ditempuh dengan jalan

memberikan kegiatan pembinaan yang dapat mengurangi pengaruh

buruk derita kehilangan hubungan heteroseksual selama narapidana

menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta. Jenis pembinaan itu antara lain :

1. Bimbingan Rohani

Dalam rangka mengurangi pengaruh negatif akibat

kehilangan hubungan heteroseksual, diperlukan mental

narapidana yang kuat dan baik. Mental yang baik ini dapat

ditumbuhkan dengan memberikan pendidikan agama terhadap

narapidana agar mereka menjalankan kehidupan dengan

memahami manakah perbuatan yang baik dan yang tidak baik.

Setiap narapidana diberi kebebasan untuk mengikuti pendidikan

agama yang menjadi kepercayaannya, dan menjalankan


93

ibadatnya di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan memahami

pembinaan rohani ini adalah menjurus kepada kesanggupan

berfikir baik, berucap baik dan berbuat baik, maupun mendukung

nilai-nilai kehidupan dan penghidupan yang dianggap baik dalam

masyarakat sehingga kembalinya mereka ke dalam masyarakat

akan menjadi manusia yang berguna bagi dirinya, masyarakat dan

taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pendidikan agama ini perlu ditekankan di lingkungan

Lembaga Pemasyarakatan. Petugas tidak boleh memaksa agama

orang lain tetapi biarkan mereka dengan sadar mengikuti

kepercayaannya dengan memberikan pelajaran, ceramah,

khotbah, brosur-brosur agama, pendidikan budi perkerti dan lain-

lain agar mereka bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta memberikan bekal

rohani berupa :

a. shalat berjamaah
b. baca Alquran
c. ceramah-ceramah agama
d. kebaktian

Dengan mendalamnya iman dan ibadahnya, narapidana

dapat mengendalikan nafsunya, mencintai kebaikan dan

membenci kejahatan. Dengan demikian mereka dapat berusaha

menghindari khayalan dunia bebasnya dengan lebih mendekatkan

diri kepada Tuhan.


94

2. Pemberian Pekerjaan Fisik

Pemberian pekerjaan fisik terhadap narapidana dalam

mengisi kekosongan waktunya akan mengurangi pengaruh dari

akibat kehilangan hubungan heteroseksual. Pemberian pekerjaan

fisik ini diharapkan akan mampu mengalihkan perhatian terpidana

dari kekecewaan dalam bidang tersebut. Dengan penuhnya

kegiatan dan tidak adanya waktu kosong maka terpidana

diharapkan mampu mengusir bayang-bayang negatif yang ada

dipikirannya. Setelah dia bekerja dan bergerak seharian, malam

hari benar-benar digunakannya untuk beristirahat dan pikiran-

pikiran buruk menjadi hilang.

Pemberian pekerjaan fisik ini juga untuk menambah

keterampilan dan pengalaman terpidana, yang antara lain berupa;

a. Pembuatan Kesedan
b. Menjahit
c. Pembuatan Pot Bunga
d. Pengelasan
e. Perkayuan
f. Budidaya Tanaman

Selain itu Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta juga

diberikan pendidikan Budi Pekerti dan Kejar Paket A, B, dan C,

untuk kegiatan kesenian yang dapat berjalan antara lain

a. Karawitan
b. Qasidah
c. Paduan suara
d. Grup Band
95

Dalam rangka program kesehatan jasmani Lembaga

Pemasyarakatan Purwakarta juga mengadakan kegiatan olahraga

berupa olahraga bola volley yang dilaksanakan setiap hari Senin

dan Rabu pada pukul 14.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB dan

kegiatan olahraga umum pada hari Jum’at pukul 07.30 WIB

sampai pukul 09.00 WIB. Selain itu ada pula senam kesegaran

jasmani yang dilaksanakan setiap hari Rabu pada pukul 07.00

WIB sampai pukul 07.30 WIB.

Petugas Lembaga Pemasyarakatan diharapkan mampu

mencari dan memberikan suasana yang harmonis sehingga

Narapidana selama menjalankan pidananya mau menerima

sebagai suatu kenyataan sebagai akibat dari perbuatannya yang

lalu. Dengan perasaan aman dan menerima pelayanan yang

diberikan sesuai dengan ketentuan, Narapidana akan

menjalankan segala ketentuan dan keharusan dengan itikad baik

untuk memperbaiki dirinya dan percaya bahwa perlakuan

terhadapnya tidak hanya untuk keperluan hukum, melainkan juga

untuk keperluan terpidana itu sendiri.

Dengan sibuknya terpidana selama seharian dengan

memberikan pekerjaan fisik ini dapat dianggap sebagai suatu

terapi terhadap terpidana dan diharapkan dapat menginsyafkan

terpidana bahwa bekerja adalah usaha yang halal, yang lebih


96

utama sebagai pengganti dari kemungkinan tindakan

pelanggaraan atau kejahatan.

3. Kunjungan keluarga

Salah satu derita yang dialami narapidana yang sering

menyebabkan keinginannya untuk melarikan diri adalah kerinduan

kepada keluarga dan anak-anaknya, terutama terhadap istrinya

untuk melakukan hubungan heteroseksual secara teratur dan

wajar, untuk menghindari kemungkinan melarikan diri akibat tidak

kuat dalam menahan hasratnya untuk berhubungan seksual

dengan istrinya perlu diadakan hubungan timbal balik antara

terpidana dengan suaminya, berupa kunjungan ke dalam

Lembaga Pemasyarakatan.

Kunjungan keluarga atau sahabat yang dilakukan di

lingkungan Lembaga Pemasyarakatan merupakan obat dalam

mengurangi derita kehilangan hubungan heteroseksualnya. Tidak

perlu terpidana harus berhubungan seksual secara langsung. Bagi

narapidana yang ingin menyalurkan nafsu seksualnya secara

wajar dan teratur lebih baik diterapkan pola pemberian cuti

mengunjungi keluarga untuk memberi kesempatan kepada

narapidana yang sudah menikah berhubungan heteroseksual.

4. Pemberian Cuti Mengunjungi Keluarga

a. Hukum / peraturannya
97

Saat seorang terpidana penjara menjalani vonis yang

dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga

negara otomatis akan dibatasi. Sesuai dengan UU No.12 Tahun

1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana

hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. 51 Walaupun

terpidana kehilangan kemerdekaannya, namun ada hak-hak

narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan

Indonesia. Pasal 14 ayat 1 (J) UU No.12 Tahun 1995

merupakan dasar hukum bagi narapidana untuk mendapatkan

hak cuti mengunjungi keluarga selama 2 x 24 jam, pasal ini

diakui oleh sebagian besar responden (90.91%) masih

mamadai sebagai salah satu upaya bagi narapidana dalam

rangka menyalurkan kebutuhan heteroseksual dengan

istri/suaminya. Pemberian cuti mengunjungi keluarga dijalankan

di lingkungan keluarga bersama istri/suami dan anak-anaknya

untuk mempertahankan dan mempererat ikatan keluarga,

sehingga narapidana dapat berkumpul seperti keluarga lainnya

dan dapat menyalurkan nafsu seksualnya secara wajar.

b. Petugas Lembaga Pemasyarakatan

Konsep pemasyarakatan yang diperkenalkan oleh

Saharjo, antara lain negara tidak berhak membuat seseorang

lebih buruk 52
. Artinya, di dalam kacamata negara, narapidana

51
Lihat pasal 1 (7) UU No.12 Tahun 1995.
52
Op Cit, Petrus Irwan Panjaitan, SH.,MH., Hlm.37.
98

adalah sumber daya. Narapidana tidak boleh menganggur.

Hukuman tidak bersifat derita, tetapi reintegrasi pelaku dengan

masyarakat salah satunya melalui program cuti mengunjungi

keluarga, untuk mencapai tujuan ini perlu memberi bekal

kepada narapidana, jangan sampai proses pembinaan yang

diberikan oleh petugas pembina Lembaga Pemasyarakatan

hanya di atas kertas saja. Petugas Lembaga Pemasyarakatan

sesungguhnya lebih mulia daripada para guru dan dosen,

karena objek yang harus dibina adalah orang-orang yang

secara nyata mempunyai kekurangan dalam prilaku serta tidak

mempunyai keinginan secara tulus untuk dibina. Petugas harus

bisa berpikir kreatif. Petugas jangan takut dihadapkan oleh

narapidana yang berantem, kabur dan sebagainya. Integrasi

melalui program cuti mengunjungi keluarga dapat terjadi jika

narapidana mampu beradaptasi dengan dinamika masyarakat.

c. Fasilitas Lembaga Pemasyarakatan

Mendayagunakan fasilitas di Lembaga Pemasyarakatan

Purwakarta misalnya sarana ketrampilan kerja bagi narapidana,

agar bisa menjadi tenaga kerja potensial yang dapat

menggerakkan kegiatan ekonomi. Misalnya kerja sama Lapas

dengan dunia bisnis, Lapas bisa relatif mendapatkan manfaat

dari kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi juga akan mendukung

tujuan akhir pembinaan di Lapas, mengintegrasikan kembali


99

narapidana dengan masyarakat. Dengan demikian bagi

narapidana yang ber-CMK pun dapat mempunyai nilai tambah

yaitu tidak hanya sekedar menemui keluarga namun ada

kepentingan bisnis yang dapat dimanfaatkannya.

d. Kesadaran Hukum Masyarakat

Dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum

masyarakat yang masih menganggap narapidana adalah

sampah masyarakat, cara paling strategis adalah

mensosialisasikan pandangan bahwa penghukuman itu bukan

alternatif utama sehingga dimungkinkan adanya penghilangan

stigma dari individu pelaku.

e. Kebudayaan Masyarakat

Budaya masyarakat yang cenderung emosional dalam

menanggapi para bekas narapidana karena adanya

Stigmatisasi dari masyarakat sendiri terhadap bekas narapidana

sehingga masyarakat enggan untuk berhubungan dengan

narapidana. Dalam proses pembinaan CMK narapidana

seharusnya didampingi langsung oleh petugas pembina,

semacam konseling atau guru bimbingan di sekolah. Sehingga

semua perubahan perilaku napi bisa dideteksi dengan laporan

yang transparan. Jadi ketika mereka keluar dari Lapas tidak

terjadi prasangka negatif dari warga masyarakat (stigmatisasi).


100

Hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh

Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara.

Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan

masalah-masalah kejahatan. Prof DR Mohammad Mustofa, MA

mengatakan;

Banyak tindakan di luar hukuman pidana yang dapat


diambil oleh hakim dengan memberikan hukuman
percobaan misalnya. Karena hukuman berupa kerja
sosial belum ada, dan baru merupakan draft RUU saja.
Masih banyak alternatif lain yang dapat diambil. 53

Sementara itu Thomas Sunaryo mengatakan;

Sebenarnya, konsep pemasyarakatan itu kuncinya di


hakim. Dia yang memutuskan seseorang masuk ke LP.
Padahal, kenapa harus selalu dimasukkan ke sini sampai
pelanggar perda yang dihukum dalam hitungan hari pun
juga dipenjara. Di luar negeri, seorang pengutil dijatuhi
hukuman 60 hari. Namun, ia diperbolehkan memilih
apakah akan melakoni hukuman tersebut atau memakai
baju dari kardus, seperti Kick Andy yang ditulisi I’m thief
atau saya pencuri. Ini untuk memberi rasa jera. 54

Pidana penjara yang merampas kemerdekaan manusia

patut sekali mendapat perhatian. Di satu pihak putusan hakim

pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa,

di pihak lain dalam pelaksanaannya hal itu menyangkut

martabat kemanusiaan (HAM) yang menjadi narapidana serta

kedudukannya sebagai warga negara atau penduduk Negara

Republik Indonesia, Prof. Sudarto, S.H., mengatakan ;

53
Prof DR Mohammad Mustofa, MA. Penjara Pilihan Terakhir. Majalah FIGUR,
Edisi III, Tahun 2006. Hlm.34
54
ditulis oleh Media KOMPAS 19 Mei 2007
101

Dalam hal ini pidanalah yang harus mendapat sorotan


yang tajam. Kalau membicarakan pidana maka harus
membicarakan orang yang melakukan kejahatan. Orang
itu adalah seperti kita semua, tidak berbeda sedikitpun
kecuali bahwa ia telah melakukan perbuatan yang
dilarang dan dinyatakan bersalah oleh hakim. Jadi
pembaharuan hukum pidana tetap berkisar kepada
manusia, sehingga ia tidak boleh sekali-kali
meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan, ialah kasih sayang
terhadap sesama.55

Dari uraian di atas dapat penulis katakan bahwa dengan

pemberian cuti mengunjungi keluarga bagi narapidana

diharapkan narapidana mampu berinteraksi dengan masyarakat

sekitarnya sehingga bila narapidana tersebut benar-benar

bebas nanti, masyarakat sudah siap untuk menerimanya

dengan baik berdasarkan penilaian mereka terhadap pola

tingkah laku narapidana selama menjalani cuti mengunjungi

keluarga di tengah keluarga dan masyarakat sekitarnya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

55
Prof. Sudarto, S.H., Hukum Pidana, dan Perkembangan Masyarakat Kajian
Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, hal.102.
102

Berdasarkan hasil data dan pembahasannya maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut ;

1. Ketidakoptimalan pelaksanaan pasal 14 ayat 1 (J) UU No.12 Tahun

1995 di Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta karena apresiasi dari

narapidana sendiri untuk mendapatkan hak CMK – nya masih kurang,

hal ini terkait dengan persyaratan yang harus dipenuhi cukup ketat

antara lain; narapidana harus mendapatkan Surat Keputusan

Asimilasi, Narapidana harus dilitmas oleh Bapas, dan lain-lain.

2. Narapidana ditempatkan dalam kamar-kamar menyebabkan betapa

naluri seks, kasih sayang, rasa aman bersama keluarga ikut terampas.

Rasa kasih sayang terhadap anak, istri/suami dan anggota keluarga

yang lain tidak dapat tersalurkan selama mereka berada di dalam

Lembaga Pemasyarakatan. Dari hasil penelitian menunjukan dampak

yang terasa dari kehilangan kebutuhan heteroseksual di dalam

Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta antara lain; Narapidana kurang

semangat dalam mengikuti kegiatan pembinaan, memiliki keinginan

untuk melarikan diri, merasa malas bekerja / kurang produktif.

Menunjuk pasal 14 ayat 1 (J) UU No.12 Tahun 1995 merupakan dasar

hukum bagi narapidana untuk mendapatkan hak cuti mengunjungi

keluarga dalam rangka mengatasi dampak tersebut diatas.

3. Solusi terbaik dalam hal pembinaan, bagi narapidana karena

kehilangan hubungan heteroseksual berupa; kunjungan keluarga ke

dalam Lembaga Pemasyarakatan, pemberian kegiatan olahraga,


103

kegiatan keagamaan dan cuti mengunjungi keluarga merupakan jalan

keluar yang efektif untuk mengurangi derita kehilangan hubungan

heteroseksual, serta diperlukan partisipasi warga masyarakat demi

tercapainya cita-cita pemasyarakatan.

B. Saran

Dengan memperhatikan hal-hal yang diperoleh dari hasil penelitian

berikut ini beberapa saran yang dapat dipertimbangkan;

Saran bagi Pihak Lembaga Pemasyarakatan:

1. Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta mohon lebih memperhatikan

hak CMK bagi narapidana agar sesuai dengan syarat–syarat yang

ada, dan sebelum narapidana menjalankan CMK mereka harus

diberikan pangertian tentang CMK ini yang bukan hanya untuk

menyalurkan kebutuhan biologis / seksual semata tetapi mengunjungi

keluarga seperti istri/suami, anak, orang tua ataupun kerabat lain.

Dengan demikian CMK berfungsi sebagai sarana proses integrasi

narapidana dengan masyarakat.

2. Mengacu kepada UU No.12 Tahun 1995 ada hak-hak narapidana yang

tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan maka mekanisme dan

pemberian berbagai hak narapidana, khususnya CMK agar

disosialisasikan dengan transparan supaya tidak menyebabkan

berbagai interpretasi dan penilaian yang negatif terhadap keberadaan

petugas Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta.


104

3. Sebagai solusi mengatasi derita kehilangan hubungan heteroseksual

antara lain; penambahan jumlah personil pegawai terutama tenaga

Psikolog di dalam Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta agar lebih

meningkatkan pelaksanaan program pembinaan keagamaan, olah

raga, pendidikan, kesenian, hiburan, sehingga dapat dikemas

penyajiannya lebih menarik dan tidak membosankan, misalnya

diadakan interaktif, dialog, tanya jawab, juga melibatkan warga

masyarakat, sekolah, mahasiswa, LSM, dan lain-lain.

Persoalan hak asasi manusia di dalam Lembaga Pemasyarakatan

yang diungkapkan di dalam penelitian ini diharapkan dapat mendorong

untuk penelitian selanjutnya, karena penelitian ini hanya membatasi ruang

lingkupnya kepada dampak kehilangan hubungan heteroseksual

narapidana, yang sebenarnya masih banyak kajian-kajian lain yang perlu

digali, sehingga diharapkan nantinya terdapat penelitian selanjutnya yang

dapat mengkaji persoalan hak asasi manusia di Lembaga

Pemasyarakatan lebih luas lagi.

Anda mungkin juga menyukai