Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Kualitas

Kualitas adalah ukuran seberapa dekat suatu barang atau jasa sesuai

dengan standar tertentu (Marimin, 2014). Sedangkan berdasarkan ISO

(International Standard Organization), kualitas adalah totalitas karakteristik

dari berbagai entitas yang memberikan segenap kemampuannya pada nilai-

nilai kebutuhan serta nilai-nilai kepuasan (Hidayat, 2010). Kualitas sebagai

totalitas fitur yang dapat menjadikan produk atau pelayanan sebagai

pemenuhan kebutuhan yang dinyatakan atau tidak (Simamora, 2010).

Secara garis besar, kualitas merupakan nilai terhadap barang ataupun

jasa yang dipersepsikan oleh pengguna dengan mengamati serta

menghubungkannya dengan standar kebutuhan atau kepuasan pengguna.

Definisi kualitas atau mutu juga dapat menunjuk pada tingkat

kesempurnaan barang atau jasa tersebut diberikan kepada pengguna. Pokok

penting dari konsep kualitas adalah berfokus pada pelanggan (Simamora,

2010).

2.2 Konsep Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan dapat dijelaskan sebagai upaya yang

diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan

menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan,

keluarga, kelompok, dan ataupun masyarakat (Azwar, 2010). Sedangkan

6
7

Azwar (2010) menjelaskan dalam bukunya bahwa jenis pelayanan kesehatan

bermacam-macam, dalam pengklasifikasiannya dapat ditentukan dengan tiga hal

berikut, yaitu:

1. Pengorganisasian pelayanan. Dapat dilaksanakan secara sendiri atau secara

bersama-sama dalam suatu organisasi.

2. Ruang lingkup kegiatan. Dapat mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan,

peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit,

pemulihan kesehatan, atau kombinasi dari padanya.

3. Sasaran pelayanan kesehatan. Dapat ditujukan untuk perseorangan, keluarga,

kelompok, ataupun untuk masyarakat secara keseluruhan.

Menurut Azwar (2010), syarat pokok pelayanan kesehatan harus dimiliki oleh

sarana pelayanan kesehatan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tersedia dan berkesinambungan. Artinya, pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya di

masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.

2. Dapat diterima dan wajar. Artinya, pelayanan kesehatan tersebut tidak

bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat.

3. Mudah dicapai. Artinya, pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat

penting.

4. Mudah dijangkau. Artinya, upaya biaya pelayanan kesehatan disesuaikan

dengan kemampuan ekonomi masyarakat.


8

5. Bermutu. Artinya, pelayanan harus dapat memuaskan para pemakai jasa serta

cara penyelenggaraan pelayanan harus sesuai dengan kode etik dan standar

yang telah ditetapkan.

Secara umum, jenis pelayanan kesehatan pada fasilitas/ sarana kesehatan dibagi

menjadi dua (Syafrudin, dan Hamidah, 2012), yaitu:

1. Rawat inap, adalah pelayanan kesehatan dimana pasien diinapkan di fasilitas

kesehatan karena kondisinya yang membutuhkan pemantauan tenaga medis

setiap saat.

2. Rawat jalan, adalah pelayanan kesehatan dimana pasien mendapatkan

penatalaksanaan medis tanpa menginap di fasilitas kesehatan.

2.3 Konsep Kualitas Pelayanan Kesehatan

Kualitas pelayanan adalah ukuran seberapa baik suatu pelayanan

menemui kecocokan dengan harapan pelanggan. Menurut Al-Assaf (2013),

kualitas pelayanan merupakan pelayanan yang berorientasi pada pelanggan

(customer oriented), tersedia (availabel), mudah didapat (accessibel),

memadai (acceptabel), terjangkau (affordabel), dan mudah dikelola

(controllabel). Satrianegara dan Saleha (2012) memaparkan dalam bukunya

terkait definisi kualias pelayanan kesehatan menurut beberapa ahli, yaitu:

1. Menurut Azrul Azwar, kualitas pelayanan kesehatan adalah pelayanan

kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan

kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta

penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi.


9

2. Menurut Mary R. Zimmerman, kualitas pelayanan kesehatan merupakan

suatu hal untuk memenuhi dan melebihi kebutuhan serta harapan

pelanggan melalui peningkatan yang berkelanjutan atas seluruh proses.

Pelanggan meliputi pasien, keluarga, dan lainnya yang datang untuk

mendapatkan pelayanan dokter ataupun karyawan.

Sedangkan menurut Potter dan Perry (2010), kualitas pelayanan kesehatan

adalah indikator yang membuat konsumen merasa yakin bahwa

suatu rencana kesehatan atau sistem bersifat responsif, menyenangkan, dan

ramah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep penting kualitas pelayanan

kesehatan adalah memuaskan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang

diberikan. Metode untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan tidak

berbeda dengan pengukuran kualitas pelayanan pada sektor lain. Kualitas

pelayanan dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu pelayanan yang dirasakan

(perceived service) dan pelayanan yang diharapkan (expected service).

Apabila pelayanan yang dirasakan lebih kecil daripada yang diharapkan,

maka penerima pelayanan menjadi tidak tertarik pada penyedia jasa yang

bersangkutan. Sedangkan apabila yang terjadi ialah sebaliknya, ada

kemungkinan penerima pelayanan akan menggunakan jasa itu lagi.

Dimensi dari kualitas pelayanan adalah hasil kajian dari Gronroos (1984)

seorang pakar dari Swedia. Menurutnya ada tiga dimensi dari kualitas

pelayanan. Pertama adalah technical quality, yaitu yang berhubungan dengan

outcome suatu pelayanan. Kedua adalah functional quality yang lebih banyak

berhubungan dengan proses delivery atau bagaimana pelayanan diberikan


10

kepada pelanggan. Ketiga adalah image atau reputasi dari produsen yang

menyediakan jasa (Irawan, 2011).

Parasuraman et al. (2012) juga memaparkan dalam jurnalnya bahwa

Sasser et al. (2010) berpendapat terdapat tiga hal yang mempengaruhi

dimensi kualitas pelayanan yaitu materials, facilities, dan personnel.

Sedangkan menurut Lehtinen & Lehtinen (2010), tiga dimensi kualitas

pelayanan adalah physical quality (seperti peralatan, dan gedung), corporate

quality (seperti profil organisasi), dan interactive quality (meliputi interaksi

staf dengan pelanggan serta interaksi masing-masing pelanggan).

Satrianegara dan Saleha (2012) menjelaskan bahwa kualitas pelayanan

juga dapat diukur menggunakan pendekatan sistem. Pendekatan sistem

meliputi pendekatan struktur / input (seperti kebijakan, fasilitas, dan sumber

daya manusia), pendekatan proses (meliputi metode pelaksanaan pelayanan),

dan pendekatan hasil / output (misalnya evaluasi dari pemasangan infus).

Pohan (2012) menjelaskan bahwa pengukuran kualitas pelayanan juga dapat

dilakukan dengan menggunakan pendekatan lean thinking (pengukuran

dengan reduksi waste yang terjadi pada seluruh aliran proses pelayanan),

pendekatan balanced scored (pengukuran dengan menterjemahkan misi dan

strategi ke dalam berbagai tujuan dan ukuran), pendekatan six sigma

(pengukuran dengan tidak sekedar berorientasi pada kualitas pelayanan, tetapi

juga pada seluruh aspek operasional bisnis dengan penekanan dalam fungsi-

fungsi proses), atau dengan menggunakan pendekatan servperf (pengukuran

dengan mengetahui kinerja pelayanan yang kritis).


11

Namun konsep pengukuran kualitas pelayanan yang menjadi acuan adalah

pengukuran dengan model SERVQUAL (Service Quality) yang

dikembangkan oleh Parasuraman et al., (2012). Meskipun model

SERVQUAL beberapa kali mendapat kritikan dan berusia lebih dari dua

puluh tahun, model tersebut merupakan konsep yang paling banyak

diterapkan di seluruh dunia dalam hal pelayanan. Baik dalam lingkungan

industri, perbankan, perhotelan, pendidikan, ataupun kesehatan. Pertama

kalinya konsep ini diformulasikan pada tahun 1985, terdapat sepuluh dimensi

yang kemudian disederhanakan menjadi lima dimensi besar dan dikenal

banyak orang sejak tahun 1988 hingga kini (Irawan, 2010).

2.4 ModeL SERQUAL

Dasar dari model SERVQUAL adalah penilaian gap antara pelayanan

yang diterima (perceived service) dengan pelayanan yang diharapkan

(expected service). Alur perjalanan model dengan penilaian gap ini melewati

beberapa tahap. Terdapat lima gap/ kesenjangan hingga terbentuk konsep

penilaian gap/ kesenjangan antara Expected service dengan perceived service

sebagai dasar dari model SERVQUAL (Parasuraman et al., 2014). Berikut

adalah penjelasan tentang lima gap atau kesenjangan tersebut:

1. Gap 1

Harapan pelanggan dengan persepsi manajemen. Penilaian gap 1 ini

didasarkan pada alasan bahwa harapan pelanggan akan berpengaruh

terhadap penilaian atau evaluasi pelanggan tentang kualitas pelayanan.


12

2. Gap 2

Persepsi manajemen tentang harapan pelanggan dengan tafsiran persepsi

tersebut kedalam spesifikasi kualitas pelayanan. Penilaian gap 2 ini

didasarkan pada alasan bahwa persepsi manajemen tentang harapan

pelanggan dan spesifikasi kualitas pelayanan akan berpengaruh terhadap

kualitas pelayanan dari sudut pandang pelanggan.

3. Gap 3

Spesifikasi kualitas pelayanan dengan pelayanan yang diberikan.

Penilaian gap 3 ini didasarkan pada alasan bahwa spesifikasi kualitas

pelayanan akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan menurut

pelanggan.

4. Gap 4

Pelayanan yang diberikan dengan komunikasi pada pelanggan. Penilaian

gap 4 ini didasarkan pada alasan bahwa pelayanan yang diberikan akan

berpengaruh terhadap tolok ukur kualitas pelayanan menurut pelanggan.

5. Gap 5

Pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang dirasakan. Penilaian

gap 5 ini didasarkan pada alasan bahwa kualitas pelayanan yang dirasakan

pelanggan merupakan sesuatu yang penting karena akan dibandingkan

dengan harapannya.

Menurut Parasuraman et al. (2014) kualitas pelayanan yang diterima

oleh pelanggan (perceived service quality) merupakan hasil perbandingan

tersebut dapat disimpulkan gambaran kualitas pelayanan. Sehingga dapat


13

disimpulkan bahwa gambaran kualitas pelayanan dipengaruhi oleh harapan

dan kenyataan pelayanan yang diterima oleh pelanggan. Expected service dan

perceived service sendiri dipengaruhi oleh lima dimensi yaitu tangibles,

reliability, responsiveness, assurance, dan empathy.

Di samping itu, terdapat faktor lain yang dapat berpengaruh pada

harapan pelanggan terhadap sebuah pelayanan (expected service) adalah

word of mouth, kebutuhan personal, dan pengalaman masa lalu. Expected

service diukur menggunakan pertanyaan tertutup dengan pilihan jawaban

dalam rentang “sangat tidak penting” sampai “sangat penting”, dan perceived

service diukur menggunakan pertanyaan tertutup dengan pilihan jawaban

dalam rentang “sangat tidak setuju” sampai “sangat setuju”.

Dimensi kualitas pelayanan ada sepuluh yaitu tangibles, reliability,

responsiveness, communication, credibility, security, competence, courtesy,

understanding / knowing the customer, dan acces dan direduksi menjadi lima

dimensi melakukan reduksi terhadap sepuluh dimensi tersebut menjadi lima

dimensi. Reduksi bertujuan untuk meningkatkan reliabilitas data hasil dari

pengukuran kualitas pelayanan. Lima dimensi tersebut adalah tangibles,

reliability, responsiveness, assurance, dan empathy atau yang lebih dikenal

dengan model SERVQUAL (Parasuraman et al., 2012). Di kaji ulang dan

diperbaiki sehingga terdapat 16 pernyataan positif dan 6 pernyataan negatif

untuk mengukur kualitas pelayanan. Setelah dilakukan penelitian, didapatkan

hasil bahwa pernyataan negatif mengindikasikan kebingungan responden saat

menjawab, dan penyedia pelayanan merasa keberatan terhadap adanya


14

pernyataan negatif tersebut. Sehingga pernyataan negatif itu diubah menjadi

pernyataan positif (Parasuraman et al., 2014).

Kartajaya, dkk (2016) menuliskan dalam bukunya bahwa Parasuraman,

Zeithaml, dan Berry pernah melakukan riset untuk menguji dimensi apa

diantara kelima dimensi SERVQUAL yang dianggap paling penting bagi

pelanggan. Hasilnya adalah reliability dianggap paling penting oleh

pelanggan dengan kontribusi 32%, responsiveness 22%, assurance 19%,

empathy 16%, dan terakhir tangibles 11%. Namun, hasil riset oleh

Parasuraman et al. tersebut bukan merupakan hasil mutlak penilaian kualitas

pelayanan di seluruh penyelenggara jasa di dunia. Perlu dilakukan penelitian

jika ingin mengukur kualitas pelayanan pada suatu pusat pelayanan.

1. Tangibles

Tangibles dapat diartikan sebagai bukti langsung. Menurut Parasuraman

et al. (2012), tangibles adalah kemampuan penyedia pelayanan dalam

menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal. Tangibles meliputi

tampakan dari fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan, hingga alat

komunikasi yang digunakan oleh sebuah layanan. Jumlah poin penilaian

pada dimensi tangibles ada empat yaitu:

a. Peralatan modern.

b. Fasilitas terlihat menarik.

c. Pekerja berpenampilan rapi dan profesional.

d. Unsur pendukung pelayanan terlihat baik.


15

2. Reliability

Reliability dapat diartikan sebagai keandalan. Menurut

Parasuraman et al. (2014), reliability adalah kemampuan untuk

melaksanakan dan memenuhi layanan yang telah dijanjikan secara akurat

dan terpercaya. Reliability mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi

kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability).

Jumlah poin penilaian pada dimensi reliability ada lima yaitu:

a. Memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan.

b. Pelayanan kepada pelanggan dapat diandalkan.

c. Memberikan pelayanan dengan segera.

d. Memberikan pelayanan sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan.

e. Menjaga catatan bebas dari kesalahan.

3. Responsiveness

Responsiveness dapat diartikan sebagai daya tanggap. Menurut

Parasuraman et al. (2012), responsiveness adalah kemampuan dan

kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan layanan yang

tepat. Jumlah poin penilaian pada dimensi responsiveness ada empat

yaitu:

a. Selalu memberikan informasi kepada pelanggan tentang kapan

pelayanan siap diberikan.

b. Pelayanan terhadap pelanggan diberikan dengan tanggap.

c. Kemauan untuk membantu pelanggan.

d. Kesiapan untuk menanggapi permintaan pelanggan.


16

4. Assurance

Assurance dapat diartikan sebagai jaminan. Menurut Parasuraman et al.

(2012, assurance adalah pengetahuan dan kemampuan karyawan dalam

memberikan kepercayaan diri untuk menumbuhkan keyakinan dan

kepercayaan pelanggan. Jumlah poin penilaian pada dimensi assurance

ada empat yaitu:

a. Pekerja dapat menanamkan kepercayaan dalam diri pelanggan.

b. Membuat pelanggan merasa aman saat melakukan transaksi.

c. Pekerja selalu menunjukkan sikap sopan santun.

d. Pekerja memiliki pengetahuan luas untuk menjawab pertanyaan

pelanggan.

5. Empathy

Empathy adalah perhatian yang diberikan oleh penyelenggara

pelayanan kepada pelanggan. Jumlah poin penilaian pada dimensi

empathy ada lima. Parasuraman et al. (2010) menyebutkan lima poin

tersebut ialah:

a. Memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan.

b. Pekerja melayani pelanggan dengan penuh perhatian.

c. Pekerja mengutamakan kepentingan pelanggan dengan sepenuh hati

d. Pekerja memahami kebutuhan pelanggan.

e. Mempunyai jam kerja yang sesuai.


17

6. Expected service

Expected service merupakan pelayanan yang diharapkan oleh pelanggan

yang meliputi harapan pelanggan terhadap wujud nyata, keandalan, daya

tanggap, jaminan, dan empati penyedia pelayanan. Expected service juga

dipengaruhi oleh word of mouth, kebutuhan personal, dan pengalaman

masa lalu. Word of mouth (WOM) dapat diartikan sebagai komunikasi

secara lisan. WOM adalah pernyataan yang disampaikan oleh seseorang

kepada orang lain yang mana pernyataan yang disampaikan tersebut dapat

memberikan pengaruh terhadap persepsi orang yang menerima

pernyataan. Artinya, adanya WOM tentang pelayanan akan berpengaruh

pada harapan terhadap pelayanan. WOM akan berpengaruh besar dan

cenderung lebih mudah diterima apabila yang menyampaikan adalah ahli,

teman, atau keluarga. Sedangkan kebutuhan personal didefinisikan

sebagai kebutuhan seseorang terhadap pelayanan. Kebutuhan tersebut

membawa peran penting bagi seseorang dalam menyusun harapan

terhadap pelayanan yang dikehendakinya. Pengalaman masa lalu juga

menjadi faktor yang mempengaruhi harapan seseorang terhadap sebuah

pelayanan. Cara mengukur Expected service adalah dengan memberikan

pertanyaan tertutup kepada pelanggan tentang harapan terhadap pelayanan

dengan pilihan jawaban dalam rentan “sangat tidak penting” sampai

“sangat penting” (Parasuraman et al., 2012).


18

7. Perceived Service

Perceived service merupakan pelayanan yang dirasakan atau diterima

oleh pelanggan. Perceived service dapat diartikan sebagai kenyataan

pelayanan. Penilaian perceived service ini meliputi lima dimensi

SERVQUAL yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan

empathy. Cara mengukur perceived service adalah dengan memberikan

pertanyaan tertutup kepada pelanggan tentang pelayanan yang diterima

dengan pilihan jawaban dalam rentang “sangat tidak setuju” sampai

“sangat setuju” (Parasuraman et al., 2012).

8. Perceived Service

Quality Perceived service diukur bersama Expected service untuk

menggambarkan perceived service quality atau untuk menyimpulkan

gambaran kualitas pelayanan. Hasil pengukuran perceived service quality

merupakan suatu evaluasi kinerja penyelenggara atau penyedia pelayanan.

Gambaran kualitas pelayanan yang diukur dapat dimanfaatkan untuk

manajemen pusat pelayanan, terutama untuk meningkatkan kualitas

pelayanan. Cara mengukur perceived service quality adalah dengan

menghitung skor gap atau selisih antara nilai perceived service dan

expected service. Apabila hasil skor gap adalah negatif, maka dinyatakan

bahwa kualitas.

2.5 Konsep Puskesmas

2.5.1 Definisi Puskesmas


19

Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional

yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga

membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara

menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam

bentuk kegiatan pokok (Efendi dan Makhfudli, 2012).

Definisi puskesmas ialah suatu unit pelaksana fungsional yang

berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan

partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan, serta pusat pelayanan

kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara

menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang

bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu Harnilawati (2013).

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 75 Tahun 2014,

puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat

pertama untuk mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya di wilayah

kerjanya (Efendi dan Makhfudli, 2012)..

Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

puskesmas merupakan salah satu fasilitas atau sarana kesehatan yang

memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, mempunyai

wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat,

dan berperan penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

2.5.2 Kategori Puskesmas


20

Berdasarkan karakteristik wilayah kerja puskesmas, Permenkes No.

75 Tahun 2014 menentukan tiga kategori puskesmas, yaitu puskesmas

kawasan perkotaan, puskesmas kawasan pedesaan, dan puskesmas kawasan

terpencil dan sangat terpencil. Sedangkan berdasarkan kemampuan

penyelenggaraannya, puskesmas dibedakan menjadi:

1. Puskesmas non rawat inap, yaitu puskesmas yang tidak

menyelenggarakan pelayanan rawat inap kecuali pertolongan persalinan

normal.

2. Puskesmas Rn awat inap, yaitu puskesmas yang diberi tambahan sumber

daya untuk menyelenggarakan pelayanan rawat inap, sesuai

pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.

2.5.3 Tugas dan Fungsi Puskesmas

Berdasarkan Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan

Masyarakat, Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan

kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah

kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam

melaksanakan tugas tersebut, puskesmas menyelenggarakan fungsi sebagai

berikut:

1. Penyelenggaraan UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) tingkat pertama

di wilayah kerjanya.

2. Penyelenggaraan UKP (Upaya Kesehatan Perseorangan) tingkat pertama

di wilayah kerjanya. 3. Sebagai wahana pendidikan tenaga kesehatan

2.5.4 Standar pelayanan Puskesmas


21

Jika suatu organisasi layanan kesehatan ingin menyelengarakan

layanan kesehatan yang bermutu, maka harus mempunyai standar layanan

kesehatan sebagai landasan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Organisasi layanan kesehatan tidak hanya mencakup rumah sakit,

puskesmas juga merupakan suatu organisasi layanan kesehatan yang

dituntut mempunyai standar layanan kesehatan. Standar layanan kesehatan

adalah suatu pernyataan tentang mutu yang diharapkan (Efendi dan

Makhfudli, 2011).

Adanya standar layanan kesehatan diharapkan akan membantu

terwujudnya pembangunan kesehatan dengan segera. Pembangunan

kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan

masyarakat baik dalam bidang promotif, preventif, kuratif, ataupun

rehabilitatif agar setiap masyarakat dapat mencapai kesehatan yang

setinggitingginya baik fisik, mental, dan sosial serta harapan berumur

panjang (Ismainar, 2015). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

(KEMENKES) melakukan terobosan sebagai upaya dalam pembangunan

kesehatan.

Diantaranya adalah dengan menuntut fasilitas pelayanan kesehatan

agar mampu mencapai Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang

kesehatan. Pembangunan kesehatan pada dasarnya diupayakan untuk

mencapaivisi Indonesia sehat. Visi Indonesia sehat sendiri akan terwujud

melalui visi provinsi sehat dengan mengamalkan SPM bidang kesehatan


22

provinsi. SPM bidang kesehatan provinsi tersebut juga berguna sebagai

acuan penetapan indikator layanan kesehatan tingkat kabupaten / kota yang

sering dikenal dengan istilah SPM bidang kesehatan kabupaten / SPM

bidang kesehatan kota. SPM bidang kesehatan kabupaten / kota inilah yang

dijadikan sebagai landasan penetapan indikator dalam pelayanan kesehatan

di organisasi-organisasi penyelenggara layanan kesehatan. Sehingga, tiap

rumah sakit atau Puskesmas di Indonesia mempunyai tantangan untuk

mencapai SPM bidang kesehatan kabupaten/kota yang mana SPM tersebut

juga sesuai dengan aturan Kemenkes RI (Efendi dan Makhfudli, 2009).


23

2.6 Kerangka Teori

Jenis pelayanan Kualitas pelayanan


kesehatan
1. Pengorganisasian 1. Customer oriented 1. Buruk
pelayanan (Berorientasi pada 2. Kurang
2. Ruang lingkup pelanggan) 3. Cukup
kegiatan 2. Avaliabel (Tersedia) 4. Baik
3. Sasaran pelayanan 3. Accessibel (Dapat diakses) 5. Sangat baik
kesehatan 4. Acceptabel (Dapat
diterima)
5. Afforabel (Terjangkau)
6. Controllabel (Terkendali)

Sumber: Marimin (2014), Azwar (2014), Al Assaf (2013)

Anda mungkin juga menyukai