SCL ORTODONSIA I
Disusun Oleh:
Kelompok A3
Puji syukur senantiasa kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah SCL Ortodonsia I dengan baik.
Tak lupa kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Gusti Aju
Wahju Ardani, drg., M.Kes., Sp.Ort. (K)., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
membimbing kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini memuat studi kasus ortodonti yang diberikan oleh dosen agar kami dapat
mempelajari materi yang telah didapatkan dari kuliah dengan lebih dalam lagi.
Kami menyadari jika terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar kami dapat menulis dengan
lebih baik lagi kedepannya. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat menjadi bahan bacaan
yang bermanfaat bagi pembaca.
Kelompok A3
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
1. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) pada pasien dan orang tua pasien mengenai
penyebab terjadinya maloklusi
2. Perawatan pendahuluan dengan dilakukan penumpatan pada gigi 53, 36, dan 46
3. Ekspansi rahang atas dan rahang bawah
4. Koreksi rotasi rahang atas dan rahang bawah
5. Koreksi protrusi rahang atas dan rahang bawah
6. Evaluasi
7. Fase retensi
3
BAB 2
KASUS PASIEN
4
2.3.1 Analisis Ekstra Oral
5
Gambar 2.2 Foto Intra Oral Pasien
Berdasarkan pemeriksaan intra oral pasien, didapatkan kondisi jaringan mukosa mulut,
lidah, dan palatum pasien tergolong normal. Pada intra oral pasien juga ditemukan adanya karies
dengan jumlah sedikit, sehingga frekuensi karies tergolong rendah dengan tingkat kebersihan
mulut baik. Pada kasus ini, geligi pasien menunjukkan berada dalam fase pergantian atau mixed
dentition.
6
2.4.2 Path Of Closure
Path of closure adalah gerakan mandibula dari posisi istirahat menuju oklusi sentris. Path
of closure disebut normal apabila gerakan mandibula ke atas, ke depan dan belakang, sedangkan
tidak normal jika terdapat deviasi atau displacement mandibula. Pada kasus ini, path of closure
pasien normal.
7
Gambar 2.4 Foto Model Studi Pasien
8
hasil kekurangan tempat pada rahang bawah sebesar 3 mm dan pada rahang atas sebesar 4 mm.
Pada rahang bawah didapatkan hasil pengukuran tempat yang tersedia sebesar 68 mm dan tempat
yang dibutuhkan sebesar 71 mm. Pada rahang atas didapatkan hasil pengukuran tempat yang
tersedia sebesar 82 mm dan tempat yang dibutuhkan sebesar 86 mm.
2.5.5 Diastema
Diastema merupakan celah yang terdapat di antara dua gigi bersebelahan. Pada pasien tidak
ditemukan adanya diastema, baik pada rahang atas maupun rahang bawah.
9
2.5.7 Gigi-gigi yang Terletak Salah
Pada rahang atas pasien, gigi-gigi yang terletak salah yaitu gigi 12 mesiopalatal rotasi
eksentris, gigi 11 disto labial rotasi eksentris, gigi 21 mesiolabial rotasi eksentris, gigi 22
mesiolabial rotasi eksentris. Sedangkan pada rahang bawah pasien, ditemukan gigi 31 mesiolabial
rotasi eksentris dan gigi 43 disto labial rotasi eksentris.
10
memiliki relasi neutroklusi, yaitu cusp mesiobukal molar pertama permanen rahang atas berada di
lekukan bukal atau buccal groove molar pertama permanen rahang bawah.
Pada jurusan transversal, didapatkan hasil normal berupa relasi gigi posterior adalah
gigitan fisura luar rahang atas oleh karena lengkung rahang atas lebih lebar daripada lengkung
rahang bawah. Jurusan vertikal tergolong normal karena tidak terdapat gigitan terbuka.
11
Analisis skeletal Downs terdiri dari pengukuran pada sudut fasial, sudut kecembungan
muka, sudut bidang AB, sudut bidang mandibula, dan Sumbu Y (Cobourne and Dibiase, 2016).
Sudut Fasial
Sudut fasial menunjukkan tingkat retrognati atau prognati dari mandibula dan merupakan
sudut yang terbentuk antara bidang fasial (N-Pog) dan bidang Frankfort Horizontal. Rata rata dari
sudut fasial adalah 87.5°. Sudut fasial yang lebih besar dari rata-rata menandakan prognati pada
mandibula, sedangkan sutu fasial yang lebih kecil dari rata rata menandakan retrognati mandibula
(Cobourne and Dibiase, 2016).
12
Gambar 2.7 Hasil pengukuran sudut kecembungan muka pada pasien
Pada pengukuran sudut kecembungan muka pasien, didapatkan sudut kecembungan muka sebesar
4°. Angka tersebut lebih besar dari rata rata dengan titik A lebih depan terhadap titik B
menandakan pasien memiliki profil wajah cembung.
Sudut bidang AB
Sudut bidang AB merupakan sudut yang terbentuk dari bidang fasial (N–Pog) dan
hubungannya terhadap batas anterior gigi geligi dengan profil fasial (garis AB). Nilai rata-rata
sudut bidang AB adalah -4.6°. Sudut yang memiliki nilai negatif yang lebih besar dari rata-rata
menandakan posisi mandibula yang mundur, sedangkan sudut yang memiliki nilai positif
menunjukkan posisi mandibula yang lebih maju (Cobourne and Dibiase, 2016).
13
Pada pengukuran sudut bidang AB pasien, didapatkan sudut bidang AB sebesar -7°. Angka
tersebut lebih kecil dari rata rata, namun masih dalam rentang normal menandakan pasien memiliki
posisi mandibula normal.
Sumbu Y
Sumbu y adalah ukuran arah pertumbuhan wajah dan dibentuk oleh sudut antara garis yang
memanjang dari S–Gn ke bidang Frankfort. Nilai rata-rata sumbu y adalah 59.4°. Nilai sumbu y
yang lebih besar dari rata-rata menunjukkan pertumbuhan wajah ke arah vertikal, sedangkan sudut
yang lebih kecil dari rata-rata menandakan pertumbuhan wajah yang cenderung ke arah horizontal
(Cobourne and Dibiase, 2016).
14
Gambar 2.10 Hasil pengukuran sumbu y pada pasien
Pada pengukuran sumbu y pasien, didapatkan sumbu y sebesar 69°. Angka tersebut lebih
besar dari rata rata, menandakan pasien memiliki pertumbuhan wajah cenderung ke arah vertikal.
2.7.1.2 Dental
Analisis dental Downs terdiri dari pengukuran pada sudut inter-insisal, sudut insisif
terhadap bidang mandibula, dan protrusi gigi insisif rahang atas (Cobourne and Dibiase, 2016).
Sudut inter-insisal
Sudut inter-insisal terbentuk dari sudut antara garis A dan B. Nilai rata-rata sudut inter-
insisal adalah 135.4° (± 5.76). Nilai sudut yang lebih besar dari rata-rata menunjukkan proklinasi
(Cobourne and Dibiase, 2016).
15
Gambar 2.11 Hasil pengukuran sudut inter-insisal pada pasien
Pada pengukuran sudut inter-insisal pasien, didapatkan sudut inter-insisal sebesar 108°.
Angka tersebut lebih kecil dari rata rata menandakan pasien memiliki insisif yang protrusif atau
maloklusi kelas II.
Gambar 2.12 Hasil pengukuran sudut insisif terhadap bidang mandibula pada pasien
16
Pada pengukuran sudut insisif terhadap bidang mandibula pasien, didapatkan sudut insisif
terhadap bidang mandibula sebesar 94°. Angka tersebut lebih besar dari rata rata menandakan
pasien memiliki insisif rahang bawah yang protrusif.
Gambar 2.13 Hasil pengukuran protrusi gigi insisif rahang atas pada pasien
Pada pengukuran protrusi gigi insisif rahang atas pasien, didapatkan protrusi gigi insisif
rahang atas sebesar 14°. Angka tersebut lebih besar dari rata rata menandakan pasien memiliki
insisif rahang atas yang protrusif.
17
Gambar 2.14 Hasil pengukuran sudut SNA pada pasien
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut SNA pasien adalah 78°. Angka tersebut
menunjukkan posisi maksila pasien normal.
Sudut SNB
Sudut SNB dibentuk dari pertemuan garis S-N dengan garis N-B. Rata-rata pembacaan
untuk sudut ini adalah 80°. Ketika sudut yang didapatkan adalah lebih dari 80°, maka
mengindikasikan bahwa terjadi prognati pada mandibula. Sebaliknya, apabila sudut yang
didapatkan kurang dari 80°, maka mengindikasikan bahwa terjadi retrusi mandibula. Sudut ini
berguna untuk menilai apakah mandibula protrusi atau retrusi terhadap basis kranial (Singh, 2007).
18
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut SNB pasien adalah 76°. Angka tersebut
menunjukkan posisi mandibula pasien normal.
Sudut ANB
Sudut ANB menunjukkan informasi posisi relatif rahang satu sama lain. Sudut ANB
memberikan gambaran umum tentang diskrepansi anteroposterior maksila dengan basis apikal
mandibula. Rata-rata pembacaan untuk sudut ini adalah 2°. Pembacaan sudut yang lebih besar dari
2° menunjukkan adanya skeletal kelas II dimana terjadi diskrepansi rahang yang besar juga. Sudut
kurang dari 2° dan pembacaan dibawah nol menunjukkan posisi mandibula berada di depan
maksila yang berarti hubungan skeletal kelas III (Singh, 2007).
19
Gambar 2.17 Hasil pengukuran sudut bidang oklusal pada pasien
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut bidang oklusal terhadap bidang S-N adalah
35°. Angka tersebut menandakan pasien memiliki pertumbuhan vertikal wajah yang berlebih.
20
2.7.2.2 Dental
Analisis dental steiner terdiri dari posisis insisif maksila dan posisi insisif mandibula.
Posisi Insisif Maksila
Sudut yang dibentuk oleh insisif maksila dengan garis N-A menunjukkan hubungan sudut
relatif dengan gigi insisif maksila. Sedangkan jarak insisif maksila ke garis N-A yang dituliskan
dalam milimeter menunjukkan informasi posisi insisif maksila yang lebih maju atau mundur
terhadap garis N-A.
Gigi insisif maksila terhadap garis N-A pada posisi paling anterior dari mahkotanya adalah
terletak pada 4-7 mm di depan garis N-A. Sedangkan, sudut inklinasinya adalah mencapai 22°
terhadap garis N-A (Singh, 2007).
Gambar 2.19 Hasil pengukuran sudut posisi insisif maksila pada pasien
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut insisif maksila terhadap garis N-A adalah 37°.
Angka tersebut lebih besar dari rata rata menandakan pasien memiliki insisif rahang atas yang
proklinasi.
21
Gambar 2.20 Hasil pengukuran jarak posisi insisif maksila pada pasien
Pada pengukuran tersebut didapatkan jarak insisif maksila terhadap garis N-A adalah 10
mm. Angka tersebut menandakan pergerakan bodily insisif maksila pasien ke arah labial.
Gambar 2.21 Hasil pengukuran sudut dan jarak posisi insisif mandibula pada pasien
22
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut insisif mandibula terhadap garis N-B adalah
30°. Angka tersebut lebih besar dari rata rata menandakan pasien memiliki insisif mandibula yang
proklinasi. Sedangkan untuk jarak gigi insisif mandibula terhadap garis N-B didapatkan hasil 11
mm. Angka tersebut menunjukkan pergerakan bodily insisif mandibula pasien ke labial.
23
Pada pengukuran IMPA pasien, didapatkan sudut IMPA sebesar 40°. Angka tersebut lebih
besar dari rata rata menandakan pasien memiliki insisif rahang bawah yang protrusif.
24
BAB 3
PEMBAHASAN
25
nilai 76⁰ dengan interpretasi relasi rahang bawah terhadap basis cranii pasien normal.
Proklinasi insisif rahang atas dan rahang bawah ditentukan berdasarkan hasil analisis
sefalometri Steiner. Sudut 1-garis NA diperoleh sebesar 37° dan jarak 1-garis NA diperoleh
sebesar 10 mm, hasil ini menunjukkan adanya pergerakan bodily insisif rahang atas ke
labial dengan interpretasi proklinasi insisif rahang atas. Selain itu, didapatkan pula sudut
1-garis NB sebesar 30° dan jarak 1-garis NB sebesar 11 mm, ini menunjukkan adanya
pergerakan bodily insisif rahang bawah ke labial dengan interpretasi proklinasi insisif
rahang bawah.
26
BAB 4
PENUTUP
Berdasarkan pemeriksaan dan analisis, diagnosis maloklusi pada kasus ini adalah
maloklusi Class I Angle disertai berdesakan anterior rahang atas dan rahang bawah serta protrusi
rahang atas dan rahang bawah. Etiologi maloklusi yang memungkinkan pada kasus diatas adalah
faktor letak benih gigi yang salah. Jenis perawatan yang dapat dilakukan adalah perawatan tanpa
pencabutan dengan melakukan komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) pada pasien dan orang
tua pasien mengenai penyebab terjadinya maloklusi, perawatan pendahuluan dengan dilakukan
penumpatan pada gigi 53, 36, dan 46, ekspansi rahang atas dan rahang bawah, koreksi rotasi rahang
atas dan rahang bawah, koreksi protrusi rahang atas dan rahang bawah, evaluasi, dan fase retensi.
27
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, kami
kelompok A3 selaku penulis dapat menyelesaikan Makalah Student Centered Learning (SCL)
Ortodonsia I ini dengan baik dan lancar.
Dalam pengerjaan makalah ini banyak kendala yang dihadapi oleh penulis, namun berkat
ilmu, bimbingan, dan masukan dari berbagai pihak, pada akhirnya penulisan makalah ini dapat
diselesaikan sebagaimana adanya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. I Gusti Aju Wahju Ardani, drg., M.Kes., Sp.Ort. (K). sebagai
dosen pembimbing kelompok A3 yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan saran kepada
penulis sejak awal hingga terselesaikannya penulisan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah
ini. Oleh karena itu, kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini. Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan wawasan dan
manfaat terhadap pembaca.
28
DAFTAR PUSTAKA
Alqahtan, M.I., Azizkhan, R.A., Alyawer, L.T. (2020). An Overview of Diagnosis and
Management of Malocclusion: Literature Review. Annals of Dental Specialty, 8(4), pp. 62-65
Cobourne, M.T. and Dibiase, A.T. (2016). Handbook of orthodontics. Edinburgh ; New
York: Elsevier.
Little, R.M., 1990. Stability and relapse of dental arch alignment. British journal of
orthodontics, 17(3), pp.235-241.
Lombardo, G., Vena, F., Negri, P., Pagano, S. (2020). Worldwide prevalence of
malocclusion in the different stages of dentition: A systematic review and meta-analysis. European
Journal of Pediatric Dentistry, 21(2), pp. 115-122.
Proffit, W.R., Fields, H.W., Larson, B.E. and Sarver, D.M. (2019). Contemporary
orthodontics. 6th ed. Philadelphia, Pa Elsevier.
29