Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kecemasan
1. Definisi Kecemasan
Schwartz (2000) mengemukakan bahwa kecemasan berasal dari kata
Latin anxius, yang berarti penyempitan atau pencekikan. Kecemasan mirip
dengan rasa takut tapi dengan fokus kurang spesifik, sedangkan ketakutan
biasanya respon terhadap beberapa ancaman langsung. Kemudian Stuart
(2006) menyatakan bahwa kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas
dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.
Menurut Barlow dan Durand (2006) kecemasan adalah keadaan suasana hati
yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah
dimana individu mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau
kemalangan.
Nevid, Rathus, dan Greene (2005) menyatakan bahwa kecemasan adalah
suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri-ciri seperti keterangsangan
fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan
aprehensif atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang
buruk akan terjadi. Kemudian Hawari (2006) berpendapat bahwa kecemasan
adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur dan
terjadi ketika mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin.
Selanjutnya kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, seperti
perasaan tidak enak, perasaan kacau, was-was dan ditandai dengan istilah
kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang kadang dialami dalam
tingkat dan situasi yang berbeda-beda (Atkinson, 1999).
Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan
bahwa kecemasan adalah keadaan emosi yang ditandai oleh afek negatif
seperti perasaan takut, tidak menyenangkan, perasaan kacau, was-was
dimana individu mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau
kemalangan.

7
8

2. Aspek – Aspek Kecemasan


Menurut Greenberger dan Padesky (2004) aspek-aspek kecemasan
dijelaskan sebagai berikut, yaitu:
a. Reaksi fisik
Reaksi fisik yang terjadi pada individu yang cemas meliputi telapak
tangan berkeringat, jantung berdebardebar, pusing, otot tegang dan
gemetar.
b. Pemikiran
Individu yang cemas biasanya memikirkan bahaya secara berlebihan,
menganggap dirinya tidak mampu mengatasi masalah, dan khawatir serta
berpikir tentang hal yang buruk.
c. Perilaku
Individu yang cemas akan berperilaku menghindari situasi saat
kecemasan itu terjadi, orang tersebut akan meninggalkan situasi ketika
kecemasan mulai terjadi dan mencoba melakukan banyak hal secara
sempurna dan mencoba mencegah bahaya.
d. Suasana hati
Suasana hati individu yang cemas meliputi perasaan gugup, jengkel,
takut dan panik, suasana hati juga dapat berubah secara tiba-tiba ketika
seseorang dihadapkan pada kondisi yang memunculkan kecemasan
tersebut.

Gail W. Stuart (2016) membagi kecemasan dalam respon perilaku,


kognitif, dan afektif, diantaranya:
a. Perilaku, berupa gelisah, tremor, berbicara cepat, kurang koordinasi,
menghindar, lari dari masalah, waspada, ketegangan fisik, dan lain-lain.
b. Kognitif, berupa konsentrasi terganggu, kurang perhatian, mudah lupa,
kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat waspada,
takut kehilangan kendali, mengalami mumpi buruk, dan lain-lain.
c. Afektif, berupa tidak sabar, tegang, gelisah, tidak nyaman, gugup,
waspada, ketakutan, waspada, kekhawatiran, mati rasa, merassa bersalah,
9

malu, dan lain-lain.


Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan
bahwa aspek kecemasan meliputi aspek reaksi fisik, pemikiran, perilaku,
suasana hati, aspek fisiologis dan aspek psikologis, dalam aspek fisiologis
terdapat reaksi fisik yang berasal dari otot tegang, pusing dan lain
sebagainya, dan juga aspek psikologis yang meliputi suasana hati, perilaku,
kegelisahan dan rasa bersalah.

3. Tingkatan Kecemasan
Semakin tinggi tingkat kecemasan individu, maka akan memengaruhi
kondisi fisik dan psikis. Di bawah ini adalah tingkatan kecemasan menurut
Stuart & Sundeen (2007), sebagai berikut:
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari; cemas menyebabkan individu menjadi waspada,
menajamkan indera dan meningkatkan lapang persepsinya.
b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada
suatu hal dan mempersempit lapang persepsi individu. Individu menjadi
tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak
area.
c. Kecemasan berat
Kecemaan berat mengurangi lapang persepsi individu. Individu
berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang
hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan,
individu perlu banyak arahan untuk berfokus pada arealain.
d. Tingkat panik (sangat berat)
Tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah,
ketakutan, dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsi, karena
mengalami kehilangan kendali. Individu yang mencapai tingkat ini tidak
mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup
10

disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas


motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang
rasional.

4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kecemasan


Adler dan Rodman (1991) menyatakan bahwa factor-faktor yang dapat
memengaruhi kecemasan, yaitu sebagai berikut :
a. Pengalaman negatif pada masa lalu
Pengalaman ini merupakan hal yang tidak menyenangkan pada masa
lalumengenai peristiwa yang dapat terluang lagi pada masa mendatang,
apabila individu tersebut menghadapi situasi atau kejadian yang sama
dan juga tidak menyenangkan.
b. Pikiran yang tidak rasional
Kecemasan terjadi bukan karena suatu kejadian, melainkan
kepercayaan atau keyakinan tentang kejadian itulah yang menjadi
penyebab kecemasan.
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang memengaruhi kecemasan meliputi pengalaman negatif masa lalu,
dan pikiran yang tidak rasional. Sementara faktor eksternal yang berasal dari
lingkungan keluarga dan sosial.

B. Self Efficacy
1. Definisi Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) self-efficacy merupakan keyakinan individu atas
kemampuan mengatur dan melakukan serangkaian kegiatan yang menuntut
suatu pencapaian atau prestasi. Kemudian menurut Greenhaus (2006), self-
efficacy dapat diartikan sebagai keyakinan individu akan kemampuannya
untuk berhasil dalam unjuk kerja atas tugas-tugas yang telah diberikan.
Friedman dan Schustack (2008) mendefinisikan self-efficacy sebagai
ekpektansi keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh individu mampu
11

melakukan satu perilaku dalam suatu situasi tertentu. Kemudian menurut


Woolfolk (2009) self-effcacy mengacu pada pengetahuan individu tentang
kemampuannya sendiri untuk menyelesaikan tugas tertentu tanpa perlu
membandingkan dengan kemampuan orang lain.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli, maka dapat
disimpulkan bahwa self efficacy adalah keyakinan atau kepercayaan terhadap
kemampuan yang dimiliki individu untuk menghadapi kesulitan tugas,
keyakinan dan harapan yang dimiliki serta seberapa jauh individu mampu
melakukan perilaku dalam suatu situasi tertentu.

1. Aspek-Aspek Self Efficacy


Bandura (1997) mengemukakan aspek-aspek dari self efficacy, yaitu
sebagai berikut :
a. Aspek Tingkat (Level)
Aspek ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu
merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada
tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi diri
individu mungkin akan terbatas pada tugas yang mudah, sedang, bahkan
paling sulit sesuai dengan batas kemampuannya untuk memenuhi
tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Dimensi
ini memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang akan
dicoba atau dihindari. Individu akan mencoba tingkah laku yang dirasa
mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada diluar
batas kemampuan yang dirasakannya.
b. Aspek Kekuatan (Strength)
Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang
lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak
mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu
tetap bertahan dalam usahanya meskipun mungkin ditemukan
pengalaman yang kurang menunjang. Dimensi ini berkaitan langsung
12

dengan dimensi level yaitu semakin tinggi taraf kesulitan tugas, semakin
lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
c. Aspek Generalisasi (Generality)
Aspek ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku dimana
individu merasa yakin akan kemampuannya dan bagaimana seseorang
mampu menggeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya ketika
menghadapi suatu tugas atau pekerjaan, misalnya apakah ia dapat
menjadikan pengalaman sebagai hambatan atau sebagai kegagalan.

Zimmermen (1998) mengungkapkan bahwa self-efficacy pada individu


terdiri atas tiga aspek, yaitu:
a. Tingkat kesulitan
Tingkat kesulitan merupakan aspek yang berhubungan dengan tingkat
kesulitan tugas atau sama dengan bertahan dari satu tingkat tugas yang
berpengaruh. Hal ini akan disesuaikan dengan batas kemampuan yang
dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan bagi
masing-masing tingkat.
b. Generalisasi
Generalisasi merupakan keyakinan individu untuk menyelesaikan
suatu aktivitas. Dimana setiap individu memiliki keyakinan yang berbeda
sesuai dengan tugas-tugas yang berbeda.
c. Kekuatan
Kekuatan merupakan dimensi yang berhubungan dengan derajat
kemantapan individu terhadap keyakinan dan berkenan dengan tugas
yang spesifik.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para tokoh, maka dapat
disimpulkan bahwa aspek self efficacy adalah aspek tingkat kesulitan, aspek
kekuatan, aspek generalisasi.
13

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Self Efficacy


Bandura (1997), menyatakan bahwa ada empat sumber utama yang
memengaruhi self-efficacy, yaitu:
a. Pengalaman Performansi (Performance Accomplishment)
Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa
yang telah lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi
pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu)
yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedang kegagalan akan
menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberikan dampak
yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya:
1) Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin
tinggi.
2) Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi dibanding kerja kelompok,
dibantu orang lain.
3) Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah merasa
sebaik mungkin.
4) Kegagalan dalam suasana emosional/stres, dampaknya tidak
seburuk kalau kondisinya optimal.
5) Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat,
dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang
yang keyakinan efikasinya belum kuat.
6) Keberhasilan individu, sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi.
b. Pengalaman Vikarius
Pengalaman Vikarius diperoleh melalui model sosial. Efikasi
akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya
efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira-
kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figur yang diamati
berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh vikarius tidak besar.
Sebaliknya ketika mengamati kegagalan figur yang setara dengan
dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal
dikerjakan figur yang diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama.
14

c. Persuasi Sosial
Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan
melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas tetapi pada
kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi
diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi pesuasi, dan sifat
realistik dari apa yang dipersuasikan.
d. Keadaan Emosi
Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan
mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut,
cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun bisa terjadi,
peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efikasi
diri.

3. Klasifikasi Self Efficacy


Bandura (1997) mengemukakan dua tingkatan atau klasifikasi efikasi
diri yaitu:
a. Tingkat Efikasi diri tinggi
Dalam mengerjakan suatu tugas atau menghadapi situasi tertentu,
individu yang memiliki efikasi diri tinggi memilih terlibat langsung dan
mampu menghadapi situsi tersebut. Individu dapat mengerjakan tugas
atau menghadapi sutuasi tertentu dengan tekun karena percaya pada
keemampuan diri yang dimiliki sekalipun sulit. Mereka tidak
menganggap hal tersebut sebagai ancaman dan menganggap kegagalan
sebagai akibat kurangnya usaha yang keras, pengetahuan dan
keterampilan. individu yang mempunyai efikasi diri tinggi cenderung
memiliki kinerja yang baik dan mampu menangani berbagai hal secara
efektif.
b. Tingkat Efikasi Diri Rendah
Individu yang memiliki efikasi diri rendah tidak sadar dan tidak
berpikir cara yang baik untuk menghadapi tugas-tugas atau situasi yang
15

sulit. Individu tersebut cepat merasa tak berdaya, cepat menyerah,


menghindar dari tugas atau situasi yang sulit dan selalu memikirkan
kekurangan dalam dirinya. Individu tersebut juga lamban dalam
membenahi atau mendapatkan kembali efikasi dirinya saat menghadapi
kegagalan. Ia selalu merasa akan gagal dan terus menerus mengatakan
dirinya tidak mampu menghadapi situasi atau mengerjakan tugas yang
sulit.

C. Ibu
1. Definisi Ibu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015), ibu adalah wanita
yang telah melahirkan seseorang, sebutan untuk wanita yang telah bersuami,
panggilan takzim kepada wanita baik yang sudah bersuami maupun yang
belum. Menurut Abbas (2009), ibu adalah individu yang rela
mempertaruhkan nyawa demi lahirnya sang buah hati. Kemudian menurut
Santoso (2012), ibu adalah individu yang mempunyai banyak peran, sebagai
istri, sebagai ibu dari anak-anaknya, dan sebagai individu yang melahirkan
dan merawat anak-anaknya. ibu juga bisa menjadi benteng bagi keluarganya
yang dapat menguatkan setiap anggota keluarganya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ibu
adalah perempuan bersuami yang memiliki banyak peran, yaitu sebagai
sebagai istri, sebagai ibu dari anak-anaknya, dan sebagai seseorang yang
melahirkan dan merawat anak-anaknya

D. Keterkaitan Self Efficacy Terhadap Kecemasan


Pada Ibu di Masa Pandemi Covid-19
Virus SARS-CoV-2 atau lebih dikenal dengan istilah Corona Virus telah
menjadi pandemi dan pengaruhnya secara nyata terasa oleh masyarakat di seluruh
dunia. Othman (2020) menyatakan bahwa pandemi Covid-19 telah meningkatkan
kecemasan dan emosi negatif secara luas di masyarakat, terutama pada ibu yang
memiliki anak.
16

Nevid, Rathus, dan Greene (2005) menyatakan bahwa kecemasan adalah


suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri-ciri seperti keterangsangan
fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif
atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Kemudian Hawari (2016) berpendapat bahwa kecemasan adalah manifestasi dari
berbagai proses emosi yang bercampur baur dan terjadi ketika mengalami tekanan
perasaan (frustrasi) dan pertentangan batin. Menurut Bandura (1997) faktor yang
berpengaruh dalam meredakan kecemasan antara lain self efficacy, yaitu perkiraan
individu terhadap kemampuannya sendiri dalam mengatasi situasi. Kecemasan
dapat diredam dengan adanya keyakinan individu terhadap kemampuan yang
dimilikinya (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Friedman dan Schustack (2008)
mendefinisikan self-efficacy sebagai ekpektansi keyakinan (harapan) tentang
seberapa jauh individu mampu melakukan satu perilaku dalam suatu situasi
tertentu.
Ibu yang memiliki self efficacy yang tinggi percaya bahwa mengerjakan
sesuai dengan tuntutan situasi dan dapat mencapai hasil yang realistik, maka akan
bekerja lebih keras dan dapat bertahan. Selain itu Ibu juga mampu mengolah
situasi, menetralkan halangan, mampu menetapkan tujuan dengan menciptakan
standar, mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindakan, mencoba
dengan keras dan gigih, kreatif memecahkan masalah, belajar dari pengalaman
masa lalu, memvisualisasikan kesuksesan, dan membatasi stres. Sebaliknya, Ibu
yang memiliki self efficacy yang rendah, tidak berpikir tentang bagaimana cara
yang baik dalam menghadapi kondisi yang sulit, tetapi mereka akan mengurangi
usaha-usaha, cepat merasa tak berdaya, dan akan cepat menyerah. Mereka juga
lamban dalam membenahi dan mendapatkan kembali self efficacy ketika
menghadapi kegagalan.
Beberapa penelitian menemukan adanya keterkaitan antara self efficacy dan
kecemasan. Penelitian yang dilakukan oleh Noorrizki (2012) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara efikasi diri dan kecemasan
terhadap Ujian Nasional pada siswa kelas XII SMK PGRI 6 Malang dengan
koefisien korelasi r = -0,462 dan probabilitas p = 0,002. Penelitian yang dilakukan
17

oleh Permana, Harahap, dan Astuti (2016) menunjukkan hasil bahwa terdapat
pengaruh self efficacy terhadap kecemasan pada siswa kelas IX MTs Al Hikmah
Brebes sebesar 51,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Putri, Risnawita, dan
Handayani (2017) menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara self efficacy dan kecemasan yang terlihat pada nilai signifikansi 0,000
dimana p < 0,05 dan r= -0,573. Tingkat efikasi diri tinggi dengan nilai rata rata
(mean) 158,32, dan tingkat kecemasan berada pada tingkat sedang dengan nilai
rata-rata (mean) 92,11
Penelitian lain, yaitu yang dilakukan oleh Winda Septa Riani (2014),
dengan hasil menunjukkan koefisien korelasi sebesar -0,589 dengan sig 0,000 (p <
0,05), artinya ada hubungan negatif signifikan antara self efficacy dengan
kecemasan saat presentasi pada mahasiswa Universitas Esa Unggul. Mahasiswa
yang memiliki self efficacy tingkat tinggi lebih banyak bila dibandingkan dengan
mahasiswa yang memiliki tingkat self efficacy rendah. Sedangkan pada
mahasiswa yang memiliki kecemasan tingkat rendah lebih banyak bila
dibandingkan dengan mahasiswa tingkat tinggi. Penelitian selanjutnya dilakukan
oleh Yuli Hasanah (2020) yang menunjukkan nilai Sig (2-tailed) antara self
efficacy dengan kecemasan yaitu sebesar 0.002 < 0.05 sehingga terdapat korelasi
yang signifikan, dan diketahui nilai r hitung sebesar -0.279 > r tabel 0.176
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara self
efficacy dengan kecemasan dalam menghadapi penilaian akhir tahun pada
semester genap, serta menunjukkan hubungan negatif antara self efficacy dengan
kecemasan, yang artinya semakin tinggi self efficacy maka semakin rendah
kecemasan, sedangkan semakin rendah self efficacy, maka semakin tinggi
kecemasan.

E. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah terdapat kontribusi self efficacy terhadap kecemasan pada ibu dimasa
pandemi Covid-19.

Anda mungkin juga menyukai