Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

SPINAL ANESTESI PADA SECSIO CAESAREA DENGAN G3P2A0H2 GRAVID 38-


39 MINGGU, PEB + SUSP. MENINGIOMA

Disusun Oleh:
Nada Nadifa (2211901026)
Ririn Aida Bu (2211901033)

Pembimbing
dr. Ferianto, Sp.An-TI, KIC, M.Scm dr.
Matdhika Sakti, M.Ked (An), Sp.An-TI

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR PROGRAM PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD KOTA DUMAI

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirobbil’alamiin segala puji dan syukur kepada kehadirat Allah yang Maha Esa
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Spinal Anestesi Pada Secsio Caesarea Dengan G3p2a0h2 Gravid 38-39 Minggu,
PEB + Meningioma”. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Ferianto,
Sp.An(TI),KIC,M.Sc dan dr. Matdhika Sakti M.Ked (An), Sp.An selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Dumai. Tidak lupa
pula penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah mendukung dalam
penulisan laporan kasus ini.
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian pembelajaran
dalam kepaniteraan klinik senior. Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Dumai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini masih memiliki kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan, Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Akhir kata, penulis berharap
agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua orang. Atas perhatian dan
sarannya, penulis ucapkan terima kasih.

Kota Dumai, 20 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I ................................................................................................................................... 4

ILUSTRASI KASUS ........................................................................................................... 4

1.1 Identitas Pasien ....................................................................................................... 4

1.2 Riwayat Perawatan Pasien ....................................................................................... 4

1.3 Catatan Perkembangan Pasien ................................................................................. 8

BAB II ................................................................................................................................ 10

PEMBAHASAN ................................................................................................................ 10

BAB III .............................................................................................................................. 21

PENUTUP ......................................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 22

iii
iv
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. F
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 32 th
Alamat : Jl. ombak
Agama : Islam
No. rekam medis : 00307919
Tanggal Masuk : Rabu,1 Maret 2023
Masuk RS Melalui : Ponek
1.2 Riwayat Perawatan Pasien
a. Instalasi Gawat Darurat (Rabu,1/3/2023)
Keluhan Utama: Pasien datang dengan keluhan nyeri menjalar keari-ari
Pasien datang dengan keluhan nyeri menjalar keari-ari 5 jam sebelum masuk
rumah sakit, Pasien merupakan pasien rujukan dari praktek dr. Irvan dengan diagnose
G3P2A0 38-39 minggu, +PEB + sup. Meningioma sinus cavernosus. Pasien juga
mengeluhkan kurang lebih 2 bulan terakhir diusia kehamilan 7 bulan otot mata
melemah dan penglihatan ganda.
RPD : Sebelumnya pasien tidak pernah mengeluhkan hal yarng sama. Pasien memiliki
riwayat FAM yang sudah dioperasi kurang lebih 10 tahun.
RPK : ibu memiliiki riwayat FAM
Kebiasaan: Stress (-), merokok (-), alcohol (-).
KU : composmentis
TD : 160/100 mmHg
Nadi : 131 x/menit
Respirasi : 20x/menit
SpO2 : 99%
Kesadaran : sakit sedang
Mata : CA (+/+), SI (-/-)
Thoraks : Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Ekstremitas : Akral hangat
A : G3P2A0 38-39 minggu, letak oblique +PEB+ sup. Meningioma sinus
cavernosus.
P : Section Caesar
- IVFD RL
- Inj.MgSO4
- Pasang kateter urin
Konsul Sp.M
Konsul Sp.S
Observasi TTV dan DJJ

b. Operating Kamar Pra-induksi


• TD: 170/100 mmHg
• HR: 116 x/menit
• RR: 20 x/menit
• Suhu: 36℃
• SpO2: 100%
• Alergi: Tidak ada
• Kesadaran: Delirium
• Status fisik prainduksi: ASA 3
• Skor mallampati: 1
• Teknik anestesi: Spiinal Anestesi
• Jalan napas: spontan

Pemberian obat-obatan:
Obat-obatan Jam Jumlah Rute

1 Ondansetron 09.45 4mg IV


2 Regivel 10.15 15mg Spinal
3 Fentanyl 10.17 50mg/cc IV
4 Pethidin 10.17 50mg/cc IV
5 Oxytocin 10.35 10 ui/mg IV
6 Methylergometrine 10.35 0,2 mg IV
7 Asam Traneksamat 10.45 500 mg IV

• Ventilasi: O2 3 lpm
• Posisi: Supine
10.15 10.30 10.45 11.00 11.15
1.3 Catatan Perkembangan Pasien
Hari, tanggal Subject Object Assesement Planning

Kamis POST SC + Ku: Tampak Post Op Sc  IVFD RL


2/03/2023 TUBEKTOMI sakit sedang G3P2A0 +  Goforan 1gr/12jam
(IRNA KB) GCS: E1M5Ven PEB+ SUSP Tofedex/8 jam
Kesan: MENINGIOMA
Somnolen  Pronalges sup=/
3x1
TD: 133/98 
Nifedipine 3x10mg
HR:98 x/menit  bila TD>140/90
RR:22 x/menut Cek lab post op

Jum’at, Pasien merasakat Ku: Tampak Post Op Sc  Goforan 1gr/12jam


3/03/2023 nyeri bekas luka sakit sedang G3P2A0 +  Tofedex/8 jam
(IRNA KB) post OP GCS: E6M5V4 PEB+ SUSP Pronalges supp
Kesan: MENINGIOMA  3x1
Komposmentis Nifedipine 3x10
TD: 163/90 
Hemafort 1x1
HR:88 x/menit  ASI M 2X1
RR:22 x/menit

Sabtu, Pasien Ku: Tampak Post Op Sc  Ceftriaxone 2x200


4/03/20323 mengeluhkan nyeri sakit ringan G3P2A0 +  Asam mafenamat
(IRNA KB) didaerah bekas GCS: E6M5V4 PEB+ SUSP 3x500
operasi berkurang Kesan: MENINGIOMA  ASI M 2X1
Komposmentis  Hemafort 1x1
TD: 114/80
HR:80 x/menit
RR:22 x/menit
Laboraturium Hematologi (Rabu, 1 Maret 2023)
● Hemoglobin : 13,6 gr/dl
● Hematokrit : 40 %
● Trombosit : 232.000 MM3
● Leukosit : 9900 MM3
● MCV : 92 Fl
● MCH : 30 PG
● MCHC : 33 %
GLUKOSA
● GDR : 87 mg/dl
HEMOSTASIS
● Perdarahan : 3 menit
● Pembekuan : 4 detik
FAAL HATI
● SGOT : 36 mg/dl
● SGPT : 39 mg/dl
FAAL GINJAL
● Ureum : 11 mg/dl
● Kreatinin : 0,4 mg/dl Imunoserologi
● Rapid Anti Gen: Negatif
Urinanalisa
● Protein : +1
Laboraturium Hematologi Post-Sc (Kamis, 02 Maret 2023)
● Hemoglobin : 13.2gr/dl
● Hematokrit : 39 %
● Trombosit : 193.000 MM3
● Leukosit : 17.200 MM3
● MCV : 92 Fl
● MCH : 31 PG
● MCHC : 33 %
PEMERIKSAAN PENUNJANG

 MRI
Ts.Yth : dr.Dining pratidina, Sp.M
Klinis : Ophtalmoplegia
Telah dilakukan pemeriksaan MRI kepala potongan axial dengan seg T1 FSE, T2 FSE,
T2 FLAIR , T2*GRE, 3D Fiesta & DWI potongan coronal T2 FSE dan sagittal T2 FSE
serta MRA tanpa kontras GD DTPA.
Pada T1W1 tampak massa isointens,bentuk bulat,batas tegas,permukaan sedikit
irreguller dengan ukuran 3,3x3,2x2,6 cm pada para seller dextra dan pada T2W1 massa
menunjukkan signal hiperintens,massa melekat pada meningen base lobus temporal
dextra
Tampak massa menekan chiasma opticum
Peri fokal edema tidak menonjol
Sinus sphenoidalis normal
Susunan ventrikel simetris, tidak melebar
Perifer sulci, sulcus sylvii dan basal cisterna tidak melebar.
Cerebellum dan batang otak tidak tampak kelainan, sella tursica normal, tidak
melebar, kelenjar hipofisis tidak membesar.
Tidak terdapat stenosis, AVM dan aneurisma pembuluh darah otak
Jaringan tulang, dan mastoid air cell dextra dan sinistra normal intensity
Tidak didapatkan adanya timbunan secret maupun penebalan mukosa

Kesan :
SOL extra axial pada para sellar dextra yang menekan chiasma opticum
ec : Suspect Meningioma sinus cavernous
cerebellum dan batang otak normal
tidak terdapat stenosis , AVM dan aneurisma pembuluh darah otak

Saran : dengan kontras


Terimakasih atas kepercayaan sejawat
Dr.Andreas Makmur, Sp.Rad
BAB II
PEMBAHASAN

Pasien Ny. F datang ke IGD RSUD Kota Dumai dengan keluhan nyeri menjalar keari-ari
5 jam sebelum masuk rumah sakit, Pasien merupakan pasien rujukan dari praktek dr. Irvan
dengan diagnose G3P2A0 38-39 minggu, PEB + sup. Meningioma sinus cavernosus. Pasien
juga mengeluhkan kurang lebih 2 bulan terakhir diusia kehamilan 7 bulan otot mata melemah
dan penglihatan ganda. .
Preeklampsia adalah hipertensi yang terjadi pada ibu hamil dengan usia
kehamilan 20 minggu atau setelah persalinan di tandai dengan meningkatnya
tekanan darah menjadi 140/90 mmHg.
Faktor Risiko
Sampai sekarang belum ada teori yang pasti tentang bagaimana penyebab terjadinya
preeklamsi. Namun ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya  preeklamsia,
yaitu :12,13,14
 Riwayat preeklamsia
 Primigravida
 Kegemukan/obesitas
 Kehamilan ganda
 Riwayat penyakit tertentu
Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-
teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh
karena itu disebut “penyakit teori”; namun belum ada yang memberikan jawaban yang
memuaskan. Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori
“ iskemia plasenta”. Namun teori ini belum dapat menerangkan se mua hal yang  berkaitan
dengan penyakit ini. Adapun etiologi yang diperoleh dari teori-teori tersebut adalah : 12-16

Peran Prostasiklin dan Tromboksan.
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga
sekresi vasodilatator  prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang, sedangkan pada
kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit  bertambah
sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat
perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan
penurunan volume plasma.

Peran Faktor Imunologis.
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama
terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna. Pada
preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti
dengan terjadinya  pembentukan proteinuria. 12-16

Peran Faktor Genetik .
Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia meningkat pada anak dari ibu
yang menderita preeklampsia.

Iskemik dari uterus. Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus 12-16

Defisiensi kalsium. Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan
vasodilatasi dari pembuluh darah.

Disfungsi dan aktivasi dari endotelial. Kerusakan sel endotel vaskuler maternal
memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin
dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan meningkat secara
signifikan dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar
fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin
akan meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan.
Manifestasi Klinis
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala- gejala ini
sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk  bahwa
eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan
proteinuria bertambah meningkat. 12-16
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan tekanan sistolik
30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat lebih dari 140/90mmHg.
Tekanan darah pada preeklampsia berat meningkat lebih dari 160/110 mmHg dan disertai
kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan takikardia, takipnu, edema
paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak.
Diagnosis
Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan
laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi dua
golongan yaitu : 12-16
1. Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat
tekanan darah normal.
 Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada
 urine kateter atau
 midstream.
 Edema pada lengan, muka, perut, atau edema geralisata. Edema lokal tidak
dimasukkan dalam kriteria preeklamsia.
2. Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg atau lebih. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil
sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah  baring.
 Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
 Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
 Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium kuadran kanan atas abdomen (teregang kapsula Glisson).
 Kenaikan kadar kreatinin plasma
 Terdapat edema paru dan sianosis
 Trombositopeni berat <100.000 sel/mm atau penurunan trombosit dengan
cepat.
 Gangguan fungsi hati : peningkatan kadar SGOT dan SGPT.
 Pertumbuhan janin terhambat.
 Sindrom HELLP

Meningioma adalah tumor pada meningen, yang merupakan selaput pelinduung yang
melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di
bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya terjadi di hemisfer otak di semua
lobusnya. Kebanyakan meningioma bersifat  jinak (benign), sedangkan meningioma
maligna jarang terjadi.
Penyebab meningioma menurut para ahli tidak dapat memastikan apa penyebab tumor
meningioma, namun beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa
kromosom yang jelek yang meyebabkan timbulnya meningioma. Para peneliti sedang
mempelajari beberapa teori tentang kemungkinan asal-usul meningioma. Di antara 40%
dan80% dari meningiomas berisi kromosom 22 yang abnormal pada lokus
genneurofibromatosis 2 (NF2). NF2 merupakan gen supresor tumor pada 22Q12,ditemukan
tidak aktif pada 40% meningioma sporadik. Pasien dengan NF2 dan beberapa non-NF2
sindrom familial yang lain dapat berkembang menjadi meningioma multiple, dan sering
terjadi pada usia muda. Di samping itu, deplesigen yang lain juga berhubungan dengan
pertumbuhan meningioma.18

Klasifikasi meningioma

WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang telah diketahui,
termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan derajat pada hasil biopsi
yang dilihat di bawah mikroskop. Penatalaksanaannya pun berbeda-beda di tiap derajatnya.20

a. Grade I : Meningioma tumbuh dengan lambat, jika tumor tidak menimbulkan


gejala,mungkin pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara
periodik. Jika tumor semakin berkembang, maka pada akhirnya dapatmenimbulkan
gejala, kemudian penatalaksanaan bedah dapat direkomendasikan.Kebanyakan
meningioma grade I diterapi dengan tindakan bedah dan observasiyang
berkelanjutan.20

b. Grade II : Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan juga mempunyai angka
kekambuhanyang lebih tinggi. Pembedahan adalah penatalaksanaan awal pada tipe
ini. Meningioma grade II biasanya membutuhkan terapi radiasi setelah pembedahan.

c. Grade III : Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma
malignan atau meningioma anaplastik. Meningioma malignan terhitung kurang dari 1
% dari seluruh kejadian meningioma. Pembedahan adalah penatalaksanaanyang
pertama untuk grade III diikuti dengan terapi radiasi. Jika terjadi rekurensitumor,
dapat dilakukan kemoterapi.20

Meningioma juga diklasifikasikan ke dalam subtipe berdasarkan lokasi dari tumor 17:

a. Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx adalahselaput
yang terletak antara dua sisi otak yang memisahkan hemisfer kiri dankanan. Falx
cerebri mengandung pembuluh darah besar. Parasagitalmeningioma terdapat di sekitar
falx.

b. Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada permukaan atas
otak.

c. Meningioma Sphenoid (20%) Daerah Sphenoidalis berlokasi pada daerah belakang


mata. Banyak terjadi pada wanita.

d. Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus yang


menghubungkan otak dengan hidung.

e. Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan bawah bagian
belakang otak.

f. Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah kotak pada
dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitary.

g. Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita yang berumur
antara 40 dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pada medulla spinalissetingkat thorax dan
dapat menekan spinal cord. Meningioma spinalis dapatmenyebabkan gejala seperti
nyeri radikuler di sekeliling dinding dada,gangguan kencing, dan nyeri tungkai.

h. Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang pada atau disekitar
mata cavum orbita.

i. Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi cairan diseluruh
bagian otak.

Diagnosa

Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan tumor pada otak
dan medulla spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan oleh terganggunya fungsi normal
dari bagian khusus dari otak atau tekanan pada nervus atau pembuluh darah). Secara umum,
meningioma tidak bisa didiagnosa pada gejala awal.19

Gejala umumnya seperti :19

 Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat beraktifitas atau pada pagihari.

 Perubahan mental

 Kejang
 Mual muntah

 Perubahan visus, misalnya pandangan kabur.

Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor :19

 Meningioma falx dan parasagittal : nyeri tungkai

 Meningioma Convexitas : kejang, sakit kepala, defisit neurologis fokal, perubahan


status mental

 Meningioma Sphenoid : kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan pandang,


kebutaan, dan penglihatan ganda.

 Meningioma Olfactorius : kurangnya kepekaan penciuman, masalah visus.

 Meningioma fossa posterior : nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan spasmeotot-otot
wajah, berkurangnya pendengaran, gangguan menelan, gangguangaya berjalan,

 Meningioma suprasellar : pembengkakan diskus optikus, masalah visus

 Spinal meningioma : nyeri punggung, nyeri dada dan lengan

 Meningioma Intraorbital : penurunan visus, penonjolan bola mata

 Meningioma Intraventrikular : perubahan mental, sakit kepala

Secsio Caesarea

Istilah sectio caesarea (SC) berasal dari bahasa latin caedere yang berarti memotong atau
menyayat. Dalam ilmu obstetrik, istilah tersebut mengacu pada tindakan pembedahan yang
bertujuan melahirkan bayi dengan membuka dinding perut dan rahim ibu.
Indikasi Secsio Caesarea

1. Berasal dari ibu

Primigravida dengan kelainan letak, disporporsi disproporsi janin/panggul, riwayat


persalinan yang buruk, panggul yang sempit, plasenta previa terutama pada primigravida,
solution plasenta tingkat I-II, preeklamsi ekplampsia, atas permintaan, ibu dengan penyakit
sistemik seperti jantung dan diabetes mellitus, kista ovarium, mioma uteri dan gangguan
perjalanan persalinan lainnya.2
2. Berasal dari bayi
Gawat janin, mal presentasi, mal posisi kedudukan janin, prolap tali pusat dengan
pembukaan kecil, kegagalan vakum atau forceps ekstraksi. Komplikasi sectio caesarea yang
dapat terjadi pada ibu antara lain, infeksi puerperal, perdarahan arteri uterina. Komplikasi
yang jarang terjadi seperti rupture kandung kemih dan embolisme paru-paru. Komplikasi
jangka panjang yang mungkin terjadi adalah rupture uteri pada kehamilan selanjutnya akibat
dari kurang kuatnya praut pada dinding uterus. Adapun kontraindikasi dari prosedur SC
adalah janin mati, syok, anemia berat, kelainan kongenital berat, infeksi piogenik pada
dinging abdomen, minimnya fasilitas untuk prosedur SC. 2
Berdasarkan waktu dan pentingnya dilakukan sectio caesarea, maka dikelompokkan 4
kategori:
 Kategori 1 atau emergency dilakukan sesegera mungkin untuk menyelamatkan
ibu atau janin. Contohnya abrupsio plasenta, atau penyakit parah janin lainnya.
 Kategori 2 atau urgent Dilakukan segera karena adanya penyulit namun tidak
terlalu mengancam jiwa ibu ataupun janinnya. Contohnya distosia.
 Kategori 3 atau scheduled Tidak terdapat penyulit.
 Kategori 4 atau elective Dilakukan sesuai keinginan dan kesiapan tim operasi. 3
Pada tanggal 2 Maret pasien ditransfer keruang operasi dengan tanda vital TD 160/100
mmHg, nadi 131 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,5 C, SpO2 99% dengan GCS 15.
Serta didapatkan kondisi mata pasien sebelah kanan mengalami keluhan penglihatan ganda
dan kelopak mata pasien sebelah kanan tidak menutup secara sempurna. Pasien premedikasi
dengan pemberian ondansetron. Dilakukan manajemen anestesi persalinan dengan teknik
spinal anestesi dengan puncture di L3-L4 median, LCS (+) jernih, darah (-) menggunakan
regivel 15 mg +fentanyl 25mcg. Lalu diberikan O2 sebanyak 2l/m. Operasi berlangsung 1
jam 15 menit. Dengan perdarahan 350cc dan hemodinamik stabil.
Anestesi pada Secsio Caesarea dengan Preeklampsia Berat
Anestesi pada secsio caesarea dilakukan dengan menimbang kondisi ibu dan janin,
anestesi dapat berupa epidural, spinal, regional maupun general/umum, sebelum melakukan
anestesi terdapat beberapa persiapan yang perlu dilakukan, sebagai berikut. 5
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien sebelumnya pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah,
sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Kita harus pandai
memilah apakah cerita pasien termasuk alergi atau efek samping obat. 5

Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin
yang mempengaruhi system kardiosirkulasi, dihentikan beberapa minggu untuk mengaktifkan
kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan
minum alcohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.6
Masalah apapun yang berkaitan dengan pembiusan pasien sebelumnya harus diketahui
dari rekam medis terdahulu pasien tersebut (karena pasien seringkali tidak
memperhatikannya) dan dengan mengajukan pertanyaan lagsung pada pasien. Aspek-aspek
berikut ini akan mempengaruhi manajemen perioperatif:
• Beberapa masalah yang berkaitan dengan airway management, khususnya jika pada
proses pembiusan terdahulu terdapat kesulitan dalam proses laringoskopi dan intubasi.
• Respon terhadap control nyeri dan beberapa efek opioid yang tak menguntungkan
• Nausea dan vomitus post operasi serta respon terhadap terapinya  Masa pemulihan
yang terlalu lama.

• Perawatan di HDU/ICU yang tidak diharapkan sebelumnya.


• Terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan atau reaksi terhadap obat hipertermia
maligna, apnoe karena pemberian suksinilkolin, dan reaksi anafilaksis.5
Alergi/Reaksi Obat
Alergi yang sebenarnya atau reaksi hipersensitivitas lebih jarang terjadi jika
dibandingkan dengan efek samping obat non-alergik yang tidak diinginkan. Perbedaan
diantara keduanya biasanya dapat diketahui dengan mengajukan pertanyaan spesifik kepada
pasien. Manifestasi klinis pada kulit (urtikaria, eritema), bronkospasme, kolaps
kardiovaskuler, dan edema angioneuritik, harus dinyatakan sebagai reaksi alergi sampai
dibuktikan lain. Selain agen anestesi, alergi terhadap antibiotic, plester perekat, spray, dan
jenis tertentu makanan penting untuk dicatat; hal ini kan mempengaruhi pemilihan teknik
anestesi. 5
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan umum meliputi kesan umum tentang keadaan gizi (anemia,
ikterus) dan pernapasan (sianosis, dispnea). Apakah terdapat edema, bagaimana bentuk dan
tinggi badan, apakah ada perubahan pigmentasi, kloasma gravidarum, striae alba, striae
lividae, striae nigra, hiperpigmentasi, dan areola mammae. 6
Pemeriksaan umum meliputi tekanan darah, nadi, suhu, dan berat badan; pemeriksaan
paru dan jantung; pemeriksaan refleks lutut. 7
Pemeriksaan khusus obstetri. Pemeriksaan ini meliputi inspeksi abdomen (tinggi
fundus uteri, pigmentasi dinding abdomen, dan penampakkan gerak janin), palpasi menurut
Leopold I-IV, Kneble, Buddin, Ahfeld, kontraksi Braxton Hicks dan tanda cairan bebas;
perkusi tidak begitu banyak artinya, kecuali jika ada suatu indikasi; auskultasi menggunakan
stetoskop monoaural (stetoskop obstetrik) untuk mengetahui denyut jantung janin pada bulan
ke 4-5, bising tali pusat, gerakan dan tendangan janin, dapat juga didengarkan pada ibu yaitu
bising rahim (uterine souffle), bising aorta dan peristaltik usus. 7
c. Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan hematologi. Hemoglobin dan hematokrit meningkat karena
hemokonsentrasi. Preeklampsia-eklampsia berat mempunyai kemiripan dengan gangguan
koagulasi karena sering kali terjadi berbagai derajat koagulasi intravaskular diseminata
(DIC). Besarnya defek koagulasi tidak selalu berhubungan dengan beratnya preeklampsia-
eklampsia. Perubahan yang terjadi dapat meliputi trombositopenia, penurunan faktor
koagulasi (terutama penurunan fibrinogen) dan adanya produk pemecahan fibrin. Kadang-
kadang bukti hemolisis (misal, anemia hemolitik mikroangiopati, deformitas sel darah merah)
dapat diamati pada pasien-pasien preeklampsia-eklampsia. Emboli mikrofibrin dapat terjadi
dalam paru, hati atau ginjal. 7

• Kimia Darah. Peningkatan asam urat menggambarkan eklampsia. Kadar asam urat
biasanya >6mg/dl. Penurunan glukosa atau kalsium dapat menerangkan serangan
kejang. 7

• Gas darah arteri membantu dalam diagnosis alkalosis atau asidosis. Nilainya secara
seri penting dalam menilai respon pasien terhadap terapi. 7

• Pemeriksaan Urin. Eklampsia disertai oleh proteinuria +3 sampai +4. Perubahan


degeneratif dalam glomerulus menyebabkan kehilangan protein melalui urin. Rasio
albumin/ globulin dalam urin pasien preeklampsia-eklampsia kira-kira 3 : 1 (vs 6:7
pada pasien glomerulonefritis). Dalam kondisi ini, penyakit tubulus ginjal hanya
sedikit berperan terhadap hilangnya protein. 7

• Pemeriksaan rontgen dada untuk menyingkirkan aspirasi merupakan keharusan untuk


pasien yang mengalami kejang.1
• Ultrasonografi. Dibandingkan dengan pemeriksaan rontgen, USG tidak berbahaya
untuk janin karena memakai prinsip sonar (bunyi). Jadi, boleh dipergunakan pada
kehamilan muda. Pada layar, dapat dilihat letak, gerakan, dan gerakan jantung janin.4

Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeclampsia dan eklamsia tergantung dari
berbagai faktor, termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan status medis dari
pasien (adanya koagulopati, gangguan pernafasan, dll). Jika persalinan dilakukan secara
bedah Caesar maka pemilihan teknik anestesia di sini termasuk epidural, spinal, combine
spinal-epidural dan anestesia umum. Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia
berat dan eklamsia dikatakan berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan
arteri sistemik dan pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesia.
Pada anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan intubasi
endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring. Apapun teknik
anestesia yang dipilih, harus diingat bahwa meskipun persalinan adalah terapi untuk
preeklampsia, pada periode post partum perubahan kardiovaskular, cardiac output dan status
cairan, harus tetap dimonitor.1

Jika seksio cesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa: Tidak terdapat koagulopati
(koagulopati merupakan kontra indikasi anestesi spinal). Anestesia yang aman / terpilih
adalah anestesia umum untuk eklampsia dan spinal untuk PEB. Dilakukan anestesia lokal,
bila risiko anestesi terlalu tinggi.
Penilaian jalan napas dan persiapan menghadapi intubasi sulit harus dilakukan secara
seksama karena kemungkinan jalan napas sulit lebih tinggi akibat adanya edema general serta
adanya penyulit morbid obese. Tekanan darah sistemik dapat berubah drastic pada
preeklamsia berat baik akibat penyakitnya maupun respon terhadap pemberian cairan dan
obat antihipertensi. Sebagai tambahan preeklamsia berhubungan dengan penurunan volume
intravaskuler dan penilaian status volume intravaskuler dapat menjadi kesulitan. Pemantauan
hemodinamik secara invasive tidak mutlak diperlukan pada pasien preeclampsia namun
terindikasi sesuai dengan indikasi pada disfungsi multiorgan penyakit lain. Pemilihan teknik
neurakssial analgesia /anestesi lebih direkomendasikan kerena menghindari kemungkinan
intubasi sulit pada kasus emergensi, benefit dari perfusi uteroplasenta, kualitas
analgesia/anestesi yang baik, mengurangi obat-obatan yang masuk ke sirkulasi uteroplasenta,
menurunkan stress operasi, dan ppsikologis ibu yang dapat melihat bayinya saat dilahirkan.

Anestesi pada section caesarea dengan meningioma


Pada pasien didapatkan keluhan mata sebelah kanan mengalami penglihatan ganda
dan tampak pada mata kanan kelopak mata tidak meutup secara sempurna. Jadi untuk
memutuskan apakah pasien tersebut dapat menjalani analgesia atau anestesi spinal atau
epidural, kita harus memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap herniasi otak seperti
peningkatan TIK, edema serebral dan hidrosefalus. Gejala klinis peningkatan TIK, gambaran
space-occupying lession dan hidrosefalus adalah tiga hal penting yang harus diperhatikan
dalam pengambilan keputusan untuk melakukan anestesi neuraxial pada pasien dengan
kelainan intrakranial termasuk didalamnya pasien tumor otak. Tidak adanya kontraindikasi
lain untuk anestesi spinal, wanita hamil dengan space-occupying lesions (SOL) tidak
mungkin memiliki peningkatan risiko herniasi jika tidak ada efek massa, tidak ada temuan
klinis atau pencitraan peningkatan TIK dan tidak ada hidrosefalus.

Pasien yang berisiko tinggi untuk terjadi herniasi setelah pungsi dura mater adalah
pasien dengan lesi otak yang menekan jaringan otak normal dan menyebabkan pergeseran
garis tengah atau pergeseran ke bawah. Pada pasien dengan hidrosefalus, yang harus
diperhatikan adalah ada tidaknya obstruksi aliran cairan serebrospinalis di daerah foramen
magnum atau diatasnya. Pasien dengan gambaran obstruksi aliran cairan serebrospinalis dan
gejala klinis peningkatan TIK walaupun minimal memilkim resiko ringans-sedang untuk
terjadi herniasi akibat pungsi dura. Konsultasi neurologi harus dilakukan sebelum mengambil
keputusan dilakukan anestesi neuraxial pada pasien seperti ini.

Pada pasien ini tidak kami temukan gejala neurologis baru (sakit kepala yang
memburuk, kejang, atau penurunan tingkat kesadaran) atau lesi yang diketahui cenderung
tumbuh atau berubah selama kehamilan, tidak ada bukti pencitraan terjadi efek massa yang
signifikan dengan atau tanpa pergeseran garis tengah, tidak ada bukti hidrosefalus dan tidak
ada temuan klinis atau pencitraan menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial. Oleh
karena itu pada pasien ini dapat diilakukan section caesarea dengan anestesi spinal.

Pemberian obat anestesi


Pemberian obat sebelum anestesi untuk menghilangkan kecemasan, menghasilkan sedasi
dan memfasilitasi pemberian anestesi terhadap pasien disebut premedikasi. Tujuan
premedikasi pada dasarnya terdiri dari dua yaitu: 6
a. Mempengaruhi pasien dalam hal ini terdiri dari
• Memberikan sedasi
• Menghilangkan nyeri (memberikan analgesia)
• Membuat amnesia
b. Membantu ahli anestesi:
• Mempermudah atau memperlancar induksi
• Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
• Untuk mencegah efek samping dari obat anestesi umum.
• Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas (antisialagogue)
• Mencegah muntah dan aspirasi. 7
Teknik yang Disarankan untuk Seksi Caesar dengan anestesi spinal yaitu sebagai berikut:
1. Semua alat dipersiapkan terlebih dahulu, lalu passion diposisikan tidur miringkiri
atau kanan, atau bias juga dalam posisi duduk.

2. Pasang alat pemantau yang diperlukan.

3. Berikan disinfeksi pada area lumbal.

4. Lakukan punksi lumbal dengan jarum spinal berukuran paling kecil pada celah
interspinosum pada L3L4 atau L4-L5 sampai terlihat keluarnya cairan LCS.

5. Masukan bupivakain 0,5% sebanyak sebanyak 2-2,5 ml atau bisa juga


dikombinasikan dengan opioid untuk meningkatkan kualitas dari blockade tanpa
meningkatkan analgesia pada prinpick.

6. Tutup luka tusukan dengan kassa steril.

7. Atur posisi pasien dengan sedemikian rupa agar posisi kepala dan kaki menjadi
lebih tinggi dari badan

8. Pantau dan nilai ketinggian dari blockade dengan menggunakan skor bromage,
serta pantau tekanan darah dan denyut nadi.

9. Seksio caesarea dapat dilakukan.

10. Setelah neonatus dan plasenta lahir, 20–80unit oksitosin ditambahkan ke cairan
intravena, dan ditambahkan 20unit untuk cairan berikutnya.

11. Jika rahim tidak berkontraksi dengan mudah, opioid harus diberikan, dan agen
terhalogenasi harus dihentikan. Methylergonovine (Methergine), 0,2 mg
intramuskular atau dalam 100 mL salin normal sebagai infus intravena lambat
juga dapat diberikan tetapi dapat meningkatkan tekanan darah arteri. 9

Obat-obatan yang digunakan :


1. Lidokain 2%, berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokasin 5% dalam dekstrosa 7,5 % berat jenis 1.003, sifat hiperbarik, dosis 20-50mg (1-
2ml)
3. Bupivakain 0,5% dalam air, berat jenis 1.003, sifat hiperbarik, dosis 20-50mg (1-2ml)
4. Bupivakain 0,5% dalam dekstrosa 8,25% berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-
115mg (1-3ml)
5. Efedrin
Adalah alkaloid yang terdapat dalam tuumbuhan genus efedra dan termasuk obat
golongan adrenergic. Penggunaan efedrin intravena sebagai pencegahan sebelum terjadi
hipotensi lebih dianjurkan daripada memberikan efedrin sebagai terapi pada hipotensi
yang telah terjadi.
6. Preload
Preload cairan baik kristaloid ataupun koloid dapat mengurangi insiden hipotensi
karena peningkatan volume sirkulasi dapat menceggah/ mengurangi hipovolemi relative
oleh karena blok simpatis pada spinal anestesi.
7. Petidine
Adalah zat sintetik yang foormulanya sangat berbedda dengan morfin, tetapi
mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Petidine memiliki efek
analgesia, sedasi, euphoria, depresi napas, dan efek sentral lainnya
8. Narkotik Analgetik

Narkotik merupakan alkaloid opium. Istilah opioid menunjukkan sebagai derivat


sintesis dan semisintesis. Opioid dapat menstimulasi reseptor opioid mu dan kappa, yang
menyebabkan timbulnya efek analgesia. Opioid reseptor mu yang sering digunakan untuk
persalinan adalah morfin, petidin dan fentanil. Kontraindikasi pemberian opioid alergi dan
pasien yang adiksi. Efek samping narkotik adalah menurunkan motilitas gaster dan tonus
sphincter gastrooesophageal, mual muntah. Fentanyl adalah salah satu obat anestesi
opioid agonis yang diberikan melalui intravena. Fentanyl memiliki onset kerja cepat, 1 - 3
menit bagi efek sedatif, 5 - 10 menit bagi efek analgesik dengan lama kerja 30-60 menit.
Dosis fentanyl yang digunakan sebagai intraoperatif anasthesi adalah 2-50 mcg/kgBB.
Fentanyl bersifat lipofilik, yaitu larut lebih mudah dengan lemak dibanding air, sehingga
mudah melewati sawar darah otak dan memasuki sistem saraf pusat. Obat yang sering
dipilih untuk tindakan induksi anestesi adalah opioid. Pemberian opioid berfungsi untuk
mencegah peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung saat tindakan
berlangsung dan sebagai analgesia preventif.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

 MRI
Ts.Yth : dr.Dining pratidina, Sp.M
Klinis : Ophtalmoplegia
Telah dilakukan pemeriksaan MRI kepala potongan axial dengan seg T1 FSE, T2 FSE, T2
FLAIR , T2*GRE, 3D Fiesta & DWI potongan coronal T2 FSE dan sagittal T2 FSE serta
MRA tanpa kontras GD DTPA.
Pada T1W1 tampak massa isointens,bentuk bulat,batas tegas,permukaan sedikit irreguller
dengan ukuran 3,3x3,2x2,6 cm pada para seller dextra dan pada T2W1 massa menunjukkan
signal hiperintens,massa melekat pada meningen base lobus temporal dextra
Tampak massa menekan chiasma opticum
Peri fokal edema tidak menonjol
Sinus sphenoidalis normal
Susunan ventrikel simetris, tidak melebar
Perifer sulci, sulcus sylvii dan basal cisterna tidak melebar.
Cerebellum dan batang otak tidak tampak kelainan, sella tursica normal, tidak melebar,
kelenjar hipofisis tidak membesar.
Tidak terdapat stenosis, AVM dan aneurisma pembuluh darah otak
Jaringan tulang, dan mastoid air cell dextra dan sinistra normal intensity
Tidak didapatkan adanya timbunan secret maupun penebalan mukosa

Kesan :
SOL extra axial pada para sellar dextra yang menekan chiasma opticum
ec : Suspect Meningioma sinus cavernous
cerebellum dan batang otak normal
tidak terdapat stenosis , AVM dan aneurisma pembuluh darah otak

saran : dengan kontras


Terimakasih atas kepercayaan sejawat
Dr.Andreas Makmur, Sp.Rad

BAB III
PENUTUP

Pasien ny. F usia 32 tahun, datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah Kota Dumai
dengan keluhan nyeri menjalar keari-ari 5 jam sebelum masuk rumah sakit, Pasien
merupakan pasien rujukan dari praktek dr. Irvan dengan diagnose G3P2A0 38-39 minggu,
+PEB + sup. Meningioma sinus cavernosus. Pasien juga mengeluhkan kurang lebih 2 bulan
terakhir diusia kehamilan 7 bulan otot mata melemah dan penglihatan ganda. Sebelumnya
pasien tidak pernah mengeluhkan hal yarng sama. Pasien memiliki riwayat FAM yang
sudah dioperasi kurang lebih 10 tahun.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang tersebut, ditegakkanlah
diagnosis kerja G3P2A0 38-39 minggu, PEB + sup. Meningioma sinus cavernosus .
Kemudian diberikan tindakan dan terapi yang sudah sesuai dengan teori yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

1. Taber B. Kapita selekta kedaruratan obstetri dan ginekologi. Dalam: Melfiawati,


editor. Edisi 2. Jakarta: EGC; 1994.h.165.
2. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
3. I Gusti Agung Gede Utara. 2018. Eklamsia, Help Syndrome, Akut Respiratory,
Distress Syndrome dan Pneumonia. Jurnal Kesehatan Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensive Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
4. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia. (2019).
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. h.1, 29-32, 46-8, 90, 125-9,
133.
6. Soenarto RF, Chandra S. BukuAjarAnestesiologi. Jakarta: FakultasKedokteran UI;
2012. Hlm127-397.
7. Arifin J, Harahap MS, Sasongko H. Persiapan Preanestesi. In : Anestesiologi. Editors:
Jatmiko HD, Soenarjo. Semarang. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro; 2010 : h.85 – 100.
8. Aitkemhead AR, Smith G, Rowbotham DJ. Textbook of anesthesia. Ed. 5.
Netherland:
Elsevier, 2007. h. 280-314, 484-508.
9. Chowles CE. Anesthetic Management : Airway Management. In : Morgan &
Mikhail’s. 13th ed. Editors: Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. New York.
The McGrawHill Companies; 2013 :h. 313.
10. Oswari J, Wulandari WD. Anestesiologi. Edisi ke-10. Jakarta: EGC; 2004. h. 2-5.
11. Soenarjo; Jatmiko, Heru Dwi. Anestesiologi. Semarang : Ikatan Dokter Spesialis
Anestesi dan Reanimasi. 2010. p.121-135.

12. Wiknosastro H. Pre-eklamsia an eklamsia. Editor Wiknjosastro H, Saifuddin AB,


Rachmihadhi T, dalam Ilmu Kebidanan edisi kedua, cetakan keempat, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.2007.281-94.

13. Wiknosastro H. Hipertensi dalam kehamilan . Editor Wiknjosastro H, Saifuddin AB,


Rachmihadhi T, dalam Ilmu Kebidanan edisi kedua, cetakan keempat, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.2010.
14. Cunningham, F.G et al. Williams Obstetrics.22 st edition. New York: Mc Graw Hill
Medical Publising Division:2005.p.699-780.

15. Manuaba I. Preeclampsia. Edisi 2012. Diunduh dari


http://www.emedicinehealth.com/preeclampsia/page10_em.htm

16. .Prawirohardjo S. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi ke-1. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2010.80-7

17. Mardjono M, Sidharta P. Dalam: Neurologi klinis dasar. : Fakultas


KedokteranUniverstas Indonesia; 2003. Hal 393-4.

18. Patogenesis, histopatologi, dan klasifikasi meningioma[cited 2009 November 20].


Availblefrom:http://www.neuroonkologi.com/articles/Patogenesis,%20histopatologi
%20dan%20klasifikasi%20meningioma.doc4

19. Netter HF, etc. Spinal nerve origin. In: Neuroanatomy and neurophysiology.USA:
Icon Custom Communication: 2002. P. 24

20. Meningiomas. [cited 2009 November 20]. Available from:


www.Mayfieldclinic.com8. Meningioma[cited 2009 November 20]. Available
from:.http://www.cancer.net9. Fyann E, Khan N, Ojo A. Meningioma. In: SA Jour

Anda mungkin juga menyukai