Anda di halaman 1dari 46

PENERAPAN EKONOMI POLITIK MENGGUNAKAN REIVENTING

GOVERNMENT DALAM PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI


LIMA PASAR RAYA KOTA PADANG

Project Pilot

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Ekonomi Politik

Oleh:

Kelompok 9:

1. Naufal Eldsando Dzeska (19042163)


2. Salsabila Kemala Ansary Nst (19042179)

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa,
karena kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan project pilot ini yang
berjudul “Penerapan Ekonomi Politik Menggunaan Reiventing Government dalam Penataan
dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Pasar Raya Kota Padang”. Project pilot ini
disusun untuk memenuhitugas akhir mata kuliah Ekonomi Politik. Dalam penyusunan project
pilot ini, penulis mengalami kesulitan dan penulis menyadari dalam penulisan project pilot ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan project pilot ini. Maka, dalam kesempatan ini pula penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Hasbullah
Malau, S. Sos., M. Si selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Politik yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama proses penyelesaian
project pilot ini. Penulis sangat berharap semoga project pilot ini bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Padang, 25 Mei 2023

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN .................................................................................................1

A. Latar Belakang ..............................................................................................................1


B. Rumusan Masalah .........................................................................................................8
C. Tujuan Project Pilot ......................................................................................................8

BAB II: KAJIAN TEORI ..................................................................................................9

A. Ekonomi Politik .............................................................................................................9


B. Pedagang Kaki Lima...................................................................................................23

BAB III: HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................28

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................38

LAMPIRAN......................................................................................................................40

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ekonomi politik merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara ekonomi
dan politik, ada dua hal yang terkait dengan ekonomi politik yaitu pemerintah
(government) dan pasar (markets). Ekonomi politik juga mendiskusikan bagaimana
factor-faktor politik dapat mempengaruhi dan menghasilkan suatu fenomena terhadap
kebijakan-kebijakan ekonomi yang nantinya juga akan memepengaruhi keputusan
politik. Hubungan antara ekonomi dengan politik dapat dilihat dari formation of
economy policy, international trade, income inequality, war and disturbance, gdp
percapita income, and scams coruruption. Salah satu teori yang digunakan dalam
ekonomi politik adalah teori reinventing government.
David Osborne dan Ted Gabler menggagas konsep reinventing government
sebagai saran untuk membantu pencarian solusi pemerintah Amerika Serika pada
tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh
kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Kondisi tersebut tidak jauh
berbeda dengan kondisi Negara Indonesia pada saat ini, dimana pemerintahan telah
dilaksanakan dengan pendelegasian Sebagian kewenangan dan pemberian otonomi
kepada pemerintah daerah. Tujuan pemberian otonomi daerah adalah agar pemerintah
daerah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mampu mengurus
rumah tangganya sendiri. Dengan arti bahwa daerah dengan optimal dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki, mampu mandiri dalam pelaksanaan
pemerintahan dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Reiventing government merupakan suatu konsep dimana pemerintahan dapat
diwirausahakan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada namun
menggunakannya dengan cara yang baru guna mencapai efisiensi dan efektifitas
sehingga dapat memenuhi kebutuhan birokrasi. Tujuan reinventing government adalah
untuk dapat menumbuhkan sikap dan perilaku birokrat yang inovatif, adaptif
terkontrol oleh birokrasi sehingga bermartabat dan berorientasi kepada masyarakat,
untuk melakukan suatu perubahan haruslah memperhatikan peluang yang
memungkinkan untuk sukses dengan tidak melupakan risiko atau tetap menekan
risiko hingga seminimal mungkin maka dari itu hadirlah reinventing government
yang merupakan gagasan/ide yang baik untuk menata pemerintahan apabila didukung

1
penuh oleh seluruh aspek di negara ini yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta
dengan rasa cinta yang tinggi terhadap tanah air dan berkomitmen mencapai tujuan
Bersama yaitu kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Reinventing government merupakan cara birokrasi mengubah sistem atau
pengaturan agar pelaksanaan pemeritahan dapat berjalan secara akuntabilitas,
resposif, inovatif, professional, dan entrepreneur. Entrepreneur dimaksudkan agar
pemerintah daerah yang telah diberikan otonomi memiliki semangat kewirausahaan
untuk lebih inovatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dapat
menjawab tuntutan masyarakat di era globalisasi sehingga mewirausahakan birokrasi
bukan berarti birokrasi melakukan wirausaha untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya melainkan memberdayakan institusi agar produktivitas dan efisiensi
kerja dapat dioptimalkan.
Orborne dan Gabler (1992) dalam (Fatikha, 2019) merancang 10 alur piker
yang dinamai sebagai peta dasar dalam melakukan suatu restrukturisasi yang terdapat
dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How The
Enterpreneurial Spirit Is Transforming The Public Sector yaitu pemerintah katalis,
pemerintah milik masyarakat, pemerintahan yang kompetitif, pemerintahan yang
digerakkan oleh misi, pemerintahan yang berorientasi hasil, pemerintahan berorientasi
pelanggan, pemerintahan wirausaha, pemerintahan antisipatif, pemerintahan
desentralisasi, pemerintahan berorientasi pasar. Dari 10 prinsip/pola piker reinventing
government diatas terdapat prinsip bahwa pemerintah milik rakyat yang mana
pemerintah memberi wewenang daripada melayani yaitu masyarakat sebagai pemilik
pemerintahan harus dapat diberdayakan daripada terus-menerus dilayani. Pemerintah
memberikan wewenang kepada masyarakat untuk dapat mandiri dan inovatif dalam
memenuhi kebutuhannya dalam pelayanan.
Prinsip lainnya yaitu pemerintah berorientasi pasar yang mana melakukan
perubahan melalui pasar, pemerintah entrepreneur merespon perubahan lingkungan
bukan dengan pendekatan tradisional, tetapi lebih pada strategi yang inovatif untuk
membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Strategi yang
digunakan adalah membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan
efisien dan menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama, karena
pasar bersifat kompetitif, efektif, dan efisien. Maksud dari pemerintah berorientasi
pada pasar adalah dalam penyelenggaraan pelayanan, pemerintah hendaknya
mengikuti situasi pasar, tidak hanya berkutat pada program-program kerja yang
2
monoton karena biasanya diarahkan pada konstituen saja, berbau politik, tidak tepat
sasaran, terfragmentasi, serta bukan merupakan suatu tindakan korektif tetapi lebih
mengacu pada kondisi stagnan sebagai akibat dari minimnya perubahan yang
signifikan.
Cara merestrukturisasi pemerintahan menjadi berbasis mekanisme pasar
adalah melalui penyusunan produk hukum yang tegas terhadap mekanisme pasar,
penciptaan informasi terhadap masyarakat, mengutamakan permintaan dan kebutuhan
masyarakat, mengkatalisasi penyediaan oleh sektor swasta, yang kesemuanya ini akan
dikondisikan melalui suatu Market’s Institusi yang akan menekan atau mengurangi
kesenjangan pasar. Kemudian hal yang tidak kalah penting adalah merekomendasikan
sektor pasar yang baru, mengurangi risiko usaha, serta merubah kebijakan Investasi
Publik yang tidak mencekik leher. Dalam kondisi ini, pemerintah hendaknya menjadi
perantara antara pembeli dan penjual melalui pengenaan pajak dan retribusi pada
setiap aktivitas usaha, serta penyediaan pelayanan atas dasar pembiayaan masyarakat.
Hal ini akan lebih mudah dicapai apabila dibentuk suatu Komunitas Pelayanan
sehingga lebih mudah dikontrol.
Pasar merupakan salah satu tempat terjadinya jual beli barang maupun jasa.
Selain itu di dalam pasar terjadi hubungan sosial antara pedagang dan pembeli.
Penjual dan pembeli dapat bertransaksi atau sepakat dalam akad jual beli. Transaksi
yang disepakati meliputi barang, penjual, pembeli, dan harga barang. Pasar juga
menjadi tempat yang menentukan laju perekonomian suatu daerah dengan
dipengaruhi beberapa factor salah satunya politik karena adanya interaksi sosial yang
terjadi dalam pasar. Perdagangan yang terjadi di pasar membutuhkan tenaga kerja
yang jumlahnya tidak sedikit, maka dengan ini semakin luasnya suatu pasar maka
semakin besar pula tenaga kerja yang dibutuhkan. Berarti pasar juga ikut membantu
dalam mengurangi pengangguran di dalam negara dengan memanfaatkan sumber
daya manusia melalui penyediaan lapangan kerja sehingga tingkat erekonomian juga
semakin membaik. Ada beberapa jenis pasar salah satunya pasar berdasarakan
transaksi yaitu ada pasar tradisional.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan pasar tradisional terbanyak
yang menyebar di beberapa daerah yaitu dengan jumlah 15. 657 per tahun 2019.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik terlihat bahwa Provinsi
Sumatera Barat menduduki peringkat ke-11 dengan jumlah pasar tradisional sebanyak
491 lokasi pasar.
3
Gambar 1. 1
Informasi Badan Pusat Statistik

Sumber: Badan Pusat Statistik

Salah satu pasar tradisional terbesar di Provinsi Sumatera Barat adalah Pasar
Raya Padang. Pasar Raya Padang adalah pasar tradisional terbesar yang menjadi pusat
perdagangan utama di Kota Padang yang berlokasi di Kampung Jao, Kecamatan
Padang Barat. Memasuki tahun 2000, Pasar Raya Padang mulai mengalami
kemunduran seiring hilangnya Terminal Lintas Andalas dan Terminal Goan Hoat yang
memiliki peran vital dalam mobilitas warga dan komoditas. Kedua terminal tersebut
berubah mejadi pusat perbelanjaan modern Plaza Andalas dan SPR Plaza. Meski
mendapat penolakan dari ribuan pedagang Pasar Raya Padang, Wali Kota Padang
Fauzi Bahar tetap meneruskan pembangunan pusat perbelanjaan di bekas terminal.
Sementara itu, para pedagang kaki lima yang sebelumnya berjualan di lingkungan
terminal beralih memakai sebagian besar badan jalan sehingga membuat semrawut
kondisi pasar. Puncak kemunduran Pasar Raya adalah bencana gempa bumi 2009
yang menghancurkan infrastruktur pasar.
Pedagang kaki lima yang berjualan tidak tertib mengakibatkan kesemrawutan
dan mengganggu akses mobilitas masyarakat, maka dihadirkanlah Peraturan Daerah
Kota Padang No 3 Tahun 2014 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima dan Peraturan Walikota Padang No. 438 Tahun 2018 tentang jam operasional
dan lokasi berjualan pedagang kaki lima. Komunitas Pedagang Pasar (KPP) Padang
juga mengapresiasi usaha Pemerintah Kota Padang dalam penertiban Pedagang Kaki

4
Lima (PKL) yang berada di sepanjang jalan Pasar Raya, akan tetapi Komunitas
Pedagang Pasar (KPP) Padang meminta pemerintah kota Padang melakukan
pencabutan Peraturan Walikota Padang No. 438 Tahun 2018 dikarenakan sudah tidak
efektif lagi untuk diberlakukan, sudah banyak aturan yang dilanggar terkait Perwako
No. 438 Tahun 2018 salah satunya mengenai jam operasional berdagang.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa pedagang di Pasar
Raya, pertama dengan Bapak Rinal (36 tahun) pedagang pemilik toko emas
berpendapat bahwa:
“…Pasar Raya ini merupakan etalase Kota Padang, maka dari itu kami
meminta Pemko Padang mencabut Perwako No. 438 Tahun 2018, karena
bagaimanapun jalan raya tidak untuk berdagang, dan trotoar adalah hak
para pejalan kaki…”

Bapak Rinal (36 tahun) juga berharap bahwa Pemko Padang merelokasi para
PKL yang berada di jalan dan trotoar di Pasar Raya ke lantai II bekas Padang Theater,
berikut hasil wawancarnya:
“…Di lantai II bekas Padang Theater bisa dijadikan tempat wisata
kuliner dan permainan anak. Kami menyarankan Pemko Padang
merelokasikan para PKL ke sana, jika jalanan di Pasar Raya sudah tertib
dari PKL. Niscaya ekonomi akan menggeliat di Kota Padang, akan tetapi
pedagang kaki lima juga menmberikan plust minus yaitu dengan adanya
pedagang kaki lima di depan tokonya dapat mencegah pencuri karena tidak
memberikan ruang untuk pencuri kabur dengan leluasa.”

Dikonfirmasi terpisah oleh Bapak Putra (28 tahun) pedagang pemilik toko
pakaian anak-anak di bawah Padang Theater menyambut positif usaha Pemko Padang
yang menertibkan PKL yang berdagang di sepanjang Pasar Raya hingga Permindo.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Syahrul (43 tahun) sebagai berikut:
“…Saya berterima kasih kepada Pemko Padang yang menertibkan PKL.
Tetapi, kami memohon agar petugas hadir setiap hati agar PKL mengikuti
aturan yang relah di tetapkan Pemko Padang…”
Senada dengan Bapak Putra, wawancara juga dilakukan dengan Ibu Heni (50
tahun) pedagang pemilik pakaian yang berdagang di bawah Padang Theater berharap

5
Pemko Padang komitmen dalam pengawasan PKL, hasil wawancara dengan Ibu Rini
(40 tahun):
“…Kalo saya berkeinginan, tidak ada PKL lagi. Oleh karena itu Perwako
No. 438 Tahun 2018 segera di cabut agar kami bisa berdagang Kembali
dengan baik…”

Sedangkan wawancara dengan beberapa pedagang kaki lima pasar raya,


sebagai berikut:
Pertama, hasil wawancara dengan Bapak Muslim (40 Tahun) yaitu beliau
merasakan sudah lebih terberdayakan oleh Pemerintah Kota dengan diberlakukannya
Keputusan Walikota No. 438 Tahun 2018. Berdasarkan paparan hasil wancara
dengan Bapak Muslim:
“…Saya sebagai pedagang kaki lima yang berjualan es merasa terbantu
sekali dengan diberlakukannya Keputusan Walikota No. 438 Tahun 2018
karena kami masih bisa berdagang dengan jam operasional yang sudah
ditentukan yaitu dimulai dari jam 15.00 WIB, dan saya juga berharap agar
pedagang tetap disini lebih dapat menerima kehadiran kami…”

Kedua, wawancara yang dilakukan dengan Ibu Kasmi (53 Tahun) selaku
penjual martabak:
“Dengan adanya upaya Pemerintah Kota Padang untuk memberdayakan
kami yang pedagang kaki lima ini kami sangat bersyukur karena dengan
disediakannya lokasi untuk berdagang, kami juga dapat mencari nafkah untuk
menghidupi keluarga…”
Pemerintah Kota Padang dan Dinas Perdagangan merespon keinginan dari
Komunitas Pedagang Pasar (KPP) Raya dengan mengusahakan untuk melakukan
pengawasan yang lebih ketat dan penertiban PKL setiap hari, sesuai Perwako No. 438
Tahun 2018 bahwa PKL dapat berjualan mulai pukul 15.00 WIB apabila Dinas
Perdagangan mendapati PKL yang melanggar akan melayangkan surat peringatan
kepada PKL yang bersangkutan. Dan Upaya pemerintah agar dapat memberikan
kenyamanan bagi seluruh masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidupnya
melalui pemberdayaan, salah satunya memberdayakan Pedagang Kaki Lima dengan
melakukan revitalisasi pasar yaitu pembangunan Pasar Rya Fase VII dengan bantuan
dana Detail Engineering Design (DED) dari Pemerintah Pusat melalui Kementerian
PUPR. Anggarannya diperkirakan mencapai sebesar Rp. 127 M untuk membangun
Gedung tiga lantai disertai satu semi basement. Peletakan batu pertama untuk
pembangunan Pasar Raya Padang Fase VII direncakan pada bulan Juni 2023 nanti,
6
dalam revitalisasi pasar ini juga disediakan tempat bagi pedagang kaki lima agar
seluruh pedagang dapat diberdayakan secara sama. Dalam perencanaannya akan
dibangun sebanyak 288 unit kios dan diperkirakan akan menampung kurang lebih 600
pedagang, fasilitas yang akan disediakan di Pasar Raya Padang Fase VII tentunya
tidak dikenakan biaya sewa karena dibangun dengan biaya APBN dan tidak dipugut
biaya apapun, maka dari itu dengan adanya revitalisasi pasar ini diharapkan
pengelolaan tata ruang di Psar Raya lebih tertib dan aman. Desain Gedung Pasar Raya
Fase VII Padang disesuaikan dengan kearifan lokal Kota Padang.
Gambar 1. 2
Desaign Gedung Pasar Raya Fase VII Padang

Sumber: Website Padang. go. id


Pembangunan Gedung Pasar Raya Fase VII sudah melalui proses pelelangan
dan mendapatkan 41 tender, berikut informasi yang dikeluarkan oleh Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP):

7
Gambar 1. 3
Penyusunan Dokumen Amdal Pembangunan Gedung Fase VII Pasar Raya Padang

Sumber: Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP)

Dalam proses perencanaan pembangunan Pasar Raya Fase VII Padang


dipengaruhi oleh ekonomi dan politik, karena banyak pihak yang berpartisipasi di
dalamnya yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Maka dari itu berdasarkan latar
belakang yang sudah dipaparkan diatas, sehingga penulis ingin mengadakan
penelitian yang berjudul: Penerapan Ekonomi Politik Menggunakan Reiventing
Government dalam Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pasar Raya Kota Padang.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, maka penulis
menentukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh reinventing government dalam penataan dan pemberdayaan
pedagang kaki lima pasar raya Kota Padang?
2. Apa kendala dalam penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima pasar raya
Kota Padang?
3. Bagaimana proses upaya penyelesaian kendala dalam penataan dan pemberdayaan
pedagang kaki lima pasar raya Kota Padang?

8
C. TUJUAN PROJECT PILOT
Adapun tujuan dari project pilot ini adalah untuk lebih meningkatkan
pemahaman mahasiswa mengenai ekonomi politik serta peningkatan analisis
mengenai isu-isu dan kasus-kasus yang sedang terjadi. Dan tujuan lainnya adalah
sebagai pemenuhan tugas akhir mata kuliah Ekonomi Politik.

9
BAB II

KAJIAN TEORI

A. EKONOMI POLITIK
1. Pengertian Ekonomi Politik
Secara etimologi, ekonomi politik berasal dari dua suku kata, yaitu ekonomi
dan politik. Ekonomi berasal ari Bahasa Yunani, yaitu oikos yang artinya rumah,
dan nomos yang artinya aturan sehingga dapat didefinisikan sebagai manajemen
rumah tangga. Adapun politik berasal dari kata “polis” yang berarti “kota/negara”.
Dengan demikian ekonomi politik adalah manajemen terhadap urusan ekonomi
dalam sebuah negara.
Menurut Staniland (Deliarnov, 2006: 8) dalam (Fauzi & Al- Insany, 2019),
ekonomi politik memiliki makna sebuah studi tentang teori social dan
keterbelakangan. Namun ada juga pandangan lain jika ekonomi politik tidak
terbatas pada studi tentang teori social dan keterbelakangan. Hal ini dikemukakan
oleh Caoraso & Levine ( Deliarnov, 2006: 8) dalam (Fauzi & Al- Insany, 2019),
menurutnya ekonomi politik memiliki maksud untuk memberikan saran mengenai
pengelolaan permasalhan dalam ekonomi kepada para penyelenggara negara.
Menurut Bruno S. Ferry (1994) dalam (Mufti, 2018), ekonomi politik adalah
(gugusan teori yang didasarkan pada pemahaman mengenai) saling kebergantungan
antara ekonomi dan politik. Ekonomi dan politik berinteraksi dengan banyak cara
dalam rangka alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, stabilisasi. Ekonomi dan
politik tidak dapat dipisahkan. Ekonomi politik menjadi diskursus menarik dalam
perkembangan disiplin ilmu politik yang dapat diartikan berbeda oleh setiap
pemikir politik maupun ekonomi. Bagi Marx, seperti yang dijelaskan dalam
chapter oleh The Oxford Hanbook of Political Economy karya Barry dan Donald
Wittman, ekonomi politik diartikan Marx sebagai kepemilikan alat produksi yang
bergantung pada proses sejarah (Nurjaman, 2020). Dalam perkembangan ilmu
engetahuan, ekonomi politik merupakan studi interdisipliner yang mengacu pada
ilmu ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik dalam menjelaskan bagaimana institusi
politik, lingkungan politik, dan sistem ekonomi kapitalis, sosialis, komunis, atau
sistem yang saling memengaruhi. Ekonomi politik dapat dilihat sebagai metodologi
dalam lingkup kajian hubungan ekonomi dan politik. Hubungan itu dapat dilihat
dari perilaku institusi politik yang bekerja menghasilkan suatu kebijakan ekonomi.

10
Kajian ekonomi politik adalah mengaitkan seluruh penyelenggaraan politik,
baik yang menyangkut aspek, proses maupun kelembagaan dengan kegiatan
ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat ataupun yang diintrodusir oleh
pemerintah. Pendekatan ini meletakkan bidang politik subordinat terhadap
ekonomi, artinya instrumrn-instrumen ekonomi, seperti mekanisme pasar, harga
dan investasi dianalisis dengan mempergunakan setting politik tempat kebijakan
atau peristiwa ekonomi tersebut terjadi. Hal-hal yang dipelajari ilmu ekonomi
politik adalah penggunaan system kekuasaan dan pemerintahan sebagai instrumen
atau alat untuk mengatur kehidupan sosial atau sistem ekonomi.
Dalam pemaknaan politik sebagai otoritas, hubungan yang terkait antara
ekonomi dan politik dapat diartikan sebagai isu hubungan antara kekayaan dan
kekuasaan. Penciptaan dan pendistribusian kekayaan terkait erat dalam
permasalaha ekonomi, begitu juga dengan penciptaan dan pendistribusian
kekuasaan yang terkait dengan politik. Perbedaan antara segi ilmu ekonomi dan
ilmu politik sebagai ilmu kekayaan dan kekuasaan sekedar memiliki tujuan analitis.
Pada kenyataannya kekayaan dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain
(Mohtar Mas‟oed dalam Deliarnov, 2006: 7) dalam (Fauzi & Al- Insany, 2019).
Dalam pendekatan ekonomi politik, masalah yang dihadapi antara lain
mencakup variable-variabel politik, variable ekonomi, variable social budaya,
sedangkan factor-faktor yang berpengaruh meliputi: intervensi pemerintah,
perubahan kebijakan, Tindakan politik ekonomi, kenaikan harga di pasar,
kemerosotan daya beli masyarakat, kelangkaan sumber daya, revolusi social,
transformasi, komunikasi, dan informasi.
2. Pendekatan Ekonomi Politik
Secara teoritis, ada dua pendekatan ekonomi politik yang saling berhadapan,
yaitu pendekatan yang berpusat pada pasar (market oriented) dan pendekatan yang
berpusat pada negara (state oriented). Pendekatan yang berpusat di negara
didasarkan asumsi bahwa negara memiliki agenda sendiri dalam hubungannya
dengan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Asumsi
pendekatan ini sangat bertentangan dengan pendekatan ekonomi politik liberal
klasik ataupun turunannya neoliberal, bahwa peran pemerintah relative dibatasi
hanya sebagai penjaga stabilitas, yang memungkinkan pasar menjalankan
fungsinya dengan sempurna (Mufti, 2013: 193-194) dalam (Nainggolan , 2017).

11
James A. Caporaso dan David P. Levine (Nainggolan , 2017) menjelaskan
beberapa teori yang ada dalam ekonomi politik di dalam bukunya. Beberapa
diantaranya yaitu:
a. Pendekatan klasik
Pendekatan klasik dalam buku caporaso dan levine terbagi menjadi dua
bagian yang pertama adalah mengenai argumen tentang pasar yang mengatur
dirinya sendiri dan yang kedua adalah mengenai teori nilai dan ditribusi. Bagian
yang pertama membahas tentang sifat dari sistem pasar dan hubungan antara
pasar dan negara. Bagian yang kedua membahas tentang produksi dan
penggunaan surplus ekonomi. Bagian kedua ini lebih banyak mengambil dari
kontribusi – kontribusi terbaru di masa modern yang menggunakan pendekatan
klasik. Dalam pendekatan klasik para pemikir ekonomi politik dari era klasik
mengajukan dan menguraikan dua ide utama yaitu bahwa ilmu ekonomi dapat
dipandang sebagai berdiri sendiri dan bahwa bidang ekonomi politik adalah
bidang yang lebih penting daripada yang lain (Caporaso dan Levine, 2015: 68-
69).
b. Pendekatan Marxian
Penganut Marxian ada yang memandang politik sebagai pemisah antara
masyarakat sipil dari wilayah publik (di mana hak kesetaraan dianggap hanya
ada dalam wilayah publik), politik sebagai peran negara dalam mengelola
kepentingan. Pendekatan Marxian terhadap ekonomi politik, berusaha untuk
memahami hubungan anatara negara dengan perekonomian.
Teori Marxian lebih memfokuskan pada proses-proses reproduksi yang
bersifat objektif dan tidak memfokuskan telaahnya pada proses subjektif yaitu
penentuan peringkat peluang atau pembuatan pilihan oleh individu. Konsep
kelas merupakan konsep utama dari teori Marxian. Istilah ekonomi politik yang
digunakan dalam teori marxian merujuk pada sebuah cara berpikir tentang
perekonomian yang didasarkan pada metode dan teori dari pemikir-pemikir
ekonomi klasik. Metode ini menekankan pada ide bahwa perekonomian pasar
bekerja menurut prinsip-prinsip reproduksi dan ekspansi sistem
kesalingtergantungan material antar orang dengan kata lain pemabagian kerja
sosial. Tiga aliran dalam pendekatan Marxian yaitu politik revolusioner, politik
kompromi kelas, teori negara marxis (Caporaso dan Levine, 2015: 123-178).

12
c. Pendekatan Neo Klasik (Solow-Swan)
Ide utama dari pemikiran neoklasik adalah “pilihan yang dibatasi”
(constrained choice). Konsep ini memandang individu sebagai pelaku utama
yang membuat pilihan atau orang yang harus memilih dari beberapa alternatif
tindakan berdasarkan pandangan atau imajinasinya sendiri tentang dampak dari
tiap-tiap alternatif itu bagi dirinya sendiri (Caporaso dan Levine, 2015;184).
Membangun sebuah ilmu ekonomi politik berdasarkan pendekatan neoklasik
adalah sama dengan mempertimbangkan masalah kegagalan pasar (karena
pendekatan neoklasik sebanarnya tidak membutuhkan politik dan lebih
menekankan ekonomi, maka politik baru diperlukan ketika kalau ekonominya
gagal, atau dengan kata lain kalau pasarnya sudah gagal). Ekonomi politik
neoklasik menelaah situasi-situasi dimana pasar tidak berhasil memberikan
peluang kepada individu-individu untuk mencapai level pemenuhan kebutuhan
yang semaksimal mungkin sesuai dengan suber daya yang tersedia (Caporaso
dan Levine, 2015: 202).
d. Pendekatan Keynesian (Harrod-Domar)
Ekonomi Politik Keynesian mengajukan kritik terhadap konsep pasar yang
meregulasi dirinya sendiri yang banyak digunakan oleh para pemikir klasik dan
neoklasik. Kritik dari pendekatan keynesian mengatakan bahwa kegagalan
untuk menemukan pembeli bisa jadi merupakan masalah sistematik yang tidak
ada hubungannya dengan ketidakcocokan anatara apa yang diproduksi dengan
apa yang diperlukan, melainkan bia disebabkan karena kegagalan dari
mekanisme pasar itu sendiri untuk menarik pembeli-pembeli yang memiliki
daya beli yang cukup. Dengan kata lain pasar gagal untuk mempertemukan
permintaan dengan pasokan. (Caporaso dan Levine, 2015: 237).
Pemikir Keynesian mengajukan argumen bahwa stabilitas dan kecukupan
dari fungsi pasar bisa didapatkan dengan menggunakan mekanisme-mekanisme
otomatis, yaitu dengan menggunakan sarana administratif dan bukan politik.
Pendekatan Keynesian memfokuskan pada ketidak stabilan proses reproduksi
dengan pertumbuhan dalam perekonomian kapitalis. Keynes menyimpulkan
bahwa kalau perekonomian kapitalis dibiarkan bekerja tanpa intervensi, maka
akan terjadi dimana situasi dimana sumberdaya yang ada tidak temanfaatkan
secara penuh. Dengan kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah harus diadakan

13
untuk menjamin adanya stabilitas dari proses reproduksi dan adanya penyerapan
tenaga kerja secara memadai (Caporaso dan Levine, 2015: 238-243).
e. Pendekatan berbasis Negara
Pendekatan ini terdapat Pendekatan Utilitarian. Eric Nordlinger berusaha
untuk menerapkan pendekatan utilitarian pada negara-negara yang bertindak
menurut agenda mereka sendiri. Istilah “Negara” menurut Nordlinger merujuk
pada semua individu yang memegang jabatan dimana jabatan ini memberikan
kewenangan kepada individu-individu untuk membuat dan menjalankan
keputusan-keputusan yang mengikat pada sebagian atau keseluruhan dari
segmen-segmen dalam masyarakat. dalam pandangan Nordlinger Otonomi
Negara adalah berbentuk kemampua dari para pejabat negara untuk
melaksanakan pilihan-pilihan mereka dengan cara menterjemahkan pilihan-
pilihan itu kedalam kebijakan publik, yang bisa selaras atau bisa juga
bertentangan dengan pilihan-pilihan dari orang lain yang bukan pejabat negara
(Caporaso dan Levine, 2015: 452).
Itulah beberapa teori yang ada dalam ekonomi politik, dimana pada intinya
ada pasar yang menguasai negara dan sebaliknya negara yang menguasai pasar.
Teori yang akan saya gunakan yaitu ekonomi politik neoklasik khususnya dalam
model pendekatan terpusat ke negara ekonomi tidak beroperasi secara bebas
dalam ruang hampa, tetapi ada keseimbangan antara pasar dan negara, dimana
negara ikut menetukan bagaimana ekonomi beroperasi. Artinya dalam perspektif
ekonomi politik neoklasik khususnya dalam model terpusat ke negara kita
melihat negara berperan lebih aktif (Deliarnov, 2006: 66). Menurut Caporaso
dan Levine (1993) dalam buku deliarnov menyebutkan, pendekatan terpusat ke
negara tidak mesti dimulai dengan kegagalan pasar dalam mengidentifikasi
peran politik vis a vis peran ekonomi. Jika negara punya tujuan-tujuan sendiri,
dan jika dalam upaya mengejar tujuan-tujuan tersebut membawa implikasi
terhadap peristiwa-peristiwa ekonomi dan institusi-institusi ekonomi, maka
negara bisa mengontrol ekonomi bukan untuk mengontrol kegagalan pasar,
tetapi demi mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Negara punya kemampuan untuk
menentukan dan mengejar agenda yang tidak ditentukan oleh kepentingan
privat.

14
3. Negara dalam Ekonomi Politik
Dalam sub disiplin ekonomi politik, peran negara dibedakan secara tajam
berdasarkan tipe ideologi ekonomi politik yang digunakan. Ketiga tipe tersebut
adalah kapitalisme klasik, kapitalisme modern, dan neoliberalisme. Tiga tipe ini
merupakan turunan dari ideologi liberalisme. Liberalisme muncul sebagai reaksi
atas dominasi gereja dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan otonomi
yang dimiliki, gereja mengatur kehidupan manusia sehingga tidak memiliki
kebebasan dalam bertindak.
Kondisi ini memunculkan kritik dari berbagai kalangan yang menginginkan
adanya kebebasan dan otonomi individu atas dirinya sendiri. Liberalisme
berpandangan bahwa individu adalah pencipta dan penentu atas tindakan yang
dilakukannya, dengan konsep ini, liberalisme berpandangan bahwa kebebasan
adalah esensi dan keharusan agar manusia dapat berkembang secara penuh
(Humphrey: 1955) dalam (Mustofa, 2020). John Locke adalah filsuf yang
mempelopori liberalisme. John Locke berpendapat bahwa kebebasan yang menjadi
nilai dasar liberalisme dipahami sebagai ketidakhadiran intervensi eksternal dalam
aktivitas individu (Aida: 2015) dalam (Mustofa, 2020).
Manusia sejatinya memiliki tiga hak dasar (mutlak) yang tidak dapat
diganggu gugat, yaitu hak hidup, kebebasan, dan hak atas kepemilikan.
Liberalisme Locke atau dikenal dengan liberalisme klasik menjadi falsafah dasar
bagi Adam Smith dalam merumuskan konsep ekonomi klasik yang melahirkan
kapitalisme klasik. Pada dasarnya, konteks sosio-historis munculnya kapitalisme
klasik sama seperti munculnya liberalisme klasik, yaitu adanya dominasi gereja.
Pada abad pertengahan di Eropa, sistem ekonomi dijalankan dengan tekanan dan
monopoli dari gereja, negara, dan komunitas. Kaum feudal memainkan peran yang
cukup signifikan dalam perekonomian sehingga mempersempit ruang gerak
individu. Kondisi ini memunculkan reaksi dari berbagai kalangan, tokoh seperti
Voltaire, Diderot, D‟Alembert, dan Condilac muncul mempelopori abad
pencerahan, sehingga pada masa itu muncul gagasan agar mengedepankan otonomi
individu. Sebagai respon atas feodalisme ekonomi, Adam Smith melalui karya The
Wealth of Nations mencetuskan madzhab ekonomi klasik yang memunculkan
kapitalisme klasik dengan mendasarkan filsafatnya pada kebebasan setiap individu
dalam melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya. Mengenai
peran negara dalam perekonomian, Locke dan Smith, dalam konteks kapitalisme
15
klasik, beranggapan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki wewenang
terbatas terhadap kehidupan masyarakat, negara memiliki otoritas jika terdapat
ancaman dan ketidaktentraman di masyarakat.
4. Pasar dalam Ekonomi Politik
Dalam kehidupan ekonomi, pasar merupakan tempat pembeli (konsumen)
dan penjual (produsen dan pedagang) melakukan transaksi setelah adanya
kesepakatan harga dari kedua belah pihak. Pasar merupakan tempat
berlangsungnya permintaan (demand) yang diciptakan oleh konsumen dan proses
penawaran (supply) oleh pedagang. Oleh karena itu, pasar menjadi tempat yang
penting dalam perekonomian karena menurut Adam Smith, permintaan (demand)
dan penawaran (supply) merupakan elemen penting dalam studi ekonomi. Menurut
Bershal dan Cyril, pasar dalam studi ekonomi adalah tempat terjadinya permintaan
(dari pembeli) dan penawaran (dari penjual) terhadap barang dan jasa tertentu
sehingga pada akhirnya dapat menetapkan harga keseimbangan (harga pasar).
Sementara itu, W.J Stanton mendefinisikan pasar dalam tataran yang lebih
luas, yaitu tempat bagi setiap orang yang mempunyai keinginan untuk memenuhi
kebutuhan, mempunyai alat tukar, serta mempunyai keinginan untuk
mengalokasikan alat tukar untuk memenuhi kebutuhannya. Di dalam pasar,
terdapat kompetisi antara sesama produsen atau penjual untuk mempengaruhi
hegemoni konsumen dan menguasai pasar. Dalam konteks pasar, kompetisi
diartikan sebagai hubungan antara para penjual yang saling bersaing untuk
mendapatkan keuntungan, pangsa pasar, dan jumlah penjualan.
Para penjual berusaha memenangkan kompetisi dengan cara membedakan
harga, meningkatkan kualitas produk, dan menggencarkan promosi. Menurut Adam
Smith, seperti yang dijelaskan dalam karya The Wealth of Nations, kompetisi
dalam ekonomi akan mendorong alokasi faktor produksi ke arah yang bernilai
tinggi dan lebih efesien. Alokasi ini terjadi secara dengan sendirinya (invisible
hand) karena kondisi dalam siklus ekonomi mendorong adanya kompetisi. Dalam
konteks kompetisi, pasar dibedakan menjadi dua, yaitu pasar persaingan sempurna
dan pasar persaingan tidak sempurna.
Pasar persaingan sempurna merupakan struktur pasar dengan penjual dan
pembeli yang homogen. Pada pasar persaingan sempurna, penjual dan pembeli
tidak dapat mempengaruhi harga pasar karena harga akan ditentukan oleh
mekanisme penawaran dan permintaan. Produk yang ditawarkan dalam pasar
16
persaingan sempurna bersifat identik dan homogen, yaitu barang yang sama dan
pembeli dan penjual masing-masing memiliki informasi yang sempurna terhadap
pasar dan produk yang ditawarkan. Pada pasar jenis ini, setiap perusahaan (dalam
hal ini penjual) dengan bebas dapat keluar masuk pasar (free entry).
Pasar persaingan tidak sempurna merupakan struktur pasar yang terdiri dari
produsen (penjual) yang mempunyai kekuatan pasar dan mampu mengendalikan
harga produk. Pasar persaingan tidak sempurna terbagi atas tiga jenis, yaitu,
pertama, pasar monopoli, kedua, pasar monopolistik, dan ketiga pasar oligopoli.
Dalam pasar monopoli, hanya terdapat satu penjual dalam pasar, sementara
pembeli terdiri dalam jumlah yang banyak. Tidak ada substitusi produk karena
produsen lain tidak memiliki akses atas sumber daya atau faktor produksi
dikarenakan monopoli sumber daya oleh produsen tunggal, adanya paten dan hak
cipta yang dimiliki produsen tertentu, dan adanya hak monopoli dari pemerintah.
Pada pasar monopolistik, produsen dan penjual terdiri dalam jumlah yang banyak
dengan produk yang banyak dan sejenis, serta adanya perbedaan selera dan
orientasi konsumen terhadap produk-produk tertentu. Karakteristik pasar
monopolistik memiliki persamaan dengan pasar persaingan sempurna yaitu
banyaknya jumlah pembeli dan penjual, adanya kemungkinan penjual dan pembeli
untuk menentukan harga, proses keluar masuk pasar relatif mudah dan diperlukan
keunggulan dari setiap produsen untuk dapat bersaing. Pada jenis ketiga, yaitu
pasar oligopoli, merupakan jenis pasar yang di dalamnya hanya terdapat beberapa
penjual yang dapat mempengaruhi harga-harga barang yang dijual. Dalam jenis
pasar ini, terdapat hubungan antara satu penjual dengan penjual lain untuk secara
bersama-sama menentukan harga. Perusahaan juga harus saling bersaing
menguasai harga dan konsumen dengan meningkatkan brand dan menguasai
merek-merek dagang tertentu (differentiated product).
5. Teori Ekonomi Politik
Dalam ekonomi politik terdapat beberapa teori yang digunakan, yaitu
sebagai berikut (Mustofa, 2020):
a. Teori pilihan rasional (rational coice theory)
Boudon (2009) mengatakan bahwa teori pilihan rasional menekankan
pentingnya kata “rasional” dimana kata ini bermakna bahwa perilaku
merupakan proses koginisi yang harus dapat dijelaskan. Selain itu teori ini juga
dijelaskan menggunakan istilah “utility maximizing approach” berupa konsep
17
bahwa seseorang akan melakukan pilihan yang sangat menguntungkan bagi
dirinya. Konsep utility maximizing approach mungkin bisa dilihat kesamaannya
dengan teori pilihan rasional dari eksperimen Neumann (1959) yang bertujuan
untuk menjawab pertanyaan “seberapa banyak pemain harus bermain untuk
mendapat keuntungan maksimal?”.
Konsep Teori Pilihan Rasional secara teoritik bisa sangat kuat namun ketika
menjelaskan fenomena sosial menjadi sangat lemah (Boudon, 2009). Pada saat
memprediksi kemungkinan munculnya perilaku seseorang bisa jadi teori ini
sangat bermakna sehingga survey-survey menjelang pemilihan umum menjadi
sumber yang dianggap paling dipercaya untuk menjelaskan kemungkinan siapa
yang akan dipilih oleh responden. Namun jika terjadi fenomena, sebagaimana
ketidak-sesuaian hasil survey dalam contoh diawal maka teori ini sangat lemah
dalam menjelaskan fenomena tersebut.
Boudon (2009) mengatakan bahwa teori pilihan rasional memiliki enam
postulat, yaitu:
1) Setiap fenomena sosial adalah akibat dari pilihan seseorang, perilaku, sikap,
dsb.
2) Perilaku dapat dipahami. Postulat pertama menunjukkan bahwa fenomena
sosial merupakan gambaran dari berbagai aspek personal, diantaranya
pilihan, sedangkan postulat kedua menjelaskan bahwa fenomena tersebut
adalah rangkaian dari kejadiankejadian yang dapat dipahami.
3) Perilaku muncul sebagai akibat dari alasan-alasan yang ada dipikiran.
4) Alasan-alasan terhadap pilihan sebuah perilaku didasari pada penilaian
terhadap konsekuensi dari pilihan tersebut.
5) Penilaian terhadap konsekuensi didasarkan pada akibat yang akan
dirasakannya oleh individu yang mengambil keputusan (egoisme).
6) Individu akan mengambil pilihan yang dirasakan paling menguntungkan bagi
dirinya.
Kahneman & Tversky (1984: 343) menjelaskan bahwa kajian tentang
pilihan rasional memiliki dua prinsip utama, yaitu dominasi dan invariasi.
Konsep dominasi menunjukkan bahwa sesuatu sesuatu dipilih dari yang lain
karena sesuatu tersebut memiliki keunggulan dari yang lain. Namun demikian,
keunggulan tersebut tidak harus pada segala aspek namun setidaknya sesuatu
yang dipilih memiliki salah satu aspek yang lebh unggul daripada yang lain.
18
Prinsip ini menunjukkan bahwa pilihan tersebut akan sangat tergantung dari
keuntungan yang akan diperoleh.
Sedangkan konsep invariasi menunjukkan bahwa preferensi/minat dari
pemilih terhadap pilihan yag tersedia tidak tergantung pada cara pilihan tersebut
digambarkan. Dengan demikian, konsep pilihan rasional mengatakan bahwa
pilihan akan rasional apabila tidak dipengaruhi oleh cara menggambarkan
pilihan yang tersedia. Dengan demikian, seseorang akan memiliki pilihan yang
rasional jika pilihan-pilihan dijelaskan secara netral.
b. Teori reinventing government
Reinventing government merupakan perubahan sistem dan organisasi
pemerintah secara fundamental untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan
kemampuan instansi pemerintah dalam melakukan inovasi. Perubahan ini
dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif (remunerasi),
pertanggungjawaban (transparansi dan akuntabilitas), struktur kekuasaan dan
budaya, sistem, serta organisasi pemerintahan (Osborne, 1993).
Reinveting Government yaitu praktik manajemen publik yang didukung
oleh birokrasi dengan semangat kewirausahaan. Beberapa acuan utama dalam
menyelenggarakan pemerintahan yang berorientasi kewirausahaan menurut
prinsip dasar Osborne dan Gaebler (1992) yang harus diterapkan pada sektor
publik adalah:
Pertama, pemerintahan yang katalis, yaitu tidak hanya terfokus pada
penyediaan jasa publik, tetapi juga dalam mengkatalisasi seluruh sektor publik,
swasta, dan sukarelawan dalam bertindak menyelesaikan masalah di komunitas
mereka. Kedua, memberdayakan rakyat dengan memberikan wewenang dalam
pengendalian. (empowering rather than service). Ketiga, pemerintahan
kompetitif, menciptakan persaingan pelayanan. Keempat, pemerintahan yang
digerakkan oleh misi, mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan dan
regulasi. Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil, membiayai hasil bukan
masukan (funding outcomes, not input). Keenam, pemerintahan berorientasi
pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan dan menyediakan pilihan bagi
mereka. Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang
membelanjakan (earning rather than spending). Kedelapan pemerintahan yang
antisipatif: mencegah daripada mengobati, Kesembilan, pemerintahan
desentralisasi. Kesepuluh, pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak
19
perubahan melalui pasar (leveraging change through out the market). (Oesman,
2010).
Gagasan reinventing government yang dicetuskan oleh David Osborne dan
Ted Gaebler adalah gagasan yang mengkritisi dan memperbaiki konsep- konsep
dan teori-teori klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan
reinventing government dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler
pada tahun l992. Gagasan ini muncul sebagai respon atas buruknya pelayanan
publik yang terjadi di pemerintahan Amerika Serikat sehingga timbul krisis
kepercayaan terhadap pemerintah. (I Gusti Putu Budiana, 2017) Di dalam Buku
“Reinventing Government, How Intrepreneural Spirit Is Transporming In The
Public Sector” karya David Osborn dan Peter Plastrik (1993) dikategorikan
sebagai salahsatu karya yang banyak dibaca kalangan pemerhati ilmu
administrasi. Walaupun bukan untuk pertamankali, usaha menginjeksi semangat
keweirausahaan ke dalam sector public, buku tersebut memberikan nuansa
aplikasi penerapan disektor pengelolaan sumberdaya pemerintah lebih mudah di
pahami (Suwardi, 2015).
c. Teori pemberdayaan (empowerment)
Pemberdayaan adalah proses mengembangkan, memandirikan,
menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah
terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan
(Sutoro Eko dalam Cholisin: 2011). Menurut Permendagri RI nomor 7 tahun
2007 Pasal 1 ayat 8 tentang Kader pemberdayaan masyarakat, dinyatakan bahwa
pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam
pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan
kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Inti
pengertian pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat.
Tujuan dilaksanakannya pemberdayaan masyarakat adalah memampukan
dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan/
kesenjangan / ketidakberdayaan. Di dalam pemberdayaan masyarakat ada
beberapa strategi yang digunakan, yaitu:
1) Menciptakan iklim. Menciptakan iklim atau suasana yang memungkingkan
untuk mengembangkan potensi masyarakat. Titik tolak strategi ini adalah

20
pengenalan bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat
dikembangkan.
2) Memperkuat daya. Untuk meningkatkan daya atau kekuatan masyarakat
dapat dilakukan dengan pendidikan, meningkatkan derajat kesehatan, serta
mempermudah akses pada sumber kemajuan ekonomi.
3) Melindungi masyarakat. Dalam hal melindungi, kegiatan pemberdayaan
harus berfokus pada pencegahan yang lemah menjadi lebih lemah karena
ketidakberdayaan menghadapi yang kuat.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen,
seperti pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
pers, partai politik, lembaga donor, aktor-aktor masyarakat sipil atau oleh
organisasi masyarakat lokal sendiri. Hubungan antara ekonomi polit dan
pemberdayaan masyarakat adalah:
1) Kegiatan pemberdayaan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat yang dilakukan oleh berbagai elemen, salah
satunya pemerintah. Ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah,
salah satunya adalah membuat kebijakan yang berhubungan dengan
pemberdayaan masyarakat.
2) Kegiatan pemberdayaan yang lebih dekat dengan konsep ekonomi politik
adalah konsep pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan politik. Hal ini
disebabkan oleh perlunya keterlibatan masyarakat dalam sistem politik
untuk memberikan input pada sistem politik yang nantinya juga akan
kembali kepada masyarakat. Sedangkan dari segi ekonomi, masyarakat juga
harus belajar mandiri tanpa menimbulkan rasa ketergantungan pada
bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan juga usaha untuk
mengembangkan ekonomi mikro, usaha kecil dan menengah agar modal
masyarakat dapat terus berputar dan masyarakat mendapatkan keuntungan.
3) Kegiatan pemberdayaan yang dilakukan pemerintah juga dapat berupa
bantuan pembangunan prasarana untuk mendorong produktivitas dan
mendorong tumbuhnya usaha-usaha milik masyarakat.
4) Tidak hanya pemerintah, LSM yang juga terlibat dalam kegiatan
pemberdayaan juga dapat melakukan intervensi politik seperti
mempengaruhi kebijakankebijakan yang akan dibuat untuk kesejahteraan
masyarakat.
21
5) Ekonomi politik pembangunan melihat pemberdayaan masyarakat sebagai
salah satu alat yang dapat digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu
actor politik untuk mempengaruhi keputusan politik dan kebijakan public
agar terciptanya keputusan dan kebijakan ekonomi yang mampu
memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
6) Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang cenderung pada pemberdayaan
politik dan pemberdayaan ekonomi membantu pemerintah untuk
menciptakan keputusan politik dan kebijakan public serta mendorong
kegiatan pembangunan yang bersifat bootom up seperti yang saat ini
digunakan oleh Indonesia, yaitu dengan program Rencana Pembangunan
Jangka Panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana
Pembangungan Jangka Pendek baik ditingkat pemerintah pusat ataupun
pemerintah daerah.
d. Teori perspektif otonomi daerah
Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun l999 Pasal 1 ayat
h tentang Pemerintahan Daerah dirumuskan sebagai kewenangan daerah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pernyataan bahwa otonomi daerah merupakan
kewenangan daerah, sangat berbeda apabila dibandingkan dengan pengertian
otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun l974. Dalam penjelasan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa otonomi daerah lebih
merupakan kewajiban dari pada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut
melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai
kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab.
Ryas Rasyid (2000:78) dalam (Fatikha, 2019)menyatakan bahwa otonomi
daerah itu menyangkut pertanyaan seberapa besar wewenang untuk
menyelengarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang
rumah tangga daerah. Selanjutnya ditambahkan bahwa kewenangan otonomi
daerah di dalam negara kesatuan tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh
dari suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya sekehendak
daerah tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan.

22
e. Teori perspektif media
Ekonomi politik media terkait dengan masalah kapital atau modal dari para
investor yang bergerak dalam industri media. Para pemilik modal menjadikan
media sebagai usaha untuk meraih untung, dimana keuntungan tersebut
diinvestasikan kembali untuk pengembangan medianya. Sehingga
pengakumulasian keuntungan itu, menyebabkan kepemilikan media semakin
besar. Dalam menjalankan media, investor mempekerjakan karyawan untuk
menghasilkan produk media. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana
media memproduksi isi, mendistribusikan sehingga bernilai ekonomis, Vincent
Mosco menawarkan tiga konsep untuk mendekatinya yakni: komodifikasi
(commodification), spasialisasi (spatialization) dan strukturasi(structuration)
(Mosco, 1996:139) dalam (Fauzi & Al- Insany, 2019).
Teori ekonomi politik memiliki kekuatan pada tiga hal yaitu berfokus pada
bagaimana media dibangun dan dikendalikan, menawarkan penyelidikan
empiris mengenai keuangan media, dan mencari hubungan antara proses
produksi konten media dan keuangan media (Barant, 2010:263) dalam (Fatikha,
2019). Teori ekonomi politik media fokus pada media massa dan budaya massa,
dimana keduanya dikaitkan dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di
masyarakat. Teori ini mengindentifikasi berbagai kendala atau hambatan yang
dilakukan para praktisi media yang membatasi kemampuan mereka untuk
menantang kekuasaaan yang sedang mapan. Dimana penguasa membatasi
produksi konten yang dilakukan pekerja media, sehingga konten media yang
diproduksi tersebut kian memperkuat status quo. Sehingga menghambat
berbagai upaya untuk menghasilkan perubahan sosial yang konstruktif. Upaya
penghambatan para pemilik pemodal, bertolak belakang dengan teoritikus
ekonomi politik ini, yang justru aktif bekerja demi perubahan sosial.
Dalam project ini, penulis menggunakan teori reinventing government
untuk menganalisis penerapan ekonomi politik dalam penataan dan pemberdayaan
pedagang kaki lima pasar raya Kota Padang. Alasan penulis memilih reinventing
government dikarenakan terdapat sepuluh prinsip/pola piker sebuah birokrasi
dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur negara untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat agar menciptakan tatanan pemerintahan yang baik (good governance)
sekaligus memberdayakan masyarakat agar kesejahteraannya juga terwujud.

23
B. PEDAGANG KAKI LIMA
1. Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL)
Menurut Nugroho (2003: 159) dalam (Rukmana, 2020)Pedagang Kaki Lima
(PKL) adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan
komersial di atas daerah milik jalan (DMJ) yang diperuntukkan untuk pejalan laki.
Ada pendapat yang menggunakan istilah PKL untuk pedagang yang menggunakan
gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya
ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki"
gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki).
Menurut Damsar (2002:51) dalam (Rukmana, 2020)Pedagang Kaki Lima
(Sektor Informal) adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang
perorangan atau kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan
tempat-tempat fasilitas umum, seperti terotoar, pinggirpingir jalan umum, dan lain
sebagainya. Pedagang yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka tertentu
dengan menggunakan sarana atau perlangkapan yang mudah dipindahkan,
dibongkar pasang dan mempergunakan lahan fasilitas umum. Pedagang kaki lima
adalah sebagai hawkers yaitu orang-orang yang menawarkan barang-barang atau
jasa untuk dijual ditempat umum, terutama jalan-jalan trotoar. Pedagang kaki lima
juga bisa disebut wiraswasta adalah orang yang berjiwa pejuang, gagah, luhur,
berani layak menjadi teladan dalam bidang usaha dalam landasan berdiri diatas
kaki sendiri (Soeryanto, 2009:89) dalam (Hanum, 2019).
Pedagang kaki lima merupakan salah satu alternatif mata pencaharian sektor
informal yang termasuk ke dalam golongan usaha kecil. Usaha kecil dalam
penjelsan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan
usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan
ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan
dan peningkatan pendpaatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi
dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas
ekonomi pada khususnya.
2. Ciri-Ciri Pedagang Kaki Lima (PKL)
Menurut Susanto (2006:25) dalam (Saputra, 2018) salah seorang pengamat
dari Fakultas Hukum Unpar dalam hasil penelitiannya yang berjudul “Masalah
Pedagang Kaki Lima di Kotamadya Bandung dan penertibannya melalui operasi
TIBUM 1980”, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pedagang kaki lima
24
ialah orang (pedagangpedagang) golongan ekonomi lemah, yang berjualan barang
kebutuhan sehari-hari, makanan atau jasa dengan modal yang relatif kecil, modal
sendiri atau modal orang lain, baik berjualan di tempat terlarang ataupun tidak.
Istilah kaki lima diambil dari pengertian tempat di tepi jalan yang lebarnya lima
kaki (5 feet). Tempat ini umumnya terletak ditrotoir, depan toko dan tepi jalan.
Adapun ciri-ciri pedagang kaki lima adalah (Saputra, 2018):
a. Kegiatan usaha, tidak terorganisir secara baik.
b. Tidak memiliki surat izin usaha.
c. Tidak teratur dalam kegiatan usaha, baik ditinjau dari tempat usaha maupun jam
kerja.
d. Bergerombol di trotoar, atau di tepi-tepi jalan protokol, di pusatpusat dimana
banyak orang ramai.
e. Menjajakan barang dagangannya sambil berteriak, kadang-kadang berlari
mendekati konsumen.

Karakteristik aktivitas PKL dapat ditinjau baik dari sarana fisik dalam ruang
perkotaan. Karakteristik dari PKL dijabarkan oleh Simanjutak (2009: 44) dalam
(Saputra, 2018) sebagai berikut:

a. Aktivitas usaha yang relatif sederhana dan tidak memiliki sistem kerjasama
yang rumit dan pembagian kerja yang fleksibel.
b. Skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal kerja dan pendapatan yang
umumnya relatif kecil.
c. Aktivitas yang tidak memiliki izin usaha .
3. Kebijakan Publik terkait Pedagang Kaki Lima (PKL)
a. Kebijakan Publik:
Kebijakan publik berasal dari kata kebijakan dan publik. Menurut
Islamy (1991: 20) dalam (Evita, Supriyono, & Hanafi, 2018), kebijakan publik
(public policy) adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau
berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Pembuatan kebijakan merupakan suatu tindakan yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh pemerintah dan berorientasi pada upaya pencapaian tujuan
demi kepentingan masyarakat.

25
Suatu proses kebijakan, menurut Charles O. Jones (dalam Wahab,
2001, h.29) sedikitnya terdapat empat golongan atau tipe aktor (pelaku) yang
terlibat, yakni: a) golongan rasionalis; b) golongan teknisi; c) golongan
inkrementalis; d) golongan reformis.
b. Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Salah satu bentuk kebijakan publik dalam penataan pedagang kaki lima
adalah dengan adanya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 125 Tahun
2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Lebih lanjut Peraturan Presiden tersebut diperkuat dengan adanya Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan
mampu untuk mengatasi permasalahan pedagang kaki lima di perkotaan di
Indonesia.
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota Padang diatur
oleh Peraturan Daerah Kota Padang No. 3 Tahun 2014. Dalam Perda No. 3
Tahun 2014 disebutkan bahwa adanya Standar Operasional Prosedur pada saat
pelaksanaan penertiban pedagang kaki lima. Salah satu bentuk penataan
pedagang kaki lima adalah penetapan lokasi pedagang kaki lima seperti yang
dimaksud dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2014 tentang Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima bagian ledua tentang Penggolongan
Pedagang Kaki Lima Pasal 6 Huruf a menyebutkan bahwa penetapan lokasi
pedagang kaki lima ditetapkan dengan keputusan Walikota. Keputusan Walikota
tentang penetapan lokasi pedagang kaki lima tersebut adalah Keputusan
Walikota Padang No. 438 Tahun 2018 tentang Lokasi dan Jadwal Usaha
Pedagang Kaki Lima, yang menetapkan sebagai berikut:

Tabel 2. 1
Lokasi dan Jadwal Usaha Pedagang Kaki Lima
No. Lokasi/Jalan Jadwal
1. Jalan Pasar Raya 15.00 s/d 24. 00 WIB
2. Jalan Permindo 15. 00 s/d 24. 00 WIB
3. Jalan Sandang Pangan 09. 00 s/d 19. 00 WIB
4. Jalan Pasar Raya I 09. 00 s/d 19. 00 WIB
5. Gang Rajawali 15. 00 s/d 21. 00 WIB

26
6. Gang Berita 09. 00 s/d 18. 00 WIB
7. Gang /Selasar bagian tengah Pertokoan 09. 00 s/d 18. 00 WIB
Fase VII
8. Gang antara Fase VII dan Fase VII 09. 00 s/d 18. 00 WIB
tambahan
Sumber: Keputusan Walikota Padang No. 438 Tahun 2018
Selain masalah waktu, dalam Keputusan Walikota tersebut juga
disebutkan bahwa pedagang kaki lima dilarang untuk berjualan di beberapa
tempat, yaitu:
Tabel 2. 2
Lokasi atau Jalan yang Dilarang untuk Usaha bagi Pedagang Kaki Lima
No. Lokasi/Jalan
1. Lokasi Pasar Baru
2. Jalan M. Yamin
3. Bundaran Air Mancur
4. Jalan Hiligoo
5. Jalan Bundo Kanduang
6. Jalan Pasar Raya II
Sumber: Keputusan Walikota Padang No. 438 Tahun 2018

Pada bagian lain dalam Perda Kota Padang No. 3 Tahun 2014 tentang
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima tersebut yaitu pada bagian ke
empat tentang penyelenggaran pedagang kaki lima, pada paragraf a tentang
tanda daftar usaha pasal 12 ayat (1) bahwa setiap pedagang kaki lima harus
memiliki Tanda Daftar Usaha (TDU), itu artinya setiap pedagang kaki lima
harus dan wajib memili TDU tersebut sebagai legalitas dalam melakukan usaha
yang tujuannya adalah apabila terjadi relokasi pedagang kaki lima, mereka yang
memili TDU tersebut adalah prioritas untuk mendapatkan tempat atau lokasi
baru.
4. Revitalisasi Pasar
a. Pengertian Pasar
Menurut Sukirno (2003: 25) dalam (Alfianita, Wijaya, & Siswidyanto,
2019), pasar adalah suatu institusi yang pada umumnya tidak terwujud dalam
fisik yang mempertemukan penjual dan pembeli suatu barang. Secara umum
pasar dibedakan atas tradisional dan pasar modern. Menurut Sudarman (1992:
160 dalam (Alfianita, Wijaya, & Siswidyanto, 2019), pasar memiliki lima fungsi
utama, diantaranya adalah pasar menetapkan nilai (sets value), mengorganisasi

27
produksi, mendistribusikan barang, penyelenggaraan penjahatan, serta dapat
mempertahankan dan mempersiapkan keperluan masa yang akan datang.
b. Revitalisasi Pasar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) revitalisasi merupakan
proses, cara dan perbuatan memvitalkan (menjadi vital). Sedangkan vital
sendiri mempunyai arti penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan
sebagainya). Fokus utamanya pada struktur manajemen yang harus dikelola
dengan baik oleh aktor yang berkompeten, serta polanya mengikuti perubahan-
perubahan, sehingga benar jika konsep revitalisasi mengacu pada program
pembangunan.
Salah satu cara merevitalisasi yaitu menciptakan pasar tradisional
dengan berbagai fungsi dan kegunaan, seperti tempat bersantai atau tempat
rekreasi bersama dengan keluarga. Revitalisasi pasar tradisional bertujuan
meningkatkan pasar tradisional agar tetap bisa bersaing dengan pasar modern.
Menurut Paskarina dalam Mangeswuri dkk (2010: 320) dalam (Alfianita,
Wijaya, & Siswidyanto, 2019), dasar pertimbangan melakukan kerjasama
merevitalisasi pasar tradisional antara lain berubahnya pandangan pasar dari
tempat interaksi ekonomi menjadi ruang publik, yang difokuskan pada upaya
memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjualbelikan. Fungsi
pembangunan pasar juga diharapkan tidak hanya mencari keuntungan finansial
dan merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian perdagangan kecil
serta perlu melibatkan pengembang untuk dikelola secara kreatif.

28
BAB III

PROFIL ORGANISASI

A. PROFIL DINAS PERDAGANGAN KOTA PADANG


1. Alamat
Jl. Khatib Sulaiman No. 67 Kota Padang, Sumatera Barat.
Telp. 0751-7054307, email: disperdagangan@padang.go.id
B. STRUKTUR ORGANISASI DINAS PERDAGANGAN
Gambar 3. 1
Struktur Organisasi Dinas Perdagangan

Sumber: Dinas Perdagangan Kota Padang


C. VISI MISI DINAS PERDAGANGAN
1. Visi
“Mewujudkan masyarakat Kota Padang yang madani berbasis pendidikan,
perdagangan, dan pariwisata unggul serta berdaya asing”
2. Misi
a. Meningkatkan kualitas pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia
yang beriman, kreatif, inovatif, dan berdaya asing,
b. Mewujudkan Kota Padang yang unggul, aman, bersih, tertib, bersahabat, dan
menghargai kearifan lokal.
c. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kota Padang yang inklusif.
d. Mewujudkan Kota Padang sebagai pusat perdagangan dan ekonomi kreatif.
e. Meningkatkan kualitas pengelolaan pariwisata yang nyaman dan berkesan.
29
f. Menciptakan masyarakat sadar, peduli, dan tangguh bencana.
g. Meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan yang bersih dan pelayanan
publik yang prima.

30
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penerapan teori reiventing government dalam penataan dan pemberdayaan pedagang


kaki lima pasar raya Kota Padang oleh Pemerintah Kota Padang yang berkolaborasi dengan
Dinas Perdagangan dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) yaitu melalui
revitalisasi pasar yang mana akan dibangun pasar raya fase VII dan direncanakan peletakan
batu pertama pembangunan pada bulan Juni 2023. Pada Reiventing government terdapat 10
prinsip/pola pikir yang dipopulerkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992), sebagai
berikut:

1. Pemerintah Katalis (Catalytic Government: Steering Rather Than Rowing)


Mengarahkan daripada mengayuh. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan-
kebijakan strategis yang bersifat mengarahkan daripada dalam teknis pelayanan
(pengayuh). Dimana dengan peran pemerintah yang mengarahkan akan membutuhkan
orang yang mampu melihat seluruh visi dan mampu menyeimbangkan berbagai
kebutuhan, sedangkan pengayuh membutuhkan orang yang memfokuskan pada satu misi
dan melakukannya dengan baik.
Berbagai hal penting dalam pengkatalisasian ini adalah pentingnya menerjemahkan
kembali pemaknaan dari kepemerintahan, kemudian melakukan restrukturisasi dimana
kondisinya akan semakin kuat meski nyatanya semakin ramping, selanjutnya dilakukan
pemisahan antara steering dan rowing pada berbagai bidang pelayanan yang relevan,
serta menciptakan image bahwa pekerja pemerintah atau pegawai negeri bukanlah
menjadi korban dari sistem yang ada melainkan sebagai pihak yang diuntungkan. Setelah
itu, langkah berikutnya adalah menciptakan organisasi-organisasi pengarah, dengan
dilengkapi degan organisasi yang rela sebagai Third Sector atau voluntary yang non-
profit sebagai penyelenggara public service di berbagai bidang pelayanan yang
memungkinkan. Namun perlu diingat, dalam berbagai bidang yang lain, Second Sector
atau Privat Sector juga diberi peluang untuk menyelenggarakan pelayanan publik
melalui apa yang dinamakan dengan Privatization, sebagai salah satu alternativ yang
memungkinkan dalam konsep entrepreneural. Bilamana kondisi ini sudah tercipta, maka
diharapkan berbagai perbaikan mendasar akan tercipta melalui pengkatalisasian yang
konstan, diantaranya adalah dengan pemangkasan jumlah aparatur, menjaga stabilitas
budgeting, mencegah inflation, serta mengembalikan good image terhadap pemerintah.

31
2. Pemerintahan milik masyarakat (Community- Owned Government: Empowering Rather
Than Serving)
Memberi wewenang daripada melayani. Masyarakat sebagai pemilik pemerintahan
harus dapat diberdayakan daripada terus-menerus dilayani. Pemerintah memberikan
wewenang kepada masyarakat untuk dapat mandiri dan inovatif dalam memenuhi
kebutuhannya dalam pelayanan.
Beberapa hal yang mencakup bidang empowering adalah pergeseran berbagai hak
kepemilikan produk pelayanan publik dari tangan pemerintah kepada masyarakat umum
dimana peran pemerintah hanya sebagai pengarah saja, kemudian pendirian perumahan
umum yang lebih tertib, aman, bersih, harga terjangkau serta pendataan yang lebih
terorganisir. Selain itu berbagai hal yang dianggap penting dalam penyelenggaraan
pelayanan publik adalah memperbaiki peran profesional service menjadi community
service, sehingga pelayanan bukan ditujukan hanya untuk klien saja tetapi untuk semua,
serta pemberdayaan segenap lapisan masyarakat melaui demokrasi yang partisipatif.
3. Pemerintahan yang kompetitif (Competitive Government: Injection Competition Into
Service Delivering)
Menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Dengan adanya
kompetisi maka diharapkan aparat pemerintahan memiliki semangat juang yang tinggi
dalam bekerja, menghargai inovasi, dan dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kompetisi yang dimaksud di sini
adalah kompetisi dimana sektor publik vs sektor publik, sektor privat vs sektor publik,
dan sektor privat vs sektor privat. Kondisi ini dipercaya akan menciptakan suatu iklim
persaingan yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas dan berpengaruh pada harga
pelayanan publik. Berbagai keuntungan yang diperoleh dari kompetisi ini adalah tingkat
efisiensi yang lebih besar, pelayanan yang lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat,
menciptakan sekaligus menghargai suatu inovasi, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kebanggaan dan moralitas pegawai pemerintah.
4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi (Mission-Driven Government: Transforming
ules-Driven Organizations)
Mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Pemerintah memberikan
kesempatan dan kebebasan berkreasi dan berinovasi kepada unit-unit pemerintahan
sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan misi. Oleh karenanya peraturan yang ada
untuk ditaati, bukan sebagai penghambat. Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintah
yang digerakkan oleh Misi : Transformasi yang digerakkan aturan. Maksudnya adalah
32
pemerintahan akan berjalan lebih efisien apabila digerakkan bukan atas dasar aturan saja,
tetapi lebih kepada „misi‟, sehingga penganggaran yang dibutuhkan juga diarahkan pada
pencapaian misi sehingga lebih terkontol. Berbagai keuntungan yang diperoleh dari
mission-driven government ini adalah lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, dan lebih
fleksibel jika dibandingkan dengan ruled-driven organizations. Dengan keadaan ini,
maka diyakini bahwa moralitas sektor publik juga serta-merta akan meningkat. Kekuatan
dari mission-driven government ini adalah peningkatan insentif terhadap tabungan,
menciptakan kebebasan sumber daya dalam menguji ide-ide baru, mengacu pada
autonomy managerial, menciptakan lingkungan yang terprediksi, kemudian
menyederhanakan proses budgeting, serta mengurangi pengeluaran auditor dan kantor
pajak, yang pada akhirnya fokus pemerintah lebih leluasa terhadap isu-isu penting
lainnya.
5. Pemerintahan yang berorientasi hasil (Result-Oriented Government: Funding Outcomes,
Not Input)
Membiayai hasil, bukan masukan. Pemerintah lebih mementingkan hasil kinerja
yang dicapai daripada faktor masukan (input). Maksudnya adalah dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah hendaknya tidak terfokus pada input saja,
tetapi sebaiknya lebih kepada outcomes, sehingga outcomes dari suatu program
pemerintah pada akhirnya akan menjadi sebuah evaluasi baik-buruknya program
pemerintah tersebut. Pandangan ini mengacu pada performance. Beberapa hal yang
penting dalam performance measures terhadap pekerjaan yang dilakukan adalah
menghargai performance, kemudian memanage performance, dan menganggarkan
bidang performance.
6. Pemerintah beroerintasi pelanggan (Customer-Driven Governement: Meeing The Need of
The Customer, Not The Bureaucracy)
Memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. Pemerintah hendaknya
menyadari tugasnya sebagai pelayan masyarakat bukan yang dilayani oleh masyarakat,
sehingga pemerintah akan peka terhadap kebutuhan masyarakat dan berupaya
memberikan pelayanan yang optimal. Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintahan yang
berorientasi pada pelanggan : memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan kebutuhan
birokrasi. Maksudnya adalah penyelenggaraan pelayanan publik didasarkan pada
kebutuhan khalayak umum, bukan semata-mata memenuhi program kerja pemerintah
saja, melalui pendekatan terhadap masyarakat, sehingga image arogan pemerintah
berikut program-programnya tidak terjadi lagi. Keuntungan yang diperoleh adalah lebih
33
accountable, memperluas kesempatan pemilihan keputusan yang tepat, lebih inovatif,
memperluas kesempatan memilih antara dua jenis pelayanan yang pada dasarnya adalah
sama, mengurangi pemborosan, serta pemberdayaan pelanggan yang pada akhirnya akan
menciptakan keadilan.
7. Pemerintahan wirausaha (Entreprising Governement: Earning Rather Than Spending)
Menghasilkan daripada membelanjakan. Pemerintah sebagai suatu badan usaha
harus dapat mandiri dan meningkatkan produktivitasnya. Oleh karena itu, manajer/
pimpinan pemerintahan harus berpikir kreatif untuk mendapatkan penghasilan
(enterpreneur) dalam membiayai kebutuhan pelayanan publik. Berbagai hal yang perlu
dilakukan adalah merubah provit motive menjadi kegunaan publik, kemudian
meningkatkan pendapatan penambahan jumlah pajak dan retribusi, kemudian
membelanjakan anggaran untuk menyimpan uang dalam bentuk investasi yang
diperkiraan akan besar keuntungannya, kemudian para manajer yang ada diberi pengaruh
kewiraswastaan ( saving, earning, innovation, enterprise funds, profit centres ) serta
melakukan identifikasi lapangan terhadap benar-tidaknya pembiayaan pada
penyelenggaraan pelayanan.
8. Pemerintahan antisipatif (Anticipatory Government: Prevention Rather Than Cure)
Mencegah daripada mengobati. Pemerintah harus memiliki perencanaan strategis
dan memiliki daya antisipatif sehingga mampu mencegah daripada menanggulangi
masalah. Pencegahan ini diharapkan dapat mengurangi resiko timbulnya masalah yang
lebih kompleks. Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintahan yang Antisipatif: Mencegah
lebih baik dari pada menanggulangi. Maksudnya adalah hendaknya pemerintah merubah
fokus pelayanan yang sebelumnya bersifat mengobati kerusakan menjadi bersifat
pencegahan terhadap kerusakan, terutama pada bidang pelayanan kesehatan, lingkungan
dan polusi, serta pendegahan terhadap kebakaran melalui pembentukan future
commission dengan melandaskan kegiatannya pada perencanaan stratejik. Hal-hal yang
perlu dilakukan adalah penyusunan rencana budgeting jangka panjang dan lintas
departemen, membuat semacam dana cadangan guna persiapan beradaptasi terhadap
berbagai perubahan lingkungan, serta budgeting yang disusun dengan perhitungan jangka
panjang pula, dengan mempertimbangkan kebutuhan pemerintah regional, estimasi
ekonomi, serta perubahan sistem politik.
9. Pemerintahan desentralisasi (Decentralized Government: From Hierarchy to
Participatory and Team Work)

34
Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja. Pimpinan organisasi pemerintahan
harus dapat mengubah pola kerja hierarki menjadi pola kerja partisipasi dan kerja sama.
Sehingga akan memberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghasilkan
inovasi kerja serta lebih efektif dan efisien dalam proses pencapaian tujuan. Keuntungan
yang diperoleh adalah lebih fleksibel karena lebih cepat merespon perubahan kebutuhan
masyarakat, lebih efektif, lebih inovatif, serta meningkatkan moralitas, komitmen dan
produktifitas. Kemudian, dengan adanya desentralsasi ini, maka partisipasi dari pihak
manajemen juga akan lebih meningkat dan lebih percaya diri, yang selanjutnya akan
menciptakan organisasi yang bekerja sebagai sebuah tim kerja, sehingga inovasi dari
bawah akan lebih deras mengalir. Pada akhirnya, kondisi ini akan menciptakan invest in
the employee, di mana pada suatu saat bawahan tersebut akan memiliki kemampuan
yang lebih apabila diberi kepercayaan suatu tugas yang lebih berat atau jabatan yang
lebih tinggi dikemudian hari.
10. Pemerinbtahan berorientasi pasar (Market-Oriented Government: Leveraging Change
Through The Market)
Mendongkrak perubahan melalui pasar. Pemerintah harus memiliki strategi yang
inovatif sebagai enterpreneur dan mampu menciptakan perubahan melalui pasar.
Maksudnya adalah dalam penyelenggaraan pelayanan, pemerintah hendaknya mengikuti
situasi pasar, tidak hanya berkutat pada program-program kerja yang monoton karena
biasanya diarahkan pada konstituen saja, berbau politik, tidak tepat sasaran,
terfragmentasi, serta bukan merupakan suatu tindakan korektif tetapi lebih mengacu pada
kondisi stagnan sebagai akibat dari minimnya perubahan yang signifikan. Cara
merestrukturisasi pemerintahan menjadi berbasis mekanisme pasar adalah melalui
penyusunan produk hukum yang tegas terhadap mekanisme pasar, penciptaan informasi
terhadap masyarakat, mengutamakan permintaan dan kebutuhan masyarakat,
mengkatalisasi penyediaan oleh sektor swasta, yang kesemuanya ini akan dikondisikan
melalui suatu Market‟s Institusi yang akan menekan atau mengurangi gap pasar.
Kemudian hal yang tidak kalah penting adalah merekomendasikan sektor pasar yang
baru, mengurangi risiko usaha, serta merubah kebijakan Investasi Publik yang tidak
mencekik leher. Dalam kondisi ini, pemerintah hendaknya menjadi perantara antara
pembeli dan penjual melalui pengenaan pajak dan retribusi pada setiap aktivitas usaha,
serta penyediaan pelayanan atas dasar pembiayaan masyarakat. Hal ini akan lebih mudah
dicapai apabila dibentuk suatu Komunitas Pelayanan sehingga lebih mudah dikontrol.
Pada dasarnya Entrepreneural (R)evolution terjadi akibat adanya krisis, keresahan
35
terhadap Leadership dan Keberlanjutan Leadership, Peralatan Kesehatan, Visi dan
Tujuan bersama, Kepercayaan, Model suri tauladan, dan sumber daya luar. Namun
penulis menyarankan agar dilakukan penguasaan terhadap keseluruhan point penting dari
tulisan ini yang digunakan sebagai dasar pikir untuk melakukan suatu
perubahan.(Diambil dari buku David Osborn and Ted Gaebler yang berjudul Reinventing
Government/ Angger/PDTI).

Adapun upaya pemerintah dalam mengimplementasikan 10 prinsip dari teori reiventing


government untuk memberdayakan pedagang kaki lima, sebagai berikut:

1. Dinas Perdagangan tidak memenuhi tuntutan Komunitas Pedagang Pasar Raya Kota atas
penghapusan Keputusan Walikota Padang No. 438 Tahun 2018 tentang Jam Operasional
dan Lokasi Pedagang Kaki Lima karena lebih memilih untuk menyelesaikan
permasalahan terkait pedagang kaki lima yang tidak tertib saat berjualan sehingga
mengganggu mobilitas masyarakat, menghalangi bakan menutup toko pedagang yang
dibelakangnya yaitu dengan upaya penertiban dan pengawasan yang lebih ketat oleh
Dinas Perdagangan.
2. Pemerintah Kota Padang dan Dinas Perdagangan sangat menerima masukan dan
keluhan-keluhan dari Komunita Pedagang Pasar Raya Kota Padang terkait Pedagang
Kaki Lima, dan menampung saran-saran yang diberikan tetapi tidak dipungkiri bahwa
pemerintah Kota Padang juga memberikan ruang bagi masyarakat yaitu sesama
pedagang untuk menyelesaikan permasalahan mereka.
3. Pemerintah Kota Padang yang kompetitif dengan semangat juang yang tinggi dalam
bekerja, menghargai inovasi, dan dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yaitu dengan merencanakan pembangunan
pasar raya fase VII dan membuat kebijakan publik yang dapat melindungi pedagang kaki
lima yaitu Keputusan Walikota Padang No. 438 Tahun 2018 dan Perda No. 3 Tahun
2014.
4. Pemerintah Kota Padang juga berorientasi pelanggan, hasil dan pasar yaitu dengan
merencanakan revitalisasi pasar melalui pembangunan pasar raya fase VII agar pedagang
kaki lima mendapatkan kiot tetap dan ketertiban di badan jalan Pasar Raya juga dapat
ditanggulangi. Adapun jumlah kios yang akan disediakan pada revitalisasi pasar ini
adalah berjumlah 288 unit kios dan diperkirakan akan menampung kurang lebih 600
pedagang, fasilitas yang akan disediakan di Pasar Raya Padang Fase VII tentunya tidak
dikenakan biaya sewa karena dibangun dengan biaya APBN dan tidak dipugut biaya

36
apapun, maka dari itu dengan adanya revitalisasi pasar ini diharapkan pengelolaan tata
ruang di Psar Raya lebih tertib dan aman.
5. Dari perencanaan pembangunan pasar raya fase VII ini juga termasuk pada pemerintahan
yang antisipatif, dimana pemerintah lebih memilih untuk mencegah daripada mengobati
yaitu pemerintah Kota Padang memiliki perencanaan strategis dan memiliki daya
antisipatif sehingga mampu menertibkan jalan lalu lintas pasar raya sekaligus dapat
memberdayakan pedagang tetap dan pedagang kaki lima.
6. Penataan dan Pemberdayaan pedagang kaki lima pasar raya Kota Padang melalui
perencanaan revitalisasi pasar terlihat hierarki pemerintahan yang berpartisipasi di
dalamnya yaitu dimulai dari kementerian PUPR, Pemerintahan Kota Padang, Dinas
PUPR Kota Padang, Dinas Perdagangan Kota Padang.
7. Pemerintah Kota Padang yang berorientasi pada pasar yaitu terbukti pada Pemerintah
yang berupaya dalam membangun atau menyediakan lokasi untuk pedgang-pedagang di
Kota Padang agar lebih terbedayakan dengan tetap menjaga kebersihan dan kenyamana
lingkungan.

Adapun pengaruh ekonomi yang terdistribusi di pasar raya Kota Padang terhadap
keputusan politik di Kota Padang yaitu dari visi misi Dinas Perdagangan yang berorientasi
pada perdagangan sehingga Pemerintah Kota Padang mengeluarkan kebijakan publik berupa
Peraturan Daerah Kota Padang No. 3 Tahun 2018 tentang Penataan dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima untuk menyediakan lokasi berjualan agar tingkat ekonomi Kota Padang
dapat meningkat dengan berkurangnya tingkat pengangguran masyarakat Kota Padang.

Pedagang kaki lima juga diatur oleh Keputusan Walikota No. 438 Tahun 2018 terkait
jam operasional dan lokasi berjualan pedagang kaki lima kemudian memberikan pengaruh
terhadap perekonomian pedagang tetap atau pedagang yang sudah memiliki kios di dalam
pasar raya dikarenakan beberapa pedagang kaki lima menghalangi akses ke toko dikarenakan
pedagang kaki lima menutupi toko. Bahkan dengan adanya pedagang kaki lima membuat
lokasi parkir dipindahkan dan jarak ke kios-kios terlampau jauh untuk dijangkau oleh para
pelanggan. Pengaruh lainnya dari ekonomi di Pasar Raya adalah dikarenakan adanya tuntutan
dari pihak Komunitas Pedagang Pasar Raya Kota Padang akan penghapusan Keputusan
Walikota No. 438 Tahun 2018 maka Pemerintah Kota Padang berinisiatif untuk merelokasi
Pasar melalui pembangunan Pasar Raya Fase VII Kota Padang yang akan didanai oleh dana
Detail Engineering Design (DED) dari Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR.

37
Anggarannya diperkirakan mencapai sebesar Rp. 127 M untuk membangun Gedung tiga
lantai disertai satu semi basement.

Maka dari itu dari upaya pemerintah Kota Padang dan Dinas Perdagangan untuk tetap
memberikan kenyamanan dengan memberdayakan kedua belah pihak antara pedagang tetap
dengan pedagang kaki lima melalui reiventing government dapat diharapkan berjalan dengan
efektif dan sesuai harapan serta kebutuhan masyarakat Kota Padang.

38
DAFTAR PUSTAKA
Alfianita, E., Wijaya, A. F., & Siswidyanto. (2019). Revitalisasi Pasar Tradisional dalam
Perspektif Good Governance (Studi di Pasar Tumpang Kavupaten Malang). Jurnal
Administrasi Publik, 3(5).
Evita, E., Supriyono, B., & Hanafi, I. (2018). Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang
Kaki Lima (Studi pada Batu Tourism Center di Kota Baru). Jurnal Administrasi
Publik (JAP), 2(1).
Fatikha, A. C. (2019). Reiventing Government dan Pemberdayaan Aparatur Pemerintah
Daerah. Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah, VIII(1).
Fauzi, Q., & Al- Insany, A. (2019). Konsep Ekonomi Politik dalam Perspektif Ibnu Khaldun.
Jurnal Ekonomi Syariah dan Terapan, 6(1).
Hanum, N. (2019). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Pedagang Kaki
Lima di Kota Kuala Simpang. Jurnal Samudra Ekonomika, 1(1).
Mufti, M. (2018). Ekonomi Politik. Bandung: Pustaka Setia Bandung.
Mustofa, A. (2020). Ekonomi Politik Pembangunan: Kebijakan Privatisasi dan Aliansi
Politik BUMN. Surabaya: Unitomo Press.
Nainggolan , P. P. (2017). Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis Indonesia:
Pendekatan Ekonomi Politik. Politica, 7(1).
Nurjaman, A. (2020). Ekonomi Politik dalam Teori dan Praktek. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Rukmana, M. G. (2020). Efektivitas Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung. Jurnal Tatapamong, 2(1).
Saputra, R. B. (2018). Profil Pedagang Kaki Lima (PKL) yang Berjualan di Badan Jalan
(Studi di Jalan Teratai dan Jalan Seroja Kecamatan Senapelan). Jom FISIP, 1(2).

39
LAMPIRAN

Surat Perizinan Pengambilan Data ke Dinas Perdagangan Kota Padang

Foto dengan Sekretaris Dinas Perdagangan Kota Padang

40
Foto dengan Bapak Rinal selaku Pedagang Toko Emas

Foto dengan Bapak Putra selaku Pedagang Toko Pakaian Anak-Anak

41
Foto dengan Ibu Heni selaku Pedagang Toko Pakaian

Foto Ibu Kasmi selaku Penjual Martabak

Foto Bapak Muslim selaku Penjual Es

42
Foto beberapa Pedagang Kaki Lima Pasar Raya Kota Padang

43

Anda mungkin juga menyukai