Hubungan Polimorfi/variasi genetik gen dan farmakokinetik
1. Beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap metabolisme obat adalah gen P450, yang menyandi ekspresi dari enzim-enzim metabolisme obat yaitu CYP2C19, CYPIA1, CYP206, CYP2C9, CYP2E1. Variasi struktur dan fungsi dari enzim-enzim tersebut dapat menyebabkan meningkatnya efek samping dari berbagai jenis obat termasuk antidepresan, amfetamin, dan beberapa obat golongan beta-adreno receptor. Contoh : Perubahan bentuk enzim (Cytochrome P450 2C9 (CYP2C9) mengakibatkan berkurangnya aktivitas enzim untuk berikatan dengan substrat. Aktivitas enzim yang menurun akan menurunkan metabolism dari obat, sehingga akumulasi zat aktif di dalam tubuh akan meningkat yang akan berdampak pada peningkatan peluang terjadinya efek samping obat. Ada banyak golongan obat yang metabolismenya bergantung pada enzim CYP2C9, misalnya OAINS (Celecoxib, Diklofenak, dan Ibuprofen). Beberapa OAINS menunjukkan respon obat yang bervariasi berdasarkan berbagai polimorfisme genetik yang terjadi pada enzim metabolismenya. 2. Variasi allele pada enzim metabolisme obat lainnya yaitu thiopurine methyl transferase (TPMT), dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Polimorfisme pada enzim sering kali juga dapat meningkatkan efek toksik dari obat dibandingkan dengan individu normal. 3. Polimorfisme genetik yang berkaitan dengan transportasi obat Sebagai contoh gen MDR1(ABCB1). Polimorfisme MDR1 terjadi dalam berbagai kombinasi alelik. Frekuensi alel MDR1 berbeda, tergantung pada ras manusia. Sebagai contoh, polimorfisme C3435T yang terletak pada ekson nomer 26 individu asal Afrika memiliki frekuensi 73%-84% dan individu asal Eropa dan Asia memiliki frekuensi 34% - 59%. Gen MDR1 mengkode P-glikoprotein (PGP) yang merupakan transporter ATPBinding Casset (ABC) (Lee et al., 2005). ATP-ABC merupakan suatu cluster protein yang terdiri dari beberapa kelompok protein berbeda secara fungsional dan terlibat dalam pengangkutanzat kimia lintas membran sel. PGP terlibat dalam pengangkutan berbagai obat hidrofobik, termasuk agen kemoterapi sitotoksik (misalnya doxorubicin dan paclitaxel), hormon, dan serangkaian obat yang berbeda secara struktural. PGP ditemukan di jaringan normal, seperti kanalikuli dari hepatosit, tubulus proksimal ginjal, perbatasan sikat usus kecil, usus besar, kelenjar adrenal, endotelium kapiler otak dan testis (Lee et al., 2005). 4. Pengaruh Pemberian Steroid terhadap Tekanan Bola Mata Pada beberapa individu pemakaian steroid topikal (misalnya deksametason 0,1%) seeara berulang, dapat menyebabkan kenaikan tekanan bola mata. Hal ini dapat disebabkan karena adanya keanekaragaman genetik yang ditentukan oleh suatu gen otosom resesif. Fenotipe dalam populasi terbagi menjadi 3 kelompok, yakni: - Kelompok yang tidak memberikan reaksi kenaikan tekanan bola mata atau hanya memberikan reaksi kenaikan sedikit (kurang dari 5 mmHg) adalah individu- individu dengan genotipe dominan homozigot LL; - Kelompok yang memberikan reaksi kenaikan tekanan bola mata antara kurang lebih 5-15 mmHg pada pemberian steroid topical pada mata adalah individu- individu dengan genotype heterozigot LH; dan - kelompok yang memberikan reaksi kenaikan tekanan bola mata di atas 15 mmHg pada pemberian genotype resesif HH. Individu – individu dengan genotype heterozigot LH tenyata juga menderita resiko menderita glaucoma sudut sempit, 18 kali lebih besar dibanding individu – individu dengan genotype homozigot LL. Artinya angka kejadian glaucoma sudut sempit pada heterozigot LH, 18 kali lebih sering dibandingkan dengan kelompok homozigot LL. Obat mata yang mengandung steroid pada orang – orang dengan genotype HH dapat menyebabkan serangan akut glaucoma. 5. Ketidakmampuan mengecap Feniltiokarbamif (PTC), Propitiourasil (PTU) atau Tiopeton Ada bebrapa individu secara genetic tidak mampi mengecap pahitnya feniltiokarbamid (PTC). Bentuk keanekaragaman genetic ini ditentukan oleh gen otosom resesif. Pada individu kaukasoid frekuensinya kurang lebih 1/3 dari populasi 6. Down’s Syndrome Individu dengan sindrom ini ternyata mempunyai kepekaan yang berlebih terhadap obat antikolinergik, sehingga perlu berhati-hati dalam pemakaiannya Daftar Pustaka Putri, Alfin., Wathon, Syubbanul, 2018. Aplikasi Single Nucleotida Polymorhism (SNP) dalam Studi Farmakogenomik untuk Pengembangan obat. BioTrends. 9 (2). Radji, Maksum., 2005, Pendekatan Farmakogenomik dalam Pengembangan Obat Baru. Majalah Ilmu Kefarmasian. II (1). Sismadi, Sukmiasi., Budiono, Uripno., 2009. Pengaruh Variasi Genetika CYP2C19 terhadap Sedasi Midozolam Intravena. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 1 (2). Sudjarwo, Sri Agus., 2008. Peran Farmakogenetik dalam Pengobatan dan Penemuan Obat Baru. Pidato. Universitas Airlangga.