Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

SCL ORTODONSIA I

Disusun Oleh:
Kelompok A3

Jennifer Fiona Salim 022011133022


Azra Rahma Yuniar 022011133023
Dwi Siti Lativa 022011133024
Hashfi Raushan Aufa 022011133025
Cut Zahra Zulfikar 022011133026
Muhammad Abdul Mukti 022011133027
Bintang Rahardjo Putra 022011133028
Pinta Rahayuning Tyas 022011133029
Azzahra Taufiqi Hanif 022011133030

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah SCL Ortodonsia I dengan baik.
Tak lupa kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Gusti Aju
Wahju Ardani, drg., M.Kes., Sp.Ort. (K)., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
membimbing kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini memuat studi kasus ortodonti yang diberikan oleh dosen agar kami dapat
mempelajari materi yang telah didapatkan dari kuliah dengan lebih dalam lagi.
Kami menyadari jika terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar kami dapat menulis dengan
lebih baik lagi kedepannya. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat menjadi bahan bacaan
yang bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 29 Mei 2023

Kelompok A3

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kasus


Maloklusi didefinisikan sebagai ketidakteraturan tentang keselarasan gigi dan/atau
hubungannya selama oklusi gigi di luar jangkauan normal. Menurut WHO, maloklusi dianggap
sebagai prioritas ketiga untuk penyakit kesehatan mulut menurut. Maloklusi dapat mempengaruhi
beberapa fungsi mulut seperti mengunyah, menelan dan keterampilan berbicara. Selain itu,
maloklusi juga dapat berdampak pada estetika dentofasial dan kepercayaan diri psikososial dengan
dampak negatif pada kehidupan sehari-hari (Lombardo et al., 2020).
Manajemen korektif maloklusi sering lebih disukai selama tahun-tahun awal kehidupan
karena memiliki perbaikan oklusi yang tepat dalam pertumbuhan kerangka tubuh yang normal.
Pendekatan manajemen maloklusi sangat tergantung pada jenis maloklusi. Kasus maloklusi yang
lebih ringan sering dirawat dengan ortodontik. Sebaliknya, kasus yang parah mungkin memerlukan
penggunaan peralatan cekat. Selain itu, pendekatan yang lebih efektif untuk pengelolaan maloklusi
mencakup penggunaan peralatan dan headgear. Meskipun terapi ekstraksi dapat digunakan dalam
kasus-kasus tertentu, penggunaannya tidak disukai sebagai perawatan awal (Alqahtan et al., 2020).
Dalam SCL kali ini, didapatkan kasus yang menjadi panduan untuk melakukan analisis
sebelum menegakkan diagnosis ortodonti dan menentukan rencana perawatan. Adapun kasus yang
didapatkan yaitu pasien perempuan berusia 12 tahun datang ke UPF ortodonsia RSGMP dengan
kemauan sendiri untuk merapikan gigi depan atas dan bawah. Pasien mengeluh kesulitan
menggigit makanan dengan gigi depannya. Pasien mengatakan belum pernah dirawat ortodonti.
Saat ini pasien ingin dirawat giginya.
Diharapkan dengan analisis dan diagnosis yang tepat, pasien bisa mendapatkan perawatan
yang tepat untuk mengatasi permasalahannya.

1.2 Rencana Perawatan


Rencana perawatan dapat ditentukan setelah melakukan analisis dan menegakkan diagnosis.
Berdasarkan kasus yang diberikan, rencana perawatan yang akan dilakukan terhadap pasien
adalah sebagai berikut:

2
1. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) pada pasien dan orang tua pasien mengenai
penyebab terjadinya maloklusi
2. Perawatan pendahuluan dengan dilakukan penumpatan pada gigi 53, 36, dan 46
3. Ekspansi rahang atas dan rahang bawah
4. Koreksi rotasi rahang atas dan rahang bawah
5. Koreksi protrusi rahang atas dan rahang bawah
6. Evaluasi
7. Fase retensi

3
BAB 2
KASUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Berikut adalah identitas pasien sesuai dengan kasus yang diberikan :
Nama : An. Aprilia Indah
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 12 tahun

2.2 Analisis Umum


Analisis umum bertujuan untuk mendapatkan informasi riwayat kesehatan atau medical
history dari penderita saat masih dalam kandungan sampai sekarang saat penderita datang ke
klinik. Pada kasus ini, analisis umum pada pasien didapatkan dari riwayat pasien, berat badan,
tinggi badan, ras, kelainan endokrin, riwayat tindakan operasi, kondisi tonsil, riwayat alergi,
kebiasaan bernafas, bentuk skeletal, penyakit anak-anak, dan ciri keluarga yang berkaitan dengan
maloklusi. Berdasarkan kasus yang diberikan, aspek-aspek yang dinilai pada analisis umum tidak
diketahui.

2.3 Analisis Lokal


Pada kasus ini, analisis lokal pada kondisi pasien dapat diperiksa berdasarkan analisis lokal
ekstra oral, intra oral, dan analisis radiografi panoramik.. Pada pemeriksaan analisis lokal ekstra
oral, dimana beberapa aspek diluar rongga mulut harus diperiksa, diantaranya yaitu tipe profil,
bibir, tipe muka, fungsi bicara, bentuk kepala, dan kebiasaan jelek. Sedangkan analisis lokal intra
oral, dimana jaringan mukosa mulut, lidah, palatum, frekuensi karies, kebersihan mulut, dan fase
geligi pasien akan dinilai. Pada Analisis radiografi panoramik dilakukan untuk melihat kondisi
gigi geligi pasien dengan menilai beberapa aspek yaitu kondisi benih gigi, agenisi, gigi kelebihan,
gigi impaksi, dll.

4
2.3.1 Analisis Ekstra Oral

Gambar 2.1 Foto Ekstra Oral Pasien


Berdasarkan pemeriksaan pada ekstra oral pasien, didapatkan pasien memiliki tipe profil
cembung dengan bibir kompeten. Bentuk kepala pasien termasuk dalam kategori mesosefalik
dengan tipe muka sedang. Namun, karena keterbatasan rekam medis, maka fungsi bicara dan
kebiasaan jelek pada pasien tidak dapat diketahui.

2.3.2 Analisis Intra Oral

5
Gambar 2.2 Foto Intra Oral Pasien

Berdasarkan pemeriksaan intra oral pasien, didapatkan kondisi jaringan mukosa mulut,
lidah, dan palatum pasien tergolong normal. Pada intra oral pasien juga ditemukan adanya karies
dengan jumlah sedikit, sehingga frekuensi karies tergolong rendah dengan tingkat kebersihan
mulut baik. Pada kasus ini, geligi pasien menunjukkan berada dalam fase pergantian atau mixed
dentition.

2.3.3 Analisis Radiografi Panoramik

Gambar 2.3 Foto Panoramik Pasien


Berdasarkan foto radiografi panoramik pasien, didapatkan benih gigi pada 17, 15, 13, 23,
25, 27, 38, 37, 47, dan 48 dalam posisi baik. Pada gambar radiografi panoramik, tidak ditemukan
adanya agenisi, kelebihan gigi, dan tidak ada gigi impaksi. Sehingga, dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa kondisi gigi geligi pasien baik.

2.4 Analisis Fungsional


2.4.1 Free Way Space
Free way space merupakan jarak interoklusal pada saat mandibula dalam posisi istirahat.
Posisi istirahat gigi dan rahang yang normal ditandai dengan ruang vertikal kecil antara gigi atas
dan bawah, yang disebut vertical occlusal distance (VOD), occlusal vertical distance (OVD),
interocclusal distance, atau freeway space. Nilai normal free way space menurut Houston (1989)
adalah 2-3 mm. Pada kasus ini, nilai free way space pasien didapatkan sebesar 3 mm yang berarti
normal.

6
2.4.2 Path Of Closure
Path of closure adalah gerakan mandibula dari posisi istirahat menuju oklusi sentris. Path
of closure disebut normal apabila gerakan mandibula ke atas, ke depan dan belakang, sedangkan
tidak normal jika terdapat deviasi atau displacement mandibula. Pada kasus ini, path of closure
pasien normal.

2.4.3 Sendi Temporomandibula


Sendi temporomandibula diperiksa untuk mengamati gerakan mandibula saat membuka
dan menutup mulut. Pemeriksaan klinis TMJ harus mencakup auskultasi dan palpasi sendi
temporomandibular dan otot-otot yang terkait dengan gerakan mandibula. Tujuan utama
pemeriksaan ini adalah untuk mencari gejala disfungsi TMJ seperti krepitus, kliking, nyeri,
hipermobilitas, deviasi, dislokasi, keterbatasan gerakan rahang dan kelainan morfologi lainnya.
Pada kasus ini, sendi temporomandibula pasien normal.

2.4.4 Displacement Mandibular


Displacement dapat terjadi dalam jurusan sagital dan transversal. Displacement dalam
jurusan transversal sering berhubungan dengan adanya gigitan silang posterior. Displacement ke
arah sagital dapat terjadi karena adanya kontak prematur pada daerah insisivus. Pada keadaan ini
biasanya didapatkan over closure mandibula. Pada kasus ini, tidak terdapat displacement
mandibular.

2.5 Analisis Model

7
Gambar 2.4 Foto Model Studi Pasien

2.5.1 Bentuk Lengkung Gigi


Bentuk lengkung gigi merujuk pada kontur alami lengkung gigi yang dianalisis untuk
mengevaluasi hubungan antara gigi atas dan gigi bawah. Bentuk lengkung gigi penting dalam
perencanaan perawatan ortodontik, karena hal ini mempengaruhi pergerakan gigi dan keselarasan
gigi yang diinginkan (Little, 1990). Pada kasus ditemukan bentuk lengkung gigi rahang atas dan
rahang bawah pasien berbentuk parabola yang termasuk dalam bentuk normal.

2.5.2 Jumlah Lebar Mesiodistal 4 Insisif Rahang Atas


Pengukuran lebar mesiodistal 4 insisif rahang atas mengacu pada pengukuran lengkung
terbesar 2 insisif sentral dan 2 insisif lateral rahang atas. Parameter ini penting dalam menentukan
rencana perawatan untuk menentukan kebutuhan pergerakan gigi yang optimal. Pada kasus
didapatkan hasil pengukuran sebesar 35mm yang termasuk dalam rentang normal.

2.5.3 Diskrepansi pada Model


Diskrepansi pada model merupakan selisih antara tempat yang tersedia (available space)
dengan tempat yang dibutuhkan (required space). Pada kasus, pengukuran tempat yang tersedia
(available space) dilakukan dengan mengukur perimeter lengkung dari mesial satu molar pertama
ke molar pertama lainnya melalui titik kontak gigi posterior dan tepi insisal gigi anterior. Tempat
yang dibutuhkan (required space) didapatkan dengan mengukur lebar mesiodistal setiap gigi
erupsi dari titik kontak ke titik kontak, memperkirakan ukuran gigi tetap yang tidak erupsi, dan
kemudian menjumlahkan lebar masing-masing gigi (Proffit et al., 2019). Pada kasus, didapatkan

8
hasil kekurangan tempat pada rahang bawah sebesar 3 mm dan pada rahang atas sebesar 4 mm.
Pada rahang bawah didapatkan hasil pengukuran tempat yang tersedia sebesar 68 mm dan tempat
yang dibutuhkan sebesar 71 mm. Pada rahang atas didapatkan hasil pengukuran tempat yang
tersedia sebesar 82 mm dan tempat yang dibutuhkan sebesar 86 mm.

2.5.4 Kurva Spee


Kurva Spee merupakan garis oklusi dalam arah sagital yang diperoleh dari insisal insisivus
sentralis hingga distal marginal ridge gigi molar kedua dan berfungsi dalam pergerakan mandibula
dan biomekanik mastikasi. Kurva Spee dipengaruhi oleh variasi pola wajah, perkembangan sistem
neuromuskular, periode gigi-geligi dan waktu erupsi gigi (Ginting et al., 2019). Pada pasien, Kurva
Spee tidak dapat ditentukan karena pasien diketahui berusia 12 tahun yang artinya masih dalam
tahapan pertumbuhan gigi fase pergantian, dimana Kurva Spee masih dalam masa perkembangan
dan belum stabil sehingga tidak dapat ditentukan (Singh, 2007)

2.5.5 Diastema
Diastema merupakan celah yang terdapat di antara dua gigi bersebelahan. Pada pasien tidak
ditemukan adanya diastema, baik pada rahang atas maupun rahang bawah.

2.5.6 Simetri Gigi-Gigi


Simetri gigi-gigi dapat diketahui melalui sebuah alat yang disebut dengan simetroskop.
Simetroskop diletakkan diatas permukaan oklusal gigi dengan bidang orientasi midpalatal raphe
lalu kedudukan gigi di kuadran kiri dengan kanan dibandingkan dalam arah sagital dan transversal.
Melalui hasil analisis simetroskop, dapat kita ketahui bagian gigi regio mana yang memerlukan
ekspansi atau pencabutan untuk mengembalikan kesimetrisan lengkung (White, 1996). Pada
lengkung rahang atas pasien menunjukkan perkembangan asimetris antara sisi kiri dan kanan,
dimana gigi 11 terletak lebih distolabial dibandingkan dari gigi 21. Selain itu, dari analisis ini juga
ditemukan bahwa gigi 22 terletak lebih mesiolabial dari gigi 12. Pada lengkung rahang bawah
pasien, ditemukan gigi 31 terletak lebih mesiolingual dibandingkan gigi 41 dan gigi 43 terletak
lebih distolabial dari gigi 33.

9
2.5.7 Gigi-gigi yang Terletak Salah
Pada rahang atas pasien, gigi-gigi yang terletak salah yaitu gigi 12 mesiopalatal rotasi
eksentris, gigi 11 disto labial rotasi eksentris, gigi 21 mesiolabial rotasi eksentris, gigi 22
mesiolabial rotasi eksentris. Sedangkan pada rahang bawah pasien, ditemukan gigi 31 mesiolabial
rotasi eksentris dan gigi 43 disto labial rotasi eksentris.

2.5.8 Pergeseran Garis Median Lengkung Gigi terhadap Median Muka


Pergerakan garis median merupakan hasil dari migrasi gigi. Pergeseran garis median gigi
dapat menjadi faktor utama pada wajah yang asimetris (hidung dan dagu), pergeseran gigi sebesar
1 mm dapat memiliki dampak negatif pada persepsi estetika wajah. Pergeseran garis median juga
dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain yaitu maloklusi. Dalam melakukan pengukuran
pergeseran garis median, pasien dapat di instruksikan dalam posisi oklusi sentris kemudian ditarik
garis imajiner yang menghubungkan antara glabella - philtrum- symphisis (merupakan garis
median muka) kemudian diproyeksikan ke garis median gigi. Kemudian gambaran yang didapat
dari penderita dipindahkan ke model studi dan dicatat kunci oklusi. Apabila garis median gigi
berada dalam satu garis lurus dengan garis median muka, berarti tidak ada pergeseran garis median
(Devi et al., 2017). Dalam kasus ni, tidak terdapat adanya pergeseran garis median.

2.5.9 Kelainan Kelompok Gigi


Pada model, terdapat kelainan kelompok gigi berupa letak gigi berdesakan atau crowding
atau terletak saling tumpang tindih pada gigi anterior rahang atas maupun rahang bawah. Kelainan
ini dikonfirmasi melalui pengukuran diskrepansi ruang antar lengkung rahang yang ada
menggunakan lebar mesiodistal gigi geligi. Hasil pengukuran diskrepansi menunjukkan bahwa
tempat yang dibutuhkan lebih besar daripada tempat yang tersedia. Selain itu, terdapat pula
protrusi yaitu sekelompok gigi yang mengalami pergerakan posisi ke arah labioversi pada rahang
atas. Kelainan ini dikonfirmasi dengan hasil pengukuran sefalometri dan jarak gigit.

2.5.10 Relasi Gigi Posterior RA Terhadap RB


Pada jurusan sagital, gigi kaninus kanan dan kiri tampak tidak memiliki relasi akibat gigi
kaninus permanen rahang atas yang belum mengalami erupsi. Gigi molar kanan dan kiri tampak

10
memiliki relasi neutroklusi, yaitu cusp mesiobukal molar pertama permanen rahang atas berada di
lekukan bukal atau buccal groove molar pertama permanen rahang bawah.
Pada jurusan transversal, didapatkan hasil normal berupa relasi gigi posterior adalah
gigitan fisura luar rahang atas oleh karena lengkung rahang atas lebih lebar daripada lengkung
rahang bawah. Jurusan vertikal tergolong normal karena tidak terdapat gigitan terbuka.

2.5.11 Relasi Gigi Anterior RA dan RB


Pada jurusan sagital, dilakukan pengukuran jarak gigit, yaitu jarak horizontal antara insisal
gigi insisif rahang atas terhadap permukaan labial gigi insisif rahang bawah menggunakan sliding
caliper. Didapatkan hasil sebesar 5 mm yang berarti melebihi nilai normal, yaitu 2-4 mm. Tidak
terdapat gigitan tonjol maupun gigitan terbalik.
Pada jurusan vertikal, dilakukan pengukuran tumpang gigit, yaitu jarak vertikal antara
insisal gigi insisif rahang bawah dengan permukaan lingual gigi insisif rahang atas, lebih tepatnya
pada bagian cingulum menggunakan sliding caliper. Didapatkan hasil sebesar 3 mm yang berarti
tergolong normal. Tidak terdapat gigitan tonjol, gigitan dalam, dan gigitan terbuka.

2.6 Etiologi Maloklusi


Pada skenario kasus, letak benih gigi yang salah dapat menjadi kemungkinan etiologi,
menyebabkan gigi erupsi tidak pada lengkung yang benar. Pada rahang atas, terdapat letak yang
salah pada benih gigi 11, 12, 21, dan 22. Pada rahang bawah, terdapat letak yang salah pada benih
gigi 31 dan 43. Kelainan ini banyak dijumpai pada keadaan maloklusi. Secara klinis, letak benih
salah ditandai oleh adanya rotasi atau versi, dimana rotasi merupakan perputaran sumbu gigi pada
arah vertikal, sedangkan versi merupakan perputaran sumbu gigi dalam arah horizontal. Akibat
yang ditimbulkan adalah adanya gigi berdesakan pada lengkung rahang. Kelainan ini lebih sering
ditemukan pada gigi permanen karena pola pembentukan gigi permanen lebih lama dibanding
dengan gigi sulung, sehingga seiring perjalanan waktu pembentukan benih gigi, dapat terjadi
kemungkinan kelainan ini.

2.7 Analisis Sefalometri


2.7.1 Analisis Downs
2.7.1.1 Skeletal

11
Analisis skeletal Downs terdiri dari pengukuran pada sudut fasial, sudut kecembungan
muka, sudut bidang AB, sudut bidang mandibula, dan Sumbu Y (Cobourne and Dibiase, 2016).
Sudut Fasial
Sudut fasial menunjukkan tingkat retrognati atau prognati dari mandibula dan merupakan
sudut yang terbentuk antara bidang fasial (N-Pog) dan bidang Frankfort Horizontal. Rata rata dari
sudut fasial adalah 87.5°. Sudut fasial yang lebih besar dari rata-rata menandakan prognati pada
mandibula, sedangkan sutu fasial yang lebih kecil dari rata rata menandakan retrognati mandibula
(Cobourne and Dibiase, 2016).

Gambar 2.6 Hasil pengukuran sudut fasial pada pasien


Pada pengukuran sudut fasial pasien, didapatkan sudut fasial sebesar 72°. Angka tersebut
lebih kecil dari rata rata, namun masih dalam rentang normal menandakan pasien memiliki
mandibula normal.

Sudut kecembungan muka


Sudut kecembungan muka menunjukkan dapat menunjukkan bentuk profil wajah. Sudut
kecembungan muka merupakan sudut yang terbentuk antara garis N–A ke A–Pog. Nilai sudut ini
dapat berupa nilai positif atau negatif, tergantung pada jumlah keadaan retrognati atau prognati.
Nilai rata-rata sudut kecembungan wajah adalah 0°. Nilai positif menandakan profil jaringan lunak
wajah yang berbentuk cembung, sedangkan nilai negatif menandakan profil jaringan lunak wajah
cekung (Cobourne and Dibiase, 2016).

12
Gambar 2.7 Hasil pengukuran sudut kecembungan muka pada pasien
Pada pengukuran sudut kecembungan muka pasien, didapatkan sudut kecembungan muka sebesar
4°. Angka tersebut lebih besar dari rata rata dengan titik A lebih depan terhadap titik B
menandakan pasien memiliki profil wajah cembung.

Sudut bidang AB
Sudut bidang AB merupakan sudut yang terbentuk dari bidang fasial (N–Pog) dan
hubungannya terhadap batas anterior gigi geligi dengan profil fasial (garis AB). Nilai rata-rata
sudut bidang AB adalah -4.6°. Sudut yang memiliki nilai negatif yang lebih besar dari rata-rata
menandakan posisi mandibula yang mundur, sedangkan sudut yang memiliki nilai positif
menunjukkan posisi mandibula yang lebih maju (Cobourne and Dibiase, 2016).

Gambar 2.8 Hasil pengukuran sudut bidang AB pada pasien

13
Pada pengukuran sudut bidang AB pasien, didapatkan sudut bidang AB sebesar -7°. Angka
tersebut lebih kecil dari rata rata, namun masih dalam rentang normal menandakan pasien memiliki
posisi mandibula normal.

Sudut bidang mandibula


Sudut bidang mandibula adalah ukuran sudut antara bidang Frankfort Horizontal dan
bidang mandibula. Nilai rata-rata sudut bidang mandibula adalah 21.9°. Nilai sudut yang lebih
besar dari rata-rata menunjukkan wajah yang retrusif maupun protrusif (Cobourne and Dibiase,
2016).

Gambar 2.9 Hasil pengukuran sudut bidang mandibula pada pasien


Pada pengukuran sudut bidang mandibula pasien, didapatkan sudut bidang mandibula
sebesar 38°. Angka tersebut lebih besar dari rata rata menandakan pasien memiliki pertumbuhan
wajah vertikal yang berlebih.

Sumbu Y
Sumbu y adalah ukuran arah pertumbuhan wajah dan dibentuk oleh sudut antara garis yang
memanjang dari S–Gn ke bidang Frankfort. Nilai rata-rata sumbu y adalah 59.4°. Nilai sumbu y
yang lebih besar dari rata-rata menunjukkan pertumbuhan wajah ke arah vertikal, sedangkan sudut
yang lebih kecil dari rata-rata menandakan pertumbuhan wajah yang cenderung ke arah horizontal
(Cobourne and Dibiase, 2016).

14
Gambar 2.10 Hasil pengukuran sumbu y pada pasien
Pada pengukuran sumbu y pasien, didapatkan sumbu y sebesar 69°. Angka tersebut lebih
besar dari rata rata, menandakan pasien memiliki pertumbuhan wajah cenderung ke arah vertikal.

2.7.1.2 Dental
Analisis dental Downs terdiri dari pengukuran pada sudut inter-insisal, sudut insisif
terhadap bidang mandibula, dan protrusi gigi insisif rahang atas (Cobourne and Dibiase, 2016).

Sudut inter-insisal
Sudut inter-insisal terbentuk dari sudut antara garis A dan B. Nilai rata-rata sudut inter-
insisal adalah 135.4° (± 5.76). Nilai sudut yang lebih besar dari rata-rata menunjukkan proklinasi
(Cobourne and Dibiase, 2016).

15
Gambar 2.11 Hasil pengukuran sudut inter-insisal pada pasien
Pada pengukuran sudut inter-insisal pasien, didapatkan sudut inter-insisal sebesar 108°.
Angka tersebut lebih kecil dari rata rata menandakan pasien memiliki insisif yang protrusif atau
maloklusi kelas II.

Sudut insisif terhadap bidang mandibula


Sudut insisif terhadap bidang mandibula terbentuk dari Inklinasi aksial insisivus mandibula
ke bidang mandibula. Nilai rata-rata sudut insisif terhadap bidang mandibula adalah 1.4° (± 3.78).
Sudut yang lebih besar dari rata-rata menunjukkan proklinasi gigi insisif (Cobourne and Dibiase,
2016).

Gambar 2.12 Hasil pengukuran sudut insisif terhadap bidang mandibula pada pasien

16
Pada pengukuran sudut insisif terhadap bidang mandibula pasien, didapatkan sudut insisif
terhadap bidang mandibula sebesar 94°. Angka tersebut lebih besar dari rata rata menandakan
pasien memiliki insisif rahang bawah yang protrusif.

Protrusi gigi insisif rahang atas


Protrusi gigi insisif rahang atas yang diukur dari arak tepi insisif sentral rahang atas ke
garis A-Pog. Nilai rata-rata protrusi gigi insisif rahang atas adalah 2.7 mm (± 1.8). Jarak yang
lebih besar dari rata-rata menandakan adanya proklinasi (Cobourne and Dibiase, 2016).

Gambar 2.13 Hasil pengukuran protrusi gigi insisif rahang atas pada pasien
Pada pengukuran protrusi gigi insisif rahang atas pasien, didapatkan protrusi gigi insisif
rahang atas sebesar 14°. Angka tersebut lebih besar dari rata rata menandakan pasien memiliki
insisif rahang atas yang protrusif.

2.7.2 Analisis Steiner


2.7.2.1 Skeletal
Analisis skeletal Steiner terdiri dari sudut SNA, sudut SNB, sudut ANB, sudut bidang
oklusal, dan sudut bidang mandibula.
Sudut SNA
Sudut SNA dibentuk dari pertemuan garis S-N dengan garis N-A. Rata-rata pembacaan
untuk sudut ini adalah 82°. Ketika sudut yang didapatkan adalah lebih dari 82°, maka
mengindikasikan bahwa terjadi protrusi pada maksila. Sebaliknya, apabila sudut yang didapatkan
kurang dari 82°, maka mengindikasikan bahwa terjadi retrusi maksila (Singh, 2007).

17
Gambar 2.14 Hasil pengukuran sudut SNA pada pasien
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut SNA pasien adalah 78°. Angka tersebut
menunjukkan posisi maksila pasien normal.

Sudut SNB
Sudut SNB dibentuk dari pertemuan garis S-N dengan garis N-B. Rata-rata pembacaan
untuk sudut ini adalah 80°. Ketika sudut yang didapatkan adalah lebih dari 80°, maka
mengindikasikan bahwa terjadi prognati pada mandibula. Sebaliknya, apabila sudut yang
didapatkan kurang dari 80°, maka mengindikasikan bahwa terjadi retrusi mandibula. Sudut ini
berguna untuk menilai apakah mandibula protrusi atau retrusi terhadap basis kranial (Singh, 2007).

Gambar 2.15 Hasil pengukuran sudut SNB pada pasien

18
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut SNB pasien adalah 76°. Angka tersebut
menunjukkan posisi mandibula pasien normal.

Sudut ANB
Sudut ANB menunjukkan informasi posisi relatif rahang satu sama lain. Sudut ANB
memberikan gambaran umum tentang diskrepansi anteroposterior maksila dengan basis apikal
mandibula. Rata-rata pembacaan untuk sudut ini adalah 2°. Pembacaan sudut yang lebih besar dari
2° menunjukkan adanya skeletal kelas II dimana terjadi diskrepansi rahang yang besar juga. Sudut
kurang dari 2° dan pembacaan dibawah nol menunjukkan posisi mandibula berada di depan
maksila yang berarti hubungan skeletal kelas III (Singh, 2007).

Gambar 2.16 Hasil pengukuran sudut ANB pada pasien


Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut ANB pasien adalah 2°. Angka tersebut
menunjukkan hubungan skeletal kelas I.

Sudut Bidang Oklusal


Bidang oklusal ditarik melalui regio daerah puncak gigi premolar pertama dan molar
pertama yang tumpang tindih. Sudut didapatkan melalui pengukuran sudut bidang oklusal ke
bidang S-N. Rata-rata pembacaan untuk oklusi normal adalah 14°. Sudutnya meningkat pada
wajah yang lonjong atau yang tumbuh vertikal dan juga pada kasus open bite skeletal. Sudut akan
berkurang pada individu yang tumbuh secara horizontal atau pada kasus deep bite skeletal (Singh,
2007).

19
Gambar 2.17 Hasil pengukuran sudut bidang oklusal pada pasien
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut bidang oklusal terhadap bidang S-N adalah
35°. Angka tersebut menandakan pasien memiliki pertumbuhan vertikal wajah yang berlebih.

Sudut Bidang Mandibula


Bidang mandibula ditarik antara Gonion (Go) dan Gnathion (Gn). Bidang mandibula
dibentuk melalui pertemuan bidang mandibula pada basis kranium anterior (bidang S-N). Rata-
rata pembacaan adalah 32°. Sudut bidang mandibula yang terlalu tinggi atau rendah menunjukkan
pola pertumbuhan yang tidak baik (Singh, 2007).

Gambar 2.18 Hasil pengukuran sudut bidang mandibula pada pasien


Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut bidang mandibula terhadap bidang S-N adalah
45°. Angka tersebut menandakan pasien memiliki pertumbuhan vertikal mandibula yang berlebih.

20
2.7.2.2 Dental
Analisis dental steiner terdiri dari posisis insisif maksila dan posisi insisif mandibula.
Posisi Insisif Maksila
Sudut yang dibentuk oleh insisif maksila dengan garis N-A menunjukkan hubungan sudut
relatif dengan gigi insisif maksila. Sedangkan jarak insisif maksila ke garis N-A yang dituliskan
dalam milimeter menunjukkan informasi posisi insisif maksila yang lebih maju atau mundur
terhadap garis N-A.
Gigi insisif maksila terhadap garis N-A pada posisi paling anterior dari mahkotanya adalah
terletak pada 4-7 mm di depan garis N-A. Sedangkan, sudut inklinasinya adalah mencapai 22°
terhadap garis N-A (Singh, 2007).

Gambar 2.19 Hasil pengukuran sudut posisi insisif maksila pada pasien
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut insisif maksila terhadap garis N-A adalah 37°.
Angka tersebut lebih besar dari rata rata menandakan pasien memiliki insisif rahang atas yang
proklinasi.

21
Gambar 2.20 Hasil pengukuran jarak posisi insisif maksila pada pasien
Pada pengukuran tersebut didapatkan jarak insisif maksila terhadap garis N-A adalah 10
mm. Angka tersebut menandakan pergerakan bodily insisif maksila pasien ke arah labial.

Posisi Insisif Mandibula


Posisi linear anteroposterior dan angulasi gigi insisif mandibula tentukan melalui hubungan
gigi insisif yang paling protrusi terhadap garis N-B. Pengukuran gigi insisif mandibula terhadap
garis N-B yang dituliskan dalam milimeter menunjukkan posisi relatif dari gigi tersebut yang lebih
maju atau lebih mundur terhadap garis N-B. Sedangkan, sudut yang dibentuk antara gigi insisif
mandibula dengan garis N-B menunjukkan sudut inklinasi relatif dari gigi tersebut.
Posisi paling labial dari mahkota gigi insisif mandibula adalah berada pada 4 mm di depan
garis N-B. Sedangkan sudut inklinasinya adalah 25° terhadap garis N-B (Singh, 2007).

Gambar 2.21 Hasil pengukuran sudut dan jarak posisi insisif mandibula pada pasien

22
Pada pengukuran tersebut didapatkan sudut insisif mandibula terhadap garis N-B adalah
30°. Angka tersebut lebih besar dari rata rata menandakan pasien memiliki insisif mandibula yang
proklinasi. Sedangkan untuk jarak gigi insisif mandibula terhadap garis N-B didapatkan hasil 11
mm. Angka tersebut menunjukkan pergerakan bodily insisif mandibula pasien ke labial.

2.7.3 Analisis Tweed


Pada analisis Tweed, terdapat tiga pengukuran, yaitu FMA, FMIA, dan IMPA.

Gambar 2.22 Hasil pengukuran analisis Tweed pada pasien

Frankfort Mandibular Plane Angle (FMA)


Sudut FMA merupakan sudut yang terdiri dari perpotongan bidang Frankfort horizontal dengan
bidang mandibula. FMA menunjukkan arah pertumbuhan wajah bagian bawah, baik secara
horizontal maupun vertikal. Nilai rata-rata sudut FMA adalah 24.57°. Rentang sudut FMA adalah
16-35° (Athanasiou, 1995).
Pada pengukuran FMA pasien, didapatkan sudut FMA sebesar 95°. Angka tersebut lebih
besar dari rata rata menandakan pasien memiliki pertumbuhan ke arah vertikal yang besar.

Incisor Mandibular Plane Angle (IMPA)


Sudut IMPA merupakan sudut yang terdiri dari perpotongan antara bidang mandibula dengan
sumbu panjang gigi insisif rahang bawah. Nilai rata-rata sudut IMPA adalah 86.93°. Rentang sudut
IMPA adalah 85-95° (Athanasiou, 1995).

23
Pada pengukuran IMPA pasien, didapatkan sudut IMPA sebesar 40°. Angka tersebut lebih
besar dari rata rata menandakan pasien memiliki insisif rahang bawah yang protrusif.

Frankfort Mandibular Incisor Angle (FMIA)


Sudut FMIA merupakan sudut yang terdiri dari perpotongan antara sumbu panjang gigi insisif
rahang bawah dengan bidang Frankfort horizontal. FMIA menunjukkan tingkat keseimbangan dan
keselarasan antara wajah bawah dan batas anterior gigi. Nilai rata-rata sudut FMIA adalah 68.2°.
Rentang sudut FMIA adalah 60-75°(Athanasiou, 1995).
Pada pengukuran FMIA pasien, didapatkan sudut FMIA sebesar 47°. Angka tersebut lebih
kecil dari rata rata menandakan pasien memiliki insisif rahang bawah yang protrusif.

24
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Diagnosis Maloklusi


Diagnosis maloklusi berdasarkan skenario kasus pada pasien dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Maloklusi Class I Angle disertai berdesakan anterior rahang atas dan rahang bawah serta
protrusi rahang atas dan rahang bawah.
Diagnosis maloklusi Class I Angle ditentukan berdasarkan relasi gigi molar
pertama permanen yang dapat dianalisis dari model studi maupun foto klinis pasien.
Maloklusi Class I Angle ditentukan apabila relasi molar neutroklusi. Relasi molar pertama
permanen baik pada regio kanan maupun kiri pada pasien menunjukkan pola relasi
neutroklusi, yakni cusp mesiobukal molar pertama permanen rahang atas terletak pada
buccal groove molar pertama permanen rahang bawah. Berdesakan anterior rahang atas
dapat dilihat dan ditentukan melalui analisis model studi dan foto klinis pasien. Protrusi
rahang atas ditentukan berdasarkan analisis model studi pasien yang menunjukkan overjet
(jarak gigit) melebihi normal yakni sebesar 5 mm, dimana nilai normal overjet adalah 2-3
mm serta ditentukan berdasarkan analisis sefalometri Downs (Jarak 1-APog) yang
diperoleh jarak 14 mm, hasil ini melebihi rata-rata sehingga disimpulkan adanya protrusi
rahang atas. Protrusi rahang bawah ditentukan berdasarkan analisis sefalometri Downs
(Sudut 1-Bidang mandibula) sebesar 94⁰ dimana hasil ini melebihi rata-rata dengan
kesimpulan adanya protrusi rahang bawah.
2. Pola skeletal kelas I, dengan relasi rahang atas terhadap basis cranii normal, relasi rahang
bawah terhadap basis cranii normal, dengan proklinasi insisif rahang atas dan rahang
bawah.
Diagnosis skeletal kelas I ditentukan berdasarkan analisis sefalometri Steiner dari
sudut ANB. Sudut ANB pada pasien diperoleh sebesar 2⁰ dengan interpretasi diagnosis
skeletal kelas I. Relasi rahang atas terhadap basis cranii ditentukan berdasarkan analisis
sefalometri Steiner dilihat dari sudut SNA sebesar 78⁰ dengan interpretasi relasi rahang
atas terhadap basis cranii pasien normal. Relasi rahang bawah terhadap basis cranii
ditentukan berdasarkan analisis sefalometri Steiner dari sudut SNA yang menunjukkan

25
nilai 76⁰ dengan interpretasi relasi rahang bawah terhadap basis cranii pasien normal.
Proklinasi insisif rahang atas dan rahang bawah ditentukan berdasarkan hasil analisis
sefalometri Steiner. Sudut 1-garis NA diperoleh sebesar 37° dan jarak 1-garis NA diperoleh
sebesar 10 mm, hasil ini menunjukkan adanya pergerakan bodily insisif rahang atas ke
labial dengan interpretasi proklinasi insisif rahang atas. Selain itu, didapatkan pula sudut
1-garis NB sebesar 30° dan jarak 1-garis NB sebesar 11 mm, ini menunjukkan adanya
pergerakan bodily insisif rahang bawah ke labial dengan interpretasi proklinasi insisif
rahang bawah.

3.2 Kemungkinan Etiologi Maloklusi


Kemungkinan etiologi maloklusi pada pasien adalah sebagai berikut :
1. Salah letak benih gigi rahang atas pada gigi 12, 11, 21, 22.
2. Salah letak benih gigi rahang bawah pada gigi 31 dan 43.

3.3 Rencana Perawatan Berdasarkan Diagnosis Maloklusi


Macam perawatan pada pasien berdasarkan skenario kasus dan diagnosis maloklusi dapat
dilakukan tanpa pencabutan. Adapun rencana perawatan yang akan diterapkan pada pasien
berdasarkan diagnosis maloklusi adalah sebagai berikut :
1. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) pada pasien dan orang tua pasien mengenai
penyebab terjadinya maloklusi.
2. Perawatan pendahuluan dengan dilakukan penumpatan pada gigi 53, 36, dan 46.
3. Ekspansi rahang atas dan rahang bawah.
4. Koreksi rotasi rahang atas dan rahang bawah.
5. Koreksi protrusi rahang atas dan rahang bawah.
6. Evaluasi.
7. Fase retensi.

26
BAB 4
PENUTUP

Berdasarkan pemeriksaan dan analisis, diagnosis maloklusi pada kasus ini adalah
maloklusi Class I Angle disertai berdesakan anterior rahang atas dan rahang bawah serta protrusi
rahang atas dan rahang bawah. Etiologi maloklusi yang memungkinkan pada kasus diatas adalah
faktor letak benih gigi yang salah. Jenis perawatan yang dapat dilakukan adalah perawatan tanpa
pencabutan dengan melakukan komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) pada pasien dan orang
tua pasien mengenai penyebab terjadinya maloklusi, perawatan pendahuluan dengan dilakukan
penumpatan pada gigi 53, 36, dan 46, ekspansi rahang atas dan rahang bawah, koreksi rotasi rahang
atas dan rahang bawah, koreksi protrusi rahang atas dan rahang bawah, evaluasi, dan fase retensi.

27
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, kami
kelompok A3 selaku penulis dapat menyelesaikan Makalah Student Centered Learning (SCL)
Ortodonsia I ini dengan baik dan lancar.
Dalam pengerjaan makalah ini banyak kendala yang dihadapi oleh penulis, namun berkat
ilmu, bimbingan, dan masukan dari berbagai pihak, pada akhirnya penulisan makalah ini dapat
diselesaikan sebagaimana adanya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. I Gusti Aju Wahju Ardani, drg., M.Kes., Sp.Ort. (K). sebagai
dosen pembimbing kelompok A3 yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan saran kepada
penulis sejak awal hingga terselesaikannya penulisan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah
ini. Oleh karena itu, kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini. Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan wawasan dan
manfaat terhadap pembaca.

28
DAFTAR PUSTAKA

Alqahtan, M.I., Azizkhan, R.A., Alyawer, L.T. (2020). An Overview of Diagnosis and
Management of Malocclusion: Literature Review. Annals of Dental Specialty, 8(4), pp. 62-65

Athanasiou, A.E. (1995). Orthodontic cephalometry. London: Mosby-Wolfe.

Cobourne, M.T. and Dibiase, A.T. (2016). Handbook of orthodontics. Edinburgh ; New
York: Elsevier.

Little, R.M., 1990. Stability and relapse of dental arch alignment. British journal of
orthodontics, 17(3), pp.235-241.

Lombardo, G., Vena, F., Negri, P., Pagano, S. (2020). Worldwide prevalence of
malocclusion in the different stages of dentition: A systematic review and meta-analysis. European
Journal of Pediatric Dentistry, 21(2), pp. 115-122.

Proffit, W.R., Fields, H.W., Larson, B.E. and Sarver, D.M. (2019). Contemporary
orthodontics. 6th ed. Philadelphia, Pa Elsevier.

29

Anda mungkin juga menyukai