Anda di halaman 1dari 8

SEPARATION ANXIETY DISORDER

Kecemasan akan perpisahan atau dalam bahasa Inggrisnya disebut separation anxiety merupakan hal
yang penting untuk pertahanan hidup seorang anak dan normal terjadi pada usia-usia tertentu. Bahkan,
kurangnya kecemasan akan perpisahan pada usia sekitar tujuh bulan hingga tahun-tahun prasekolah
justru dapat menunjukkan adanya masalah insecure attachment atau masalah lain (pembahasan
tentang insecure attachment akan Anda pelajari secara lebih detil di Modul 10). Akan tetapi, jika
kecemasan bertahan sekurang-kurangnya hingga empat minggu dan mengganggu rutinitas harian secara
parah, seperti menolak untuk pergi ke sekolah, ada kemungkinan anak mengalami separation anxiety
disorder (Mash & Wolfe, 2010).

A. PENGERTIAN SEPARATION ANXIETY DISORDER

Anak dengan Separation Anxiety Disorder menampilkan kecemasan yang berlebihan dan tidak sesuai
dengan usianya saat berpisah dengan orang tua atau sosok terdekat lainnya dan hal ini berlangsung
paling tidak selama empat minggu berturut- turut dan menyebabkan gangguan pada rutinitas harian
dalam tingkat keparahan yang cukup tinggi (Mash & Wolfe, 2010). Dalam hal ini, anak mungkin memiliki
perasaan kecemasan yang samar-samar atau mimpi buruk yang berulang bahwa ia diculik atau dibunuh,
atau bermimpi tentang kematian orang tuanya (Mash & Wolfe, 2010). Seperti yang dikemukakan oleh
Schroeder dan Gordon (2002), anak dengan Separation Anxiety Disorder memiliki kekhawatiran yang
besar bahwa orang tua mereka akan terluka atau sekarat. Hal itu membuat mereka tidak ingin berpisah
dari orang tua dalam berbagai situasi, seperti saat hendak ditinggal ibu di sekolah ataupun saat ibu
hendak berangkat kerja. Mereka juga khawatir bahwa hal buruk akan menimpa mereka, misalnya diculik
atau tersesat, sehingga tidak bisa pulang kembali ke rumah.

B. PENYEBAB SEPARATION ANXIETY DISORDER

Terdapat sejumlah hal yang menjadi penyebab dari Separation Anxiety Disorder. Pertama adalah
penyebab yang berkaitan dengan faktor genetik. Terdapat bukti bahwa ada hubungan antara Separation
Anxiety Disorder pada anak dan riwayat kecemasan yang dialami oleh orang tua (Spitzer & Williams
dalam Bahadurian, 2006).

Penyebab kedua berhubungan dengan gaya pengasuhan orang tua. Ditemukan bahwa anak dengan
Separation Anxiety Disorder memiliki orang tua yang menerapkan pengasuhan yang bersifat
overprotective (terlalu melindungi anak). Pengasuhan yang overprotective akan membatasi kemampuan
anak untuk mandiri (Bahadurian, 2006). Anak pun merasa dirinya tidak mampu mengatasi tantangan
dengan caranya sendiri karena orang tua cenderung untuk mengontrol mereka (Jurbergs & Ledley,
2005). Keadaan tersebut dapat menjadi faktor risiko untuk munculnya anxiety disorder pada anak.

Hal ketiga yang menjadi penyebab Separation Anxiety Disorder adalah cara berpikir anak yang salah.
Kemunculan Separation Anxiety Disorder biasanya terkait dengan suatu kejadian yang tidak
menyenangkan, misalnya ibu terlambat menjemput anak sepulang sekolah. Pada saat mengalami
kejadian tersebut, anak mungkin mengembangkan cara berpikir yang salah dengan membuat gambaran
yang tidak realistis tentang kejadian yang mungkin terjadi di masa depan (Schroeder & Gordon, 2002).
Sebagai contoh, anak dapat berpikir "Ibu pasti besok akan terlambat lagi menjemputku dan aku akan
tinggal sendirian di sekolah. Bagaimana kalau tiba-tiba ada yang menculikku?". Umumnya, pemikiran
anak berkisar pada kejadian yang menakutkan, yang akan menimbulkan perasaan khawatir dan cemas.
Selanjutnya, perasaan tersebut akan mempengaruhi cara anak berperilaku.

Penyebab keempat dari Separation Anxiety Disorder terkait dengan adanya pengalaman yang bersifat
traumatis atau kejadian negatif yang dialami oleh anak (Haugaard, 2008). Dengan perkataan lain,
Separation Anxiety Disorder umumnya muncul setelah adanya kejadian yang memicu stres, seperti
kejadian pindah ke lingkungan yang baru, masuk ke sekolah baru, perpisahan, kematian, atau sakit yang
dialami oleh salah satu anggota keluarga, dan liburan yang diperpanjang (Mash & Wolfe, 2010).

Terakhir adalah adanya insecure attachment. Main, Kaplan, dan Cassidy (dalam Eisen & Schaefer, 2005)
memprediksi adanya hubungan antara insecure attachment dan kemunculan Separation Anxiety
Disorder pada anak. Secara detil, pembahasan tentang insecure attachment akan dibahas secara lebih
rinci di Modul 10.

C. KARAKTERISTIK ANAK DENGAN SEPARATION ANXIETY DISORDER

Terdapat gejala yang bervariasi pada anak yang mengalami Separation Anxiety Disorder, dengan anak
yang berusia lebih kecil ditemukan memiliki gejala yang lebih banyak (Masi, Mucci, & Millepiedi, 2001).
Mash dan Wolfe (2010) menggambarkan ciri-ciri gejala dari anak usia 5 hingga 8 tahun yang mengalami
Separation Anxiety Disorder yang meliputi kekhawatiran berlebihan bahwa sesuatu yang
membahayakan akan menimpa orang tua atau sosok terdekat mereka, adanya mimpi buruk dengan
tema-tema perpisahan, dan penolakan untuk pergi ke sekolah karena cemas berpisah. Akan tetapi,
dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak semua penolakan anak untuk pergi ke sekolah berkaitan dengan
Separation Anxiety Disorder. Anak dengan Separation Anxiety Disorder menolak pergi ke sekolah karena
mereka cemas berpisah dengan orang tuanya dan bukan karena alasan yang lain, seperti ada teman
yang mem-bully di sekolah atau tidak nyaman dengan kamar mandi sekolah.

Anak dengan Separation Anxiety Disorder sering menampilkan tuntutan yang berlebihan akan perhatian
orang tua dengan cara menggelendot orang tua mereka dan membuntuti ke mana pun orang tuanya
pergi (Mash & Wolfe, 2010). Mereka sering kali berusaha memastikan keberadaan orang tuanya. Pada
situasi baru, anak-anak dengan Separation Anxiety Disorder juga mengalami ketakutan dan mungkin
menampilkan keluhan-keluhan fisik. Biasanya mereka akan menjadi rewel, menangis, dan berteriak saat
orang tua meninggalkan mereka. Keluhan fisik ini mencakup jantung yang berdegup kencang, merasa
pusing, sakit kepala, sakit perut, dan mual. Pada masa selanjutnya, anak-anak dengan Separation
Anxiety Disorder akan semakin menarik diri, apatis, dan mengalami depresi.

Secara lebih detil, ciri-ciri utama dari Separation Anxiety Disorder dipaparkan dalam DSM-V, dan
meliputi hal-hal berikut ini:

1. Terdapat distress yang berlebihan ketika berpisah dari rumah atau ketika perpisahan dengan sosok
attachment utama terjadi atau diantisipasi akan terjadi.
2. Terdapat kekhawatiran yang berlebihan dan terus-menerus terkait dengan kehilangan, atau kejadian
yang membahayakan, seperti sakit, terluka, bencana, dan kematian, yang mungkin menimpa sosok
attachment utama.

3. Terdapat kekhawatiran yang terus-menerus bahwa kejadian yang tidak diinginkan akan mengarah
pada perpisahan dengan sosok attachment utama (misalnya, tersesat atau diculik, mengalami
kecelakaan, dan terserang penyakit)

4. Penolakan atau keengganan yang terus-menerus untuk keluar rumah, pergi ke sekolah atau tempat
lain karena memiliki ketakutan terhadap perpisahan

5. Keengganan atau ketakutan yang berlebihan dan terus-menerus untuk berada sendirian atau tanpa
sosok attachment utama saat berada di rumah ataupun dalam setting yang lain.

6. Penolakan atau keengganan yang terus menerus untuk tidur jauh dari sosok attachment utama atau
tidur jauh dari rumah.

7. Mimpi buruk yang berulang yang mencakup tema-tema perpisahan

8. Keluhan berulang tentang berbagai gejala fisik (seperti sakit kepala, sakit perut, mual, dan muntah)
ketika perpisahan dari sosok attachment utama terjadi atau diantisipasi akan terjadi.

Separation Anxiety Disorder umumnya berkembang dari tingkatan ringan ke parah (Mash & Wolfe,
2010), dimulai dari permintaan-permintaan yang tidak membahayakan atau adanya keluhan seperti
gelisah saat tidur atau mimpi buruk hingga keinginan anak untuk tidur di malam hari di kamar orang
tuanya (untuk anak yang sebelumnya sudah terbiasa tidur di kamar terpisah). Jika dihubungkan dengan
kegiatan sekolah di pagi hari, Separation Anxiety Disorder dimulai dari keluhan fisik dan sesekali tidak
hadir ke sekolah hingga perilaku tantrum setiap hari ketika ditinggal di sekolah ataupun menolak pergi
ke sekolah.

Adapun Haugaard (2008) membedakan tingkatan Separation Anxiety Disorder berdasarkan


intensitasnya. Anak yang memiliki Separation Anxiety Disorder dengan intensitas yang ringan umumnya
menampilkan perilaku seperti memperlama proses persiapan pergi ke sekolah dengan sengaja, sulit
berkonsentrasi selama di berada di sekolah, dan berusaha untuk sesegera mungkin kembali ke rumah.
Anak yang memiliki Separation Anxiety Disorder dengan intensitas yang sedang umumnya berupaya
untuk dapat diperbolehkan tidak masuk sekolah, menolak bermain dengan teman-teman di luar rumah,
dan berusaha untuk selalu dekat dengan orang tuanya saat sedang berada di rumah. Selanjutnya, anak
yang memiliki Separation Anxiety Disorder dengan intensitas yang tinggi umumnya sudah benar-benar
menolak untuk pergi ke sekolah.

Seperti dikemukakan di awal Kegiatan Belajar ini, separation anxiety bisa saja menjadi satu hal yang
normal. Untuk membedakan mana separation anxiety yang masih berada pada tahap normal dan mana
yang sudah tergolong masalah klinis, Klein dan Pine (dalam Knell & Dasari, 2006) memaparkan tiga
dimensi yang menjadi dasar pembeda. Berikut akan dijelaskan ketiga dimensi tersebut.
1. Dimensi Intensitas

Dimensi ini merujuk pada proporsional-tidaknya tingkat distres yang dialami anak ditinjau dari tahap
perkembangan anak, objek, atau situasi tertentu. Sebagai ilustrasi kasus, coba Anda amati anak di hari
pertama masuk Taman Kanak-kanak. Hampir semua anak mungkin mengalami stres dan ini adalah reaksi
yang wajar. Yang membedakan adalah bahwa anak-anak dengan separation anxiety yang tergolong
klinis, atau memenuhi kriteria Separation Anxiety Disorder, akan menunjukkan intensitas kecemasan
yang lebih besar, seperti menampilkan perilaku menangis, tantrum, dan sama sekali menolak untuk
ditinggal orang tua. Serupa dengan anak yang memiliki separation anxiety tergolong klinis, anak dengan
separation anxiety yang tergolong normal juga menunjukkan kesedihan dan perilaku menangis saat
ditinggal oleh orang tua mereka. Akan tetapi, mereka dapat menenangkan dirinya sendiri dalam waktu
yang tidak lama.

2. Dimensi Kerusakan

Dimensi ini berhubungan dengan signifikan-tidaknya tingkat distres yang dialami anak hingga
mengganggu fungsi rutinitas hariannya. Sebagai contoh, anak yang menolak pergi sekolah karena tidak
mau berpisah dengan orang tuanya kemungkinan akan tertinggal pelajaran dan hal ini tentu akan
mengganggu performa akademisnya.

3. Dimensi Fleksibilitas

Dimensi ini terkait dengan mampu tidaknya anak pulih dari keadaan distres yang dialami ketika objek
atau kejadian tertentu tidak ada. Anak dengan separation anxiety yang tergolong klinis umumnya
merasa cemas bahwa orang tuanya mungkin akan pergi di kemudian hari. Rasa cemas yang intens ini
sulit membuat anak untuk pulih dari keadaan distres, bahkan saat kejadian perpisahan belum benar-
benar terjadi.

D. STRATEGI PENANGANAN UNTUK ANAK DENGAN SEPARATION ANXIETY DISORDER

Saat anak sudah mengalami Separation Anxiety Disorder, mau tidak mau terapi adalah satu bentuk
penanganan yang harus dilakukan. Menurut Masi, Muci, dan Melliepedi (2001), terdapat tiga
penanganan yang dapat diberikan pada anak dengan Separation Anxiety Disorder, yaitu behavioral
therapy, cognitive-behavioral therapy, dan family therapy.

Behavioral therapy merupakan salah satu bentuk penanganan yang berfokus pada perilaku yang
tampak, tanpa mempertimbangkan penyebab dari separation anxiety pada anak. Pada terapi ini, anak
diberikan pengalaman berpisah dengan orang tua secara bertahap. Beberapa teknik digunakan dalam
terapi ini, salah satunya adalah penggunaan sistem reward untuk mengubah perilaku anak, misalnya
mengubah anak yang pada awalnya menolak sekolah jadi mau bersekolah.
Cognitive behavioral therapy merupakan gabungan antara pendekatan tingkah laku dan terapi kognitif.
Dasar dari terapi ini adalah memperbaiki kesalahan anak dalam berpikir. Seperti sudah kita bahas
sebelumnya, salah satu penyebab dari Separation Anxiety Disorder adalah karena adanya kesalahan
berpikir. Dalam terapi ini, cara berpikir anak yang salah dicoba untuk diperbaiki. Karena Cognitive
Behavior Therapy cukup kompleks untuk diterapkan pada anak usia prasekolah, berkembanglah terapi
yang disebut Cognitive-Behavioral Play Therapy. Terapi ini menggabungkan Cognitive Behavioral
Therapy dengan pendekatan terapi bermain.

Family Therapy merupakan bentuk penanganan terhadap anak dengan Separation Anxiety Disorder
ketika orang tua memiliki ketakutan yang berlebihan tentang keselamatan dan kemandirian anak.
Kecemasan yang dirasakan oleh orang tua tentunya akan membuat anak pada akhirnya ikut merasa
cemas. Jadi, family therapy dipilih jika kecemasan berpisah yang dirasakan anak disebabkan oleh faktor
keluarga.

Perkembangan anak di lingkungan pendidikan membutuhkan keterlibatan pihak sekolah maupun


keluarga yang disebut dengan Parent-School Partnership. Kerjasama yang sinergis antara sekolah dan
pengasuh dapat menjadi faktor pendukung keberhasilan program pembelajaran bagi anak. Terkait
dengan kecemasan anak, kerjasama sekolah dan orangtua perlu dilakukan untuk memberikan
penanganan yang simultan dan terus menerus sehingga kecemasan yang dimiliki anak tidak berkembang
menjadi gangguan yang lebih serius. Artikel ini memuat gagasan tentang tinjauan teoritis dan praktis
mengenai strategi Parent-School Partnership sebagai langkah preventif terjadinya gangguan

E. PIHAK YANG BERPERAN DALAM PENANGANAN ANAK DENGAN SEPARATION ANXIETY DISORDER

Penanganan anak dengan Separation Anxiety Disorder tentunya harus didukung oleh beberapa pihak.
Pertama adalah orang tua. Karena orang tua adalah objek yang menjadi sumber kecemasan anak,
keterlibatan orang tua dalam sesi-sesi terapi menjadi hal yang berperan penting dalam mengatasi
gangguan yang dialami anak. Dukungan orang tua sangat diperlukan untuk kesuksesan program
penanganan anak. Adapun bentuk dukungan yang diberikan oleh orang tua dapat berupa pengulangan
materi yang telah diajarkan selama sesi terapi saat di rumah, dukungan terhadap anak agar berani
menghadapi situasi perpisahan, serta pemberian pujian saat anak menampilkan perilaku mau berpisah
dengan orang tua.

Guru adalah orang yang juga berperan dalam penanganan anak dengan Separation Anxiety Disorder
mengingat peristiwa perpisahan antara anak dan orang tua dapat berlangsung di sekolah. Guru dapat
membantu melakukan deteksi dini mengenai kemungkinan anak mengalami masalah yang berhubungan
dengan separation anxiety melalui pengamatan terhadap sejumlah gejala yang tampak dan kemudian
merujuk orang tua untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke tenaga profesional. Jika separation
anxiety anak masih tergolong pada taraf normal, guru dapat mendukung periode perpisahan anak dan
orang tua di sekolah dengan menyediakan rasa nyaman dan penerimaan terhadap anak. Kehadiran guru
yang memberi rasa nyaman untuk anak dapat menjadi figur pengganti orang tua untuk anak selama
berada di sekolah.

Seperti yang telah dibahas di atas, guru dapat merujuk orang tua untuk mendatangi tenaga profesional
saat separation anxiety sudah bersifat klinis. Adapun tenaga profesional yang dimaksud meliputi
psikolog, psikiater, dan terapis. Psikolog dan psikiater akan memberikan diagnosis tentang ada-tidaknya
separation anxiety disorder pada anak. Selain itu, mereka juga akan membantu menemukan penyebab
dari separation anxiety disorder yang dialami oleh anak. Hal itu penting karena penyebab yang berbeda
membutuhkan jenis penanganan yang berbeda pula. Selanjutnya, setelah diketahui penyebab dari
Separation Anxiety Disorder anak, psikolog dapat melakukan penanganan atau terapi yang sesuai jika ia
memang memiliki kompetensi di bidang tersebut atau ia dapat pula merujuk orang tua untuk
mendatangi terapis yang kompeten melakukan terapi, apakah itu terapis tingkah laku (behavioral
therapist), terapis CBPT, atau terapis keluarga.

Cara mengatasi kecemasan pada anak akibat separation anxiety

Dibutuhkan tenaga medis profesional untuk mendiagnosis tanda dan gejala separation anxiety pada
anak.

Evaluasi ini mencakup riwayat medis dan tes fisik, termasuk di antaranya tes darah dan cek
laboratorium, untuk memastikan kalau gejala-gejalanya bukan karena pengaruh obat atau masalah
medis lainnya.

Jika anak terdiagnosis kelainan separation anxiety, psikiater atau psikolog mungkin akan melanjutkan
perawatan tahap berikutnya melalui evaluasi dan tanya jawab khusus.

Beberapa pengobatan yang bisa diberikan dokter kejiwaan anak, antara lain:

Psikoterapi

Lewat psikoterapi, dokter akan mengajak anak berbicara, membahas, dan berdiskusi untuk
mengembangkan toleransi atas ketidakhadiran orangtua.

Sebuah jenis terapi yang dinamakan cognitive-behavorial (perilaku kognitif) juga bisa diterapkan untuk
membantu pembentukan ulang fungsi kognitif/pemahaman anak.

Tidak hanya itu, terapi keluarga bisa dilakukan untuk hasil yang lebih positif.

Obat-obatan

Obat antidepresi atau antikecemasan sesuai dosis dokter dapat diberikan untuk membantu mengatasi
kasus separation anxiety pada anak.

Membuat ritual perpisahan

Salah satu cara mengatasi separation anxiety pada bayi atau anak adalah membuat ritual perpisahan,
entah itu saling berpelukan atau memberikan mainan favoritnya.

Pastikan ritual ini berjalan dengan singkat untuk membuatnya lebih efektif.
Tetap konsisten Ketika ritual perpisahan berhasil meredakan separation anxiety anak sedikit demi
sedikit, cobalah untuk konsisten melakukannya.

Rutinitas yang dilakukan secara konsisten dipercaya mampu membuat rasa takut akan perpisahan bisa
menghilang dan memungkinkan anak untuk membangun kemandiriannya.

Memberikan perhatian.

Saat Anda harus berpisah dengan anak, misalnya setelah mengantarkan ke sekolah atau
meninggalkannya di kamar untuk tidur, cobalah berikan perhatian lebih.

Berikan mereka pelukan atau cium keningnya, kemudian Anda disarankan untuk langsung
meninggalkannya.

Perhatian dari orangtua dipercaya menjadi cara mengatasi separation anxiety pada bayi atau anak yang
ampuh.

Melatih anak untuk jauh dari orangtua

Terdapat banyak cara untuk melatih anak agar bisa berani ketika jauh dari orangtua atau orang-orang
terdekatnya, misalnya dengan menitipkan mereka ke rumah nenek.

Tidak hanya ke rumah keluarga, Anda juga bisa meminta anak untuk bermain di rumah temannya.
Dengan begitu, mereka diharapkan dapat merasa terbiasa berada jauh dari orangtuanya.

Hingga saat ini, belum ada pencegahan khusus terhadap separation anxiety. Namun, penanganan yang
tepat dan cepat bisa meminimalisir sekaligus mencegah tingkat keseriusan kelainan ini.

Dengan perawatan yang tepat, anak bisa saja bebas dari separation anxiety, belajar mandiri, dan kian
percaya diri melalui langkah-langkah yang efektif dari dokter dan orangtua.

Bowlby (dalam Main & Solomon, 1986) menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk kelekatan antara anak
dengan figure lekatnya yaitu secure attachment, insecureavoidant attachment dan insecureambivalent
attachment. Menurut Ainsworth (Santrock, 2007) anak memiliki pola kelekatan aman (secure) ketika
pengasuh menerima, peka dan tanggap terhadap sinyal seorang bayi serta dapat mengekspresikan
afeksi terhadap bayi. Bayi yang memiliki kelekatan aman sejak awal kehidupan akan menjadi pribadi
yang lebih gembira dan kurang mengalami frustrasi saat usia 2 tahun dibandingkan dengan bayi yang
memiliki kelekatan tidak aman (insecure-avoidant dan insecureambivalent). Tipe kelekatan ini akan
mempengaruhi kesiapan anak dalam berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas di kemudian hari.
Anak yang mempunyai kelekatan aman dapat bergerak jauh lebih bebas meskipun berpisah dengan
ibunya. Anak tersebut percaya bahwa ibu atau pengasuhnya tetap ada ketika dibutuhkan (Nasution,
2016).
Tipe kelekatan anak usia dini ini dengan demikian juga berkaitan dengan perkembangan sosio-
emosional yang diprakarsai oleh Erikson. Menurut teori Erikson anak hingga usia 6 tahun atau usia
prasekolah telah melalui tiga tahap perkembangan sosial-emosi (Slavin, 2017).

Tahapan tersebut antara lain Trust vs. Mistrust, Autonomy vs. Shame, dan Inisiative vs. Guilt. Capaian
anak dalam tahap-tahap perkembangan tersebut menjadi dasar atas tahapan perkembangan
selanjutnya.

Trust vs. Mistrust (kepercayaan versus ketidakpercayaan) terbentuk sejak lahir hingga 18 bulan. Pada
tahap ini anak mengembangkan kepercayaan pada dunia dan lingkungannya. Umumnya sosok yang
mempunyai peran paling penting dalam membangun kepercayaan anak adalah ibu. Ibu yang mampu
memberikan kasih sayang, konsisten dan tanpa penolakan terhadap anak akan membangun
kepercayaan anak.

Anda mungkin juga menyukai