Anda di halaman 1dari 224

NANA.

2 | NANA.
KANTIN TENGGARA

Copyright 2023. NANA.


Hak cipta dilindungi undang-undang.
All rights reserved.

Penulis: Penyunting:
NANA. NANA.

Penata Letak: Cover Design & Ilustrasi:


NANA. NANA. & AYU M.

Dilarang keras menyebarluaskan, memperbanyak, dan


menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku elektronik
ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa seizin penulis.

3 | NANA.
CERITA INI MERUPAKAN KARYA FIKSI.
SELURUH NAMA KARAKTER, TEMPAT,
INSTANSI, SERTA KEJADIAN YANG TERJADI
HANYALAH REKAYASA YANG DIBENTUK
SEMATA-MATA UNTUK MENCIPTAKAN
SUATU ALUR DAN TIDAK TERDAPAT
MAKSUD TERTENTU UNTUK MENYERANG
ATAU MENYINDIR PIHAK MANAPUN.

4 | NANA.
[ DAFTAR ISI ]

Prolog 6
DUA KOTAK MARLBORO MERAH 9
DI BALIK RUTAN 41
PENJAGA KANTIN TENGGARA 63
Cerita tentang mereka 79
Cerita para wanita 118
BUNDA Kedua mereka 147
Katanya, omongan adalah doa 154
Melepas bujangan pertama 173
Mereka akan TETAP SEMBILAN 187
Bani Sanjaya 196

5 | NANA.
PROLOG.

MAHASISWA.

Maha dan siswa. Dua kata yang mengemban makna

cukup dalam pada sebuah kehidupan.

Menyandang status sebagai mahasiswa memang menjadi

sebuah kebanggaan tersendiri. Apalagi jika atap dari tempat

mereka bernaung memiliki title sebagai kampus impian yang

penuh dengan berbagai harapan.

Sayangnya, peran menjadi mahasiswa tidak semudah itu

dapat dimainkan. Banyak hal yang harus dipikul oleh mereka

si pemegang kedudukan.

Ekspektasi, tekanan, pengorbanan, kebebasan, serta

berbagai macam hal turut serta menjadi buah dari lahirnya

keputusan mereka dalam mengemban peran. Sayangnya,

men-jadi mahasiswa juga bukanlah sebuah kepastian.

6 | NANA.
Beberapa dari mereka memilih menjadi mahasiswa

karena sebuah mimpi. Bercita-cita menjadi orang sukses

yang mampu membiayai keluarga atau yang diharuskan

untuk berperan sebagai anak berbakti.

Beberapa orang hanya mengikuti arus sebab tak tahu apa

yang akan terjadi. Yang tak tahu ke mana arah kehidupannya

setelah ini. Ada juga yang memilih hanya karena gengsi kalau

tidak meneruskan ke perguruan tinggi.

Beberapa lagi yang tak punya pilihan, sebab menjadi

mahasiswa adalah sebuah keharusan yang telah diputuskan

dan mereka tak memiliki kuasa untuk melawan.

Hingga akhirnya, masing-masing dari mereka pun punya

makna tersendiri perihal apa yang telah mereka jalankan.

7 | NANA.
8 | NANA.
DUA KOTAK
MARLBORO MERAH.

Bandung, tahun pertama.

Menjadi mahasiswa baru mungkin tidak jauh dari

agenda perkenalan. Tiga kali? Lima kali? Atau bahkan sudah

lebih dari seratus kali dalam sehari mereka semua melaku-

kan perkenalan.

Kenalan dengan mentor, teman satu kelompok, teman

satu jurusan, atau bahkan sesimpel kenalan dengan teman

yang ketemu saat antri buang air kecil di kamar mandi.

Padahal kalau dipikir-pikir lagi, semua isi perkenalan-

nya sama saja, tidak ada yang istimewa.

9 | NANA.
Seolah format perkenalan sudah menjadi urutan pasti

yang tidak dapat diubah atau diimprovisasi.

Biasanya orang hanya akan fokus pada nama, kemudian

lupa apa kalimat selanjutnya. Padahal, mereka hanya butuh

sebuah penanda antar manusia agar bisa dibedakan dari yang

lainnya.

Begini contohnya.

Mahesa Sanjaya hanya butuh satu kalimat perkenalan

berupa: “Mahesa Sanjaya. Hobi … berantem.” untuk bisa di-

kenal oleh seluruh mahasiswa. Kala itu, di bawah terik sinar

matahari serta di antara kerumunan mahasiswa yang duduk

melingkar di bawah tulisan ‘Kelompok 127’, Mahesa turut

merutuki setiap ucapan yang keluar dari mulutnya.

Kenapa harus kenalan pake hobi segala?

Sebetulnya bukan dengan sengaja ia memperkenalkan

diri seperti itu, lantaran kenyataannya Mahesa benar-benar

tidak tahu apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan template:

‘Apa hobi kamu?’ yang selalu saja ditanyakan.

10 | NANA.
Siapa yang tahu kalimat itu justru menyelamatkannya

dari setiap perkenalan hingga laki-laki itu tidak perlu lagi

mengucapkan kalimat berulang berupa: “Halo, kenalin, nama

gue Mahesa Sanjaya.” di lain perjumpaan.

Seperti sore itu, ketika Mahesa dipertemukan dengan

orang-orang yang dikirim oleh takdir untuk menjadi bagian

dari lingkaran pertemanannya setelah ini.

“Masih ada rokok, nggak, lo?”

Mahesa menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan

laki-laki yang berada di arah jam satu dari tempatnya berdiri

itu lah yang sedang berbicara dengannya. Siapa lagi? Di sini

tidak ada orang lain yang berdiri dekat dengannya selain laki-

laki ini.

“Gue ngomong sama lo. Nama lo Mahesa, kan? Kita

satu kelompok OSPEK kalo misal lo lupa.”

Oh, temen kelompok, kirain orang stress. Batin Mahesa.

Jelas Arga bisa mengingat Mahesa. Laki-laki itu tengah

menjadi bahan perbincangan teman-teman satu kelompok-

11 | NANA.
nya, bahkan sampai di lintas kelompok, sebab menjadi satu-

satunya orang yang mengatakan bahwa hobinya adalah

berantem di saat ada banyak hobi lain yang bisa ia jadikan

sebagai jawaban. Arga tidak menganggap itu aneh, karena

bagaimanapun juga ia tahu Mahesa hanya asal berbicara.

Laki-laki itu menatap Arga singkat sebelum mengeluar-

kan sekotak rokok dari dalam saku celananya.

“Nih,” katanya singkat.

Kalau boleh jujur, Mahesa tidak pernah ingat siapapun

yang ada di hadapannya jika mereka tidak benar-benar

penting atau gampang untuk diingat. Salah satunya adalah

Arga, laki-laki jangkung dengan pakaian yang terlihat masih

cukup rapi dan jelas sangat berbeda dengannya ini.

Mahesa pun tidak melihat adanya raut lelah dari wajah

laki-laki itu di saat semua orang—termasuk Mahesa—sudah

hampir kehabisan tenaga setelah seharian bergelut dengan

agenda OSPEK yang sangat melelahkan.

12 | NANA.
Tapi begitulah akhirnya Mahesa bisa mengenali Arga

dengan satu hal yang akan ia ingat sampai seterusnya: ‘Laki-

laki yang meminta rokoknya di Kantin Tenggara saat hari pertama

OSPEK.’ Cukup, hanya dengan satu kalimat itu.

Setelah melihat dan menyadari kehadiran laki-laki itu,

Mahesa merasa kalau Arga bagaikan matahari yang bersinar

terang di tengah kegelapan. Laki-laki itu datang membawa

secercah harapan yang menjelma menjadi senyuman kala

kehadirannya mengusik semua orang yang sedang dilanda

rasa kelelahan.

Bukan hanya Mahesa, beberapa orang yang ada di

sekitar mereka pun sejak tadi mulai menyadari kehadiran

Arga. Seakan laki-laki itu adalah suatu sumber cahaya yang

datang untuk menerangi jalan dan tidak bisa dilewatkan.

Tadinya Mahesa merasa kalau harinya tidak cukup baik.

Ia sadar belum memiliki satupun teman di hari pertamanya

OSPEK selain teman SMA bernama Abian dan Deka yang

tidak satu kelompok dengannya. Sifat dingin dan intimidatif

13 | NANA.
yang ia tunjukkan pada semua orang membuat mereka takut

untuk mengajaknya berteman.

Jangankan berteman, melirik saja tak berani.

Ditambah fakta bahwa laki-laki itu dikenal sebagai

‘Mahesa si hobi berantem’ di hari pertama OSPEK melenyapkan

seluruh kesempatannya untuk mendapatkan teman.

Sampai akhirnya, Arga—laki-laki yang berada di satu

kelompok yang sama dengannya—datang dengan dalih

meminta rokok, padahal laki-laki itu jelas terlihat datang

karena ingin mengajaknya berteman.

“Thanks, Bro. Gue Arga.” Tangan laki-laki itu dengan

sigap mengambil sekotak Rokok Marlboro dari tangan sang

pemilik. Yang diajak bicara hanya berdehem sembari terus

menghisap lintingan tembakau yang terlihat hampir habis.

Jelas ada perbedaan yang mencolok di antara mereka.

Siapapun yang melihat akan langsung mengenali siapa sosok

di balik nama Mahesa Sanjaya dan Auriga Danadyaksa hanya

dari cara mereka berbicara.

14 | NANA.
Mahesa si paling irit bicara—di depan umum—lengkap

dengan aura intimidatif yang kental hingga membuat semua

orang menjadi segan bahkan takut sekedar untuk bertukar

pandang dengannya. Mahesa pun kadang terlihat lebih

menyeramkan daripada panitia berbaju hitam yang berperan

sebagai panitia keamanan lapangan, yang sering meneriaki

mahasiswa OSPEK apabila melakukan secuil kesalahan.

Sekali lagi, Mahesa tampak menyeramkan.

Kebalikannya, Arga seperti sedang mengobral suara.

Bermodalkan senyum manis serta pertanyaan basa-basi, ia

bisa menaklukan seluruh orang hanya dengan obrolan yang

mereka lakukan. Tidak heran jika laki-laki itu bisa mendapat

teman separuh angkatan di hari pertama OSPEK.

Ibarat sebuah warna, Mahesa adalah hitam pekat,

sampai tak ada warna lain yang mampu untuk bercampur

atau mengalahkan pekatnya warna tersebut.

15 | NANA.
Sedangkan Arga, laki-laki itu bagaikan kanvas putih

yang selalu menarik orang lain untuk ikut memberikan

warna dalam hidupnya.

Arga lahir dengan aura cerah seperti matahari pagi di

musim semi. Jangan lupakan lesung pipi yang selalu muncul

bersamaan dengan senyumnya yang berseri-seri. Siapapun

yang melihatnya sudah pasti akan langsung jatuh hati. Arga

serupa jawaban dari doa para manusia yang selalu berharap

dipertemukan dengan laki-laki sempurna selayaknya malai-

kat yang ada di surga.

“Tinggal satu, Sa.” Arga membuka kotak kecil itu dan

menunjukkan lintingan terakhirnya pada Mahesa. Seolah

sudah sangat akrab, Mahesa bahkan mengikhlaskan harta

terakhirnya itu untuk ‘teman’ barunya.

“Pake aja,” balas Mahesa.

Lebih tepatnya, laki-laki itu juga tidak enakan.

16 | NANA.
Walaupun bertampang seperti preman, laki-laki itu

sebenarnya hanyalah manusia biasa yang sedang bersem-

bunyi dari kejamnya kenyataan.

“Pake punya gue aja, nih.”

Ada suara lain yang tiba-tiba masuk tanpa izin ke dalam

obrolan mereka. Seakan pemiliknya sangat yakin bahwa yang

tergabung dalam obrolan sebelumnya tidak keberatan akan

kehadirannya yang sangat tidak terduga.

“Masih utuh ini,” tawar Abian.

Laki-laki yang sudah berteman dengan Mahesa sejak

mereka duduk di bangku SMA.

“Lo kelompok berapa, Bi?” Mahesa menginjak rokok

terakhirnya sebelum ia lemparkan pada tong sampah

terdekat. Laki-laki itu nampaknya tidak menyadari sudah

menghisap lebih dari tiga batang dalam sekali berdiri.

“190, jauh. Lo berapa?” tanya Abian dengan tangan

yang sibuk membuka bungkus rokok baru sebelum ia

berikan pada Arga yang berdiri di sebelahnya. “Halo, Bro.

17 | NANA.
Kenalin, gue Abian, panggil aja Bian, jangan panggil Abi

soalnya gue bukan bapak lo.”

Ada kekehan kecil dari Arga setelah mendengar

perkenalan lucu dari Abian, tampaknya ia mulai nyaman

dengan suasana ini. Terlebih lagi setelah kedatangan laki-

laki itu sebagai pemecah keheningan.

Sejak dahulu, Abian selalu menjadi inisiator dalam

sebuah perkumpulan. Seolah telah ditakdirkan untuk

menjadi pemersatu bangsa sebab mampu beradaptasi di

segala lingkup pertemanan. Tidak perlu diragukan, mungkin

kalau ada presensi bertajuk ‘Teman-Teman Abian Paramayoga’

yang tersebar di setiap provinsi Indonesia, jelas akan ada

minimal satu orang perwakilan yang akan mengisi—hampir

mengalahkan list perwakilan Miss Indonesia setiap tahunnya.

Arga memang friendly, mudah berteman dengan semua

orang. Namun, Abian seperti magnet yang mampu menarik

orang lain untuk ikut menjadi bagian dari pertemanan.

18 | NANA.
Pada dasarnya, Abian memang selalu hadir untuk

meramaikan lingkungan. Belum lagi kalau sudah disatukan

dengan Deka, yakin tidak akan ada yang kuat meladeninya.

Dunia harus melipatgandakan mereka berdua untuk mem-

buat kita semua bisa terus merasa bahagia.

“Pake aja punya gue, biar abis sekalian. Gue udah ada

yang baru,” tolak Mahesa saat Arga hendak mengembalikan

rokok yang tadi sempat ia bawa. Sepertinya laki-laki itu

sudah sepenuhnya menerima kehadiran Arga.

Tak ingin pikir panjang, Arga pun menurut dan

menarik kembali rokok Mahesa sebelum menoleh untuk

mengembalikan milik Abian.

“Punya lo simpen aja, Bi, siapa tau Deka butuh buat

begadang ntar malem. Tuh anak kan kalo ga betak punya gue

ya betak punya lo. Mana mau dia beli sendiri.”

Abian tertawa mendengar fakta yang diucapkan oleh

Mahesa mengenai Deka. Memang benar bahwa temannya

yang satu itu memang hobi mengambil rokok Abian atau

19 | NANA.
Mahesa secara diam-diam. Bukan karena pelit, melainkan

uang saku dari bunda belum cukup untuk dipakai membeli

kebutuhan tersier itu. Deka terkadang masih sering ditanya

untuk apa uang sakunya hari ini, kalau sampai ia ketahuan

membeli rokok, mungkin bunda tidak akan memberinya

uang jajan lagi seperti saat masih SMA.

Jangan heran, Deka memang masih anak bunda.

“Gue Arga, satu kelompok sama Mahesa. Satu fakultas

juga, sih. Lo fakultas apa, Bi?” Arga menempatkan sebatang

rokok di antara kedua bibirnya sebelum mengambil korek

berwarna biru dari tangan Mahesa. Sesekali matanya melirik

Abian yang menjadi teman bicaranya saat ini.

“FTMD. Tapi gue satu SMA sama Mahesa,” balas Abian

ikut menghisap lintingan tembakau pertamanya.

“Tiga Bandung?” tebak Arga dan Abian mengangguk.

“Deka juga?” Arga lanjut bertanya seolah sudah mengenal

sosok Deka yang sejak tadi dibicarakan.

20 | NANA.
“Nggak satu SMA kalo sama Deka, dia lima. Tapi udah

temenan juga dari SMA.” Abian mulai berusaha menjelaskan

asal usul pertemanan mereka bertiga. Membuat Arga cukup

paham namun hanya memilih untuk diam.

“Gue satu kelompok sama Deka, Sa.” Kali ini Abian

berbicara dengan Mahesa, lalu melepaskan asap rokoknya ke

udara setelah membentuk lingkaran-lingkaran.

“Hoki banget,” balas Mahesa tampak sedikit iri. Tapi,

sorot matanya justru terlihat putus asa.

Bukan disebabkan oleh fakta tentang Abian dan Deka

yang berada di satu kelompok yang sama, melainkan putus

asa sebab ia harus berada di posisi sekarang yang jauh dari

keinginannya.

Iya, Mahesa adalah satu di antara banyak orang yang

‘terpaksa’ ada di posisi ini sebab tak punya pilihan, sudah

jelas bahwa kuliah di FTTM adalah sebuah keharusan.

“Hoki apaan, Sat? Sial banget ini, mah.” Abian tertawa

pelan, mengundang Mahesa untuk mengikutinya. Sedangkan

21 | NANA.
Arga lebih memilih untuk menyimak di balik kepulan asap

sembari sesekali ikut tersenyum.

Laki-laki itu jarang merokok, bahkan hampir tidak

pernah kalau tidak sedang ingin saja.

Tapi entah setan dari mana yang membuatnya tergoda

untuk menghisap lintingan tembakau itu lagi hari ini dan

menemani teman-teman barunya untuk berdiri di sini.

“Oyy, Bianjing!!”

Ketiga orang yang tadinya berdiri menghadap jalan itu

seketika menoleh saat mendengar seseorang memanggil dari

kejauhan. Dari pintu masuk lantai dua terlihat ada seorang

laki-laki sedang melambaikan tangan, diikuti oleh kurang

lebih lima orang laki-laki yang ikut menghampiri.

22 | NANA.
“Buset rombongan banget kaya mau haji,” ledek Abian

menyambut Deka dan kelima orang lainnya di lantai dua

Kantin Tenggara—tempatnya merokok sejak tadi.

Beberapa dari mereka tertawa dengan candaan Abian.

“Rombongan study tour kalo ini, mah. Terlalu setan buat

jadi rombongan haji,” sahut Deka tidak setuju.

Lucu.

Suasana lantai dua Kantin Tenggara yang tadinya sepi

lantaran waktu sudah menunjukkan pukul enam sore itu,

menjadi lumayan ramai lagi karena kehadiran enam orang—

ralat, sembilan orang kalau Mahesa, Arga, dan Abian yang

sejak tadi ada di sana juga dihitung—itu.

Mereka mengambil tempat yang ada di paling ujung

kanan lantai ini, meja yang paling dekat dengan tempat

Mahesa dan dua orang lainnya berdiri sejak tadi, kemudian

satu-persatu mulai duduk dan memperkenalkan diri.

23 | NANA.
“Kok lo mau ikut Deka ke sini, sih?” tanya Abian pada

Nakula, satu-satunya orang yang masih menggunakan jaket

almamater kampus mereka. “Disogok apaan, lo?”

Sebetulnya Deka dan Nakula juga berada di satu

fakultas yang sama dengan Abian—Fakultas Teknik Mesin

dan Dirgantara atau FTMD—maka dari itu mereka bisa kenal

terlebih dahulu karena sebelumnya memang sudah pernah

bertemu di acara gathering angkatan baru beberapa minggu

yang lalu.

Abian bahkan masih ingat bagaimana ia dan Nakula

bisa kenal. Semua orang pasti tidak akan percaya kalau ia

mengatakan kenal dengan Nakula karena mereka menyanyi-

kan lagu Potong Bebek Angsa bersama-sama.

Ceritanya begini, saat itu Nakula dan Abian datang

paling terlambat di acara gathering. Sialnya, mereka harus

terjebak di dalam pesta ulang tahun seorang anak kecil yang

kebetulan diadakan di tempat yang sama, hanya berbeda

ruangan saja.

24 | NANA.
Berbekal rasa sok tahu serta percaya diri tingkat tinggi,

Abian menuntun Nakula untuk masuk ke dalam ruang ber-

tuliskan nomor lima, di saat acara mereka yang sebenarnya

terselenggara di ruang nomor enam.

Salahkan mata Abian yang salah membaca serta Nakula

yang hanya iya-iya saja.

Sesampainya di dalam ruangan, semua orang menoleh

kepada mereka saat MC mengatakan bahwa seorang badut

dan pesulap akan segera masuk untuk menghibur mereka.

Sialnya, Abian dan Nakula masuk sepuluh detik sebelumnya

hingga membuat anak-anak berpikir kalau mereka lah sosok

yang sedang dinanti-nanti. Terlambat untuk pergi, si pemilik

acara malah menyuruh mereka untuk berimprovisasi.

Sebab tidak punya pilihan lain, Abian serta Nakula pun

menurut dan mengajak anak-anak untuk menyanyikan lagu

Potong Bebek Angsa—hanya itu yang bisa terpikirkan oleh

mereka—sampai si badut dan pesulap yang sebenarnya

mengambil alih posisi mereka.

25 | NANA.
Aneh, tapi memang begitu kenyataannya.

“Disogok rokok lo, katanya, Bi.” Mendengar jawaban

Januar, Abian langsung menyentil dahi Deka cepat.

“Yeeeu! Nyogok orang tapi kaga modal, dasar curut.”

Deka hanya meringis selagi memegangi dahinya yang

memerah karena sentilan Abian.

“Ini tuh namanya strategi marketing, Nyet!” protes Deka

yang lebih mirip seperti pembelaan diri.

“Terus, lo bisa kenal ini curut dari mana, Jan?” Nakula

bertanya pada Januar—teman sekelompok OSPEK-nya—ikut

memanggil Deka sebagai curut seperti yang Abian lakukan.

“Tadi kenalan pas antri pipis,” jawab Deka enteng,

membuat Mahesa yang duduk tak jauh darinya hanya

menggelengkan kepala.

Tidak lagi kaget akan kemampuan seorang Raharsa ‘Sok

Kenal’ Mahardeka untuk mencari teman sampai sekarang.

Sangat random dan di luar ekspektasi. Seperti Abian.

26 | NANA.
Terkadang Mahesa iri. Bagaimana kedua sahabatnya itu

bisa 180 derajat berbeda dengannya. Bagaimana bisa mereka

berdua cepat akrab dengan semua orang sedangkan dirinya

baru melihat saja kadang sudah merasa sangat lelah.

Jangankan basa-basi, membuka suara saja rasanya berat

bagi Mahesa. Ia adalah jenis manusia yang akan berteman

kalau diajak, bukan orang yang akan memulai ajakan.

“Terus gue tarik aja dia ke sini, soalnya dia bilang tau

Mahesa tapi belum sempet kenalan, kebetulan ini bocah juga

sekelompok sama Nakula.” Deka menambahkan. “Ya udah,

sekalian aja gue kenalin dia ke Mahesa, biar itu orang punya

temen lain selain kita berdua.”

Deka serta kepeduliannya terhadap masa depan per-

temanan Mahesa. Laki-laki itu memang setia kawan, patut

untuk dihadiahi sebuah penghargaan berjudul ‘Teman Paling

Setia Kawan Meskipun Sering Disepelekan’.

27 | NANA.
“Lah, lo berdua kan sekelompok sama gue juga!” Abian

kembali berseru sembari menunjuk dua orang yang sejak

tadi hanya diam, duduk berhadapan di ujung kanan meja.

Orang pertama terlihat tenang dengan kacamata yang

bertengger di wajahnya serta kedua tangan terlipat di depan

dada, bernama Dewantara Nataprawira.

Satu lagi terlihat biasa saja namun darah Jawa tampak

mengalir deras dalam tubuhnya, bernama Mahadeva Putra.

Kabarnya laki-laki itu memang memiliki darah biru—darah

ningrat—yang turun dari kakek buyutnya bertahun-tahun

silam di Kesultanan Yogyakarta.

“Ya, iya! Kan satu kelompok sama gue juga.” Lagi-lagi

Deka menjadi juru bicara dan membiarkan Dewa serta Putra

mengamati perbincangan mereka dari tempatnya.

“Eh, lo tuh yang tadi nyanyi di tengah lapangan, nggak,

sih?” Laki-laki paling tinggi dengan name tag bertuliskan

‘Arjuna Abimanyu’ yang belum sempat ia lepaskan itu ber-

tanya kepada Abian.

28 | NANA.
Agaknya mengingat kejadian memalukan laki-laki itu

saat acara games kelompok tadi. Entah memalukan atau tidak

namun yang pasti ia sanggup membuat banyak mahasiswa

tertawa karena tingkah lakunya.

“Yang nyanyi lagu Keong Racun sambil joget-joget di

tengah lapangan?” tanya Januar pada Arjuna sebelum laki-

laki itu beralih menatap Abian dengan wajah tidak percaya.

“Gokil lo, Bro.”

Januar sempat memberikan dua jempol tanda apresiasi.

Agaknya merasa bahwa Abian pasti cocok untuk mengikuti

ajang Dangdut Academy.

“ANJING, GUE JUGA LIHAT TADI!” Nakula tiba-tiba

berteriak, membuat yang lain berjingkat apalagi Deka dan

Januar yang berada paling dekat dengannya.

“Gila, lo kalo masuk Indonesian Idol langsung juara, sih,

Bi! Kalo kata Mas Anang Hijau, ‘Aku sih yes’!!” canda Nakula

mengundang tawa dari beberapa orang yang duduk di sana.

29 | NANA.
Menggunakan kejadian memalukan Abian siang tadi

sebagai bumbu dari perkenalan singkat mereka hari ini.

“Emang lo nggak malu, Bi?” tanya Dewa penasaran.

Akhirnya mulai membuka suara setelah tiga puluh menit

pertama hanya menjadi penonton. Pasalnya Dewa yang

melihat dari lingkaran kelompok saja merasa malu, apalagi

Abian yang melakukannya di tengah ribuan mahasiswa baru?

Tapi, yang ditanya adalah ABIAN PARAMAYOGA.

“Nggak, ngapain malu? Gue kan bukan tukang,” canda

Abian santai. Jauh berbeda dari perkiraan Dewa.

Ya, nggak salah, sih.

Tapi begitulah Abian yang memang tidak punya malu.

Jangan kaget dengan seluruh tingkah anehnya. Menyanyi di

tengah lapangan hanyalah satu di antara sekian juta kelakuan

Abian yang tidak bisa diprediksi akan semengejutkan apa.

Sisanya? Jelas banyak yang lebih memalukan.

30 | NANA.
Sampai akhirnya nama Abian Paramayoga bisa dikenal

sebagai ‘Si Keong Racun’ akibat nyanyian legendarisnya yang

menggema di seluruh penjuru kampus sampai sekarang.

“Yah, gue sama Mahesa nggak bisa nonton pertunjukan

gratis.” Arga menyahut dengan nada kecewa, menarik atensi

beberapa orang hingga menoleh kepadanya.

“Lo kelompok berapa, sih, Ga?” tanya Arjuna.

“127, sama gue.” Padahal sejak tadi urung berbicara,

sekalinya berbicara Mahesa malah menjawab pertanyaan

yang tidak ditujukan pada dirinya.

Arga yang hendak menjawab pun sekejap berhenti dan

hanya merespons dengan anggukan setuju, merasa cukup

dengan jawaban yang telah Mahesa lemparkan.

“Satu kelompok, dong, sama kembaran gue?” sahut

Dewa tiba-tiba menjadi antusias. Semua orang ikut menaruh

perhatian mendengar kata ‘kembaran’ yang baru diucapkan.

Tertarik dengan fakta bahwa ternyata ada orang yang ber-

wujud sama dengan Dewa.

31 | NANA.
Padahal mereka tidak tahu, kalau kembaran Dewa yang

sebenarnya adalah seorang gadis dan bukan serupa pinang di

belah dua dengan laki-laki itu.

“Kembaran lo kelompok 127 juga?” Dewa mengangguk

setuju. Begini susunan kelompok OSPEK mereka tadi: Arga

dan Mahesa ada di kelompok 127—tambahan informasi:

ternyata mereka satu kelompok dengan kembaran Dewa.

Abian, Deka, Putra, dan Dewa ada di kelompok 190

yang berdekatan dengan Nakula, Arjuna, dan Januar di

kelompok 193.

Tidak heran jika mereka semua—kecuali Mahesa dan

Arga—bisa melihat konser tunggal Abian di tengah lapangan

tadi siang. Tepatnya di Lapangan Sipil yang berisi kelompok

151 sampai 300, berbeda dengan kelompok Arga dan Mahesa

yang ada di Lapangan Seni Rupa.

“Lo berdua fakultas apa?” lanjut Dewa yang tidak tahu

bahwa dua orang yang sedang berbicara dengannya itu juga

berada di satu fakultas yang sama dengannya.

32 | NANA.
Maklum, saat itu Dewa tidak sempat mengikuti acara

gathering mahasiswa baru FTTM, sehingga tidak tahu kalau

Mahesa dan Arga ternyata satu fakultas dengannya.

“FTTM.”

Mahesa dan Arga menyahut bersamaan membuat Dewa

tertawa padahal tidak ada yang lucu. “Jodoh, sih, kayanya.

Gue sama kembaran gue juga dari FTTM.”

Bukan hanya Dewa, Mahesa, dan Arga, orang lain yang

berada di satu fakultas yang sama dengannya adalah Arjuna

dan Januar. Sedangkan Putra paling berbeda lantaran satu-

satunya orang—di meja ini— yang berasal dari FTSL atau di-

kenal sebagai Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan.

“Namanya siapa?” tanya Arga. Seingatnya tidak ada

orang dengan wujud yang mirip laki-laki itu di kelompoknya.

“Atha. Athalia Nataprawira,” sebut Dewa cepat.

Mahesa yang mendengarnya hanya tertawa dalam hati.

Otaknya mengingat dengan jelas siapa sosok yang baru saja

disebutkan oleh laki-laki itu.

33 | NANA.
Jodoh apaan? Ogah banget!

Di sisi lain, Arga menatap Mahesa sembari tersenyum

penuh arti. “Oalah, dia, mah, yang tadi siang berantem sama

Mahesa,” kekeh Arga membuat Dewa memiringkan kepala

dan beberapa orang lainnya ikut menatap Mahesa dengan

penuh tanya. Laki-laki yang menjadi pusat perhatian malah

membuang muka seolah tidak terjadi apa-apa.

“Baru hari pertama udah berantem aja, Sa?” sahut Deka

yang sebenarnya tidak begitu kaget dengan fakta bahwa

Mahesa Sanjaya tidak akan pernah jauh dari kata ‘berantem’

sejak SMA.

“Jadi dia beneran orang yang ngomong kalo hobinya

berantem?” tanya Putra dengan sedikit tawa, seakan telah

mendengar rumor tentang Mahesa dan hobi berantemnya.

“Gue kira cuma bercanda.”

“Emang tadi mereka berantem kenapa?” Dewa men-

condongkan tubuhnya agar dapat mendengar ucapan Arga.

34 | NANA.
“Nggak officially berantem, sih, Wa. Cuma cekcok dikit,

tapi cukup bikin semua orang di kelompok sakit kepala.”

Memang benar fakta bahwa tadi saat pertengahan

OSPEK—lebih tepatnya di sesi tanya jawab—Mahesa dan

Atha sedikit cekcok lantaran adanya kesalahpahaman.

Bukan hal besar, namun mampu menghentikan

kegiatan di kelompok mereka. “Makanya langsung kesebar

juga itu rumor Mahesa hobi berantem. Soalnya langsung

kebukti di hari pertama.”

“Padahal gue cuma bercanda,” elak Mahesa.

“Tapi ini fakta, guys, dulu pas SMA tuh orang juga udah

terkenal jadi tukang gebuk. Hobi dia kalo nggak masuk ruang

BK, ya, masukin anak orang ke UGD gara-gara babak belur

semuanya.” Deka menunjuk Mahesa dengan dagunya.

“Tanya Abian, tuh, kalo nggak percaya.” Semua orang

menoleh pada Abian seolah meminta validasi atas ucapan

Deka. “Ya, kan, Bi?”

35 | NANA.
Abian merutuki Deka dalam hatinya, dengan cepat ia

menoleh pada Mahesa dan mendapati laki-laki itu menatap-

nya tajam seakan sedang memberi isyarat “Nggak usah ladenin

Deka.” kepadanya.

“Kalo itu lo tanya aja sama orangnya, gue nggak mau

komentar,” balas Abian diimbuhi tawa.

Namun, setelah itu justru tidak ada lagi pertanyaan.

Sepertinya terlalu takut untuk menghadapi Mahesa yang

mulai mengeluarkan aura intimidatifnya. Lebih tepatnya

lagi, mereka tidak ingin merusak suasana dengan mengorek

informasi yang dirasa cukup menjadi privacy untuk ukuran

mereka yang baru berkenalan tiga puluh menit yang lalu.

“Ada yang bawa rokok, nggak? Kalo ada, bagi, dong.

Asem banget mulut gue dari tadi nggak nyebat.” Nakula

kembali bersuara untuk memecah keheningan, membuat

Mahesa dan Abian seketika melemparkan rokok mereka ke

tengah meja.

36 | NANA.
“Anjir, bisa-bisanya pada bawa. Nggak takut kena razia

lo berdua?” Januar tertawa renyah namun tangannya tetap

sigap mengambil sebatang rokok dari kotak terdekat—milik

Mahesa. Sepertinya mulut laki-laki itu ikut terasa asam

lantaran tidak dijamah oleh setitik nikotin sejak pagi buta.

“Orang-orang kenapa rokoknya sama semua, ya?” basa-

basi Putra saat melihat dua kotak rokok Marlboro Merah di

atas meja yang sekejap berubah menjadi rokok bersama.

“Lo nggak ngerokok, Wa?” lanjut Putra ditujukan pada

laki-laki di hadapannya. Sejak tadi hanya Dewa yang tampak

tidak tertarik sedikitpun dengan sumber nikotin tersebut.

Laki-laki itu terlihat sangat tenang, mengamati setiap

pergerakan serta perbincangan teman-temannya dari ujung

meja. “Nggak, gue udah berhenti sejak lulus SMA.”

“Tapi nge-vape?” Dewa menggeleng. Tangannya mulai

sibuk membersihkan meja dengan tisu yang ada di depannya.

Sebisa mungkin mengalihkan fokusnya pada benda

tersebut agar gurat tak nyaman pada wajahnya tidak terlihat

37 | NANA.
oleh teman-temannya. Sesekali ikut merapalkan doa agar

mereka tidak bertanya apa alasan Dewa melakukannya.

“Hidup sehat dia, tuh, takut mati muda.” Candaan dari

Deka membuat semua orang tertawa.

Tidak terkecuali. Termasuk Dewa.

Tanpa pernah tahu kalau di masa depan, candaan ter-

sebut akan menjadi sumber penyesalan yang paling mereka

ingat sepanjang hidupnya.

Setelah berbincang cukup lama untuk membicarakan

hal-hal serius seperti mengapa mereka memilih kuliah di

NCIT dan mengambil fakultas tersebut, sampai hal-hal tidak

penting seperti menebak jumlah uban milik Deka, beberapa

orang mulai terdiam.

Hanyut dalam fantasi yang mereka miliki.

Beberapa lagi sibuk menikmati hilangnya matahari

yang ditemani oleh beberapa mahasiswa baru berlalu-lalang

mencari jalan untuk pulang, setelah melewati hari yang

panjang dan cukup melelahkan.

38 | NANA.
Mereka semua pun tidak menyadari, garis batas yang

sempat hadir di antara mereka perlahan mulai menghilang.

Tergantikan oleh asap rokok dari dua kotak Marlboro Merah

yang telah mereka habiskan.

39 | NANA.
40 | NANA.
DI BALIK RUTAN.

Bandung, tahun pertama.

Rutan atau Rumah Tanaman—bukan Rumah Tahanan.

Begitulah mereka menyebut rumah ini. Sebuah rumah

dua lantai dengan lima kamar serta tembok yang seluruhnya

berwarna hijau. Disebut sebagai Rutan sebab ada berbagai

jenis tanaman yang menghiasi halamannya. Mulai dari

tanaman hias sampai tanaman budidaya. Terkadang mereka

bingung sebenarnya ini adalah rumah atau kios tanaman.

Rumah sederhana yang kini menjelma menjadi rumah

kontrakan mereka sejak satu bulan yang lalu.

Berawal dari celetukan asal Abian yang mengatakan

bahwa ia ingin tinggal dengan teman-teman barunya—Anak

41 | NANA.
Tinggar—agar bisa semakin dekat, membuat sembilan orang

itu akhirnya berada di sini. Mewujudkan mimpi Abian untuk

bisa tinggal bersama agar semakin dekat.

Padahal, tujuan utamanya agar bisa berbuat maksiat.

Astaghfirullahaladzim.

Mungkin maksiat yang dimaksud adalah MAKan Siang

Anak Tinggar. Jangan negatif thinking dulu, teman.

Rumah ini terdiri dari lima kamar yang tersebar di dua

lantai. Dua kamar di lantai satu dan tiga kamar di lantai dua.

Kamar paling depan yang dekat dengan ruang tamu di

lantai satu, dihuni sendiri oleh Mahesa. Konon katanya,

orang yang berada di kamar paling depan harus memiliki

keberanian yang sangat besar. Sebab kalau ada apa-apa ia lah

yang pertama kali akan diincar.

Untungnya, Mahesa mengajukan diri secara sukarela,

sehingga tidak ada paksaan kepada siapa saja yang berada di

sana. Menurut Deka, kamar itu sangat cocok dengan Mahesa.

Selain karena Mahesa memang tidak bisa tidur bersama dan

42 | NANA.
selalu ingin tidur sendirian, kata Deka sekalian bisa menjadi

satpam kontrakan.

Deka memang sedikit kurang ajar.

Kamar selanjutnya adalah kamar paling besar yang ada

di rumah ini, kamar yang terletak di dekat ruang televisi.

Dihuni oleh si kembar Janu dan Juna yang saat itu menjadi

juara pertama dalam permainan pemilihan kamar.

Di lantai dua, ada tiga kamar yang masing-masing diisi

oleh dua orang yang dipilih dengan menggunakan random

picker agar tidak terjadi kecemburuan.

Abian dan Arga berada di satu kamar. Berhubung saat

itu mereka adalah juara dua, maka mereka bebas memilih

terlebih dulu kamar mana yang mereka inginkan. Pilihannya

lantas jatuh pada kamar terbesar kedua yang ada di paling

ujung, langsung terhubung dengan balkon.

“Bilang aja mau modus sama mbak kosan depan!” Deka

mencibir tidak terima lantaran ia sudah mengincar kamar itu

sejak pertama.

43 | NANA.
Dewa dan Putra selaku pemenang ketiga pun memilih

setelahnya. Namun, karena dua kamar terakhir memiliki

bentuk serta ukuran yang sama saja, maka Dewa dan Putra

membebaskan pilihan pada Deka dan Nakula agar mereka

bisa memilih terlebih dahulu. Alasannya karena Dewa dan

Putra tidak keberatan untuk tidur di mana saja, tapi alasan

lebih jujurnya, sih, karena Dewa ingin memberikan Deka ke-

sempatan untuk memilih setelah laki-laki itu merasa kecewa

karena harus kehilangan kamar impiannya.

Lalu, berakhir lah dengan Deka dan Nakula memilih

kamar paling dekat dengan tangga, membuat pilihan

otomatis menempatkan Dewa dan Putra di kamar tengah

antara kamar Arga-Abian dan Deka-Nakula.

Awalnya kontrakan aman-aman saja.

Mereka membagi tugas dengan adil perihal siapa saja

yang memiliki tanggung jawab untuk mengurus sesuatu,

seperti siapa yang bertugas membeli gas, siapa yang bertugas

membeli air galon, siapa yang bertugas mencuci piring, siapa

44 | NANA.
yang bertugas menyiram tanaman, dan berbagai tugas lain

yang selalu di rolling setiap minggu agar adil.

Kala itu pembagiannya memang adil dan tidak ada yang

protes. Tapi, lama kelamaan semua orang menjadi lelah dan

terkadang lupa akan tugasnya. Belum lagi kalau sudah ada

agenda saling menuduh karena kehilangan suatu barang.

“Woy, gue nggak mau sekamar sama Deka lagi, cangcut

gue ilang semua dibetak sama dia,” protes Nakula.

“Jijik banget, Dek, cangcut aja dibetak.”

“Kan, Deka cita-citanya kalo gede mau jadi anggota The

Cangcuters, tapi nggak kesampean makanya betak cangcut.”

Ujungnya, Deka lagi yang kena. Padahal dia tidak me-

lakukan apa-apa dan hanya diam di kamar menonton Larva.

Belum lagi kalau musim masuk kuliah pagi dan Nakula

sebagai orang pertama yang masuk ke kamar mandi.

“Mending gue nunggu Deka balikan sama Gista aja, lah,

daripada nunggu bau tainya Nakula ilang. Lama banget.” Itu

kalimat dari Arjuna.

45 | NANA.
“Bool lo apa kaga panas, dah, anjing? Boker kok dua jam

banget kaya Ujian Nasional.” Kalo ini Januar.

“Gue sebenernya udah curiga, dia sebenernya boker apa

nyekolahin tainya sampe S2, sih? Lama banget, gue ampe

lumutan nunggunya.” Sudah pasti, ini Abian Paramayoga.

Atau masih banyak hal lain yang menjadi perdebatan.

Kadang mulai dari hal tidak penting juga seperti handuk

basah yang tergeletak di sofa depan tanpa ada yang mengaku,

atau kaus kaki misterius yang tidak dicuci selama sebulan

dan tergeletak begitu saja di ruang makan.

Jorok.

Tapi meskipun terkadang mereka saling menuduh atau

bersikap menyebalkan, semua itu adalah kilasan momen-

momen berharga yang akan selalu tinggal di ingatan sampai

mereka tua.

46 | NANA.
“GALON UDAH ABIS WOY! INI YANG WAKTUNYA

BELI SIAPA, YA?!!?”

Abian berteriak dari dapur, membuat beberapa orang di

ruang televisi menoleh dan menatap Mahesa si oknum yang

seharusnya bertugas hari ini.

“Lah, lo belum jadi beli tadi, Sa?” Mahesa menggeleng.

Mengundang tanya dari yang lainnya.

“Kenapa?” tanya Arjuna sembari tangannya mengganti

tontonan mereka dari Netflix menjadi Disney Hotstar. Butuh

sekitar satu menit sampai Mahesa akhirnya menjawab.

“Banyak ibu-ibu lagi rumpi di depan kontrakan.”

ALLAHUAKBAR.

“Ya masa kita nggak bisa minum cuma gara-gara ada

ibu-ibu lagi ngerumpi, sih?” protes Putra.

Namun, Mahesa hanya melirik singkat galon yang tiba-

tiba dibawa Abian ke hadapannya. Mengisyaratkan laki-laki

itu untuk segera menunaikan kewajibannya.

47 | NANA.
“Gue takut, anjir,” ucap Mahesa dengan bergidik ngeri,

membuat semua orang tercengang lantaran takut kalau

ternyata mereka hanya salah dengar.

“Takut apaan? Mana ada sejarahnya Mahesa Sanjaya si

tukang gebuk kampus, tiba-tiba takut?” Putra menyahut dan

didukung oleh anggukan dari beberapa orang lainnya.

“Tau, dah. Takut apaan, sih? Lo nggak bakal digigit juga

sama mereka, Sa.” Nakula memakan sebuah keripik kentang

hasil ia menyahut dari Arga.

“Kalo digigit, mah, tinggal gigit balik aja, rawr.” Deka

mempraktikkan gerakan harimau—lucu—kepada Mahesa.

Terdengar tawa dari beberapa orang setelah Deka menutup

mulutnya. “RAWRRRRR!” Abian ikut menirukan gerakan

Deka di hadapan Mahesa.

Tapi laki-laki itu masih tidak bergeming dari tempat-

nya, seakan kepalanya masih sibuk memproses sesuatu.

“Gue takut … salting,” ucap Mahesa lirih, mengundang

raut bingung sebelum ruangan itu dipenuhi tawa lagi.

48 | NANA.
“Gue serius, anjing, abisnya ibu-ibu di depan kontrakan

suka godain gue.” Mahesa melanjutkan. Kali ini air mukanya

menunjukkan kalau ia benar-benar takut.

Beberapa orang pun menghela nafas panjang, ada juga

yang tertawa lebih kencang. Tidak paham akan jawaban

mengejutkan seorang Mahesa Sanjaya yang batal membeli

galon hanya karena takut salting—salah tingkah—saat digoda

ibu-ibu di depan kontrakan.

MALU SAMA PREDIKAT TUKANG GEBUK LU, SA!

“Ya udah, berarti tinggal lo godain balik aja ibunya, gitu

aja kok susah.” Januar memberi saran—atau malah terasa

seperti sedang sharing pengalaman.

Kalo Januar, mah, emang nggak susah.

Agaknya laki-laki yang sedang asyik mengunyah kacang

atom itu lupa kalau manusia yang sedang disidang sekarang

adalah manusia yang anti dengan godaan.

“Kalo itu, mah, emang lo aja yang suka modus, bangsat.”

49 | NANA.
Mahesa diam-diam mengangguk, merasa setuju dengan

tumpahan fakta dari Dewa. Memang Dewa yang terbaik!

“Mana duitnya sini, biar gue aja yang beli ke depan kalo

gitu.” Abian yang paham akan situasi, pun, mengulurkan

tangan, meminta uang yang tadinya dibawa Mahesa untuk

membeli air. Menggantikan pion itu untuk berperang me-

lawan ibu-ibu tukang rumpi di depan kontrakan.

“Lo berani?” bisik Mahesa tidak yakin. “Mereka nggak

kayak ibu-ibu biasa, Bi.”

Meski bingung dengan ucapan Mahesa, Abian tetap

berpegang teguh pada pendiriannya. “Nggak biasa gimana?

Emang mereka makan paku? Atau malah bawa Reog?”

“Nggak gitu.” Mahesa bangkit dari duduknya untuk

berjalan menuju jendela depan yang tertutup tirai putih.

Hendak menunjukkan kepada Abian mana yang ia maksud

dengan ‘tidak biasa’ itu.

50 | NANA.
“Tuh, lihat aja kelakuannya!” tunjuk Mahesa menarik

fokus Abian pada lima sosok wanita muda—bukan ibu-ibu—

yang sedang duduk di atas pagar. Pagar kontrakan mereka!

“OALAH!” Abian berteriak lega. “Gue kira beneran ada

apaan.” Sepertinya ia tidak merasa ada yang aneh.

Melihat Abian dan Mahesa yang heboh sendiri di ruang

tamu, menyeret tujuh orang lain yang tadinya asyik duduk di

ruang televisi menonton film Moana itu untuk meninggalkan

singgasana mereka dan berjalan menghampiri mereka. “Ada

apaan emang?” Arga berbisik dari balik kepala Abian.

“Itu, ada gengnya Mbak Jumilah nongkrong di pager.”

“Etdah, udah kayak kuntilanak aja.” Deka menyahut.

Kemudian kepalanya melongok untuk ikut melihat. “Tapi

masa beneran nongkrong di pager—Lah akrobat, anying?”

“Pantesan ini orang bilang ada ibu-ibu luar biasa.” Janu

tertawa sebelum berpindah tempat, memberikan temannya

yang lain akses untuk ikut melihat atraksi Mbak Jumilah and

The Gank sedang duduk di atas pagar.

51 | NANA.
Belum tau aja mereka kalo Mbak Jumilah and The Gank juga

bisa nongkrong di atas pohon meskipun bukan kuntilanak!

Lagi pula, Mbak Jumilah siapa coba? Entahlah, tapi

yang pasti hanya Abian yang mengenalnya.

Baru sebulan di kontrakan tapi kabarnya laki-laki itu

sudah akrab dengan separuh warga di daerah ini.

“Siapa emangnya?” Kali ini Dewa yang bertanya setelah

bergantian mengintip dari balik tirai.

Lucu sekali, mereka seperti anak kecil yang mengintip

teman-temannya dari dalam rumah karena tidak diizinkan

pergi bermain oleh orang tuanya. “Mbak penjaga warnet.”

“Emang masih ada warnet?” tanya Putra kepada Abian.

Laki-laki berkaus kuning itu diam sejenak, berusaha

mengingat apakah benar namanya warnet atau bukan.

“Apa ya namanya? Tapi dia, tuh, jualan voucher wifi gitu

di rumahnya. Gue nggak tahu sebutannya apa. Pokoknya,

waktu itu, banyak banget bocil yang duduk di teras dia buat

main game. Pas gue tanya kenapa, katanya lagi wifi-an.” Abian

52 | NANA.
menjelaskan seperti seorang guru yang menjelaskan pada

muridnya.

“Rumahnya yang mana?” tanya Deka penasaran.

“RT sebelah.” Semua orang terkejut, sebab ternyata

jauh sekali wanita itu nongkrong sampai ada di sini.

Nongkrong, nggak, tuh?

“Jauh banget.” Putra berkomentar.

Abian mengangguk. Sedangkan delapan kepala itu satu

persatu mulai mengintip jendela lagi melihat pergerakan

Mbak Jumilah yang kini sedang tertawa dengan temannya.

“Dia nggak ke sini karena mau godain Mahesa, kan?”

Abian terkekeh, kemudian menggeleng. “Nggak, Bro.”

Syukurlah, Mahesa bisa bernafas lega sekarang, meskipun

sedikit trauma sebab tadi ia benar-benar digoda oleh oknum

yang sedang mereka bicarakan itu.

“Tapi Mbak Jumilah emang suka gitu, kok.” Abian ber-

bicara lagi seolah sudah sangat mengenal si Mbak Jumilah.

53 | NANA.
Kalau kata orang sekarang, sudah bestie. “Dia, tuh, lagi caper

sama Mas Budi.”

“Mas Budi galon?” Abian mengangguk pada Deka yang

sepertinya juga mengenal siapa Mas Budi.

“Oalah, pantesan dari tadi pagi nangkring di sana nggak

balik-balik. Tadi pagi masih duduk di bawah padahal, kok

tiba-tiba udah di atas pager aja sekarang.”

Terpecahkan sudah mengapa wanita itu ada di depan

kontrakan sejak tadi pagi dan tidak kunjung pergi sampai

hampir sore hari. Kabarnya—dari Abian—empat orang lain

yang sedang nongkrong bersama Mbak Jumilah juga sedang

dalam proses caper dengan pujaan hatinya.

“Nih, ya, gue kasih tau.” Abian menarik delapan orang

itu untuk mendekat, membentuk lingkaran dengan sebuah

galon ada di tengah-tengah mereka.

“Kalian hati-hati aja mulai sekarang, soalnya—” Tiba-

tiba kalimat Abian terputus, meninggalkan pernyataan yang

masih membutuhkan sebuah kelanjutan.

54 | NANA.
“Soalnya, salah satu anggota Andin Lovers itu ada yang

naksir sama kita.” Andin Lovers maksudnya nama geng Mbak

Jumilah. Sudah jelas dari namanya mengapa geng itu bisa

terbentuk sampai sekarang.

“SIAPA??” Jelas ini Deka yang paling kaget, juga mulai

drama. “Jangan-jangan, ARGA!?”

“Andin Lovers banget?” cibir Dewa.

“Jangan percaya sama Abian.” Arga yang lebih dulu

keluar dari lingkaran tiba-tiba bersuara. Tidak ingin percaya

dengan ucapan asal laki-laki itu. Padahal Abian tidak asal.

“Ya udah kalo nggak percaya.” Laki-laki itu menaikkan

bahu santai. Seolah ketidakpercayaan mereka bukanlah hal

yang penting baginya.

“Haus, nih, buruan beli aja galonnya.” Semuanya pun

ikut pergi meninggalkan lingkaran. Tidak lagi menghiraukan

Abian yang masih berdiri menatap sosok di luar sana yang

sesekali menatap ke arah kontakan mereka.

“Eh, gue laper.”

55 | NANA.
“Sama, gue juga, kita belum makan siang.” Suara Putra

muncul setelah milik Arjuna menghilang.

“Mau makan apa hari ini?” tanya Mahesa mulai mem-

buka ponsel untuk mencari makanan di aplikasi online.

Sepertinya agenda membahas Mbak Jumilah dan geng-

nya tadi membuat Mahesa dan yang lainnya langsung lapar.

“Ada yang mau pizza, nggak?” tawar Mahesa.

“Nasi aja, please.” Dewa memohon. “Tapi kalo kalian

pada pengen pizza juga nggak papa, sih. Gue ngikut.”

Selanjutnya, dua orang tampak mengangkat tangan

tanpa berbicara. Tiga orang lain menyahut setuju. Sisanya,

ada Abian, Nakula, dan Mahesa yang sudah pasti setuju juga.

“Gue pesenin, ya, kalo deal semuanya. Mau yang limo

apa yang biasa aja?” tanya Mahesa.

“Eh, pada mau nambah kopi sekalian apa nggak? Fore

enak, nih.” Nakula tiba-tiba berteriak sebelum disetujui oleh

Mahesa. Tapi laki-laki itu pun pasti hanya iya-iya saja.

56 | NANA.
“MAUUU!” teriak Deka dari arah tangga. “Kata Dewa

mau juga tapi jangan kopi.”

“Tapi gue pengen Mixeu, dah.”

“Kemaren udah, anjing. Ketagihan, lo?” Januar protes

dengan pilihan Putra. “Kenapa nggak ada yang mau boba?”

“Gue pengen Kokumi.” Abian turut menyahut Januar.

“Jan, beli Kokumi aja mau, nggak?”

“Oke, kayak biasa, ya!” Januar mengacungkan jempol.

“Pake akunnya Bian sekalian aja, Sa, dia punya banyak

promo.” Nakula memberikan ide pada Mahesa mengingat

Abian memang ahli dalam mencari promo.

“Nih, pake aja.” Laki-laki itu merogoh saku celananya

sebelum mengulurkan ponsel. “Pake saldo gue yang di sana

aja, sekalian.” Yang ternyata berisi saldo GoPay sebanyak

lima juta. Memang dasar, orang kaya.

“Anjir, banyak banget.”

“Kemaren salah ngisi, harusnya cepek tapi ketulis lima

juta,” balas Abian santai seolah hal tersebut adalah hal biasa.

57 | NANA.
“Ya udah—GUYS YANG MAU MAKAN APA MINUM

NGOMONG KE SINI. DITRAKRIR BIAAAANNN!” Nakula

berteriak sembari berjalan ke arah ruang televisi bersama HP

Tuan Muda Abian.

“Eh, tunggu bentar, guys.” Abian menghentikan per-

gerakan Nakula dan Mahesa. “Sini bentar, dah.”

Kedua orang itu berjalan ke depan kembali. “Kenapa?”

tanya mereka bersamaan.

Abian meletakkan galon kosong sebelum mengambil

sebuah rantang besar empat tumpuk yang diperkirakan

isinya adalah makanan sebab langsung tercium bau sedapnya

dari jarak jauh. “Punya siapa itu?”

“Kayaknya buat kita.” Abian tersenyum bahagia.

“Ini nggak salah kirim, kan?” tanya Nakula ragu. Abian

lantas menoleh dan mendapati Mbak Jumilah serta empat

orang temannya melambaikan tangan.

Oh! Kayaknya dari mereka.

58 | NANA.
“MAKAN YANG BANYAK, MAS!” teriak salah seorang

dari sana. “KALO KURANG BILANG AJA!”

Mahesa, Nakula, dan Abian saling menatap, kemudian

tersenyum senang ketika menyadari bahwa sekarang mereka

benar-benar mendapatkan makanan gratis.

“MAKASIH MBAK WATI!” balas Abian ikut berteriak,

membuat beberapa orang di dalam rumah menoleh. Namun

tidak sampai untuk bertanya atau menghampiri.

“Ini beneran buat kita?” Lagi-lagi Abian mengangguk.

“Gokil, ada suratnya.”

Mahesa menarik sebuah kertas yang diletakkan di

pinggir rantang sebelum membukanya. Senyum mereka

semakin melebar saat membaca pesan yang ada di dalam

sana. Nakula sampai harus membekap mulutnya untuk tidak

berteriak lantaran merasa kaget.

“Apa gue bilang.”

59 | NANA.
Abian yang tadi berbicara mengenai sosok yang ditaksir

oleh salah satu dari geng Mbak Jumilah tersenyum bangga.

Seolah berhasil membuktikan kepada dua orang temannya

bahwa apa yang ia katakan memang sebuah fakta.

“Bro, kalo begini caranya, sih, kita bisa tiap hari dapet

makanan gratis dari Mbak Wati,” bisik Nakula agar manusia

yang disebut namanya tidak merasa.

Iya, ternyata orang yang naksir dengan salah satu dari

mereka bernama Mbak Wati, pemilik warung nasi di sebelah

kontrakan. Pantas saja ia mengirimkan makanan.

Mungkin ini yang dinamakan caper dengan calon

gebetan.

Menurut informan mereka—Abian—umur Mbak Wati

memang tidak jauh dari mereka, mungkin hanya tiga atau

empat tahun di atasnya.

“Tapi gue kasihan,” ucap Mahesa tiba-tiba pilu. “Kalo

yang ditaksir si Januar, mah, susah. Kasih tau si Mbak Wati

coba, Bi, mendingan nyerah aja dari pada patah hati.”

60 | NANA.
Abian dan Nakula yang mendengarnya pun lumayan

kaget, pasalnya, tadi Mahesa mengatakan kalau ia takut pada

mereka—Mbak Jumilah and The Gank—tapi lihat, sekarang ia

malah mengkhawatirkan masa depan percintaan Mbak Wati

yang naksir dengan manusia seperti Januar Manggala.

Bukan apa-apa, Mahesa hanya tidak tega.

61 | NANA.
62 | NANA.
PENJAGA
KANTIN TENGGARA.

Bandung, tahun kedua.

Kantin Tenggara terasa cukup ramai di hari-hari biasa.

Selain karena berada di titik temu antara tiga fakultas—

FTTM, FTMD, dan FITB—kabarnya kantin tersebut juga

memiliki menu makan siang paling lengkap di antara seluruh

kantin yang tersebar di kampus ini.

Sebut saja menu makan siang paling umum seperti nasi

goreng, mie ayam, bakso, soto, nasi padang, siomay, batagor,

sampai pizza dan sushi yang sedikit tidak wajar untuk berada

di kantin kampus pun ada di sini.

63 | NANA.
Konon katanya, Kantin Tenggara dibangun atas dana

sumbangan dari para alumni.

Paling banyak tentu saja dari alumni fakultas paling

dekat. Maka tidak perlu kaget kalau gedung dua lantai ini

banyak dipenuhi oleh mahasiswa yang berasal dari fakultas-

fakultas tersebut. Apalagi FTTM yang hanya berjarak satu

langkah dari sana.

Bukannya ingin menjadikan kantin ini sebagai kantin

eksklusif untuk tiga fakultas itu saja. Tapi, ada kalanya

mahasiswa dari fakultas lain merasa enggan untuk datang

lantaran tempat ini mayoritas dihuni oleh para pejantan.

Bagaimana tidak, tiga fakultas tersebut secara jelas

menduduki peringkat tiga besar dengan jumlah mahasiswa

laki-laki terbanyak di kampus.

FTMD tentu saja berada di peringkat pertama, disusul

oleh FTTM, dan di akhiri dengan FITB. Menjadikan Kantin

Tenggara terkenal sebagai kantin para lelaki.

64 | NANA.
Sebenarnya, tidak ada deklarasi formal mengenai hal

tersebut. Hanya saja terkadang ada rumor yang beredar dari

tembok berbisik tentang legenda Kantin Tenggara, bahwa di

sana adalah surga bagi para wanita.

Lebih tepatnya, bagi para wanita yang sedang mencari

belahan jiwa dari fakultas tetangga.

Selain datang karena ingin makan, kabarnya beberapa

mahasiswi dari fakultas gersang lelaki: Farmasi dan Sains

Teknologi, juga datang karena ingin menghibur diri.

Sekali-sekali melihat komplotan mahasiswa lelaki yang

gemar membalut diri dengan jaket himpunan kotor atau

yang sengaja membiarkan rambutnya menjadi gondrong.

Tipikal mahasiswa teknik sekali.

Dedikasi mahasiswa teknik terkadang juga dilihat dari

seberapa kotor jaket himpunannya. Semakin kotor jahimnya

maka semakin terlihat juga bahwa mereka-mereka lah yang

paling sering turun ke medan perang: lapangan.

Meskipun tidak pasti, namun mayoritas mungkin iya.

65 | NANA.
Sudah menjadi pengetahuan umum juga kalau Kantin

Tenggara sering dijadikan sebagai panggung Take Me Out

Indonesia versi mahasiswa. Apalagi kalau hari Senin sampai

Kamis. Hari di mana banyak maba cantik berdatangan sebab

ada praktikum yang diadakan di Laboratorium Fisika dekat

dengan Kantin Tenggara.

Januar Manggala adalah satu di antara sekian banyak

wujud kakak tingkat yang sering melancarkan misi untuk

mendekati maba. Terkadang ikut menitipkan pesan melalui

tukang siomay yang diam-diam mendukung mereka.

“Bro, ada teteh-teteh cakep, tuh. Kayaknya maba FMIPA.

Kalo tadi mamang nggak salah denger, sih, namanya Nadiva.”

Bahkan Mang Dadang—pemilik kios siomay di paling

ujung kantin—rajin memberikan informasi kepada Januar

perihal keberadaan maba-maba cantik yang potensial untuk

dijadikan gebetan. Agaknya hafal dengan kebiasaan laki-laki

itu dalam menikmati hidupnya sebagai mahasiswa.

66 | NANA.
Tentu saja, dengan senang hati laki-laki itu menukar

informasinya dengan sepiring siomay lengkap dengan pesan

berisi nomor telepon atau username Instagram-nya untuk

dikirimkan kepada adik-adik calon gebetan.

Biasanya, kalau sudah mendapatkan kiriman siomay

cinta—begitulah mereka menyebut siomay Mang Dadang,

lantaran berperan penting dalam mengirimkan pesan cinta

kepada siapa saja—dari kakak tingkat, apalagi yang paling

terkenal seperti Januar, seketika mereka lupa apa tujuan

utamanya datang ke sana.

Tidak hanya melalui Mang Dadang, Januar kadang juga

ikut menitipkan pesan melalui beberapa penjual makanan di

Kantin Tenggara yang sudah akrab dengannya.

Penjual Dimsum langganan Mahesa, penjual mie ayam

langganan Arjuna, penjual seblak langganan Deka, atau siapa

saja yang sekiranya bisa membantunya.

67 | NANA.
Tidak seperti Arga yang suka menggoda maba secara

terang-terangan, Januar justru menganut sistem underground

atau jalur bawah tanah untuk mendekati calon gebetannya.

Jalur belakang lebih menantang, katanya. Padahal jelas

alasannya karena Januar tidak ingin gebetannya yang lain

tahu siapa yang menjadi target selanjutnya.

Kantin Tenggara ini terdiri dari dua lantai. Separuh dari

lantai satu diisi oleh kios makanan, separuhnya lagi diisi oleh

tempat duduk yang terhubung dengan tempat duduk outdoor

di sebelah kanan bangunan.

Sedangkan untuk lantai dua, seluruhnya diisi oleh

tempat duduk semi outdoor yang banyak ditempati oleh

mahasiswa ahli hisap—perokok aktif—yang butuh ruang

terbuka untuk menghilangkan asam di mulut mereka.

68 | NANA.
Tidak terkecuali untuk sembilan kepala yang entah

sejak kapan mulai ikut mengakuisisi—secara informal—meja

paling ujung kanan yang ada di lantai dua. Meja terjauh dari

pintu utama. Dalam artian, tempat ini adalah tempat terluar

dari yang paling luar.

Kalau diibaratkan sebagai ilmuwan penemu sesuatu,

mungkin nama Dewantara Nataprawira sudah masuk ke

dalam jajaran orang hebat yang pantas untuk mendapatkan

gelar tersebut.

Lantas, apa penemuannya?

Apakah Dewa menemukan sebuah teori selayaknya

Teori Atom Rutherford atau Teori Atom Dalton? Tidak.

Dewa juga tidak menemukan teori serumit Teori

Singularitas atau Mekanika Kuantum yang bisa membuat

kepalanya botak. Laki-laki hanya menemukan sebuah titik.

Bukan titik biasa, melainkan titik istimewa yang cukup

membuat delapan orang lain merasa takjub akan pemikiran

69 | NANA.
Dewa dalam menentukannya. Titik yang selalu mereka sebut

sebagai: ‘Titik Penjaga Kantin Tenggara’.

Bahasa mudahnya, markas mereka. Tempat duduk yang

selalu mereka tempati saat berada di Kantin Tenggara.

Begini penjelasan Dewa saat itu.

“Tempat ini paling jauh dari pintu utama, orang nggak

bakal mau buang-buang tenaga mereka buat jalan kurang

lebih dua setengah menit dan pasti lebih milih duduk di

tempat yang paling deket sama pintu. Selain karena di sini

nggak ada stopkontak buat ngecas HP atau laptop, mereka juga

nggak bakal suka kalau nongkrong sambil dilihatin sama

dosen dari seberang sana.”

Penjelasan Dewa membuat delapan kepala itu menoleh

pada gedung lain yang terletak tepat di arah jam sembilan

mereka. Benar saja, di lantai yang sama ada sebuah jendela

yang mengarah langsung dari ruang dosen FTTM.

Sedikit tidak nyaman, memang.

70 | NANA.
“Padahal, kalo mereka tahu. Tempat ini justru yang

paling nggak kelihatan. Ketutupan sama pohon itu.”

Mereka yang saat itu dijelaskan hanya mengangguk,

entah paham atau tidak dengan penjabaran Dewa yang sudah

ia rangkum sedemikian rupa agar mudah dimengerti oleh

otak biji salak milik teman-temannya.

Maksudnya, terkadang mereka memang susah untuk

mengerti ucapan Dewa. Laki-laki itu terlalu pintar sampai

membuat Deka sering insecure dengan isi kepalanya.

“Iya, gue setuju sama Dewa.” Nakula menegakkan

tubuhnya sebelum memasang raut serius demi menarik

perhatian. Laki-laki itu berdehem guna menyempurnakan

peran yang hendak ia mainkan.

Sebagai peramal dadakan.

“Menurut Feng Shui gue juga, tempat duduk ini yang

paling perfect. Lo semua bayangin, cuma dengan duduk di sini

kita bisa lihat semua orang yang ada di lantai dua.” Begitu

kata Nakula. Padahal laki-laki itu hanya mengasal dan tidak

71 | NANA.
benar-benar menggunakan Feng Shui untuk merasakan

kenyamanan dari tempat duduk mereka.

Tapi memang benar, kalau dilihat-lihat tempat duduk

itu memang berada di tempat paling strategis yang ada di

Kantin Tenggara. Kalau kata Nakula, paling sempurna.

Berada di sayap kanan, paling ujung, dan paling luar.

Membuat posisi tersebut bisa melihat keseluruhan

lantai dua tanpa terhalang tembok ataupun tiang penyangga

atap. Meskipun begitu, entah mengapa banyak mahasiswa

yang menolak untuk duduk di sana.

“Terus kalo kalian nengok kanan dikit, bisa lihat yang

di bawah.” Nakula mengimbuhi penjelasannya. Matanya

jatuh pada rombongan mahasiswa yang sedang makan di

zona outdoor lantai satu. Sibuk berbincang sampai menjadi

lupa waktu.

Benefitnya bisa lihat ke bawah apa? Tentu saja melihat

siapa saja yang hendak masuk ke Kantin Tenggara. Tapi

sudah, itu saja. Tidak ada benefit lainnya yang lebih berguna.

72 | NANA.
“Nengok belakang situ juga bisa lihat jalan. Kali aja ada

maba-maba cakep lewat terus bisa diajak kenalan.” Januar

berbicara santai seolah tidak ada beban dalam ucapannya.

Sedang yang lain bersorak heboh sebab tak terima dengan

kelakuan laki-laki itu yang suka mencari maba-maba.

“Yeeee! Itu mah lo aja kali yang modus,” tuduh Dewa.

Meskipun memang benar adanya. “Tobat kali, Jan. Udah

mau jadi mahasiswa tua.”

Januar Manggala akan tetap jadi Januar Manggala. Laki-

laki itu hanya terkekeh ringan sembari bermain tisu yang

dibentuk menjadi bola-bola kecil tanpa memikirkan ucapan

dari Dewa. “Tobat itu kalo udah mau mati, bukan karena

mau jadi mahasiswa tua. Lagian, Bro, kita masih tingkat dua,

masih setengah jalan lagi kali buat jadi mahasiswa tua.”

Setingkat Dewantara saja menyerah kalau berhadapan

dengan Januar. Sejak dahulu laki-laki itu berjiwa bebas.

Seperti layang-layang putus yang terbang ke mana saja tanpa

tahu arah.

73 | NANA.
Terkadang lupa akan jati diri kemudian menjelma

menjadi laki-laki yang tidak punya hati.

“Tapi lo pada tau nggak yang paling enak dari tempat

ini apa?” tanya Nakula dengan raut wajah lebih serius dari

sebelumnya, membuat semua orang kebingungan.

Termasuk Dewa, si penemu markas besar mereka.

“Apaan emang, Bang?” Deka mencondongkan tubuh

pada Nakula dengan cepat, seperti menunggu laki-laki itu

untuk mengungkapkan rahasia besar dan menegangkan.

Yang lain ikut mencondongkan tubuh, entah mengapa jadi

mengikuti Deka padahal tidak tahu ada apa.

“Cepetan, Bang, emang kenapa?” desak Deka.

“Soalnya …” Nakula menggantungkan kalimat untuk

membuat teman-temannya semakin tersiksa. Matanya

berkeliling, memindai raut wajah serius dari delapan orang

di lingkaran itu yang justru semakin membuatnya ingin

tertawa.

“Soalnya … dari sini bisa lihat kelasnya Pevita.”

74 | NANA.
Lemparan bungkus rokok dari Januar tepat mengenai

tubuh Nakula, disusul oleh olokan serta tepukan ringan pada

belakang kepalanya dari Arjuna. “Yeee, bangsat, gue kira

gara-gara apaan.”

“Anjing emang ini orang,” timpal Abian yang ikut tak

terima sebab rela menghentikan video TikTok-nya demi

mendengarkan jawaban dari Nakula yang sangat tidak

berguna. Tapi, laki-laki itu hanya tertawa seperti tidak

memiliki dosa.

“Percuma, naksir doang nggak berani deketin. Cupu.”

Ucapan Arga bagaikan petir di siang bolong, menohok

relung hati Nakula hingga laki-laki itu meringis karena

merasa tidak bisa membantah faktanya.

Kalau tidak salah, mungkin sudah hampir satu tahun

sejak Nakula Sangkara menjatuhkan hatinya pada gadis

cantik bernama Pevita. Salah seorang sahabat Atha yang

diketahui menjadi incaran banyak laki-laki di luar sana.

75 | NANA.
Cantik, pintar, rajin, intinya semua sifat baik ada pada

gadis itu. Kalau kata Nakula, jelmaan bidadari surga. Padahal

ketemu bidadari saja tidak pernah.

Iya, deh, iya. Cinta emang bikin buta.

“Padahal udah sering ketemu, udah sering ngobrol, tapi

kenapa susah bener disuruh PDKT.” Lihat, siapa yang sedang

berbicara sekarang? Agaknya laki-laki sok bijak ini harus

sadar diri sebelum menasehati orang lain.

“Apa perlu gue minta tolong ke MANTAN gue yang

satu kosan sama dia?” lanjut Deka pada Nakula dengan

menekankan kata mantan seperti hal itu adalah highlight dari

kalimatnya.

Padahal jelas memperlihatkan kalau laki-laki itu lah

yang masih susah move on dari mbak mantan.

Ralat. Harus di capslock.

‘SUSAH MOVE ON DARI MBAK MANTAN.

76 | NANA.
“Sok bener nyuruh PDKT, lo dulu sono balikan sama

Gista, kalo bisa, sih, tapi. Soalnya kemaren gue denger Gista

lagi dideketin sama Gerald, kating minyak angkatan 2015.”

Arjuna meraih segelas es teh manis—yang sudah tidak

manis lagi—milik Abian, kemudian menyeruputnya cepat

sampai habis tak bersisa. Membiarkan Deka bisa mencerna

kalimatnya baru saja.

Gerald siapa lagi? Batin Deka bingung dengan nama-

nama baru yang selalu muncul di setiap bulannya.

Rumornya, Gista adalah Januar Manggala versi wanita.

“Gerald si ketua angkatan?” tanya Dewa memastikan.

Agaknya tidak asing dengan nama yang disebutkan oleh

Arjuna lantaran laki-laki tersebut adalah kakak tingkatnya.

Oknum yang membuat pernyataan hanya mengangguk.

“Wah, saingan lo berat banget sih, Dek.” Putra yang

sejak tadi diam kini ikut menambah beban pikiran. “Kata gue

juga apa, weton lo berdua, tuh, nggak cocok.”

Tuhkan. Batin Deka tepat sasaran.

77 | NANA.
Agaknya tahu apa yang akan Putra katakan perihal

weton, Deka sudah lebih dulu mengambil piring bekas

batagor yang hendak ia lemparkan kepada Putra. Tapi, yang

menjadi target malah terlihat santai-santai saja.

Pada akhirnya, semua orang akan tetap berpikir kalau

apa yang Putra ucapkan tentang weton yang tidak cocok

hanyalah sebuah candaan untuk membuat mereka menjadi

lebih dekat. Sebab sekalipun weton mereka tidak cocok, Putra

akan tetap mendukung semua teman-temannya.

78 | NANA.
CERITA tentang
mereka.

Bandung, tahun kedua.

Kalau diibaratkan hubungan pacaran, mungkin mereka

sudah bisa merayakan anniversary yang pertama.

Terhitung sudah tiga belas bulan lebih empat hari sejak

hari pertama OSPEK dan mereka masih setia menghuni

Kantin Tenggara. Melanjutkan pertemanan mereka yang

dikira hanya akan bertahan sampai matahari terbenam di

hari itu saja. Kenyataannya, sekarang sudah satu tahun dan

mereka masih berjalan untuk menyusun cerita.

79 | NANA.
Sepertinya hal ini didukung juga dengan pembentukan

grup Whatsapp oleh Abian sebagai sarana bertukar kabar yang

lama-lama menjelma menjadi ladang maksiat.

“Ada link baru nggak, Bro?” Jangan tanya itu link apa.

Sudah jelas bukan link kumpulan soal-soal CPNS atau link

belajar TOEFL secara mandiri.

“Nakula biasanya bandar.” Jangan tanya itu bandar apa.

Sudah jelas bukan bandar narkoba.

Konon katanya berbagi itu indah, tapi kalau berbagi link

haram, entah akan tetap indah atau malah jadi musibah.

Sebutan ‘Anak Tinggar’ atau ‘ANAK kanTIN tenGGARa’

ini pertama kali muncul dari mulut seorang penjual bakso

yang berjualan di sana. Melihat mereka bersembilan setiap

hari mampir tanpa pernah absen dan selalu duduk di tempat

keramat yang ada di lantai dua.

Mereka semua terkenal suka melarisi setiap dagangan.

Pernah juga membantu menghabiskan sisa jualan para

80 | NANA.
pedagang kalau sudah sore hari namun dagangan mereka

masih banyak yang tersisa.

Membeli kemudian membagikannya pada orang-orang

yang membutuhkan. Petugas kebersihan, satpam kampus,

kadang tukang parkir liar yang ada di sepanjang jalan.

Membuat banyak penjual akhirnya ikut menyadari dan

mengingat siapa saja yang tergabung di dalamnya karena

sedikit banyak pernah membantu mereka.

Begitulah akhirnya sembilan kepala itu disebut sebagai

penjaga Kantin Tenggara. Sebab Kantin Tenggara sudah

seperti rumah kedua bagi mereka.

Lama-lama sebutan itu pun ikut menyebar ke seluruh

kampus, seolah hal tersebut adalah informasi penting yang

menyangkut kesejahteraan banyak manusia. Tidak perlu

diragukan lagi mengapa akhirnya mereka bisa sangat

terkenal sampai menjadi sebuah legenda.

Sebab masing-masing anggotanya punya cerita.

81 | NANA.
Mahesa Sanjaya, manusia yang terkenal dingin dan me-

nyeramkan sejak maba. Parasnya rupawan, mata tajamnya

menjadi ciri khas laki-laki itu. Selain dikenal sebagai ‘Mahesa

si Hobi Berantem’ ia digadang-gadang akan menjadi calon

sarjanan lapangan sebab kemampuannya yang sangat hebat

dalam mengatur lapangan kampus. Satu-satunya maba yang

langsung diincar untuk menjadi calon komandan lapangan

sejak tingkat pertama.

Anak tunggal pemilik Sanjaya Mining and Petroleum

Group—perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan

dan perminyakan terbesar di Indonesia—yang bercita-cita

menjadi pilot sejak masih belia. Sayangnya, Mahesa harus

mengubur mimpinya dalam-dalam, melapangkan dada sebab

kewajibannya menjadi penerus Sanjaya mengharuskannya

untuk kuliah di jurusan yang sangat jauh dari keinginannya.

Mahesa seperti sebuah koin dengan sisi yang berbeda.

Di depan semua orang yang belum kenal, ia akan menjadi

Harimau Benggala. Menyeramkan.

82 | NANA.
Namun, saat ia sudah kenal dan dekat dengan mereka,

wujud harimaunya akan langsung berubah menjadi Kucing

Anggora. Lucu dan menggemaskan.

Sayangnya Mahesa tidak akan menunjukkan sisi Kucing

Anggoranya kepada sembarang orang, hanya orang terpilih

seperti Anak Tinggar dan Atha—calon pacarnya—lah yang

bisa melihat wujud aslinya.

Laki-laki yang harus selalu minum susu Ultramilk

Strawberry atau makan permen Chupa Chups rasa cola setelah

berantem. Pelanggan setia Majalah Bobo sejak edisi pertama

sebab harus selalu menjadi teman tidurnya.

Funfact baru: Mahesa sering menangis ketika menonton

social experiment di YouTube.

Kasihan, katanya.

Muka dan badan boleh jadi tukang pukul kampus, tapi

hati Mahesa tetap Hello Kitty. Jangan bilang Anak Tinggar,

Mahesa takut ditertawakan. Apalagi oleh Deka dan Abian.

83 | NANA.
Kontribusi terbesar Mahesa dalam perkumpulan Anak

Tinggar adalah menjadi penentu suara. Begini contohnya:

“Anjir, terus ini gimana jadinya kalo voting seimbang empat

banding empat? Mau buka table di mana?”

“Mahesa belom voting, Nyet!”

“Lah, iya juga. Ya, kalo ini, mah, artinya semua pilihan ada di

tangan Mahesa. Suara kita ga berguna.”

Tapi, akhirnya Mahesa akan tetap bertanya pada Deka.

Membiarkan bontot Tinggar itu untuk memilih mana yang ia

inginkan. Sebab diam-diam, Mahesa juga menyayangi Deka.

Jangan geli, ini fakta!

Setiap ada Mahesa, biasanya ada Arga. Yin dan Yang

kampus yang punya peran sebagai penyeimbang kehidupan.

Auriga Danadyaksa, kebalikan dari Mahesa. Laki-laki

itu hangat dan menenangkan. Parasnya sama-sama rupawan,

tapi daya tarik utamanya adalah lesung pipi serta senyum

manis yang memabukkan.

Arga dikenal sebagai si Flower Boy.

84 | NANA.
Kalau dihitung berdasarkan jumlah mahasiswi yang ada

di kampus, mungkin 99%-nya adalah selir Arga. Siapa yang

tidak jatuh cinta dengan laki-laki itu? Apalagi saat melihat

Arga bermain basket sembari tebar pesona?

Spot di tribun terdepan sudah pasti menjadi rebutan,

mengalahkan rebutan minyak saat masih langka. Belum lagi

kalau pasca mencetak gol dan selebrasi andalannya adalah

flying kiss ke arah tribun. Medik harus siap siaga, jaga-jaga

kalau ada mahasiswi yang pingsan atau mimisan.

Tapi, segila-gilanya Arga, ia tidak sampai hati untuk

mempermainkan gadis-gadis seperti Januar Manggala. Kalau

sudah diajak pacaran oleh mereka, jawabannya pasti sama.

Pacaran itu dosa. Kata Arga.

Padahal, laki-laki bucin itu hanya sedang menjaga hati

untuk seseorang. Kembaran sahabatnya—yang tidak pernah

berbicara dengannya.

Miris memang kisah cinta bertepuk sebelah tangan ini.

85 | NANA.
Meskipun terlihat brengsek, Arga sebenarnya baik. Ia

masih punya hati untuk membalas chat gadis-gadis yang suka

nangkring di komen ataupun DM Instagram dan Twitter-nya.

Tapi kalau sudah minta nomor Whatsapp, jangan harap.

Funfact: Whatsapp Arga bersih dari wanita kecuali mama

dan Mbak Rita—penjaga laundry depan kontrakan. Tidak

seperti bayangan orang-orang yang bilang kalau laki-laki ini

adalah pemilik asrama putri di Whatsapp-nya.

Kalau itu, sih, jelas Januar Manggala.

Gadis yang berhasil menembus Whatsapp Arga sudah

bisa dipastikan layak mendapatkan penghargaan kategori

gadis terbaik tahun ini karena Arga tidak akan sembarangan

memberikan nomor pribadinya.

Arga itu ganteng banget sampai gadis-gadis di kampus

kalau dikasih senyum sedikit saja sama Arga langsung jatuh

hati, mimisan, pingsan, atau malah kesurupan massal seperti

siswi-siswi di film terlalu tampan.

86 | NANA.
Bukan lebay tapi tingkat kegantengan Arga memang

jauh di atas rata-rata. Jelas saja, keturunan Satarayuna yang

terkenal sebagai Dewi Kecantikan di bidangnya. Belum lagi

sang papa juga pernah dinobatkan sebagai mahasiswa

tertampan di kampusnya pada masa itu.

Sayangnya, Tuhan tidak menciptakan manusia dengan

begitu sempurna. Kegantengan paripurna Arga seketika akan

luntur kalau sudah kumpul dengan Anak Tinggar.

Karena Arga akan langsung berubah menjadi pimpinan

goyang dangdut pantura setiap diputarkan lagu DJ Remix

Dangdut Koplo Indonesia.

Ganteng-ganteng dangdut.

Ketiga, ada Dewantara Nataprawira. Selain namanya

yang Dewa, konon katanya ia juga menjadi tahta tertinggi

Anak Tinggar selayaknya ‘Dewa’ yang ada di dunia.

Pemegang keputusan tertinggi. Kalau Dewa bilang A,

semua akan menurut. Kalau Dewa bilang B, semua akan iya-

iya saja. Intinya, tidak ada yang berani melawan Dewa.

87 | NANA.
Segan, sih, lebih tepatnya.

Dewa punya nasib yang ‘sedikit’ mirip dengan Mahesa.

Dituntut untuk kuliah di tempat yang tidak pernah ia

inginkan, hanya untuk meneruskan perusahaan. Keluarga

Nataprawira juga memiliki usaha yang bergerak di bidang

jasa. Lebih tepatnya, konsultan perusahaan pertambangan

dan perminyakan yang masuk jajaran perusahaan terbesar di

bidangnya.

Kalau Mahesa terkenal galak, maka Dewa lebih galak

lagi. Galaknya Dewa itu lebih condong ke tegas sebetulnya.

Manusia yang terlihat sempurna, pintar akademik, aktif

organisasi, dan rajin ikut lomba. Meskipun fakta mengatakan

kalau banyak orang yang menaruh perhatian kepadanya, tapi

sumpit Hokben ini—sebutan Dewa dari Anak Tinggar

karena hidupnya terlalu kaku seperti sumpit Hokben—tidak

pernah menanggapi.

88 | NANA.
Sebagai orang yang menjunjung tinggi hidup sehat dan

bersih, Dewa sering menjadi alarm bagi teman-temannya

kalau sudah kelewatan batas.

Satu-satunya orang yang tidak akan mau menyentuh

alkohol setetes pun, bahkan rokok atau vape saja ia tidak

mau. Tidak perlu jauh-jauh, kopi yang identik dengan

mahasiswa hobi begadang pun tidak pernah lagi ia sentuh.

Ada yang bilang kalau Dewa tidak suka wanita.

Alasannya tentu karena ia menolak semua orang yang

pernah confess kepadanya. Bukan karena pacaran itu dosa—

seperti kata Arga—tapi karena Dewa tidak tertarik dengan

semua gadis selain kembarannya.

Maksudnya, Dewa masih merasa kalau fokusnya saat

ini hanya untuk Atha.

Tidak ingin membaginya dengan siapa saja.

Funfact, Dewa pernah satu kali naksir dengan seorang

gadis yang ada di kampusnya. Gadis yang tidak pernah orang

tahu bagaimana wujudnya sebab Dewa sendiri juga lupa.

89 | NANA.
Hanya satu bulan bertahan di otak Dewa. Bukti kalau

gadis itu pun tidak mampu menembus hati Dewa yang masih

tertutup sampai sekarang.

Tidak ada yang sadar, sebab Dewa pun selalu berusaha

untuk menyembunyikan seluruh emosinya.

Tapi, satu alasan mengapa Dewa akhirnya memilih

untuk melupakan sosok tersebut dan cepat kembali ke jalan

yang benar bahkan sebelum memulai, karena ternyata gadis

itu naksir sahabatnya.

Siapa lagi kalau bukan Arga.

Si mbak-mbak jurusan Manajemen yang ketemu dengan

Dewa saat antri bubur di depan kampus. Bukan karena jatuh

cinta, Dewa naksir hanya karena kagum dengannya.

Tidak ada yang unik dari kehidupan Dewa, ia masih

makan nasi seperti orang lain. Masih juga tidur dengan mata

terpejam. Masih sering ketakutan kalau ada kecoa terbang.

Satu hal yang membuat Dewa sedikit berbeda.

Bahwa sekalipun ia belum pernah jatuh cinta.

90 | NANA.
Laki-laki itu lebih suka menghabiskan waktu berjalan-

jalan sendirian sembari melihat langit saat kepalanya terasa

berat akan segala tuntutan. Tidak ingin menambah beban

pikiran dengan menarik seseorang untuk masuk ke dalam

kehidupannya yang dirasa belum mapan.

Terkadang, membicarakan Dewa memang tidak akan

jauh-jauh dari rasa kesedihan.

Biasanya, selain jalan-jalan menikmati langit malam

kalau sedang stress, Dewa juga suka menghibur diri dengan

menonton Sofia The First.

Sekali lagi, Sofia The First. Kartun Disney Princess yang

menampilkan seorang putri kecil bergaun ungu. Yang lagu

pembukanya sering dinyanyikan oleh Arga—laki-laki itu

ternyata juga suka menonton Sofia. Bayangkan suara bariton

Arga menyanyikan lagu seperti ini.

“I was a girl in the village doing all right. Then I became a

princess over night. Now I gotta figure out how to doing right. So

much to learn and see!”

91 | NANA.
Lucu.

Meskipun laki-laki itu belum pernah jatuh cinta, ia

masih waras untuk berpikir ingin menikah dan punya anak.

Maka dari itu, saat melihat Sofia, ia merasa bahagia.

Membayangkan suatu saat ia memiliki anak perempuan

lucu seperti Sofia, atau membayangkan bisa menemani gadis

kecilnya menonton tayangan Disney Princess yang ia suka.

Jangan pernah kaget dengan segala jenis tontonan Anak

Tinggar. Sebab tidak ada satupun yang akan sesuai dengan

ekspektasi kalian.

Pejantan-pejantan teknik ini memang berbeda.

Mahesa yang dikenal hobi berantem, ternyata masih

suka menonton CoComelon dan BabyBus. Arga dan Dewa yang

ternyata suka menonton Sofia The First. Abian dan Januar

yang diam-diam menonton seluruh episode Masha and The

Bear. Arjuna yang tidak pernah absen dengan seluruh konten

Whisker Haven Tales with the Palace Pets. Juga Nakula, Putra,

dan Deka si penggemar berat Ikatan Cinta.

92 | NANA.
Tapi, yang harus kalian tahu tentang mereka kalau

sedang berkumpul, agenda wajib yang harus mereka lakukan

pertama adalah fanboying Twice. Menyanyikan lagu wajibnya

berjudul What is Love yang sudah sangat dihafal oleh Deka

seluruh gerakannya.

“I WANNA KNOW ……… DANEUNDAE!” Iya, mereka

semua hanya bisa menyanyikan awalan dan akhirannya saja.

Oke, cukup membongkar aib mereka. Sekarang lanjut

untuk berkenalan dengan Abian Paramayoga.

Mendengar marganya saja sudah jelas kalau ia adalah

keturunan Paramayoga yang terkenal kaya raya di seluruh

penjuru negara bahkan mungkin dunia.

Tidak perlu kaget, keluarganya memiliki banyak usaha

serta aset yang tidak akan habis sampai tujuh turunan.

Paramayoga Group bergerak di banyak bidang, namun yang

paling besar dan terkenal adalah usaha mereka di bidang

properti. Bersanding dengan Alam Sutera, Ciputra, serta

Agung Podomoro Land.

93 | NANA.
Meskipun Abian sangat kaya, laki-laki itu tidak pernah

memperlihatkan harta kekayaannya dan malah lebih sering

menyamar menjadi orang biasa.

Dari sembilan kepala Anak Tinggar, tidak perlu kaget

kalau Abian bisa menduduki tahta pertama dengan kekayaan

terbanyak. Disusul oleh Arga di posisi kedua.

Faktanya, mereka semua pun termasuk dalam golongan

orang kaya. Bagaimana tidak? Mahesa dan Dewa adalah anak

dari pengusaha di bidang pertambangan dan perminyakan.

Perusahaan orang tua mereka bahkan menjadi kompetitor

sebab sama-sama menjadi lima besar perusahaan terbaik di

bidangnya.

Arjuna adalah anak dari pemilik usaha Food and Beverage

terbesar ketiga di Indonesia, juga memiliki beberapa usaha

Restoran Indonesia yang tersebar di 30 negara.

Januar berasal dari background keluarga yang bekerja di

bidang kesehatan. Papa, mama, dan kakaknya adalah dokter

dengan berbagai bidang spesialisasi. Selain itu keluarganya

94 | NANA.
juga memiliki empat rumah sakit swasta yang ada di Jakarta

dan Bandung. Sekarang hendak membangun dua gedung di

Surabaya dan Yogyakarta.

Putra adalah anak bungsu dari keluarga old money Jawa.

Keluarganya masih memiliki darah ningrat dengan kekayaan

yang tidak bisa dihitung berapa jumlahnya.

Nakula yang terlihat biasa-biasa saja juga ternyata anak

dari pemilik perusahaan otomotif terkenal di Indonesia.

Meskipun tidak masuk di jajaran tiga besar, namun keluarga

Nakula bisa memastikan kalau perusahaan mereka bisa ber-

saing dengan perusahaan raksasa di seluruh dunia.

Terakhir, Deka. Berbeda dengan delapan orang lainnya,

keluarga Deka bisa dibilang yang paling sederhana. Tapi, se-

sederhananya Anak Tinggar itu seperti apa? Memiliki dua

ratus pintu kos-kosan, contohnya. Iya, keluarga Deka adalah

juragan kosan yang ada di berbagai tempat. Kabarnya anak

bungsunya itu—Deka—juga bercita-cita mengembangkan

usaha keluarganya sampai bisa menyentuh seribu pintu.

95 | NANA.
Oke, sekarang waktunya kembali ke Paramayoga.

Anak sulung yang diperkirakan akan menjadi penerus

perusahaan Paramayoga Group itu lebih suka menggunakan

kaos oblong—bahkan pernah sekali memakai kaos partai

PDIP yang entah sejak kapan ada di lemarinya—serta sandal

jepit merk Swallow yang biasa ia beli di warung sebelah

kontrakan. Agaknya laki-laki itu jarang memakai kemeja

kalau tidak sedang kuliah atau karena acara penting saja.

Lahir dari keluarga kaya raya, tidak membuat Abian

lupa cara menghemat pengeluaran. Agaknya laki-laki itu

lebih pintar menjadi promo makanan daripada mencari

jawaban saat ujian.

Funfact: Abian pernah mengantri selama lima jam hanya

untuk mendapat promo makanan. Padahal, laki-laki itu bisa

membeli semua menu yang ia mau, bahkan gedung tempat

restoran itu berada pun bisa ia beli.

Makanan promo tuh rasanya lebih enak, tau!

96 | NANA.
Funfact lagi: Abian pernah hampir ikut ajang koki cilik

karena mengira akan mendapatkan makanan gratis dari sana.

Hobinya adalah makan. Maka di manapun ada acara seminar

kampus yang mendapatkan konsumsi, maka akan ada wujud

Abian Paramayoga di sana.

Bukannya pelit dan tidak mau beli sendiri, tapi laki-laki

itu suka bersosialisasi. Tujuan utamanya mengantri promo

makanan atau ikut seminar kampus yang mendapatkan

konsumsi jelas karena ia ingin mencari teman.

Mencari gratisan hanya sebuah alasan yang ia gunakan.

Orang kelima ada Januar Manggala. Si cowok Leo yang

hobi tebar pesona—seperti Arga—tapi versi lebih gila.

Tipikal mahasiswa ganteng dan berkharisma yang isi

feeds Instagram-nya hanya separuh muka atau yang berwarna

tua—hitam. Membuat banyak orang menjadi penasaran dan

ingin mencari foto-foto lainnya yang lebih gampang untuk

dijadikan bahan ‘manas-manasin mantan’.

97 | NANA.
Kalau pernah mendengar gosip Januar Manggala pergi

ke kampus dengan baju yang sama dengan sebelumnya,

jangan kaget. Tandanya laki-laki gila itu tidak pulang sejak

kemarin. Bisa dipastikan semalaman ia ada di Southbank atau

klub malam lain untuk mencari hiburan. Minum sampai teler

sampai lupa kalau paginya ada kuis dan mau tidak mau harus

datang dengan kondisi berantakan daripada tidak mendapat-

kan nilai ujian.

Gilanya, meskipun Januar tidak mandi dan masih ber-

bau alkohol, orang-orang yang ada di sekitarnya jarang ada

yang terganggu. Malahan, ada yang diam-diam mengamati

Januar sekedar untuk memastikan bahwa laki-laki itu sudah

sarapan. Baik sekali, bukan?

Kalau Abian hobi mencari promo makan, maka Januar

hobi mengoleksi mantan. Bisa jadi jumlah mantannya lebih

dari jumlah mahasiswa satu angkatan.

Bercanda, tidak sebanyak itu juga.

Tapi tetap banyak.

98 | NANA.
Terakhir kali, Januar sampai lupa siapa gadis yang ia

temui di Paris Van Java saat sedang jalan dengan Maya—atau

Jihan, ya?—Intinya dengan salah satu korban perasaan laki-

laki itu beberapa minggu yang sebelumnya.

“Hai, Jan. Lama nggak ketemu, ya?” Yang sedang disapa

hanya mengerutkan kening bingung, sibuk mengingat nama

gadis mana yang sedang berdiri di hadapannya.

“Iya, udah lama, ya—”

“Miselia, yang dulu ketemu di Bali. Kita putus tiga minggu

yang lalu.” Gadis yang sadar bahwa laki-laki tidak tahu diri itu

bingung dengan identitasnya langsung menjelaskan.

Oh, udah putus sama gue ternyata. Batin Januar santai.

Iya, begitulah kondisi Januar Manggala. Terkadang ia

bahkan lupa dengan siapa saja yang pernah dekat dengannya.

Laki-laki ini adalah orang yang cukup menyeramkan,

bukan secara fisik, melainkan sifat atau kebiasaannya yang

kurang menyehatkan. Ia terlalu sering bergelut dengan dunia

malam. Alkohol sudah seperti air putih baginya.

99 | NANA.
Kalau biasanya mahasiswa identik dengan sekretariat

himpunan sebagai rumah kedua, maka Januar Manggala ber-

beda. Rumah keduanya adalah klub malam. Hampir seluruh

klub yang ada di Bandung sudah pernah ia jajah. Tidak heran

kalau ia bisa terkenal di seluruh tempat malam lantaran pre-

sensinya yang tidak pernah hilang.

Tapi, segila-gilanya Januar dengan alkhohol dan wanita,

ia tidak akan sampai hati untuk membawa mereka ke hotel

apalagi sampai melakukan hal yang melebihi batas wajar.

Ia memang terkenal sebagai womanizer kelas kakap, tapi

tidak sampai menjadikannya sebagai penjahat kelamin.

Laki-laki itu masih memiliki prinsip untuk tidak tidur

dengan sembarang orang. Dari puluhan atau bahkan ratusan

gadis yang pernah dekat dengannya, mungkin bisa terhitung

kurang dari sepuluh—atau bahkan kurang dari lima—orang

yang berakhir di arah sana.

Terkadang banyak yang berpikir kalau orang sepertinya

pasti mudah untuk membawa seseorang ke apartemen untuk

100 | NANA.
melakukan hal yang tidak terduga, kenyataannya, ia tidak

pernah membawa siapapun ke apartemennya kecuali untuk

menemaninya makan saja.

Funfact: Januar adalah manusia yang tidak bisa makan

sendiri. Minimal harus ada satu orang di sampingnya atau

kalaupun tidak ada, ia akan memilih untuk tidak makan.

Maka jangan heran kalau melihat Januar duduk dengan

orang yang berbeda setiap makan siang.

Funfact lagi: Sekeren apapun penampilan Januar di luar

sana, orang tidak akan pernah tahu kalau diam-diam ia suka

memakai piyama bergambar bebek. Tidur ditemani sprei ber-

gambar Winnie The Pooh. Juga harus dinyanyikan lagu nina

bobo sebelum tidur—kecuali kalau ia sedang mabuk. Semua

orang tidak akan pernah tahu, kalau Januar si womanizer akan

berhenti berjalan ketika melihat ada kucing di pinggir jalan.

Sebab mereka hanya melihat Januar dari luarnya, bukan

siapa laki-laki itu sebenarnya.

101 | NANA.
Berbeda dari Januar yang suka bergonta-ganti gebetan,

maka Nakula adalah sosok yang paling setia—setelah Deka

dan Mahesa. Laki-laki itu hanya pernah sekali jatuh cinta,

dulu saat masih SMA, tapi ditolak karena dulu Nakula tidak

bisa berdandan. Terlebih lagi dulu dia sedikit alay.

Tipikal orang-orang yang selalu upload foto dan update

status di Facebook dengan caption penuh drama. Tidak lupa

menggunakan tagar #lfl (Like for Like) agar mendapatkan

banyak likes dari orang-orang. Jejak digital Nakula di Facebook

pun sampai sekarang belum menghilang. Kabarnya laki-laki

itu lupa password Facebook-nya apa.

Kalau Deka sering dibully karena alay, maka Nakula pun

harusnya sama saja. Cuma, sekarang sudah tertutup dengan

julukan barunya sebagai si bandar link haram, makanya tidak

ada yang berani mem-bully Nakula. Sebab kalau murka, akses

ke link haram miliknya akan tertutup dan itu menjadi kiamat

kecil bagi teman-temannya.

102 | NANA.
Setidaknya itulah satu-satunya keahlian yang bisa

Nakula banggakan meskipun tidak bisa ia masukkan LinkedIn

untuk melamar pekerjaan.

Mirip seperti Abian, Nakula adalah tipe orang kaya

yang tidak ingin terlihat kaya. Setiap hari ia pergi ke mana-

mana menggunakan Mibi—singkatan dari Mio Biru, nama

motor andalannya—sejak SMA. Motor Mio butut yang tidak

boleh diganti dengan apapun sebab memiliki sejarah panjang

di baliknya. Mibi sudah seperti sahabat bagi Nakula, saat ia

sedang bersedih, maka Mibi yang akan menemaninya jalan-

jalan keliling Bandung. Ia bahkan sudah ditawari untuk ganti

motor dengan yang lebih bagus, atau sekalian berganti mobil

saja, tapi tetap, Nakula adalah orang yang setia.

“Mibi harus sama gue sampe gue tua!” Akhir-akhir ini

terbongkar kalau ternyata Mibi memang lebih berharga

daripada pertemanannya dengan Deka.

Funfact: Nakula takut dengan Mickey Mouse. Tidak tahu

alasannya apa, yang pasti laki-laki itu akan kabur kalau ber-

103 | NANA.
temu badut perempatan Dago yang memakai kostum Mickey

Mouse padahal sudah jelas isinya manusia.

Kontribusi terbesarnya di perkumpulan Anak Tinggar

selain menjadi penyedia link haram adalah sebagai pengusir

setan pengganggu alias Deka. Satu-satunya orang yang bisa

membuat Deka menangis karena terlalu lelah dengan ber-

bagai candaannya.

Padahal, diam-diam ia suka menyelimuti Deka kalau si

bungsu itu ketiduran di luar kamar kontrakan.

Apabila Nakula punya peran besar sebagai si bandar

link, maka Arjuna yang bertugas untuk men-donwload semua

videonya. Gotong royong mereka memang luar biasa!

Laki-laki paling besar—badannya—ini dikenal sebagai

sugar daddy di kalangan teman-teman kampus.

Mengapa? Sebab Arjuna suka mentraktir semua orang

secara cuma-cuma. Tidak hanya Anak Tinggar, tapi hampir

semua orang kalau lapar namun sedang kanker alias kantong

kering alias tidak punya uang, tinggal datang saja ke Arjuna.

104 | NANA.
Niscaya semua keluhan mereka tentang lapar akan segera

sirna tergantikan oleh sepiring nasi padang atau kalau

sedang tidak tahu diri bisa mendapatkan Gyukaku juga.

Laki-laki itu memang bukan yang terkaya, tapi menjadi

orang yang paling suka untuk berbagi kepada hamba sahaya.

Sebut saja: Deka.

Iya, Deka lagi Deka lagi.

Apapun masalahnya, sudah pasti Deka yang salah.

Kalau ia tidak salah, salahkan saja! Sudah menjadi jobdesc-

nya untuk disalah-salahkan.

Oke, kembali pada Arjuna.

Sebelum negara api menyerang—terjebak friendzone—

Arjuna pernah menjadi satu orang yang paling gila. Mungkin

saja ini yang namanya karma. Dahulu ia menjadi yang paling

gila karena suka tidur dengan siapa saja. Iya, maksudnya ini

dalam konteks delapan belas coret.

Tidak terlihat seperti Arga ataupun Januar yang luar-

nya terlihat brengsek namun tidak sampai untuk mencelup

105 | NANA.
sana sini, Arjuna justru yang diam-diam seperti itu. Setiap

ada agenda malam maksiat, sudah bisa dipastikan laki-laki

itu akan menghilang di balik dinginnya malam. Tidak kaget

kalau terkadang menemukan sebuah Fiesta—bukan nugget—

di berbagai sudut kamarnya, yang paling parah, ada di setiap

kantong celananya.

SETIAP KANTONG CELANA!

Pergaulan Arjuna sejak SMA memang sudah seperti itu,

maka sedikit kaget ketika melihat Anak Tinggar yang terlihat

lebih waras darinya karena jauh dari hal-hal seperti itu.

Januar dan Arga yang ia pikir akan mengikuti jejaknya saja,

tidak pernah berani. Memang, ya, penampilan luar terkadang

bisa saja membohongi.

Untungnya Arjuna bertemu dengan Anak Tinggar dan

bisa melepaskan belenggu pergaulan bebasnya yang terlalu

bebas. Berkali-kali Arjuna dinasehati oleh Dewa atau Putra

perihal kebiasaan buruknya. Mencoba keluar dari lingkaran

setan yang membuatnya terlihat tidak bertanggung jawab.

106 | NANA.
Sampai akhirnya, Arjuna mendapatkan karma dan terjebak

friendzone dengan seseorang sampai bertahun-tahun.

Melupakan semua kebiasaan yang sebelumnya ia laku-

kan dan fokus kepada satu orang yang tidak pernah melihat

wujud laki-laki di dalamnya. Dalam artian, ia menganggap

Arjuna sebagai teman. Putra pun sudah sering mengingatkan

kalau mereka berdua susah untuk disatukan karena weton

yang bertentangan. Tapi, siapa yang masih peduli dengan hal

itu di masa sekarang?

Mungkin ada, tapi yang jelas, bukan Arjuna.

Funfact: Arjuna punya sebuah boneka kodok yang ber-

nama Sandy dan Edward untuk menemaninya di apartemen

sejak masuk kuliah. Ia juga memiliki seekor hamster kecil

bernama Pororo. Padahal Pororo adalah kartun dari wujud

seekor pinguin dan bukan hamster. Salahkan Mahesa yang

memberikan nama pada binatang peliharaan Arjuna.

107 | NANA.
Membicarakan weton pada bagian sebelumnya, tidak

akan jauh dari seorang Mahadeva Putra. Laki-laki kelahiran

Jogja yang masih percaya dengan segala isi Primbon Jawa.

Dari sembilan Anak Tinggar, hanya Putra yang masih

memiliki darah biru atau keturunan ningrat dari Kesultanan

Yogyakarta—meskipun sudah beberapa generasi di atasnya.

Putra adalah wujud nyata seorang Mas-Mas Jawa yang lemah

lembut dan tidak bisa marah. Hobinya membaca ramalan

cuaca atau nonton YouTube channel Kisah Tanah Jawa.

Pertama kali menginjakkan kaki di Bandung, semua

orang sudah langsung tahu dari mana asalnya hanya dengan

mendengar logatnya yang masih sangat kental. Sampai saat

itu Arjuna, Abian, dan Arga sering memanggil Putra dengan

julukan Kangmas Putra.

Satu-satunya Anak Tinggar yang kuliah di fakultas yang

berbeda. Meskipun jarak gedung fakultasnya dengan Kantin

Tenggara lumayan jauh, tidak menyurutkan semangat Putra

untuk pergi ke sana. Laki-laki itu suka berjalan-jalan sendiri

108 | NANA.
mengelilingi kampus. Entah apa yang ia cari, namun, banyak

orang yang mengatakan sering bertemu laki-laki itu sedang

melihat-lihat pohon. Ada yang bilang, Putra sering diikuti

sebuah, seekor, seorang, entah apapun itu penyebutannya,

lelembut—makhluk halus. Maka tidak perlu heran kalau

sering melihat laki-laki itu tiba-tiba berbicara sendirian.

Teman satu kelompok Putra saat OSPEK namanya

Rahma—mahasiswa jurusan Teknik Fisika yang bisa melihat

hantu, katanya—pernah mengatakan kalau ia juga melihat

sebuah makhluk halus yang selalu menjaga Putra ke mana-

mana, berbentuk harimau loreng.

Seperti Nur di film KKN di Desa Penari yang memiliki

penjaga, mungkin Putra juga punya. Tapi entahlah, tidak ada

yang pernah melihat wujud aslinya kecuali Rahma. Putra

selaku ‘pemilik’ pun selalu bingung kalau ditanya.

Sepanjang masa kuliahnya, Putra hanya menyukai satu

orang gadis yang akhir-akhir ini diketahui adalah teman Atha

yang paling tomboy. Laki-laki itu ternyata sudah memiliki

109 | NANA.
perasaan sejak tingkat pertama, namun, pendiriannya untuk

tidak ingin pacaran membuatnya hanya bisa melihat Tisya

dari jauh tanpa pernah berani untuk berbicara.

Funfact: Sama seperti Anak Tinggar yang lain, Putra

juga memiliki sebuah peliharaan. Iya, SEBUAH. Sebab pe-

liharaannya bukan lagi berbentuk makhluk hidup berupa

tumbuhan atau hewan, melainkan berbentuk batu kali.

Harus diulang, BATU KALI.

Motivasi Putra memelihara batu adalah Patrick Star si

sahabat Spongebob. Kalau ditanya kenapa, jawabannya hanya

satu. “Batu nggak perlu dikasih makan, jadi nggak ribet. Daripada

melihara kucing, ribet, kadang suka pipis sembarangan kaya Deka.”

Ayo coba hitung berapa kali Deka disalahkan! Kiranya

kasihan, tapi Deka memang seru untuk menjadi bahan salah-

salahan.

Wow, tidak terasa kita sudah membaca cerita tentang

delapan kepala, saatnya beralih ke kepala terakhir, sekaligus

yang menjadi bahan salah-salahan Anak Tinggar.

110 | NANA.
Membicarakan tentang Deka tidak lengkap kalau tidak

dibuka dengan roasting-an. Menjadi bungsu dari sembilan

kepala ini menjadikan Deka sering menjadi bahan bully.

Bukan bully secara fisik, namun secara verbal, yang tentu saja

hanya bercanda. Harus digaris bawahi, BERCANDA.

Begini wujud nyatanya:

“Siapa yang nyolong nasi padang gue di meja? Ngaku apa gue

sumpahin pantat lo panas gara-gara kena cabe.” Nakula berteriak

untuk menemukan siapa sosok yang mencuri nasi padang-

nya. “Deka mana Deka? Jangan-jangan dia yang makan!”

“Lagi boker kayaknya.” Januar yang duduk di sofa hanya

bisa memperhatikan tingkah kucing dan tikus ini pagi-pagi.

“Tuhkan! Kualat instan ini pasti! Woy Deka keluar lo, gue

sumpahin boker lo lebih bau dari tai kuda.”

Laki-laki itu menggedor-gedor kamar mandi sampai

Deka—yang benar makan nasi padangnya—keluar dari sana.

Siapa suruh ninggalin di meja, kan gue kira nggak ada yang

punya! Batin Deka sembari menahan bau eek-nya.

111 | NANA.
Atau begini,

“Kan gue udah bilang, kalo abis dari luar itu cuci kaki dulu

sebelum masuk. Atau nggak lepas sepatu, deh. Kalo kaya gini siapa

yang mau ngepel lantai?” Dewa mengoceh saat melihat bercak

cokelat bekas sepatu masuk ke dalam rumah.

“Tadi Deka itu, padahal udah gue bilangin kalo masuk lepas

dulu sepatunya biar nggak kotor.” Deka sampai lelah harus beli

obat sariawan karena setiap hari namanya disebut-sebut.

“Sampah Indomie siapa ini nggak dibuang?”

“Deka.” Padahal Deka tim Mie Sedap.

“Kemaren yang mecahin gelas kesayangan Mahesa siapa?”

“Deka.” Padahal Deka minum tidak pakai gelas.

Dan masih banyak lagi contoh penerapan konsep SSD

alias ‘Semua Salah Deka’ yang terus berjalan sampai sekarang.

Meskipun ia sering menjadi bahan ejekan, tapi Anak Tinggar

diam-diam masih perhatian dengan Deka. Meskipun masih

banyak yang gengsi untuk mengakuinya.

112 | NANA.
“Kenapa lo balik-balik kusut banget?” tanya Mahesa saat

melihat Deka pulang ke kontrakan dengan kondisi yang jauh

daripada biasanya. “Nggak papa.”

Mahesa dan delapan orang lain yang ada di rumah, pun,

bingung mengapa Deka tiba-tiba menjadi berbeda. Tidak ada

yang bisa mengajaknya bercanda seperti biasanya. Bahkan

saat diajak makan atau pergi, pun, Deka selalu menolak.

Ternyata setelah Abian mencari tahu dari orang-orang

di sekitarnya, Deka habis di-bully oleh kakak tingkat dua

tahun di atasnya. Entah bully-an tentang apa, tapi yang pasti

bisa membuat Deka menjadi begini pasti hal tersebut sudah

kelewat batas. Anak Tinggar tahu, separah apapun mereka

mengejek atau mem-bully Deka, laki-laki itu tidak akan sakit

hati. Tapi sepertinya kali ini tidak bisa dibiarkan.

Keesokan harinya, Deka akhirnya mau keluar dari

kamar setelah mendapatkan chat dari Gista bahwa kakak

tingkat yang berurusan dengannya kemarin ingin meminta

maaf secara langsung ke kontrakan. Dan benar, saat itu ada

113 | NANA.
empat orang kakak tingkat jurusannya datang untuk

meminta maaf.

Usut punya usut, ternyata semalam Anak Tinggar pergi

untuk menemui mereka berempat. Membicarakan perihal

mereka yang berani mengejek Deka, kemudian memaksa

mereka agar minta maaf kepada bungsunya.

“Nggak ada yang boleh ngatain lo, selain kita.”

Itulah yang akhirnya Deka dengar dari Mahesa, selaku

perwakilan Anak Tinggar yang kemarin pergi. Sisanya?

Mengurus dari balik layar.

Menjadi Raharsa Mahardeka yang berteman dengan

Mahesa serta Arga, menjadikannya dikenal sebagai Hermes

kampus atau si pembawa pesan. Tidak sekali dua kali laki-

laki itu membawa beberapa titipan dari teman satu kelas,

satu angkatan, atau siapa saja yang mampir di DM Twitter-

nya untuk bisa disampaikan kepada dua sahabatnya itu.

114 | NANA.
Atau kalau mau, titipan kepada temannya yang lain

seperti Dewa, Abian, Arjuna, Januar, Nakula, dan Putra, pun,

bisa Deka sampaikan. Selain membawa beberapa titipan,

laki-laki itu juga menjadi Wikipedia berjalan, sekaligus

pembawa bahan.

Bahan apa?

Bahan gosip tentu saja. Jangan mengira kalau laki-laki

tidak bisa bergosip, ya. Apalagi ada Deka di dalamnya.

Deka adalah representasi laki-laki yang setia. Sudah

jelas alasannya karena ia tidak bisa lepas dari satu gadis yang

ia suka sejak SD. Malahan, Deka sudah pernah pacaran

dengannya sejak SMP, tapi putus saat masuk kuliah.

Putusnya, pun, masih labil. Kadang nyambung kadang

putus lagi. Alasannya juga karena hal-hal tidak penting.

Putus karena Deka salah membeli tempat seblak, contohnya.

Legenda mengatakan kalau Raharsa Mahardeka adalah

anak bunda. Selain karena Bunda Pipit masih menganggap

Deka seperti anak TK yang baru bisa berbicara dan berjalan,

115 | NANA.
kabarnya laki-laki itu juga masih sering menangis kalau tidak

dicium bunda. Malu sama anak tetangga!

Menjadi anak Bunda Pipit yang memiliki teman satu

dunia—kiasan saja—membuat Deka banyak dikenal oleh

tetangga. Kalau Deka membuat status Whatsapp sudah pasti

yang menonton lebih dari 500, kontaknya saja banyak sekali.

Mulai dari Ayah, Bunda Simpati, Cecep Fotokopi,

Dadang Siomay Kantin, Eko Servis HP, Fauziyah Kayaknya

Sepupu Putra, Bu Mega bukan Megawati, dan masih banyak

lagi sampai kadang Deka bingung kapan ia bertukar nomor

Whatsapp dengan mereka semua.

Funfact: Deka adalah penggemar berat Ikatan Cinta.

Karma sering mengejek Bunda, akhirnya Deka malah

terhanyut akan cinta dari Mbak Andin dan Mas Aldebaran.

Cita-citanya sekarang bukan lagi menjadi seperti Lee

Min Ho tetapi menjadi Mas Al idaman ibu-ibu arisan.

116 | NANA.
Sembilan kepala dengan sembilan cerita ini akhirnya

bertemu dan saling melengkapi satu sama lain sampai

sekarang. Konon ada yang bilang, kalau teman yang bertemu

secara tidak sengaja akan awet. Mungkin, meskipun belum

ada jurnal yang membahasnya sehingga tidak bisa seenaknya

membuat kesimpulan. Meskipun begitu, ini yang akhirnya

menjadi doa Anak Tinggar agar pertemanan mereka awet

sampai hari tua.

Menapaki setiap langkah, menghitung setiap detik, dan

mewujudkan setiap mimpi bersama-sama, sampai mereka

hilang, di balik nama yang bisa dikenang.

117 | NANA.
Cerita para
wanita.

Bandung, tahun kedua.

Menjadi mahasiswa apalagi di tahun kedua adalah

waktu-waktu yang cukup penting untuk membangun sebuah

relasi. Relasi dengan kakak tingkat, relasi dengan dosen,

relasi dengan staff akademik, relasi dengan alumni, serta

masih banyak lagi jenis relasi yang patut untuk dicari.

Relasi dengan teman, utamanya.

Fungsinya adanya relasi dengan teman pun sudah pasti,

menjadi support system selama mereka menjalankan masa per-

kuliahan. Contohnya seperti ini:

118 | NANA.
Menjadi pengingat akan tugas, menjadi teman untuk

mencari makan siang, menjadi tutor untuk mata kuliah yang

susah, memberikan contekan saat kuis, atau sekedar menjadi

orang kepercayaan untuk menitipkan absen saat malas untuk

masuk kelas.

Untuk dua contoh terakhir jangan sampai ditiru, ya!

Intinya, teman adalah orang yang paling penting di

masa perkuliahan. KULIAH WAJIB PUNYA TEMAN! Mini-

mal satu orang, saja. Tidak perlu banyak-banyak.

Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Jika kita

kuliah-pulang-kuliah-pulang saja tanpa memiliki teman di

kampus, jelas, lama-kelamaan kita akan menjadi gila. Sebab

tidak memiliki telinga sekedar untuk mendengar. Tidak me-

miliki mulut sekedar untuk mengingatkan. Tidak memiliki

tangan sekedar untuk membantu. Dan tidak memiliki bahu

sekedar untuk bersandar ketika sama-sama diterjang badai

akademik yang membuat semua orang tumbang.

119 | NANA.
Lebih bagus lagi, kalau pertemanan itu menjadi tulus—

bukan penyanyi—dan bisa sampai ke tahap persaudaraan.

Tadinya, Anak Tinggar tidak menyangka kalau mereka

akan berteman juga dengan enam orang gadis yang kini ikut

bergerak untuk menata barang di apartemen milik Dewa.

Ceritanya begini, hari ini adalah hari pindahan. Dan

orang terakhir yang memboyong seluruh barang bawaannya

dari kontrakan adalah laki-laki pemilik apartemen ini. Oleh

karena itu, hari ini sekalian menjadi acara peresmian mereka

meninggalkan kontrakan untuk memulai hidup baru serta

acara pindahan yang dirangkum menjadi satu.

Berhubung ini adalah apartemen Dewa dan tentu saja

Atha selaku kembaran sudah pasti ada di sana, ia tidak ingin

menjadi seorang gadis sendirian di tengah perkumpulan para

lelaki. Makanya, Dewa dengan senang hati ikut mengundang

teman-teman Atha agar bisa datang untuk menemani.

Untungnya ini bukan pertemuan mereka yang pertama kali.

120 | NANA.
Dahulu saat Anak Tinggar masih tinggal di kontrakan,

Atha dan Anak Kanay—sebutan untuk perkumpulan gadis

itu—juga sering datang ke sana. Apalagi setelah menjalani

rangkaian OSJUR atau OSPEK Jurusan bersama.

Oh! Sekedar informasi, sekarang mereka sudah masuk

ke jurusan. Begini susunannya, di FTTM yang masuk jurusan

Teknik Pertambangan ada Mahesa, Arga, Atha, dan Tisya.

Kemudian di Teknik Peminyakan ada Dewa, Arjuna, Pevita,

Vina, serta Gista. Selanjutnya di jurusan Teknik Metalurgi

ada Januar dan Dara. Abian dan Nakula ke masuk Teknik

Mesin, sedangkan Deka masuk Teknik Material. Sisanya, ada

Putra satu-satunya yang masuk Teknik Sipil.

“Lo nggak tinggal di sini juga, Tha?” tanya Gista kepada

Atha yang sedang membantu Dewa menata buku di rak yang

ada di sebelah televisi.

“Nggak, lah. Enakan di Kanayakan, deket sama kalian.”

Bagi yang belum tahu siapa saja yang tergabung dalam

121 | NANA.
lingkaran pertemanan Anak Kanayakan, simak perkenalan

mereka setelah ini.

Pion pertama sekaligus yang paling aktif berperan

dalam lingkaran, namanya Gistara Dewananda. Panggil saja

Gista, sebab hanya dengan satu nama itu semua orang sudah

tahu siapa Gista yang akan kita bahas selanjutnya.

Perannya dalam perkumpulan ini adalah menjadi

kepala sekaligus otaknya. Lebih sering disebut sebagai

‘bandar gosip’ sebab ia menyediakan berbagai macam gosip

dari segala penjuru dunia.

Gosipnya pun bukan gosip biasa, ia selalu satu langkah

lebih update ketimbang Instagram Lambe Turah atau Twitter

Area Julid yang sampai sekarang masih dipertanyakan siapa

pemiliknya. Ada kalanya orang mengira, Gista lah sosok di

balik akun-akun gosip yang selama ini beredar di sosial

media.

Kalau diibaratkan dengan sebuah pekerjaan, mungkin

Gista sudah menduduki posisi Manager Public Relations di

122 | NANA.
kantor-kantor terkenal yang gajinya menyentuh kepala dua

lantaran keahliannya yang juga tiada dua. Atau bahkan, Gista

menjadi orang yang paling diincar oleh berbagai perusahaan

sebab selalu bisa dipamerkan sebagai kebanggaan.

Keahlian Gista yang sudah terverifikasi secara langsung

oleh orang-orang di sekitarnya sampai detik ini adalah

mencari informasi apapun hingga ke seluruh penjuru dunia.

Agaknya berlebihan tapi anggap saja ini memang nyata.

Begini contohnya, misalkan kalian ingin mencari tahu

latar belakang seseorang, entah itu mantan—yang mencakup

mantan pacar, mantan gebetan, mantan calon gebetan, atau

segala bentuk mantan—pacar, ataupun calon kalian, datang

saja ke Gista. Ia jagonya stalking sampai ke pori-porinya.

Jangan khawatir, walaupun kalian tidak memiliki

banyak data tentang mereka dan hanya bermodalkan nama

panggilan saja, sudah dipastikan Gista tetap bisa mendapat-

kan seribu satu informasi yang tidak akan pernah kalian

pikirkan ada di dunia.

123 | NANA.
Mulai dari data umum sang tuan sampai data kakak

dari kakeknya kakak sepupu kakak ipar kalian—intinya, yang

paling tidak mungkin bisa kita dapatkan—pun berhasil Gista

sertakan dalam hasil pencarian.

Tidak ada yang tidak mungkin dalam kamus stalking ala

Gista. Ibarat Google berjalan, gadis itu selalu bisa menjawab

sebagian besar pertanyaan yang ada di kepala kalian. Asalkan

jangan tanya kapan Gista dan Deka balikan, sebab sampai

sekarang hanya Tuhan yang bisa memberikan jawaban.

“Gistaaaaa makasih ya, karena lo gue jadi tau kalo dia beneran

belum move on dari mantannya.” Begitulah kira-kira testimoni

dari salah satu klien Gista yang sudah menjadi langganan

setia jasa stalking-nya.

“Saran gue mending lo sama yang dua bulan lalu ketemu di

Paskal aja. Lebih cocok dari segi mana aja, yang jelas zodiaknya

bukan Libra.” Selain membuka jasa stalking mantan, Gista juga

membuka jasa penasehat hubungan sebagai pekerjaan

sampingan. Penghasilannya lumayan, setidaknya bisa untuk

124 | NANA.
tambah-tambah uang beli seblak atau skincare idaman kalau

sedang akhir bulan.

Tidak berhenti di situ, Gista juga pernah dinobatkan—

secara informal—menjadi salah satu gadis yang paling di-

kenal se-angkatannya. Sebab semua orang pasti tahu siapa

dirinya hanya dengan menyebut namanya.

“Oalah, si Gista anak minyak? Siapa sih yang nggak kenal.”

“Gistara Dewananda? Ya, kenal lah, orang dia yang bantuin

gue buat mergokin cowok gue selingkuh bulan lalu.”

“Teh Gista mah mamang kenal banget, bren angba-angba apa

tuh namanya mamang lupa, pokoknya yang suka promosiin seblak

mamang, deh. Keren pokoknya, mantulita.”

“Kak Gista, tuh, yang tadi tiba-tiba ngajak ngobrol kita pas di

kantin, kan? Yang akrab banget sama semua orang?”

Minimal eksistensinya sudah bisa disandingkan dengan

Mahesa dan Arga yang langganan masuk basekampus, lah.

Meskipun peran Gista lebih banyak di balik layarnya.

125 | NANA.
Kalau kata gadis itu, “Lumayan, bisa nambah relasi sama

keahlian, biar bisa dimasukin ke CV buat ngelamar kerjaan. Siapa

tahu gue direkrut jadi anggota BIN, kan?”

Iya, BIN. Badan Info Ngejulid, maksudnya.

Selain dikenal jadi bandar gosip, Gista juga dikenal jadi

bandar cogan. Mulai dari maba yang baru masuk sampai

alumni sepuluh tahun di atasnya bisa ia dapatkan

kontaknya.

Kemampuannya merayu orang sudah di atas rata-rata,

mengalahkan rayuan mbak-mbak Jenius di Paris Van Java.

Sayangnya, Gista hanya suka bermain-main dan tidak

pernah serius dengan mereka. Rumornya sih, sampai detik

ini yang masuk ke tahap serius hanya Deka, mantan yang

masih membuat Gista gamon—gagal move on—selama ber-

tahun-tahun lamanya.

“Wa, ini foto-fotonya ditaro mana, ya? Mau dimasukin

kamar apa ditaro di meja aja?” Pevita berteriak dari kejauhan

126 | NANA.
membuat Dewa menoleh sekaligus membuyarkan obrolan

Atha dan Gista.

Itu adalah Pevita yang ditaksir oleh Nakula.

Pevita terkenal sebagai si paling akademis. Selalu hafal

di luar kepala seluruh jadwal kuliah mahasiswa di kampus

mereka, karena selalu ditakdirkan untuk menjadi anggota

magang di Lembaga Kemahasiswaan bidang akademik sejak

tingkat pertama.

Pevita adalah gambaran gadis idaman bagi semua kaum

adam. Parasnya tak kalah rupawan dari artis-artis Korea yang

sering orang bicarakan. Selain itu, ia juga memiliki otak yang

mumpuni di segala aspek kehidupan, keluarganya harmonis

serta mapan, membuat banyak lelaki rela mengantri untuk

membawa gadis itu pulang dan memperkenalkannya pada

keluarga besar sebagai calon menantu idaman.

Saingan Nakula memang banyak sekali.

Dari lima belas kepala yang ada di ruangan ini, hanya

Pevita yang pernah menduduki tahta mahasiswa berprestasi

127 | NANA.
Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan dengan IP

sempurna 4.00 selama tiga semester berturut-turut. Bahkan,

Dewa yang terkenal sebagai robot akademik, pun, tidak bisa

mendapatkan IP sempurna seperti Pevita.

Tak hanya itu, Pevita juga sering mendapatkan juara

pada berbagai perlombaan tingkat kampus maupun nasional

hingga selalu mendapatkan Dean’s List atau penghargaan

yang diberikan oleh Fakultas kepada mahasiswa terpilihnya.

“Wah gila, lihat guys temen lo menang lomba lagi, tuh!” seru

Tisya ketika melihat Pevita lagi-lagi pulang sambil membawa

sebuah trofi dan amplop cokelat berisikan uang hasil lomba.

“Lomba apaan? Perasaan belom tujuh belasan deh kok udah

menang aja?” Gista menyahut santai dan tetap fokus pada

kegiatan rutinnya memakan seblak Mang Usep selagi tangan

lainnya menjelajah Twitter, mencari bahan gosip yang dapat

ia jadi-kan topik bahasan mereka di pertemuan selanjutnya.

Jangan bandingkan Pevita dengan Gista, mereka

bagaikan langit dan bumi yang jauh berbeda. “Lihat tuh, Gis.

128 | NANA.
Temen lo udah keliling Indonesia buat lomba, lo masih aja duduk di

sini sambil scroll Twitter kaya orang gila.”

“Heh, tolong ngaca dong, Bunda, lo juga sama gilanya.” Gista

menatap sinis Atha yang terlihat sama saja dengannya, atau

bahkan lebih gila. Gadis itu duduk bersimpuh di lantai seraya

mengobrol dengan kucing-kucing peliharaannya yang sudah

jelas tidak bisa menanggapi semua ocehannya.

Jangan juga sekali-sekali menceritakan Pevita kepada

orang tua ataupun anggota keluarga yang lainnya. Sebab jika

mereka tahu kita memiliki teman sempurna layaknya Pevita,

topik bahasan acara keluarga dalam sekejap pasti langsung

berganti. Menjadi ajang perbandingan pencapaian yang

mengharuskan kita untuk tetap bertahan walaupun merasa

sangat tertekan.

“Tuh, lihat temen kamu. Udah cantik, pinter, rajin, bisa kuliah

sambil ikut banyak lomba lagi. Kamu nggak pengen apa bisa kaya

dia? Mama tuh kalau punya anak kaya dia pasti bangga. Nggak malu

buat kenalin ke temen-temen mama, apalagi ke tetangga.”

129 | NANA.
Cukup, jangan diteruskan. Isinya hanya akan membuat

kita lebih tertekan.

Selain itu, Pevita juga dikenal sebagai satu-satunya

anggota Anak Kanay yang selalu menjunjung tinggi prinsip

hidup sehat, produktif, serta aesthetic. Role model-nya adalah

ibu-ibu muda bertalenta seperti MbakNatasha Surya dan

Nisacookie yang konten TikTok-nya tak pernah absen Pevita

tonton di sela-sela jeda kuliah.

Hobi utamanya tentu saja membaca dan belajar seperti

Maudy Ayunda. Selain untuk bekalnya mencari kerja, Pevita

juga ingin menjadi ibu rumah tangga yang cerdas dan dapat

membimbing anak-anaknya melalui pendidikan tinggi yang

selama ini ia terima.

“Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang

wanita wajib berpendidikan tinggi karena mereka akan menjadi

seorang ibu. Ibu-ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas.”

Begitulah kalimat dari Dian Sastrowardoyo yang selalu

Pevita jadikan motivasi sampai sekarang.

130 | NANA.
Demi menyeimbangkan kehidupannya, Pevita juga

memiliki hobi lain yaitu memasak serta refill kulkas dengan

berbagai macam makanan. Mulai dari makanan ringan

seperti chiki-chikian sampai makanan sehat seperti buah dan

sayuran. Tidak lupa ia mempraktikkan hasil belajarnya di

TikTok untuk membuat bekal makan sehat dan aesthetic,

lengkap dengan hiasan-hiasan gemas yang ia beli di Shopee

saat ada event gratis ongkir ke seluruh Indonesia.

Hemat. Semua pengeluarannya harus ia perhitungkan

seminimal mungkin.

Pevita itu future oriented sekali, apalagi jika ditelusuri

lebih jauh, gadis itu bahkan telah merancang alur kehidupan-

nya hingga dua puluh lima tahun ke depan. Sampai rela ikut

belajar investasi untuk bekal masa depan.

“Taro di atas meja aja, Pev, yang deketnya Vina.” Dewa

menunjuk sebuah meja bundar kecil di sebelah seseorang.

Seorang gadis yang diam-diam naksir dengan Dewa.

131 | NANA.
Arshavina, gadis yang berperan sebagai supporter paling

bersemangat saat Gista sudah mulai membuka lapak gosip-

nya di mana saja.

Vina dan Gista itu sebelas dua belas masalah berburu

gosip kampus. Hanya saja, kemampuan Vina masih jauh di

bawah Gista bahkan katanya masih di bawa rata-rata. Kalau

bisa diukur menggunakan skala IP kuliahan, sih, masih 2.50.

Masih butuh banyak bimbingan dari master Gista.

Dalam bidang akademik, Vina juga dikenal sebagai

manusia biasa, tidak masuk ke dalam jajaran gadis pintar dan

berprestasi selayaknya Pevita. Gadis itu bahkan lebih sering

menitipkan absennya ke Arjuna atau teman-teman di kelas,

yang tergabung dalam grup ‘pengabdi absen’ bentukan Arjuna.

Grup penolong bagi mereka-mereka yang malas masuk kelas

namun tidak ingin absennya amblas.

Tidak boleh dicontoh ya teman-teman!

Meskipun begitu, jika ditanya apa prestasi terbesar

Vina sepanjang masa kuliahnya, jawabannya jelas. Menjadi

132 | NANA.
pemenang FTTM Award kategori mahasiswa tercantik saat

ada acara penyambutan mahasiswa baru.

“Eh eh, dia maba pertama yang menang award, ya?”

“Pantes sih, cakep banget kaya artis.”

“Pasti banyak kating-kating yang naksir.”

“Kalo ini, mah, saingan gue bukan satu kelas lagi tapi bisa satu

kampus. Gokil.”

Vina itu tipikal orang yang cantiknya natural meskipun

tanpa makeup. Tipe-tipe mahasiswa yang sering dijadikan

sasaran kebencian oleh kakak tingkat insecure ketika melihat

ada mahasiswa baru cantik langsung menjadi incaran teman-

teman satu angkatannya.

Apalagi kalau baru hari pertama OSPEK tetapi maba

tersebut sudah mendapatkan banyak tawaran antar jemput,

yang sebenarnya sekalian menjadi ajang pamer kendaraan.

Tipis-tipis sekalian sambil kenalan, lebih bagus lagi

kalau bisa diterima jadi calon gebetan apalagi sampai tahap

pacaran.

133 | NANA.
“Lo ngapain coba ke kampus pake alis tebel banget kaya gitu?

Mau kuliah apa mau jadi jablay?” Padahal alis Vina memang

sudah asli tebal dari sana.

“Lipstick lo nggak kurang merah, tuh? Niat kuliah apa niat

godain dosen?” Padahal Vina tidak pakai lipstick sebab bibirnya

sudah merah alami.

“Jangan tebar pesona sama kating deh, lo. Masih maba aja sok

cantik.” Padahal tanpa ditanya pun semua orang setuju kalau

Vina memang cantik. Tidak perlu repot-repot tebar pesona,

semua orang sudah langsung terpesona.

Tapi begitulah seseorang kalau sudah dikuasai oleh

rasa iri dan dengki, semua yang dilakukan oleh orang lain

akan selalu salah di mata mereka.

Buruknya, banyak dari mereka—tidak semua, namun

mayoritas begitu—bukannya introspeksi diri dan berubah

agar bisa menjadi orang yang lebih baik, mereka justru

menyalahkan orang lain atas rasa kurang percaya diri serta

134 | NANA.
kekurangan yang mereka miliki. Menjadikan orang lain

sebagai objek untuk pelampiasan emosi.

Beruntungnya, Vina bukan gadis lemah yang hanya iya-

iya saja jika ada segerombolan kakak tingkat tidak jelas yang

datang ke hadapannya.

“Lo sehari aja nggak usah caper sama cowok gue bisa, nggak?

Tiap hari lo bikin story biar di reply sama cowok gue, kan? Ganjen

banget jadi cewek, heran deh.”

Mungkin sudah lebih dari sepuluh kali Vina

mendapatkan teguran—lebih cocok disebut tuduhan—yang

isinya kurang lebih sama semua. Anehnya, mereka memiliki

kalimat yang hampir sama seolah-olah sudah sempat di

briefing sebelum datang ke hadapannya.

“Bentar-bentar, cowok lo … yang mana, ya? Sorry banget tapi

gue nggak tau orang yang lo maksud tuh yang mana. Bisa lo cari terus

lo block sendiri aja nggak?”

Vina pun membalas sembari menunjukkan jajaran DM

Instagram dari lelaki-lelaki kardus yang satupun tidak pernah

135 | NANA.
ia balas pesannya. Mungkin salah satunya termasuk si ‘pacar’

kakak tingkat yang Vina sendiri tidak tahu siapa namanya

sampai sekarang. Tidak tahu, tidak ingin tahu, dan tidak

peduli juga. Lagi pula untuk apa? Ia tidak memiliki peran

penting di kehidupan Vina.

Selanjutnya, kakak tingkat beserta teman-teman satu

circle-nya—yang datang hanya untuk ikut meramaikan—itu

langsung melengos pergi tanpa membalas apapun ucapan

Vina. Mungkin merasa malu, sebab adik tingkat yang selama

ini selalu mereka jadikan sasaran kebencian telah sepenuh-

nya terbebas dari berbagai macam tuduhan.

“Butuh bantuan, nggak, Pev?” tanya Tisya sembari me-

matikan rokoknya. Si pion keempat sekaligus yang paling

tomboy di antara semuanya.

Kebalikan dari Vina dan Gista, Tisya adalah orang yang

paling sering menghindari segala sesuatu yang berhubungan

dengan pergosipan dunia. Meskipun sebenarnya secara

136 | NANA.
diam-diam ia juga masih sering ikut menguping jika Gista

mulai membuka lapak gosipnya di kamar Atha.

Markas bergosip paling nyaman karena selalu ada

cemilan yang tersedia di sana.

Membahas seorang Siburian Tisya setelah tiga teman-

nya ibarat membahas langit dan bumi yang jauh berbeda.

Tisya lebih mirip laki-laki meskipun pada kenyataannya ia

tetaplah seorang gadis seperti pada umumnya.

Jika di dalam perkumpulan gadis-gadis itu ada si paling

berprestasi, si bandar gosip, dan si paling cantik, maka ia

lebih sering dikenal sebagai si paling tampan.

Tentu saja alasannya karena penampilan serta sifatnya

yang jauh lebih tomboy. Sejujurnya, Tisya bisa terlihat cantik

dan tampan di waktu yang bersamaan.

Pakaiannya selalu serba hitam, celana sobek-sobek

sudah menjadi andalannya untuk berpakaian, sepatu

Converse usang dengan tali yang tidak pernah dikencangkan,

beserta sebatang rokok yang selalu terselip di antara bibirnya

137 | NANA.
membuat Tisya semakin cocok jika dijuluki sebagai gadis

paling tampan.

Pernah kah kalian terpesona akan aura ketampanan

seseorang padahal sudah jelas bahwa ia adalah seorang

wanita? Ya, seperti itulah rasanya saat kalian melihat Tisya.

Sisi maskulinnya jauh lebih mendominasi daripada sisi

feminimnya. Bahkan suaranya pun lebih mirip laki-laki.

Sejak awal masuk kuliah, Tisya lebih sering terlihat ada

di tongkrongan para lelaki. Terlebih lagi untuk mereka yang

sering berada di Arkun atau Area Kuning—area yang

disediakan khusus untuk merokok, yang tersebar di setiap

sudut kampus—sebab sudah menjadi teman merokoknya

sejak di tingkat pertama. Biasanya, Tisya juga ikut merokok

dengan anak-anak di Kantin Tenggara.

“Sya, arkun nggak lo?” Pertanyaan yang paling banyak

Tisya dapatkan jika sedang berpapasan dengan teman-

temannya di jalan.

138 | NANA.
Menjadi gadis tomboy dengan banyak teman laki-laki

juga bukanlah hal yang mudah bagi Tisya.

Tak jarang telinganya mendengar orang-orang yang

tidak bertanggung jawab—atau seringnya yang merasa iri

sebab Tisya dekat dengan para lelaki di kampusnya—

menyebarkan berita hoax tentang dirinya hingga membuat

banyak mata terkadang ikut memandangnya dengan tatapan

yang tidak suka.

“Sya, ada rumor lo jadi bahan giliran sama anak-anak Sipil,”

Lapor Gista si paling update tentang gosip kampus.

“Biarin aja, mau mereka ngomong apaan juga gue nggak

peduli. Males drama.”

Saat ada rumor seperti itu, Tisya hanya akan berlalu

tanpa ada niat untuk menanggapi satupun tuduhan mereka.

Sangat jauh berbeda dengan Gista yang sudah pasti lebih

memilih untuk melabrak siapa saja yang nekat berurusan

dengannya. Gisa memang bar-bar.

139 | NANA.
Bukan karena Tisya tidak berani melawan, semua orang

juga tahu bahwa gadis itu adalah kartu AS anak lapangan

seperti Mahesa. Mental bajanya sudah terkenal hingga ke

penjuru kampus bahkan sampai ke kampus sebelah yang

terkadang ikut menyebarkan tuduhan.

Gadis itu hanya tidak suka dengan keributan, apalagi

yang menyangkut dengan gadis-gadis haus belaian yang

hanya bisa membicarakannya di belakang tanpa sanggup jika

diminta datang langsung untuk berhadapan.

Gista bahkan pernah menawarkan untuk membantu

Tisya melabrak orang-orang yang telah menuduhnya berbuat

macam-macam. Namun, tetap saja gadis itu tidak ingin

repot-repot menanggapi apalagi harus membuat waktu dan

tenaganya tersita dengan sia-sia.

Terkadang, itulah yang sering membuat Tisya merasa

malas untuk berteman dengan gadis-gadis di kampusnya,

sebab terlalu banyak drama.

140 | NANA.
Hanya Atha serta kelima temannya yang pada akhirnya

mampu membuat Tisya meruntuhkan tembok pertahanan-

nya untuk tidak berteman dengan perempuan.

Gadis itu bukannya berniat menjadi ‘si paling nggak bisa

temenan sama cewek’ seperti yang sering muncul di FYP TikTok

Atha, ia hanya ingin membatasi pertemanan dengan mereka

sebab terlalu banyak hal yang pernah terjadi di masa lalu

hingga membuatnya trauma.

“Gue bantuin, Pev.” Seorang gadis tiba-tiba meraih be-

berapa bingkai foto di tangan Pevita, kemudian menatanya

di meja seperti yang Dewa katakan tadi.

“Dar, lo udah selesai?” Gadis itu mengangguk.

Jika Gista dikenal sebagai si paling banyak bicara, maka

Dara akan dikenal sebagai si paling hemat suara. Lihat saja,

sejak tadi ia hanya diam tapi tiba-tiba semua pekerjaannya

selesai. Berbeda dengan Gista, Atha, dan Vina yang sekarang

malah asyik bergosip bukannya lanjut membantu Dewa.

141 | NANA.
Gadis itu memang lebih suka menjadi orang belakang

yang mendengarkan daripada sibuk memberi bahan atau

menjadi kompor untuk menambah panas obrolan.

Sebenarnya, diamnya Dara itu bukan karena ia tidak

tertarik dengan semua cerita teman-temannya. Hanya saja,

ia sedang sibuk menyimak apa yang sedang terjadi di luar

sana, sebab Dara jarang mengenal siapa saja yang sedang

menjadi bahan perbincangan mereka semua.

“Gila, Maura balikan sama Dewanto, padahal minggu lalu gue

lihat si Toto—nama panggilan Dewanto—udah jalan sama Beti.”

“Maura siapa?” tanya Dara pada Gista. “Terus Dewanto

juga siapa? Yang anak Manajemen waktu itu?”

“BUKAAANN! Maura tuh anak Arsi angkatan kita. Lo nggak

tau? Dia udah terkenal gara-gara waktu itu pacaran sama Ketua

BEM.” Ujungnya, Dara tetap tidak tahu siapa orangnya.

Tidak banyak yang bisa dijelaskan dari Dara. Bagi

teman-temannya, Dara masih terlalu tertutup sekalipun

mereka semua sudah lama tinggal bersama.

142 | NANA.
Dara tidak banyak bicara juga tidak banyak meminta, ia

hanya akan merespon dengan senyum atau gesture kecil

seperti anggukan dan gelengan saat ditanya.

Gadis itu juga sangat jarang muncul di perbincangan

kampus, entah dari mulut ke mulut atau di basekampus,

sangat berbeda dengan kelima temannya, yang hampir setiap

saat menjadi bahan omongan oleh para mahasiswa.

Entah mengapa.

Dara lebih suka kesunyian, dirinya lebih banyak ber-

diam diri di kos-kosan ketimbang ikut acara kampus yang

melibatkan banyak orang. Tidak heran jika sampai sekarang

banyak orang yang tidak terlalu mengenal Dara.

Pribadinya yang tertutup membuat semua orang

canggung untuk memulai perbincangan dengannya. Selain

itu, ia juga tipikal orang yang akan diam jika tidak ditanya,

namun ia akan bercerita dengan panjang lebar jika teman-

temannya memberikan ruang untuknya bisa berbicara.

143 | NANA.
Pion terakhir, sekaligus si kembaran Dewa yang sangat

melegenda. Athalia Nataprawira.

Gadis paling sabar jika kamarnya sudah dijajah oleh

teman-temannya untuk dijadikan sebagai markas berkumpul

guna membuka bahan ghibahan.

Jangan ditanya idenya siapa, sudah pasti Gista.

Namanya sering disebut-sebut menjadi salah satu

incaran banyak laki-laki di kampus. Sempat juga ada rumor

namanya menjadi bahan taruhan untuk membuktikan lelaki

hebat mana yang bisa menaklukkannya.

Untungnya, belum sampai mereka mendapat jawaban,

semua orang menyerah ketika tahu siapa manusia yang akan

mereka lawan.

Dewantara Nataprawira.

Kembaran sekaligus malaikat penjaganya.

“Lo tau Athalia anak jurusan Tambang 2017 nggak? Dia juga

cakep banget tau. Mau coba deketin nggak, lo?”

“Nggak dulu deh kalo dia, susah nembus abangnya.”

144 | NANA.
“Skip, pawangnya galak.”

“Gue udah nyoba, nggak pernah berhasil.”

“Gila, dia dingin banget anaknya. Kulkas aja kalah dingin.”

Padahal aslinya, Atha adalah orang yang paling receh

dan aneh di antara semua Anak Kanayakan. Jangan heran,

julukan Atha di kos-kosan adalah Lutung Gaje alias Luntang

Lantung Gapernah Jelas.

Hobinya sebelum mandi adalah melamun di pinggir

jendela, lalu membayangkan dirinya menjadi Nagita Slavina,

scroll TikTok seharian nonton live siram lumpur atau kadang

kalau hoki mendapatkan live Dilan Cepmek tengah malam,

dan yang paling utama, hobi kesukaannya adalah curhat ke

tiga kucing duda peliharaannya.

Joko, Ujang, dan Bogel.

Jangan tanya siapa yang memberikan nama, karena

sudah jelas Atha jawabannya. “Ini tuh kearifan lokal tau, jangan

dihujat dong, inget kata guru agama kita, nama adalah doa!”

Padahal kalau ditanya arti namanya juga tidak akan bisa.

145 | NANA.
Kegiatan rutinnya selain mencari tempat makan ter-

sembunyi adalah mendistribusikan makanan yang sering ia

beli sekedar untuk memenuhi keinginannya yang selalu tak

terkendali.

“Aduh ini kayanya enak deh, beli aja apa ya? Mending nyesel

beli daripada nyesel nggak beli, kan? Mumpung lagi promo, nih.”

Begitulah akhirnya kulkas kos-kosan mereka akan

penuh dengan berbagai macam makanan milik Atha. Padahal

ujungnya juga tidak akan bisa habis. Untungnya, dulu Atha

selalu memiliki alasan untuk membeli.

“Nanti kalo nggak habis tinggal bawa aja ke Rutan.”

Maksudnya untuk membawakan Mahesa—pacarnya—

yang terkadang malas membeli makanan. Berkedok pergi

mendatangi Dewa, Atha seringkali diam-diam datang ke

Rutan hanya untuk melihat Mahesa. Mencuri pandang saat

sedang kumpul bersama, namun tak pernah sanggup untuk

berbicara berdua. Sebab semua orang tahu betapa buruknya

hubungan mereka berdua. Menjadi musuh abadi, katanya.

146 | NANA.
BUNDA KEDUA
MEREKA.

Bandung, tahun kedua.

Saat itu ajakannya begini: “Guys, Jogja, yuk? Liburan tipis-

tipis abis UTS. Mumpung long weekend juga. Bunda Pipit yang

ngajak, masa kalian tega buat nolak?”

Iya, itu adalah ajakan liburan dari Deka. Menggunakan

senjata rahasianya: Bunda Pipit, Deka pun akhirnya berhasil

menarik delapan orang lainnya untuk ikut pergi bersama.

Siapa juga yang tega menolak Bunda Pipit—bunda

kedua mereka—kalau wanita paruh baya yang suka ber-

dandan ala-ala anak muda itu benar mengajaknya?

Jelas, semua akan siap sedia kapanpun Bunda Pipit me-

minta mereka untuk datang.

147 | NANA.
Termasuk hari ini. Hari di mana, mereka akan pergi ke

Yogyakarta, kota yang katanya istimewa. Sangat istimewa

sampai banyak orang yang melabuhkan pilihannya untuk

berlibur ke sana meskipun sangat jauh dari tempat tinggal

mereka.

“Cepetan ganti baju atuh aa’ aa’ kasep. Ini bisnya udah

mau berangkat!” Bunda Pipit berseru kembali saat melihat

delapan orang laki-laki jangkung yang kini menenteng

sebuah benda asing di masing-masing tangannya itu tak

kunjung pergi berganti baju.

Baju apa?

Jangan berani bertanya, sebab kalau mencoba kalian

akan berakhir dengan terkena lempar kursi oleh Mahesa.

Agaknya memalukan, tapi mereka semua harus rela

mengganti baju yang sudah mereka siapkan dari jauh-jauh

hari untuk pergi liburan ke Jogja, dengan baju seragam tour

berwarna kuning stabilo menyala bertuliskan: ‘STUDY TOUR

IKATAN KELUARGA MUDA BOJONGSOANG.”

148 | NANA.
Padahal sudah jelas tidak ada yang namanya keluarga

muda di sini. Bahkan lebih cocok disebut perkumpulan ibu-

ibu arisan lantaran 80% yang ikut tour ke Yogyakarta hari ini

adalah para ibu-ibu. 20%-nya lagi, mereka.

“Deka anjing.” Januar mengumpat pelan. Merutuki pi-

lihannya untuk ikut rombongan ibu-ibu daripada berbelanja

dengan Yacinta—gadis ke sekian—yang ia batalkan janjinya

satu minggu sebelum pergi.

“A’ Janu mau ngomong apa? Bunda nggak denger tadi.”

tanya Bunda Pipit dengan tersenyum, seolah ucapan Januar

adalah hal penting yang harus ia dengar kembali.

“Nggak ada, Bun. Janu cuma ngomong sendiri,” jawab

Januar diselingi dengan tawa.

Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur

dan mereka tidak bisa kabur. Oknum yang menyeret mereka

ke sini hanya cengengesan sembari membantu mengangkat

koper milik ibu-ibu untuk dimasukkan ke dalam bus.

149 | NANA.
Kalau kalian bingung mengapa Deka secara tiba-tiba

mengajak mereka untuk pergi tanpa memberitahu informasi

lengkapnya sampai hari-H, jawabannya sudah jelas.

Deka juga dipaksa oleh Bunda Pipit untuk ikut. Alasan-

nya sih, “Nanti kalau aa’ nggak ikut ke Jogja, siapa yang fotoin

bunda sama temen-temen bunda?”

Memang dasarnya anak berbakti, Deka pun menurut.

Tapi juga menumbalkan delapan orang temannya yang

lain untuk masuk ke dalam neraka dunia bersamanya.

Bayangkan saja seberapa riweuh ibu-ibu kalau mau pergi

liburan? Ada yang bawaannya satu koper besar seperti mau

umroh padahal hanya pergi tiga hari. Ada yang membawa

satu kardus mie instan dengan harapan nanti bisa meng-

hemat pengeluaran. Ada juga yang hanya membawa badan

sebab yakin di sana banyak penjual pakaian.

Banyak macamnya.

“Ayo-ayo sini kita foto dulu. Biar bisa cepet di-upload ke

Facebook sebelum berangkat.” Bu Mega—bukan Megawati, si

150 | NANA.
ketua tour sekaligus sahabat Bunda Pipit—yang berkacamata

hitam itu menarik Anak Tinggar untuk ikut foto bersama.

“Iya ayo cepet, tadi Bu Santi udah nanya mana fotonya

kok belum di-upload.” Tidak ingin ketinggalan, Bu Iis selaku

dokumentasi ikut mengajak.

Lagi, mau tidak mau mereka hanya menurut.

“Ganteeeeng, gayanya jangan kaku-kaku semua, dong.

Masa mau liburan tapi wajahnya kaya mau sidang?” canda

Bu Sarah—sepertinya—yang menjadi asisten Bu Mega untuk

mengatur formasi foto.

Setelah ini Anak Tinggar pasti hafal semua nama ibu-

ibu di komplek perumahan Deka.

Dewa bahkan sudah hampir hafal seluruhnya sebelum

mereka berangkat. Yang pakai kerudung pink berbunga—

sangat tidak cocok dengan bajunya—namanya Bu Yuliani.

Konon katanya ia adalah ibu paling fashionable di komplek

ini. Kalau yang rambutnya warna-warni seperti ayam hias

151 | NANA.
itu, namanya Teteh Lelly. Harus dipanggil Teteh! Kalau tidak

Teh Lelly akan mencubit pipi mereka sebagai hukuman.

Padahal itu hanya alasan, aslinya Teh Lelly naksir Arga.

Makanya ingin dipanggil Teteh agar tetap terlihat muda.

“Mas Putra nggak mau berdiri di sebelah Tante Mira?”

Kalau yang ini sudah jelas, namanya Bu Mira, ibu yang paling

ajaib kelakuannya. Yang paling suka membuat konten TikTok

di mana saja dan kapan saja. Kabarnya Bu Mira ini janda.

Tapi ia bukan naksir dengan Putra, hanya suka bercanda.

Yakali, Anak Tinggar seperti anak mereka sendiri.

“Dik, kamu sudah punya pacar?” Coba tebak siapa yang

menjadi sasaran sekarang?

Iya benar, Abian Paramayoga. Si ganteng idaman ibu-

ibu muda. “Sudah, bu.” Abian membual. Lebih ingin disebut

membela diri karena takut akan dijodohkan dengan anaknya

seperti yang Bu Mega lakukan pada Mahesa.

Belum sampai berangkat saja, semua Anak Tinggar

sudah tertekan. Bagaimana nanti ketika di jalan? Bagaimana

152 | NANA.
nanti ketika sampai ke tempat tujuan? Semuanya bergidik

ngeri hanya dengan membayangkan.

“Ini kita begini sampe tiga hari kedepan?” bisik Arga

pada Dewa yang berdiri tepat di sebelahnya. Laki-laki itu

menarik nafas panjang, sebelum mengangguk pasrah dan

berjalan masuk ke dalam bis yang sudah ramai dengan suara

ibu-ibu riweuh mengatur tempat duduk.

“Nikmatin aja, demi Bunda Pipit.”

153 | NANA.
Katanya, Omongan
adalah doa.

Bandung, tahun ketiga.

“Menurut kalian, di antara kita semua, siapa yang bakal

nikah duluan, ya?” Januar mengetuk-ngetuk jari telunjuknya

pada meja. Berusaha untuk mencari topik obrolan serius

setelah seharian mereka bercanda.

Hari ini adalah hari sabtu, agenda rutin Anak Tinggar

saat malam minggu adalah berkumpul. Tentu saja ditemani

oleh sebotol alkohol untuk mencairkan suasana.

Setelah pindah dari Rutan, mereka memutuskan untuk

tinggal masing-masing. Ada yang tinggal di apartemen milik

sendiri seperti Dewa, Mahesa, Arga, Arjuna, dan Januar, ada

154 | NANA.
yang masih kontrak bersama seperti Nakula dan Putra, ada

yang memilih untuk ngekos seperti Abian, atau yang kembali

tinggal di rumah seperti Deka. Maka ketika malam penuh

dosa—sebutan untuk malam minggu mereka—datang lagi

seperti sekarang, mereka hanya perlu mengundi di mana

ujung botol itu berhenti, seperti hari ini.

“Kesambet apaan lo ngomongin nikah?” Tidak ada yang

menyahut tapi semua orang yakin pertanyaan Abian adalah

yang paling patut untuk ditanyakan pertama kali.

Pasalnya, ini adalah JANUAR MANGGALA. Womanizer

yang paling anti dengan komitmen. Tiba-tiba membicarakan

nikah? Jelas sangat tidak wajar bagi mereka.

“Cewek mana yang lo hamilin, anjing?” tanya Nakula

lebih mirip seperti tuduhan. Semua kepala menoleh kepada

laki-laki yang masih setia bermain jari di atas meja. “Wah,

kacau, sih. Beneran kebobolan lo?”

Orang-orang semakin menatap Januar curiga lantaran

laki-laki itu hanya diam dan tidak mengucapkan apa-apa.

155 | NANA.
“Si bangsat, mulut lo disaring dulu, lah, jangan ngasal.

Meskipun buaya, tapi si tai pasti nggak bakal sampe begitu.”

Abian yang tak terima temannya dituduh, lantas membela.

Tapi, diam-diam juga masih tidak berhenti berpikiran hal

yang sama dengan Nakula. “Iya, kan, Jan? Lo beneran nggak

lagi hamilin anak orang, kan?”

Januar masih terdiam. Entah mengapa tidak menolak

atau tidak mengonfirmasi tuduhan teman-temannya.

“Ya, abisnya, gaada angin gaada ujan si womanizer kelas

kakap ini ngomongin nikah?”

Iya juga, sih.

Delapan kepala itu tampak berpikir kembali. Mencari

alasan lain mengapa laki-laki anti komitmen ini secara tiba-

tiba membicarakan tentang pernikahan yang biasanya sangat

ia hindari.

“Dunia mau kiamat apa, ya, Sat?” celetuk Nakula asal,

mengundang sebuah tangan tiba-tiba mendarat di belakang

kepalanya. Ternyata dari Mas Putra.

156 | NANA.
“Sembarangan banget ngomongnya. Gue belum nikah,

belum punya anak, lo jangan ngomongin kiamat dulu, lah!”

Padahal Nakula juga takut. Ia belum sempat menembak

Pevita kalau benar kiamat akan segera tiba.

“Tau, dah. Tagihan PayLater gue juga belum lunas, woy.

Takut di sana jadi ditagih. Kata Bunda Pipit kalo punya utang

tapi belum sempet dibayar, nanti dosa, terus siksa kuburnya

berat.” Deka ikut berceloteh mengingat beberapa wejangan

dari bunda perihal hutang yang sering ia lakukan. Kebiasaan

berhutang di warung Bi Ipeh sejak SMA.

Tumben inget dosa.

“Jawab gue dulu, dong, tai.” Akhirnya Januar bersuara.

Mendongakkan kepalanya untuk menatap satu-persatu raut

bingung sahabatnya. “Gue serius nanya ini.”

Sayangnya, semua orang tidak bisa benar-benar percaya

dengan kata ‘serius’ yang keluar dari mulut Januar. Laki-laki

itu tidak pernah serius dengan segala hal.

“Sejak kapan, sih, lo bisa serius, gue tanya?”

157 | NANA.
Januar terkekeh, kemudian mengangguk. Menyetujui

fakta yang dilemparkan oleh Dewa selaku si paling serius.

“Gue, penasaran aja.” Ada jeda beberapa detik sebelum

Januar kembali melanjutkan ucapannya. “Kira-kira gue bakal

lihat kalian nikah sama cewek yang kaya gimana?”

“Jadi lo nggak beneran hamilin anak orang?” Tawa laki-

laki itu terdengar mulai menggema. Nafasnya berhembus

panjang sebelum ia menyandarkan punggungnya pada sofa.

“Ya nggak, lah, gila!” balas Januar pada akhirnya. Suara

nafas lega mulai terdengar dari semua orang, bersyukur laki-

laki paling mengkhawatirkan ini akan terjebak dalam kondisi

seperti itu nantinya.

“Deka aja tuh,” lempar Arga dari atas sofa. Membuat si

pemilik nama segera menatapnya dengan mata membelalak.

“KENAPA GUE?! Bang Bian aja, tuh, suruh duluan.”

Deka turut berpartisipasi untuk membuat Abian menjadi

pusat perhatian. “Udah siap, kan, Bang?”

Ingatkan Deka untuk tidak menyebut nama Abian lagi.

158 | NANA.
“Lo duluan aja, deh. Ntar gue nyusul, mau ke Alfamart

dulu nyari tukang parkir yang pake baju Messi nendang

kelapa muda digotong warga pake tandu ke langit ke tujuh,

wow, apa kabar hari ini semuanya? Konon katanya ibu bisa

dimakan Megalodon terus jadi kaya raya.” Abian dan segala

isi kepalanya yang tidak terduga. Teman-temannya bahkan

hanya bisa mengelus dada mendengarkan jawaban sangat

absurd dari mulutnya.

Sejak kapan Megalodon bisa membuat orang kaya?

“Ngomong apa, sih, dia?” tanya Dewa pada Mahesa

yang duduk di sebelahnya.

“Tau, dah. Kumat lagi kayaknya,” jawab laki-laki itu

santai. Seolah tidak kaget dengan kelakuan Abian lantaran

sudah sering melihat hal yang lebih random dari ini. “Ntar

juga sembuh sendiri.”

“Anjir lah, gue jadi bayangin kira-kira jodoh Bian nanti

gimana, ya? Liat kelakuan ini bocah kaya Alien begini gue

nggak yakin ada cewe yang sanggup sama dia.”

159 | NANA.
Pasti ada, Jun. Kamu tidak akan percaya siapa orangnya.

“Alien banget, hah?” Abian menatap Arjuna tidak suka.

Masa iya ia rela disamakan dengan Alien yang ngomongnya

saja tidak jelas? Terakhir kali Abian melihat Alien berbicara

ya di sinetron, si Zeto.

“Alien, mah, ngomongnya nggak jelas, preketek

preketek doang. Gue ngomong bahasa manusia!” lanjutnya

masih tidak rela. Entah mengapa tidak sadar diri kalau

bahasa manusianya adalah bahasa yang tidak bisa dipahami.

“Bahasa lo ngalahin bahasa Alien, Njing.” Beberapa

orang mengangguk dan tertawa, setuju dengan kalimat yang

dilemparkan oleh Mahesa.

“Tapi gue jadi ikut kepikiran, dah,” sahut Putra.

“Kepikiran apa, Bang?” Deka menanggapi seraya men-

comot sepotong brownies buatan bunda di atas meja. Nakula

yang duduk tepat di seberangnya pun menjadi tertarik untuk

ikut mencoba.

“Kepikiran kira-kira weton siapa yang bakal cocok.”

160 | NANA.
Lagi-lagi manusia berdarah Jawa itu membahas weton.

Bagaimana lagi? Putra memang tidak bisa jauh dari Primbon.

“Kalo jodoh gue sih udah jelas wetonnya cocok.” Abian

percaya diri dengan pikirannya. “Gue yakin kalo jodoh gue

nanti pasti bisa menerima gue apa adanya, sih, seperti gue

yang menerima dia apa adanya. Anjay! Semut di padang pasir

i don't know what you wanna do love me like you do lo lo love me like

you do.” Ada tambahan kalimat asing di akhir jawabannya.

Baru saja semua orang bahagia dengan ucapan Abian

yang cukup normal, tapi ekspektasi mereka selalu dikecewa-

kan. Memang, terkadang kita tidak boleh berharap dahulu.

“Eh, nomer telfon dukun deket rumah lo masih ada

nggak, Dek? Panggilin kalo ada, kasian ini Bian makin lama

makin stress kayaknya.” Nakula pura-pura mengambil ponsel

Deka untuk kemudian diserahkan pada laki-laki berbaju

putih di depannya itu.

161 | NANA.
“Dukun apaan?” Deka malah bertanya seolah tidak

paham dengan jokes-nya. “Emang di deket rumah gue ada

dukun, Bang? Lo tau dari mana?”

Agaknya brownies buatan bunda membuat otak Deka

menjadi lebih sehat daripada biasanya.

“Yang waktu itu lo bilang ada praktek dukun baru di

deket rumah lo, masa nggak inget?” Dewa yang biasanya

tidak ingin ikut bercanda, justru berbanding terbalik dengan

Deka. Mewujudkan raut kebingungan dari Deka yang benar

berpikir kalau ada dukun praktek di dekat rumahnya.

Ya masa beneran, sih, Dek?

“Iya, gue inget Deka pernah ngomong juga.” Kali ini

Arga ikut dalam skenario tanpa perlu diberikan aba-aba.

“Yang katanya ada diskon mahasiswa, nggak, sih?”

“Buset, itu dukun apa Gramedia?” Januar tertawa, se-

akan ikut percaya dengan bualan Arga. “Tapi iya, gue juga

inget Deka pernah bilang, kalo nggak salah nama dukunnya,

Mpok Iyem!” lanjut Januar mulai mengikuti alur cerita.

162 | NANA.
Siapa pula itu Mpok Iyem? Apakah Januar sudah mulai

ekspansi wanita sampai ke tetangga Deka?

“WOY ANJING! ITU, MAH, DUKUN BERANAK! Lo

kira Bang Bian mau melahirkan?”

Ternyata manusia bernama Mpok Iyem itu benar-benar

ada, ya? Tumben, Januar ingat namanya?

“Iya, gue mau melahirkan. Tapi melahirkan sebuah

karya sastra yang amat—”

“Datang seekor nyamuk, HAP!”

“Lalu ditangkap.” Abian menutup kalimatnya dengan

potongan lagu Cicak-Cicak Di Dinding yang tiba-tiba terlin-

tas di kepalanya. Oknum yang membuatnya diam langsung

tertawa. Disusul oleh semua orang sebab merasa lucu ketika

melihat Abian bisa berganti fokusnya dengan cepat.

“Ajaib emang ini orang.”

Setelah beberapa menit tertawa, semua orang kembali

terdiam. Sepertinya sejak tadi tawa menjadi selimut yang

163 | NANA.
menutupi isi pikiran mereka. Buktinya, sekarang mereka jadi

ikut memikirkan ucapan Januar.

Tentang siapa yang akan menjadi calon istri mereka.

“Kalo gue, sih, kepikiran kayaknya istri gue nanti nggak

bakal jauh-jauh dari lingkungan gue.” Arga membuka lagi

topik tentang calon istri mereka di masa depan.

Sepertinya memang menjadi topik yang asyik untuk

dibicarakan saat ini. “Tapi lingkungan lo, mah, luas. Cewek

di sekitar lo juga banyak banget, Ga. Apalagi nyokap lo punya

agensi model yang nggak main-main isinya.”

Arga merasa omongan Dewa benar adanya. Sejak kecil

laki-laki itu memang sudah akrab dengan dunia kerja mama-

nya. Berkali-kali berpapasan dengan banyak model atau staff

yang bekerja di Agensi Satarayuna membuatnya dikenal dan

sering dijadikan kandidat sebagai menantu idaman.

“Terus kalo begitu, lo milihnya gimana, coba?”

“Siapa tau gue tiba-tiba dijodohin?” canda Arga. Tidak

bermaksud untuk mendahului semesta dalam berencana.

164 | NANA.
Berkali-kali mencoba membayangkan, Arga hanya bisa

membayangkan hal klise seperti yang ada di film-film. Tidak

bisa membayangkan hal yang lebih realistis lagi selain per-

jodohan atau pertemuan tidak sengaja.

“Atau ternyata, gue ketemu jodoh gue nggak di sini, ya?

Di luar negeri pas lagi liburan, gitu? Dia nemuin barang gue

yang ilang, terus ternyata dia juga orang Indonesia? Lebih

kaget lagi kalo dia kerja di agensinya mama.” Semua orang

tertawa. Melihat seorang Auriga Danadyaksa berfantasi ria

seperti sedang berada di negeri dongeng.

“Atau malah ternyata jodoh lo mantannya temen lo.”

Arjuna ikut menambahkan bahan kehaluan Arga.

“Kebanyakan nonton film romance, ya, lo makanya jadi

halu?” Abian mencibir. Padahal laki-laki yang sekarang

sedang selonjoran di lantai itu juga pernah menjadi korban

film romance sampai bermimpi untuk menikah dengan artis.

“Lo juga, bangsat! Semalem aja kepikiran ketemu jodoh

karena pura-pura pacaran sama artis!” Arga mencibir balik.

165 | NANA.
“Kalo gue, kayanya nggak usah jauh-jauh. Cukup sama

Pevita aja, deh. Ikhlas lahir batin.” Nakula berucap yakin.

Membayangkan dirinya menikah dengan Pevita kemudian

memiliki tiga orang anak yang mirip dengan mereka berdua,

adalah hal yang sangat membahagiakan baginya.

“Taunya weton lo nggak cocok sama Pevita,” sela Putra

menghancurkan imajinasi Nakula dengan perhitungan weton

milik mereka.

“Amit-amit dah, anjir. Lo kalo ngomongin weton mulu

gue sumpahin nikah lo kehalang weton sama restu keluarga!”

Kenyataannya, Putra sudah tahu kalau ia menaruh hati

pada sosok yang saat ini ia kagumi, dua hal tersebut sudah

pasti akan terjadi. Hingga akhirnya laki-laki itu hanya ter-

tawa mendengarnya.

“Gue juga sama Gista, sih, maunya.” Deka mulai jujur

dengan perasaannya. Semua orang pun sudah tahu, kalau

laki-laki bontot di sini tidak bisa lepas dari sang pujaan hati

yang setiap hari mengirimi nasi.

166 | NANA.
“Datang seekor nyamuk, HAP!” Tangan Deka dengan

cepat terulur saat melihat Putra hendak membuka mulutnya.

“Udah, ah. Jangan ngomongin weton dulu di sini.”

Sebab sudah dihafal kebiasaannya, Putra pun memilih

untuk menutup mulutnya kembali dan urung berbicara.

“Kalo misal gue nikah, kayanya orang yang pertama kali

harus gue kasih tau itu, Mahesa.” Laki-laki yang disebut

namanya menoleh pada sumber suara. Arjuna tertawa dan

mengangkat bahu saat melihat Mahesa menatapnya sembari

mengerutkan kening bingung. “Nggak tau, sih. Gue pengen

aja. Nggak ada alasan pasti, tapi tetep, kalian semua bakal

gue kasih tau pertama sebelum orang lain.”

“Random banget tiba-tiba Mahesa? Emang lo ada hubu-

ngan apa sama dia? Sodaraan?” tebak Januar.

Padahal tidak ada hubungan apa-apa. Rasanya Arjuna

hanya sedang membicarakan isi hatinya yang ia sendiri juga

tidak tahu mengapa harus melibatkan Mahesa.

“Nggak juga, sih. Cuma pengen aja.”

167 | NANA.
Beberapa orang hanya mengangguk, seolah tidak mem-

permasalahkan pemikiran Arjuna. Toh ini semua hanya akan

menjadi bayangan sejenak saat ini. “Kalo lo gimana, Wa?”

Mahesa tiba-tiba bertanya pada Dewa yang sejak tadi

terlihat gusar. Entah memikirkan apa yang sedang mereka

bicarakan atau sibuk mengingat tugas dari dosen yang harus

ia kumpulkan esok hari.

“Gue belum kepikiran apa-apa, sih.” Dewa menempat-

kan tangan kanannya pada dagu, seolah sedang memikirkan

hal ini dengan serius. “Tapi kalo misal gue bisa hidup sampe

gue nikah—”

“Emangnya lo mau mati, Bang?” potong Deka ketika

rungunya mendengar kalimat yang membuatnya bingung.

“Nggak gitu maksudnya. Kan, kita nggak tahu umur

orang bakal sampe kapan. Ya, gue cuma mikir aja, kalo misal

gue bisa hidup sampe gue nikah, kayanya orang yang bakal

gue ajak nikah itu, orang yang ngajarin gue buat jatuh cinta.”

168 | NANA.
Tadinya Dewa tidak ingin seserius ini. Ia ingin men-

jawab dengan candaan seperti yang lainnya. Hanya saja hati-

nya mendadak tidak kuat kalau harus menjadikan masa

depan sebagai bahan candaan yang sudah jelas tidak pernah

ia tahu bagaimana nantinya.

Tuhan tidak tidur, kan? Ia takut kalau ucapannya akan

menjadi kenyataan apabila ia hanya bercanda.

“Semoga nanti beneran ada orang yang bisa bikin lo

jatuh cinta, ya, Bang.” Deka menepuk paha Dewa pelan guna

menunjukkan dukungannya. “Pokoknya, nanti kalo gue bisa

nikah sama Gista, lo harus jadi orang yang ngasih sambutan

pertama kali. Terus lo juga yang harus ngajarin anak gue buat

belajar Matematika!”

Ini anaknya siapa yang harus mengajari siapa?

“Gue takut anak gue nanya soal Aljabar terus gue nggak

bisa ngajarin. Masa lo tega lihat gue di-bully sama anak gue

sendiri nanti, Bang?” ucap Deka tiba-tiba sedih. Pura-pura

sedih saja sebenarnya. Ia tahu Dewa tidak akan tega.

169 | NANA.
Tapi memang benar alasannya, ia benar-benar ingin

meminta Dewa untuk mengajari anaknya belajar Matematika

suatu saat nanti, sebab laki-laki itu sangat jenius Matematika

dan Deka hanya seonggok manusia yang selalu menangis

saat ujian Matematika karena tidak bisa mengerjakannya.

Abian segera bangkit dari posisinya sebelum mendekati

Deka dan sekejap ikut menepuk pundak laki-laki itu seperti

apa yang sedang dilakukan oleh Januar.

“Semangat, ya, Dek. Semoga anak lo nanti nggak nyesel

punya bapak bentukannya kaya gantungan kunci begini.”

Deka tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya.

Memasang wajah memelas hingga membuat semua orang

ikut berempati kepadanya.

Mahesa sedikit bingung, kenapa tiba-tiba apartemen-

nya berubah menjadi tempat syuting termehek-mehek?

“Yang ngasih nama anak gue juga harus Bang Dewa,

pokoknya!” Masih dengan mimpinya, Deka selalu ingin me-

libatkan Dewa dalam setiap langkah kehidupannya. Entah

170 | NANA.
mengapa laki-laki itu hanya merasa bahwa sejak kehadiran

Dewa, ia bisa merasakan menjadi adik yang sangat disayang.

Meskipun bukan hanya dari Dewa saja, tapi laki-laki berjaket

hitam itu seolah memiliki tempat tersendiri dalam hidup

Deka untuk ia jadikan sebagai motivasi.

“Kalo lo, gimana, Sa?” Pertanyaan mendadak dari Arga

membuat Mahesa tersadar dari lamunannya. Sejak tadi laki-

laki itu sibuk memikirkan ucapan Deka mengenai siapa

orang yang akan memberikan sambutan pertama kali di acara

pernikahannya nanti.

Tapi, berhubung Mahesa sudah memiliki pujaan hati

dan calon yang akan ia nikahi, maka jawabannya sudah jelas.

Dewa yang akan memberikan sambutan pertama kali.

Sebab laki-laki itu juga yang akan mendampingi Atha—

kembarannya—untuk berjanji akan sehidup semati bersama

Mahesa. Sebab laki-laki itu juga yang akan ia mintai restu

pertama kali untuk menikahi Atha nanti.

“Lihat aja pas gue nikah nanti.”

171 | NANA.
Mereka tidak tahu, bahwa laki-laki pemilik apartemen

ini sudah menyiapkan amunisi, guna menjadi orang yang

akan menikah pertama kali.

172 | NANA.
Melepas bujangan
pertama.

Bandung, tahun kelima.

Menikah.

Sebuah kata yang terasa sangat membahagiakan bagi

seseorang. Termasuk bagi tiga belas orang yang mendengar

kabar ini pertama kali. Sekalipun satu dari tiga belas orang

tersebut sempat menjadi pusat perhatian sebab perasaannya

patut untuk dipertanyakan.

Masih teringat dengan jelas, situasi dua tahun yang lalu

saat sembilan orang itu duduk bersama di apartemen milik

Mahesa, membicarakan kira-kira siapa di antara mereka yang

akan menikah duluan.

173 | NANA.
Tanpa pernah tahu kalau dua tahun kemudian Tuhan

menjawab pertanyaan itu dengan sebuah berita pernikahan.

Pernikahan milik seseorang yang tidak pernah mereka duga

akan menjadi yang pertama.

Tapi mereka pun turut bahagia, melihat dua orang

tersebut akhirnya saling kembali pada satu sama lain setelah

banyak hal berat yang mereka lewati selama ini.

Sebab usaha tidak akan mengkhianati hasil, dan sebab

perasaan tidak akan mengkhianati pilihan.

Mahesa mengambil nafas dalam sebelum tangan

kanannya meraih sebuah pintu berwarna putih gading yang

berdiri kokoh di hadapannya.

Pintu yang akan mengantarnya ke masa depan. Bukan

selayaknya time traveler yang tiba-tiba muncul di suatu tahun

ketika melewati pintu tersebut, melainkan pintu ke tempat

pernikahan.

Hari ini, di bawah langit Bali yang berhiaskan semburat

awan putih, Mahesa akan mengumandangkan sebuah janji di

174 | NANA.
hadapan ratusan orang. Janji suci bahwa ia akan melindungi

sosok yang berdiri di balik gaun putih itu, sosok yang akan

resmi menjadi istrinya dalam keadaan suka maupun duka.

Namun, di balik bahagianya hari ini, ada tujuh orang

yang berdiri gusar di depan pintu. Sedikit banyak berharap

satu orang yang sedang mereka tunggu akan segera datang.

Bukan Mahesa, tapi Arga.

Bagi yang tahu seberapa besar perjuangan Arga untuk

bisa mendapatkan perasaan Atha kala itu, mereka tidak akan

menyalahkan apabila laki-laki itu akhirnya memilih untuk

tidak datang ke pernikahan sahabatnya dengan mantan calon

istrinya itu.

Apalagi, mengingat semua orang sudah mengetahui

perihal statusnya sebagai tunangan Atha beberapa waktu

yang lalu. Semakin memberikan alasan untuknya untuk

tidak datang.

175 | NANA.
Menyakitkan memang, melihat sosok yang tadinya ia

pikir akan berdiri di altar pernikahan bersamanya, justru

berbalik untuk bisa ia ucapkan selamat atas pernikahannya.

Tapi begitulah kenyataannya.

“Arga belum dateng?” Nakula bertanya ketika matanya

masih tidak mendapati satu helai pun rambut Arga ada di

ruangan ini. Arjuna menggeleng, disusul oleh Deka yang

juga ikut menggeleng sebab tidak tahu di mana sahabatnya

itu berada.

“Udah lo telfon?” tanya Januar pada Abian, namun laki-

laki berpakaian hitam putih itu menggeleng.

“Nggak usah di telfon, biarin dia sendiri yang milih

mau dateng atau nggak, kita nggak usah maksa dia.” Pada

akhirnya Januar dan enam orang lainnya setuju dengan per-

nyataan Abian.

Dewa melirik jam yang melingkar di pergelangannya.

Empat puluh lima menit lagi acara akan dimulai.

176 | NANA.
Kalau berdasarkan perjanjian mereka dahulu, siapapun

yang akan menikah, maka yang lainnya harus menjadi pen-

damping pernikahan mereka—groomsmen.

Maka dari itu ketika Mahesa menjadi bujangan pertama

yang hendak melepas masa lajangnya, harusnya delapan

kepala itu berdiri dengan formasi lengkap untuk mengantar-

kan sahabat mereka menjemput wanita terkasihnya.

Harusnya, sebab kenyataan pun tidak bisa memaksa

Arga untuk berada di sini saat ini. Laki-laki itu datang untuk

menjadi tamu pun sudah bersyukur.

“Tapi, kemaren gue lihat dia udah di Bali, kok.” Abian

bercerita kala otaknya mengingat beberapa waktu yang lalu

ia sempat melihat tweet Arga berisi sebuah foto dirinya di

pantai Bali. “Malah kayaknya lebih dulu dia dari pada kita.”

“Iya, gue juga lihat.” Januar menimpali. “Mungkin dia

lagi siap-siap, kali, ya?” lanjutnya seolah mendukung ucapan

Abian namun tidak ingin menjadi salah paham.

Mungkin saja.

177 | NANA.
Tetapi, sampai sepuluh menit sebelum acara dimulai,

laki-laki itu masih tidak menampakkan diri. Beberapa kali

Nakula dan Putra berjalan ke depan, mencari keberadaan

Arga yang siapa tahu hadir di sana, namun nihil, ia masih

tidak ada di sana.

“Kalo worst case Arga nggak dateng ke sini, lo nggak

papa, Sa?” tanya Dewa kepada Mahesa—calon adik iparnya.

Sebetulnya Mahesa bisa saja merasa kecewa, dalam

lubuk hatinya jelas menginginkan semua teman-temannya

hadir tanpa terkecuali. Ikut merayakan kebahagiaannya yang

datang seumur hidup sekali.

Tapi, kasus ini berbeda.

Manusia yang sedang mereka tunggu adalah Arga,

mantan calon suami Atha—si pengantin wanita.

Orang yang telah melapangkan dada untuk memberi-

kan sahabatnya kebahagiaan. Orang yang telah berjuang

namun belum mendapatkan hasil sesuai dengan harapan.

178 | NANA.
Maka ia tidak bisa memaksa laki-laki itu untuk datang,

hanya karena keinginannya. Sebab, mungkin saja bagi Arga

tidak akan semudah itu untuk berjalan ke sini seperti tujuh

temannya yang lain. Tidak mudah untuk melihat orang yang

pernah hadir dalam hidupnya bersanding dengan orang lain.

Mahesa pun tahu rasanya.

Sekalipun untuk orang lain terasa baik-baik saja, belum

tentu Arga akan merasakan hal yang sama.

“Sa, sepuluh menit lagi lo harus ke depan,” ucap Abian

sembari melirik jam yang ada di ponselnya. Mengingatkan

sahabatnya untuk bersiap-siap.

“Oke.” Mahesa menarik nafas panjang sebelum melirik

Dewa yang berdiri di sebelahnya. “Wa,” panggilnya.

Dewa berdehem, membenahi posisinya berdiri untuk

menghadap Mahesa sepenuhnya.

“Thanks, ya.” Dewa tersenyum dan mengangguk. Ia

tahu kalau Mahesa pasti sedang berperang dengan hatinya.

“Gue juga, Sa. Makasih udah mau jagain Atha.”

179 | NANA.
Dua sahabat itu saling berpandangan, berbicara melalui

tatapan mata yang mewakili seluruh perasaan mereka.

Sisi pertama, ada Mahesa yang hendak mengutarakan

rasa terima kasihnya sebab Dewa—sahabatnya—sudi untuk

menitipkan kembarannya pada hidup laki-laki itu. Meskipun

Dewa tahu segelap apa hidup Mahesa, meskipun Dewa tahu

seberantakan apa hidup Mahesa. Tapi lagi, yang paling Dewa

tahu adalah Mahesa bisa membahagiakan Atha. Maka semua

hal itu tidak akan masalah baginya. Selama Atha bahagia,

Dewa pun bahagia apapun pilihannya.

Sisi kedua, ada Dewa yang hendak melakukan hal yang

sama, mengutarakan rasa terima kasihnya sebab Mahesa bisa

menjaga kembarannya. Sebab Mahesa menjadi Mahesa yang

tidak pantang menyerah sekalipun takdir hampir memisah-

kannya dengan Atha. Dan sebab Mahesa memperlakukan

Atha lebih baik daripada yang Dewa bisa lakukan.

180 | NANA.
“Agak aneh, tapi, gue boleh peluk lo, nggak?” Ada tawa

di sela permintaan Mahesa pada Dewa, membuat laki-laki itu

hanya tertawa kecil sebelum mengangguk. “Peluk aja, Sa.”

Tangan Dewa melebar, kemudian menyambut tubuh

sahabatnya dalam dekapannya yang hangat.

“Gue peluk lo sebagai Dewa sahabat gue, dan sebagai

Dewantara calon kakak ipar gue.”

Dewa hanya terkekeh dan mengangguk. Membiarkan

sahabat sekaligus calon iparnya untuk berbagi perasaannya.

“Sa?” Suara bariton milik seseorang yang sejak tadi ia

tunggu akhirnya terdengar beberapa menit setelah Mahesa

melepaskan pelukannya pada Dewa.

Arga, akhirnya ada di sana.

Baik Mahesa maupun Dewa yang ada di dalam ruangan,

juga teman-temannya yang sejak tadi berbaris di depan

pintu, kaget melihat kehadiran laki-laki itu.

Tidak pernah menyangka bahwa sosok tegapnya benar-

benar hadir di sana untuk memberikannya sebuah senyum.

181 | NANA.
“Selamat, ya. Gue tau lo bakal nikah sama Atha.” Arga

memeluk Mahesa cepat. Satu detik sebagai tanda bahwa laki-

laki itu benar-benar tulus dalam ucapannya.

“Thanks udah dateng. Gue kira lo nggak bakal ke sini.”

Memang benar bahwa Mahesa sempat berpikiran begitu tadi,

meskipun kenyataannya ia benar-benar ingin melihat Arga

untuk datang ke pernikahannya.

Bukan karena apa-apa, tapi Mahesa jelas mengingat

kalau Arga adalah sosok yang pertama kali mendatanginya di

Kantin Tenggara kala itu. Sosok yang mengajaknya berteman

setelah seharian tidak memiliki teman. Sosok yang secara

tidak langsung berperan banyak dalam kehidupannya.

Arga sudah seperti orang terdekatnya di Kantin

Tenggara, selain Abian dan Deka tentu saja.

“Gue dateng, tapi sorry kalo telat dan nggak sempet jadi

groomsmen kayak yang lainnya.” Arga berbicara dengan nada

yang sedikit menyesal, namun lekas dijawab dengan sebuah

gelengan oleh Mahesa.

182 | NANA.
“Nggak masalah, Ga. Lo dateng aja gue udah seneng.”

Ada hening di antara keduanya, membuat Dewa yang masih

ada di dekat mereka pun berjalan keluar.

“Masih ada sisa waktu lima menit, kalian mau masuk

dulu apa, nggak? Kita udah formasi lengkap.”

Dewa memanggil enam orang lain yang ada di depan

pintu, kemudian menyuruh mereka untuk masuk. Tidak ada

hal yang spesial, sebetulnya hanya memberikan ruang

kepada sembilan kepala itu untuk tertawa saat mengingat

percakapan mereka kala itu.

“Jadi, Mahesa yang pertama nikah, ya?” Januar tertawa

mengingat pertanyaannya dua tahun yang lalu.

“Waktu itu pas Januar nanya, lo udah jawab dalam hati,

kan, Sa?” tebak Nakula. Mahesa pun tertawa.

“Bisa jadi?” balasnya santai. “Tapi gue nggak sadar kalo

ternyata omongan Arga yang dijodohin, juga jadi kenyataan.”

183 | NANA.
Semua orang membelalakkan mata, termasuk Arga.

Merasa ingat dengan kalimat laki-laki itu dua tahun yang lalu

tentang bagaimana ia bertemu dengan calon istrinya.

“Eh, tapi abis itu sama Arga diralat, nggak, sih?” ucap

Putra mencoba mengingat lebih jauh lagi.

“Iya! Kalo nggak salah dia bilang ketemu jodohnya di

luar negeri gara-gara kehilangan barang—”

“ANJINGGG?!!”

Arga mengumpat, beberapa orang di sebelahnya

berjingkat kaget. Sepertinya laki-laki itu sedang memikirkan

sesuatu sebab kalimat Deka yang belum selesai pun sudah

langsung disela.

“Kenapa?” tanya Abian bingung.

“Gue ke sini sama dia.”

Semua orang mengerutkan kening semakin bingung.

Berusaha mengerti siapa sosok ‘dia’ yang dimaksud oleh

Arga.

“Dia siapa?” tanya Mahesa ragu.

184 | NANA.
“Dia yang nemu HP gue pas di London kemaren!”

Bukan hanya Mahesa, kini semua orang ikut terkejut.

Sepertinya perlahan mulai sadar dengan apa yang sedang

terjadi. Seolah semesta mendengarkan doa mereka kala itu.

Mulai dari perjodohan, hingga bertemu dengan orang

yang menemukan barang hilangnya di luar negeri.

Arga merinding membayangkan selama ini ia sudah

berjalan di atas ucapannya sendiri.

Bagaimana kalau ternyata jodoh Arga adalah dia?

Iya, gadis yang sedang dibawa ke pernikahan Atha dan

Mahesa. Gadis yang menemukan ponselnya di luar negeri.

Gadis yang ternyata adalah model yang bekerja sama dengan

agensi mamanya sendiri.

Inikah yang dinamakan takdir?

“Kalo omongan kita hari itu jadi kenyataan, kayaknya

abis ini yang nikah si Arga, sih.”

185 | NANA.
Arjuna tertawa. Melupakan fakta bahwa Arga adalah

orang yang tadinya mereka khawatirkan, ternyata perlahan

sudah mendapatkan orang yang bisa menggantikan posisi

Atha. Mereka semua ikut tertawa, berpikir bahwa takdir

sedang berpihak pada mereka.

186 | NANA.
mereka AKAN
TETAP SEMBILAN.

Bandung, tahun keenam.

Di mana ada pertemuan, maka akan ada perpisahan.

Tapi Tuhan tidak pernah mengatakan kapan perpisahan

itu datang. Maka dari itu, semua orang diharapkan untuk

selalu menyiapkan perasaan, kalau-kalau satu detik ke depan

mereka harus siap menghadapi sebuah kepergian.

Seperti ketika sebuah suara telepon menjadi penanda

bahwa seseorang sedang dijemput oleh utusan Tuhan.

Seperti ketika sebuah suara monitor jantung menjadi

penanda bahwa mereka telah sepenuhnya ditinggalkan.

187 | NANA.
Dipayungi oleh langit sore yang kelabu, semesta ikut

menangis mengantar kepergian dua sosok terbaiknya untuk

menghadap Tuhan. Sengaja diberikan tempat dalam satu

liang, agar mereka tetap bersama dalam ketenangan.

Sore itu, semua orang terlihat sendu. Tidak ada lagi

tawa yang selalu hadir menemani mereka, menyisakan duka

yang membara sampai ke ujung dunia.

Di antara puluhan orang yang hadir, ada jantung yang

hampir tak sanggup untuk berdetak lagi. Melihat kepergian

separuh hidupnya untuk yang terakhir kali. Atha tahu, Dewa

tidak akan suka kalau melihat ia menangis. Tapi ia pun tak

sanggup kalau harus menahan air matanya saat ini.

Dewa pernah berpesan kepada salah satu dari mereka,

kalau suatu saat nanti ia menjadi orang yang pertama pergi

meninggalkan dunia, Dewa ingin mereka menjadi orang yang

terakhir mengantarkannya.

Maka dari itu, ketika waktunya sudah tiba, Mahesa dan

enam orang lainnya—Abian, Arga, Arjuna, Januar, Putra, dan

188 | NANA.
Nakula—menepati janji mereka untuk turun ke liang lahat

dan benar-benar mengantarkan sahabatnya itu sampai ke

peristirahatan terakhirnya.

Deka tidak ikut, sebab laki-laki itu adalah orang yang

paling terpukul dengan kepergian Dewa—setelah Atha. Bagi

Deka yang selalu melihat Dewa sebagai pusat tata surya

kehidupannya, memeluknya untuk yang terakhir kali di

bawah sepetak tanah itu adalah hal yang sangat mustahil.

Terlebih lagi saat mendengar pesan dari Dewa melalui

Abian, bahwa Deka tidak boleh turun ke liang lantaran tahu

kalau laki-laki itu tidak akan kuat menghadapinya, semakin

membuat Deka menangis.

Lantas saat tujuh orang lain turun untuk mengantarkan

Dewa, laki-laki itu hanya mengamati dari atas dan akhirnya

memilih untuk duduk di sebelah keranda.

Tidak sanggup kalau harus melihat wujud Dewa.

Tangisnya semakin tidak bisa terbendung saat Mahesa dan

Anak Tinggar lain sudah naik untuk akhirnya melihat tubuh

189 | NANA.
Dewa dipeluk oleh semesta. Satu persatu mereka menum-

pahkan kesedihannya dengan berbagai cara.

Abian yang paling dekat dengan Dewa saat itu hanya

bisa menatap tanpa ekspresi, menahan air mata yang hendak

jatuh membasahi pipinya dengan cara menggigit bibir dalam

serta mengeratkan genggaman. Tidak ingin menambah ke-

sedihan dengan ikut menangis seperti yang lainnya.

Arjuna dan Nakula bertugas menenagkan Deka, sebab

laki-laki itu lah yang paling banyak menangis. Mahesa pun

memeluk istrinya—kembaran Dewa—yang menangis paling

kencang bahkan sampai ingin pingsan.

Semua yang ada di sana merasa kehilangan, bahkan

bukan hanya Dewa, tapi tulang rusuknya juga. Istrinya.

Ada banyak hal yang tiba-tiba hadir dalam pikiran

ketika seseorang telah pergi, seperti sebuah rekaman yang

memutar ulang seluruh kenangan yang telah mereka lewati.

Seperti Putra yang tiba-tiba teringat Dewa dan tawanya

ketika laki-laki itu diam-diam menonton Sofia The First di

190 | NANA.
kamar mereka saat masih tinggal di kontrakan. Membayang-

kan betapa bahagianya Dewa jika laki-laki itu bisa mewujud-

kan mimpinya untuk memiliki seorang anak perempuan

cantik seperti Sofia. Putra masih ingat, dahulu, Dewa ingin

memberikan nama Akhza yang berarti langit kepada anak-

nya nanti. Sayangnya, belum sampai nama itu terucap, Dewa

telah dahulu pergi ke langit.

Nakula teringat Dewa yang membantunya belajar demi

bisa mendekati Pevita. Bagaimana laki-laki itu menyisihkan

waktu di sela-sela kesibukannya demi seorang sahabat yang

sedang jatuh cinta. Mengingat kesibukan Dewa yang sering

membuat laki-laki itu kewalahan, tidak menyurutkan niat

baiknya untuk tetap membantu Nakula. Menyemangati laki-

laki itu sampai mendapatkan apa yang ia mau.

Arjuna teringat Dewa ketika mengingat absen di kelas-

nya. Laki-laki itu rela meruntuhkan pertahanannya untuk

tidak menitipkan absen kepada siapapun. Namun, hari itu

Dewa menuliskan sebuah tanda tangan yang bukan miliknya

191 | NANA.
hanya karena mengingat Arjuna sedang sakit dan jatah

bolosnya sudah habis, ditambah laki-laki itu tidak bisa pergi

ke dokter saat itu juga untuk meminta surat sakit. Makanya

Dewa dengan baik hati membubuhkan sebuah tanda tangan

yang mungkin hanya akan ia lakukan seumur hidup sekali.

Januar teringat Dewa ketika laki-laki itu datang meng-

hampirinya di Southbank saat sedang mabuk berat dan rela

membawanya pulang di tengah waktu belajar untuk ujian.

Merawat Januar yang muntah dan sakit tanpa mengeluh

sedikitpun sebab ia tahu kalau sahabatnya itu hanya mabuk

sampai seperti ini saat sedang kehilangan arah.

Deka teringat Dewa ketika setiap ucapannya selalu

ditanggapi sekalipun laki-laki itu sedang sibuk, karena ia

tahu bahwa Deka ramai di grup karena ingin diperhatikan.

Sekalipun laki-laki itu terkadang keras dengannya, tapi Deka

yakin kalau Dewa adalah sosok kakak yang baik. Terlihat dari

bagaimana ia selalu mendahulukan pilihan Deka di atas

pilihannya.

192 | NANA.
Arga teringat Dewa ketika laki-laki itu mempercayakan

saudara kembarnya kepadanya. Membiarkan perasaan yang

tumbuh menjadi harapan sekalipun Dewa tahu kalau Arga

bukanlah orang yang Atha mau. Arga ingat setiap dukungan

Dewa kepadanya, bagaimana Dewa menuntun Arga untuk

mengenali Atha di balik seluruh topeng yang gadis itu pakai.

Abian teringat Dewa ketika malam itu ia diberikan

kepercayaan terbesar untuk menjaga rahasia tentang seluruh

hidupnya. Menjaga Feyre bahkan ketika Dewa sendiri yakin

kalau ia tidak sanggup melihat gadis itu hilang dari hidup-

nya. Abian banyak belajar dari laki-laki itu, tentang merela-

kan, tentang perjuangan, serta tentang kehilangan.

Terakhir, Mahesa teringat Dewa setiap melihat Atha.

Bagaimana laki-laki itu menjadi pundak yang selama ini

disandari oleh istrinya, kemudian melepaskannya untuk di-

berikan kepada Mahesa yang kala itu penuh dengan luka.

Dewa bahkan selalu berterima kasih kepada Mahesa, ketika

laki-laki itu akhirnya mau untuk menerima kepercayaan

193 | NANA.
yang sebelumnya ia bawa di pundaknya. Dewa bukan

sekedar teman atau sahabat bagi Mahesa, jauh dari itu, ia

adalah saudara ipar yang sangat ia banggakan.

“Bang, lo bilang mau jadi orang pertama yang ngasih

sambutan di nikahan gue nanti, lo bilang mau ngajarin anak

gue belajar matematika, tapi kenapa lo ingkar janji?” Deka

mengusap nisan Dewa setelah semua proses penguburan

selesai dan menyisakan beberapa orang di sana—termasuk

tujuh orang yang tadi turun.

“Kenapa lo janji sama gue kalo ternyata nggak bisa lo

tepati, Bang?” Suara Deka serak, pertanda kalau ia susah

payah mengeluarkan kalimatnya. “Dek, udah.”

Arjuna menepuk pundak Deka, namun laki-laki itu

masih tetap duduk bersimpuh mengusap sebuah nisan

bertuliskan nama ‘DEWANTARA’ di sana.

Ia menggeleng, belum bisa menerima.

194 | NANA.
Sampai langit menjadi gelap karena matahari akhirnya

pergi meninggalkan mereka, Deka tetap duduk di sana. Ber-

dua saja, bersama Abian.

Semua orang sudah kembali, raganya, namun jiwanya

tidak bisa 100% kembali karena merasa ada sesuatu yang

hilang dari kehidupan mereka.

“Bang,” bisik Deka pelan. “Istirahat yang tenang, ya.”

Ada sebuah air mata yang jatuh mengenai nisan itu, air mata

tulus dari seorang sahabat untuk sahabatnya yang lain.

“Sekalipun lo udah pergi dari sini ninggalin kita semua,

lo harus tau, Wa, kalo kita akan tetap sembilan.”

Begitulah Abian menutup perjumpaan mereka dengan

Dewa. Mengucapkan sebuah kalimat yang akan selalu sama

sampai kapanpun dan di manapun mereka berada.

Bahwa mereka, akan tetap sembilan.

195 | NANA.
Bani sanjaya.

Bandung, tahun ke dua puluh tiga.

Pertemanan memang tidak bisa dipastikan seberapa

lama akan bertahan. Satu menit, satu jam, satu hari, satu

minggu, satu bulan, satu tahun, satu windu, satu dekade,

atau bahkan bisa sampai satu abad. Tidak ada yang tahu.

Seperti mereka yang dahulu berpikir pertemanannya

hanya akan bertahan sampai lulus kuliah saja—maksimal—

tidak pernah tahu kalau ternyata hari ini akan datang saatnya

menyambut tahun ke-23 mereka bersama.

Bukan lagi sebagai Anak Tinggar yang berisi sembilan

kepala bujangan kampus, melainkan sudah beralih menjadi

perkumpulan bapak-bapak jayus.

196 | NANA.
Dahulu, mereka hanya akan duduk di Kantin Tenggara

menikmati sepoi-sepoi angin sembari menghisap lintingan

tembakau, membicarakan agenda party selepas kuliah, atau

menebak siapa jodoh mereka yang akan hadir di masa depan.

Sekarang, mereka telah sampai di titik ‘harapan’ yang

sejak dahulu selalu hadir untuk disemogakan.

Dalam rangka merayakan hari libur mereka—sekaligus

ajang reuni keluarga yang berkedok arisan enam bulanan—

mereka berkumpul di villa yang ada di Puncak Bogor milik

keluarga Danadyaksa. Meskipun mereka tidak memiliki

hubungan keluarga secara resmi di atas kertas ataupun

dalam tubuhnya mengalir darah yang sama, Anak Tinggar

selalu mengakui satu sama lain sebagai keluarga kapanpun

dan di manapun mereka berada.

Tentu saja, Mahesa yang berperan sebagai kepala suku.

Memiliki peran yang paling banyak sekaligus menggantikan

Dewa sebagai si pemegang keputusan.

197 | NANA.
Bani Sanjaya.

Begitulah mereka menyebut keluarga yang tak resmi

ini. Diawali dari Deka yang iseng mengatakan kalau ia ingin

membentuk group keluarga seperti keluarga besarnya di

Cimahi, nama Bani Sanjaya akhirnya muncul setelah

beberapa menit berdiskusi. Mengambil nama marga Mahesa

selaku kepala suku dan mungkin secara informal menjadi

kepala dari para kepala keluarga yang telah ada.

Kepala keluarga.

Lucu.

Mengingat dahulu, mereka hanya bisa membayangkan

duduk bersama di teras rumah sembari menikmati malam,

membicarakan anak-anak mereka yang tumbuh dengan

penuh kasih sayang, atau sekedar bernostalgia dengan dunia

perkuliahan seperti sekarang.

Bani Sanjaya memiliki 31 anggota—sebenarnya ada 33,

namun semesta menarik dua orang lainnya karena terlalu

sayang sampai tidak kuasa untuk menahan mereka di dunia.

198 | NANA.
Keluarga pertama terdiri dari lima orang.

Artinya, Mahesa dan Atha memiliki tiga orang anak.

Aresta dan Andhira Sanjaya, si kembar yang sekarang sudah

berumur dua puluh dua tahun—yang menjadi paling tua di

antara semua buntut Anak Tinggar—serta Clarazeva Sanjaya

atau Caya, yang tujuh tahun lebih muda dari kakak kembar-

nya. Dasarnya memang keturunan Sanjaya, si kembar dan si

bungsu pun mewarisi 100% gen Mahesa, bahkan katanya si

kembar sampai ikut mendapatkan julukan sebagai Algojo

Kampus selayaknya Mahesa saat masih kuliah.

Keluarga kedua terdiri dari empat orang, artinya Arga

dan Arin memiliki dua orang anak. Athena Zeta Danadyaksa,

si sulung yang berumur dua puluh satu tahun dan Akfarega

Danadyaksa, si bungsu yang satu tahun lebih muda dari

kakaknya. Mewarisi bakat dan kecantikan mamanya, Athena

digadang-gadang akan menjadi penerus agensi Satarayuna.

Kebalikan dari Athena yang sangat mirip dengan Arga dan

Arin, kabarnya Akfa justru lebih mirip Abian dan Cica. Mirip

199 | NANA.
sifatnya yang super duper random dan tidak jelas. Tidak heran

Akfa bisa sangat dekat dengan mereka berdua.

Keluarga ketiga alias Abian dan Cica, juga memiliki dua

orang anak seperti Arga. Anak pertama mereka seorang laki-

laki bernama Galendra Paramayoga atau Galen yang berumur

tujuh belas tahun dan sekarang sudah duduk di bangku

kuliah. Anak kedua mereka seorang perempuan, bernama

Nayesha Paramayoga, tiga tahun lebih muda dari kakaknya.

Meskipun keturunan dua manusia ajaib seperti Abian dan

Cica, tapi Galen dan Ayes sama sekali tidak memiliki gen

alien selayaknya mama dan papanya. Sudah sangat terkenal

di semua keluarga besar Bani Sanjaya kalau Galen dan Ayes

sebetulnya bukan anak kandung Abian dan Cica—tentu saja

hanya bercanda—lantaran sifat mereka yang jauh berbeda

dari orang tuanya. Kata Deka, Galen dan Ayes lebih cocok

menjadi anak Dewa karena 99% sifatnya mirip.

200 | NANA.
Keluarga keempat ada Nakula dan Pevita yang memiliki

tiga orang anak. Sulungnya berumur sembilan belas tahun

dan kuliah di almamater yang sama—NCIT—bernama Satria

Pandu Sangkara. Anak tengah mereka berbeda umur dua

tahun dan sedang mempersiapkan masuk perguruan tinggi

tetangga, jurusan Psikologi. Kanzia Nera Sangkara atau Zia

sepenuhnya mewarisi sifat mamanya. Terakhir, si bungsu

mereka yang berumur tiga belas tahun dan masih duduk di

bangku SMP. Zidane Pandu Sangkara, terlihat lebih mirip

Mahesa dan punya cita-cita menjadi seperti Aresta.

Keluarga kelima berisi empat orang. Arjuna dan Tania

yang memiliki dua orang anak, di mana salah satunya masih

seumuran dengan Satria—anak sulung Nakula. Dirgantara

Abimanyu alias Dirga, juga duduk di bangku kuliah yang

sama dengan Satria. Satu angkatan, satu jurusan, dan satu

kelas sejak tingkat pertama. Konon katanya Satria dan Dirga

adalah reinkarnasi sosok Mahesa dan Arga di generasi kedua.

Anak bungsu mereka adalah Almeera Misha Abimanyu atau

201 | NANA.
Mica, seorang gadis cantik yang seumuran dengan Caya.

Mica dan Caya pun sudah sangat dekat sejak kecil sebab

memiliki hubungan keluarga dari Tania dan Mahesa.

Keluarga keenam milik Januar dan Mallo terdiri dari

empat orang. Keluarga kedua yang memiliki anak kembar di

dalamnya setelah Mahesa dan Atha, sekaligus sama-sama

gen kembar yang turun dari mamanya. Sulungnya Khaleeya

Vizkha Manggala atau Eya, lahir sepuluh menit sebelum

Khaleeza Vazha Manggala atau Ale. Berbeda dari Ares dan

Andhira yang memiliki sifat yang mirip, Eya dan Ale justru

180 derajat berbeda. Mereka seumuran dengan Galen—anak

sulung Abian dan Cica—serta Zia—anak tengah Nakula dan

Pevita—karena lahir di tahun yang sama, hanya dua bulan

setelah kelahiran Galen dan satu bulan setelah kelahiran Zia,

kemudian Eya dan Ale menyusul mereka. Dibesarkan oleh

keluarga Manggala, tidak membuat Eya dan Ale mewarisi

sifat Januar. Entah mengapa Eya lebih mirip Dewa dan Ale

lebih mirip Atha. Eya hobi belajar, serius, dan susah untuk

202 | NANA.
diajak bercanda. Sedangkan Ale lebih bebas dan sangat tidak

serius dibandingkan kakaknya. Mungkin Eya merasa kalau

menjadi anak sulung harus lebih dewasa agar bisa menjadi

contoh untuk adik kembarnya. Seperti Dewa kepada Atha.

Keluarga ketujuh berisi Putra dan Tisya. Mereka adalah

satu-satunya pasangan yang memiliki anak tunggal laki-laki.

Mahadeva Tarangga atau Rangga kini masih berumur empat

belas tahun—seumuran dengan Ayes. Berbeda dari ayahnya

yang selalu membawa primbon setiap harinya, Rangga lebih

suka membawa kartu Tarot. Laki-laki itu memang tertarik

dengan hal tersebut sejak duduk di bangku SMP lantaran

pernah melihat temannya menonton ramalan Tarot di

YouTube dan akhirnya memutuskan untuk belajar membaca

kartu tersebut sampai sekarang. Terkadang ia suka berdebat

juga dengan ayahnya yang hobi membicarakan Primbon,

membalasnya dengan ramalan Tarot miliknya.

Keluarga terakhir adalah keluarga Deka dan Gista yang

juga memiliki dua anak. Si sulung seumuran dengan Rangga,

203 | NANA.
bernama Janitra Naya Mahardeka. Melihat Naya itu seperti

melihat Deka dan Gista, sama persis dari mulai sifat, rupa,

serta kebiasaannya. Meskipun Naya terhitung masih belia,

pengetahuannya tentang dunia dan seisinya sangatlah luas.

Terbiasa melihat Deka dan Gista yang suka bergosip dengan

teman-temannya membuat Naya juga suka untuk mengikuti

berita di Twitter agar teman-temannya juga mengetahui

berita yang sedang viral di jaman sekarang. Lalu, bungsu

mereka adalah seorang anak laki-laki berumur sepuluh

tahun yang sekaligus menjadi anak paling bungsu di Bani

Sanjaya, bernama Gitajaya Mahardeka. Sangat berbeda dari

kakaknya, Jaya yang masih sangat muda diperkirakan akan

menjadi keturunan Auriga atau bahkan Januar Manggala.

204 | NANA.
“Ares sama Andhira udah lulus, Sa?” Laki-laki dengan

kemeja biru kotak-kotak yang sedang duduk di paling ujung

itu bertanya kepada Mahesa. Sesekali mulutnya menyesap

sesajen mereka—rokok, maksudnya.

Mahesa menoleh, tangannya masih sibuk mengupas

kacang rebus. “Andhira udah, Jun, kalo Ares masih skripsi,

tapi katanya bulan depan mau sidang, sih.”

Arjuna manggut-manggut. “Kalo Eya sama Ale gimana,

Jan, kuliahnya?” Kali ini mengalihkan fokus ke Januar.

“Kalo Eya udah nggak perlu ditanya, Jun, dia tuh robot

akademik, kaya mamanya.” Kedua mata Januar berlarian me-

mindai beberapa orang yang ada di dalam villa. Mencari sang

istri yang sejak tadi tidak terlihat ada di sana.

Ke mana, dia?

“Terus, si Ale, gimana?”

“Justru Ale yang agak mengkhawatirkan,” sambung

Januar seadanya, mulai tidak fokus dengan obrolan yang

sedang dilakukan.

205 | NANA.
“Kenapa, dia?” Putra menyahut sebelum mendudukkan

diri di sebelah Januar. Laki-laki itu tampak baru kembali dari

toilet setelah tiga puluh menit menghilang dari posisinya.

“Lama amat lo, Put, ngapain aja tadi di dalem?” potong

Nakula sebelum Januar melanjutkan.

Putra mengambil posisi duduk di sebelah Arjuna, ikut

bersandar pada tembok sebab merasa sedikit sakit punggung

sejak tadi duduk di toilet. Maklum, sudah tua.

“Boker, sekalian nyobain toilet villa yang mahal.”

Alis-nya naik turun selagi melihat Arga, sepertinya

kode kalau ia suka dengan tempatnya.

“Halah, pencitraan biar diajak ke sini lagi, kan?” Entah

Deka yang terlalu jujur atau memang bisa membaca suasana.

“Eh, jadinya si Ale gimana, Jan?” tanya Arjuna lagi.

Januar bukannya menjawab malah celingak-celinguk.

“Nyari siapa, lo?” tanya Arga basa-basi. Padahal sudah

jelas ia mengerti siapa yang Januar cari. “Kayaknya istri lo

lagi di kamar, tadi kata Arin agak masuk angin.”

206 | NANA.
Oh iya, Januar lupa kalau udara di Puncak hari ini

lumayan dingin dan seingatnya tadi Mallo tidak membawa

jaket tebal. Apa mungkin ia kedinginan?

“Tar, ya, Bro. Gue tugas negara dulu.” Januar tiba-tiba

beranjak dan pamit. Kemudian segera pergi dengan cepat

tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya. Agaknya ia

buru-buru ingin lekas menemui istrinya.

Pamitnya Januar secara tiba-tiba membuat ketujuh

temannya saling berpandangan. “Nggak nyangka, ya, bisa

lihat Januar Manggala bucin sama satu manusia.”

Dari tempatnya duduk, Abian dan Arga mengangguk

bangga. Sedikit banyak mengingat tabiat sahabatnya dahulu

yang jauh dari kata komitmen dengan satu orang.

“Langitnya bagus,” ucap Deka tiba-tiba. Menarik yang

lain ikut menoleh kemudian menatap langit malam yang

sedang melingkupi mereka hari ini.

“Bang Dewa pasti suka.”

207 | NANA.
Sendu mulai merayap melalui partikel-partikel udara,

menghampiri mereka yang kini tengah bermuara pada satu

cerita. “Kalo Bang Dewa ada di sini, pasti dia bahagia. Liat

kita sekarang bisa jadi ayah, liat anak-anak kita tumbuh jadi

anak yang baik, dan liat Anak Tinggar masih tetep kumpul

meskipun udah punya keluarga.”

Agaknya Deka seperti sedang menyulut api. Tiba-tiba

membicarakan sahabatnya yang telah pergi di sela-sela ke-

bahagiaan mereka yang sementara.

“Iya,” jawab Nakula. “Dewa pasti bangga.”

Selama beberapa menit, mereka hanya terdiam, sibuk

dengan pikiran untuk melanjutkan percakapan atau pergi

meninggalkan keadaan. Sebab kalau mereka melanjutkan

percakapan, akan ada kesedihan yang ikut meramaikan.

“Udah, jangan sedih-sedih.” Abian mengawali untuk

bangkit. “Dewa nggak suka kalo lihat kita sedih mulu.” Laki-

laki itu menatap langit yang kini penuh dengan bintang.

Kalau boleh jujur, ini mengingatkannya akan Dewa.

208 | NANA.
“Iya, mending masuk, aja,” ucap Arga sebelum berdiri.

Arjuna, Nakula, dan Putra yang sadar akan kondisi, pun

mulai menyusul Abian dan Arga. Seketika menarik pikiran

Mahesa tetap sadar dan mengikuti lima orang lainnya untuk

keluar dari lingkaran kesedihan.

Sebagai kepala suku di sini, Mahesa harus tetap sadar.

Tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan yang mendalam

setiap kali teringat dengan mendiang sahabatnya. Bukan

karena tidak peduli, tapi ada banyak kaki yang sedang ia

usahakan untuk tetap berdiri.

“Dek, ayo masuk.” Tangan Mahesa terulur, menempat-

kannya di hadapan Deka yang masih duduk selagi melihat

langit malam. Laki-laki itu menoleh ke arah Mahesa,

kemudian bergantian ke arah teman-temannya yang lain.

“Misi kita hari ini seneng-seneng sama keluarga, bukan

mau sedih-sedihan. Nggak enak kalo tiba-tiba dilihat anak-

anak, nanti mereka ikut sedih, apalagi kita di sini sebagai

kepala keluarga.” Mahesa kembali mengingatkan, membuat

209 | NANA.
Deka yang tadi sempat akan hilang langsung kembali pada

kenyataan.

Benar, hari ini mereka harus bersenang-senang.

Akhirnya, uluran tangan Mahesa diterima oleh Deka.

Laki-laki itu menariknya untuk berdiri dan masuk ke dalam

villa yang sudah ramai dengan keluarga mereka.

Deka mengamati dari tempatnya berdiri, terlalu banyak

kebahagiaan yang ia korbankan kalau hari ini ia memilih

untuk menangis lagi.

Sudah lebih dari sepuluh tahun, harusnya ia sudah bisa

mengikhlaskan kepergian sahabat terbaiknya itu.

Harusnya.

Matanya mulai berpencar, melihat satu persatu kepala

yang hadir untuk saling memberikan kehangatan di ruangan

ini. Sesekali Deka tersenyum, merasa bangga mengingat

bahwa delapan kepala itu masih bertahan sampai akhirnya

bisa ada di sini sekarang.

210 | NANA.
“Ada yang mau main game truth or drink, nggak?” Abian

sedikit berteriak untuk menarik atensi dari beberapa orang.

Deka bisa melihat anak-anak mereka bergantian mengangkat

tangan, ikut meramaikan apa yang hendak Abian mainkan.

Ada Ares yang tadinya sedang bermain billiard bersama

Akfa, Satria, dan Dirga, kini meletakkan tongkat mereka dan

berjalan mendekat kepada Abian. Athena, Andhira, Zia, Ale,

dan Eya yang tadinya sedang karaoke di depan TV pun ikut

menghampiri. Pertanda bahwa mereka menghargai.

Sisanya, masih memilih untuk melanjutkan kegiatan

mereka karena sibuk dengan kegiatannya sendiri.

Para ibu-ibu terlihat sibuk memasak BBQ, anak-anak

lain sedang menonton film, ada juga yang bermain HP, atau

yang sedang fokus belajar lantaran sebentar lagi harus ujian.

Bermacam-macam.

Deka berjalan pelan menghampiri lingkaran yang sudah

hampir penuh oleh bapak-bapak dan anak-anak yang akan

bermain truth or drink di ruang tengah. Sebisa mungkin ikut

211 | NANA.
meramaikan walaupun hari ini ia sedang tidak ingin mabuk-

mabukan. Tentu saja, sedang tidak memungkinkan juga.

Masa iya di depan anak-anak mereka mabuk?

“Om, hari ini drink-nya pake wine apa whisky?” tanya

Satria pada Abian yang berperan sebagai kepala permainan.

“Hari ini minumnya air putih aja, ya.” Mahesa yang

ternyata belum masuk ke dalam lingkaran, tiba-tiba datang

membawa satu teko air putih untuk permainan.

Membuat beberapa anak yang tadinya semangat karena

mendapatkan kesempatan minum alkohol di sela-sela kuliah

dan liburannya, tiba-tiba menjadi lesu.

Kapan lagi mereka bisa mabuk dengan tenang? Yang

pasti, bukan sekarang. Aagaknya Mahesa juga paham akan

kondisi, tidak mungkin membiarkan mereka mabuk hari ini.

“Yah, Papa. Judulnya, mah, nggak truth or drink kalo

minumnya air putih.” Ares langsung memprotes, mewakili

beberapa saudaranya yang mungkin memikirkan hal yang

sama dengannya.

212 | NANA.
“Iya, Om. Masa judulnya truth or drink tapi drink water,

sih? Harusnya kan drink yang lain.” Dirga ikut memprotes,

kemudian menatap Papanya untuk meminta dukungan.

“Ya udah, kalo gitu anak-anak aja yang minum wine,

nanti bapak-bapak minumnya air putih.” Januar yang baru

saja datang memberikan sebuah ide. Sepertinya laki-laki itu

tahu alasan mengapa Mahesa tiba-tiba mengusulkan untuk

minum minuman tersebut.

Tidak perlu kaget dengan keputusan Januar yang

mengizinkan anak-anak mereka minum alkohol, sebab Anak

Tinggar yang lain pun juga tidak pernah melarang anak-

anaknya untuk mengonsumsi minuman tersebut. Mereka

pernah muda, untuk apa melarang kalau ujungnya mereka

malah akan berbohong?

“Kenapa gitu?” Kali ini Arjuna yang bertanya pada

Januar, sekaligus mendukung anaknya untuk mempertahan-

kan alkohol tersebut di dalam permainan.

213 | NANA.
Pasalnya, sejak dahulu Januar yang paling bersemangat

untuk bermain apapun kalau hukumannya ada minuman

beralkohol. Agaknya lupa kalau Januar sudah tobat dan

mulai menjauhi minuman tidak menyehatkan itu.

Tapi, pada akhirnya semua orang mengerti. Hanya dari

tatapan mata Mahesa pada Anak Tinggar, pun, seolah semua

sudah tersampaikan dengan baik. Seolah ada tulisan yang

tercetak di dahi Mahesa hingga satu detik berikutnya Arjuna

dan para kepala keluarga mulai mendukung apa yang Mahesa

lakukan.

Tadinya Mahesa tidak ingin menawarkan hal ini, tapi,

melihat bagaimana Deka bersikap tadi sedikit banyak mem-

buatnya untuk berpikir kembali.

Karena pada akhirnya Mahesa yakin, sekalipun mereka

tidak ingin bersedih lagi hari ini dan hanya ingin merasakan

kebahagiaan, kesedihan tetap akan datang, dengan atau

tanpa mereka sadari.

214 | NANA.
Lantas, pilihannya hanya ada dua.

Menunggu kesedihan itu datang dengan sendirinya.

Tapi tidak tahu kapan atau bagaimana cara datangnya, atau

mereka yang menjemput sendiri kesedihan itu untuk akhir-

nya bisa dipersiapkan bagaimana cara mengatasinya.

Pilihan Mahesa jatuh pada yang kedua.

Malam ini, di bawah langit yang indah serta jutaan

bintang yang terang, mereka semua—termasuk anak-anak

mereka—melakukan permainan truth or drink dengan segelas

air putih sebagai hadiah.

Iya, hadiah, bukan hukuman seperti yang biasanya.

Sebab ternyata ada maksud mengapa Mahesa meminta

mereka untuk meminum air putih sebagai hadiah

menggantikan alkohol yang biasanya ada untuk dijadikan

sebuah hukuman. Sebab Mahesa ingin merasakan kehadiran

Dewa dan Feyre juga di dalam acara ini, melalui setetes air

putih yang selalu mengingatkan mereka akan keduanya.

215 | NANA.
Maka dari itu, mereka hadiahkan segelas air putih

untuk mengenang teman, saudara, kakak, dan keluarga yang

telah pergi meninggalkan mereka sejak lama

“Tribute to Dewa yang selama ini cuma bisa minum air

putih kalo kita lagi party.” Begitulah akhirnya cara Mahesa

mengingatkan Anak Tinggar dan anak-anak mereka, bahwa

ada satu nama yang selalu mereka ingat sepanjang hidupnya.

Ralat, dua nama, yang selalu mereka ingat sepanjang

hidupnya. Karena Dewa dan Feyre, tidak bisa terpisahkan.

Semesta pun ikut tersenyum, melihat Mahesa dan Bani

Sanjaya selalu mengingat dua sosok terbaiknya, meskipun

mereka telah hilang di balik langit malam yang tenang.

Karena sampai kapanpun, Bani Sanjaya akan tetap 33,

dan Kantin Tenggara akan tetap sembilan.

216 | NANA.
217 | NANA.
Tribute to our bestfriend, our brother, and our sky.

DEWANTARA NATAPRAWIRA.

Also,

Our bestfriend, our sister, and our sea.

FEYRE LYSSA DAMIAN.

218 | NANA.
Sampai kapanpun,

Kantin Tenggara

akan tetap sembilan.

219 | NANA.
220 | NANA.
S E L E S A I .

221 | NANA.
Terima kasih, untuk kalian semua yang sudah membaca
ratusan halaman dari cerita mereka. Semoga suatu saat
nanti kalian tidak dihadapkan dengan kisah hidup yang
memilukan, dan aku harap, kalian akan terus bahagia!

222 | NANA.
Sebagai wujud apresiasi terhadap teman dan saudara kita yang

selalu mengingat sesama, aku sisihkan 10% hasil dari cerita ini

untuk mereka-mereka yang membutuhkan.

Terima kasih untuk kalian semua yang sudah menjadi bagian dari

perwujudan mimpi mereka untuk bisa terus membantu sesama!

NANA. dan seluruh Anak Kantin Tenggara mengucapkan,

Terima kasih dan sampai jumpa lagi.

223 | NANA.
224 | NANA.

Anda mungkin juga menyukai