Disusun oleh :
• M. Farhan Miftahuddin
• Iis Nur Rela
• Yunita Rahmawati. S
Puji syukur kehadirat Allah SWT, sumber segala nikmat dan karunia yang tiada tara, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya terhadap cipataan-Nya. Shalawat serta salam
senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, manusia pilihan yang telah
memberikan cahaya kepada manusia dan alam semesta sampai akhir zaman.
Berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan
meskipun masih banyak kekurangan. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada
mata kuliah Bahasa Arab.
Terimakasih kepada semuanya yang telah ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah
ini, khususnya kepada bapa dosen mata kuliah Bahasa Arab yang telah membimbinng kami
sampai makalah ini terbuat
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan untuk
itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan
makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB II PEMBAHASAN 1
A. Pengertian Jumlah 1
C. Pengertian Kalam 4
D. Syarat Kalam 5
A. Kesimpulan 7
B. Saran 7
DAFTAR PUSTAKA 8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah kalam dan jumlah dalam ilmu Nahwu sudah tidak asing lagi bagi kita. Kedua istilah
tersebut akan selalu kita temui dalam mempelajari tata bahasa Arab.
Mungkin dari kita sudah banyak yang mengetahui tentang apa pengertian kalam dan apa yang
dimaksud dengan jumlah. Namun, tak sedikit juga dari kita yang mungkin saja belum
mengetahui secara pasti mengenai kalam dan jumlah dalam ilmu Nahwu.
Sebelum kita masuk pada pembahasan kalam dan jumlah dalam ilmu Nahwu, alangkah baiknya
kita juga mengetahui pengertian kalam dan pengertian jumlah terlebih dulu pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
iii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jumlah
Pengertian jumlah dalam bahasa Arab ini tentunya bersifat lebih global dibandingkan dengan
kalam dalam ilmu nahwu, yang di mana ia harus dapat memberikan pengertian yang utuh dan
sempurna (berfaedah) bagi mukhathab (lawan bicara). Sedangkan jumlah tidak harus berfaedah,
asalkan telah tersusun (murakkab) ia sah disebut sebagai jumlah.
Contoh mudahnya adalah lafadz ” ( “ أحمد جاءاألستاذustadz Ahmad telah datang). Lafadz tersebut
sudah memberikan informasi secara sempurna sehingga mukhathab (lawan bicara) tidak lagi
bertanya kelanjutanny sehingga mutakallim (pembicara) sebaiknya diam. Artinya, lafadz tersebut
sudah sah disebut sebagai kalam, jika ia sudah termasuk kalam dalam ilmu nahwu maka sah pula
dikatakan sebagai jumlah, karena telah tersusun dan berfaedah.
Tetapi, hal tersebut akan berbeda lagi ketika kita dihadapkan dengan contoh lafadz " إن
( " جاءاألستاذاحمدjika ustadz Ahmad datang ...). Perkataan seperti ini sudah bisa disebut jumlah
dalam bahasa Arab, namun belum sah kita kategorikan sebagai kalam. Karena dalam perkataan
tersebut belum bisa memberikan informasi yang utuh kepada pendengarnya, sehingga
mutakallim (pembicara) perlu melanjutkan perkataannya.
Lebih sederhananya lagi, yang dimaksud dengan jumlah dalam bahasa Arab adalah setiap lafadz
yang tersusun dari musnad dan musnad ilaih, seperti fi'il dan fa'il/na'ibul fa'il, mubtada' dan
khobar, syarat dan jawab. Contohnya lafadz "( "جاءزيدZaid datang), yang telah mengumpulkan
fi'il dan fa'il. Lafadz " (" جاءزيدZaid itu datang), yang sudah tersusun atas mubtada' dan khobar.
Lafadz "( "فاكرم ان جاءزيدjika Zaid datang maka akan ku muliakan dia). Dan sebagainya.
1
1. Macam Pembagian Jumlah/Kalimat dalam Bahasa Arab
Syekh Yusuf bin Abdu al-Qadir al-Barnawi menyebutkan bahwa pembagian jumlah dalam
bahasa Arab itu ada 5 macam, yaitu ismiyyah, fi'liyyah, dhorfiyyah, dzatu wajhain, dan
syarthiyyah, yang dihimpun dalam nadham sya'ir di bawah ini :
"Jumlah itu ada kalanya jumlah ismiyy fi'liyyah, dhorfiyyah, dzatu wajhain, de tambahkan lah
jumlah syarthiyyah". (Lihat,Syekh Yusuf bin Abdul Qodir, dalam kitab “Qawa’idul I’rab”).
a. Jumlah Ismiyyah
Dalam ilmu nahwu yang dimaksud jumlah ismiyyah (kalimat nominal) adalah jumlah yang pada
permulaan lafadznya di awali dengan kalimah isim, yaitu kalimah yang menunjukkan atas makna
tertentu dan tidak memiliki keterkaitan dengan zaman, baik isim tersebut terlihat secara jelas
maupun dengan cara penta'wilan (dibelokkan dari lahirnya).
2
Contoh jumlah ismiyyah yang tampak jelas adalah lafadz "( "زيدقائمZaid berdiri). Kata". ریدdalam
contoh tersebut merupakan kalimah isim yang menunjukkan atas mufrad mudzakkar dan nampak
dengan jelas dalam penulisan atau pengucapannya. Adapun contoh jumlah ismiyyah dengan cara
penta'wilan adalah lafadz " ”وأن تصومواخيرلكمyang jika dita'wil mashdar maka menjadi “ صيامكم
(”خيرلكمdan puasa kalian itu lebih baik bagi kalian).
b. Jumlah Fi'liyyah
Yang dimaksud jumlah fi'liyyah (kalimat verba) adalah jumlah yang diawali dengan kalimah fi'il,
yaitu kata yang menunjukkan kepada pekerjaan dan memiliki keterkaitan dengan zaman, baik itu
tampak jelas maupun taqdir (dikira-kira kan).
Contoh jumlah fi'liyyah yang nampak secara jelas adalah lafadz “(”قم ياخلدberdirilah! Wahai
Khalid). Kata " "قمpada contoh ini merupakan kalimah fi'il yang menunjukkan arti kata perintah,
yaitu fi'il amar. Sedangkan untuk contoh jumlah fi'liyyah yang dikira- kira kan seperti perkataan
""ياخالد, jika ditaqdirkan kurang lebihnya menjadi ": ( "ياخالدأعوaku memanggil: wahai Khalid).
c. Jumlah Dhorfiyyah
Jumlah dhorfiyyah adalah jumlah yang dimulai dengan dhorof (kata yang menunjukkan makna
tempat dan zaman) atau jer majrur (huruf jer dan isim yang dijerkan). Contohnya adalah
ungkapan " ( " هل عندك زيد؟apakah Zaid di sampingmu?). Kata " "عندكpada contoh jumlah
dhorfiyyah tersebut adalah lafadz yang menunjukkan makna atas keberadaan si Zaid. Contoh lain
seperti lafadz”( ”هل فى الدارأبوكApakah bapakmu ada di rumah?). Dan sebagainya.
Dzatu wajhain secara bahasa berarti dua wajah. Jumlah dzatu wajhai adalah jumlah yang
memiliki dua wajah, yaitu jumlah yang diawali dengan dhorof atau jer majrur.
3
Perhatikan contoh berikut: “هل فى/ ( ”الدا رأخوك هل عندك خالدApakah Zaid di sampingmu?/ apakah
saudaramu ada di rumah?). Lafadz “ “ عند كdan “ ”فى الدارadalah dhorof dan jer majrur yang
membutuhkan ta'alluq atau keterhubungan dengan kalimah lainnya. Apabila pada lafadz
sebelumnya tidak ditemukan ta'alluqnya, maka taqdir atau dikira-kira kan, bisa berupa fi'il ()إستقر,
isim ()مستقر, atau lafadz sejenisnya.
Apabila yang dikira-kira kan itu berupa kalimah fi'il maka ia termasuk dalam kategori jumlah
fi'liyyah. Sebaliknya, jika yang dikira-kira kan adalah kalimah isim, maka termasuk golongan
jumlah ismiyyah. Inilah mengapa ia disebut dengan jumlah dzatu wajhain (memiliki dua wajah).
e. Jumlah Syarthiyyah
Yang dimaksud dengan jumlah syarthiyyah dalam bahasa Arab adalah jumlah yang menjadi fi'il
syarat yang terjatuh setelah huruf syarat. Contoh mudahnya seperti lafadz “ ( ”إنجاءزيدجاءعمروjika
Zaid datang maka Amr pun datang). Kata “ ”جاءزيدtersebut adalah contoh jumlah syarthiyyah, ia
menjadi fi'il syarat dari huruf " "إنyang pasti membutuhkan jawab, yaitu lafadz "" جاءعمرو. Dan
sebagainya.
Itulah penjelasan jumlah dalam bahasa Arab yang mencakup pengertian dan pembagiannya.
Setelah menyimak uraian di atas, kurang lebihnya dapat disimpulkan bahwa macam-macam
jumlah dalam bahasa Arab ada 5 macam. Akan tetapi, secara garis besarnya jumlah itu hanya
terbagi menjadi dua macam saja, yaitu jumlah ismiyyah (diawali kalimah isim) dan fi’liyyah
(diawali kalimah fi’il).
Yang dimaksud dengan “diawali” di sini yaitu menurut susunan aslinya. Misalkan lafadz “
( ”راكباجاءخالدZaid datang dengan berkendara). Contoh ini disebut sebagai jumlah fi’liyyah, karena
pada hakikatnya kata “ ”راكباyang ada di awal kalimat tersebut berada pada akhir susunan,
menjadi “ "جا َء خَالِ ٌد َرا ِكا
َ .
4
Lalu, bagaimana dengan jumlah yang di awali dengan kalimah huruf? Apakah ia termasuk
jumlah ismiyyah atau fi’liyyah?. Jika kita dihadapkan pada pertanyaan ini, jawabnya adalah
jumlah yang di awali kalimah huruf yang dilihat itu kalimah yang terjatuh setelahnya, jika
berupa isim maka termasuk jumlah ismiyyah (contohnya: “ )“قاءىمإنزيد, apabila berupa fi’il maka
disebut jumlah fi’liyyah (contohnya: “)”ماجاءإالعمرو.
B. Pengertian Kalam
Secara bahasa (etimologi) kalam berarti ucapan/perkataan walaupun tidak memberikan
faedah kepada pendengarnya, kumpulan dari lafadz-lafadz yang diucapkan oleh manusia.
Pengertian kalam secara istilah (terminologi) cukup banyak yang dikemukakan oleh para ulama’.
Dari banyaknya definisi tersebut di sini penulis hanya memaparkan dua pandangan, yaitu
menurut ulama ahli fikih dan ulama ahli nahwu.
Para ulama ahli fikih mendefinisikan kalam Sebagai sesuatu yang dapat membatalkan Sholat.
Seperti yang telah banyak kita temui Di dalam kitab-kitab fikih, di antara perkara yang dapat
membatalkan sholat yaitu mengucapkan dua huruf berturut-turut meskipun tidak memahamkan,
Contohnya seperti lafadz
من, قم.
Sedangkan pengertian kalam menurut para ulama ahli nahwu adalah lafadz yang tersusun, yang
bisa memberikan kepahaman bagi yang mendengarkan, dan dengan bahasa Arab.
“Kalam (dalam ilmu nahwu) adalah lafadz yang tersusun, dapat memberikan kepadaham, dan
dilafadzkan dengan bahasa Arab”.
5
1. Syarat Kalam dalam Ilmu Nahwu
a. Lafadz
Kalam haruslah berupa lafadz. Dan yang dimaksud lafadz dalam ilmu nahwu adalah suara yang
mengandung sebagian huruf hijaiyah.
Contoh lafadz seperti halnya ucapan “”زيدyang mengandung sebagian huruf hijaiyah berupaد،ي،ز
. Apabila tidak mengandung sebagian huruf hijaiyah maka tidak bisa disebut sebagai lafadz, jika
tidak berupa lafadz n tidak termasuk kalam dalam ilmu nahwu. Contohnya adalah isyarat
kedipan mata, meskipun itu memahamkan.
b. Tersusun
6
Sesuatu bisa dikatakan sebagai kalam apabila ia tersusun. Artinya, terdiri dari dua kata atau lebih
sehingga menjadi susunan yang saling bersandar dan memberikan faedah.
Contohnya adalah susunan ( قامزيدZaid berdiri), yang terdiri dari susunan fi'il dan fa'il dhohir
(tampak). ( أنصرmenolonglah), dalam ilmu nahwu ucapan أنصرdikatakan sebagai Kalam karena
sudah tersusun dari dua kata namun taqdir (tersirat). Karena dibalik perkataan أنصرterdapat
dhomir yang tersembunyi. Apabila ditaqdirkan berupa (kamu) ََأنت.
c. Berfaedah/Memahamkan
Kalam haruslah memiliki unsur al-mufid, artinya dapat memberikan faedah kepada yang
mendengarkan sehingga diam (tidak bertanya lagi dengan apa yang ia katakan karena sudah
paham). Contohnya seperti ungkapan “( “ زيدقائمZaid orang yang berdiri) .
Berbeda lagi dengan ucapan yang tersusun tetapi tidak memberikan faedah. Seperti ucapan إن قام
( زيدjika Zaid berdiri...). Ungkapan tersebut belum bisa disebut sebagai kalam dalam ilmu nahwu,
walaupun telah tersusun ( )المركبatas susunan fi’il dan fa’il. Karena ucapan إن قام زيدadalah
kalimat syarat yang diawali huruf syarat ( إنjika) dan tidak mengandung jawab, membuat orang
yang mendengar akan bertanya lagi.
d. Bahasa Arab
Kalam dalam ilmu nahwu haruslah diucapkan dengan bahasa Arab, maka perkataan yang tidak
menggunakan bahasa Arab menurut ulama ahli nahwu tidak bisa dikatakan sebagai Kalam.
7
Menurut sebagian pendapat, kata بالوضعditafsirkan dengan “sadar". Artinya, pembicara ()متكلم
harus sengaja dan sadar dalam perkataannya dengan maksud yang jelas. Maka dari itu, perkataan
orang yang mabuk, orang gila, orang tidur tidak masuk dalam kategori kalam.
Berangkat dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa sesuatu bisa dikategorikan sebagai
kalam dalam ilmu nahwu harus memenuhi 4 syarat, yaitu lafadz, tersusun, memberikan faedah
dan diucapkan dengan sadar/bahasa Arab. Jika tidak memenuhi empat syarat kalam tersebut atau
kurang salah satunya saja, maka tidak bisa disebut sebagai kalam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lebih sederhananya, yang dimaksud dengan jumlah dalam bahasa Arab adalah setiap lafadz
yang tersusun dari musnad dan musnad ilaih, seperti fi'il dan fa'il/na'ibul fa'il, mubtada' dan
khobar, syarat dan jawab. Contohnya lafadz "( "جاءزيدZaid datang), yang telah mengumpulkan
fi'il dan fa'il. Lafadz " (" جاءزيدZaid itu datang), yang sudah tersusun atas mubtada' dan khobar.
Lafadz "( "فاكرم ان جاءزيدjika Zaid datang maka akan ku muliakan dia). Dan sebagainya.
Setelah menyimak uraian di atas, kurang lebihnya dapat disimpulkan bahwa macam-macam
jumlah dalam bahasa Arab ada 5 macam.
Secara bahasa (etimologi) kalam berarti ucapan/perkataan walaupun tidak memberikan faedah
kepada pendengarnya, kumpulan dari lafadz-lafadz yang diucapkan oleh manusia.
Berangkat dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa sesuatu bisa dikategorikan sebagai
kalam dalam ilmu nahwu harus memenuhi 4 syarat, yaitu lafadz, tersusun, memberikan faedah
8
dan diucapkan dengan sadar/bahasa Arab. Jika tidak memenuhi empat syarat kalam tersebut atau
kurang salah satunya saja, maka tidak bisa disebut sebagai kalam.
B. Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
www.nahwushorof.id. 23 Juni 2021 . Jumlah dalam bahasa arab: Pengertian dan Pembagiannta
dalam Ilmu Nahwu. Diakses pada 12 Maret 2023, dari
https://www.nahwushorof.id/2021/06/jumlah-dalam-bahasa-arab.html?m=1
www.nahwushorof.id. 22 Desember 2020 . Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu. Diakses pada
12 Maret 2023, dari https://www.nahwushorof.id/2020/12/pengertian-kalam-dalam-ilmu-
nahwu.html?m=1#:~:text=%22Kalam%20(dalam%20ilmu%20nahwu),dan%20dilafadzkan
%20dengan%20bahasa%20Arab%22.
10