Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi
dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan
kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya
mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai
politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda
dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern.
Sebagai subyek penelitian ilmiah, partai politik tergolong relatif muda. Baru pada awal
abad ke-20 studi mengenai masalah ini dimulai. Sarjana-sarjana yang berjasa memelopori
antara lain adalah M. Ostrogorsky (1902), Robert Michels (1911), Maurice Duverger (1951),
dan Sigmund Neumann (1956). Setelah itu, beberapa sarjana behavioralis, seperti Joseph
Lapalombara dan Myron Weiner, secara khusus meneropong masalah partai dalam
hubungannya dengan pembangunan politik. Kedua sarjana ini kemudian menuangkan
pemikiran dan hasil studinya dalam bukunya yang berjudul Political Parties and Political
Development (1966).1 Di samping itu, G. Sartori dengan bukunya Parties and Party Systems:
A Framework for Analysis (1976)2 merupakan ahli lebih kontemporer yang terkenal.
Dari hasil karya sarjana-sarjana ini nampak adanya usaha serius ke arah penyusunan suatu
teori yang komprehensif (menyeluruh) mengenai partai politik. Akan tetapi, sampai pada
waktu itu, hasil yang dicapai masih jauh dari sempurna, bahkan bisa dikatakan tertinggal, bila
dibandingkan dengan penelitian-penelitian bidang lain di dalam ilmu politik.
Bagan 1
Pembedaan Ideologi ”Kiri” dan ”Kanan”
”KIRI” ”KANAN”
Perubahan, kemajuan Status quo, konservatif
Kesetaraan (equality) untuk lapisan bawah Privilege (untuk lapisan atas)
Campur tangan negara (dalam Pasar bebas
kehidupan sosial/ekonomi)
Hak Kewajiban
Akhir-akhir ini ada erkembangan baru dalam konstelasi kepartaian. Menjelang Perang
Dunia II, tetapi terutama seusai perang tersebut, ada kecenderungan pada partai-partai politik
di dunia Barat untuk meninggalkan tradisi membedakan antara berbagai jenis partai, (seperti
patronage vs ideologi/Weltanschauung, massa vs kader, dan ”Kiri” vs ”Kanan”). Hal itu
disebabkan ada keinginan pada partai-partai kecil untuk menjadi partai besar dan menang
dalam pemilihan umum. Partai-partai itu menyadari bahwa untuk mencapai tujuan itu mereka
perlu memperluas dukungan dari pemilih (electoral base). Dengan merangkul pemilih tengah
(median voter atau loating vote), antara lain dengan patronage dan brokerage. Ternyata
mereka berhasil memenangkan pemilihan umum, membentuk pemerintah baru, dan
melaksanakan program partainya. Hal itu dimungkinkan dengan mengendorkan sikap
doktriner, kaku, dan eksklusif yang tadinya mereka pegang teguh menjadi leksibel dan
inklusif.
Jadi, di negara Barat yang sudah mapan ada kecenderungan ideologi ekstrem ”Kiri”
bergeser secara sentripetal ke sisi tengah (trend to the center), dan tidak lagi terlalu bersifat
”Kiri” (yang ingin perombakan). Begitu pula pihak ekstrem ”Kanan” mengalami
kecenderungan centripetal ke tengah, dan dengan demikian tidak terlalu menekankan sifat
”Kanannya” (konservatif). Dengan demikian, mulai tahun 60-an terjadi semacam
konvergensi antara ”Kiri dan ”Kanan”. Hal ini oleh Otto Kircheimer dinamakan ”de-
ideologisasi” partai-partai.
Konvergensi ini terutama terjadi pada partai-partai Sosial Demokrat di Jerman (Social
Democrate Party atau S.D.P), Partai Sosial Demokrat di Skandinavia, dan (New) Labour
Party di Inggris, sedangkan Christian Democratic Union (C.D.U.) menjadi Center Right.
Selain itu, seorang tokoh ilmu politik Anthony Downs dalam bukunya yang sangat
terkenal An Economic Theory of Democracy (1957) menguraikan bahwa konvergensi dari
”Kiri” dan ”Kanan” mempunyai dampak pada jumlah pemilih, yaitu bahwa lebih banyak
konvergensi menghasilkan kenaikan pemilih, sedangkan lebih sedikit konvergensi
mengakibatkan penurunan pemilih sebagaimana diperlihatkan dalam bagan berikut ini.
Karena perkembangan ini, telah timbul sejenis partai modern yang
Bagan 2
Perbedaan Konvergensi Ideologi Kiri/Kanan dalam Masyarakat
oleh Otto Kircheimer disebut catch-all party, 6 yaitu partai yang ingin menghimpun
semaksimal mungkin dukungan dari bermacam-macam kelompok masyarakat dan dengan
sendirinya menjadi lebih inklusif. Timbulnya partai catch-all mencerminkan perubahan dalam
keadaan politik dan sosial, terutama dengan kemajuan teknologi dan dampak dari televisi.
Ciri khas dari partai semacam ini ialah terorganisasi secara profesional dengan staf yang
bekerja penuh waktu, dan memperjuangkan kepentingan umum daripada kepentingan satu
kelompok saja. Contoh dari partai jenis ini adalah New Labour Party di Inggris dan Partai
Republik serta Partai Demokrat di Amerika. Begitu pula Partai Golkar dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) di Indonesia dapat disebut catch-all party.
Kembali ke istilah de-ideologisasi yang telah disebut di atas, menarik untuk disimak
bahwa di dunia Barat pada saat yang sama telah timbul suatu debat yang dinamakan The End
of Ideology Debate. Debat itu dipicu oleh jatuhnya fasisme sesudah Perang Dunia II, disusul
dengan mundurnya komunisme. Dua sarjana Amerika yang perlu disebut dalam hubungan ini
ialah Daniel Bell dan Francis Fukuyama.
Daniel Bell (1960) dalam bukunya The End of Ideology: On the Exhaustion of Political
Ideas in the Fifties, menguraikan bahwa :
Di Barat, ada konsensus di antara para intelektual tentang masalah politik, yaitu:
diterimanya negara kesejahteraan (Welfare State); diidamkannya desentralisasi
kekuasaan; sebuah sistem ekonomi campuran (mixed economy) dan pluralisme politik
(political pluralism). Dengan demikian masa ideologi telah berakhir (In the Western
word, therefore, there is a rough consensus among intellectuals on political issues: the
acceptance of a Welfare State; the desirability of decentralized power; a system of
mixed economy and of political pluralims. In that sense, too, the ideological age has
ended).
Konsensus ini, menurut Bell, telah mengakhiri debat mengenai ideologi secara tuntas.
Konsensus yang dimaksud menyangkut konsep para sosialdemokrat mengenai perlunya
melaksanakan Welfare Economics melalui konsep Welfare State, di mana sumber daya
negara didistribusikan dengan lebih adil sehingga mengurangi kesenjangan antara yang
miskin dan yang kaya. Di Inggris kadang-kadang konsep ini dinamakan Keynesian Welfare
Consensus, karena merupakan campuran dari pemikiran para tokoh sosialdemokrat dan
pemikiran Lord Maynard Keynes yang menekankan perlunya memperluas lapangan kerja.
Menurut Bell konsensus ini telah mengakhiri debat besar yang selama lebih dari sepuluh
tahun memecah belah masyarakat dunia Barat. Oleh Bell situasi ini dinamakan The End of
Ideology, sebab tidak ada lagi pemikiran skala besar (big ideas) yang perlu dipertentangkan.
Kira-kira tiga puluh tahun kemudian, Francis Fukuyama (1989), meneruskan pemikiran ini
dan memaparkan ide-idenya dalam tulisannya The End of History. Fukuyama melangkah
lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa globalisasi yang sedang melanda seluruh dunia
akan mendorong tersebarnya demokrasi ala Barat di dunia luas, dan bahwa majunya ekonomi
pasar akan diikuti dengan diterimanya prinsip-prinsip demokrasi liberal secara universal.
Teori Fukuyama mengundang banyak kritik dari berbagai pihak karena dianggap terlalu
meremehkan segi-segi negatif dari globalisasi. Karena itu, Fukuyama merasa perlu untuk
menulis suatu penjelasan dalam The End of History and the Last Man (1992).
Samuel Huntington merupakan salah seorang yang membantah teori Fukuyama dan
mengatakan bahwa perkembangan di negara-negara Barat tidak merupakan gejala universal,
yang pasti akan diikuti oleh seluruh dunia.
Definisi Partai Politik
Partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi
mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan
orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar
dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir
yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan
kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya) dengan cara konstitusional- untuk melaksanakan programnya.
Banyak sekali deinisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana. Di bagian ini
dipaparkan beberapa contoh deinisi yang dibuat para ahli ilmu klasik dan kontemporer.
Carl J. Friedrich menuliskannya sebagai berikut:
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan
partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil (A political, party is a group of human
beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the
control of a government, with the further objective of giving to members of the party,
through such control ideal and material beneits and advantages).
Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties, mengemukakan
deinisi sebagai berikut:
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan
dengan suatu golongan atau golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang
berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political
agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who
compete for popular support with other group or groups holding divergent views).
Menurut Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan
kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembagalembaga pemerintahan yang resmi.
Ahli lain yang juga turut merintis studi tentang kepartaian dan membuat deinisinya adalah
Giovanni Sartori, yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori :
Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan,
melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki
jabatan-jabatan publik (A party is any political group that present at elections, and is
capable of placing through elections candidates for public oice).
Potensi konlik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat
heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), sosial-ekonomi, ataupun agama. Setiap
perbedaan tersebut menyimpan potensi konlik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di negara
yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang
wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam negara yang heterogen sifatnya, potensi
pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konlik.
Di sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-
kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal
mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan
dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.
pendukungnya. Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend
Lijphart (1968). Menurut Lijphart: Perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa
bawah dapat diatasi oleh kerja sama di antara elite-elite politik. (Segmented or subcultural
cleavages at the mass level could be overcome by elite cooperation). Dalam konteks
kepartaian, para pemimpin partai adalah elite politik.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung psikologis
dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahnya. Selain itu partai juga
melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di
berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam
kontes pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk
menduduki posisi-posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan instrumen
untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik di negara demokrasi.
Di pihak lain dapat dilihat bahwa sering kali partai malahan mempertajam pertentangan
yang ada. Dan jika hal ini terjadi dalam suatu masyarakat yang rendah kadar konsensus
nasionalnya, peran semacam ini dapat membahayakan stabilitas politik.
Fungsi di Negara Otoriter
Hal-hal yang dijelaskan di bagian terdahulu adalah fungsi-fungsi partai menurut
pandangan yang berkembang di negara yang menganut paham demokrasi. Kini, marilah kita
lihat bagaimana paham negara otoriter, misalnya bagaimana komunisme di Uni Soviet
memandang partai politik. Pada kenyataannya pandangan tersebut memang berbeda. Contoh
lain negara yang otoriter adalah China dan Kuba. Tetapi di sini hanya dibahas komunisme di
Uni Soviet masa lampau.
Menurut paham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah
partai komunis berkuasa di negara di mana ia berada atau tidak. Di negara di mana partai
komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain dianggap sebagai mewakili kepentingan
kelas tertentu yang tidak dapat bekerja untuk kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu,
partai komunis akan mempergunakan setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti
yang banyak terdapat di negara-negara demokrasi) untuk mencari dukungan seluas-luasnya,
misalnya dengan jalan memupuk rasa tidak puas di kalangan rakyat. Partai komunis bertujuan
mencapai kedudukan kekuasaan yang dapat dijadikan batu loncatan guna menguasai semua
partai politik yang ada dan menghancurkan sistem politik yang demokratis. Maka dari itu,
partai ini menjadi paling efektif di negara yang pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya
kurang bersatu.
Akibat karakternya yang demikian, partai komunis sering dicurigai dan di beberapa negara
bahkan dilarang. Akan tetapi tindakan semacam itu juga ada bahayanya. Sebab dalam
keadaan seperti itu partai akan bergerak di bawah tanah, sehingga justru sukar diawasi.
Apabila tidak menemukan jalan untuk merebut kekuasaan, partai akan mencoba mencapai
tujuannya melalui kerja sama dengan partai-partai lain dengan mendirikan Front Rakyat atau
Front Nasional (popular front tactics).
Berbeda halnya apabila partai komunis berkuasa. Di sini partai komunis mempunyai
kedudukan monopolistis, dan kebebasan bersaing ditiadakan. Dapat saja ia menentukan
dirinya sebagai partai tunggal atau sekurangkurangnya sebagai partai yang paling dominan,
seperti yang terjadi di Uni Soviet, China, dan negara-negara komunis Eropa Timur.
Tujuan partai komunis adalah membawa masyarakat ke arah tercapainya masyarakat yang
modern dengan ideologi komunis, dan partai berfungsi sebagai ”pelopor revolusioner” untuk
mencapai tujuan itu. Partai Komunis Uni Soviet yang berkuasa dari tahun 1917 sampai 1991
merupakan partai seperti itu.
Partai Komunis memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep jabatan
rangkap. Supreme Soviet yang merupakan badan tertinggi diketuai oleh suatu presidium yang
anggota-anggotanya juga sebagai tokoh Partai. Begitu pula halnya dengan pimpinan semua
badan kenegaraan seperti badan eksekutif dan badan yudikatif. Sekretaris Partai Komunis
lebih berkuasa dari Presiden (ketua presidium). Maka dari itu Uni Soviet sering dinamakan
negara totaliter.
Partai Komunis juga melaksanakan beberapa fungsi, tetapi pelaksanaannya sangat berbeda
dengan yang ada di negara-negara demokrasi. Misalnya, dalam rangka berfungsi sebagai
sarana komunikasi politik Partai menyalurkan informasi untuk mengindoktrinasikan
masyarakat dengan informasi yang menunjang usaha pimpinan partai. Arus informasi lebih
bersifat dari atas ke bawah, daripada arus dua arah.
Fungsi sebagai sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga
negara ke arah kehidupan dan cara berikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan oleh
partai. Proses sosialisasi ini dilakukan secara ketat di sekolah, organisasi pemuda, tempat
kerja seperti pabrik dan sebagainya, dan melalui dominasi Partai di hampir segala sektor
kehidupan masyarakat. Sebaliknya, di negara-negara demokrasi partai berperan untuk
menyelenggarakan integrasi warga negara ke dalam masyarakat umum.
Partai juga berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik. Akan tetapi dalam hal ini ia
mengutamakan orang yang mempunyai kemampuan untuk mengabdi kepada Partai, yang
menguasai ideologi Marxisme-Leninisme, dan yang kelak mampu menduduki kedudukan
pimpinan untuk mengawasi kegiatan dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Untuk itu si
calon anggota harus menjalani masa percobaan di mana ia harus memenuhi standar-standar
ketat mengenai pengabdian dan kelakuan, baik pribadi maupun di muka umum, yang
ditetapkan oleh Partai Komunis. Akan tetapi karena iklim politik tidak kompetitif maka
pemilihan umum tidak merupakan sarana untuk memilih pimpinan negara, tetapi lebih
bersifat sebagai tanda bukti dari loyalitas rakyat kepada negara dengan memilih calon yang
ditentukan oleh Partai. Rezim ini dapat dikategorikan sebagai: ”Sosialisme negara di mana
kontrol politik ada di tangan Partai Komunis yang bersifat monopolistik dan hierarkis, dan di
mana ekonomi diatur atas dasar kolektivitas dan perencanaan ekonomi terpusat dari negara”.
Pada akhir dekade 80-an terjadi pergolakan melawan rezim represif, yang berakhir dengan
bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 dengan terbentuknya Commonwealth of Independent
States. Sebelumnya, pada Maret 1990 Soviet Tertinggi telah mengakhiri kedudukan monopoli
dari Partai Komunis, dan pada bulan Oktober 1990 memberi status yang sama kepada semua
partai politik. Hal ini membuka jalan untuk berkembangnya sistem multi-partai. Maka pada
pemilihan umum 1993 lebih dari empat puluh partai ikut serta. Dengan demikian berakhirlah
dominasi satu partai.
Jadi, dari uraian tadi jelaslah kalau dikatakan bahwa fungsi partai politik di negara
komunis berbeda sekali dengan partai dalam negara yang demokratis. Mengenai perbedaan
ini Sigmund Neumann menjelaskannya sebagai berikut: Jika di negara demokrasi partai
mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat, maka partai komunis
berfungsi untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik. Jika dalam
masyarakat demokratis partai berusaha menyelenggarakan integrasi warga negara ke dalam
masyarakat umum, peran partai komunis ialah untuk memaksa individu agar menyesuaikan
diri dengan suatu cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai (enforcement of
conformity). Kedua fungsi ini diselenggarakan melalui propaganda dari atas ke bawah.
Sistem Partai-Tunggal
Ada sementara pengamat yang berpendapat bahwa istilah sistem partai-tunggal merupakan
istilah yang menyangkal diri sendiri (contradictio in terminis) sebab suatu sistem selalu
mengandung lebih dari satu bagian (pars). Namun demikian, istilah ini telah tersebar luas di
kalangan masyarakat dan dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya
partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di
antara beberapa partai lain. Dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi.
Pola partai-tunggal terdapat di beberapa negara: Afrika, China, dan Kuba, sedangkan
dalam masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur termasuk dalam katagori
ini. Suasana kepartaian dinamakan nonkompetitif karena semua partai harus menerima
pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan bersaing dengannya.
Terutama di negara-negara yang baru lepas dari kolonialisme ada kecenderungan kuat
untuk memakai pola sistem partai-tunggal karena pimpinan (sering seorang pemimpin yang
kharismatik) dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan,
daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya.
Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini tidak diatur dengan baik
akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha pembangunan. Padahal
pembangunan itu harus memfokuskan diri pada suatu program ekonomi yang future-oriented.
Fungsi partai adalah meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi
pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Dewasa ini banyak
negara Afrika pindah ke sistem multi-partai.
Negara yang paling berhasil dalam menyingkirkan partai-partai lain ialah Uni Soviet pada
masa jayanya. Partai Komunis Uni Soviet bekerja dalam suasana yang non-kompetitif; tidak
ada partai lain yang diperbolehkan bersaing; oposisi dianggap sebagai pengkhianatan. Partai-
tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan
penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan dari kepentingan partai dengan
kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai dengan
pemikiran yang pada saat itu banyak dianut di negara-negara yang baru melepaskan diri dari
rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi ”motor perjuangan”. Akan tetapi sesudah
beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara
lain disebabkan karena dianggap berbau fasis.
Sistem Dwi-Partai
Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya diartikan bahwa
ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas
dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan
dominan. Dewasa ini hanya beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi-partai, yaitu
Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Oleh Maurice Duverger
malahan dikatakan bahwa sistem ini adalah khas Anglo Saxon.
Dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena
menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum).
Dengan demikian jelaslah di mana letak tanggung jawab mengenai pelaksanaan kebijakan
umum. Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia
(loyal opposition) terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan
pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan
memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang
yang ada di tengah dua partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung (loating vote) atau
pemilih di tengah (median vote).
Sistem dwi-partai pernah disebut a convenient system for contented people dan memang
kenyataannya ialah bahwa sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat,
yaitu komposisi masyarakat bersifat homogen (social homogeneity), adanya konsensus kuat
dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik (political consensus), dan
adanya kontinuitas sejarah (historical continuity).
Inggris biasanya digambarkan sebagai contoh yang paling ideal dalam menjalankan sistem
dwi-partai ini. Partai Buruh dan Partai Konservatif boleh dikatakan tidak mempunyai
pandangan yang banyak berbeda mengenai asas dan tujuan politik, dan perubahan pimpinan
umumnya tidak terlalu mengganggu kontinuitas kebijakan pemerintah. Perbedaan yang
pokok antara kedua partai hanya berkisar pada cara serta kecepatan melaksanakan berbagai
program pembaharuan yang menyangkut masalah sosial, perdagangan, dan industri. Partai
Buruh lebih condong agar pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan terutama
di bidang ekonomi, sedangkan Partai Konservatif cenderung memilih cara-cara kebebasan
berusaha.
Di samping kedua partai ini, ada beberapa partai kecil lainnya, di antaranya Partai Liberal
Demokrat. Pengaruh partai ini biasanya terbatas, tetapi kedudukannya berubah menjadi
sangat krusial pada saat perbedaan dalam perolehan suara dari kedua partai besar dalam
pemilihan umum sangat kecil. Dalam situasi seperti ini partai pemenang terpaksa membentuk
koalisi dengan Partai Liberal Demokrat atau partai kecil lainnya.
Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih kondusif untuk terpeliharanya
stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi. Akan
tetapi perlu juga diperhatikan peringatan sarjana ilmu politik Robert Dahl bahwa dalam
masyarakat yang terpolarisasi sistem dwi-partai malahan dapat mempertajam perbedaan
pandangan antara kedua belah pihak, karena tidak ada kelompok di tengah-tengah yang dapat
meredakan suasana konlik.
Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-
member constituency (Sistem Distrik) di mana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat
dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai
kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai.
Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk mengganti sistem multi-partai yang telah
berjalan lama dengan sistem dwi-partai, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-
partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa ekses dirasakan
menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi
eksperimen dwipartai ini, sesudah diperkenalkan di beberapa wilayah, ternyata mendapat
tantangan dari partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini
dihentikan pada tahun 1969.
Sistem Multi-Partai
Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong
pilihan ke arah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama, atau suku bangsa
mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan
terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola multi-
partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada pola dwi-partai. Sistem
multipartai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis,
Swedia, dan Federasi Rusia. Prancis mempunya jumlah partai yang berkisar antara 17 dan 28,
sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya Partai Komunis jumlah partai mencapai 43.
Sistem multi-partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlementer,
mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga
peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada
satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa
membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam keadaan semacam ini partai yang
berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan
menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam
koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang.
Di lain pihak, partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas karena
sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi
baru. Hal semacam ini menyebabkan sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut
kegentingan situasi yang dihadapi partai masing-masing. Lagi pula, sering kali partai-partai
oposisi kurang mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam sistem
semacam ini masalah letak tanggung jawab menjadi kurang jelas.
Dalam situasi di mana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik dapat lebih
dijamin. India di masa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang didominasi satu
partai (one-party dominance), tetapi karena suasana kompetitif, pola dominasi setiap waktu
dapat berubah. Hal ini dapat dilihat pada pasang surutnya kedudukan Partai Kongres. Partai
ini mulai dari zaman kemerdekaan menguasai kehidupan politik India. Jumlah wakilnya
dalam dewan perwakilan rakyat pada saat itu melebihi jumlah total wakil partai-partai
lainnya, dan karena itu sering disebut sistem satu setengah partai (one and a half party
system). Sekalipun Partai Kongres mengalami kemunduran sesudah pemilihan umum 1967,
namun ia berhasil memerintah India sampai tahun 1977. Pada tahun 1978 sampai 1980 Partai
Kongres mengadakan koalisi dengan Bharatya Janata Party.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu lemah. Belanda,
Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat mempertahankan
stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.
Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan Perwakilan Berimbang
(Proportional Representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai
dan golongan-golongan baru.21 Melalui sistem Perwakilan Berimbang partai-partai kecil
dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya di suatu
daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara
yang diperlukan guna memenangkan satu kursi.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi-partai. Sistem
ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai 1989
Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil unsur-unsur
positif dari pengalaman masa lalu, sambil menghindari unsur negatifnya.
antipolitik atau anti-party politics dalam masyarakat luas melalui direct action dan wacana di
forum-forum umum. Dengan demikian mereka sedikit banyak telah berhasil menggeser
kedudukan partai politik dari kedudukannya sebagai faktor utama dalam proses menentukan
kebijakan publik. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa partai politik tidak ada gunanya dan
dapat ditiadakan begitu saja. Bagaimanapun juga partai merupakan salah satu pilar dalam
kehidupan demokrasi yang sangat krusial. Pernah dikatakan: “Seandainya tidak ada partai
politik, maka terpaksa kita harus menciptakannya (If there were no political parties, we
would have to invent them).”
Zaman Kolonial
Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya
kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi, apakah ia bertujuan sosial (seperti
Budi Utomo dan Muhammadiyah) atau terangterangan menganut asas politik/agama (seperti
Sarekat Islam dan Partai Katolik) atau asas politik sekuler (seperti PNI dan PKI), memainkan
peran penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Pola kepartaian masa itu
menunjukkan keanekaragaman dan pola ini kita hidupkan kembali pada zaman merdeka
dalam bentuk sistem multi-partai.
Pada tahun 1918 pihak Belanda mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai badan
perwakilan. Ada beberapa partai serta organisasi yang memanfaatkan kesempatan untuk
bergerak melalui badan ini (yang dinamakan ko, namun ada pula yang menolak masuk di
dalamnya yang dinamakan nonko). Pada awalnya partisipasi organisasi Indonesia sangat
terbatas. Dari 38 anggota, di samping ketua seorang Belanda, hanya ada 15 orang Indonesia,
di antaranya 6 anggota Budi Utomo dan Sarekat Islam. Komposisi baru berubah pada tahun
1931 waktu diterima prinsip ”mayoritas pribumi”, sehingga dari 60 orang anggota ada 30
orang pribumi.24 Pada tahun 1939 Fraksi Pribumi terpenting dalam Volksraad antara lain
Fraksi Nasional Indonesia (FRANI) yang merupakan gabungan dari beberapa fraksi, di
antaranya Parindra dan Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB). Ketua Volksraad
tetap orang Belanda.
Pada tahun 1918 pihak Belanda mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai badan
perwakilan. Ada beberapa partai serta organisasi yang memanfaatkan kesempatan untuk
bergerak melalui badan ini (yang dinamakan ko, namun ada pula yang menolak masuk di
dalamnya yang dinamakan nonko). Pada awalnya partisipasi organisasi Indonesia sangat
terbatas. Dari 38 anggota, di samping ketua seorang Belanda, hanya ada 15 orang Indonesia,
di antaranya 6 anggota Budi Utomo dan Sarekat Islam. Komposisi baru berubah pada tahun
1931 waktu diterima prinsip ”mayoritas pribumi”, sehingga dari 60 orang anggota ada 30
orang pribumi.24 Pada tahun 1939 Fraksi Pribumi terpenting dalam Volksraad antara lain
Fraksi Nasional Indonesia (FRANI) yang merupakan gabungan dari beberapa fraksi, di
antaranya Parindra dan Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB). Ketua Volksraad
tetap orang Belanda.
Dalam kenyataannya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai mengalami
kesukaran untuk bersatu dan membentuk satu front untuk menghadapi pemerintah kolonial.
Keadaan ini berlangsung sampai pemerintah Hindia Belanda ditaklukkan oleh tentara
Kerajaan Jepang. Akan tetapi pola kepartaian yang telah terbentuk di Zaman Kolonial
kemudian dilanjutkan dan menjadi landasan untuk terbentuknya pola sistem multi-partai di
Zaman Merdeka.